Anda di halaman 1dari 4

Indikasi operasi pada hematom epidural adalah volume >30 mL tanpa melihat skor GCS

atau hematom epidural akut dengan GCS <9 dengan pupil anisokor. Pasien dengan volume <30
mL dan ketebalan <15 mm dan midline shift <5 mm dengan skor GCS >8 tanpa defisit
neurologis fokal dapat ditatalaksana konservatif dengan pemantauan neurologis dan CT scan
serial. Volume hematom pada kasus ini 38 mL, midline shift 0,2 cm, dan GCS 12 sehingga dapat
ditatalaksana konservatif.
Pada perdarahan intraparenkim dan adanya tanda perburukan neurologis berkaitan dengan
lesi, hipertensi intrakranial refrakter dengan obat-obatan, atau tanda efek masa pada CT scan
dapat dilakukan operasi. Bila perdarahan >50 cc dapat dilakukan operasi. Namun bila pasien
dengan perdarahan intraparenkim tetapi tidak menunjukkan perburukan neurologis, tekanan
intrakranial terkontrol, dan tidak ada efek massa pada CT scan dapat diterapi konservatif dengan
pengawasan intensif. Dalam kasus ini dilakukan penanganan konservatif karena tidak terjadi
perburukan kondisi dari hari ke hari dan tekanan darah terkontrol.

Tabel 2. Rangkuman perbedaan antara hygroma subdural dengan hematoma subdural.7,9,10

Hygroma Subdural Hematoma Subdural

Disebabkan oleh
robeknya vena jembatan
Akumulasi cairan di
Definisi yang mengakibatkan
ruang subdural.
pendarahan di
permukaan otak.

Robekan pada lapisan


Etiologi Trauma kepala.
arachnoid.

Ditemui di semua
kelompok umur tetapi Lebih rentan seiring
Demografi
paling umum pada orang bertambahnya usia.
tua.

Gejala Sebagian besar Dapat menyebabkan


asimtomatik. Gejala penurunan neurologis
yang jarang dilaporkan yang lambat.
termasuk sakit kepala,
perubahan status mental,
mual, muntah, defisit
neurologis fokal, kejang.

Muncul sebagai
Mirip dengan subdural
akumulasi
kronis, tetapi
Fitur Radiografi sinyal/densitas CSF
densitasnya sama dengan
berbentuk sabit di ruang
CSF.
subdural.

Intervensi bedah saraf


jarang diperlukan
Pengobatan Evakuasi bedah saraf.
kecuali ada bukti
radiografi efek massa.

Gambaran radiologis perdarahan subdural berubah seiring waktu. Pemeriksaan


menggunakan CT-Scan dan MRI merupakan pemeriksaan radiologis yang penting
dalam mengevaluasi pasien dengan perdarahan subdural. Perdarahan subdural
akut (antara 0-3 hari) memiliki temuan adanya hiperdens dengan Hounsfield units
(HU) antara 50-80. Pada 40% kasus ditemukan perdarahan subdural akut dengan
gambaran campuran antara hiperdens dan hipodens. Hipodens sebagai bentuk
produk darah yang tidak menggumpal, kebocoran cairan serebrospinal melalui
robekan membran arakhnoid, atau anemia. Adanya “swirl sign” dengan bentuk
kantong hipodens yang irregular didalam dominasi gambaran hiperdens, sering
dikaitkan dengan perdarahan aktif yang cepat

Pasien kasus ini defisit neurologis yang bermakna adalah pasien mengalami keluhan sakit
kepala di awal pasca trauma disertai rasa pusing berputar, muntah dan delirium, setelah itu
manifestasi kelemahan baru muncul satu hari pasca trauma. Keluhan dapat timbul langsung
setelah hematom subdural atau terjadi jauh setelah mengidap trauma kapitis. Terdapat masa
tanpa keluhan yang dinamakan latent interval dan bisa berlangsung berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan ada kalanya bisa lebih dari dua tahun. Sehingga jika onset dihitung dari
terjadinya trauma sampai munculnya keluhan, pasien ini mengalami latent interval. Namun
demikian, latent interval itu bukan berarti bahwa pasien sama sekali bebas dari keluhan.
Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh
tentang sakit kepala, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah
mengidap trauma kapitis.

Tetapi apabila terdapat proses desak ruang intracranial dalam perkembangan hematom
subdural kronis tersebut maka akan muncul manifestas klinis yang mencerminkan proses desak
ruang, baru pada saat itulah terhitung manifestasi hematom subdural. Manifestasi klinis dapat
berupa kesadaran yang makin menurun, perasaan melayang, lambat berpikir, apatis, gangguan
gait, hemiparese, hemihipestesia, dan adakalanya sebuah bangkitan.10

Perdarahan subdural akut merupakan lesi kranial yang umum terjadi (paling sering
berkaitan dengan trauma k e p a l a karena kecelakaan), dengan mortalitas 30 – 90%. Ruptur
pada bridging veins diduga menjadi penyebab utama perdarahan subdural akut / subakut.
Bridging veins berperan dalam drainase darah dari korteks serebri ke sinus sagitalis superior.
Area yang dijembatani oleh vena tersebut antara lain rongga antara duramater dan arakhnoid
yaitu ruang subdural. Ujung dari bridging veins terfiksasi pada duramater, sedangkan ujung
serebral terfiksasi pada hemisfer yang dapat mengalami pergerakan. Tidak seperti pada
subarakhnoid dengan ruang trabekula, ruang subdural tidak memiliki struktur penopang dari
bridging veins. Pergerakan otak ke sisi lateral masih diminimalisir oleh falks serebri, namun
pergerakan ke sisi antero-posterior tidak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, dampak
terhadap kepala akibat pergerakan antero- posterior yaitu robekan bridging veins. Tingginya
variabilitas aliran bridging veins menuju ke sinus sagitalis posterior menyebabkan pergerakan
relatif dari otak terhadap tengkorak menghasilkan tegangan dan beban pergeseran paling tidak
pada beberapa bridging veins yang menyebabkan terjadinya lesi. Arah dari aliran bridging
veins antara lain: antegrade (aliran sepanjang sinus sagitalis superior), perpendikular,
retrograde, bentuk jepit rambut (aliran berubah sebelum memasuki sinus, dan lakuna
(pembesaran pada rongga vena). Pada kompleks dari bridging veins-sinus sagitalis superior
terdapat outflow cuff segment berbentuk penonjolan pada ampula. Segmen tersebut berperan
sebagai katup yang mengatur aliran bridging veins sehingga membentuk efek Venturi. Selain
itu, secara histologis belum ada ketetapan yang menjelaskan mengenai adanya sel otot polos
pada bridging veins.3 Dengan memahami konsep anatomi dan histologi dari bridging veins,
maka dapat dipahami mengenai alasan rentannya pembuluh darah tersebut.
Bridging vein yang berada di rongga subdural memiliki dinding yang tipis, dan
regangan pada vena tersebut akan memicu terjadinya hematoma. Tidak hanya dari bridging
vein namun pembuluh darah yang baru pada neomembran bersifat rapuh. Membran terluar
mengandung pembuluh darah sinusoidal yang rentan dan sering menjadi sumber perdarahan
multifokal berulang. Trauma berulang menjadi penyebab perdarahan akut pada kasus
perdarahan subdural kronis sebagai mekanisme pembesaran hematoma. Atrofi otak
mendukung terjadinya akumulasi darah yang semakin banyak.Perdarahan subdural akut /
subakut merupakan hasil akumulasi darah segar di rongga subdural dan disertai kondisi
intrakranial seperti peningkatan tekanan intrakranial, edema, perubahan aliran darah serebral,
kontusio parenkim, atau cedera langsung. Pada tahap awal perdarahan subdural akut, aliran
darah serebral berkurang. Peningkatan tekanan intrakranial mengawali penurunan tekanan
perfusi serebral dan penurunan aliran darah serebral. Gangguan autoregulasi serebral,
vasospasme, dan penurunan kebutuhan metabolik mengawali penurunan aliran darah serebral.9

Komplikasi jarang terjadi, namun secara klinis dapat menyebabkan perluasan hematoma dan hipertensi
intrakranial. Kondisi klinis berupa penurunan kondisi neurologi dan ekspansi hematoma pada fase
subakut. Mekanisme pasti masih belum dapat dijelaskan. Beberapa faktor seperti lanjut usia,
kecenderungan perdarahan, perdarahan yang luas pada awal kejadian, rendahnya kadar hemoglobin,
dan tingginya kadar leukosit berperan dalam terjadinya perdarahan subdural subakut. Perdarahan
subdural subakut umumnya terjadi pada hari ke-13 pasca trauma, oleh karena itu diperlukan CT-Scan
kepala dan pemantauan kondisi klinis karena risiko perluasan hematoma pada periode tersebut.

Anda mungkin juga menyukai