Lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan ini memiliki kondisi agro-ekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi kemantapan lahan yang labil (peka terhadap erosi) terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Untuk usaha pertanian lahan kering dapat dibagi dalam tiga jenis penggunaan lahan yaitu lahan kering berbasis palawija (tegalan), lahan kering berbasis sayuran (dataran tinggi) dan pekarangan (As-Syakur A, 2007). Pertanian lahan kering adalah sistem pertanian yang dilakukan di daerah yang memiliki curah hujan rendah dan ketersediaan air terbatas. Lahan kering biasanya terletak di daerah gurun atau semi desert, padang rumput, savana, atau dataran tinggi yang tidak memiliki air yang cukup untuk mendukung pertanian irigasi. Kondisi tersebut membuat tanah di lahan kering rentan mengalami erosi dan degradasi, serta memerlukan teknik budidaya yang khusus agar tanah tetap subur dan produktif (Notohadiprawiro T, 2006). Dalam pertanian lahan kering, petani harus memanfaatkan air hujan secara efektif dengan menggunakan teknik penanaman yang tepat dan pengelolaan tanah yang baik untuk menjaga kesuburan tanah. Teknik budidaya yang umum digunakan di lahan kering antara lain pengolahan tanah secara konservasi, penanaman tanaman dengan jarak yang cukup, rotasi tanaman, dan penggunaan pupuk organik dan pupuk hijau untuk menjaga kesuburan tanah (Notohadiprawiro T, 2006). Lahan kering ini terjadi sebagai akibat dari curah hujan yang sangat rendah, sehingga keberadaan air sangat terbatas, suhu udara tinggi dan kelembabannya rendah. Lahan kering sering dijumpai pada daerah dengan kondisi antisiklon yang permanen, seperti daerah yang terdapat pada antisiklon tropisme. Daerah tersebut biasanya ditandai dengan adanya perputaran angin yang berlawanan arah jarum jam di utara garis khatulistiwa dan perputaran angin yang searah jarum jam di daerah selatan garis khatulistiwa. Terdapat tiga jenis iklim di daerah lahan kering, yakni iklim mediterania (hujan terjadi di musim gugur dan dingin), iklim tropisme (hujan terjadi di musim panas) dan iklim kontinental (hujan tersebar merata sepanjang tahun) (Mulyani A, 2006). Lahan kering dibagi ke dalam empat kategori yaitu hyper arid, arid, semi arid dan sub humid. Hyper arid adalah indek kekeringan (rasio antara curah hujan dan evapotranspirasi potensial) 0.03, tidak ada vegetasi tanaman kecuali hanya beberapa rumpun rumput di daerah lembah, penggembalaan ternak berpindah- pindah, hujan tahunan rendah (di bawah 100 mm/tahun), serta hujan terjadi tidak menentu, bahkan kadang-kadang tidak terjadi hujan sepanjang tahun. Daerah ini terdapat di pe-“gurun”-an Saudi Arabia “Rub’ul Kholi” atau yang dikenal dengan empty quarter (Mulyani A, 2006). Arid adalah indek kekeringan 0.03-0.20 yang ditandai dengan adanya peternakan, kegiatan pertanian dilakukan dengan irigasi tetes dan sprinkler, terdapat tanaman musiman dan tahunan yang letaknya terpisah-pisah, dan curah hujan tahunan antara 100-300 mm. Terdapat di Jeddah, Saudi Arabia dan Negara- negara Timur Tengah pada umumnya (Mulyani A, 2006). Semi arid adalah indek kekeringan 0.2-0.5 yang ditandai dengan adanya kegiatan pertanian dengan mengandalkan air hujan meski produktifitasnya rendah, terdapat kegiatan peternakan komunal dan curah hujan tahunan 300-800 mm. Biasanya terdapat di perbatasan daerah tropis dan sub-tropis (Mulyani A, 2006). Sub humid adalah indek kekeringan 0.5-0.75. Daerah sub humid juga dimasukkan ke dalam area lahan kering, meski sebenarnya memiliki karakter yang dekat dengan daerah lahan basah. Di Indonesia kawasan timur memiliki karakter Sub-Humid, yang mana terdapat beberapa kendala untuk budidaya pertanian di daerah tersebut (Mulyani A, 2006). Terdapat tiga permasalahan utama usahatani lahan kering, yaitu erosi (terutama bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi secara rapat), kesuburan tanah (umumnya rendah sebagai akibat dari proses erosi yang berlanjut) dan ketersediaan air (sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan). Ciri lainnya adalah makin menurunnya produktifitas lahan (leveling off), tingginya variabilitas kesuburan tanah dan macam spesies tanaman yang ditanam, memudarnya modal sosial-ekonomi dan budaya, rendah atau tidak optimalnya adopsi teknologi maju, serta terbatasnya ketersediaan modal dan infrastruktur yang tidak sebaik di daerah sawah (Syam A, 2003).