Anda di halaman 1dari 27

Gapura, Desember 1990

Lingkungan Hidup

SATU ORANG, SATU POHON

Banyak sudah orang yang mengeluh, betapa panasnya kota Surabaya, betapa sumpeknya
cuaca yang membuat gerah ini, betapa kotornya udara di sekitar kita. Maka tidak heran
jika kemudian banyak warga kota ini yang merindukan udara segar di kawasan wisata di
pegunungan. Mereka yang punya duit lantas membangun villa, yang kelas pas-pasan
memilih sekedar rekreasi saja sambil melepas kesumpekan.

Tetapi sebenarnya, apakah harus selalu begitu pemecahannya? Apakah tidak mungkin
kita menciptakan sendiri udara segar di lingkungan rumah kita?

BUKAN HANYA MEMANDANG

Ada satu hal yang amat sangat sederhana yang bisa dilakukan setiap orang di
lingkungannya masing-masing untuk melepas kesumpekan, meredakan stress sepanjang
hari, yakni dengan jalan menanam pohon/tumbuhan di halaman rumah sendiri.

Tanam saja pohon apapun, meskipun sekadar tumbuhan hias dalam pot. Rawat sendiri
setiap hari, ciscaya akan sangat banyak manfaatnya, dan itu di luar dugaan semula.

Sudah banyak orang membuat taman di halaman (yang punya halaman) tetapi tak jarang
yang justru menyerahkan perawatan taman itu pada orang lain. Padahal, memiliki taman
justru akan terasa memuaskan manakala dirawat sendiri. Aspek kepuasan itu banyak
didapat dari sisi perawatannya, dan bukan hanya dengan memandangnya belaka.

Satu orang saru pohon, maka usaha kecil ini akan banyak membantu menciptakan udara
segar di kota Surabaya yang sudah banyak dikeluhkan itu.

Dengan menanam satu pohon (ini paling minimal) maka manfaat yang bisa diperoleh
adalah: ada pemandangan segar yang bisa dinikmati setiap hari, ada penyaring udara di
rumah kita, ada produsen oksigen, penghambat debu dari jalan raya.

Dan yang paling penting dari semuanya itu adalah, kita dibiasakan dengan kondisi untuk
memperhatikan suatu jenis kehidupan diluar diri kita sendiri, yaitu kehidupan sebuah
pohon. Kita akan terus diminta untuk memperhatikan, apakah pertumbuhannya sudah
bagus, apakah daunnya tidak terserang penyakit, apakah sudah cukup disiram, bagaimana
dengan kebutuhan sinar matahari, kapan berbunga, apa warnanya dan baunya.

Kita akan terus menerus menikmati sekaligus memberikan jasa bagi kehidupan sebatang
pohon tanaman apa saja. Ini saja sudah amat bagus. Barangkali yang mengerti psikologi
bisa berkata banyak, bahwasanya sebatang pohon yang diperlakukan dengan perawatan
baik akan memberikan kepuasan tersendiri yang menyejukkan batin kita, menyegarkan
perasaan kita.

Sepulang dari kerja di sore hari, sempatkan menengok tanaman itu, siram cukup dengan
satu gelas air misalnya (kalau memang tanamannya kecil), itu saja sudah memberikan
kepuasan tersendiri. Apalagi kalau pagi-pagi sebelun meninggalkan rumah, kita
perhatikan lagi keadaannya.

BALASAN SETIMPAL

Hanya dengan satu pohon, kita akan bisa mendapatkan banyak hal yang sulit didapat dari
manapun. Kita akan bisa tahu bahwasanya pohon/tanaman hias yang bernama Sri Rejeki
itu tidak tahan sinar matahari sehingga harus diletakkan dalam rumah.

Lihat saja tanaman Sri Rejeki yang kebetulan dimiliki seseorang. Daunnya menjulang ke
atas (seharusnya kan ke samping), warnanya kekuning-kuningan, batangnya kurus. Dan
secara keseluruhan tidak menunjukkan kesegaran sama sekali.

Meskipun si pemilik menyiramnya setiap hari, ini menunjukkan bahwasanya dia kurang
perhatian terhadap kehidupan Sri Rejeki. Alangkah sayangnya.

Meski hanya satu tanaman hias dalam pot, kalau diperhatikan, dirawat dengan baik,
dipelajari cara hidupnya, maka pohon itu pasti akan “memberikan” balasannya yang
setimpal pada pemiliknya. Pohon itu juga mahluk hidup, ciptaan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Pohon itu bisa mati.

Bahkan ada yang pernah mengatakan, sebuah pohon yang dirawat dengan kasih sayang
dibandingkan yang dirawat dengan seenaknya, akan menunjukkan penampilan yang lain.

Artinya selain kondisi fisiknya yang berbeda, pohon tersebut akan memancarkan
ekspresinya dengan caranya sendiri. Para pecinta tanaman tahu betul bagaimana sebuah
pohon "berterima kasih” pada perawatnya.

TERAPI JIWA

Hanya dengan sebatang tanaman, sebenarnya bukan hanya urusan soal tanam menanam
saja. Ini ada hubungannya dengan semacam terapi jiwa melalui alam lingkungan. Terapi
juga bisa dilakukan dengan penghayatan terhadap kehidupan di sekitar kita, kehidupan
mahluk lain, termasuk pohon dan tanaman pada umumnya.

Betapa nikmatnya merawat pohon dengan ketulusan hati. Tidaklah ini suatu terapi yang
menyejukkan? Orang kota sudah terserang stress oleh berbagai persoalan, dan sebatang
tanaman sebetulnya merupakan alternatif untuk mengendorkan ketegangan itu.
Kita rasanya perlu bertanya pada diri sendiri, betulkah kita ini cinta alam dan
lingkungan? Apakah kita ini sesungguhnya bukan manusia yang egois? Seberapa banyak
kita tahu tentang kehidupan sebuah pohon?

Rasa-rasanya kita perlu melakukan introspeksi sebelum kita kehilangan jatidiri sebagai
manusia yang manusiawi. Sungguh, ini bukan soal sepele, bukan soal “marilah kita
menghijaukan kota Surabaya agar mendapat Adipura lagi”. Ini soal kemanusiaannya
manusia.

Mari kita sekadar menghitung, kalau setiap orang menanam satu pohon maka dalam
rumah kita (misalnya) beranggotakan lima jiwa akan terdapat lima pohon. Masing-
masing di bawah pengawasannya sendiri, dan bukan pasrah bongkokan dengan tukang
kebun. Lalu sudah berapa banyak pohon yang bisa dihadirkan bagi seluruh warga
Surabaya?

Pernahkan kita merasa “kering” saat melihat sebuah rumah tanpa pepohonan sama
sekali? Rumah-rumah di kawasan real estate bagaikan kumpulan kotak korek api tanpa
kehidupan sama sekali hanya lantaran tak terlihat pohon sebatangpun. Alangkah
memprihatinkanya.

Perencanaan kawasan pemukiman sering dilakukan njelimet, namun perencanaan


pepohonan seringkali dinomor belakangkan. Kita babat dulu apa saja, kita ratakan
tanahnya, kita bangun rumah-rumah, baru kita tanami pohon seadanya. Ini harus diubah.

Rasa-rasanya kita tak perlu bicara muluk-muluk. Mulai saja dengan menanam sebuah
tanaman apa saja di halaman sendiri. Inilah langkah kongkrit untuk ikut serta
menciptakan lingkungan yang segar, sehat dan bermanfaat bagi iklim kota, juga bagi
kehidupan kita sendiri, kehidupan manusia yang selama ini merasa jadi penguasa alam
semesta.

Kira rasa-rasanya perlu toleran terhadap jenis mahluk hidup yang lain dalam hal ini
kehidupan tanaman. Manusia bukan pemilik tunggal planet bumi ini. Bumi adalah juga
milik tanaman, milik margasatwa, bahkan juga milik batu-batuan. Manusia hadir di bumi
bukan sebagai penguasa, tapi khalifah. Nah inilah soalnya. Sudahkah kita menjadi
khalifah ini, setidaknya bagi diri sendiri.

Barangkali tulisan ini kala diteruskan akan menjadi sebuah khotbah agama. Tetapi yang
paling baik adalah langsung melakukan tindakan sendiri, di rumah sendiri. Kita bersihkan
dulu sapu yang akan digunakan untuk membersihkan lingkungan yang kita anggap kotor
itu. Kita mulai tanam pohon, sekarang juga mengapa tidak?

***** H.N. *****


Gapura, Mei 1991

Lingkungan Hidup

PERAN SERTA KITA UNTUK MENGATASI PENCEMARAN UDARA

Sudah laman orang bicara soal pencemaran udara. Katakanlah di kota Surabaya, semua
orang bisa merasakan bahwa kota ini terkena pencemaran udara. Siapa yang
bertanggungjawab terhadap masalah ini? Barangkali bisa saja telunjuk diarahkan ke
pemerintah, ke pemilik-pemilik pabrik yang menyemburkan asap hitam ke udara, juga ke
pemilik kendaraan bermotor yang mengeluarkan asap tebal dari knalpotnya.
Pertanyaannya sekarang, lantas apa yang bisa kita lakukan?

Sebaiknya kesampingkan dulu mencari kambing hitam dari masalah ini. Udara menjadi
tercemar karena terjadi ketidak-seimbangan proses kimia dan fisika di udara sehingga
menimbulkan gangguan. Dalam pengertian yang lebih gampang, udara kita itu sedang
kotor oleh benda-benda yang tidak semestinya melayang-layang di udara.

Akibatnya sudah kita tahu semua, badan kita menjadi cepat kotor manakala berada di
udara terbuka. Debu banyak beterbangan, pernafasan juga terganggu, sinar matahari tak
bebas mencapai permukaan bumi, dan kita terasa sesak untuk menghirup udara.

Itulah sebabnya maka udara segar terasa amat mahal. Orang hanya bisa menghindar dari
masalah ini, misalnya lari keluar kota mencari udara segar, tetapi udara kotor di kotanya
sendiri tetap saja tak teratasi.

CARA SEDERHANA

Untuk mengetahui bahwa udara kita terkena pencemaran, memang diperlukan cara-
penelitian yang tentu tak semua orang bisa melakukannya, karena itulah kalau kita
mengeluh soal pencemaran udara ini, maka biasanya pihak yang merasa dituduh atau
bertanggung jawab soal ini selalu mengelak, “apa buktinya, mana penelitiannya?”.

Mungkin itu tugas pada pakar untuk menjawabnya. Tetapi bukan berarti kita sendiri tidak
bisa membuktikan adanya pencemaran udara dengan cara-cara yang sederhana. Soal
berapa kadarnya itu tak penting, tetapi dengan cara yang biasa-biasa saja sebenarnya kita
bisa melakukan pembuktian itu.

Misalnya begini: kalau kita seharian berjalan di jalan raya, atau setidaknya cukup lama
berada di udara terbuka dan melakukan kegiatan tertentu, kita berkeringat bukan? Nah
usaplah wajah, lengan, leher kita dengan sapu tangan (kalau perlu sedikit dibasahi). Apa
yang terjadi? Sapu tangan itu terlihat kotor oleh debu-debu yang menempel di tubuh kita.
Itu adalah bukti sederhana bahwa udara tercemar.
Ada lagi begini. Ambil sehelai daun, tutup kedua permukaannya dengan lipatan kertas,
jepit atau tindih dengan buku dan biarkan beberapa lama. Ketika lipatan kertas itu dibuka,
nampaklah bagian bergambar daun berwarna hitam. Itu juga bukti pencemaran udara.

Untuk membuktikan bahwa bagian hitam itu adalah pencemaran udara, bisa diuji dengan
cara begini. Ambil sehelai daun lagi, bersihkan salah satu permukaannya dengan kapas
yang dibasahi dengan alkohol. Lantas tempelkan selotip di situ. Pada sisi yang lain, tanpa
dibersihkan dengan alkohol, langsung tempelkan selotip. Kemudian semua selotip
dibuka. Terlihat di situ perbedaan kedua selotip kotor dan agak bersih lantaran perbedaan
pada sisi daun yang kotor dan sudah dibersihkan.

Pencemaran udara memang tidak hanya berupa debu, sebab yang paling banyak terjadi
justru berupa gas-gas yang seharusnya tidak melayang-layang di udara. Lebih berbahaya
lagi kalau yang melayang-layang itu adalah jenis-jenis logam berat. Kita coba uji apakah
udara di sekitar kita mengandung logam berat atau tidak. Caranya sederhana saja. Ambil
sebuah magnit (misalnya magnit tapal kuda), masukkan dalam kantong plastik,
gantungkan, diserambi rumah dan biarkan semalaman. Esok hari kita akan bisa buktikan
apakah ada debu-debu menempel di plastik berisi magnit itu.

Sebagaimana pelajaran di SD dulu, setiap partikel yang menempel di magnet bisa


dipastikan itu besi atau logam-logam berat. Jadi kalau ada debu menempel, itu adalah
logam-logam berat yang ternyata memang melayang-layang di udara sekitar kita.

Sebenarnya ada indikator gampang untuk mengetahui udara bersih atau tercemar. Cari
saja di sekitar rumah kita semacam jamur berwarna putih, menempel di pohon, batu,
kayu, tembok. Warnanya putih, mirip sekali dengan panu di tubuh manusia. Kalau kita
tidak menemukannya, itu adalah bukti bahwa udara di situ sudah tercemar (betapapun
sedikit kadarnya) karena jamur seperti panu itu (namanya Lichenes) hanya bisa hidup di
udara bersih. Jika udara kotor maka Lichenes akan mati.

Itulah sebabnya kalau kita kebetulan rekreasi ke udara sejuk, akan tahu bahwa di tembok
atau pohon, bisa terlihat ada tempelan-tempelan putih seperti panu namun warnanya lebih
putih lagi. Memang itu Lichenes, dan berarti udara disekitar situ memang bersih.

Caa-cara sederhana itu tadi baru sebagian kecil yang bisa menunjukkan adanya
pencemaran udara. Padahal dengan udara yang tercemar bisa berakibat lebih jauyh,
misaalnya berupa sakit batuk-batuk (yang tentunya juga berakibat bagi burung yang
mengandalkan udara sebagai ruang bermainnya).

Pencemaran udara menjadikan hujan tidak lagi murni dan bersih, lantaran awan yang
menggumpal sebelumnya sudah mengandung berbagai macam partikel (termasuk logam
berat dan gas-gas berbahaya), sehingga hujan menjadi kotor. Tentu saja air hujan yang
seperti ini tak bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari.
Kita tentu ingat betapa masa kecil dulu suka sekali berhujan-huhan di jalan, apalagi hujan
yang pertama turun memulai musim hujan. Tetapi dalam situasi seperti sekarang ini,
apalagi di kota besar seperti Surabaya, hujan sudah kotor, lebih-lebih hujan pertama.

Kalangan ahli lingkungan menyebut ini adalah hujan asam, yang menyebabkan tanaman
bisa mati, ikan dalam kolam tidak bisa bernafas, mobil yang kehujanan akan berkarat,
manusia kehujanan akan sakit kulit dan sebagainya.

APA PENYEBABNYA?

Pada mulanya alam ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga menjadi seimbang. Tak
terkecuali udara, sudah mengandung gas-gas yang dibutuhkan oleh mahluk hidup. Ada
21 persen Oksigen, 78 persen Nitrogen dan selebihnya gas-gas lain. Itu gampangnya.
Setidaknya dua gas itulah yang paling penting dan banyak dibutuhkan oleh mahluk
hidup.

Udara tak bisa kita raba dan kita lihat, namun bisa terasakan kehadirannya, serta sangat
penting dan sangat dibutuhkan keberadaannya. Udara yang diam saja akan juga
menyusahkan manusia. Coba saja berada dalam ruangan tertutup, pengap bukan? Itu
karena tak ada sirkulasi udara, sehingga oksigen tak bertambah, malah berkurang karena
digunakan untuk pernafasan kita.

Jadi, salah satu penyebab udara menjadi terganggu, adalah manakala sirkulasi tidak
lancar. Mengapa tidak lancar, sebabnya macam-macam, antara lain seperti kalau kita
berada di ruang tertutup itu tadi (tanpa bantuan apapun).

Oksigen yang terdapat di udara bebas itu, kalau tercampur dengan gas-gas lain yang
masuk ke udara, maka berakibat ganggunan pada pernafasan manusia dan mahluk hidup
lainnya. Gas-gas yang masuk itu misalnya berasal dari asap knalpon, kebakaran hutan,
asap pesawat terbang dan banyak lagi.

Salah satu penentu keseimbangan di muka bumi ini adalah kehadiran tumbuhan-
tumbuhan. Kita tentu tahu bahwasanya tumbuhan mampu melakukan proses fotosintesa
(pemasakan di daun). Proses ini memanfaatkan energi matahari untuk menghasilkan
makanan yakni karbohidrat. Fotosintesa membutuhkan zat asam arang (CO2) dan justru
menghasilkan oksigen alias O2. Nah oksigen inilah yang dibutuhkan manusia untuk
pernafasan sehari-hari.

Kalau di suatu daerah tidak ada tumbuhan, maka bisa dipastikan udara sekitar situ terasa
sesak, kurang oksigen. Sebagai percobaan, coba saja berada di bawah pohon saat siang
hari. Selain ternaung dari sengatan sinar matahari kita bisa merasakan kesejukan
dibanding sama-sama ternaung oleh payung misalnya.

Dalam skala yang lebih luas, kalau hutan dimuka bumi ini berkurang, maka tentu
berkurang pula proses fotosintese yang menghasilkan oksigen itu. Kandungan oksigen
dalam udara menjadi lain dibanding kalau banyak hutan. Akibatnya, atmosfirpun menjadi
terganggu. Hanya dari sisi ini saja, kita tahu, betapa pentingnya fungsi tumbuhan.

Padadal tumbuhan (tumbuh sendiri) atau tanaman (sengaja ditanam) punya fungsi juga
sebagai penyaring udara, penangkap hujan dan mengatur suhu udara. Selain peran
fotosintesa, tumbuhan dan tanaman juga berperan mengurangi panas yang dipantulkan
oleh bumi.

Karena itu, hutan bagi bumi kita ini sebenarnya sebagai saringan/filter yang menyaring
udara kotor, dan menggantinya denagn udara bersih. Nah, tahu bukan betapa pentingnya
hutan tetap dijaga, dan bukan hanya diambil kayunya belaka?

PERAN SERTA KITA

Persoalan lingkungan hidup memang seringkali bersifat global. Artinya, apa yang terjadi
di Amerika misalnya, suatu ketika akan berpengaruh di Indonesia. Kerusakan hutan di
negeri kita juga nantinya akan berakibat di Eropa. Pencemaran industri di manapun, akan
selalu menyebar dalam berbagai bentuk kerugian di mana-mana.

Belum lagi reda kehangatan perang Teluk yang menghebohkan itu. Banyak orang bilang
bahwa perang di kawasan Arab itu juga berarti perang lingkungan. Karena siapapun yang
menang, maka lingkungan hidup jelas-jelas dirugikan.

Kilang minyak dibakar hinggap asap tebal membumbung tinggi, senjata-senjata kelas
berat memuntahkan peluru pemusnah mahluk hidup (baca: termasuk hewan dan
tumbuhan), pencemaran minyak di laut yang mematikan kehidupan di sana, dan banyak
lagi kerusakan lingkungan terjadi akibat manusia tak mau saling mengalah. Masih
“untung” senjata kimia belum sempat bicara.

Membayangkan kerusakan lingkungan akibat Perang Teluk itu, juga perang lainnya,
terasa dunia kita ini hampir kiamat. Pabrik-pabrik di berbagai negara sudah sedemikian
besar sumbangannya pada pencemaran udara dan air, ditambah lagi soal perang. Hutan-
hutan pun ditebang tanpa kendali hingga melahirkan protes di mana-mana. Bencana
nuklir muncul, belum lagi bencana alam seperti banjir, gempa dan sebagainya. Lalu kita
mau apa? Apakah kita yang kecil ini mampu mengatasi itu semua?

Dalam bahasa Inggris ada ucapan: “Think Globally, Act Locally”. Semboyan ini pernah
digunakan saat memperingati Hari Bumi 22 April 1990 yang lalu. Kita memang musti
berwawasan global dalam persoalan lingkungan ini, akan tetapi kita harus bertindak
semampu kita sendiri, selokal mungkin asal sudah bertindak.

Pencemaran toh juga terjadi akibat akumulasi persoalan-persoalan kecil dimana-mana.


Jadi, kalau kita melakukan tindakan ‘kecil’ dilingkungan sendiri dan diikuti banyak orang
dimana-mana, maka itu sangat berarti bagi upaya perbaikan lingkungan kita semua.
Tanamlah tumbuhan di sekitar kita, itu yang pertama. Pertahankan tanaman/tumbuhan
yang sudah ada, juga hutan kita. Hindari kebakaran, bahkan kalau perlu jangan
membakar sampah, karena itu juga berakibat menyumbangkan gas beracun ke udara kita.

Gunakan kendaraan bermotor seperlunya saja, jangan berlebihan, agar mengurangi


semburan asap knalpot ke udara. Kendaraan bermotor pun perlu dirawat sedemikian rupa
agar sedikit sekali mengeluarkan asap. Himbau pabrik agar tak keluarkan asap beracun,
toh bisa menggunakan filter cerobong.

Masih banyak lagi. Akan tetapi hanya sederet saran itu saja, kalau dilakukan secara
massal di mana-mana, aah alangkah segarnya udara kita, udara kota kita. Kapan mau
coba?

***** H.N. *****

Gapura, Desember 1990

MODERNISASI, TRANSPORTASI DAN POLUSI

Pada mulanya hanya sederhana saja. Karena manusia ingin cepat dan mudah mencapai
tujuan, maka dipergunakan binatang sebagai alat transportasi. Kemudian peradaban
berkembang, teknologi mulai merambah keseharian, sehingga lahirlah alat-alat
transportasi yang menggunakan bahan kayu, besi hingga upaya penyempurnaan
berikutnya?

Kemajuan terasa sedemikian pesat manakala teknologi kendaraan bermotor mulai


dikuasai manusia, dan itulah saatnya dampak polusi mulai terjadi, serta munculnya
sejumlah ketergantungan yang menjerat manusia.

POLUSI BUNYI

Kendaraan bermotor kini sudah menjadi alat transportasi yang seolah-olah tak
terpisahkan lagi dalam kebutuhan sehari-hari. Kendaraan bermotor mengalami proses
sedemikian rupa sehingga pada akhirnya telah hadir bukan lagi sekadar alat transportasi
belaka, melainkan sebagai simbol kelas dalam masyarakat atau pertanda status dan
bahkan seakan-akan ikut menentukan sah tidaknya seseorang dianggap sebagai manusia
modern.

Modernisasi, itu memang cuma satu kata, tetapi ternyata tak ubahnya buah simalakama.
Dalam hal transportasi (seperti juga industri) modernisasi juga melahirkan polusi. Karena
kendaraan bermotor menimbulkan suara, maka kebisingan pun terjadi.

Mungkin dengan hanya satu dua tak jadi masalah, namun kalau puluhan bahkan ratusan
kendaraan bermotor berada bersama-sama di jalan raya, alangkah bisingnya. Inilah polusi
bunyi yang betul-betul tak mengenakkan telinga.
Kendati teknologi mencoba mengatasi polusi bunyi dengan jalan menciptakan mesin-
mesin yang nyaris tanpa suara, toh itu hanya dalam jumlah terbatas. Jumlah terbesar yang
masih menguasai jalan raya adalah kendaraan bermotor dengan suara seperti orang teriak
atau hewan mau disembelih.

POLUSI ASAP

Ada polusi kedua berupa asap tebal yang keluar dari knalponnya. Kata para pakar
lingkungan (terutama kesehatan), asap ini banyak mengandung zat kimia yang bisa
merusak paru-paru lantaran racun tersebut terikut masuk melalui jalan pernafasan.

Dikota-kota besar seperti Surabaya ini saja misalnya, persoalan asap tebal ini nampaknya
sepele, tapi justru sudah berada dalam suatu kondisi yang memprihatinkan. Coba saja
berdiri di jalan Tunjungan pada saat jam-jam sibuk. Tidak terlalu lama berada di situ
rasanya muka kita bertambah tebal karena debu menempel dan nafaspun terasa agak
sesak serta bau yang tak enak.

Asap tebal juga diupayakan ditanggulangi dengan penggunaan bahan bakar yang
mengeluarkan sedikit asap. Tetapi sebagaimana bunyi, jika ratusan mobil berada
bersamaan di jalan raya, maka jumlah racun yang keluar toh sama saja.

HEMAT ENERGI

Ada lagi dampak yang muncul bersamaan dengan semakin banyaknya kendaraan
bermotor, adalah pemakaian bahan bakar. Pada mulanya tak begitu dihiraukan dan
persoalan mulai menyengat manakala disadari bahwa bahan bakar terasa semakin
menipis persediaannya.

Energi jenis ini jelas tak dapat diperbarui. Di mana-mana orang mulai teriak ‘hemat
energi’, sehingga penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor semakin
dipertanyakan efisiensinya.

Mesin-mesin pun diciptakan sedemikian rupa, agar hemat dalam mengkonsumsi bahan
bakar. Orang mulai mencari pengganti bensin (ada yang menemukan gasohol), bahkan
sudah dirintis mobil dengan menggunakan tenaga listrik atau tenaga matahari.

Kalau toh manusia suatu ketika mampu menciptakan mobil tanpa bahan bakar berupa
bensin misalnya, itupun tak bisa lancar dan memassal untuk semua jenis kendaraan.
Bagaimanapun dampak seperti ini telah menimbulkan ketergantungan terhadap energi
bahan bakar yang ternyata tak mudah ditanggulangi.

SAMPAH MOBIL

Cobalah menyeberang di salah satu jalan protokol di Surabaya, katakanlah Jl. Basuki
Rachmat. Terasa hanya untuk menyeberang saja sungguh tidak mudah. Ratusan mobil
terus melaju tanpa henti. Jalan raya seolah-olah berubah menjadi sungai kotor yang
mengangkut sampah.

Hanya dalam hal jumlah, keberadaan mobil telah menimbulkan persoalan tersendiri.
Sudah menjadi keluhan ‘klasik’ bahwa jumlah mobil terus bertambah namun panjang
jalan dan lebarnya tak pernah bisa mengejar kebutuhan ruang untuk mobil.

Akibatnya, kemacetan terjadi di mana-mana dan peraturan lalulintas pun berulangkali


diubah tanpa bisa menyelesaikan masalah secara tuntas. Pemindahan arus lalulintas
selama ini tak ubahnya memindahkan kemacetan belaka.

Lantaran soal kemacetan inilah Pemerintah Daerah DKI Jakarta menjadi sedemikian
gelisah. Bulan Maret lalu mulai diujicoba apa yang disebut Restricted Area, yakni
penetapan kawasan tertentu yang hanya boleh dilewati oleh kendaraan bermotor dengan
penumpang minimal empat orang.

Mereka yang terbiasa mengendarai mobil pribadi pun ikut gelisah. Transportasi umum
lantas jadi bulan-bulanan yang dikatakannya belum memadai dalam hal jumlah maupun
pelayanannya.

Namun terlepas dari itu, sesungguhnya dalam hati kecil mereka makin tersinggung sebab
kini tiba-tiba mobil pribadi (termasuk yang …. ) harus tergusur di jalan-jalan itu, persis
nasib yang menimpa ….. (yang disebut terakhir ini pernah dibuang ke laut, dan sisanya
kini terkatung-katung dengan kemungkinan dimusnahkan dari (pemandangan kota
Jakarta).

PERASAAN BERKUASA

Masalah yang muncul adibat kendaraan bermotor adalah juga …… yang secara tidak
langsung ataupun bahkan langsung mengancam keselamatan jiwa manusia. Ada saja …..
yang jatuh dijalan raya setiap hari. Nyaris tiada hari tanpa kematian akibat kecelakaan
kendaraan bermotor di jalan raya.

Ada semacam perasaan ‘berkuasa’ manakala berada di belakang kemudi kendaraan yang
dianggapnya lebih. Lihat saja betapa ganasnya truck berebut ruang di jalan raya, juga
bus-bus yang ngebut tanpa mau peduli pada kendaraan lain yang lebih kecil di sekitarnya.

Mobil biasa pun terlihat lebih berkuasa dibanding sepeda motor, dan disebut terakhir ini
mendesak kendaraan jenis lainnya yang lebih ringkih. Tak heran kalau seorang anak SD
pernah bilang bahwasanya mengendarai sepeda (tanpa motor) di jalan raya dianggap lalat
saja oleh kendaraan lainnya.

Ada semacam kesombongan di kalangan pengemudi yang kendaraannya dianggap lebih


kuat dan perkasa. Sedemikian jengkelnya orang pada para pengemudi yang suka ugal-
ugalan, sampai-sampai ada yang menyebut mereka sebagai ‘setan jalanan’ yang suka
mencabut nyawa orang lain seenaknya.
PERSAIGAN DAN KECEMBURUAN

Barangkali sudah menjadi risiko modernisasi bahwa kemajuan teknologi pada kendaraan
bermotor juga membawa dampak persaingan tersendiri. Orang berupaya memiliki suatu
jenis kendaraan bermotor meski tidak mutlak ditentukan kebutuhannya. Atau lebih
mendasar dari itu, mungkin kendaraan bermotor belum menjadi kebutuhannya dan masih
dalam tahap keinginan belaka.

Karena keinginan mengalahkan kebutuhan inilah maka, misalnya saja, di desa-desa anak-
anak muda lebih rela menjual sawah keluarganya untuk ditukar dengan kendaraan
bermotor yang hanya dijadikan simbol kebanggaan belaka. Paling-paling, sepeda motor
itu dimanfaatkan untuk ngojek yang masih juga belum memuaskannya.

Persaingan keinginan lebih parah di kota, lantaran kendaraan bermotor sudah menjadi
simbol status yang menunjukkan strata tertentu dalam masyarakat. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa banyak orang kaya yang tak puas punya satu mobil saja, dengan alasan
tiap-tiap mobil (katanya) untuk keperluan sendiri-sendiri. Celakanya, ternyata mobil yang
beberapa jumlahnya itu semuanya untuk kendaraan pribadi dan bukan mobil angkutan
umum misalnya.

Sudah punya sedan yang bagus, masih saja ingin lebih bagus lagi dengan merk atau jenis
keluaran terbaru. Tidak hanya itu, nomor polisi pun diperebutkan dengan harga jutaan
hanya sekadar ingin dianggap paling lain belaka.

Hal-hal seperti inilah yang langsung atau tidak langsung lantas menimbulkan perasaan
kecemburuan pada kalangan yang kalah bersaing. Lebih-lebih mereka yang jelas tak
mungkin ikut sebagai ‘peserta’ dalam persaingan tersebut.

Kelas yang disebut terakhir ini biasanya ibarat api dalam sekam yang secara diam-diam
memendam perasaan tidak suka pada orang-orang yang bermobil. Nampaknya ini sepele
atau mengada-ada, tetapi baru kelihatan akibatnya manakala ada suatu peristiwa yang
menyulut kecemburuan ini.

Coba saja simak beberapa kerusuhan dalam demonstrasi (mahasiswa misalnya) yang
disertai perusakan mobil (mungkin bukan mahasiswa yang melakukannya), lantaran
dengan merusak mobil seolah menyalurkan kecemburuannya pada orang kaya.

Juga kerusuhan akibat (kebetulan) ada orang Cina yang menganiaya pembantunya dan
kerusuhan-kerusuhan lain yang disemangati sikap ‘anti ras tertentu’.

Kehadiran kendaraan bermotor ternyata bukan persoalan sederhana. Hanya karena mobil
(tentu diperkuat oleh variabel lainnya) tahu-tahu membawa perubahan struktur sosial di
masyarakat, membawa dampak sosial di masyarakat, membawa dampak sosial psikologis
yang langsung menelusup ke dalam sanubari manusia, mengubah prilakunya dan
mengarahkan pandangan hidupnya.
Sungguh, persoalan kehadiran kendaraan bermotor memang bukan soal sederhana.
Sampai kapan kita bisa mampu meredam dampak sosial psikologis yang tak terkendali
ini. Barangkali alternatif jawabannya ada pada budaya kita sendiri.

Namun budaya tak berarti apa-apa manakala kepentingan ekonomi mendesak terus, tanpa
keinginan memperbaiki diri pada sektor lain. Kepentingan ekonomi seringkali hanya
didasarkan keuntungan belaka, tidak peduli dengan yang lain.

Bagaimana mungkin menghambat laju pertambahan mobil misalnya, kalau untuk bisa
memiliki saja sangat mudah dengan fasilitas kredit seperti sekarang ini. Ada yang bilang,
kita kan tak mungkin melarang orang menjadi kaya. Padahal yang perlu dikerjakan
adalah, bagaimana mengendalikan kekayaan itu sehingga tidak menyusahkan pihak lain.

Ini sudah menyangkut soal kemauan kita untuk menata diri, tergantung apakah kita masih
mau menanggung akibat (baca: polusi) lantaran modernisasi tak mungkin dicegah.
Sebenarnya ada banyak alternatif sederhana yang bisa mengurangi dampak ini, hanya
saja seringkali kita merasa enggan melakukannya. Cari saja sendiri.

***** H.N. *****

Gapura, Januari 1991

Lingkungan Hidup

PENCEMARAN LINGKUNGAN DARI RUMAH TANGGA

Dari dalam rumah kita sendiri bisa timbul berbagai persoalan pencemaran lingkungan
hidup. Dampaknya bisa mengenai anggota dalam rumah sendiri atau lingkungan sekitar,
bahkan ikut andil dalam memperburuk kondisi lingkungan dunia. Hanya dari dalam
rumah, persoalan pencemaran yang muncul ternyata bukan soal sederhana. Nampaknya
tidak terasa, tapi lama-lama bisa menjadi persoalan yang gawat juga.

Dengan apakah kita mencuci pakaian? Dengan deterjen yang super aktif? Barangkali
tidak terasa, bahwa tidak semua deterjen itu bisa terurai sempurna. Pasti masih ada sisa-
sisa yang belum terurai, masih kental, terhanyut ke selokan, lari ke sungai dan akhirnya
menjadi busa ketika sampai ke dam.

Lihatlah sungi-sungai yang penuh dengan enceng gondok, itu adalah bukti biologis
bahwa sungai tersebut mengandung sisa deterjen atau pupuk kimia. Padalah dari sungai
seperti itulah air minum dialirkan ke rumah-rumah kita lewat PDAM.
AKIBAT MODERNISASI

Kita tentu juga senang dengan rumah yang bersih, dan harum baunya. Maka dari itu kita
menggunakan cairan kimia pembersih lantai atau semprotan pengharum ruangan.

Pernah ada cerita, orang Australia sangat suka kebersihan, hingga sedemikian sering
mereka menggunakan bahan pembersih kimia. Akibatnya, cairan-cairan kimia itu
terhanyut ke selokan atau masuk ke dalam tanah, yang sama juga artinya dengan
meracuni lingkungan sendiri.

Kadang atau bahkan sering kita berpikir bahwa dengan melihat lantai rumah bersih, kita
amat senang, tetapi dengan membersihkan menggunakan bahan kimia, maka itu sama
saja dengan sekadar memindahkan kekotoran belaka. Lantai memang bersih, tapi toh
lingkungan sekitar kita yang teracuni.

Soal semprotan ruangan tadi, hampir semua semprotan tersebut menggunakan gas
Chlorofluoro Carbon (CFC). Jenis gas ini termasuk ‘ganas’, lantaran kalau terkumpul
dalam jumlah tertentu bisa melayang-layang ke udara dan bereaksi dengan gas O3
(ozone) yang melapisi bumi kita dari sengatan sinar ultraviolet dari matahari.

Pernah dengar mengenai efek rumah kaca (greenhouse effect)? Ini adalah terjadinya
lapisan baru di atmosfir bumi kita akibat terkumpulnya gas-gas tertentu, sehingga
menghalangi panas matahari kembali ke udara bebas.

Disebut efek rumah kaca lantaran dampak efek ini seperti kalau kita berada dalam
ruangan kaca. Sungguh terasa panas. Atau persis kalau sedang berada dalam mobil tanpa
AC atau jendela yang dibuka.

Nah, soal efek rumah kaca dan lapisan ozon yang berlubang itulah yang akhir-akhir ini
menjadi pembicaraan hangat di seluruh dunia. Barangkali kita yang tinggal di kota besar
seperti Surabaya misalnya bisa merasakan bahwa ternyata hawa atau udara di sekitar kita
agak lebih panas dibanding tahun-tahun yang lalu. Perhatikan datangnya musim hujan
yang sudah bergeser atau lebih lambat dibanding dulu.

Dan kalau mau tahu, masyarakat di negara-negara kecil yang merupakan negara
kepulauan, sekarang mengeluh lantaran air laut muali naik, sehingga mengancam
keberadaan negara mereka akan terhapus dari peta bumi suatu saat nanti. Ini akibat es di
kutub mulai mencair, air laut atau permukaan air laut menjadi lebih tinggi, dan tentu saja
pantai bertambah maju ke darat.

Kembali pada soal-soal sederhana di rumah kita, perhatikan lingkungan sekitar rumah
kita, perhatikan lingkungan sekitar rumah yang terasa tambah sempit sekali adanya tanah
terbuka. Di mana-mana ada semen atau aspal. Bahkan tak jarang ada sejengkal halaman
yang dengan ‘tega’ ditutup semen lantaran hanya kepingin bersih dan terlihat rapi.
Padahal, menutup permukaan tanah dengan semen atau aspal, berarti tidak memberi
kesempatan pada air hujan untuk meresap kedalam tanah. Itu berarti pula tanah tidak
mendapat pasokan air untuk mengisi cadangan air tanah, meskipun justru dari dalam
tanahlah kita menggali sumur untuk diambil airnya. Kita tanpa terasa hanya mengambil
air dari dalam tanah, tanpa ada niatan untuk memberi masukan pada tanah.

Bagaimana supaya dalam rumah kita terasa sejuk di kota yang panas seperti Surabaya
ini? Jawabnya sangat sederhana, pasang saja AC. Maka terjadilah akibat ketergantungan
pada teknologi seperti yang terjadi selama ini.

Rumah-rumah kita harus tertutup rapat agar AC berfungsi. Udara segar dari luar tak bisa
masuk dan kita seolah hidup dalam rumah ikan alias akuarium. Ternyata teknologi
modern malah menjadikan kita terpenjara dalam rumah kita sendiri.

Masih banyak yang bisa dideretkan satu persatu persoalan-persoalan dalam rumah kita
sendiri yang menimbulkan pencemaran pada lingkungan. Semuanya akan tergambar
gamblang manakala kita bersedia untuk introspeksi dalam kehidupan yang modern ini.

Modernisasi sering mempermudah segala urusan, namun hal itu harus kita bayar mahal
dengan dampak pencemaran yang menyertainya. Modernisasi, tak bisa lain harus
dihadapi dengan sikap waspada dan hati-hati.

JALAN KELUAR

Soal mencuci pakaian yang disebutkan tadi, barangkali bisa diatasi dengan jalan tidak
menggunakan deterjen yang katanya super aktif itu. Bahkan dengan semakin kuatnya
daya cuci deterjen itu, maka semakin kuat pula daya cemarnya pada lingkungan. Lebih
baik gunakan sabun biasa, bukan deterjen. Apa bisa bersih?

Gunakan air panas untuk mencuci atau saat mencairkan sabun. Dengan air panas maka
sabun mudah dan cepat terurai, pakaian lebih mudah dicuci tanpa kuat-kuat dan sekaligus
lebih awet. Bahkan kalau bisa gunakan saja buah klerak (klerek) yang sudah mulai
dilupakan itu. Mengapa tidak? Dengan bahan alami, kita tak perlu merasa rendah diri dan
tidak modern atau ketinggalan zaman.

Mengapa suka menggunakan bahan-bahan kimia seperti cairan pembersih lantai? Apakah
tidak bisa dengan bahan-bahan sederhana yang lebih mudah terurai secara kimiawi?
Mengapa kita menabur racun di lingkugnan rumah sendiri?

Memang racun itu tidak berakibat buruk secara langsung pada anggota rumah, tetapi bisa
membunuh mahluk-mahluk kecil dalam tanah yang amat diperlukan dalam proses
kehidupan di tanah itu sendiri. Air klerak pun bisa digunakan untuk membersihkan lantai.
Coba saja.

Kadang tak terhindarkan kalau harus menggunakan semprotan obat nyamuk atau
deodoran dan semacam itu. Barangkali bisa dipilih yang tidak menggunakan CFC dalam
tabungnya. Caranya, ada yang menggunakan sistem semprot dengan cara pemompaan
dan bukan menyemprot secara otomatis lantaran gas tadi. Atau, kalau mau menggunakan
semprotan obat nyamuk, gunakan saja yang dipompa dengan tangan. Sedikit olahraga
memangnya kenapa. Atau kita menjadi tambah malas lantaran kemajuan teknologi?

Dan soal AC tadi semestinya kita tak perlu merasa tergantung kalau tahu cara mengatur
desain rumah sehingga udara sejuk bisa masuk dalam rumah. Takut debu juga ikutan
masuk? Mengapa tak menggunakan ‘tirai hijau’ alias tanaman?

Di kota besar kegemaran memelihara tanaman hias sudah hampir merata. Baik yang di
halaman maupun dalam ruang dan digantung di jendela. Ini sebenarnya bukan semata
soal hiasan namun bermanfaat besar dalam hal penyaringan udara, penyaringan debu dan
penyegar suasana.

Sebagai perbandingan, suatu ketika sempatkan berwisata di hutan heterogen (tanamannya


macam-macam), dan rasakan kesejukan di dalamnya. Apakah tak terlintas di pikiran kita
bahwa sebenarnya suasana seperti itu bisa kita ciptakan sendiri di rumah kita?

Cuma saja, mau kita punya desain rumah yang sejuk, tapi tak jarang persoalannya dengan
rumah tetangga yang terlanjur berdesak-desakan sehingga tak memungkinkan udara
mengalir sempurna. Senyampang suasana yang sumpek itu kebetulan tak terdapat
dirumah kita, maka suasana sejuk ibarat di hutan bisa diatur di rumah sendiri.

Kalau masih bisa, jangan habiskan halaman rumah kita dengan lapisan semen. Sisakan
tanah ‘terbuka’ yang memungkinkan air hujan masuk kembali dalam tanah di halaman
rumah kita. Kalau perlu buat saja semacam lubang dengan isi lapisan batu-batuan, kerikil
dan pasir persis di bawah cucuran air di talang rumah. Ini namanya sumur resapan.

Tentu saja sumur jenis ini tak bisa dipraktekkan di kawasan yang termasuk daerah
rendah. Baru mau digali beberapa meter saja sudah keluar airnya. Sumur resapan amat
cocok dibuat di daerah yang biasanya kering dan sulit air atau daerah tinggi.

Persoalan-persoalan pencemaran dalam rumahtangga sebenarnya bisa diatasi dengan


cara-cara sederhana tanpa perlu bersusah payah menggunakan teknologi canggih yang
pada akhirnya justru membuat ketergantungan baru. Alam telah mengajarkan banyak
pada manusia, hanya saja manusia malas “membacanya”. Betul, alam adalah buku
terbuka.

***** H.N. *****

Gapura,

BAGAIMANA BERSIKAP TERHADAP SAMPAH?

Kota surabaya telah berhasil meraih hadiah Adipura tiga kali berturut-turut. Ini sebuah
prestasi yang amat membanggakan. Hadiah itu tentu bukan atas kerja walikotanya saja,
bukan kerja Dinas Kebersihan saja, juga bukan kerja Pasukan Kuning belaka. Tanpa
berbasa-basi, itu semua berkat partisipasi semua warga kota Surabaya juga. Kota
gemilang bersemangat pahlawan ini tetap terlihat bersih, rapi dan sedap dipandang mata.

Adipura memang membanggakan, dan untuk tetap menjaganya itulah yang amat sulit,
lantaran “pesaing” juga akan terus berlomba merebutnya. Dengan kata lain, kualitas
penilaian semakin tinggi. Surabaya mau tak mau harus mempertinggi nilai yang ingin
diperolehnya agar tak terlampaui kota lain. Lihat saja Daerah Khusus Ibukota yang
sedemikian getol mengimpikan piala kebanggaan tersebut.

Di bawah ini ada resep sederhana bagaimana caranya Surabaya bisa menambah nilai
dalam penilaian Adipura mendatang. Begini, kita tentu semua tahu bahwa sampah itu
selalu sulit dibuang begitu saja. Biasanya memang dipendam dalam tanah, dibakar atau
dijadikan kompos. Ketiga jalan keluar itu tentu tidak bisa memuaskan. Kalau dibakar
maka tentu tak semuanya bisa dibakar, apalagi sampah sampah, harus nunggu kering, dan
tak semua terbakar. Kalau dipendam, tentu jenis-jenis sampah tertentu akan mencemari
lingkungan. Kalau dibuat kompos, ini juga bukan cara paling jitu mengatasi pembuangan
akhir sampah.

Nah, pada dasarnya sampah bisa dibagi dua. Pertama adalah sampah organik, yakni jenis-
jenis sampah yang terdiri dari daun-daunan atau sebangsanya yang bisa hancur sendiri.
Kedua adalah jenis sampah anorganik yang tetap tak bisa hancur kalau dibakar atau
dipendam. Contohnya plastik, kaca, kaleng dan semacamnya. Bagaimana kita bersikap
terhadap jenis sampah yang kedua itulah yang sulit. Padahal, pada sisi yang lain justru
jenis sampah seperti itulah yang dibutuhkan oleh pihak-pihak tertentu.

Lalu kalau memang sampah anorganik ternyata menyusahkan mengapa kita tidak
memisahkannya sejak dari depan rumah kita sendiri? Buatlah dua macam tempat sampah,
yang satu untuk sampah organik dan lainnya untuk yang an-organik. Sampah organik
biasa diambil petugas, dibawa ke tempat pembuangan, dipendam atau didaur-ulang jadi
kompos.

Lalu yang jenis kedua, tak usah repot-repot memikirkan, karena sipemulung akan dengan
senang senang hati mengambilnya. Bukankah dengan cara begitu berarti menolong
mereka juga?

Kita yang tinggal di kota seperti Surabaya ini seringkali “diganggu” oleh pemulung yang
suka nyelonong ke tempat-tempat sampah sekaligus mengambil barang yang masih kita
gunakan. Mereka tak usah dimusihi, sediakan saja satu tempat sampah khusus berisi
plastik, kaleng, kaca atau jenis-jenis lain yang bisa hancur.

Kalau perlu, tempat sampah khusus an-organik ini dikumpulkan dalam wilayah satu RT.
Nah sekarang tinggal tunggu saja, RT mana yang mau mempelopori membuat tempat
sampah khusus untuk sampah an-organik. Sangat ekologis bagi lingkungan dan bersifat
sosial lantaran bisa menolong kaum pemulung. Kita sangat berjasa dalam hal mengatasi
mencemaran akibat sampah di Surabaya tercinta ini. Kalau saja seluruh Surabaya sudah
melakukan pembagian jenis sampah seperti ini, wah ditanggung Adipura akan tetap
tergenggam di tangan.

Sebagaimana kita tahu, sampah-sampah an-organik selalu menimbulkan dilema. Barang-


barang yang kita perlukan sehari-hari nyaris sulit dipisahkan dari bungkus plastik, kaleng
atau mengandung kaca, tetapi kemanakah sampah-sampah itu harus dibuang? Maukah
pabrik plastik “bertanggung jawab” mengambil kembali bungkus-bungkus plastiknya?
Maukah pabrik minuman menerima pecahan botol yang diproduksinya. Begitu pula
dengan kaleng, baterei yang mengandung racun itu, sungguh persoalan yang rumit dan
memusingkan.

Kota Surabaya telah menjadikan kaum pemulung sebagai Mitra Pasukan Kuning (MPK)
dan dengan resep sederhana inilah kita bisa mendukung program MPK itu. Bagaimana
mungkin warga Surabaya bisa dikatakan berpartisipasi terhadap kebersihan kalau
masalah sampah hanya menjadi urusan Pasukan Kuning dan Mitranya belaka?
Memisahkan sampah menjadi dua bagian adalah pekerjaan sepele yang amat berharga
kita tunggu saja pelaksanaannya.

***** H.N. *****

Gapura, Maret 1991

Lingkungan Hidup

SERAGAM ITU BELUM TENTU BAIK

Ada beberapa jenis pisang? Sebut saja pisang susu, pisang raja, pisang ambon, pisang
kepok, pisang hijau, pisang cebol dan sekian banyak jenis lagi. Bayangkan jika kita hanya
boleh menanam satu jenis pisang saja dengan alasan bahwa pilihan kita itu adalah yang
(dianggap) terbaik.

Adanya variasi dalam jenis lantaran adanya perbedaan susunan materi yang membangun
sifat jenis-jenis tersebut. Susunan materi yang menyebabkan perbedaan itu, baik dalam
bentuk maupun sifat mahluk hidup, disebut dengan gen. Inilah yang akan diturunkan dari
orangtua kepada anaknya, sehingga sifat anak adalah gabungan dari sifat ayah dan
ibunya.

Dalam hal pisang, barangkali belum menjadi persoalan, namun keseragaman menjadikan
timbulnya dampak manakala bicara soal padi. Atas nama efisiensi dan peningkatan
produksi maka hanya diupayakan satu jenis padi saja. Ini menimbulkan masalah. Kalau
diserang hama maka akan dengan sangat cepat merambat dalam wilayah jutaan hektar.
Ketergantungan pada satu jenis padi menimbulkan persoalan rawan. Stok pangan bisa
terancam kalau hanya menggantungkan satu jenis saja. Selain itu, mau tidak mau setiap
tahun harus ditingkatkan produksinya agar mencukupi kebutuhan. Ini artinya, harus
dibuka lahan baru, perlu dicari jenis unggul yang tahan hama dan mampu berproduksi
tinggi. Padahal, dan itulah persoalannya: tidak semua jenis lahan bisa cocok untuk jenis
komoditas pertanian tersebut!

Salah satu sebab mengapa kebutuhan akan padi sedemikian besar lantaran kita memang
sudah sedemikian tergantung pada padi. Sejak zaman Sukarno dulu sudah pernah
dikampanyekan soal keanekaragaman pangan. Jangan tergantung beras, orang Ambon
makan sagu malah dilecehkan sebagai masyarakat yang tak modern. Singkong itu juga
banyak mengandung karbohidrat kok. Ingat semasa beras sulit dulu pernah diproduksi
beras atom. Itu kan beras sintetis yang dibuat dari ketela. Teknologi telah menyulap
ketela jadi bentuk beras, maka manusia mau memakannya. Apa memang harus dibuat
begitu lagi agar kita tidak tergantung pada beras?

Barangkali itu memang soal ‘budaya’. Orang bilang meski sudah sarapan roti kok ya
katanya belum makan. Sudah habis mie satu piring katanya belum makan pula. Apalagi
‘hanya’ makan singkong bakar di pagi hari, wah itu kan cuma camilan. Kita memang
terbiasa dengan nampakan fisik dan bukan hekekat makan itu sendiri. Apa boleh buat,
barangkali memang baru di tingkat itu budaya kita.

RAGAM HAYATI

Dalam dunia ekologi, berbagai jenis pisang seperti disebutkan di atas tadi menunjukkan
kekayaan ragam hayati buah-buahan kita. Ragam hayati adalah biological diversity atau
biodiversity yang meliputi keragaman genetik (seperti pada pisang itu tadi), ada
keragaman jenis/spesies yang adanya bermacam-macam buah misalnya, dan ada lagi
keragaman ekosistem yakni ada ekosistem pantai, hutan tropis, dan sebagainya.

Dunia ini diciptakan dalam kekayaan ragam hayati seperti itu. Berapakah jenis mahluk
hidup yang ada di muka bumi ini? Sulit dihitung. Penafsiran para ahli ada sekitar 5
sampai 13 juta jenis mahluk hidup dan hanya 1,4 juta saja yang sudah diberi nama.
Sementara itu, dari jumlah yang sudah diberi nama, lebih sedikit lagi yang benar-benar
sudah diketahui sifat dan fungsinya. Alangkah kecilnya manusia menghadapi kekayaan
alam yang melimpah seperti itu.

Kekayaan alam itu menjadi sedemikian berharga jika misalnya saja kita bicara soal
kepentingan obat-obatan. Sejak berabad-abad lampau manusia menggantungkan bahan-
bahan obat-obatan dengan memanfaatkan organisma hidup. Masyarakat pedesaan hingga
kini masih banyak yang mengandalkan ragam tumbuhan obat yang sekarang lebih
dikenal dengan apotik hidup itu. Sedangkan dalam pembuatan obat-obat modern sekitar
40 persen bahan baku yang digunakan berasal dari alam. Perkembangan dan kemajuan
dunia obat-obatan amat ditentukan sejauh mana penelitian yang dilakukan mampu
menemukan formula-formula baru yang berhasil didapatkan dengan ragam tumbuhan
atau organisma hidup lainnya.

Pada dunia industri, ada beberapa industri yang tergantung bahan bakunya pada hasil-
hasil penemuan sifat dan karakteristik berbagai jenis mahluk hidup. Selain industri obat-
obatan seperti yang sudah diceritakan tadi, pengolahan limbah minyak, deterjen, bahan
berbahaya dan beracun di masa depan sangat tergantung juga dari keberhasilan mencari
jasad renik perombaknya. Kemajuan dalam bidang bioteknologi mendorong orang untuk
meneliti berbagai jasad renik yang dapat dimanfaatkan untuk penghasil energi, sumber
pangan maupun obat-obatan.

Meskipun masih belum mutlak dapat dihindarkan penggunaan pestisida, orang kini mulai
menoleh pada musuh-musuh alami yang mampu memberantas hama secara biologis.
Kutu loncat ternyata lebih manjur diserahkan pada satu jenis serangga dari Amerika Latin
sana, sedang burung walet ternyata sangat suka pada hama wereng. Dua contoh itu baru
sebagian kecil yang diketahui, masih ada sejumlah contoh lagi, namun jauh lebih banyak
yang masih belum diketahui. Nah dalam rangka mencari musuh-musuh alami sebagai
pengendali hama secara biologis itulah diperlukan upaya untuk mengenal sifat dan
kegunaan organisme-organisme yang selama ini kurang diperhatikan. Diperlukan upaya
untuk lebih mengenal ragam hayati agar bisa diharap untuk suatu saat ditemukan
pengendali hama biologis untuk mengurangi bahkan kalau perlu menghentikan
penggunaan pestisida yang dilematis itu. Ini adalah langkah pertama untuk menuju era
pertanian ekologis yang selaras alam.

TERANCAM PUNAH

Baru saja kita menyadari kekayaan ragam hayati, baru akan mulai mendata sifat dan
kegunaannya, tahu-tahu dihadapkan pada kenyataan bahwa cukup banyak kekayaan itu
yang kini terancam punah. Pernyataan seorang pakar di WWF, Cathay Mc Kinon bahwa
tahun 2000 ini sekitar 25 persen jenis flora dan fauna di dunia bakal musnah. Berapa
banyak tumbuhan yang bisa digunakan untuk obat atau jamu yang telah kita kenal? Rasa-
rasanya kita sudah dihadang kesulitan manakala sudah mulai mendata ulang apa yang
kita butuhkan untuk apotik hidup.

Pemanfaatan tumbuhan untuk industri jamu dan obat-obatan selama ini baru sebagian
kecil dari jumlah kekayaan ragam hayati alam Indonesia. Menurut Cathy lagi, bahwa
kekayaan ragam hayati negeri ini nomor satu di Asia dan termasuk tujuh besar dunia.
Sebut saja tentang kekayaan laut dengan adanya terumbu karang (coral reef) yang sangat
dibutuhkan oleh organisme laut. Terumbu karang adalah oase di laut lantaran suhunya
hangat, jernih, kadar garam tinggi (tidak tercampur air tawar) dan cukup energi matahari.
Kondisi seperti ini dibutuhkan sebagai tempat mencari makan, memijah, berkembang
biak, bersembunyi, daerah asuh anak berbagai jenis biota laut. Dan terumbu karang
banyak tersebar di perairan Indonesia yang jarang didapati di perairan kawasan subtropik
atau sedang.

Kita rasanya baru saja melangkah untuk mengenali kakayaan halaman rumah kita sendiri
namun sudah dihadapkan pada ancaman kepunahan lantaran ketidaktahuan kita sendiri,
karena keacuhan kita juga dan karena sikap-sikap sembrono yang mengabaikan
tumbuhan asing yang dianggap tak berguna. Berapa juta ragam hayati yang hilang
musnah saat sebuah kawasan hutan dibabat habis untuk kepentingan HPH? Dalam sebuah
kawasan hutan tropis yang luasnya cuma satu hektar dapat ditemukan 220 (baca: duaratus
dua puluh) jenis pohon. Bandingkan dengan luas hutan yang sama di negara empat
musim hanya bisa ditemukan 10 (sepuluh) jenis pohon saja.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Satu kalimat yang layak kita perhatikan betul-betul
adalah: bahwasanya keseragaman itu belum tentu baik. Atas nama peningkatan
produktivitas tidak selayaknya mengorbankan kekayaan ragam hayati hanya semata-mata
manfaatnya belum kita ketahui. Mengapa musti menanam satu jenis pohon saja di
sepanjang jalan di kota kalau memang lahan di situ tidak sama kondisinya? Mengapa
harus dipaksakan untuk menanam satu jenis padi saja kalau memang di suatu lahan
justru lebih cocok ditanam padi rojo lele, padi gogo, padi ketan dan banyak lagi. Kita
baru terasa kalah kalau kemudian sudah mulai sulit mencari beras merah, ketan hitam dan
jenis-jenis lokal lain yang sangat dibutuhkan.

Bahwasanya kita musti harus berbesar hati untuk mengakui bahwa seragam itu belum
tentu lebih baik. Tentu ada dampak yang ditimbulkannya. Kita bisa mendapatkan satu
jenis keuntungan di satu pihak namun dalam saat yang sama bisa kehilangan sekian
banyak keuntungan di pihak lain. Perhatian pada tanaman-tanaman lokal agaknya perlu
lebih ditingkatkan agar kita tidak silau dengan segala sesuatu yang dari “Bangkok”
dengan mengabaikan kekayaan negeri sendiri. Padalah jambu, mangga dan segala sesuatu
yang sekarang dikenal dari Bangkok itu asalnya juga dari negeri sendiri. Kita hanya mau
menerima hasil rekayasa orang lain. Sikap ini memang enteng namun membawa risiko
memusnahkan jenis-jenis lokal yang tak kalah kualitasnya asal tahu betul bagaimana
memperlakukannya. Hanya satu contoh kecil yang dikemukakan di sini: Masih ingat
betapa kita dulu menggebu-gebu dengan ayam Leghorn? Nah bagaimana nasibnya
sekarang. Bukankah ternyata ayam kampung tak bisa dikalahkan? Bagaimana dengan
yang lain …..

***** H.N. *****

Gapura, April 1991

Lingkungan Hidup

KETIKA AIR MINUM SEMAKIN MAHAL

Dulu orang menyebut minyak adalah emas hitam. Itu karena harga minyak (saat itu)
memang mahal. Dan kalau sekarang ternyata harga sebotol air minum justru lebih mahal
dari minyak, apakan artinya ini? Jangan-jangan ini suatu pertanda bahwa sumberdaya
alam sudah semakin kritis, hanya manusia yang tak pernah menggubrisnya.

Dikota- kota besar beberapa tahun terakhir ini sudah menjadi pemandanan umum bahwa
air minum bisa didapat dengan mudah dalam botol dengan harga jauh lebih mahal
dibanding minyak. Dan karena kota cenderugn mengundang sikap epigon, maka kini pun
di kota-kota kecil bahkan di desa-desa orang sudah mulai terbiasa minum air dari botol
kemasan.
Kalau di desa yang masih ada sumber mata air jernih tetapi justru dijual air mineral di
toko setempat, apakah artinya ini semua? Betulkah sudah sedemikian “tinggi” budaya
orang desa untuk minum air dalam botol kemasan lantaran menginginkan air minum yang
benar-benar sehat (?)

BAGIAN GAYA HIDUP

Pada mulanya, air mineral dalam botol diproduksi lantaran ada kejadian wisatawan
(kebetulan orang asing) menderita diare karena minum air biasa. Firasat bisnis pun
melambungkan imajinasi, bagaimana kalau bisa dijual air minum dalam botol.

Promosi dilakukan, pemasaran digencarkan, toh penjualan masih seret juga. Kebetulan
waktu itu masih ada “Siaran Niaga” di layar TVRI. Iklan air minum dalam botolpun
dilancarkan. Masih juga sepi-sepi saja.

Tetapi roda bisnis berpihak pada proguk air minum botolan ini, ketika minuman ringan
(soft drink) mulai jenuh variasi. Dan ternyata malah meledak penjualan air mineral ini.

Singkat cerita, kini orang tidak lagi peduli berapa harga air minum dalam botol itu.
Semua kalangan sudah terasa akrab dengan minum botolan yang isinya cuma air itu. Bisa
dikatakan bahwasanya air mineral telah menjadi bagian gaya hidup manusia modern (!).

Bagaimana mungkin bisa terjadi hal yang seperti ini? Apakah ini semata-mata
disebabkan tuntutan untuk mendapatkan air minum yang betul-betul sehat? Berita tentang
lima buah pabrik air mineral yang dinyatakan produknya tercemar, betul-betul suatu
pukulan yang menggelisahkan. Kalau air mineral saja sudah tidak “dipercaya” lagi
kesehatannya, lantas mau kemana lagi?

INTROSPEKSI

Sebaiknya kita melakukan introspeksi pada sikap kita selama ini terhadap air. Kita perlu
menata kembali apa yang telah kita lakukan pada air yang sehari-hari seolah-olah mudah
didapat itu.

Dari mana air kita peroleh setiap hari untuk memenuhi kebutuhan rumah kita? Kalau
kebetulan rumah kita tergolong sulit air hingga harus mengeluarkan (misalnya) Rp. 60
ribu hanya untuk air saja selama sebulan, mungkin akan tahu betul betapa berharganya air
dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan air apa kita biasa membersihkan sepeda motor atau mobil kita? Dengan air
ledeng? Bukankah air dari PDAM itu juga harus kita “beli”? Atau jangan-jangan lantaran
kita mampu membeli maka apa salahnya dibuang untuk cuci kendaran. Seperti halnya
kita memboroskan pemakaian listrik hanya semta-mata karena kita mampu bayar
rekening berapapun.
Dalam berbagai keperluan sehari-hari, sudahkan kita berhemat dalam pemakaian air?
Mengapa tak mencoba membuat sumur malah lebih sehat kalau menyiram tanaman
misalnya.

Tetapi membuat sumur di kota besar seperti Surabaya ternyata memang bukan soal yang
mudah. Selain keterbatasan lahan, kondisi tanah di kota ini kurang leluasa memberikan
air jernih yang tidak asin.

Orang bilang air sumur yang terasa asin adalah akibat intrusi (perembesan air laut).
Namun sebenarnya ada soal lain, yakni menurut sejarahnya Surabaya dulunya daerah
rawa-rawa. Jadi secara geologis memang sudah mengandung air asin.

Penyusutan air asin ketika terjadi proses menuju daratan, tidak sekaligus membawa kadar
garamnya. Garam-garam tertinggal mengkristal dalam tanah, sehingga suatu ketika akan
mencair kembali bercampur dalam air tanah. Proses ini menyebabkan air sumur menjadi
asin karena “air purba” itu.

Soal air purba mungkin sulit terelakkan, tetapi mengapa ada intrusi? Wah ini ceritanya
panjang, menyangkut sejauh mana kita telah memelihara hutan bakau sebagai filter air
laut. Menyangkut pula soal penggunaan sumur bor yang menyebabkan ketakseimbangan
pemanfaatan air tanah.

Belum lagi soal pemulihan jenis-jenis tanaman yang mampu menetralisasi asinnya air
laut ini, dan bukan asal tanam saja asal nampak hijau berseri hingga mendapat
penghargaan. Persoalannya sebenarnya terletak sejauh mana kita telah mengenal karakter
air dalam tanah dalam kaitan interaksinya dengan lingkungan.

BERBUAT SEBISA MUNGKIN

Untuk mengatasi persoalan air (minum) ini, sebisa mungkin kita memanfaatkan air di
rumah kita untuk lebih dari satu jenis keperluan. Air untuk mencuci beras misalnya,
mengapa tidak digunakan untuk menyiram tanaman? Bukankan justru lebih sehat
lantaran masih banyak mengandung protein?

Air bekas cuci pakaian dan bekas mandi masih bisa digunakan untuk menyiram halaman,
membersihkan lantai dan semacamnya, asal air tersebut dialirkan lebih dulu ke kolam
kecil yang ditanami enceng gondok dan bunga-bunga sejenis bunga kana di pinggirnya.

Asal tahu saja, tanaman kana dan enceng gondok itu mampu menyerap kandungan
logam-logam berat yang berbahaya dalam air bekas cucian itu tadi.

Punya pohon pisang di halaman? Nah ini jenis tanaman yang rakus air tanpa seleksi.
Siram saja dengan air limbah, malah tambah subur. Asal tentu saja bukan dengan limbah
olie mobil misalnya.
Hematlah pemakaian air untuk keperluan apa saja, matikan kran kalau selesai
menggunakan. Tanamlah di halaman jenis-jenis pohon yang akarnya mampu menyimpan
air saat musin hujan dan mengeluarkan kembali saat kemarau. Jenis tanaman ini biasanya
sebangsa Ficus (karet, beringin dan sebagainya). Ukuran kecilpun rasanya pantas sebagai
tanaman hias.

Dan kemanakah air hujan dialirkan? Rasanya sayang kalau dibuang percuma, apalagi di
daerah-darerah yang betul-betul kekeringan saat kemarau. Buatlah sumur resapan yang
merupakan “sumur” berisi kerikil, pasir. Kearah sumur resapan inilah pancuran air dari
talang diarahkan.

Dengan cara ini maka kita berarti memasok ari ke dalam tanah, dan bukan hanya
mengambilnya saja. Kita harus bersikap adil pada tanah itu sendiri, mau mengambil
airnya juga harus mau memberinya saat kelebihan air di atas tanah.

Jangan tutup semua permukaan tanah dengan bangunan atau lantai semen. Berikan
kesempatan air hujan masuk ke dalam tanah. Lebih baik membuat jalan setapak di
halaman dengan posisi renggang dari pada seperti membuat jalan tol.

Ketika kita masih Sekolah Dasar pernah ada pelajaran menjernihkan air cara sederhana.
Sudah lupa? Bisa menggunakan semprong lampu diisi kerikil, pasir, sabut kelapa sampai
dengan kapas hingga menghasilkan air jernih yang siap untuk dimasak.

Tahukan bahwa biji-biji kelor meliliki kemampuan mengikat zat padat yang
mengambang dalam air? Apakah kita sudah mengabaikan fungsi arang batok kelapa
sebagai pengikat zat beracun? Barangkali itu semua sudah menjadi masa lalu, tinggal
nostalgia masa sekolah belaka. Buat apa lagi.

Dan tibalah sekarang bahwasanya untuk minum saja harus membeli air mineral yang
harganya lebih mahal daripada harga bensin. Para pengusaha itu memanfaatkan posisi
terjepit kita yang kesulitan air minum bersih.

Mereka ramai-ramai mengambil air bersih di pegunungan, tanpa mau tahu bagaimana air
disitu bisa melimpah. Mereka (baca: pengusaha) tak pernah berpikir bahwa agar kapasitas
air menjadi stabil untuk jangka waktu yang lama, dibutuhkan kondisi hutan yang stabil
pula di kawasan hulunya.

Kepada siapakah tanggung jawab menjaga hutan itu dibebankan? Bagaimana kalau hutan
semakin habis dan air tak keluar lagi dari mata air? Limpahan air terjun yang mempesona
itu bukan tak mungkin suatu ketika akan menyusut. Mengapa tidak.

Kalau toh kemudian kita tahu-tahu sudah berada pada tahapan air minum lebih mahal
dibanding bensin, itu berarti kita memang sudah diambang bencana (lingkungan).
Masihkah kita tidak menyadarinya?
Bencana pertama, air minum sudah betul-betul kritis sehingga memang harus dijual
mahal. Bencana kedua adalah bencana budaya, yakni kita sudah diciptakan untuk berada
pada kondisi “harus membutuhkan” produk pabrik yang sudah disiapkan untuk
dipasarkan.

Teori ekonomi klasik menyebutkan bahwa produk diciptakan untuk memenuhi


kebutuhan. Tetapi ekonomi kapitalis justru sebaliknya: Kebutuhan sengaja diciptakan
agar menyerap produk yang sudah disiapkan. Apa boleh buat.

***** H.N. *****

Karya Darma, 13 September 1991 ?

KEBAKARAN HUTAN DAN MAKNANYA

Setiap kali musim kemarau, selalu saja terbetik berita soal kebakaran hutan di mana-
mana. Peristiwa ini seolah-olah menjadi rutin dan terasa biasa-biasa saja. Apalagi bagi
orang kota, yang sehari-harinya tak pernah menyaksikan sendiri betapa hebatnya
kebakaran hutan itu. Bahkan, soal ini memunculkan sikap tak mau tahu dengan
kebakaran hutan. Mereka beranggapan bahwa hal itu tak ada sangkut pautnya dengan
urusan hidup bisnisnya. Masyarakat kota dan kebakaran hutan telah menjadi dua kutub
yang jauh tanpa ada hubungannya sama sekali. Benarkan begitu?

Dalam catatan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, hutan di wilayah ini seluas 1,3 juta
hektar. Pada tahun 1987 terjadi kebakaran yang melanda 14.758 hektar. Tahun berikutnya
angka itu sedikit menurun menjadi 6.496 hektar, sedangkan pada tahun 1989 kebakaran
hutan di Jatim tercatat melahap 2.344 hektar hutan. Dan tahun 1990 meningkat lagi
hingga seluas 7.608 hektar (Karya Darma, 29 Agustus 1991). Apakah artinya angka-
angka ini? Kita tak pernah bisa membayangkan kerugian yang ditimbulkannya meski
angka kebakaran itu divisualkan dalam jutaan ruiah sekalipun. Karena kebakaran hutan
bukanlah semata-mata kehilangan duit lantaran kayu-kayu yang berubah menjadi abu.

Kepedulian terhadap kebakaran hutan amat tergantung sejauh mana pengertian kita
terhadap keberadaan hutan itu sendiri. Banyak orang yang hanya beranggapan, bahwa
hutan hanya semata-mata hamparan lahan dengan pohon-pohon belaka. Manakala hutan
terbakar berarti habisnya pohon-pohon itu. Dan yang merugi anggapnya, hanya pihak
pemerintah/ Perhutani atau pemilik HPH belaka. Padahal, soalnya bukan sesederhana itu.
Kalau yang terbakar itu hutan jati, misalnya, bisa jadi, kerugian agak minim karena hanya
menyangkut hilangnya kayu jati. Meskipun, sebenarnya bukan hanya kayu jati yang
amblas, melainkan habitat mahluk hidup yang berada di dalamnya. Demikian pula jika
terbakar itu menyangkut hutan pinus. Bukan hanya pinus saja yang hilang, melainkan
habitat satwa di dalamnya. Pengertian inilah yang agaknya musti dipahami lebih dulu
untuk memandang hutan dalam posisi yan gsebenarnya.
KOMPLEKS

Kerugian akibat kebakaran hutan tidak hanya bisa diartikan secara ekonomis berupa
hilangnya kayu-kayu saja. Bagaimanapun pohon dalam hutan tidak bisa hadir sendiri.
Pohon berarti juga habitat satwa atau binatang-binaang kecil lainnya. Pohon habis berarti
musnah juga habitat binatang itu. Padahal, banyak binatang yang juga berfungsi untuk
pohon itu sendiri, berfungsi untuk penyerbukan, untuk pengendalian hama secara alami,
dan secara keseluruhan menjadi matarantai bagi lingkaran ekosistem setempat.

Kebakaran berarti meningkatkan suhu tanah secara drastis. Ini berarti penguapan besar-
besaran. Akibatnya, sumber-sumber air bisa berkurang, persediaan air dalam tanah atau
lapisan humus bisa ikut amblas. Pada akhirnya ini sangat mempengaruhi tingkat
kesuburan tanah pada periode pasca kebakaran. Panas yang tinggi ini juga menyebar ke
wilayah-wilayah sekitarnya, ikut mempengaruhi kehidupan flora dan fauna serta iklim.

Bersangkutan dengan peningkatan panas itu tadi, asap yang membumbung ke langit akan
ikut mempengaruhi iklim pada periode mendatang. Kandungan gas karbon monoksida
(CO) bisa menggumpal di atmosfir hingga menjadi apa yang disebut efek rumah kaca.
Inilah tragedi lingkungan hidup di lapisan atmosfir yang banyak dikeluhkan para pakar
lingkungan akhir-akhir ini. Bagaimanapun asap yang sedemikian banyak itu tidak bisa
hilang percuma, tetapi tetap akan masuk ke dalam lingkaran siklus lingkungan yang
akhirnya akan kembali lagi ke bumi alias tempat hidup manusia, dimana saja, termasuk
manusia yang tinggal di kota. Dampak kebakaran seperti ini bisa berlaku secara global,
tak perduli dimanapun terjadinya kebakaran namun yang menanggung akibatnya bisa
seluas hamparan permukaan bumi ini. Jadi hutan terbakar berarti pula berkurangnya
komposisi luas hutan di banding luas lahan non hutan (termasuk yang menjadi areal
pemukiman). Jika komposisi ini tidak seimbang maka kehidupan manusia mau tak mau
bakal terganggu, lantaran manusia bukan mahluk yang bisa hidup dalam hutan beton,
meski sepintas lalu seolah-olah bisa begitu. Setiap mahluk yang bernyawa, termasuk
manusia, tetap membutuhkan lingkungan yang bernyawa juga. Dalam hal ini adalah
pohon-pohonan beserta mahluk hidup lain di dalam hutan.

Kebakaran hutan adalah sebuah peristiwa hilangnya kayu pohon-pohonan belaka.


Kebakaran bisa berakibat lebih jauh manakala yang terbakar adalah jenis hutan khasanah
ekologi, hutan alami memiliki tingkat biodiversity yang amat tinggi. Dan hutan-hutan di
Indonesia, sebagian besar merupakan hutan alami yang seperti itu. Bayangkan, dalam
kawasan 1 (satu) hektar hutan tropis saja terdapat 220 (baca: dua ratus dua puluh) jenis
tumbuhan. Bandingkan dengan hutan dengan luas yang sama di wilayah empat musim,
yang hanya terdapat 10 jenis tumbuhan saja. Bisakah kekayaan seperti ini dinilai hanya
dari jutaan angka rupiah saja manakala hutan seperti itu terbakar?

Belum lagi bicara soal kekayaan jenis satwa yang terdapat dalam hutan hujan tropis di
negara kita ini. Manakala hutan terbakar maka hilang pula satwa-satwa itu, mereka tak
bisa lagi tinggal di wilayah-wilayah yang hangus, tak ada lagi makanan, tak ada kawan
juga tak ada lawan. Kebakaran hutan telah memusnahkan segala-galanya. Dan jika
kemudian ada harimau turun ke kampung untuk mencari mangsa, salahkah mereka?
Demikian pula ketika gajah masuk kampung, babi hutan, menyerang ladang orang desa,
ular-ular menjadi berkeliaran di tengah pemukiman manusia. Kita sering menyalahkan
hewan-hewan itu lantaran mereka memasuki wilayah kita, sementara dalam saat yang
sama kita berpikir bahwasanya kawasan hidup mereka sudah tidak aman lagi.

Dalam pengertian yang sedemikian kompleks seperti itu tadi, mampukah membayangkan
kerugian yang muncul akibat kebakaran hutan seluas 3,8 juta hektar? Untuk bisa
membayangkan luas wilayah kebakaran itu, bandingkan dengan luas propinsi Jawa Timur
yang sebesar 4,7 juta hektar lebih sedikit. Hampir seluas propinsi Jawa Timur hutan
terbakar, dan itu pernah terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1982. Inilah peristiwa
kebakaran hutan yang paling tragis sepanjang sejarah di negeri ini, bahkan mungkin
paling parah di dunia, dan baru bisa padam setelah terbakar selama 1 (satu) tahun.

Di wilayah yang sama, saat ini masih juga berkobar kebakaran hutan lagi seluas 500
hektar. Diperkirakan sumbernya berasal dari batu bara yang membara dalam tanah. Sama
seperti 9 tahun yang lalu.

Apabila musim kemarau menyengat, dan angin bertiup kencang, maka batu bara itu
meningkat suhunya, mengeluarkan api lagi dan melahap habis hutan di Kaltim yang
justru selama ini masih kita bangga-banggakan sebagai permadani hijau yang
menyelimuti ini.

KELALAIAN

Hutan adalah sebuah sorga. Mungkin ini berlebihan, namun itulah kenyataannya.
Manusia pada mulanya membabat hutan untuk menciptakan lahan kehidupan, namun
pada saat yang sama manusia sesungguhnya menciptakan ketergantungan-
ketergantungan yang terus-menerus meningkat dan semakin artifisial. Manusia harus
mengatasi ketergantungan itu dengan peningkatan teknologi serta kemampuannya
mengantisipasi peradaban. Manakala percepatan antisipasi itu tidak seimbang, terjadilah
bencana lingkungan yang menimpa manusia sendiri.

Sedemikian kompleksnya pengertian hutan, masih banyak orang yang meremehkan.


Sedemikian kayanya potensi hutan, masih juga banyak yang belum tergali dan bisa
dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Dalam masa ketidak tahuan dan
ketertinggalan inilah maka hutan lantas terbakar. Dan kita hanya bisa termangu-mangu
menyaksikan harta karun yang lenyap tanpa bekas. Kekayaan itu bisa musnah terbakar
hanya antara lain kareana kelalaian manusia. Hanya dengan seputung rokok, hutan bisa
musnah. Perhatikan kata-kata bijak yang biasa dihapalkan pecinta konservasi sejati:
hanya dengan sepotong pohon, bisa dibuat jutaan barang korek api. Sementara hanya
dengan satu batang korek api, maka hutan bisa musnah.

Musim kemarau masih saja melanda negeri ini. Dimana-mana orang mengeluh kesulitan
air, lahan pertanian di mana-mana kering kerontang.
Sumur tak bisa mengeluarkan air lagi, sumber-sumber air bahkan sudah berkurang
keluarannya. Belum lagi akibat yang ditimbulkannya berupa panen yang gagal dan
sebagainya. Orang-orang kota mengeluhkan panas udara yang terasa semakin menyengat.
Sadarkah kita bahwa semuanya itu bisa juga disebabkan hutan yang terbakar? Ini
memang bukan sebab satu-satunya, tapi kebakaran hutan yang masih saja terjadi selama
ini mau tak mau tak bisa diremehkan sebagai salah satu penyebab ketimpangan
lingkungan yang terjadi.

Ternyata, kebakaran hutan memang bukan sesuatu yang remeh, bukan hanya menyangkut
pohon-pohon yang hangus, bukan hanya seputar angka jutaan rupiah yang melayang,
namun sangat kompleks kait mengkaitnya. Dan kita tentunya tak bisa hanya berdiam diri
dan bersikap acuh tak acuh terhadap semuanya ini.

***** H.N. *****

Anda mungkin juga menyukai