Anda di halaman 1dari 42

ROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA DALAM

PENYELAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH OKNUM KEPOLISIAN

DI POLRES LABUHANBATU

Disusun Oleh:

Tita Sandika Siregar

2202103066

UNIVERSITAS LABUHANBATU

FAKULTAS HUKUM

2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik

Kedaulatan, Negara berada di tangan rakyat dan di lakukan menurut

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Negara

indonesia adalah negara hukum yang Demokratis Konstitusional, negara di

jalankan berdasarkan kehendak rakyat tetapi tetap dalam koridor undang-

undang dasar negara republic Indonesia tahun 1945.(Sunarto 2012:43)

Berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika yaitu untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,

adil dan makmur secara material maupun spiritual berdasarkan Pancasila

dan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945.

Peredaran narkotika di Indonesia sangat mengkhatirkan sebab

narkotika tidak hanya beredar di kota besar tetapi juga di kota kecil.

Narkotika di pandang sebagai kejahatan yang sangat berbahaya bagi

kesehatan dan kelangsungan hidup suatu masyarakat, narkotika bukan hanya

di gunakan oleh orang dewasa tetapi remaja juga memakai narkotika sebab

itu lah kita harus menjauhi namanya narkotika karena itu sebagai perusak

generasi penerus bangsa dan negara.

Narkotika yaitu zat atau obat yang manfaat nya untuk pengobatan

penyakit tertentu, namun di salahgunakan yang akibatnya akan merugikan

seseorang atau pun masyarakat khususnya generasi muda.

1
Tindak pidana yaitu aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa,

Hakim, dan Petugas Lembaga Permasyarakatan. Aparat penegak hukum

seperti polisi mempunyai peran yang sangat penting di dalam lingkungan

masyarakat, salah satu permasalahan yang sering terjadi di dalam kehidupan

masyarakat adalah penyalahgunaan narkotika. Penggunan narkotika tidak

mengenal batas usia dari orang tua maupun remaja yang menjadi pemakai

ataupun pengedar. Tindak pidana narkotika bukan hanya di lakukan secara

perseorangan tetapi akan melibatkan banyak orang , bahkan satu sindikat

terorganisasi dengan jaringan yang luas mereka bekerja secara rapi dan

sangat baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang

memiliki peran dalam memelihara, mengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam suatu negara. Hal

ini di atur dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian telah melakukan

penegakan hukum terhadap penyalahgunakan narkotika dengan melakukan

penyidikan sampai menyerahkan perkara ke pengadilan. Di dalam undang-

undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana ( KUHP ) yang

mempunyai hubungan erat dengan tugas-tugas lain yakni sebagai satu

keseluruhan upaya para penegak hukum seorang pelaku tindak pidana

mempertanggung jawabkan pelakunya di depan hakim.

Adanya anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana dalam

penyalahgunaan narkotika sama saja mereka tidak melaksanakan tugasnya

dengan baik sebagaimana yang di atur dalam pasal 13 UU nomor 2 tahun

2
2002 dan Perkapolri nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Republik

Indonesia.

Penyalahgunaan narkotika tidak hanya di lakukan oleh masyarakat

awam saja tetapi sekarang banyak kasus yang terungkap tentang

penyalahgunaan narkotika yang di lakukan oleh oknum kepolisian, hal ini

sangat memperhatinkan sebab kepolisian mempunyai tugas untuk

memberantas atau pun mengurangi narkotika.

Penegakan hukum pemerintahan Indonesia telah mengeluarkan

undang -undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika yang isinya

mengatur sanksi dan hukumnya. Dengan adanya undang-undang tersebut di

harapkan aparat kepolisian mampu memberantas penyalahgunaan narkotika

di Indonesia. Meskipun undang-undang tersebut sudah dikeluarkan namun

kenyatannya masih banyak narkotika yang tersebar di seluruh Indonesia.

Polisi sebagai pelaksanan dan penegak hukum mempunyai tugas untuk

menjaga keamanan dalam negara republik indoneisa dan mempunyai

wewenang untuk melakukan pencegahan dan memberantaskan tindak

pidana. Dalam beberapa kasus terdapat oknum kepolisian yang

menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum yang ikut

serta terlibat dalam penyalahgunakan narkotika baik pemakai maupun

peredaran.

Menurut Moroef dalam ( Sasangka 2003) sebagai mengkutip

pendapat seorang Psikiter Grahan Blaine menyatakan bahwa terdapat

bebrapa sebab terjadinya penyalahgunakan narkotika yaitu

3
1. Kerena dorongan dan rasa ingin tahu dan rasa iseng

2. Untuk menunjukkan keberadaan di dalam kelompok

3. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi persaan bosan karena kesibukan

4. Untuk memuaskan nafsu seks

Dalam pembahsan di atas bahwa masih banyak anggota kepolisan

yang terlibat dalam kasus penyalahgunkan narkotika. Anggota kepolisian

yang sebagai penegak hukum dalam melakukan memberantaskan tindak

pidana penyalahgunakan narkotika sangat di sayangkan jika profesi yang

sangat mulia di cederai oleh perbuatan anggota yang bertolak belakang

dengan tugas yang dia kerjakan sebagai anggota kepolisian. Seseorang yang

melakukan/ melanggar hukum maka harus mempertanggung jawabkan

perbuatannya di hadapan hukum.

Dengan melihat latar belakang penanganan tindak pidana

penyalahgunaan narkotika di polres labuhanbatu, maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul : “ANALSIS TENTANG

PENANGANAN TINDAK PIDANA DALAM PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA OLEH OKNUM KPOLISIAN DI POLRES

LABUHANBATU”.

1.2 Rumusan Masalah

2. Bagaimana penegak hukum bagi oknum kepolisian yang

penyalahgunaan nartkotika?

3. Apa saja faktor yang menjadi penghambat dalam penanganan tindak

pidana narkotik

4
1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pananganan tindak pidana dalam penyalahgunaan

narkotika oleh oknum kepolisian di polres labuhanbatu

2. Untuk mengetahui apa yang menjadi hambatan dalam pananganan

tindak pidana dalam penyalahgunaan narkotika oleh oknum

kepolisian di polres labuhanbatu

1.4 Manfaat Penelitian

2. Penelitian ini dapat memberikan pengalaman bagi penulis dalam

bidang penelitian dan untuk memperluas pengetahuan penulis dalam

bidang hukum khususnya bidang yang berkaitan dengan pananganan

tindak pidana dalam penyalahgunaan narkotika oleh oknum

kepolisian di polres labuhanbatu

3. Bagi dunia akademik, akan menjadi masukan berarti di dalam

merancang suatu kajian yang berhubungan dengan pananganan

tindak pidana dalam penyalahgunaan narkotika oleh oknum

kepolisian.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh

seseorang yang melakukan suatu kejahatan atau perbuatan yang merugikan

orang lain atau merugikan kepentingan umum.

Ada banyak istilah tentang tindak pidana, ada yang menggunakan

istilah “ Delik “ yang berasal dari Bahasa latin yaitu Delictum, sedangkan

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) yang berlaku di

Indonesia, bersumber dari Wetbook Van Strafrecht Netherland, maka dalam

pembentuk undang-undang menggunakan istilah Strafbaar Feit yang kita

kenal dengan sebutan Tindak pidana. Strafbaar Feit terdiri dari 3 unsur kata

yaitu straf, baar dan feit. Straf di artikan sebagai pidana dan hukum, baar di

artikan sebagai dapat dan boleh dan feit di artikan sebagai tindak, peristiwa,

pelanggaran dan perbuatan. Jadi istilah Strafbaar Feit adalah perbuatan yang

dapat di pidana atau perbuatan yang dapat di pidana . Menurut Para Ahli

Hukum Pidana mendefinisikan Strafbaar Feit sebagai berikut. Pompe

sebagai kutip dari buku karya lamintang merumuskan “ Suatu pelanggaran

norma ( gangguan terhadap tata tertib hukum ) yang dengan sengaja atau

pun tidak sengaja telah di lakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan

hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib

hukum” . sedangkan Jonkers mengartikan “ Strafbaar Feit sebagai peristiwa

6
pidana yang di artikannya sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum

( Wederrechttelijik ) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan

yang di lakukan oleh orang yang dapat di pertanggung jawabkan” .

sedangkan Moeljatno berpendapat “ perbuatan yang melanggar yang di

larang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang di sertai ancaman

( Sanksi ) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan

tersebut” . S.R.Siantur merumuskan “ Tindak pidana adalah sebagai suatu

tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang di larang ( atau di

haruskan ) dan di ancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat

melawan hukum, serta dengan kesalahan di lakukan oleh seseorang ( yang

bertanggung jawab )” . Menurut Para Ahli Delik di definisikan sebagai

berikut, Andi Zainal Abidin mengemukakan istilah yang paling tepat ilaah

Delik:

a) Bersifat universal dan di kenal di mana-mana

b) Lebih singkat, efesien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik

khusu yang subjeknya merupakan badan hukum, badan, orang mati.

c) Orang memakai istilah Strafbaar Feit, tindak pidana dan perbuatan

pidana juga menggunakan delik

d) Luas pengartikannya sehingga meliputi juga delik-delik yang di

wujudkan oleh koorporasi orang yang tidak kenal menurut hukum

pidana ekonomi indoneisa

e) Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “ peristiwa pidana “ ( bukan

peristiwa perbuatan yang dapat di pidana melainkan perbuatannya) .

Sedangkan menurut Jonkers dan Utrecht berpendapat

7
a) Di ancam dengan pidana oleh hukum

b) Bertentangan dengan hukum

c) Di lakukan oleh orang yang bersalah

d) Orang itu di pandang bertanggung jawab asa perbuatnnya .

e) Unsur Tindak Pidana

2.1.2 Unsur Tindak Pidana

Suatu dapat di katakana tindak pidana, apabila tindakan tersebut

terdapat unsur ataupun syarat dalam tindak pidana. Unsur di bagi menjadi 2

yaitu unsur subjektif dan unsur objektif, unsur subjektif adalah unsur yang

mengikat pada diri pelaku sedangkan unsur objektif adalah unsur yang

menghubungkan dengan keadaan di mana si pelaku melakukan suatu tindak

pidana.

Ada beberapa pendapatan mengenai unsur-unsur tindak pidana

sebagai berikut :

Menurut EY Kanter dan SR Siantar, unsur-nsur tindak pidana, sebagai

berikut.

1) Subjek

2) Kesalahan

3) Bersifat melawan hukum

4) Suatu tindakan yang di larang atau di haruskan oleh undang –

undang terhadap pelanggarannya di ancam dengan pidana

5) Waktu, tempat dan keadaan ( unsur objektif lainnya)

8
Kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak

pidana apabila perbuatan tersebut :

1) Melakukan hukum.

2) Merugikan masyarakat.

3) Di larang oleh aturan pidana.

4) Pelakunya akan di ancam dengan pidana.

5) Pelakunya dapat di pertanggung jawabkan.

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

1) Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia.

2) Perbuatan itu harus di larang dan di ancam dengan pidana.

3) Perbuatan itu bertentangandengan Undang – undang.

4) Harus di lakukan oleh orang yang dapat di pertanggung

jawabkan.

5) Perbuatan itu harus di salahkan oleh si pembuat.

Menurut Lamintang, ada unsur objek yang berhubungan dengan

keadaan – keadaan, yaitu keadaan di mana keadaan tindakan dari si pelaku

itu harus di lakukan, unsur obketif meliputi.

1. Perbuatan manusia, terbagi atas perbuatan yang bersifat positif dan

bersifat negative yang menyebabkan suatu pelanggaran pidana,

terkadang perbuatan positif dan negative terhadap dengan tegas di

dalam norma hukum pidana yang di kenal dengan Delik Formil. Di

mana pada delik formil yang di ancam hukuman adalah

perbuatannya seperti yang terdapat pada pasal 362 KUHP dan pasal

9
372 KUHP, sedangkan terkadang pada suatu perbuatan saja di ancam

hukuman, sedangkan cara menimbulkan akibat itu tidak di uraikan

lebih lanjut, delik seperti ini dis ebut sebagai delik materi yang

terdapat pada pasal 338 KUHP

2. Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merujuknya

atau membahayakan kepentingan – kepentinagn hukum yang

menurut norma hukum pidana itu perlu ada supaya dapat di pidana.

3. Sifat melawan hukum dan dapat di pidana, perbuatan itu melawan

hukum jika bertentangan dengan undang-undang. Sifat dapat di

pidana artinya belum perbuatan itu harus di ancam dengan pidana,

oleh suatu norma pidana yang tertentu.

Sifat dapat di pidana ini bisa hilang walaupun telah di ancam

dengan undang – undang tetapi telah di lakukan dalam keadaan – keadaan

yang membebaskan, misalnya pasal 44, 48, 50 dan 51 KUHP .

2.1.3 Bentuk Tindak Pidana Narkotika Dalam undang-

undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotikaf

1. Tidak Sah Menanam, Mengolah, Memiliki, Menyimpan, Memiliki

atau Menyediakan Narkotika

Pelanggaran ini berlaku untuk semua narkotika, meskipun

hukumannya berbeda tergantung pada kategori dan jumlah narkotika yang

bersangkutan. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

tidak memuat definisi yang tepat tentang budidaya, penyimpanan,

kepemilikan atau kegiatan lain yang dilarang oleh ketentuan ini. Faktanya,

10
sangat sedikit hukuman budidaya yang dilaporkan oleh Indonesia (hanya 32

pada tahun 2012, dan 35 pada tahun 2011), dan semuanya terkait dengan

budidaya ganja. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut di bawah, aspek

kepemilikan dari pelanggaran ini telah bermasalah, karena dapat berlaku

untuk jumlah yang untuk penggunaan pribadi dan dapat, dengan demikian,

mengarah pada penuntutan pecandu narkoba daripada mereka yang terlibat

dalam perdagangan narkoba

2. Memproduksi, Mengimpor, Mengekspor, atau Mendistribusikan

Narkotika secara hukum (Pasal 113, 118, 123)

Tindak pidana ini juga berlaku bagi semua golongan narkotika dan

dianggap lebih berat daripada tindak pidana yang berkaitan dengan

penanaman dan budidaya. Yang dimaksud dengan memproduksi adalah:

“Kegiatan atau proses penyiapan, pembuatan, pembuatan, dan

produksi narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi

atau cara non-ekstraksi dari sumber alam atau bahan kimia sintetik atau

kombinasi, termasuk pengemasan dan/atau pengubahan bentuk narkotika. “

Jumlah total kasus manufaktur, sekali lagi, kecil (39 pada 2012, 64

pada 2011). Mengimpor didefinisikan sebagai tindakan membawa narkotika

atau zat prekursor ke dalam zona pabean Indonesia, sedangkan mengekspor

adalah mengeluarkan narkotika atau zat-zat prekursor dari daerah pabean

Indonesia. Pengertian peredaran tidak jelas, hanya mengacu pada setiap

kegiatan atau rangkaian kegiatan yang dilakukan tanpa wewenang atau

bertentangan dengan undang-undang yang mengatur tentang narkotikadan

11
tindak pidana precursor Pelanggaran terkait berlaku untuk pemegang obat

yang berwenang yang mendistribusikan obat untuk tujuan yang tidak sah .

3. Secara Melawan Hukum Menawarkan untuk Membeli, Menjual,

Menjadi Perantara dalam Pembelian atau Penjualan, Penerimaan,

Pemberian, atau Perdagangan Narkotika

Pasal 114:

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika

Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah).

2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan,

atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)

kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk

bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan

pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara

paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

12
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika

Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana

dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

penjarapaling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 124

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika

Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

13
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,

membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama

15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Tindak pidana menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

narkotika yang diatur dalam pasal 114, 119, dan 124 ini dibedakan dari

Golongan Narkotikanya baik Golongan I, II, maupun, III. Diancam dengan

pidana penjara beserta denda sesuai dengan golongan narkotika mana yang

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan.

2. Membawa, Mengirim, Mengirimkan, atau Mengangkut

Narkotika Secara Tidak Sah .

Pasal 115:

1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika

Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

14
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau

mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau

melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram,

pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup ataupidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 120:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika

Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau

mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

15
Pasal 125:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika

Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)

tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau

mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama

10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Transito Narkotika merupakan upaya mengangkut narkotika dari

satu negara ke negara lain melalui Indonesia, baik terdapat perubahan cara

pengangkutan maupun tidak . Hukuman yang dijatukan terhadap

pelanggaran ini lebih ringan daripada yang berlaku untuk pelanggaran

dalam bentuk produksi, perdagangan, ataupun variasi pelanggaran yang

didasarkan pada jenis dan jumlah narkobanya. Obat-obatan yang masuk

Kategori I, dijatuhkan hukuman yang lebih berat untuk pengangkutan bahan

tanaman lebih dari satu kilogram atau lebih dari lima pohon.

2) Tindak Tindak Pidana Prekursor (Pasal 129)

16
Prekursor narkotika didefinisikan sebagai “setiap zat atau bahan

kimia atau bahan awal yang dapat digunakan untuk memproduksi

narkotika” Meskipun bukan narkotika yang sebenarnya, tindakan seperti:

a. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Jadi berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur bahwa

memproduksi, memiliki atau memperdagangkan bahan pembuatan narkotika

juga termasuk tindak pidana.

3) Tindak Pidana Konsumsi (Pasal 127)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika telah

mengatur tentang larangan penggunaan obat-obatan untuk dikonsumsi

pribadi. Penyalahguna narkoba (penyalahguna) dijelaskan sebagai siapa saja

yang menggunakan narkotika tanpa izin atau dengan cara lain yang

melanggar hukum .

17
Hukuman yang dijatuhkan pada tindak pidana konsumsi narkotika

ini tergantung pada kategori narkotika yang dikonsumsi namun tidak ada

persyaratan hukuman minimum yang berlaku. Hakim diarahkan untuk

merujuk pada klausul rehabilitasi ketika menentukan kasus konsumsi

pribadi . Pengguna yang ditemukan sebagai ‘korban’ penyalahgunaan

narkoba atau ‘pecandu’ diharuskan menjalani rehabilitasi medis dan social .

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika,

‘korban’ penyalahgunaan narkoba merupakan orang yang ‘tidak sengaja’

menggunakan narkoba karena dibujuk, ditipu, ditipu, dipaksa atau diancam

untuk menggunakan narkoba .Sedangkan ‘Pecandu’ adalah seseorang yang

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan kemudian mengalami

ketergantungan narkotika, termasuk ketergantungan fisik maupun

psikis .Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 memperkenalkan tentang

hukuman nonpenahanan yakni rehabilitasi. Masa rehabilitasi yang telah

dilalui dianggap setara dengan menjalani hukuman penjara . Dalam

praktiknya, penegak hukum seperti jaksa dan polisi memiliki preferensi kuat

untuk hukuman yang bersifat menghukum. Menurut data BNN, terdapat

6.024 tersangka pelanggaran konsumsi pada tahun 2020 .

4) Penggunaan Narkotika yang Dikelola/Diinduksi Pihak Ketiga

Tindakan memberi narkotika secara tidak sah kepada orang lain atau

memberikan narkotika kepada orang lain untuk digunakan adalah dilarang

menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 . Pemberian narkotika

yang melanggar hukum yang kemudian mengakibatkan kematian atau

cedera permanen juga memiliki hukuman yang lebih berat. .

18
5) Pelanggaran Terhadap Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika telah

memuat ketentuan yang menargetkan keterlibatan anak dalam konsumsi dan

perdagangan narkotika. Melibatkan seorang anak dengan cara apa pun

dalam melakukan suatu pelanggaran tindak pidana narkotika menimbulkan

tanggung jawab tersendiri dan hukuman berat dapat dijatuhkan, termasuk

hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau penjara paling sedikit lima

tahun dan paling lama 20 tahun dan denda senilai sampai 20 miliar .

Pihak ketiga dapat turut bertanggung jawab jika pihak ketiga

tersebut ‘mengizinkan, mendorong, memfasilitasi atau memaksa’ seorang

anak dibawah umur untuk menggunakan narkoba . Dalam beberapa

keadaan, orang tua pengguna juga dapat dikenakan tuntutan pidana. Jika

pengguna berada di bawah usia yang diperbolehkan (18 tahun) . orang tua

atau wali memiliki kewajiban untuk melaporkan kecanduananak ke klinik

rehabilitasi pemerintah . Jika orang tua atau wali ‘dengan sengaja’ gagal

memenuhi kewajiban melaporkan tersebut, dia bertanggung jawab untuk

kurungan penjara paling lama enam bulan (suatu bentuk pidana kurungan,

akan dibahas lebih lanjut di bawah), atau denda Rp 1 juta . Pecandu di

bawah umur yang dilaporkan oleh orang tuanya tidak dapat dipidana .Pihak

Ketiga Yang Memiliki Kewajiban Melaporkan Tindak Pidana Narkotika

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang

Narkotika, masyarakat secara umum memiliki kesempatan berpartisipasi

aktif dalam dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perdagangan serta

19
penggunaan narkotika Bahkan, Undang-Undang ini telah dengan jelas

mewajibkan setiap orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana

narkotika (bukan hanya orang tua atau wali pengguna di bawah umur) untuk

melapor pada setiap orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana

narkotika (bukan hanya orang tua atau wali pengguna di bawah umur).

Misalnya, pelanggaran ‘sengaja’ tidak melaporkan tindak pidana yang

tercantum dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang

Narkotika . Tidak jelas persis bagaimana kewajiban ini diterapkan. Ini

mungkin dimaksudkan untuk menargetkan mereka yang didekati sebagai

saksi atau diinterogasi oleh polisi dan dengan sengaja tidak mengungkapkan

informasi. Di sisi lain, itu mungkin meluas lebih jauh, untuk menangkap

setiap individu yang gagal secara sukarela menawarkan informasi

sehubungan dengan pelanggaran.

Pelanggaran pelaporan tambahan juga berlaku untuk nakhoda atau

pilot yang tidak melaporkan keberadaan narkotika di kapal/pesawat kargo

yang mereka kemudikan jika diharuskan oleh peraturan terkait .

6) Zat Psikotropika

Lainnya Serangkaian pelanggaran terhadap narkotika serupa juga

diatur dalam Bab XIV Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika. Pasal 60 mengatur berbagai pelanggaran mencakup

pelanggaran produksi psikotropika dan penyalurannya. Pasal 61 mengatur

terkait pelanggaran yang terjadi dalam kegiatan mengimpor dan ekspor

20
psikotropika. Pasal 62 mengatur pelanggaran kepemilikanpsikotropika.

Pelanggaran kegiatan distribusi dan pengangkutan yang berlaku untuk

psikotropika diatur dalam Pasal 63. Pasal 64 mengatur tentang pelanggaran

yang berkaitan dengan penyelenggaraan rehabilitasi serta Pasal 65 mengatur

tentang pelaporan terhadap kepemilikan pskotropika yang tidak sah.

7) Hasil Tindak Pidana dan Pencucian Uang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang

Narkotika, melakukan transaksi (memberi, menerima, memperdagangkan,

menyimpan, menyembunyikan, mewariskan atau mewarisi) dengan harta

benda dalam bentuk apapun, berwujud atau tidak berwujud, berasal dari

tindak pidana narkotika atau bahan persiapan.adalah dilarang . Tindak

pidana lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tahun 2010.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Narkotika

2.2.1 Narkotika

Narkotika merupakan singkatan dari narkotika atau obat / bahan

yang berbahaya, menurut Departemen Kesehatan Republik Indoensia,

narkoba singkatan dari NAPZA yaitu Narkotika Psikotropika dan Zat

Adiktif .

Narkotika zat atau obat yang berasal dari tanaman maupun yang

bukan tanaman, apabila mengkonsumis narkotika maupun psikotropika

maka akan mengalami ketidak sadaran atau pembiasan dan yang paling fatal

21
yaitu kematian. Karena di dalam kandungan narkotika tersimpan zat yang

dapat merusak system saraf yang ada di dalam tubuh manusia .

Menurut Para Ahli Narkotika mendefinisikan sebagai berikut :

Ghoodse berpendapat “ Narkotika yaitu zat kimia yang di perlukan untuk

mengasuh kesehatan, ketika zat itu masuk ke dalam organ tubuh maka bakal

terjadi satu atau lebih perubahan faedah di dalam tubuh. Lalu di lanjutkan

lagi dengan ketergantungan secara jasmani dan psikis pada tubuh, sehingga

andai zat itu di hentikan mengkonsumsi nya maka bakal terjadi gangguan

secara jasmani dan psikis . Kurniawan merumuskan “ Narkotika yakni zat

kimia yang bias mengubah suasana psikologi laksana perasaan, pikiran,

keadaan hati, dan perilkau andai masuk ke dalam tubuh insan baik dengan

teknik di makan, di minum, di hirup, suntik, intravena, dan sebagainya.

Jaktobus mengartikan “ definisi Narkoba ialah zat atau obat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis ataupun semi sime sintetis

yang dapat mengakibatkan penurunan atau evolusi kesadaran, hilangnya

rasa, meminimalisir bahkan hingga menghilangkan rasa nyeri, dna dapat

memunculkan ketergantungan. Wresniwiro berpendapat “ Narkotika adalah

zat atau obat yang dapat menyebabkan ketidaksadaran atau pembiusan,

sebab zat-zat itu bekerja dengan memprovokasi saraf pusat manusia .

Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika, tindak pidana narkotika di bedakan menjadi tiga bagian, yaitu.

1) Pengguna

22
Pengguna yaitu orang yang menggunakan narkotika bagi dirinya

sendiri, pengguna narkotika dapat di kenakkan sanksi pidana berdasarkan

Pasal 127 Undang – undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,

paling lama hukuman 4 tahun penjara.

2) Pengedar

Pengedar yaitu penjual secara ilegal, pengedar dapat di kenakkan

sanksi pidana berdasarkan Pasal 114 Undang – undang Nomor 35 tahun

2009 tentang Narkotika, dengan ancaman maksimal hukuman 20 tahun atau

seumur hidup atau hukuman mati atau denda.

3) Produsen

Produsen yaitu orang yang membuat atau memproduksi narkotika

secara illegal, produsen narkotika dapat di kenakkan sanksi pidana

berdasarkan Pasal 113 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika, dengan ancaman maksimal hukuman 20 tahun atau seumur hidup

atau hukuman mati atau denda.

Penyalahgunaan Narkotika yaitu fungsinya untuk pengobatan

penyakit yang di persalahgunaan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Narkotika yang masuk ke dalam tubuh manusia, maka akan mengakibatkan

pengaruh berupa pembiusan, hilangnya rasa rangsang , dan halusinasi.

Bahaya mengkonsumsi narkotika secara berlebihan maka akan

menyebabkan ketergantungan atau ketertagihan dalam memakai narkoba.

Memakai narkoba melebihi dosis, maka akan mengalami gangguan

kesehatan fisik, gangguan kesehatan jiwa dan kehidupan dalam lingkungan

23
social, bagi remaja yang menggunakan narkotika maka akan dapat merusak

masa depannya dan karena itu , kita harus menjauhui atau pun menghindari

narkotika atau obat yang di larang oleh undang-undang. (Syamsddin Aziz,

2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafik, Jakardend

2.2.2 Sanksi Hukum Terhadap Anggota Kepolisian Yang

Menggunkaan Narkotika

Menurut Pasal 29 ayat (1) UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, anggota kepolisian Negara Republik Indonesia

tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum. Dalam hal ini bahwa anggota

Polri termasuk warga sipil dan bukan subjek hukum militer.

Walaupun anggota Kepolisian termasuk warga sipil, tetapi anggota

kepolisian memiliki ketentuan peraturan disiplin dank ode etik profesi.

Peraturan disiplin Polri di atur dalam PP No 2 tahun 2003 tentang Peraturan

Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kode Etik

Kepolisian di atur dalam Perkapolri No 14 tahun 2011 tentang Kode Etik

Prefesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Oknum polisi yang penyalahgunakan narkotika maka berrati telah

melanggar aturan disiplin dank ode etik karena setiap anggota polri wajib

menjaga kehormatabn, reputasi, dan martabat Kepolisian Republik

Indonesia.( pasal 5 hurup a PP 2/2003 jo. Pasal 6 dan pasal 7 Perkapolri

14/2011).

Pelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa

dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi

24
atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap

anggota polisi yang bersangkutan (Pasal 12 ayat [1] PP 2/2003 jo. Pasal 28

ayat [2] Perkapolri 14/2011). Oleh karena itu, oknum polisi yang

menggunakan narkotika tetap akan diproses hukum acara pidana walaupun

telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik.

Anggota kepolisna yang sangkakkan menggunakan narkotika akan

di proses tetapi belum bias di salahkan tanpa bukti melalui putusan

Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (asas praduga tidak bersalah)

sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

Apabila putusan pidana terhadap oknum polisi telah berkekuatan

hukum tetap, maka polisi tersebut akan di berhentikan secara tidak

terhormat berdasarkan Pasal (1) huruf a PP No. 1 tahun 2003 tentang

Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“ Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan

tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia

apabila: dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang

berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas

Kepolisian Negara Republik Indonesia “.

Pemberhetian anggoya Kepolisian yang di lakukan setelah

melakukan sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia (Pasal 12 ayat 2 PP 1/2003).

25
Walaupun anggota kepolisian termasuk warga sipil, tetapi terdapat

perbedaan proses penyidik perkaranya dengan warga negara Indonesia

kerana poliis mempunyai Peraturan Perundang-undangan, yang terkait

dengan aturan desiplin dan kode etik yang harus di patuhi .

26
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan

konseptual (conceptual approach) mengenai pelaksanaan penanganan tindak

pidana dalam penyalahgunaan narkotika oleh oknum kepolisian di polres

labuhanbatu. Penelitian hukum empiris dilakukan melalui studi lapangan

untuk mencari dan menentukan sumber hukum dalam arti sosiologis sebagai

keinginan dan kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Data dari

lapangan ini dikumpulkan dan dengan cara mengajukan beberapa

pertanyaan yang dijawab secara tertulis maupun secara lisan sehingga

nantinya diperoleh data yang konkrit dan akurat.

3.2 Bahan dan Cara Penelitian

Studi Pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan

hukum. Bahan hukum sebagai bahan penelitian diambil dari bahan

kepustakaan yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

bahan hukum tersier.

1) Bahan Hukum Primer

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Undang -undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

c) Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan

27
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

d) Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Republik

Indonesia.

e) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

f) PP Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

g) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

h) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana (KUHP).

i) Peraturan lain yang berkaitan dengan obyek penelitian.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang berhubungan atau erat kaitannya dari bahan hukum

primer yang dapat membantu menganalisis permasalahan yang

ada dalam bentuk buku-buku, dokumen/data yang didapat dari

lapangan, makalah hasil seminar maupun pendapat para ahli

hukum.

3) Bahan Hukum Tersier

Berupa kamus istilah hukum, berbagai tabloid dan surat kabar

3.3 Penelitian Lapangan

A. Lokasi penelitian

28
Penelitian dilakukan di Polres Labuhanbatu

B. Responde

Responden yang dijadikan sebagai bahan penelitian yaitu:

a. Masyarakat, sebanyak 10-15 orang\

3.4 Alat Penelitian

Alat penelitian dalam penelitian ini adalah:

a) Untuk Responden menggunakan alat Quisioner dengan Multiple

Choice, yaitu daftar pertanyaan yang sudah tersedia jawabanya

dengan cara terbuka.

b) Untuk Narasumber menggunakan alat daftar pertanyaan terbuka

yang di ajukan ke semua narasumber yang telah ditentukan.

3.5 Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling

yaitu pengambilan sampel yang tidak memberikan kesempatan yang sama

bagi semua individu di dalam populasi untuk menjadi anggota. Adapun

teknik sampling yang digunakan adalah sensus yaitu meneliti atau

mengambil seluruh populasi dalam penelitian.

Populasi dari penelitian ini adalah pemerintah daerah serta

masyarakat yang berhubungan dengan penanganan tindak pidana dalam

penyalahgunaan narkotika oleh oknum kepolisian di polres

labuhanbatu,memilih objek penelitian sebagai pengambilan sampel khusus

di wilayah tersebut karena permasalahan proses penanganan tindak pidana

29
dalam penyalahgunaan narkotika untuk mengurangi pengedaran narkotika.

Hal tersebut yang mendasari penulis hanya meneliti wilayah tersebut

sebagai objek penelitian tentang penanganan tindak pidana dalam

penyalahgunaan narkotika oleh oknum kepolisian di polres labuhanbatu.

3.6 Teknikal Pengumpulan Data

Teknik dalam pengumpulan data yaitu dengan menggunakan

teknik wawancara dengan teknik ini penulis mempersiapkan dan

mengajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman kepada

narasumber dan meminta keterangan dan penjelasan, untuk kemudian

penulis mencatat jawaban-jawaban yang diberikan di lapangan. Selanjutnya

penulis juga menggunakan Quisioner dalam pengumpulan data terhadap

responden yang terdiri dari masyarakat yang mengalami proses

penyalahgunaan narkotika atau masyarakat yang secara langsung terkena

dampak dari proses pemberantasann narkotika.

3.7 Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul baik dari penelitian lapangan maupun penelitian

pustaka disusun dan dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan

metode kualitatif yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis

atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari

menjadi suatu kesatuan yang utuh.

30
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaturan hukum pidana terhadap Oknum Polri yang melakukan

tindak pidana penyalahgunaan Narkotika

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika yaitu obat atau zat yang berguna dalam kedokteran di

salahgunakan oleh masyarakat dapat menimbulkan ketergantungan yang

dapat merugikan apabila disalahgunakan.

Pelanggaran Narkotik yang di lakukan oleh anggota kepolisan

adalah bentuk tidak mendukung pemerintah dalam memberantaskan

peredaran narkotika, oleh sebab itu penegakan hukum terhadap anggota

kepolisian yang menyalahgunakan narkotika harus di lakukan sesuai

denagn peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Berdasarkan pelanggran yang di lakukan oleh anggota kepolisian

yang terkait salahguna narkotika dapat di buktikan apakah anggota

tersebut sebagai pengedar atau pemakai, dalam hal ini harus bisa di

buktikan secara fakta dalam proses pengadilan, majelis hakim dapat

memberikan pidana terhadap anggota kepolisian tersebut.

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika, perbuatan yang tergolong tindak pidana dalam arti

kepemilikan, penyimpan, penguasaan, atau penyediaan narkotika di atur

dalam Pasal sebagai berikut: Pasal 117 untuk obat golongan 1, Pasal 122

untuk obat golongan II dan Pasal 129(a) untuk golongan III.

31
Di sisi lain, “pecandu narkotika” mengacu pada seseorang yang

menggunakan atau menyalahgunkan narkotika dan bergabung dalam

obat secara fisik dan mental.

Penyidikan pidana terhadap anggota kepolisian Negara Republik

Indonesia di lakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di

lingkungan peradilan umum dan di atur dalam Pasal 4 Peraturan

Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003

Anggota Kepolisian yang di curigai melakukan penyalahgunaan

narkotika dan sedang di selidik harus tteap di anggap tidak bersalah

sampai keputusan pengadilan yang berkekuatan tetap, di atur dalam

Pasal 8(1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman dalam KUHAP memiliki tiga tahapan proses dan

penyelesaian perkara pidana : tahapa penuntutan dan tahap peninjauan

kembali.

Sebagai hukuman yang berat dari pihak kepolisian yaitu apabila

pidana terhadap oknum kepolisian mempunyai akibat hukum tetap,

maka oknum anggota kepolisan tersebut dikenai Pasal 12 ayat (1) huruf

a Peraturan Pemerintaj Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu, sekalipun seorang anggota kepolisian yang di

tanggap karena tindak pidana narkotika divonis bersalah berdasarkan

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, oknum

kepolisian tersebut hanya akan di tolak kehormatannya apabila dapat di

32
bebaskan. Pemberhentian anggota kepolisian tersbut menyusun rapat

dengan pendapay yang di lakukan Komite Etik Profersi Polri.

Penerapan Hukum Pidana Penyalahgunaan Narkotika pada

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur antara lain, saksi

terhadap pelanggaran narkoba.

a. Tindak pidana terhadap orang yang tidak melaporkan tindak

pidana narkotika (Pasal 131) ancaman hukumannya adalah

penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp

50 juta.

b. Tindak pidana terhadap Pegawai Negeri, Penyidik Kepolisian

dan Penyidik BNN yang tidak mematuhi Kitab Undang-

undang Bukti (Pasal 140) di ancam dengan pidana penjara

paling singkat satu tahun, paling lama sepuluh tahun dan

pidana penjara paling singkat. Denda sebesar Rp 100 juta dan

paling banyakn 1 Milyar.

c. Kejaksaan yang di lakukan Direktur Kejaksaan Negeri tidak

memenuhi ketentuan Pasal 91 ayat 1 (Pasal 141) di ancam

dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling

lama 10 tahun.di kenakkan denda paling sedikit Rp 100 juta

dan paling banyak Rp 1 Milyar Kejaksaan yang di lakukan

Direktur Kejaksaan Negeri tidak memenuhi ketentuan Pasal

91 ayat 1 (Pasal 141) di ancam dengan pidana penjara paling

singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun.di kenakkan denda

paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 1 Milyar.

33
Terkait saksi pidana terhadap anggota polri terhadap penyalahgunaan

narkoba, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang melibatkan aturan ini

tidak hanya berlalu bagi anghgota kepolisian saja, namun juga berlaku untuk

masyarakat lainnya yang terbukti dalam menyalahgunaan narkoba.

Ketentuan mengenai tindak pidana narkoba dalam bentuk pidana

diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur dalam

beberapa pasal yaitu Pasal 111, Pasal 127, Pasal 129, dan Pasal 137.

Selain saksi pidana yang diatur dalam Undang-undang, Anggota

kepolisian yang menggunakan narkotika akan di kenakkan saksi

administratif yang di berikan oleh instansi yang bersangkutan.

4.2 Pembedaan bagi hakim dalam menjauhkan saksi pidana terhadap

kasus penyalahgunaan narkotika oleh anggota kepolisian

Pertimbangan hukum merupakan salah satu aspek yang sangat

penting dalam menentukan nilai tambah putusan pengadilan dan mencakup

keadilan dan kepastian hukum, serta pertimbangan hakim harus di lakukan

secara hati-hati, karena demi kepentingan para pihak.

Dalam memutuskan terdakwa, hakim tidak hanya

mempertimbangkan keterangan saksi, namun juga fakta hukum yang

terungkap dalam persidangan. Oleh karena itu, hakim mempunyai dua

pertimbangan.

1. Harus di cantumkan pertimbangan hukum, yaitu faktor yang

terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hakim berdasarkan

hukum yang berlaku sebagai faktornya dalam penghakiman.

34
2. Pertimbangan di luar hukum yaitu :

a. Akibat dari perbuatan terdakwa terkait penyalahgunaan narkoba

akan berdampak baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

b. Kondisi fisik dan mental terdakwa sebelum di lakukannya kejahatan,

termasuk status sosial yang di anggap berasal darinya.

c. Apa yang memperparah kejahatan dan apa yang mengurangi

kejahatan berat.

Dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap aparat kepolisian, hakim

harus memperhatikan beberapa pertimbangan khusus agar dapat mengambil

keputusan yang adil dan seimbang bagi masyarakat dan aparat kepolisian itu

sendiri. Meskipun Pasal 29 (1) Undang-undang Kepolisian menyatakan

bahwa anggota Kepolisian Negara republic Indonesia tunduk pada

kekuasaan peradilan umum, namun anggota polisi adalah warga sipil dan

tidak tunduk pada Undang-undang Militer.

Dalam pasal 52 KUHP dikatakan bahwa “Bilamana seorang pejabat

karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari

jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan,

kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya,

pidananya ditambah sepertiga.”

Aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana narkoba

dapat di kenakkan saksi pidana pokok dan saksi pidana tambahan. Terhadap

tindak pidana berat, saksi pidana berdasarkan Pasal 52 KUHP akan

35
bertambah karena wajib bagi pegawai negeri sipil dan penyidik kepolisian

negara republik indonesia.

Oleh karena itu, dengan harmonisasi Pasal 52 KUHP dan Undang-

undang Narkotika dapat tercipta suatu norma hukum yang relevan dan

saling melengkapi. Namun aturan ini tidak berlaku bagi hakim ketika

mengambil keputusan mengenai petugas polisi yang terlibat dalam

kejahatan terkait narkotika. Artinya, tindak pidana narkotika merupakan

undang-undang yang bersifat khusus.

Dalam pandangan masyarakat, anggota kepolisian yaitu aparat

hukum sehingga keputusan pengadilan yang membrikan saksi kepada

kepolisian harus mempunyai efek yang memberatkan.di tambah dengan

meningkatnya kasus penyalahgunaan narkotika oleh aparat kepolisian

akhir-akhir ini, keterlibatan aparat kepolisian dalam kejahatan narkotika

memberikan kesan kepada masyarakat bahwa kejahatan narkoba merupakan

kejahatan yang tidak perlu di takuti. Melihat berbagai persoalan diatas,

sudah selayaknya aparat kepolisian yang terlibat peredaran narkotika

mendapat hukuman setimpal.

Berdasarkan hukuman yang di nilai hakim, aparat kepolisian

khsuusnya yang terlibat tindak pidana narkotika akan mendapat tambahan

sanksidan bagi petugas kepolisian yang terbukti melakukan pemakaian dan

pengedaran meskipun buktinya sedikit, akan di kenakkan tambahan denda

sebesar 1/3 kerana apabila pelaku tidak mampu membayar denda yang di

jatuhkan terdakwa, menurut ketentuan Pasal 148 Undang-undang Nomor 35

36
Tahun 2009 Tentang Narkotika, maka dendanya adalah hukuman penjara

dan sebagai besar dari terdakwa menginginkan denda di ganti dengan

hukuman penjara dengan perpanjangan masa kurungan. Hukuman ini di

harapkan tidak hanya mermperbaiki perilaku masyarakat, namun juga

mencegah dan emngurangi terulangnya kejahatan yang sudah ada.

37
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka

penulis dapat menyimpulkan beberapa point sebagai berikut:

1. Pertanggung jawaban pidana seorang anggota kepolisian yang

terlibat dalam penyalahgunaan narkotika di tentukan oleh

perbuatan yang di lakukan oleh petugas tersebut. Pasal

penegakan hukum pidana terhadap petugas polisi yang

melakukan kejahatan berdasarkan penyalahgunaan narkotika

berlaku bagi semua orang. Artinya mereka berkedudukan sama

di hadapan hukum, proses hukum terhadap anggota kepolisian

yang melakukan tindak pidana di atur dalam Pasal 29 ayat 1

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang kepolisian Negara

Republik Indonesia. Petugas Kepolisian wajib menjalani proses

etik kepolisian, dan apabila terbukti bersalah dengan hukuman

penjara lebih dari lima tahun, petugas akan segera di berhentikan

dengan tidak hormat dari jabatannya atau di jatuhi hukuman

penjara lebih dari lima tahun, jika hukumannya lebih ringan , ia

dapat di pecat. Petugas kepolisian masih bisa di pertimbangkan,

apakah mereka hanya di beri tindakan di berhentikan dari

narkoba

38
2. Penjatuhan saksi pidana oleh hakim terhadap oknum anggota

kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika di atur dalam

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,

khususnya mengenai berat ringannya hukuman yang akan di

terapkan kepada anggota kepolisian. Dari pemakai dan pengedar

dan pemakai narkoba akan mendapatkan saksi pidana dan

pengedar akan mendapat tambahan hukuman penjara sepertiga

(1/3) mengingat pelaku nya anggota kepolisian yang seharusnya

menegakkan hukum.

5.2 Saran

1. Polisi perlu memantau anggotanya dengan lebih baik dan

menanamkan sikap taat hukum yang lebih tinggi untuk

membantu mereka menghindari kegiatan keiminal seperti

penyalahgunaan narkotika, seperti tes urian.untuk mencapai

keadilan, hukuman penjara yang di jatuhkan kepada petugas

kepolisian yang melakukan kejahatan narkotika harus lebih berat

dari pada hukuman yang di jatuhkan pada masyarakat.

2. Dalam memtuskan perkara tindak pidana narkotika yang di

lakukan oleh apparat kepolisian, hakim perlu

mempertimbangkan hal-hal penting dengan lebih cermat dan

teliti agar dapat mencapai hukuman yang ideal.

39
DAFTAR PUSTAKA

Referensi/Buku

Amir Ilyas, 2012, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education,

Yogyakarta, hlm. 19

Amir Ilyar, Op.Cit. Hlm 20

Amir Ilyar, Op.Cit. Hlm 22

Andi Hamzah, Loc. Cit

Badan Narkotika Nasional. Total Pasien Penyalahgunaan. Statistik P4GN

Periode 2020-01-01 sampai 2020-12- 31. BNN – Badan Narkotika

Nasional RI. Diakses Pada 6 September 2021)

Dikutip Dari Skripsi Atas Nama Fahreza, Tinjauan Terhadap Delik

Ommissionis Dalam Tindak Pidana Narkotikan (Studi Kasus Terhadap

Tidak Melaporkan Tindak Pidana Narkotika Oleh Oknum Pejabat

Kepolisian) Dalam Perkara Nomor 153/PID.SUS/2010/PN.BJB,

Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, 2012

I Gede Darmawan dkk, “Penegakan Hukum Terhadap Penyalahgunaan

Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Kontruksi Hukum, Vol. 1 No. 2,

2020.

Moh Taufik Makarao. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta:Penerbit

Erlangga.)

40
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka

Peajar, Yogyakarta, 2004

P.A.F., Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan

Keempat, P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011

Tim Lindsey and Pip Nicholson, Drugs Law and Legal Practice In Southeast

Asia, Oxford: Hart Publishing, 2016

Paian Tumanggor dkk, Pemberatan Pemidanaan Terhadap Aparat Penegak

Hukum Sebagai Pengedar/Bandar Narkotika, Jurnal Normatif Fakultas

Hukum Universitas Al-Azhar, Vol. 2, No. 1,

Syamsddin Aziz, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafik, Jakarta

Indrawan, Kiat Ampuh Menangkal Narkoba, Rineka Cipta, Jakarta, 2004

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Pasal 60 – 65)

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,

Jakarta,2007

Website

https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2021/01/20/apa-sanksi-hukum-

anggota-kepolisian-bila-terjerat-kasus-narkoba/#:~:text=Oknum%20polisi

%20yang%20menggunakan%20narkotika%20berarti%20telah

%20melanggar,jo.%20Pasal%206%20dan%20Pasal%207%20Perkapolri

%2014%2F2011%29

Apa Itu Narkoba dan Jenisnya? (bnn.go.id)

41

Anda mungkin juga menyukai