Anda di halaman 1dari 23

KONSEP NAFKAH DALAM KELUARGA ISLAM

( TELAAH HUKUM ISLAM TERHADAP ISTRI YANG MENCARI


NAFKAH)

Ayudya Rizqi Rachmawati


ayudya@stisabuzairi.ac.id
Sekolah Tinggi Ilmu Syariahh Abu Zairi Bondowoso

Suparjo Adi Suwarno


suparjoadisuwarno@gmail.com
Sekolah Tinggi Ilmu Syariahh Abu Zairi Bondowoso

ABSTRAK

Nafkah tidak hanya suatu pemberian yang diberikan seorang suami


kepada istrinya, namun juga merupakan kewajiban antara bapak dengan
anaknya dan juga memiliki tanggung jawab antara seorang pemilik
dengan sesuatu yang dimilikinya. Kewajiban nafkah tersebut telah
tercantum dalam sumber hukum Islam al Quran dan al hadits, diantaranya
terdapat dalam Surat Ath-Thalaq ayat (6), Al-Baqarah ayat: 233, dan
lainnya. Nafkah berarti sebuah kewajiban yang mesti dilkasanakan berupa
pemberian belanja terkait dengan kebutuhan pokok baik suami terhadap
istri dan bapak kepada anak ataupun keluarganya. Begitu pentingnya
nafkah dalam kajian hukum Islam, bahkan seorang istri yang sudah
dithalaq oleh suaminya masih berhak memperoleh nafkah untuk dirinya
beserta anaknya. Disamping itu, meskipun nafkah merupakan suatu
kewajiban untuk dipenuhi namun menyangkut kadar nafkahnya, harus
terlebih dahulu melihat batas kemampuan si pemberi nafkah.

Kata Kunci: Nafkah, Hukum Islam, Istri

A. PENDAHULUAN

Perkawinan adalah pintu gerbang yang sakral yang harus dimasuki


oleh setiap insan untuk membentuk sebuah lembaga yang bernama keluarga.
Perhatian Islam terhadap keluarga begitu besar, karena keluarga merupakan
cikal bakal terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih luas. Keluarga adalah
pemberi warna dalam setiap masyarakat. Baik tidaknya sebuah masyarakat
tergantung pada masing-masing keluarga yang terdapat dalam masyarakat
tersebut.

1
Secara teologis, perkawinan dalam Islam mengandung dua dimensi
penting yaitu dimensi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dan
dimensi fisik termasuk biologis. Dimensi fisik ini meliputi masalah reproduksi
atau pengembangan keturunan. Kedua dimensi ini menjadi dasar dan tujuan
dilaksanakannya perkawinan, yakni membentuk keluarga yang penuh kasih
1
sayang dan mendapatkan keturunan.
Untuk mewujudkan sebuah hubungan rumah tangga yang rukun dan
harmonis, sangat diperlukan sikap saling pengertian antara suami dan istri
yakni dengan menempatkan diri pada posisi dan kedudukan masing-masing.
Paling tidak pasangan tersebut harus mengetahui peran dan fungsi antara
yang satu dengan yang lain dan harus saling melengkapi, karena laki-laki dan
wanita diciptakan dengan kondisi atau kodrat yang berbeda. Wanita memiliki
fungsi dan perannya sendiri yang tidak mampu dilakukan dan digantikan oleh
kaum laki-laki, demikian juga laki-laki. Peran dan fungsi antara suami istri ini
kemudian diatur oleh agama dalam bentuk hak dan kewajiban. Yang
dimaksud dengan hak di sini ialah sesuatu yang merupakan milik atau dapat
dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil perkawinannya. Hak ini
hanya dapat dipenuhi dengan memenuhinya atau membayarnya, atau dapat
juga dihapus seandainya yang berhak rela apabila haknya tidak dipenuhi atau
tidak dibayar oleh pihak yang lain. Dan yang dimaksud dengan kewajiban di
sini ialah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari
suami/ istri untuk memenuhi hak dari pihak yang lain.2
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. :

Dari Sulaimân bin `Amr bin al-Ahwash berkata : Ayahku


mengabarkan kepadaku bahwa dia ikut serta pada peristiwa haji Wadâ`
bersama Rasululah Saw dan melihat beliau memuji Allah dan manyanjung-Nya

1
Abdurrahman Wahid, Refleksi Teologis Perkawinan dalam Islam, dalam Syafiq Hasyim (ed.),
Menakar Harga Perempuan, (Bandung : Mizan, 1999), Cet.I, hal.174.
2
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974),
Cet. I, hal. 126.

2
serta memberi peringatan dan nasihat..."Ketahuilah bahwa padamu ada hak
yang menjadi kewajiban istrimu, dan bahwa pada istrimu ada hak yang
menjadi kewajibanmu..."(H.R. Tirmidzî).3

Dengan kata lain, hak dan kewajiban yang timbul sebagai


konsekuensi dari suatu perkawinan harus diterima dan ditunaikan
sebagaimana mestinya oleh kedua belah pihak (suami istri). Apa yang menjadi
kewajiban suami merupakan hak yang harus diterima istri, begitupula
sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban istri merupakan hak yang harus
diterima suami.
Hak dan kewajiban dalam pernikahan ini mempunyai hubungan yang
sangat erat, di mana untuk mendapatkan haknya seseorang (suami atau istri)
harus melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu, sebaliknya jika suami atau
istri tidak memenuhi kewajibannya, maka ia tidak berhak menerima haknya.
Di antara kewajiban suami terhadap istri adalah memberi nafkah. Suami wajib
bekerja dan berusaha untuk mencukupi segala kebutuhan istri dan anak-
anaknya. Namun pada saat sekarang ini banyak dijumpai kaum wanita yang
bekerja di luar rumah mencari penghidupan seperti halnya kaum laki-laki.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berhasil atau bahkan malah menjadi
penopang hidup utama keluarganya menggantikan posisi suami.4
Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, sebenarnya
tidak ada wanita yang benar-benar menganggur. Biasanya para wanita
memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya entah itu
mengelola sawah, membuka warung di rumah, mengkreditkan pakaian dan
lain-lain. Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan
bahwa wanita dengan pekerjaan-pekerjaan di atas bukan termasuk kategori
wanita bekerja. Hal ini karena wanita bekerja identik dengan wanita karir atau
wanita kantoran (yang bekerja di kantor). Padahal, di manapun dan kapanpun

3
Abû `Îsâ Muhammad bin `Îsâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Kitab al-Radhâ', Bab : Mâ Jâ`a fî
Haqqi al-Mar`ah `alâ Zaujihâ, Hadis No. 1083, (Beirut : Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2000), Cet. I,
Juz. I, hal. 224.
4
Kholil Navis, Fikih Keluarga Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah Keluarga Sehat,
Sejahtera, dan Berkualitas,(Jakarta: Mitra Abadi Press, 2014),hal. 87

3
wanita itu bekerja, seharusnya tetap dihargai pekerjaannya. Jadi tidak semata
dengan ukuran gaji atau waktu bekerja saja.5
Pada saat ini di negara-negara non-Islam telah muncul tuntutan agar
kaum wanita dapat berpartisipasi dalam berbagai bidang perekonomian,
terutama di Jerman, Inggris, Perancis, Amerika dan berbagai negara di Eropa.
Bagi mereka, keberadaan wanita karir dan keikutsertaan mereka bekerja di
luar rumah adalah suatu keharusan, sehingga muncullah berbagai tuntutan-
tuntutan berikut ini :
1. Membatasi wanita bekerja berarti membatasi kebebasan wanita dan
mengurangi hakikat keberadaannya.
2. Melarang wanita bekerja tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman dan
modernisasi.
3. Melarang wanita bekerja berarti memandulkan sumber daya manusia
yang potensial.
4. Ajakan tokoh-tokoh agama agar para wanita dapat kembali ke rumah
tangganya merupakan sebuah kemunduran.
5. Para wanita harus dapat bekerja meskipun kondisi lingkungan sekitarnya
keras dan tidak sesuai dengan fitrah mereka6
Di samping itu perubahan yang diakibatkan oleh globalisasi dan
kemajuan teknologi tersebut juga membuka peluang persaingan kerja antara
laki-laki dan wanita. Bahkan tidak jarang para laki-laki (suami) yang kalah
bersaing dan akhirnya kehilangan pekerjaannya sehingga ia tidak lagi dapat
menafkahi keluarganya. Dan dalam kondisi seperti inilah kadang-kadang
istripun terpaksa atau dituntut untuk harus mampu juga berperan sebagai
pencari nafkah. Akan tetapi, dengan ikut bekerjanya wanita (istri) tidak serta
merta menghilangkan kesulitan ekonomi dalam rumah tangganya, namun di
sisi lain malah menyisakan persoalan yang lebih rumit dan krusial serta
berdampak negatif terhadap kehidupan keluarganya. Tidak sedikit wanita
yang masuk dalam kelompok ini sering merasa bersalah jika tugas-tugas

5
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung : Pustaka Setia, 2014), hal. 95
6
Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, (Iqtishâd al-Bayt al-Muslim fî Dhau`i
al-Syarî`ah al-Islâmiyyah), terj. Dudung R.H dan Idhoh Anas, (Jakarta : Gema Insani
Press, 1999), Cet. II, hal. 125-126.

4
rumah tangga tidak terselesaikan akibat kesibukannya di luar rumah,
walaupun kesibukannya itu justru untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan
keluarganya.7
Namun demikian, dalam beberapa dekade belakangan ini terjadi
beberapa silang pendapat dan perdebatan sengit perihal wanita bekerja. Pihak
yang setuju berpendapat bahwa wanita sah -sah saja membantu suami dalam
bekerja karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin
tidak terkejar sedangkan pihak yang tidak setuju memandang wanita
seharusnya tidak bekerja karena kewajiban bekerja dalam keluarga
sepenuhnya tanggungjwab suami dan dikawatirkan terjadi sesuatu hal negatif
apabila wanita ikut bekerja membantu suami mencari nafkah.
Persoalan ini kemudian hangat diperdebatkan dan dipertentangkan
dalam wacana fiqih Islam, apakah seorang wanita boleh bekerja dan berkarir
di luar rumah (publik) dalam kaitannya untuk mencari nafkah guna memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak mencukupi atau untuk memenuhi
tuntutan profesi saja? Apakah Islam memberikan kebebasan yang seluas-
luasnya kepada wanita untuk berkarir di luar rumah? Bagaimanakah dampak
dan implikasi wanita karir terhadap kehidupan keluarga serta masyarakat?
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi pustaka
(library research) yang menggunkan buku-buku dan literatur-literatur lainnya
sebagai objek yang utama. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif,
yaitu penelitian yang menghasilkan informasi berupa catatan dan data
deskriptif yang terdapat di dalam teks yang diteliti. metode yang digunakan
untuk mengumpulkan data penelitian berupa data-data kepustakaan yang
telah dipilih, dicari, disajikan dan dianalisis. Sumber data penelitian ini mencari
data-data kepustakaan yang substansinya membutukan tindakan pengolahan
secara filosofis dan teoritis. Studi pustaka di sini adalah studi pustaka tanpa
disertai uji empirik. Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisi data

7
Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar (Ed.), Keadilan dan Kesetaraan Jender(Perspektif
Islam), (Jakarta : Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama DEPAG RI, 2001), Cet. I,
hal. 59.

5
berupa analisis isi (content analysis). Analisis isi merupakn analis ilmiah
tentang isi pesan suatu data
C. PEMBAHASAN
1. Definisi Nafkah
Secara etimologi, kata nafkah (‫ ) نفقة‬berasal dari kata " ُ‫" ْنفِـق‬
8
-‫ـق‬
َُ ‫نَ َف‬yang berarti " ( "‫)َراج‬
َ laku, laris atau " ‫( نَفِد " و َفنِـي‬habis dan
musnah) yang kemudian mendapat huruf tambahan hamzah di awal kata
َُ ‫ أَ ْن َف‬dengan demikian kata " " ‫ النفقـة‬berarti : apa-
menjadi " ُ‫ ُي " ْنفِـق‬-‫ـق‬
apa yang diinfakkan atau dibelanjakan untuk sanak keluarga dan untuk diri
sendiri.9
Kata nafkah (nafaqah) adalah kata benda (bentuk isim) dari kata
infâq yang berarti harta yang dinafkahkan. Kata nafkah juga berarti
"bekal". Dari pengertian secara etimologi yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa nafkah berarti "Sesuatu yang diberikan
suami terhadap istri baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal,
perlindungan, dan sebagainya". Dalam kamus Bahasa Indonesia, nafkah
juga diartikan dengan "bekal hidup sehari-hari atau belanja untuk
memelihara kehidupan".10
Adapun secara terminologi, kata nafkah didefinisikan oleh para
ulama mazhab dengan beberapa rumusan yang berbeda, antara lain :
1. Menurut Imam Malik bin Anas, pelopor mazhab Maliki, nafkah adalah :

‫ما به قوام معتاد حال اآلدمي دون سرف‬

Sesuatu berupa makanan yang biasa mencukupi keadaan (kebutuhan)


manusia dengan tidak melampaui batas.11
2. Menurut Syaikh Muhammad bin `Abdu al-Wâhid dalam kitab "Syarh
Fathu al Qadîr", ulama dari mazhab Hanafi, nafkah adalah :

8
Ibnu Manzhûr al-Afrîqî al-Mishrî, Lisân al-`Arab, (Beirût : Dâr al-Fikr, 1990), Cet. I, Juz. X, hal.
357.
9
Majdu al-Dîn Muhammad bin Ya`qûb al-Fairûzâbâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, (Beirut : Dâr alFikr,
1995), Cet. I, hal. 833.
10
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka,
2002), Edisi. III, Cet. II, hal. 770
11
Mâlik bin Anas al-Ashbahî, al-Mudawwanah al-Kubrâ, (Uni Emirat Arab : tt., 1422 H), Juz. V, hal.
17

6
" ‫االدرار على الشيء بما به بقاؤه‬.

Melimpahkan kepada sesuatu apa-apa yang dapat memenuhi


kebutuhan hidupnya.”
3. Menurut al-Khathîb al-Syarbînî, pengikut mazhab Syâfi`i, nafkah ialah :

‫ وما يتبع ذلك من‬،‫ ومسكن‬،‫ وكسوة‬،‫ وأدم‬،‫إخراج الشخص مؤنة من تجب عليه نفقته من خبز‬
12
‫ ونحو ذ ذلك‬،‫ ومصباح‬،‫ ودهن‬،‫ثمن ماء‬
Pengeluaran seseorang berupa perbekalan bagi orang yang nafkahnya
wajib ditanggungnya, seperti roti, lauk pauk, pakaian, tempat tinggal,
dan apa-apa yang serupa dengannya seperti air, minyak, lampu, dan
sebagainya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan nafkah adalah segala kebutuhan manusia yang
mencakup tiga aspek penting yang terdiri dari sandang, pangan, dan
papan, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Nampaknya definisi nafkah
yang diuraikan oleh ulama mazhab Syafi`i dan Hambali hampir serupa dan
lebih representatif dalam menjelaskan definisi nafkah dibanding dengan
definisi yang diungkapkan oleh ulama mazhab yang lain.
2. Dasar Hukum Nafkah
Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri mendapat
legitimasi dari teks-teks keagamaan seperti al-Qur`an dan al-Hadis, Ijma`,
serta dalil `aqlî. Ini menandakan bahwa persoalan nafkah memang
mendapat perhatian khusus dalam agama Islam. Berikut beberapa dalil
yang berkaitan dengan permasalahan nafkah :
a. Alquran
QS. Al Baqarah 2: 233
ِ
َ ‫الد ُه َّن َح ْولَْي ِن َكاملَْي ِن لِ َم ْن أ ََر‬
ِ ُ‫اعةَ و َعلَى الْمول‬ َّ ‫اد أَ ْن يُتِ َّم‬ ِ ‫ات ي ر‬ ِ
ُ‫ود لَه‬ َْ َ َ‫ض‬ َ ‫الر‬ َ ‫ض ْع َن أ َْو‬ ْ ُ ُ ‫َوال َْوال َد‬
‫ار َوالِ َدةٌ بَِولَ ِد َها َوال َم ْولُو ٌد‬ َ ُ‫س إِال ُو ْس َع َها ال ت‬
َّ ‫ض‬ ٌ ‫ف نَ ْف‬ ُ َّ‫وف ال تُ َكل‬ ِ ‫ِر ْزقُه َّن وكِسوتُه َّن بِالْمعر‬
ُْ َ ُ َْ َ ُ

12
Syamsu al-Dîn Muhammad bin Muhammad al-Khathîb al-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj, (Beirut : al-
Maktabah al-Taufîqiyyah, tth.), Juz. V, hal. 168.

7
‫اح‬
َ َ‫فَال ُجن‬ ‫ش ُاوٍر‬ َ َ‫اض ِم ْن ُه َما َوت‬
ٍ ‫صاال َع ْن تَ َر‬ ِ َ ‫ك فَِإ ْن أَر‬
َ ‫ادا ف‬ َ َ ِ‫ث ِمثْ ُل ذَل‬ ِ ‫لَهُ بِولَ ِد ِه و َعلَى الْوا ِر‬
َ َ َ
‫اح َعلَْي ُك ْم إِذَا َسلَّ ْمتُ ْم‬ ِ
‫َما آتَ ْيتُ ْم‬ َ َ‫َعلَْي ِه َما َوإِ ْن أ ََر ْدتُ ْم أَ ْن تَ ْستَ ْرضعُوا أ َْوال َد ُك ْم فَال ُجن‬
ِ ‫َن اللَّهَ بِما تَ ْعملُو َن ب‬
‫ص ٌير‬ ِ ‫بِالْمعر‬
َّ ‫وف َواتَّ ُقوا اللَّهَ َوا ْعلَ ُموا أ‬
َ َ َ ُْ َ
" Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan seorang ayah
berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma`ruf (sesuai dengan kebutuhan). Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan".

Tafsir Ayat
Ayat tersebut menerangkan perintah Allah Swt kepada para ibu
untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh jika kedua orang tuanya
menghendaki penyusuan yang sempurna. Dan bagi sang ayah hendaklah
memenuhi (mencukupi) segala kebutuhan sang istri (ibu) yang sedang
menyusui anaknya agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Adapun
nafkah yang diberikan kepada istri harus sesuai dengan cara yang ma`ruf
(sesuai dengan kebutuhan) dan sesuai dengan kemampuan suami, sebab
Allah Swt tidak akan membebani hamba-Nya kecuali dengan
kesanggupannya.
Hal senada juga dijelaskan oleh al-Thabarî, bahwa ayat ini
menjelaskan perintah kepada bapak dari anak yang disusukan (suami)
untuk memberi rizki (nafkah) kepada ibu dari anak yang disusukan tersebut
berupa makanan yang biasa dimakan dan pakaian, sesuai dengan apa yang
dipakai oleh sang suami, sebab Allah Swt sangat mengetahui keadaan
setiap hamba-Nya, dan mengetahui (kadar) kekayaan dan kemiskinannya,
di antara mereka ada yang kaya, ada yang miskin dan ada pula yang
sederhana. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada setiap suami
untuk menafkahi orang-orang yang berhak mendapatkan nafkah, yaitu istri

8
dan anaknya, menurut kadar kemampuannya. Dan Allah tidak akan
membebankan setiap jiwa hamba-Nya kecuali dengan apa yang dia mampu
keluarkan dari apa yang telah dibebankan untuk dia keluarkan, dan dia
tidak akan dipersempit ataupun dipaksa untuk itu.13
Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat
ِ ‫ود لَه ِر ْزقُه َّن وكِسوتُه َّن بِالْمعر‬
.....‫وف‬ ِ
ُ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ُ‫َو َعلَى ال َْم ْول‬
Menjelaskan kewajiban seorang bapak dalam memberi nafkah dan
pakaian pada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang baik yaitu dengan
kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri masing - masing dengan
tidak berlebih lebihan atau juga terlampau kurang sesuai dengan dengan
kemampuan dan kemudahan yang dimiliki seorang bapak sebagai lanjutan
ayat berikutnya14.
QS. An Nisa (4): 34

ُ ‫الصالِ َح‬
‫ات‬ َّ َ‫ض َوبِ َما أَنْ َف ُقوا ِم ْن أ َْم َوالِ ِه ْم ف‬ ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬ َ ‫َّل اللَّهُ بَ ْع‬ ِ ِ ‫ال قَ َّو ُامو َن َعلَى الن‬
َ ‫ِّساء ب َما فَض‬ َ ُ ‫الر َج‬
ِّ
‫وه َّن فِي‬
ُ ‫وه َّن َو ْاه ُج ُر‬ ُ ُ‫وزُه َّن فَ ِعظ‬ َ‫ش‬ ُ ُ‫ظ اللَّهُ َوالالتِي تَ َخافُو َن ن‬ َ ‫ب بِ َما َح ِف‬ ِ ‫ات لِلْغَْي‬ٌ َ‫ات َحافِظ‬ ٌ َ‫قَانِت‬
ِ‫ض‬
‫اج ِع‬ َ ‫ال َْم‬
‫وه َّن فَِإ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَال تَ ْب غُوا َعلَْي ِه َّن َسبِيال إِ َّن اللَّ َه َكا َن َعلِيًّا َكبِ ًيرا‬
ُ ُ‫ض ِرب‬
ْ ‫َوا‬

" Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar"

Tafsir ayat

13
Abû Ja`far Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi` al-Bayân `An Ta`wîl Âyi al-Qur`an, (Beirut :
Dâr al-Fikr, 1988), Juz II, hal. 495-496
14
Imam Imaduddin Abu Fida Ismail Bin Umar Bin Ibnu Katsir" Tafsir Alquran Al Adzim",(Birut: Dar
Kutub Ilmiah, 2005), hal.377

9
Dari ayat di atas dapat dipahami secara umum bahwa laki-laki
memiliki peran sebagai pelindung dan pendidik bagi istri-istri mereka
serta bertugas menanggung segala kebutuhan keluarga sesuai dengan
perintah agama. Hal itu disebabkan Allah Swt telah melebihkan kaum
laki-laki atas kewajiban materi berupa mahar dan nafkah yang harus
mereka berikan kepada istri-istri mereka. Oleh karena itu, dengan
dipenuhinya tanggung jawab (atas mahar dan nafkah) yang dilimpahkan
kepada laki-laki, maka mereka dijadikan pemimpin atas kaum wanita.15
Sedangkan Imam Jalaluddin As Suyuti dalam tafsirnya ketika
menjelaskan ayat tersebut mengatakan bahwa dengan kelebihan yang
dimiliki oleh laki - laki sepeti ilmu , akal dan ototnya dan sebagainya
berkewajiban untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami dan
menasehati istrinya jika melakukan nuzhus karena mereka (laki- laki)
adalah pemimpin bagi kaum perempuan (dalam rumah tangga).16

b. Hadits
1. Hadits Riwayat Abu Dawud

Hadis dari Hakîm bin Mu`awiyah al-Qusyairy dari ayahnya yang


mengatakan bahwa : aku bertanya kepada Rasulullah saw :
"Wahai Rasulullah apa hak istri atas suaminya?"Rasul menjawab
:"Berilah ia makan jika kamu makan, berilah ia pakaian jika kamu
berpakaian atau kamu berpenghasilan, dan janganlah kamu
memukul wajahnya dan jangan mencelanya, dan jangan
mengasingkan atau meninggalkannya (berpisah ranjang) kecuali
dalam satu rumah." Abû Dâwud berkata:Janganlah kamu

15
Abû Ja`far Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi` al-Bayân `An Ta`wîl Âyi al-Qur`an,
(Beirut : Dâr al-Fikr, 1988), Juz I4, h. 57
16
Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuti , " Tafsirul Quran Al Karim" ( Beirut: Dar Kutub
Ilmiyah, 1998),84

10
mencelanya dengan mengatakan "Allah telah mencelamu". (H.R.
Abû Dâwud).17

Syarah Hadits

Hadis ini menjelaskan tentang kewajiban seorang suami


memberikan nafkah berupa makanan dan pakaian kepada istrinya di
saat dia juga mampu memberikan atau memenuhi keduanya itu untuk
dirinya sendiri. Hadis di atas juga menjelaskan kewajiban menjauhi
(menghindari) untuk memukul wajah istri dalam memberikan pelajaran
(ta`dîb) kepadanya, dan larangan berkata buruk atau mencelanya, serta
larangan menjauhinya dengan memindahkannya ke tempat lain di luar
rumahnya.18
2. Riwayat Al Bukhari

"Dari `Âisyah bahwa Hindun binti `Ûtbah berkata : "Wahai Rasulullah,


sesungguhnya Abû Sufyân itu suami yang sangat pelit. Ia tidak
memberikan nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidupku dan anakku,
kecuali harta yang aku ambil darinya sementara ia tidak
mengetahuinya."Kemudian Beliau bersabda :"Ambillah
harta itu secukupnya untuk keperluan hidupmu dan anakmu dengan
cara yang baik (wajar)." (H.R. Bukhari).19

Syarah Hadits

17
Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ast al-Sijistani, Sunan Abî Dâwud, Kitab : al-Nikâh, Bab: Fî Haqqi
al-Mar’ah `Alâ Zaujihâ, Hadis No. 1830, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1994) , Juz.I, h. 491.
18
Abû Thayyib Muhammad Syamsu al-Haqq al-`Azhîm Âbâdî, `Aun al-Ma`bûd Syarh Sunan Abî
Dâwud, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2001), Cet. I, Juz. IV, hal. 240
19
Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ`îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhâri, Kitab : al-Nafaqât, Bab :
Idzâ Lam Yunfiq al-Rajul Fa li al-Mar`ah an Ta`khudza bi Ghairi `Ilmihi Mâ, Hadis No. 4945, (Beirut
: Dâr al-Fikr, tth), Juz.VII, hal.85

11
Hadis di atas menjelaskan tentang bolehnya seseorang
mengadukan permasalahan yang sedang dihadapinya kepada
orang lain, tanpa sepengetahuan orang yang dibicarakan, dengan
tujuan meminta fatwa atau solusi dari permasalahan yang
dihadapinya. Ini merupakan salah satu macam ghibah yang
dibolehkan. Hadis in i dilatar belakangi oleh kasus Hindun binti
`Utbah yang mengadukan kepada Rasulullah Saw. perihal
suaminya, Abu Sufyan, yang dikatakan sebagai suami yang kikir,
dan memberikan nafkah dengan jumlah yang tidak mencukupi
kebutuhan dirinya dan anaknya, padahal Abu Sufyan termasuk
orang yang mampu. Dari kejadian di atas, Rasulullah Saw
membolehkan Hindun mengambil harta Abu Sufyan sebagai
tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan diri
anaknya, dalam kadar atau jumlah secukupnya, tanpa
sepengetahuan Abu Sufyan. Hadis ini juga mengisyaratkan
tentang kewajiban seorang bapak untuk menafkahi anaknya,
meskipun anak tersebut sudah dewasa. Secara umum, hadis di
atas menjelaskan bahwa seseorang yang hak (harta) nya berada
di tangan orang lain dan belum dipenuhi, maka dia diperbolehkan
mengambil hak miliknya tersebut dari harta orang yang belum
melunasinya sejumlah harta yang ditangguhkan, dan tanpa seizin
orang tersebut.20
c. Ijma'
Para ulama telah menyepakati adanya kewajiban suami untuk
memberi nafkah kepada istri, yaitu apabila telah terpenuhi syarat-syarat
yang mewajibkannya. Sebab seorang istri yang berada di bawah
penguasaan sang suami tidak diperkenankan untuk bekerja, oleh karena
itu ia harus dinafkahi oleh suami sebagaimana hamba sahaya yang

20
Ibnu Hajar al-`Asqalanî, Fathu al-Bârî, (Beirut : al-Maktabah al-Salafiyyah, 1407 H), Cet. III, Juz
IX, h. 419-420

12
berada dalam kekuasaan tuannya.21 Penganalogian (pengqiyasan) istri
dengan hamba sahaya di sini, bukan berarti menyamakan keduanya
dalam hal status, sebab menganalogikan sesuatu dengan hal lain yang
tidak sepadan adalah bâthil (tidak sah), begitu pula istri yang merdeka
jelas-
jelas berbeda dengan hamba sahaya. Jadi, analogi istri dengan hamba
sahaya dalam konteks nafkah ini hanya menekankan perihal
penguasaan saja, di mana seseorang (baik orang merdeka atau pun
budak) yang yang ditahan haknya oleh pihak lain, untuk memenuhi
sebagian hak sang penahan, maka bagi pihak yang menahan itu harus
menanggung nafkah dan kebutuhan orang yang ditahannya tersebut.
Dari dalil-dalil di atas, penulis menyimpulkan bahwa kewajiban
memberi nafkah kepada istri adalah merupakan kewajiban agama. Hal
itu sudah dikuatkan oleh dalil Al-Qur`ân al-Karîm dan Sunnah al-
Nabawiyah, sehingga tidak ada alasan bagi suami untuk mangkir dan
menghindar dari kewajibannya. Bahkan meski istrinya itu kaya raya dan
punya penghasilan sendiri. Secara dasar hukum, kewajiban suami tidak
pernah gugur. Kecuali hanya bila ada kerelaan dari istri untuk tidak
diberi nafkah bahkan bila dia rela untuk menafkahi suaminya.
3. Syarat- Syarat Mendapatkan Nafkah
Di antara syarat wajibnya istri menerima nafkah dari suami
menurut mayoritas ulama, adalah sebagai berikut :
a) Istri memberikan kuasa kepada suaminya atas dirinya, baik dengan
menyerahkan diri sepenuhnya (al-taslîm) ataupun dengan
menampakkan kesiapannya untuk menyerahkan diri dengan tidak
menolak keinginan suami, terlepas dari terlaksana atau belum
terlaksananya hubungan seksual di antara keduanya.38 Dalam hal ini,
ulama Mâlikiyyah mensyaratkan wajibnya nafkah dengan adanya
ajakan dari sang istri atau wali mujbir (ayah)nya kepada sang suami

21
Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf al-Nawawî, Shahîh Muslim Bi Syarh al-Nawawî, Kitab :
al-Hajj, Bab : Hujjah al-Nabi Saw, Hadis No. 2137, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1983), Juz. IV, h. 183-184

13
untuk berhubungan intim, dan meskipun belum terlaksana, istri tetap
wajib menerima nafkah.22
b) Istri sudah dewasa (bâligh) dan dimungkinkan untuk digauli. Dan jika
istri masih kecil dan tidak dapat digauli, maka dia tidak berhak
mendapatkan nafkah. Karena wajibnya nafkah harus disertai dengan
tercapainya kenikmatan dari hubungan seksual antara suami-istri,
sehingga nafkah tidak menjadi wajib dengan adanya hal-hal yang
menghalanginya yang berasal dari pihak istri.23 Namun jika suami yang
belum dewasa (masih kecil), sementara sang istri sudah bâligh, maka
suami tetap wajib memberinya nafkah, sebab penghalang untuk
melakukan hubungan suami-istri berasal dari pihak suami. Akan tetapi
ada sebagian ulama Malikiyah (al-Haththâb) yang mengatakan bahwa
jika kondisinya demikian (suami belum bâligh) dan istri telah mengajak
sang suami yang belum baligh (dewasa) untuk berhubungan, maka
istri belum berhak mendapatkan nafkah begitu juga dengan maharnya,
sampai suami yang masih kecil tadi mencapai usia baligh dan mampu
ber-jima` dengan sang istri.24
c) Adanya akad nikah yang sah, sehingga apabila akad nikahnya
rusak (fâsid), maka suami tidak wajib memberi nafkah istrinya,
karena akad yang rusak wajib untuk dibatalkan dan suami-istri
dilarang untuk melakukan hubungan. Ini adalah ketentuan yang
sudah disepakati.25
d) Tidak terabaikannya hak-hak suami di saat istri sudah berada dalam
penguasaan suaminya dengan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh
syari`ah Islam atau dengan perbuatan yang bukan disebabkan oleh
sang suami sendiri, seperti : nusyûz-nya sang istri atau sesuatu hal

22
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhû, (Beirut : Dâr al-Fikr al-Mu`âshir,
2002), Cet. IV, Juz.X, h. 7349
23
Abû `Abdullah Muhammad bin Idrîs al-Syâfi`î, al-Umm, (Beirut : Dâr al-Kutub al- `Ilmiyyah,
2002), Cet. I, Juz. V, h. 128.
24
Abû `Abdullah Muhammad bin Muhammad al-Haththâb, Mawâhib a-Jalîl, (Beirut : Dâr al-Fikr,
1978), Cet. II, Juz. IV, h. 181
25
Alâ al-Dîn Abî Bakr bin Mas`ûd al-Kâsânî, Badâ`i al-Shanâ`i..., h. 23

14
yang diperbuat oleh suami, maka istri tetap berhak mendapatkan
nafkah.26
4. Sebab - sebab Istri Tidak Mendapatkan Nafkah
Pemberian nafkah oleh suami terhadap istri bisa tidak diberikan
jika istri melakukan hal - hal berikut :

a. Nusyuz' (membangkang)
Yang dimaksud dengan nusyûz di sini adalah : keluar dari taat
(membangkang), atau dengan kata lain istri dikatakan nusyûz jika dia
membangkang terhadap suami dengan tidak memenuhi hak-haknya, dan
sebagai konsekuensinya hak nafkah istri menjadi gugur selama masa
nusyûznya. Sebab nafkah diwajibkan dengan adanya penyerahan diri, dan
gugur dengan adanya penolakan.27 Ungkapan di atas diperkuat dengan
pendapat Ulama Malikiyah bahwa apabila seorang istri nusyûz
(membangkang) kepada suaminya setelah sang istri digauli, maka gugurlah
hak nafkah istri, kecuali jika istri tersebut dalam keadaan hamil. Namun jika
istri yang durhaka kepada suaminya itu telah bertobat dan kembali ke sisi
sang suami, maka dia berhak mandapatkan hak nafkahnya kembali. Dan
hak nafkah untuk istri tidak dapat gugur atau hilang dengan hal-hal lain,
kecuali karena faktor nusyûz, sehingga apabila sang istri sakit, sedang
haid, nifas, atau yang lainnya, dia tetap berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya.28
b. Murtad (Keluar Dari Islam )
Apabila istri murtad, maka hak nafkahnya manjadi gugur, karena dia
telah berbuat maksiat dengan keluar dari agama Islam dan menyebabkan
hubungan suamiistri menjadi terhalang (haram bagi keduanya). Akan
tetapi, jika istri yang murtad itu kembali memeluk agama Islam sebelum

26
Abû Bakr Muhammad bin Ahmad al-Sarakhsî, Al-Mabsûth, (Beirut : Dâr al-Kutub al- `Ilmiyyah,
2001), Cet. I, Juz. V, h. 169
27
Ibnu Manzhûr al-Afrîqî, Lisân al-'Arab, h. 418, yang dimaksud nusyûz: kebencian yang terjadi di
antara suami-istri
28
Abû `Umar Yûsuf bin `Abdullah al-Qurthubî, al-Kâfî Fî Fiqh Ahli al-Madînah al-Mâlikî, (Beirut :
Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1992), Cet. II, h. 254-255

15
masa `iddahnya habis, maka hak nafkahnya dapat kembali ia peroleh,
seperti halnya istri yang sebelumnya kafir kemudian masuk Islam. 29
Dengan kata lain, istri yang murtad tanpa adanya paksaan, hak
nafkahnya menjadi gugur. Sebab dengan murtadnya sang istri, maka ia
dianggap telah berbuat nusyûz dan telah menghalangi suaminya untuk
bersenang-senang (istimtâ`) dengan dirinya. Dan istri nusyûz
(sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya) harus menanggung
konsekuensi digugurkan hak nafkahnya selama ia masih nusyûz.
Lain halnya jika suami yang murtad, maka suami tetap wajib
memberikan nafkah kepada istri, dan hak nafkah istrinya tidak gugur.
Karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari
pihak suami, padahal kalau dia (suami) mau menghilangkan halangan
hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa
melakukannya (jima`) kembali dengan sang istri.30
Jadi, dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas, seorang istri wajib
dan berhak memperoleh hak nafkahnya dari sang suami, sebaliknya jika
salah satu di antara syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka hak nafkah
atas istri dapat menjadi gugur.
5. Pandangan Hukum Islam Terhadap Istri yang Bekerja
Istri yang bekerja membantu suami untuk memenuhi nafkah dalam
keluarga memang tidak terdapat dalil yang mutlaq mengharamkan. Namun
demikian, para ulama berbeda pendapat dengan berbagai alasan yang
dikemukakan didasarkan pada tafsir mereka terhdapa aya maupun hadits.
Dalam sejarah Islam awal, pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan
oleh perempuan pada masa Nabi Saw cukup beraneka ragam. Ada yang
bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan, ada
juga yang menjadi perawat atau bidan. Dalam bidang perdagangan, nama
istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang
yang sangat sukses. Istri Nabi Saw yang lain. Zainab binti Jahsy, juga aktif
bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu

29
Abû Ishâq Ibrâhîm `Ali bin Yûsuf Al-Syîrâzî, al-Muhadzdzab Fî Fiqh al-Imâm al-Syâfi`î,
(Beirut : Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabî, 1994), Cet. I, Juz. II, h. 206
30
Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1983), Cet. IV, Juz. II, h. 150

16
beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah bin Mas`ud, sangat
aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya. Al-Syifa, seorang perempuan yang pandai
menulis, juga ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang
menangani pasar kota Madinah.31
Perihal hukum wanita bekerja di luar rumah, Abû alA`lâ al-Maudûdî
berpendapat di dalam bukunya, al-Hijâb, peran wanita dalam Islam adalah
menjadi seorang ibu rumah tangga. Oleh karena itu, jika suami termasuk
orang yang mampu bekerja dan berusaha, kewajiban istri adalah mengatur
urusan rumah tangga. Wanita adalah pemimpin rumah tangganya, dan dia
akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri
terlepas dari kewajiban atau tanggung jawabnya di luar rumah, seperti
melaksanakan shalat Jum`at atau berjuang, tetapi dibolehkan baginya
melayani para pejuang Islam dalam peperangan jika dibutuhkan.32
Sedangkan menurut Abdul Hamîd Kisyk beliau, peran wanita adalah
sebagai pendidik sehingga dapat membentuk generasi yang baik. Dan
Islam memerintahkan agar kaum wanita dibina sehingga mampu
melaksanakan perannya, yaitu mendidik dan mengarahkan anak-anak.
Pengecualian akan berlaku jika keberadaan wanita dibutuhkan sebagai
dokter dan guru untuk anak-anak wanita. Oleh karena itu, Islam tidak
mengharamkan wanita berkarir secara mutlak. Islam hanya memberikan
persyaratan untuk pekerjaan yang layak bagi wanita, yaitu wanita harus
berperilaku baik, berpenampilan, berbicara, dan berjalan sesuai dengan
ajaran Islam. Hal itu merupakan ketentuan Allah bagi wanita yang jika
dapat diaplikasikan, masyarakat Islami akan dapat terwujud dengan
sempurna.33
Pendapat yang melarang wanita bekerja di luar rumah tampaknya
selalu bertitik tolak dari asumsi adanya perbedaan fitrah antara laki-laki
dan wanita yang pada gilirannya mempunyai implikasi sosial, seperti

31
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung : Mizan, 2003), Cet. XXVI, h.
275-276
32
Al-Maudûdî, Abû al-A`lâ al-Hijâb, Beirut : Muassasah al-Risâlah, 1980. h. 234.
33
Qâsim Amin, al-Mar`ah al-Jadîdah, (Mesir : Mathba`ah al-Sya`b, 1900),h. 86-88

17
perbedaan peran. Mengandung dan melahirkan, tak dapat dibantah,
memang merupakan tugas mulia demi kelangsungan umat, yang hanya
bisa dilakukan kaum wanita. Tapi tidak demikian dengan tugas-tugas
domestik yang lain. Mendidik anak, misalnya, adalah tugas kedua
orangtuanya. Demikian juga dengan mengatur rumah.
Sedangkan alasan pelarangan istri mencari nafkah diluar rumah
didasarkan pada ayat 33 dari QS. Al Ahzab.
ِ ‫الزَكاةَ وأ‬
‫َط ْع َن اللَّ َه‬ ِ َّ ‫اهلِيَّ ِة األولَى َوأَقِ ْم َن‬
ِ ‫وقَ ر َن فِي ب يوتِ ُك َّن وال تَ ب َّرجن تَ ب ُّرج الْج‬
َ َّ ‫ين‬ َ ‫الصالةَ وآت‬ َ َ َ َْ َ َ ُُ ْ َ
ِ ‫الر ْجس أ َْهل الْب ْي‬ ِ ِ َّ
‫ت َويُطَ ِّه َرُك ْم تَطْ ِه ًيرا‬ َ َ َ ِّ ‫ب َع ْن ُك ُم‬ َ ‫َوَر ُسولَهُ إِنَّ َما يُ ِري ُد اللهُ ليُ ْذه‬
" Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya." (Q.S. Al-Ahzab [33] : 33)

Ayat ini menunjukkan perintah kepada kaum wanita untuk selalu


berada di dalam rumah dan tidak keluar kecuali dalam keadaan
darurat, dan larangan bagi mereka untuk mempertontonkan diri
(bertabarruj) serta bercampur dengan laki-laki sebagai tindakan
untuk memuliakan mereka. Meskipun ayat ini diturunkan khusus
untuk istri-istri Nabi Saw, tetapi taklîf (pembebanan)nya juga
mencakup semua wanita muslimah.34
Menurut Abdul `Azîz bin Bâz, seruan kepada kaum wanita
untuk ikut serta mengerjakan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh
laki-laki akan menimbulkan ikhtilâth (percampuran) antara laki-laki
dan wanita, dalam hal ini telah jelas ketetapan dari teks-teks
keagamaan yang melarang terjadinya percampuran antara laki-laki
dengan wanita yang bukan mahramnya, sebab akan menimbulkan
perzinaan dan dekadensi moral. Dengan demikian, wanita yang
keluar dari rumah yang merupakan tempat kediaman sesungguhnya

34
Abû `Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî, al-Jâmi`Li Ahkâm..., Juz. XIV, h. 117

18
bagi para wanita, berarti ia telah keluar dari fitrah dan kodrat asasi
yang telah Allah tetapkan untuknya.35
Jika dipahami lebih mendalam, sebenarnya ulama pun masih
berbeda persepsi dalam menafsirkan ayat tersebut, ada yang
memahaminya sesuai dengan keumuman lafaz ayat dan ada pula
yang memahaminya menurut kekhususan sebab ayat tersebut di
turunkan, yaitu dalam konteks diperuntukkan bagi istri-istri Nabi
Muhammad SAW.
Surat al-Ahzâb [33] ayat 33 yang menerangkan larangan untuk
keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat, sesungguhnya
ditujukan khusus untuk istri-istri Nabi Saw, dan larangan itupun
pernah "dilanggar" oleh Sayyidah `Âisyah yang turut serta dalam
perang Jamal dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama untuk
melaksanakan hukuman qishâsh terhadap orang-orang yang telah
membunuh Sayyidina `Utsmân bin `Affân. Kaum wanita pada
perkembangan selanjutnya sebenarnya sudah terbiasa keluar rumah
baik untuk menuntut ilmu ataupun untuk bekerja tanpa ada
seorangpun yang mengingkarinya, sehingga seolah-olah sudah
menjadi semacam ijmâ` bahwa wanita diperbolehkan keluar rumah
dengan syarat-syarat tertentu.36
Sementara itu, Jâd al-Haq `Ali Jâd al-Haq mengatakan bahwa
keluarnya wanita dari rumahnya mencari nafkah untuk dirinya dan
orang-orang yang berada dalam tanggungannya hukumnya adalah
wajib, jika tidak ada orang dari keluarganya yang mampu bekerja.
Karena Rasûlullah Saw telah mengizinkan kaum wanita untuk keluar
memenuhi hajat atau kebutuhannya (sebagaimana dijelaskan dalam
hadis yang diriwayatkan oleh al-Buhkârî di atas). Dan yang dimaksud

35
Abdul `Azîz bin Abdullah bin Bâz, Majmû` Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi`ah, (alRiyâdh :
Maktabah al-Ma`ârif, 1992), Cet. II, Juz. I, h. 422-423
36
Yûsuf al-Qardhâwî, Fatâwâ Mu`âsharah, (Mesir : Dâr al-Wafâ, 1994), Cet. III, Juz. II, h. 386.

19
dengan kebutuhan di sini adalah umum, tidak hanya untuk
menghilangkan keadaan darurat, maka kebutuhankebutuhan lainnya
diqiyaskan dengan kebutuhan yang darurat tersebut, sebagaimana
wanita diizinkan keluar rumah guna menuntut ilmu.37
Menurut Muhammad al-Ghazâlî, seorang wanita boleh saja
bekerja di dalam maupun diluar rumahnya, namun diperlukan
adanya jaminan-jaminan yang dapat menjaga masa depan keluarga
dan rumah tangganya. Selain itu diperlukan juga suasana yang
bersih dan diliputi dengan ketakwaan, agar kaum wanita dapat
melaksanakan pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya dengan
aman.38
Dalam kaitannya dengan peran wanita sebagai istri yang
diwajibkan untuk memenuhi hak-hak suami, Muhammad Abû Zahroh
berpendapat bahwa seorang istri yang merupakan wanita karir dan
tidak dapat sepenuhnya berada di rumah, dia tidak berhak menerima
nafkah apabila suaminya memintanya untuk tetap berada di dalam
rumah tetapi ia menolaknya. Sebab masa "penahanan" terhadap istri
menjadi berkurang, sementara suami menginginkan secara penuh.
Dan jika sang istri menentang permintaan suami, dia telah berbuat
durhaka (nusyûz). Akan tetapi jika suami rela dengan kondisi
tersebut dan ridho dengan berkurangnya masa penahanan istri, sang
istri tetap berhak menerima nafkah.39
Dalam hal ini Wahbah al-Zuhailî menambahkan, seorang istri
yang bekerja pada siang atau malam hari di luar rumah, baik sebagai
dokter, guru, pengacara, perawat, ataupun pengrajin -dalam
undang-undang yang ditetapkan di Mesir dan Suria- jika suami ridho

37
Jâd al-Haq `Ali Jâd al-Haq, Bayân Li al-Nâs, (al-Qâhirah : Mathba`ah Jâmi`ah al-Azhar, t.th),Juz.
II, h. 183.
38
Muhammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayna Ahli al-Fiqh..., (Beirut : Dâr alSyurûq,
1979), Cet. I, h. 44.
39
Muhammad Abû Zahroh, al-Ahwâl al-Syakhshiyyah, (Beirut : Dâr al-Fikr al-`Arabî, 1957), h. 278.

20
dengan keluarnya sang istri untuk bekerja dan dia tidak
melarangnya, wajib bagi sang istri menerima nafkah, sebab
"penahanan" atas sang istri merupakan hak suami.40
Selain itu Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa
kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam
pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai
aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagi bidang, di dalam
ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang
lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan
tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta
selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula
menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut
terhadap diri dan lingkungannya. Dan secara singkat dapat
dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan wanita yaitu bahwa
"wanita mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan
tersebut.41
6. KESIMPULAN
Dari berbagai pendapat ulama tersebut diatas maka dapat
disimpulkan bahwa istri yang bekerja membantu suami memenuhi
nafkah keluarga hukumnya mubah (boleh) dengan berbagai
persyartan yang telah ditetapkan oleh ulama yakni atas izin dari
suami dan dan memang semata - mata dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Kebutuhan bekerja bagi istri juga perlu
memperhatoiak syarat- syarat yang ditetapkan oleh ulama yaitu
dengan menghindarkan ikhtilat (bercampur dengan laki-laki) dalam

40
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî..., h. 73-78.
41
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung : Mizan, 2003), Cet. XXVI, h.
275-276.

21
pekerjaan untuk menghindari terjadinya hal -jhal negatof yang
mengkin terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul `Azîz bin Abdullah bin Bâz.1992. Majmû` Fatâwâ Wa Maqâlât
Mutanawwi`ah. alRiyâdh : Maktabah al-Ma`ârif
al-Qurthubî , Abû `Umar Yûsuf bin `Abdullah,1992. al-Kâfî Fî Fiqh Ahli al-
Madînah al-Mâlikî. Beirut : Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah.
al-`Azhîm Âbâdî , Abû Thayyib Muhammad Syamsu al-Haqq, `Aun al-
Ma`bûd Syarh Sunan Abî Dâwud.2001. al-Qâhirah: Dâr al-
Hadîts.
al-Bukhârî , Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ`îl, Shahîh al-Bukhâri. tt
Beirut : Dâr al-Fikr
Al-Maudûdî, Abû al-A`lâ. 1980. al-Hijâb, Beirut : Muassasah al-Risâlah.
Amin, Qâsim.1980 al-Mar`ah al-Jadîdah. Mesir : Mathba`ah al-Sya`b.
al-Nawawî ,Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf. 1983. Shahîh Muslim Bi Syarh
al-Nawawî, Kitab.Beirut : Dâr al-Fikr,
al-Sarakhsî , Abû Bakr Muhammad bin Ahmad, Al-Mabsûth.2001. Beirut :
Dâr al-Kutub al- `Ilmiyyah.
al-Syâfi`î , Abû `Abdullah Muhammad bin Idrîs.2020. al-Umm.Beirut : Dâr
al-Kutub al- `Ilmiyyah
Al-Syîrâzî , Abû Ishâq Ibrâhîm `Ali bin Yûsuf.1994. al-Muhadzdzab Fî Fiqh
al-Imâm al-Syâfi`î. Beirut : Dâr Ihyâ` al-Turâts al-`Arabî.
Al-Thabarî , Abû Ja`far Muhammad bin Jarîr.1988. Jâmi` al-Bayân `An
Ta`wîl Âyi al-Qur`an.Beirut : Dâr al-Fikr.
al-Zuhaili , Wahbah. 2002. al-Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhû. Beirut : Dâr al-
Fikr al-Mu`âshir.
Ibnu Hajar al-`Asqalanî, Fathu al-Bârî,1407 H.Beirut : al-Maktabah al-
Salafiyyah.

22
Ibnu Katsir Imam Imaduddin Abu Fida Ismail Bin Umar.2005. Tafsir
Alquran Al Adzim.Birut: Dar Kutub Ilmiah.
Hasan ,Mustofa, 2014.Pengantar Hukum Keluarga,Bandung : Pustaka
Setia
Jâd al-Haq `Ali Jâd al-Haq.tt. Bayân Li al-Nâs, (al-Qâhirah : Mathba`ah
Jâmi`ah al-Azhar
Muhammad Abû Zahroh.1957. al-Ahwâl al-Syakhshiyyah, (Beirut : Dâr al-
Fikr al-`Arabî, 1957
Muhammad al-Ghazâlî, 1979. al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayna Ahli al-Fiqh.
Beirut : Dâr alSyurû.
Muhammad Quraish Shihab.2003. Membumikan al-Qur`an. Bandung :
Mizan
Sayyid Sâbiq. 1983. Fiqh al-Sunnah. Beirut : Dâr al-Fikr
Yûsuf al-Qardhâwî.1994. Fatâwâ Mu`âsharah. Mesir : Dâr al-Wafâ.

23

Anda mungkin juga menyukai