Anda di halaman 1dari 69

KEPERAWATAN DEWASA

KONSEP ANATOMI FISIOLOGI, PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


DAN LAB PERSEPSI SENSORI

DISUSUN OLEH :

Kelompok 1

A. Aso Maskur (NH0223001) Widya Ade Iriani (NH0223036)

Aldi Prayudi (NH0223002) Nelli Palimbong (NH0223038)

Nur Rahma (NH0223019) Nur Arifah Alimuddin (NH0223039)

Nur Safira Ramadani (NH0223020) Satriani (NH0223044)

Nurhasima (NH0223021)

PROGRAM STUDI S1 KONVERSI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NANI HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Dan kami mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi teman teman semua, untuk kedepannya dapat
memeperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik
lagi.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 5 Januari 2024

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN...............................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3

A. Definisi Persepsi Sensori......................................................................3

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori...................................3

BAB III PEMERIKSAAN LAB........................................................................18

A. Pemeriksaan Penunjang........................................................................18

B. Pemeriksaan Fisik.................................................................................18

a. Pengkajian Mata.............................................................................18

b. Pengkajian Hidung.........................................................................37

c. Pengkajian Telinga.........................................................................43

d. Pengkajian Mulut...........................................................................52

e. Penfkajian Kulit..............................................................................53

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................65

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan persepsi sensori (pendengaran) yaitu putusnya kemampuan


seseorang ketika menerima dan memilah rangsangan internal yang berupa
pemikiran itu sendiri dan rangsangan eksternal, dimana suatu yang ditempati
tanpa ada objek serta rangsangan yang sebenarnya. Biasanya apa yang didengar
itu dianggap ada, kan tetapi pada dasarnya tidak ada (Kusumawati & Hartono,
2010). Gangguan persepsi sensori (pendengaran) atau halusinasi merupakan
mempersepsikan sesuatu dengan tidak adanya stimulus sebenarnya, dimana
individu melakukan suatu hal tetapi pengalamannya tersebut hanyalah khayalan
(Direja, 2011)

Menurut (WHO, 2017) taksiran orang yang mengalami gangguan kejiwaan


mencapai 450 juta jiwa pada kasus pasien skizofrenia. Menurut (Institute for
Health Metrics and Evaluation, 2017) tercatat kondisi global, jika dilihat dari
YLDs (Years Lived with Disability) atau terjadi karena sakit dan cacat, maka
presentase kontributor terbesar masalah mental (14,4%) dari gangguan lainnya.
Kondisi untuk Asia Tenggara jika dilihat dari years lived with disability
kontributor terbesar pada gangguan mental (13,5%) dari gangguan lainnya
(IHME, 2017). Di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat atau skizofrenia
mencapai sekitar (6,7%). Dilihat dari tujuh urutan peringkat pertama terbanyak
diduduki oleh provinsi Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat,
Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Jawa Tengah dengan rata-rata
(8,7%) hingga (11,1%) (Kemenkes RI, 2019). Berdasarkan data rekam medik
RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta, diketahui bahwa pada tiga bulan terakhir
terjadi kenaikan dan penurunan kekambuhan khususnya pada gangguan persepsi
sensori. Terhitung mengalami kenaikan pada Desember 2020 dengan jumlah 3798
pasien yang semula pada November 2020 dengan jumlah 3498 pasien. Kemudian
pada Januari 2021 mengalami penurunan dengan jumlah 3694 pasien. Pada
individu yang mengalami skizofrenia dengan masalah isolasi sosial tidak dapat
diatasi, maka akan terjadi gangguan persepsi sensori (pendengaran) atau
halusinasi. Apabila gangguan tersebut tidak dapat diatasi, maka akan muncul
masalah baru yakni resiko perilaku kekerasan baik melukai dirinya atau orang
disekitarnya.

Dari berbagai pendapat dan latar belakang yang sudah diuraikan, diperlukan
peran perawat guna mengurangi gangguan persepsi sensori tersebut. Asuhan
keperawatan jiwa adalah perawatan yang spesialistik, namun ketika melakukan

1
2

asuhan kepada individu harus dilakukan secara holistik. Sebelum ke tindakan


keperawatan perlu adanya hubungan saling percaya. Jika hubungan sudah terjalin,
langkah selanjutnya yaitu membantu untuk mengenal gangguan serta membantu
dalam mengontrol gangguan jika muncul. Pada tindakan observasi, monitor
perilaku dan isi gangguan tersebut. Selanjutnya pada tindakan terapeutik
pertahankan lingkungan yang aman serta diskusikan perasaan dan respon terhadap
gangguan yang muncul. Pada tindakan edukasi, ajarkan pasien dan keluarga cara
mengontrol gangguan persepsi sensori (pendengaran) (SIKI, 2018). Upaya-upaya
yang dapat dilakukan perawat pada pasien dengan gangguan persepsi sensori
(pendengaran) adalah dengan membantu pasien mengenaliapa yang didengar,
pada saat kapan suara-suara muncul, frekuensi, situasi dan kondisi apa, respons
seperti apa yang pasien lakukan saat suara muncul. Disamping itu melatih pasien
dalam mengontrol gangguan tersebut yaitu dengan cara menghardik halusinasi,
bercakap- cakap dengan orang lain jika halusinasi muncul, melakukan aktivitas
yang terjadwal, dan melakukan kolaborasi pemberian obat secara teratur (Yusuf,
Fitryasari, & Nihayati 2015). Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan studi kasus serta memberikan asuhan
keperawatan yang meliputi pengkajian, merumuskan diagnosis, melakukan
intevensi serta implementasi dan evaluasi pada pasien skizofrenia dengan
gangguan persepsi sensori (pendengaran). 1.2 Identifikasi Masalah

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada fenomena yang diuraikan, rumusan masalah dari penelitian ini
adalah “Bagaimana Persepsi Sensori pada anatomi fisiologi, pemeriksaan
diagnostik dan lab ?”.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Persepsi


Sensori pada anatomi fisiologi, pemeriksaan diagnostik dan lab

2. Tujuan Khusus

Mengidentifikasi Persepsi Sensori pada anatomi fisiologi, pemeriksaan


diagnostik dan lab.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Persepsi Sensori

Sistem sensoris atau dalam bahasa Inggris sensory system berarti yang
berhubungan dengan panca indra. Sistem ini membahas tentang organ akhir yang
khusus menerima berbagai jenis rangsangan tertentu. Rangsangan tersebut
dihantarkan oleh sensorys neuron (saraf sensoris) dari berbagai organ indra
menuju otak untuk ditafsirkan. Reseptor sensori, merupakan sel yang dapat
menerima informasi kondisi dalam dan luar tubuh untuk dapat direspon oleh saraf
pusat. Implus listrik yang dihantarkan oleh saraf akan diterjemahkan menjadi
sensasi yang nantinya akan diolah menjadi persepsi di saraf pusat. Sistem persepsi
sensori manusia terdiri organ mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit (Syaifuddin,
2014).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori


1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Penglihatan (Mata)

Indra penglihatan yang terletak pada mata (organ visus) yang terdiri dari
organ okuli assesoria (alat bantu mata) dan okulus (bola mata). Saraf indra
penglihatan, saraf optikus, muncul dari sel-sel ganglion dalam retina, bergabung
untuk membentuk saraf optikus.

a. Organ okuli assesoria (alat bantu mata), terdapat di sekitar bola mata yang
sangat erat hubungannya dengan mata, terdiri dari :
1) Kavum orbita, merupakan rongga mata yang bentuknya seperti kerucut
dengan puncaknya mengarah ke depan dan ke dalam.
2) Supersilium (alis mata) merupakan batas orbita dan potongan kulit
tebal yang melengkung, ditumbuhi oleh bulu pendek yang berfungsi
sebagai kosmetik atau alat kecantikan dan sebagai pelindung mata dari
sinar matahari yang sangat terik.
3) Palpebra (kelopak mata) merupakan 2 buah lipatan atas dan bawah
kulit yang terletak didepan bulbus okuli. Kelopak mata atas lebih besar
dari pada kelopak mata bawah. Fungsinya adalah pelindung mata
sewaktuwaktu kalau ada gangguan pada mata.
4) Aparatus lakrimalis (air mata). Air mata dihasilkan oleh kelenjar
lakrimalis superior dan inferior. Melalui duktus ekskretorius lakrimalis
masuk ke dalam sakus konjungtiva. Melalui bagian depan bola mata
terus ke sudut tengah bola mata ke dalam kanalis lakrimalis mengalir
ke duktus nasolakrimatis terus ke meatus nasalis inferior.

3
4

5) Muskulus okuli (otot mata) merupakan otot ekstrinsik mata terdiri dari:
a) Muskulus levator palpebralis superior inferior, fungsinya
mengangkat kelopak mata.
b) Muskulus orbikularis okuli otot lingkar mata, fungsinya untuk
menutup mata.
c) Muskulus rektus okuli inferior, fungsinya untuk menutup mata.
d) Muskulus rektus okuli medial, fungsinya menggerakan bola mata.
e) Muskulus obliques okuli inferior, fungsinya menggerakan bola
mata ke dalam dan ke bawah.
f) Muskulus obliques okuli superior, fungsinya memutar mata ke
atas, ke bawah dan ke luar.
6) Konjungtiva. Permukaan dalam kelopak mata disebut konjungtiva
palpebra, merupakan lapisan mukosa. Bagian yang membelok dan
kemudian melekat pada bola mata disebut konjungtiva bulbi. Pada
konjungtiva ini sering terdapat kelenjar limfe dan pembuluh darah.
b. Okulus

Okulus (mata) meliputi bola mata (bulbus okuli). Nervus optikus saraf
otak II, merupakan saraf otak yang menghubungkan bulbu okuli dengan otak
dan merupakan bagian penting organ visus.

a. Tunika okuli
Tonika okuli terdiri dari :
1) Kornea, merupakan selaput yang tembus cahaya, melalui kornea kita
dapat melihat membran pupil dan iris. Penampang kornea lebih tebal
dari sklera, terdiri dari 5 lapisan epitel kornea, 2 lamina elastika
anterior (bowmen), 3 subtansi propia, 4 lamina elastika posterior, dan
5 endotelium. Kornea tidak mengandung pembuluh darah peralihan,
antara kornea ke sklera.

Gambar 2.1 Anatomi Mata


5

2) Sklera, merupakan lapisan fibrosa yang elastis yang merupakan bagian


dinding luar bola mata dan membentuk bagian putih mata. Bagian
depan sklera tertutup oleh kantong konjungtiva.

3) Tunika vaskula okuli


Tunika vaskula okuli merupakan lapisan tengah dan sangat peka oleh
rangsangan pembuluh darah. Lapisan ini menurut letaknya terbagi menjadi
3 bagian yaitu :
a. Koroid, merupakan selaput yang tipis dan lembab merupakan
bagian belakanang tunika vaskulosa. Fungsinya memberikan
nutrisi pada tunika.
b. Korpus siliaris, merupakan lapisan yang tebal, terbentang mulai
dari ora serata sampai ke iris. Bentuk keseluruhan seperti
cincin, dan muskulus siliaris. Fungsinya untuk terjadinya
akomodasi
c. Iris, merupakan bagian terdepan tunika vaskulosa okuli,
berwarna karena mengandung pigmen, berbentuk bulat seperti
piring dengan
penampang 12 mm, tebal 12 mm, di tengah terletak bagian berlubang
yang disebut pupil. Pupil berguna untuk mengatur cahaya yang masuk
ke mata, sedangkan ujung tepinya melanjut sampai korpus siliaris.
Pada iris terdapat 2 buah otot: muskulus sfingter pupila pada pinggir
iris,
muskulus dilatator pupila terdapat agak pangkal iris dan banyak
mengandung pembuluh darah dan sangat mudah terkena radang, bisa
menjalar ke korpus siliaris.
C. Tunika nervosa
Tunika nervosa merupakan lapisan terdalam bola mata, disebut
retina. Retina dibagi atas 3 bagian :
1) Pars optika retina, dimulai dari kutub belakang bola mata sampai di
depan khatulistiwa bola mata.
2) Pars siliaris, merupakan lapisan yang dilapisi bagian dalam korpus
siliar.
6

3) Pars iridika melapisi bagian permukaan belakang iris (Syaifuddin,


2014).
2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pendengaran (Telinga)
Indra pendengaran merupakan salah satu alat pancaindra untuk
mendengar. Anatomi telinga terdiri dari telinga bagian luar, tengah, dan
dalam.
a) Telinga bagian luar
Aurikula (daun telinga), menampung gelombang suara yang datang
dari luar masuk ke dalam telinga. Meastus akustikus eksterna (liang
telinga). Saluran penghubung aurikula dengan membran timpan,
panjangnya 2,5 cm, terdiri dari tulang rawan dan tulang keras. Saluran ini
mengandung rambut, kelenjar subasea. Dan kelenjar keringat khususnya
menghasilkan sekret-sekret berbentuk serum. Membran timpani antara
telinga luar dan telinga tengah terdapat selaput gendang telinga yang
disebut membran typani.

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Bagian Luar


b) Telinga bagian tengah

Kavum timpani, rongga didalam tulang temporalis yang


didalamnya terdapat 3 buah tulang pendengaran yaitu maleus, incus,
stapes yang melekat pada bagian dalam membra timpani.
7

Antrum timpani merupakan rongga tidak teratur yang agak luas,


terletak dibagian bawah samping dari kavum timpani. Antrum timpani
dilapisi oleh mukosa, merupakan lanjutan dari lapisan mukosa kavum
timpani. Rongga ini berhubungan dengan beberapa rongga kecil yang
disebutn sellula mastoid yang terdapat dibelakang bawah antrum, di dalam
tulang temporalis.

Tuba auditiva eustaki. Saluran tulang rawan yang panjangnya 3,7


cm berjalan miring ke bawah agak ke depan, dilapisi oleh lapisan mukosa.

Gambar 2.3 Anatomi Telinga Bagian Tengah


c) Telinga bagian dalam

Telinga bagian dalam terletak pada bagian tulang keras pilorus


temporalis, terdapat reseptor pendengaran, dan alat pendengaran ini disebut
labirin.

1) Labiritus osseous, serangkaian saluran bawah dikelilingi oleh cairan yang


dinamakan perilimfe. Labiritus osseous terdiri dari vestibulum, koklea, dan
kanalis semisirkularis.
2) Labirintus membranous, terdiri dari:
i. Utrikulus, bentuknya seperti kantong lonjong dan agak gepeng terpaut
pada tempatnyaoleh jaringan ikat. Pada dinding belakang utrikulus
terdapat muara dari duktus semisirkularis dan pada dinding depannya
ada tabung halus disebut utrikulosa sirkularis, saluran yang
menghubungkan antara utrikulus dan sakulus.
8

ii. Sakulus, bentuknya agak lonjong lebih kecil dari utrikulus, terletak
pada bagian depan dan bawah dari vestibulum dan terpaut erat oleh
jaringan ikat.
iii. Duktus semisirkularis. Ada tiga tabung selaput semisirkularis yang
berjalan pada kanalis semesirkularis (superior, posterior, dan lateralis).
Bagian duktus yang melebar disebut dengan ampula selaput. Setiap
ampula mengandung celah sulkus ampularis merupakan tempat
masuknya cabang ampula nervus akustikus.
iv. Duktus koklearis merupakan saluran yang bentuknya agak segitiga
seolah-olah membuat batas pada koklea timpani. Duktus koklearis
mulai dari kantong buntu (seikum vestibular)ndan berakhir tepat
diseberang kanalis lamina spiralis pada kantong buntu (seikum
ampulare) (Heharia et al, 2011).

Gambar 2.4 Anatomi Telinga Bagian Dalam


3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pembau (Hidung)
Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang
hidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral.
Struktur tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan terjadinya
aliran udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas
konka inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang di
antara
9

konka. Meatus media terletak di antara konka media dan inferior yang
mempunyai peran penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui
meatus ini kelompok sinus anterior (sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior) berhubungan dengan hidung. Meatus inferior berada di antara
konka inferior dan dasar rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral
terdapat muara duktus nasolakrimalis.
Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas
lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi
hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks
ostiomeatal dan hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka
inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat
muara duktus nasolakrimalis.

Gambar 2.5 Anatomi Dinding Lateral Hidung


Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior
cabang dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior
septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid
anterior, sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya
mensuplai area olfaktorius. Terdapat anastomosis di antara arteri-arteri hidung
di lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut
10

pleksus Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini
menjadi predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus kavernosus. Persarafan
hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksila nervus
trigeminus.
Fungsi fisiologi hidung adalah penghidu, filtrasi, proteksi,
humidifikasi, penghangat udara dan resonansi suara. Sistem vaskuler dan
sekresi hidung berperan penting dalam mempersiapkan udara inspirasi sebelum
masuk ke saluran napas atas dan trakeobronkial. Saat inspirasi udara masuk ke
vestibulum dengan arah vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika
udara mencapai nasal valve terjadi turbulen sehingga udara inspirasi langsung
mengadakan kontak dengan permukaan mukosa hidung yang luas. Aliran
turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi penghangat dan
humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi.
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus
etmoid, sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel
respiratorius pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel
kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel
basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium
sinus dan bergabung dengan sekret dari hidung. Jumlah silia makin
bertambah saat mendekati ostium. Ostium adalah celah alamiah tempat sinus
mengalirkan drainasenya ke hidung. Jumlah silia makin bertambah saat
mendekati ostium.
Berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral
hidung, sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior dan posterior.
Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior
yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior
terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid yang bermuara di atas konka
media. Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan
sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu
terbukanya kompleks osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus
yang normal.
11

Gambar 2.6 Penampang Koronal Sinus Paranasal


Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase
kelompok sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus,
hiatur semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila
dan resesus frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi
merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang
inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis
silia dan terjadi infeksi sinus.
12

Gambar 2.7 Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan koronal


Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal
terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum
durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar ke
dua, gigi molar pertama dan ke dua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya
dipisahkan oleh membran mukosa, sehingga proses supuratif di sekitar gigi
tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus maksila membawa mukus
dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus media. Perdarahan sinus maksila
dilayani oleh cabang a. maksila interna yaitu a. infraorbita, a. sfenopalatina
cabang nasal lateral, a. palatina descendens, a. alveolar superior anterior dan
posterior. Inervasi mukosa sinus maksila dilayani oleh cabang nasal
lateroposterior dan cabang alveolar superior n. Infraorbital.

Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid


anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal.

Perdarahan dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika,


sedangkan vena dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani oleh
cabang supratrokhlear dan supraorita n. V1.

Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke


infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke meatus
superior. Cabang nasal a. sfenopalatina dan a. etmoid anterior dan posterior,
cabang a.
13

oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya
menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V2
dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1.

Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan


yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini
yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di
posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis
superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan dilayani oleh
cabang a. sfenopalatina dan a. Etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh
cabang etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2.

Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan


sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme, yaitu:
terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia dan produksi mukus yang
normal. Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah
patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal.
Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan
debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga
mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport mukosiliar sangat tergantung pada
karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi
mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat
mempengaruhi transport mukosiliar (Ballenger, 2016).

5. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perasa (Lidah)


1) Anatomi Lidah

Lidah terdiri dari dua kelompok yaitu otot intrinsik melakukan gerakan
halus dan otot ekstrinsik yang melaksanakan gerak kasar pada waktu mengunyah
dan menelan. Lidah terletak pada dasar mulut, ujung,serta tepi lidah bersentuhan
dengan gigi, dan terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir yang
dapat digerakan ke segala arah. Lidah terbagi menjadi:

2) Radiks lingua (pangkal lidah)


3) Dorsum lingua (punggung lidah)
4) Apeks lingua (ujung lidah)

Bila lidah digulung ke belakang tampak permukaan bawah yang disebut


frenulum lingua, sebuah struktur ligamen yang halus yang mengaitkan bagian
posterior lidah pada dasar mulut. Permukaan atas seperti berludru dan ditutupi
pupil-pupil, terdiri dari tiga jenis yaitu:

1) Papila sirkumvalata
14

2) Papila fungiformis
3) Papila filiformis (Syaifuddin, 2014)

Gambar 2.8 Anatomi Lidah


B. Fisiologi Lidah

Seluruh rasa dapat dirasakan oleh seluruh permukaan lidah. Rasa yang
dapat dirasakan indera pengecap yaitu manis, asin, asam dan pahit yang dikenal
dengan istilah sensasi rasa primer. Selain itu, ada rasa kelima yang telah
teridentifikasi yakni umami yang dominan ditemukan pada Lglutamat. Lima rasa
yang dapat dikecap lidah :

a. Rasa manis

Hampir semua zat yang dapat menyebabkan rasa manis merupakan zat
kimia organik seperti gula, glikol, alkohol, aldehida, keton, amida, ester, asam
amino, asam sulfonat, dan asam halogen. Sedangkan zat anorganik yang dapat
menimbulkan rasa manis adalah timah hitam dan berilium. Daerah sensitivitas
rasa manis terdapat pada apex lingua.

b. Rasa asam

Rasa asam disebabkan oleh suatu golongan asam. Makin asam suatu
makanan maka sensasi rasa asamnya semakin kuat. Daerah sensitivitas rasa asam
terdapat pada sepanjang tepi lateral lidah bagian posterior.
15

c. Rasa Asin

Rasa asin ditimbulkan oleh garam terionisasi terutama konsentrasi ion


sodium. Antara satu garam dengan garam lainnya memiliki kualitas rasa asin yang
sedikit berbeda dikarenakan beberapa jenis garam mengeluarkan rasa lain
disamping rasa asin. ) Daerah sensitivitas rasa asin terdapat pada sepanjang tepi
lateral lidah bagian anterior

d. Rasa pahit

Zat-zat yang memberikan rasa pahit semata-mata hampir semua


merupakan zat organik. Daerah sensitivitas rasa pahit terdapat pada dorsum lidah
bagian posterior.

e. Rasa umami

Rasa umami mempunyai ciri khas yang jelas berbeda dari keempat rasa
lain, termasuk sincrgisme peningkat rasa antara dua senyawa umami yaitu L-
glutamat dan 5’- ribomulceotides. Umami adalah rasa yang dominan ditemukan
dalam ekstrak daging dan keju (Guyton dan Hall, 2014).

4. Anatomi dan Fisiologi Sistem Peraba (Kulit)


a. Anatomi Kulit

Kulit manusia tersusun atas dua lapisan, yaitu epidermis dan dermis.
Epidermis merupakan lapisan teratas pada kulit manusia dan memiliki tebal yang
berbeda- beda: 400−600 μm untuk kulit tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki)
dan 75−150 μm untuk kulit tipis (kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki
rambut). Selain sel-sel epitel, epidermis juga tersusun atas lapisan :

1) Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses


melanogenesis.
2) Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum
tulang yang merangsang sel Limfosit T. Sel Langerhans juga mengikat,
mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T. Dengan
demikian, sel Langerhans berperan penting dalam imunologi kulit.
3) Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus d. Keratinosit,
yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga paling dalam sebagai
berikut:
16

Gambar 2.9 Anatomi Kulit


a) Stratum Korneum, terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng, tanpa inti dengan
sitoplasma yang dipenuhi keratin.
b) Stratum Lucidum, terdiri atas lapisan tipis sel epidermis eosinofilik yang
sangat gepeng.
c) Stratum Granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng yang
sitoplasmanya berisikan granul keratohialin.
d) Stratum Spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid. Sel-sel spinosum saling
terikat dengan filamen.
e) Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling bawah pada
epidermis, terdiri atas selapis sel kuboid.

Dermis, yaitu lapisan kulit di bawah epidermis. Dermis terdiri atas dua lapisan
dengan batas yang tidak nyata, yaitu stratum papilare dan stratum reticular.

Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis, terdiri
atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast, sel mast, makrofag,
dan leukosit yang keluar dari pembuluh (ekstravasasi). b. Stratum retikulare, yang
lebih tebal dari stratum papilare dan tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur
(terutama kolagen tipe I). Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung
beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar.
Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu jaringan ikat longgar yang disebut
jaringan subkutan dan mengandung sel lemak yang bervariasi. Jaringan ini disebut
juga fasia superficial, atau panikulus adiposus.
17

Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis, terdiri
atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast, sel mast, makrofag,
dan leukosit yang keluar dari pembuluh (ekstravasasi). b. Stratum retikulare, yang
lebih tebal dari stratum papilare dan tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur
(terutama kolagen tipe I). Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung
beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar
sebacea. Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu jaringan ikat longgar yang
disebut jaringan subkutan dan mengandung sel lemak yang bervariasi. Jaringan ini
disebut juga fasia superficial, atau panikulus adiposus (Syaifuddin, 2014).

b. Fisiologi Kulit

Sama halnya dengan jaringan pada bagian tubuh lainnya, kulit juga melakukan
respirasi (bernapas), menyerap oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.
Namun, respirasi kulit sangat lemah. Kulit lebih banyak menyerap oksigen yang
diambil dari aliran darah, dan hanya sebagian kecil yang diambil langsung dari
lingkungan luar (udara). Begitu pula dengan karbondioksida yang dikeluarkan,
lebih banyak melalui aliran darah dibandingkan dengan yang diembuskan
langsung ke udara. Meskipun pengambilan oksigen oleh kulit hanya 1,5 persen
dari yang dilakukan oleh paru-paru, dan kulit hanya membutuhkan 7 persen dari
kebutuhan oksigen tubuh (4 persen untuk epidermis dan 3 persen untuk dermis),
pernapasan kulit tetap merupakan proses fisiologis kulit yang penting.
Pengambilan oksigen dari udara oleh kulit sangat berguna bagi metabolisme di
dalam sel-sel kulit. Penyerapan oksigen ini penting, namun pengeluaran atau
pembuangan karbondioksida (CO2) tidak kalah pentingnya, karena jika CO2
menumpuk di dalam kulit, ia akan menghambat pembelahan (regenerasi) sel-sel
kulit. Kecepatan penyerapan oksigen ke dalam kulit dan pengeluaran CO2 dari
kulit tergantung pada banyak faktor diluar maupun di dalam kulit, seperti
temperatur udara, komposisi gas di sekitar kulit, kelembaban udara, kecepatan
aliran darah ke kulit, usia, keadaan vitamin dan hormon di kulit, perubahan dalam
proses metabolisme sel kulit, pemakaian bahan kimia pada kulit, dan lain-lain
(Guyton dan Hall, 2014).
BAB 3
PEMERIKSAAN LAB
A. Pemeriksaan Penunjang
Pengkajian Data
1. Riwayat
- Kesehatan Masa Lalu
- Adakah riwayat masalah penglihatan sebelumnya?
- Adakah riwayat diabetes mellitus?
- Adakah riwayat hipertensi?
- Adakah riwayat penyakit neurologis?
- Pernahkah pasien menjalani terapi mata tertentu (misalnya laser)?
2. Riwayat Keluarga
- Adakah riwayat masalah penglihatan turunan dalam keluarga
(missal glaucoma)?
- Adakah riwayat gejala gangguan mata dalam keluarga (misalnya
penularan konjungtivitis infeksi)?
- Bagaimana tingkat ketidakmampuan penglihatan pasien?
- Apakah pasien teregistrasi sebagai orang buta?
- Pernahkah pasien menjalani adaptasi di rumah?
- Apakah pasien memiliki anjing pemandu?
3. Riwayat Pengobatan

Adakah riwayat pemakaian obat yang mungkin menyebabkan


gejala gangguan penglihatan atau obat untuk mengobati penyakit mata
(misalnya tetes mata untuk glaucoma)?
B. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
1. Lakukan inspeksi mata
- Adakah kelainan yang terlihat jelas (misalnya proptosis [protusi
bola mata abnormal], mata merah, asimetri, nistagmus yang jelas,
atau ptosis)?
- Lihat konjungtiva, kornea, iris pupil, dan kelopak mata.
- Apakah pupil simetris? Bagaimana ukurannya apakah keduanya
merespons normal dan seimbang pada cahaya dan akomodasi?
- Adakah ptosis? Periksa menutupnya kelopak mata.
- Bagian yang perlu dikaji saat pemeriksaan fisik menurut Arif
Muttaqin tahun 2011 antara lain :
1) Postur dan gambaran klien
2) Kesimetrisan mata

18
1

3) Alis dan kelopak mata


4) Bulu mata
Perawat kemudian harus memeriksa bulu mata untuk
posisi dan distribusinya. Biasanya selain berfungsi sebagai
pelindung mereka dapat juga menjadi iritan bagi mata bila
menjadi panjang dan salah arah. Bulu mata yang panjang dan
tak teratur dapat mengakibatkan iritasi kornea. Orang yang
menderita depigmentasi abnormal, albinisme, infeksi kronik,
dan penyakit autoimun bulu matanya akan memutih, atau
poliosis.
5) System Lakrimal
Struktur dan fungsi pembentukan dan drainase air mata
harus dikaji. System lakrimal tersusun atas bagian sekresi dan
drainase. Air mata aqueus diproduksi oleh kelenjar air mata
yang terletak di bawah orbita lateral atas. Bila dicurigai
pembesaran kelenjar, kelopak mata atas harus dieversi untuk
memajankan dan menginspeksi kelenjar mengenai adanya
pembengkakan inflamasi. Lapisan air mata secara umum
mengenai kelembaban atau kekeringannya. Dengan melakukan
uji Schimer merupakan cara yang mudah untuk mendeteksi
jumlah produksi air mata. Selembar kertas seperti lakmus
dilipat dan diselipkan di kelopak mata bawah dan dibiarkan
selama 5 menit. Kertas tersebut digunakan seperti sumbu,
untuk menyerap air mata yang dihabiskan. Uji ini dapat
dilakukan dengan atau tanpa anestesis local. Setelah 5 menit,
diukur kebasahan kertas. Hasil uji dinyatakan normal bila
kebasahannya ≥ 10 mm; kebasahan yang melebihi 25 mm
menunjukkan kelebihan produksi air mata.
Komponen drainase system lakrimal meliputi puncta,
kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis.
Drainase pertama kali dikaji dengan mengobservasi puncta.
2

Merupakan muara kecil, oval di kantus medial bagian atas dan


bawah yang berfungsi menyalirkan air mata ke kanalikuli.
Merupakan bagian atas system drainase air mata untuk
kemudian dialirkan k sakus dan duktus lakrimalis. Terkadang
puncta mengalami inflamasi dan nampak merah dan
“mencucu”. Edema dan eksudat dapat menyumbat bagian atas
system lakrimalis, akibatnya air mata akan membanjir ke
muka. System drainase lakrimalis dapat mengalami inflamasi
dan penyumbatan, mengakibatkan sakus menggelembung pada
sisi jembatan hidung. Sering terjadi pada anak-anak. Eksudat
dan cairan lain yang keluar dikaji mengenai warna, lokasi dan
perkiraan jumlahnya. Obstruksi dan inflamasi duktus
lakrimalis sering dapat diidentifikasi dengan meraba sisi
hidung dekat kantus medial mata. Daerah tersebut dikaji
mengenai adanya nyeri tekan dan pembesaran. Setiap bantuk
cairan yang keluar dari puncta harus dicatat dan digambarkan.
6) Konjungtivita dan Sclera
Sclera dan konjungtiva bulbaris diinspeksi secara
bersama. Kelopak dilebarkan dibuka dengan meletakkan
telunjuk pada kelopak mata atas pasien dan ibu jari pada
bagian bawah agar terhindar dari trauma jaringan lunak.
Ketika kelopak mata dibuka dengan lembut, pasien diminta
melihat ke atas, bawah, dan ke kedua sisi. Konjungtiva
bulbaris yang tampak dari luar diinspeksi. Kapiler kecil
normalnya terlihat pada konjungtiva, dan sclera fibrosa
normalnya putih.tapi, pada orang berkulit gelap, sclera kadang
tampak kekuningan; merupakan temuan yang normal, jangan
dikacaukan dengan ikterik, kekuningan sclera yang ditemukan
pada penyakit hati dan empedu. Sclera tampak kebiruan bila
sangat tipis. Konjungtiva palpebra kelopak mata bawah dapat
langsung diinspeksi dengan menyuruh pasien melihat ke atas
sementara
2

kelopak mata bawah dieversi dengan tarikan lembut batas


kelopak mata bawah. Demikian juga, kelopak mata atas juga
harus dieversi untuk melihat konjungtiva palpebranya.
Mata dibagi dalam dua kamera: anterior dan posterior.
Lokasi kamera segmen anterior memungkinkan inspeksi kasar
tanpa menggunakan instrument khusus. Kamera posterior,
sebaliknya, hanya bisa dilihat dengan instrument dengan
cahaya, cermin, atau pembesar.
7) Pemeriksaan Kornea
Biasanya lampu slit digunakan untuk memeriksa
kornea secara cermat; namun, perawat dapat melakukan
observasi berbagai keadaan menggunakan lampu senter
kecil. Hal pertama yang harus diobservasi adalah keadaan
umum kornea. Untuk melakukan inspeksi permuakaan
kornea, pemeriksa menyorotkan senter pada bagian
anterior. Normalnya, kornea tampak halus dengan pantulan
cahaya seperti cermin, terang, simetris dan tunggal.
Iregularitas segera dapat mendeteksi adanya defek pada
pantulan cahaya yang berpendar menunjukkan permukaan
yang ireguler atau edema kornea.
Kemudian, kejernihan kornea diobservasi. Kornea
harus transparan sehingga cahaya dapat melaluinya secara
bebas. Bila kornea dan kamera anterior jernih, gambaran
detil iris dapat dilihat jelas. Kornea diobservasi mengenai
adanya parut, yang biasanya tampak putih kelabu. Parut
menunjukkan adanya trauma, pembedahan atau infeksi
sebelumnya. Pengkabutan kornea terlihat pada kasus edema
kornea, seperti pada glaucoma akut, pasca trauma dan
pembedahan, atau setiap kejadian yang merusak epitel.
Biasanya kornea tidak mengandung pembuluh darah.
Tumbuhnya pembuluh darah ke kornea atau menonjolnya
2

pembuluh darah di sekitar perimeter harus dicatat.


Pembuluh darah seperti ini tidak normal dan dapat
mengganggu penglihatan. Bayangan yang tercetak di iris
menunjukkan lesi kornea atau penggeseran ke dapan
kamera anterior.
Untuk mengevaluasi bentuk kornea, dan kedalaman
kamera anterior, perawat dapat mengarahkan senter secara
oblik dari sisi pasien. Temuan dapat meliputi keratokonus,
kornea yang menggelembung runcing disebabkan oleh
penipisan lapisan kornea atau pendataran kamera akibat
dekompresi, yang dapat diakibatkan oleh rupture bola mata
atau luka operasi terbuka, atau peningkatan tekanan
intraokuler karena iris menonjol kedepan.
Kornea melindungi mata karena sifatnya yang
sangat sensitive. Ketika hanya teriritasi ringan, seperti
adanya seelembar bulu mata, dapat menginduksi reflex
kornea. Sensitivitas kornea dikaji dengan menyapukan
serabut kapas bersih yang berbeda pada masing-masing
kornea, hati-hati jangan sampai menyentuh kelopak atau
bulu mata. Uji ini akan menimbulkan kejapan mata segera
dan sama, bilateral dan pengeluaran air mata.
Pada orang sadar, refleks kornea dapat dirangsang
dengan mengetuk ringan kelopak mata atas yang menutupi
kornea. Bila kornea utuh, pasien akan mengejapkan mata.
Benda asing dikornea akan menimbulkan gejala nyeri,
fotofobia, dan pengeluaran air mata. Trauma kornea dapat
mengakibatkan gejala berat dan menyulitkan pemeriksaan.
Untuk memeriksa kornea dan struktur mata lainnya,
mungkin diperlukan anestesi local. Anestesi dapat bekerja
segera, membebaskan pasien dari rasa nyeri, dan
memudahkan pemeriksaan.
2

Untuk mendeteksi ulkus kornea atau benda asing,


dapat diberikan pewarna fluoresin topical sebelum
pemeriksaan. Pewarna fluoresin akan melekat pada epitel
yang terkelupas dan tampak hijau terang ketika disinari
dengan lampu slit, lampu khusus yang digunakan untuk
memeriksa mata.
Bewarna merah Bengal akan mewarnai defek epitel
lebih baik daripada fluoresen, namun biasanya digunakan
untuk mendiagnosis penyakit konjungtiva, seperti
keratokonjungtivitis sika, suatu inflamasi pada mata
anterior akibat kekeringan. Bila seseorang mengalami
rupture bola mata, atau lubang pada kornea, jangan sekali-
sekali diberikan tetes mata, karena dapat masuk kedalam
mata dan diingat, pewarna topical dapat menodai lensa
kontak; jadi, lensa harus dilepas sebelum pemberian warna.
Limbus harus diperiksa adanya penyebaran
pembuluh darah atau adanya warna merah gelap, yang
terlihat pada inflamasi traktus uvea. Pasien usila terkadang
mengalami arkus senilis, suatu cincin keabuan jinak di
sekeliling batas kornea. Namun, bila terdapat pada pasien
muda, menunjukkan adanya peningkatan kadar kolesterol
serum.
8) Pupil
Pupil normal berbentuk bulat, letak sentral, dan berada
pada ukuran yang sama antara kiri dan kanan (isokor).
Terdapat
±5% individu yang secara normal memiliki perbedaan dalam
ukuran pupil. Perbedaan ini disebut anisokor. (Vaughan
dalam).
9) Pemeriksaan Fundus
10) Pemeriksaan Iris dan Kamera Sensoris
Sementara memeriksa kornea, humor aqueus di kamera
anterior dikaji mengenai kejernihannya. Pada keadaan tertentu,
2

terdapatnya sel dan pengkabutan (flare) dalam humor aqueus


dapat terlihat. Pengkabutan ini disebabkan oleh peningkatan
bahan seperti protein akibat inflamasi di dalam kamera
anterior, meninggalkan sel darah putih dan debris infeksius.
Pengumpulan nanah di kamera anterior dinamakan hipopion.
Pembuluh darah dalam struktur kamera anterior dapat
mengalami cedera atau rapuh atau rupture, menyebabkan
tertumpahnya darah ke dalam rongga ini. Darah di dalam
kamera anterior dinamakan hifema. Kedua keadaan ini dapat
dilihat lebih jelas setelah pasien duduk tegak sehingga
gravitasi menarik material kebawah, membentuk batas cairan
yang dapat terlihat di kamera anterior.
Iris diperiksa bentuk, simetri dan warnanya. Tidak ada
dua iris yang sama, sehingga setiap orang adalah unik. Iris
diinspeksi kontinuitasnya dan adanya gambaran yang tidak
biasa. Bila pembuluh darah berkembang atau pembuluh darah
yang ada mengalami distensi, seperti pada proses inflamasi,
baru dapat terlihat pada iris. Pembuluh darah berkelok-kelok
yang terdapat pada penderita diabetes dinamakan rubeosis
irides.
Struktur eksternal mata diperiksa terutama dengan
inspeksi. Struktur ini meliputi alis, kelopak mata, bulu mata,
apparatus lakrimalis, konjungtiva, kornea, kamera anterior, iris
dan pupil.
Ketika melakukan pemeriksaan dari luar kedalam,
perawat pertama-tama melakukan observasi keadaan umum
mata dari jauh, mencatat adanya simetri umum dan posisi dan
kesejajaran mata. Meskipun tak ada satu pun mata yang benar-
benar identik, pada dasarnya ukuran dan konfigurasinya sama.
Variasi dari satu sisi dengan sisi lainnya menunjukkan adanya
atrofi atau peningkatan dimensi, seperti terjadi pada tumor atau
2

pembengkakan dalam rongga orbita. Kedua mata harus


relative sama warnanya, meskipun mungkin ada yang
warnanya berbeda. Warna mata menjadi pucat sesuai
pertambahan usia, penyakit depigmentasi, dan berbagai
penyakit autoimun.
Alis diobservasi mengenai kuantitas dan penyebaran
rambutnya. Kelopak mata diinspeksi warna, keadaan kulit, dan
ada tidaknya serta arah tumbuhnya bulu mata. Batas kelopak
diperiksa adanya lesi seperti bintitan atau tumor. Tergantung
pada patah tulang dasar tengkorak fosa anterior, darah dapat
merembes dari robekan dura ke rongga orbita; hematoma yang
terjadi menyebabkan gambaran mata hitam yang dikenal
sebagai mata raccoon. Pasien dengan patah tulang dikaji
adanya kebocoran cairan cerebrospinal dari hidung yang
menyertainya (rinorea). Batas orbita dipalpasi untuk adanya
defek. Iregularitas tepi tulang orbita bisa terjadi pada patah
tulang blow-out orbita atau patah tulang wajah. Dapat terjadi
terjeratnya otot ekstraokuler atau traktus saraf krania. Juga
dicatat adanya jaringan parut, pembengkakan, lepuh, laserasi,
cedera lain dan adanya benda asing.
b. Lakukan tes mata, satu per-satu
1) Lakukan tes ketajaman penglihatan di kedua mata, misalnya dengan kartu
snellen untuk penglihatan jauh dan dengan kartu jaeger untuk penglihatan
dekat.
Mata memberikan stimuli visual ke korteks oksipital. Tajam
penglihatan sangat penting untuk diuji, karena merupakan fungsi mata
yang terpenting. Harus dilakukan paling awal sehingga penglihatan sudah
dapat dikaji sebelum kita benar-benar menyentuh mata.
Uji formal ketajaman penglihatan harus merupakan bagian dari setiap
data dasar pasien. Tajam penglihatan diuji dengan kartu mata (kartu
Snellen) yang diletakkan 6 meter (20 kaki) dari pasien atau menggunakan
kartu dekat. Pasien diminta untuk menutup salah satu mata dengan
2

selembar kertas atau karton, agar kedua mata tetap terbuka, dan membaca
setiap baris pada kartu sampai hurus yang tercetak tak dapat lagi dikenali.
Bila pasien menggunakan lensa koreksi, ketajaman penglihatan harus
diuji dengan dan tanpa menggunakan lensa.
Tes tajam penglihatan (visual acuity, VA) menilai kekuatan
resolusi mata. Tes standar adalah dengan menggunakan kartu snellen,
yang terdiri dari baris-baris huruf yang ukurannya semakin kecil. Tiap
baris diberi nomor dengan jarak dalam meter dan blebar tiap huruf
membentuk sudut 1 menit dengan mata. Tajam penglihatan dicatat
sebagai jarak baca (missal 6 meter) pada nomor baris, dari huruf terkecil
yang dilihat. Jika jarak baca ini adalah garis 6 meter, maka tajam
penglihatan adalah 6/6; jika jarak baca ini adalah garis 60 meter, maka
tajam penglihatan adalah 6/60. Penglihatan diperiksa dengan kacamata
bila pasien menggunakan kacamata, namun tes pinhole akan mengoreksi
kelainan refraksi sedang.
Buta huruf dapat diatasi dengan menggunakan kartu (kartu
snellen) yang menampilkan huruf E dengan empat posisi yang berbeda.
Kartu ini juga berguna untuk mengkaji ketajaman penglihatan anak
berumur 5 tahun. Pemeriksaan kasar ketajaman penglihatan dapat
dilakukan di tempat tidur menggunakan teknik dasar. Pengkajian tersebut,
seperti persepsi terhadap cahaya, gerakan tangan, menghitung jari, dan
membaca, sangat mudah dilakukan dan dapat member informasi praktis
mengenai penglihatan pasien.
Pada anak, digunakan berbagai metode untuk menilai tajam
penglihatan :
a) Anak yang masih sangat kecil diamati untuk mengetahui apakah
mereka dapat mengikuti objek atau mengambil “ratusan dan ribuan”
dekorasi kue.
b) Tes tajam penglihatan Cardiff dapat digunakan untuk menilai
penglihatan anak usia satu hingga tiga tahun. Metode ini merupakan
tes penglihatan pilihan berdasarkan fakta bahwa anak lebih suka
melihat target yang kompleks dibandingkan target sederhana. Kartu
berwarna
2

abu-abu memperlihatkan berbagai gambar yang dikelilingi oleh pita


putih dan dibatasi dengan dua pita hitam. Gambar menjadi lebih sulit
dilihat dengan latar belakang abu-abu bila lebar pita berkurang.
Pandangan anak diamati dan pemeriksa memperkirakan apakah objek
yang dilihat berada pada bagian atas atau bawah kartu. Saat pemeriksa
tidak dapat mengidentifikasikan posisi objek dari pandangan anak,
diasumsikan bahwa anak tidak dapat melihat gambar.
c) Anak yang lebih besar mampu mengidentifikasi atau memasangkan
satu gambar dan huruf dengan berbagai ukuran (tes Sheridan-Gardiner).
Ketajaman penglihatan diekspresikan dalam rasio yang membandingkan
bagaimana seseorang dengan penglihatan normal melihat dari jarak 20 kaki
dengan yang dilihat pasien dari jarak 20 kaki. Ketajaman penglihatan 20/50
berarti pasien dapat melihat dari 20 kaki jauhnya sedangkan orang normal mampu
melihatnya pada jarak 50 kaki; 20/200, batas kebutaan legal, menunjukkan bahwa
pasien dapat melihat pada 20 kaki sedangkan mata normal dapat melihatnya pada
jarak 200 kaki. Pasien seperti ini hanya dapat membaca dengan akurat huruf besar
di baris paling atas kartu senellen. Pasien yang tajam penglihatannya masih
kurang dari 20/20 ketika sudah dikoreksi dengan kaca matanya sendiri harus
dirujuk ke ahli oftalmologi atau optometris.
Setelah usia 40 tahun, lensa mata mulai menjadi kaku dan tak mampu
mengakomodasikan bentukya terhadap pandangan jarak dekat (presbiopia).
Dengan meminta pasien membaca surat kabar dengan jarak satu kaki adalah uji
skrining umum untuk presbiopia. Pasien yang mengalami kesulitan dengan
pemeriksaan ini harus dirujuk ke spesialis untuk evaluasi lebih lanjut.
2) Lakukan tes penglihatan warna; misalnya dengan menggunakan kartu ishihara.
3) Lakukan pemeriksaan pengukuran tekanan okuler, yaitu tonometri schiotz
dan tonometri applanasi.
4) Lakukan tes lapang pandang dengan tes konfrontasi dan periksa adanya bintik
buta.
Lapang pandang memetakan perluasan perifer dunia visual. Tiap lapang
pandang dapat direpresentasikan sebagai satu seri kontur atau isopter,
2

mendemonstrasikan kemampuan untuk melihat satu target dengan ukuran dan


kecerahan tertentu. Lapang pandang tidak rata; daerah pusat mata dapat
mendeteksi objek yang jauh lebih kecil dibandingkan di perifer. Hal ini
menghasilkan “bukit penglihatan” dimana objek yang dilihat dengan detail terbaik
berada pada puncak bukit. (di fovea). Di sisi temporal lapang pandang terletak
bintik buta. Ini berhubungan dengan papil saraf optic dimana tidak terdapat
fotoreseptor.
Bersamaan dengan ketajaman penglihatan, lapang pandang juga harus dikaji.
Kebanyakan, manusia mempunyai lapang pandang bulat, termasuk bintik buta di
mana saraf optik memasuki mata dan di mana tidak terdapat sel retina fotosensitif.
Meskipun lapang pandang dapat dikaji dengan tepat oleh optalmologis,
estimasi kasar dapat dibuat di kantor atau di tempat tidur pasien ketika
pemeriksaan memperhatikan adanya gangguan umum lapang pandang,
misalnya, pada pasien dengan cedera serebrovaskuler (stroke) atau glaucoma.
Pasien dengan stroke dapat kehilangan seperempat atau setengah lapang pandang
pada kedua matanya. Defisit penglihatan akibat glaukoma cenderung mengikuti
pola tertentu kehilangan pandangan perifer progresif (tunnel vision =
pandangan terowongan), yang
sayangnya merupakan temuan yang sudah terlambat.
Metoda yang mudah dan dapat dipercaya untuk menguji penuhnya lapang
pandang adalah konfrontasi langsung dan menggunakan uji telunjuk. Pemeriksa
dan pasien duduk dengan jarak 1 sampai 2 kaki, saling berhadapan. Pasien
diminta menutup salah satu mata dengan karton, tanpa menekan, sementara ia
harus memandang hidung pemeriksa. Sebaliknya pemeriksa juga menutup salah
satu matanya sebagai pembanding. Bila pasien menutup mata kirinya, misalnya,
pemeriksa menutup mata kanannya. Pasien diminta melirik tetap pada hidung
pemeriksa dan menghitung jumlah jari yang ada di medan superior dan inferior
lirikan temporal dan nasal. Jari pemeriksa digerakkan dari posisi luar terjauh ke
tengah dalam bidang vertical, horizontal, dan oblik, seperti pada pemeriksaan
pengkajian medan lirikan kardinal. Medan nasal, temporal, superior dan inferior
dikaji dengan memasukkan benda dalam penglihatan dari berbagai titik perifer.
Pada setiap manuver, pasien member informasi kepada pemeriksa saat ketika
benda mulai dapat terlihat sementara mempertahankan arah lirikannya ke depan.
2

Untuk menguji medan pandangan nasal lirikan pada mata yang sama,
pemeriksa menggesar benda dari tangan kanan ke tangan tiri. Keseluruhan
prosedur dilakukan dengan cara sebaliknya untuk mengkaji medan pandangan
mata yang satunya. Penentuan secara kasar medan penglihatan dapat dideteksi
dengan cara ini. Bila pada uji konfrontasi memperlihatkan penurunan medan
penglihatan, atau bintik buta, maka pasien harus dirujuk ke ahli oftalmologi untuk
evaluasi lebih lanjut.
Selain uji medan penglihatan di tempat tidur, ada cara yang lebih canggih dan
dapat dihitung untuk mengukur medan pandangan. Perimeter Goldman atau alat
uji perimetri automatis yang baru menggunakan plotting sistematis persepsi titik-
titik cahaya yang diproyeksikan pada mangkuk bulat dengan kepala diletakkan di
pusatnya.
5) Lakukan tes gerak bola mata; tanyakan mengenai diplopia dan cari nistagmus.
6) Reaksi pupil
Ukuran pupil (miosis, konstriksi; midriasis, dilatasi) dan responsnya
terhadap cahaya dan akomodasi memberikan informasi penting mengenai :
a. Fungsi jalur aferen yang mengontrol pupil (saraf dan traktus optic);
b. Fungsi jalur eferen
Pemeriksaan pupil dimulai dengan penilaian ukuran pupil dengan cahaya
uniform. Jika terdapat asimetri (anisokoria) harus ditentukan apakah pupil
yang kecil atau yang lebar yang merupakan pupil abnormal. Pupil kecil yang
patologis (setelah kerusakan system saraf simpatis) akan menjadi lebih jelas
pada pencahayaan redup, karena dilatasi pupil normal akan menjadi lebih
besar. Pupil lebar yang patologis (didapatkan pada penyakit system saraf
parasimpatis) akan menjadi lebih jelas dalam cahaya.
Pasien dengan riwayat inflamasi mata anterior (iritis), trauma, atau
pembedahan mata sebelumnya mungkin mengalami perubahan struktur iris
yang secara mekanik mempengaruhi bentuk pupil. Beberapa individu
memiliki diameter pupil asimetris yang tidak terkait dengan penyakit.
Pada pasien yang ukuran pupilnya sama, langkah berikutnya adalah
mencari defek fungsi saraf optic, dengan menggunakan “tes sentolop
berayun”.
3

Pemeriksaan ini merupakan petunjuk sensitive untuk defek konduksi aferen.


Pasien duduk di ruangan dengan pencahayaan redup dan memandang objek
yang jauh. Senter diarahkan pada tiap mata secara bergantian sementara pupil
diamati. Defek unilateral pada konduksi saraf optic diperlihatkan sebagai
defek pupil aferen relative (relative afferent pupil defect, RAPD).
Untuk memeriksa aferen reflex pupil, pasien kemudian diminta untuk
melihat objek yang dekat; pupil yang normal mengalami kontriksi bersama
dengan akomodasi dan konvergensi. Ini dinamakan reflex dekat.
Pupil adalah lubang ditengah iris. Ketika kita memeriksa pupil, kita
mengkaji reaksi terhadap cahaya dan pandangan dekat dengan konvergensi,
misalnya untuk mengevaluasi gangguan system saraf pusat (SSP) atau pada
tekanan intracranial. Iris dapat berubah ukurannya untuk mengontrol cahaya
yang masuk kedalam mata. Ketika sel fotosensitif retina terkena cahaya
terang, pupil yang normal akan segera berkonstriksi secara regular dan
konsentris. Reaksinya harus cepat dan simetris. Akan terjadi reaksi konstriksi
simultan pada pupil mata yang lain.
7) Pergerakan mata
Pergerakan mata dinilai ketika duduk menghadap pasien. Perhatikan hal-hal
berikut ;
a. Posisi mata,
b. Kisaran pergerakan mata,
c. Jenis pergerakan mata.
Arah yang abdormal pada salah satu mata dalam posisi primer pandangan
(melihat lurus ke depan) dapat menandakan adanya strabismus. Hal ini dapat di
konfirmasi dengan melakukan tes cover.
Kisaran pergerakan mata dinilai meminta subjek untuk mengikuti objek yang
bergerak. Pergerakan horizontal, vertical, dan oblik diperiksa dari posisi primer
pandangan dengan cara meminta pasien melaporkan adanya penglihatan ganda
(diplopia). Adanya pergerakan mata yang berosilasi (nistagmus) juga dicatat.
Pergerakan mata ketika mengikuti objek diperiksa. Pergerakan mata ini (gerakan
mengikuti) biasa lancar namun dapat berubah bila ada penyakit. Kemampuan
untuk
3

mengarahkan pandangan dengan cepat dari satu objek ke objek lain (pergerakan
mata sakadik) dapat diperiksa dengan meminta pasien untuk melihat target
(seperti jari) yang diletakkan pada tiap sisi kepala. Pergerakan ini harus cepat,
halus, dan akurat (yaitu tidak overshoot atau undershoot target).
Otot ekstraokuler adalah enam otot kecil yang melekat pada tiap mata yang
menggerakkan bola mata. Diinervasi oleh tiga saraf otak (SO III,IV, dan VI). Aksi
sinergis (sesuai) otot ekstraokuler kedua mata menghasilkan gerakan parallel.
Mekanisme bagaimana cara kerjanya sangat kompleks, dan analisis
abnormalitasnya memerlukan konsultasi dengan dokter.
Kesejajaran paralel mata tersebut dapat dengan mudah dideteksi dengan
mengarahkan sinar langsung ke mata sementara pasien memandangi sumber
cahaya. Tempat pantulan cahaya pada mata harus identik. Refleks cahaya yang
berbeda antara satu mata dengan lainnya menunjukkan gangguan penglihatan
parallel.
Uji Menutup. Disamping kesejajaran normal kedua mata ketika keduanya
berfungsi bersama, ada kecenderungan salah satu mata untuk bergeser ke sisi
nasal atau sisi temporal (dan perlunya untuk mengkompensasi secara involunter
dengan usaha) dapat dikaji dengan uji menutup. Salah satu mata pasien ditutup
dengan karton atau tangan pemeriksa, dan pasien diminta memfokuskan mata
yang tidak tertutup pada satu benda diam sementara mata yang ditutup
karton/tangan tetap terbuka. Kemudian karton atau tangan tiba-tiba disingkirkan,
dan akan tampak gerakan abnormal mata. Bila mata, saat ditutup, bergeser kesisi
temporal, akan kembali ke titik semula ketika penutup dibuka. Sebaliknya, bila
bergeser kesisi nasal, fenomena sebaliknya akan terjadi. Kecenderungan mata
untuk bergeser, ketika ditutup, ke sisi temporal dinamakan eksoforia;
kecenderungan mata untuk bergeser ke sisi nasal disebut esoforia.
Lirikan Terkoordinasi. Integritas control saraf otot mata dapat dikaji dengan
mengarahkan pasien, sementara kepala dijaga tetap diam, untuk menggerakkan
matanya keenam posisi cardinal lirikan dengan mengikuti sebuah benda. Benda
digerakkan ke lateral ke kedua sisi sepanjang sumbu horizontal dan kemudian
sepanjang sumbu oblik, masing-masing membentuk sudut 60 derajat dengan
sumbu
3

horizontal. Tiap posisi kardinal lirikan menggambarkan fungsi salah satu dari
keenam otot ekstraokuler yang melekat pada tiap mata. Bila terjadi diplopia atau
pandangan ganda, selama transisi dari salah satu posisi kardinal lirikan, pemeriksa
dapat mengetahui adanya salah satu atau lebih otot ekstraokuler yang gagal untuk
berfungsi dengan benar. Keadaan ini bisa juga terjadi bila salah satu mata gagal
bergerak bersama dengan yang lain.
Ketika gerakan ekstraokuler sedang dikaji, mata diobservasi bila ada
nistagmus, suatu gerakan mata mendadak ireguler seperti gerakan lirikan ke posisi
lateral. Nistagmus mempunyai dua komponen; komponen cepat pada satu arah
atau arah lainnya dan komponen lanjutannya yang lebih lambat yang
mengembalikan mata ke posisi yang diharapkan. Namun, nistagmus pada lirikan
lateral ekstrem adalah temuan yang normal, dan dapat dihindari dengan tidak
meletakkan benda terlalu jauh ke lateral. Ada banyak keadaan, seperti pada
sklerois multiple dan tingginya kadar Dilantin (fenitoin), dapat menimbulkan
nistagmus. Meskipun kebanyakan keadaan tersebut bersifat jinak, namun ada juga
yang mencerminkan proses patologi yang berat.
Mata harus bergerak bersama secara simetris dan dengan arah yang sama.
Ketika tidak bergerak bersama, fenomena ini dinamakan strabismus. Hal ini akan
menimbulkan pandangan ganda atau kabur karena gambar yang diprojeksikan
pada masing-masing retina berbeda. Strabismus merupakan salah satu penyebab
ambliopia.
Pemeriksaan Kalori. Ketika mengkaji viabilitas otak, dapat dilakukan
pemeriksaan kalori. Dilakukan dengan cara memasukkan air hangat maupun
dingin ke dalam telinga. Pada orang sehat, akan menimbulkan nistagmus cepat
kearah atau menjauhi penetasan air. Saat melakukan uji kalori pada orang sehat
dapat membangkitkan muntah dan nyeri hebat. Tidak adanya nistagmus selama uji
kalori merupakan salah satu tanda klinis kematian otak.
8) Kelopak mata
Biasanya kelopak mata letaknya sejajar. Tepi kelopak terletak dekat bola
mata pada mata yang sehat. Jika tepi kelopak mengarah keluar dari bola mata
3

maka terdapat ektropion, jika tepi ini mengarah kedalam dan bulu mata
bergesekan dengan bola mata maka terdapat entropion.
Kelopak mata yang jatuh (ptosis) dapat menunjukkan :
a. Kelainan anatomis (misalnya kegagalan tendon levator untuk berinsersi
dengan benar dikelopak).
b. Masalah organic (misalnya kelemahan otot levator pada miastenia gravis atau
gangguan persarafan pada palsi saraf ketiga).
Dalam menilai ptosis, jarak antara kelopak mata atas dan bawah diukur
dengan psien melihat lurus kedepan. Kemudian dicatat ekskursi kelopak mata
atas dari pandangan ke bawah yang ekstrim ke pandangan ke atas ekstrim.
Pada miastenia, pengulangan gerakan kelopak mata keatas dan kebawah akan
meningkatkan ptiosis karena otot levator mengalami kelelahan.
Posisi kelopak mata dikaji dalam hubungannya dengan bola mata. Posisi
kelopak dan simetri merupakan bagian sangat penting pada pemeriksaan saraf
otak (SO). Untuk mengkaji SO III, perawat meminta pasien untuk menutup
mata secara ringan untuk menentukan apakah mata bisa tertutup secara
penuh. Pembukaan mata mengkaji SO VII.
Setelah mata terbuka, posisi kelopak diobservasi untuk melihat apakah
keduanya simetris dan batas bawahnya berhenti pada bagian iris sama tinggi.
Tidak boleh terlihat sclera di atas atau di bawah kornea. Posisi kelopak harus
simetris, dan kelopak mata atas harus tepat melintasi limbus kornea dan di
atas pupil. Kelopak tidak boleh menutupi pupil, yang dapat mengganggu
penglihatan. Iris, kornea atau sclera tidak dapat terlihat secara utuh pada
keadaan istirahat saat wawancara. Terlihatnya bagian mata yang lebih dari
biasa mengindikasikan adanya protrusi, atau eksoftalmos, yang mungkin
diakibatkan oleh hipertiroidisme atau masa dalam orbita.
Eksoptalmus klasik, seperti pada penyakit Grave (hipertiroidisme),
diperkirakan merupakan proses autoimun yang berakibat inflamasi orbita dan
pembengkakan otot dan lemak. Protusi unilateral dapat berhubungan dengan
masa dalam orbita, seperti tumor, sementara protrusi bilateral menunjukkan
3

adanya edema umum. Retraksi kelopak dapat menyerupai keadaan seperti


mata yang mengalami protrusi.
Mata dan kelopak mata orang yang kekurangan nutrisi atau dehidrasi
Nampak seperti tenggelam atau cekung karena lemak dan cairan yang
tersimpan di belakang bola mata hilang. Ptosis (turunnya kelopak) dapat
disebabkan oleh edema, kelemahan otot, defek congenital, atau masalah
neurologis (SO III) yang disebabkan oleh trauma atau penyakit.
Kelopak mempunyai peran penting pada integritas mata. Kelopak
melindungi mata dari benda asing dengan reflex mengejapkan mata.
Pengkajian reflex mengejap yang utuh merupakan bagian pemeriksaan saraf
pusat. Dan penentuan tingkat kesadaraan. Interval mengejap volunter sangat
individual sifatnya dan harus dikaji dengan baik.
Akhirnya, perawat mengobservasi arah kelopak mata. Kelopak harus
terletak merata pada permukaan mata. Kelopak yang melengkung keluar
dinamakan ektropion; kelopak mata seperti ini tak dapat menutup dengan
baik dan mata eksternal dapat terpajan dan kering. Kelopak yang melengkung
ke dalam dinamakan entropion. Bulu mata pada kelopak yang begini akan
menjadi senjata tajam, dan terjadi iritasi kornea ketika mengejapkan mata dan
kontak dengan kulit dan rambut. Penyakit kronik kelopak mata dapat
merusaknya, menghasilkan posisi dan penutupan kelopak yang abnormal.
Kenyataannya, banyak pasien dengan infeksi kelopak kronik kemudian
mengalami kekeringan mata dan ulkus abrasi kornea akibat iritasi persisten
dan kehilangan bulu mata.
1. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berdasarkan
Smeltzer & Bare (2013) dan adalah:
a. Oftalmoskopi
Sebuah alat yang digunakan untuk melihat struktur eksterior dan inferior
mata dalam ofalmoskop. Paling mudah untuk mengkaji fundus saat runag
gelap karena pupil akan dilatasi. Saat menggunakan oftalmoskop direk,
perawat memegang instrument dengan tangan kanan saat mengkaji OD dan
tangan kiri saat mengkaji OS. perawat berdiri pada sisi yang nyaman dan
sama dengan
3

mata klien yang akan diperiksa. Klien diminta melihat ke arah depan pada
objek yang terletak di dinding belakan perawat. Bagian yang diperksa dari
pemeriksaan ini yaitu, diskusoptikus, pembuuh optikus, fundus, makula.
Dapat dilihat melalui oftalmoskop, yaitu suatu instrumen yang digunakan
dengan cara dipegang yang memproyeksikan cahaya melalui prisma dan
membelokkan cahaya dengan sudut 90°, memungkinkan pemeriksa melihat
retina. Dalam melakukan pemeriksaan ruangan harus digelapkan untuk
melebarkan dilatasi pupil. Pemeriksaan ini meliputi evaluasi diskus optikus,
pembuluh darah retina, karakteristik retina, area makula, dan humor aqueus.
b. Tonometri
Tonometri adalah teknik untuk mengukur tekanan intraokuler
(TIO).Tonometri Schiotz memakai instrumen metal yang dipegang
(tonometer) dan diletakkan pada permukaan kornea yang dianastesi. Hasilnya
bervariasi namun cukup baik untuk mengistimasi TIO. Alat pengukur tekanan
lainnya yaitu Tonometer aplanasi dari Goldman, dihubungkan dengan lampu
slit. Dianggap sebagai bentuk alat ukur TIO yang paling akurat.Pemberian
pewarna fluoresen dan anestesi topikal diperlukan sebelum tonometer
aplanasi. Peningkatan TIO merupakan tanda kardinal pada glaukoma.
c. Lampu-Slit
Lampu-slit adalah instrumen yang biasa dijumpai dikamar periksa ahli
oftalmologi atau di tempat dimana dilakukan evaluasi oftalmik. Pemerisaan
dilakukan dengan cara mengarahkan cahaya berbagai bentuk dan warna ke
permukaan depan mata. Instrumen ini akan memperbesar kornea, sklera, dan
kamera anterior, dan memberikan pandangan oblik ke dalam trabekulum
dengan lensa khusus. Kebanyakan lampu-slit dilengkapi dengan tonometer
applanasi. Untuk pemeriksaan, ruangan harus gelap dan klien harus
kooperatif. Sebelum pemeriksaan perawat atau teknisi biasanya membantu
memberikantetes mata untuk mendilatasi pupil.
d. Ultrasonografi (USG)
USG dapat digunakan untuk mengukur dimensi, struktur kuler, dan untuk
mengukur kedalaman serta bentuk bola mata. Pada USG, gelombang dengan
3

frekwensi tinggi diemisi dari sebuah tranduser kecil seperti probe diletakkan
dimata. Setelah mengenai jaringan okuler, gelombang suara kemudian
memantul dan ditangkap oleh transduser yang sama. Kemudian dikonversi
menjadi pola gelombang dan dan ditampilkan pada osilokop. Prosedur ini
tidak menimbulkan nyeri namun memerlukan anestesi lokal. Setelah
dilakukan pengujian sarankan pada klien agar tidak menggosok matanya. Ada
dua tipe primer ultrason yang digunakan, yaitu A-scan dan B-scan.
1. A-scan-ultrason : untuk membedakan tumor maligna dan benigna, mengukur
mata untuk pemasanga implan lensa okuler dan memantau adanya glaukoma
kongenital
2. B-scan-ultrason : Untuk memndeteksi berbagai struktur dalam mata yang
kurang jelas akibat adanya pendarahan katarak atau opasitas lain.
e. Angiografi Fluoresen
Untuk mengevaluasi pembuluh darah oftalmik. Pewarna kontras
disuntikkan ke vena perifer. dan diambil foto serial fundus. Uji ini membantu
menentukan luasnya kelainan pembuluh darah retina, seperti yang
berhubungan dengan diabetes dan hipertensi, papiledema, dan sumbatan arteri
retina sentralis.
f. Prosedur Pencitraan
Kadang-kadang kita perlu melihat mata terhadap hubungan dengan
tengkorak atau jaringan lunak lainnya. Karena mata terletak di dalaam rongga
intracranial, maka abnormalitas tengkorak dapat memengaruhi bola mata dan
struktur oftalmik. Fraktur blowout orbita dapat menjebak otot atau saraf
ekstraokuker sehingga membatasi gerakan bola mata yang terkena. Sinar-x
tengkorak dapat mengidentifikasi abnormalitas cranium. MRI (computerized
tomografi) dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan dan anatomi
intraokuler dan ekstraokuler.
g. Hitung Sel Endotel
Alat fotografi yang dihubungkan ke lampu slit dan menghasilkan
bayangan dengan resolusi tinggi terhadap detil morfologi sel endotel: ukuran,
bentuk, destansi, dan batas sel. Merupakan uji praoperatif yang sangat
penting untuk
3

mengidentifikasi kerusakan endotel, yang akan meningkatkan resiko


komplikai pascaoperasi.
h. Refraksi dan Akomodasi
Defek minor dan ketidak segarisan mata dapat ter;ihat hampir ke semua
orang. Koreksi refraksi biasanya tidak diperlukan defek seperti ini. Namun
bila terpaksa dilakukan koreksi reflaksi, tujuannya adalah untuk
menghilangkan gejala seperti pandangan kabur, nyeri kepala atau keletihan
mata, dan tidak untuk meningkatkan kesehatan mata itu sendiri. Beberpa tipe
pembedaha reflaksi kornea tersedia untuk mengoreksi myopia, hyperopia, dan
astigmatisma. Prosedur tersebut dapat mengurangi pemakaian kacamata atau
mengurangi kekuatan presskripsi yang diperlukan untuk mengoreksi
pengelihatan.
Kesalahan refleksi dan penanganannya bisa dipahami dengan baik bila
dihubungkan dengan akomodasi. Akomodasi terjadi bila otot silier
berkontraksi, mengakibatkan relaksasi zonula, dan meningkatkan
kelengkungan lensa. Hal ini menyebabkan peningkatan refraksi (akomodasi),
kekuatan mata (pembelokan cahaya), untuk memusatkan fokus mata pada
benda dekat. Ketika otot siler berelaksasi, kekuatan otot mata berada pada
kekuatan rendah yang paling mungkin dicapai, seperti tampak pada paranalis
badan silier (sikloplegia).
b. Pengakajian Hidung
1. Riwayat
a. Kesehatan Masa Lalu
Gangguan fungsi hidung dapat berupa kehilangan kemampuan
mencium, ketidak mampuan untuk menyaring atau membersihkan
udara, atau masalah melembabkan udara inspirasi. Kehilangan
kemampuan untuk mencium merupakan suatu peristiwa fisiologis yang
terjadi dalam proses penuaan. Biasanya keluhan yang timbul bukan
seperti itu tetapi sebagai kehilangan daya pengecap karena kedua
fungsi ini berkaitan erat. Penyaringan dan pembersihan dilakukan oleh
silia epitel traktus respiratoris dan sel-sel penghasil mucus. Iritasi
3

meningkatkan sekresi mucus, yang jika berlebihan atau berkaitan


dengan gangguan fungsi silia, mengganggu pasien sebagai rinore,
“hidung tersumbat”, atau tetesan postnasal. Epitel hidung banyak
mengandung sel plasma yang menghasilkan antibody sekretoris IgA
dan antibody alergik IgE dengan demikian dapat terjadi rhinitis karena
hayfever dan bersin karena reaksi alergi. Dalam konteks ini, riwayat
penyakit yang timbul secara musiman atau setelah pemaparan dengan
zat tertentu bermanfaat. Sifat secret juga pernting. Secret yang jernih
mengarah kepada alergi, infeksi virus, atau respons vasomotor. Secret
purulen mengarah kepada superinfeksi oleh bakteri.
Cairan yang keluar dari membrane mukosa menghangatkan dan
melembabkan udara inspirasi. Pasien yang mengeluh nyeri kalau
bernapas di udara dingin mungkin menderita pengeringan mukosa
hidung.
Gejala nyeri biasanya berkaitan dengan sinus. Peradangan dengan
obstruksi menimbulkan nyeri hebat karena sekresi terus berlangsung
tetapi pengeluarannya terhambat. Pada sinus maksilaris dan frontalis
nyeri timbul pada lokasi sinus tersebut. Sinusitis sfenoidalis
menimbulkan nyeri oksipital. Nyeri sinus diperberat oleh segala
sesuatu yang meningkatkan tekanan di dalam sinus. Jadi pasien akan
menghindari membungkuk, batuk, bersin, atau membuang ingus.
Epistaksis adalah suatu pengamatan yang mengejutkan tetapi
biasanya tidak nyeri. Tanyakanlah riwayat trauma ringan, infeksi
saluran nafas bagian atas, atau iritasi sebagai penyebab local, tetapi
jangan mengabaikan kemungkinan hipertensi atau gangguan
perdarahan sebagai penyebab yang lebih berbahaya. Mendengkur
adalah pengamatan yang lebih sering menimbulkan keluhan pada
pasangannya daripada pada pasien itu sendiri. Keadaan ini sering
menunjukkan obstruksi hidung, dan tidak boleh di abaikan begitu saja,
terutama pada anak-anak.
3

Cairan spinal dapat keluar dengan bebas ke dunia luar melalui


hiduung. Fraktur dasar tengkorak dengan robekan kecil pada lamina
kribrosa membuat cairan serebrospinal dapat mengalir dengan bebas.
Gejalanya adalah keluarnya cairan yang jernih, dan dapat timbul
meningitis yang berulang-ulang. Pengamatan lain yang berkaitan
dengan hidung adalah perubahan warna nada suara. Saluran hidung
berfungsi sebagai ruang resonansi untuk berbicara. Obstruksi
menghalangi gema suara. (McGlynn, 1995)
b. Riwayat Pengobatan
Adakah riwayat pemakaian obat yang mungkin menyebabkan
gejala gangguan penghidu atau obat untuk mengobati penyakit hidung?
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi (melihat) keadaan hidung apakah ada kelainan :
1) Apakah ada peradangan/iritasi selama rhinitis/sinusitis
2) Kelainan konginetal
3) Furonkulosiss (bisul)
4) Proses infeksi disekitar hidung
5) Kekeringan pada selaput lendir
6) Sering bersin-bersin
7) Obstruksi nasal
8) Secret pada hidung encer, mukopurulent atau purulent
9) Adakah polip
Ketika menginspeksi hidung eksternal, perawat mengobservasi
bentuk, ukuran, warna kulit, dan adanya deformitas atau inflamasi.
Hidung normalnya halus, simetris, dan berwarna sama dengan wajah.
Trauma pada hidung menyebabkan edema dan perubahan warna. Jika
terdapat pembengkakan atau deformitas, perawat memalpasi dengan
hati-hati punggung dan jaringan lunak hidung dengan menempatkan
satu jari di setiap sisi lengkungan hidung dan secara hati-hati
menggerakkan jari-jari tersebut dari batang hidung ke ujung hidung.
Perawat mencatat adanya nyeri tekan, massa, dan penyimpangan.
4

Struktur hidung biasanya keras dan stabil. Normalnya udara mengalir


bebas melewati hidung pada saat seseorang bernapas. Untuk mengkaji
kepatenan lubang hidung, perawat menempatkan jari disisi hidung
klien dan menyumbat salah satu lubang hidung. Klien diminta untuk
bernapas dengan mulut tertutup. Pemeriksaan ini diulang pada lubang
hidung berikutnya.
Pada saat menyinari nares anterior, perawat menginspeksi mukosa
untuk warna, lesi, rabas, pembengkakan dan adanya perdarahan. Jika
terdapat rabas, gunakan sarung tangan. Mukosa normalnya berwarna
merah muda dan lembab tanpa lesi. Mukosa yang pucat, rabas, dan
jernih mengindikasikan adanya alergi. Rabas mukoid mengindikasikan
adanya rhinitis. Infeksi sinus
terjadi jika terdapat rabas kekuningan atau kehijauan. Kebiasaan
menggunakan kokain dan opioid intranasal dapat menyebabkan
pembengkakan dan peningkatan vaskularitas mukosa hidung. Untuk
klien yang memakai selang nasogastrik atau nasofaring, perawat secara
rutin memeriksa adanya kerusakan kulit local (ekskoriasi) pada lubang
hidung yang ditandai dengan kemerahan dan kelupasan kulit.
b. Palpasi
Palpasi sinus frontalis, maksilaris, ethmoid, dan sphenoid untuk
adanya nyeri tekan.
c. Pemeriksaan sinus paranasal
Pemeriksaan sinus melibatkan palpasi dan transiluminasi. Pada
kasus alergi atau infeksi, sinus interior menjadi terinflamasi dan
bengkak. Cara paling efektif untuk mengkahji adanya nyeri tekan
adalah dengan memalpasi secara eksternal area fasialis frontal dan
maksiler. Sinus frontal dipalpasi dengan memberi tekanan dengan ibu
jari ke atas dan di bawah alis klien.
Secara perlahan, mengarahkan tekanan keatas dengan mudah akan
memunculkan adanya nyeri tekan bila terdapat iritasi sinus dan
4

menunjukkan tingkat keparahan iritasi sinus. Tekanan tidak boleh


diberikan pada mata.
Inspeksi, palpasi, perkusi sinus paranasal
1) Pemeriksaan menggunakan rinoskopi anterior dan posterior
2) Pemeriksaan transiluminasi sinus maksila dan sinus frontal
(gunakan lampu khusus dan dalam ruangan yang gelap)
3) Transiluminasi dengan cara memasukkan sumber cahaya
melalui mulut dan bibir dikatupkan sehingga sumber
cahaya sumber cahaya tidak kelihatan lagi
4) Setelah beberapa menit terlihat terang seperti bulan sabit
pada daerah infraorbita
5) Untuk pemeriksaan sinus frontal lampu diletakkan di
daerah bawah sinus frontal dekat kantus medius dan cahaya
terang terlihat didaerah sinus frontal.
Secret dihidung dan secret turun ketenggoro (post nasal drip)
1) Apakah secret pada kedua rongga hidung
2) Konsistensi secret (encer / bening seperti cair kental, nanah,
atau bercampur nanah)
3) Apakah keluarnya secret pada pagi hari atau pada waktu
tertentu (missal pada musim hujan)
4) Bila penyebab secret dari hidung (bilateral) jernih s/d
purulen
5) Secret yang jernih seperti air dan banyak alergi hidung
6) Secret kuning kehijauan biasanya dari sinusitis hidung
7) Secret bercampur darah pada pada satu rongga hidung
(hati- hati tumor hidung)
Bersin yang berulang
1) Alergi hidung
2) Apakah bersin timbul akibat mencium sesuatu
3) Apakah bersin diikuti dengan secret yang encer dan rasa
gatal hidung, mata, tenggorok, dan telinga
4

Rasa nyeri di daerah muka dan kepala (b/d keluhan dihidung)


1) Nyeri di daerah dahi
2) Nyeri pangkal hidung
3) Nyeri pada pipi
4) Tengah kepala adalah merupakan tanda sinusitis
5) Rasa nyeri atau rasa berat timbul bila menunduk dan dapat
berlangsung beberapa jam s/d beberapa hari
Perdarahan dari hidung (epitaksis) berasal dari anterior/posterior
rongga hidung apakah :
1) Perdarahan dapat terjadi dari satu/dua hidung
2) Lama perdarahan (beberapa kali)
3) Mudah dihentikan hanya dengan memencet hidung
4) Riwayat trauma hidung/muka sebelumnya
5) Menderita penyakit kelainan darah
6) Hipertensi
7) Pemakai obat-obat koagulansia
Gangguan penghidu, apakah :
1) Hilangnya penciuman (anosmia)
2) Penciuman berkurang (hiposmia)
3) Riwayat infeksi hidung
4) Sinusitis
5) Trauma kepala
6) Lama keluhan
Cara pemeriksaan
Inspeksi bagian, apakah
:
1) Deviasi tulang hidung
2) Depresi tulang hidung
3) Pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Hidung (Hetharia, 2011)
4

a. Rinoskopia Anterior, pemeriksaan untuk melihat rongga hidung dan


anterior, dilakukan menggunakan speculum.
b. Renoskopia Posterior, pemeriksaan untuk melihat rongga hidung dari
belakang dilakukan dengan bantuan kaca yang diletakkn diorofaring.
c. Transluminasi/Diafanoskopi, pemeriksaan untuk melihat sinus
maksilaris dan fronalis dilakukan dikamar gelap.
d. X-Foto sinus yang paling sering dibuat adalah posisi water.
e. CT Scan
f. Biopsy
Pemeriksaan Laboratorium
a. Pengambilan sputum
c. Pengkajian Telinga
1. Riwayat
a. Kesehatan Masa Lalu
1) Apakah pasien mengalami gangguan pendengaran seperti pekak
(tuli)
2) Suara mendengung/mendenging (tinnitus)
3) Rasa pusing yang berputer (vertigo) (kapan, lama terjadi)
4) Keluar cairan dari telinga/otore (kapan, jumlah, warna, bau)
5) Rasa nyeri dalam telinga/otalgia (kapan, intensitas, kkarakter, skala
nyeri)
6) Kapan keluhan dirasakan saat beraktivitas
7) Keluhan pada satu sisi/dua sisi telinga
8) Timbulnya tiba-tiba
9) Waktu/lama derita
10) Riwayat trauma kepala
11) Apakah pasien pernah menderita penyakit infeksi (parotis)
12) Pernah mengalami influenza berat dan meningitis
13) Bila penyakit diderita dari bayi dapat mengalami gangguan bicara
dan gangguan komunikasi
14) Gangguan ini lebih terasa pada tempat yang bising
4

b. Riwayat Pengobatan
1) Tanyakan pada pasien tentang pemakaian ototoksik
2. Pemeriksaan Fisik
Perawat menginspeksi dan memalpasi struktur telinga luar,
menginspeksi struktur telinga tengah dengan otoskop, dan menguji telinga
dalam dengan mengukur ketajaman pendengaran. Struktur telinga luar
terdiri dari aurikula, kanal telinga luar, dan membrane tympani (gendang
telinga). Kanal telinga normalnya melengkung dengan panjang ±2,5 cm
pada orang dewasa. Dilapisi dengan kulit berbulu halus, ujung-ujung saraf,
kelenjar yang menyekresi serumen. Telinga tengah adalah rongga berisi
udara yang terdiri atas tiga tulang osikel (maleus, inkus, stapes). Tuba
eustasius menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Tekanan
antara atmosfer luar dan telinga tengah distabilkan melalui tuba eustasius.
1) Aurikula
Dengan posisi klien duduk nyaman, perawat menginspeksi ukuran,
bentuk, kesimetrisan, garis batas, posisi, dan warna aurikula. Aurikula
normalnya sejajar satu sama lain. Titik atas perlekatan berada pada
satu garis lurus dengan kantus lateral atau sudut mata. Posisi aurikula
juga hamper vertical.
Aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya deformitas,
lesi, adanya cairan, serta ukuran, simetri, dan sudut penempelan ke
kepala.
Perawat memalpasi aurikula untuk tekstur, nyeri tekan, dan lesi
kulit. Aurikula normalnya halus tanpa lesi. Jika klien mengeluh nyeri,
perawat dengan hati-hati menarik aurikula dan menekan tragus serta
memalpasi di belakang telinga pada prosesus mastoideus. Jika palpasi
telinga luar meningkatkan nyeri, maka kemungkinan terjadi infeksi
telinga luar. Jika palpasi aurikula dan tragus tidak memengaruhi nyeri,
maka klien mungkin saja mengalami infeksi telinga tengah. Nyeri
tekan pada area mastoideus dapat mengidentifikasikan mastoideus.
Terkadang, kista sebaseus dan tofus (deposit mineral subkutan)
terdapat
4

pada pinna. Kulit bersisik pada atau di belakang aurikulus biasanya


menunjukkan adanya dermatitis sebore (dermatitis seborrheica) dan
dapat terdapat pula di kulit kepala dan struktur wajah.
Perawat menginspeksi lubang kanal telinga untuk ukuran dan
adanya rabas. Rabas dapat disertai bau. Meatus tidak boleh
membengkak atau tersumbat. Zat lilin kuning disebut serumen
merupakan hal yang umum. Rabas kuning atau hijau, berbau busuk
dapat mengidentifikasikan adanya infeksi atau benda asing.
2) Kanal telinga dan gendang telinga
Untuk memeriksa kanalis auditorius eksternus dan membrane
timpani, kepala pasien sedikit dijauhkan dari pemeriksa. Otoskop
dipegang dengan satu tangan sementara aurikulus dipegang dengan
tangan lainnya dengan mantap kemudian ditarik keatas, kebelakang,
dan sedikit keluar. Cara ini akan membuat lurus kanal pada orang
dewasa sehingga memungkinkan pemeriksa melihat lebih jelas
membrane timpani. Speculum dimasukkan dengan lembut dan
perlahan ke kanalis telinga, dan mata didekatkan ke lensa pembesar
otoskop untuk melihat kanalis dan membrane timpani. Speculum
terbesar yang dapat dimasukkan ketelinga (biasanya 5 mm pada orang
dewasa) dipandu dengan lembut ke bawah ke kanal dan agak kedepan.
Karena bagian distal kanalis adalah tulang dan ditutupi selapis epitel
yang sensitive, maka tekanan harus benar-benar ringan agar tidak
menimbulkan nyeri (Smeltzer dalam )
Setiap adanya cairan, inflamasi, atau benda asing di dalam kanalis
auditorius eksternus dicatat. Membrane timpani sehat berwarna
mutiara keabuan dan terletak oblique pada dasar kanalis. Penanda
harus dilihat bila mungkin; pars tensa dan kerucut cahaya, umbo,
manubrium mallei, dan prosesus brevis. Gerakan memutar lambat
speculum memungkinkan penglihatan lebih jauh pada lipatan melleus
dan daerah perifer. Posisi dan warna membrane begitu juga tanda yang
tidak biasa
4

atau deviasi kerucut cahaya dicatat. Adanya cairan, gelembung udara,


atau massa ditelinga tengah harus dicatat.
Pemeriksaan otoskop kanalis auditorius eksternus dan membrane
timpani yang baik hanya dapat dilakukan bila kanalis tidak terisi
serumen yang besar. Serumen normalnya terdapat dikanalis eksternus,
dan bila jumlahnya sedikit tidak akan mengganggu
pemeriksaanotoskop. Bila membrane timpani tak dapat dilihat karena
adanya serumen, kanalis eksternus harus diirigasi dengan lembut jika
tak ada kontraindikasi. Bila serumen sangat lengket, maka sedikit
minyak atau pelunak serumen yang dapat dibeli bebas dapat diteteskan
dalam kanalis telinga dan pasien diinstruksikan kembali lagi untuk
pengambilan serumen dan inspeksi telinga. Penggunaan instrument
seperti seperti kuret serumen untuk mengangkat serumen hanya boleh
dilakukan oleh ahli otolaringologi atau perawat yang telah dilatih
spesialis karena dapat terjadi bahaya perforasi membrane timpani dan
ekskoriasi kanalis auditorius eksternus. Penumpukan serumen
merupakan penyebab biasa dari kehilangan pendengaran dari iritasi
local. (Smeltzer dalam )
3) Pengkajian ketajaman auditorius
Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif
dengan mengkaji kemampuan pasien mendengarkan bisikan kata atau
detakan jam tangan. Bisikan lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang
sebelumnya telah melakukan ekshalasi penuh. Masing-masing telinga
diperiksa bergantian. Agar telinga yang satunya tak mendengar,
pemeriksa menutup telinga yang tak diperiksa dengan telapak tangan.
Dari jarak 1 sampai 2 kaki dari telinga yang tak tertutup dan di luar
batas penglihatan, pasien dengan ketajaman normal dapat menirukan
dengan tepat apa yang dibiskkan. Bila yang digunakan detak jam
tangan, pemeriksa memegang jam tangan sejauh tiga inci dari
telinganya sendiri (dengan asumsi pemeriksa mempunyai pendengaran
normal) dan kemudian memegang jam tangan pada jarak yang sama
dari aurikulus
4

pasien. Karena jam tangan menghasilkan suara dengan nada yang lebih
tinggi daripada suara bisikan, maka kurang dapat dipercaya dan tidak
dapat dipakai sebagai satu-satunya cara mengkaji ketajaman auditorius.
Penggunaan uji Weber dan Rinne memungkinkan kita membedakan
kehilangan akibat konduktif atau kehilangan sensorineural ketika terjadi
gangguan pendengaran. Uji ini bukan merupakan bagian pemeriksaan
fisik penyaring rutin, namun sangat berguna bila diperlukan pengkajian
yang lebih tajam, bila diketahui adanya kehilangan pendengaran, atau
bila hasil substansi audiometric diperlukan.
Uji Weber memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya
lateralisasi suara. Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan
pukulkan pada lutut atau pergelangan tangan pemeriksa. Kemudian
diletakkan pada dahi atau gigi pasien. Pasien ditanya apakah suara
terdengar ditengah kepala, ditelinga kanan, atau telinga kiri. Individu
dengan pendengaran normal akan mendengar suara seimbang pada
kedua telinga atau menjelaskan bahwa suara terpusat di tengah kepala.
Bila ada kehilangan pendengaran konduktif (otosklerosis, otitis media),
suara akan lebih jelas terdengar pada sisi yang sakit. Ini disebabkan
karena obstruksi akan menghambat ruang suara sehingga akan terjadi
peningkatan konduksi tulang. Bila terjadi kehilangan sensorineural,
suara akan mengalami lateralisasi ke telinga yang pendengarannya
lebih baik. Uji Weber berguna untuk kasus kehilangan pendengaran
unilateral. (Smeltzer dalam )
Uji Rinne, gagang garpu tala yang bergetar ditempatkan di
belakang aurikula pada tulang mastoid (konduksi tulang) sampai
pasien tak mampu lagi mendengar suara. Kemudian garpu tala
dipindahkan pada jarak 1 inci dari meatus kanalis auditorius eksternus
(konduksi udara). Pada keadaan normal, pasien dapat terus
mendengarkan suara, hal ini menunjukkan bahwa konduksi udara
berlangsung lebih lama dari konduksi tulang. Pada kehilangan
pendengaran konduktif, konduksi tulang akan melebihi konduksi
udara; begitu konduksi tulang melalui
4

tulang temporal telah menghilang, pasien sudah tak mampu lagi


mendengar garpu tala melalui mekanisme konduktif yang biasa.
Sebaliknya, kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan
suara yang dihantarkan melalui udara lebih baik dari tulang, meskipun
keduanya merupakan konduktor yang buruk dan segala suara diterima
seperti sangat jauh dan lemah. (Smeltzer dalam )
Untuk memulai pengkajian pendengaran, perawat meminta klien
melepas alat bantu dengar yang dipakai. Perawat mencatat respons
klien terhadap pertanyaan. Normalnya klien akan berespons tanpa
meminta perawat secara berlebihan untuk mengulang pertanyaan. Jika
dicurigai terdapat kehilangan pendengaran, perawat memeriksa
respons klien terhadap suara berbisik. Telinga dites satu per satu,
dengan klien menyumbat telinga yang satu dengan jari. Perawat
meminta klien untuk menggerakkan jari ke atas dan ke bawah selama
tes. Sambil berdiri 1 sampai 2 kaki (30 sampai 60 cm) dari telinga
yang dites, perawat menutup mulut sehingga klien tidak dapat
membaca bibir. Setelah ekshalasi penuh, perawat terlebih dahulu
berbisik lembut kearah telinga yang tidak disumbat, mengucapkan
angka secara acak yang memiliki aksen suku kata yang sama. Jika
perlu, perawat secara bertahap meningkatkan intensitas suara sampai
klien dapat mengulang dengan benar angka-angka tersebut. Telinga
satunya kemudian dites untuk perbandingan.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pendengaran
Pemeriksaan diagnostik berdasarkan Smeltzer & Bare (2013):
a) Audiometri
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometer
nerupakan satu-satunya instrumen diagnostik yang paling
penting. Uji audiometri ada 2 macam, yaitu:
4

- Audiometri Nada murni, dimana stimulus suara terdiri atas


nada murni atau musik (semakin keras nada sebelum pasien
bisa mendengar berarti semakin besar kehilangan
pendengarannya).
- Audiometri Wicara, dimana kata yang diucapkan
digunakan untuk menetukan kemampuan mendengar dan
membedakan suara.
b) Timpanogram atau Audiometri Impedans
Mengukur refleks otot telinga tengah terhadap stimulus
suara, selain kelenturan membran timpani, dengan mengubah
tekanan udara dalam kanalis telinga yang tertutup. Kelenturan
akan berukuran pada penyakit telinga tengah.
c) Elektrokokleografi (EcoG)
Elektrokokleografi (EcoG) adalah perekaman potensial
elektrofisiologis koklea dan nervus kranialis VIII sebagai
respon stimuli akustik. Rasio yang dihasilkan digunakan untuk
membantu dalam mendiagnosa kelainan keseimbangan cairan
telinga dalam seperti penyakit Meniere dan fistula perilimfe.
Prosedur ini dilakuakn dengan menempatkan elektroda sedekat
mungkin dengan koklea. Untuk persiapan pengujian, pasien
diminta untuk tidak memakai diuretika selama 48 jam sebelum
uji dilakukan, sehingga keseimbangan cairan ditelinga tidak
berubah.
2) Keseimbangan
a) Elektronistamografi (ENG)
Elektronistamografi (ENG) adalah sebuah test yang
mendeteksi secara sensitif penyakit sentral dan perifer dari
sistem vestibular pada telinga. ENG mendeteksi dan merekam
Nistagmus (pergerakan mata involunter) karena mata dan
telinga saling berhubungan untuk keseimbangan. Elektroda
direkam pada kulit di area dekat mata, dan satu atau banyak
prosedur (test
5

kalori, pergantian posisi pandangan atau pergantian posisi


kepala) yang dilakukan untuk menstimulus nstagmus.
Kegagalan nistagmus terjadi dengan kegagalan stimulasi
serebral yang mengindikasikan abnormalitas pada apparatus
vestibulokoklea, korteks serebral, saraf auditori, atau batang
otak. ENG dapat membantu diagnosis seperti penyakit Meniere
dan tumor kanalis auditoriusinternus atau fosa posterior
(Ignatavicius & Workman, 2013).
Persiapan klien untuk melakukan ENG:
- Menjelaskan prosedur dan maksud dari test. Pemeriksa
akan bertanya kepada klien untuk menamai sesuatu atau
untuk mengerjakan hitungan mudah ketika test untuk
mengetahui apakah klien tersebut masih sadar.
- Minta klien untuk berpuasa dalam beberapa jam sebelum
test dan menghindari minuman berkafein selama 24-48 jam
sebelum test.
- Pada klient yang menggunakan pacemaker atau pemacu
jantung tidak perlu mengikuti test karena sinyal pacemaker
dapat mengganggu sensitivitas ENG.
- Berikan cairan oral setelah test untuk menghindari mual
dan muntah.
b) Tes Kalori
Mengevaluasi porsi vestibula pada saraf auditori. Air atau
udara hangat dimasukkan ke telinga. Respon normal pada
permulaan vertigo dan nistagmus antara 20-30 detik
(Ignatavicius dan Workman , 2013).
Persiapan klien untuk test kalori antara lain, yaitu:
- Menjelaskan prosedur dan tujuan dari test.
- Minta klien untuk berpuasa beberapa jam sebelum test
- Katakan pada klen bahwa bagian yang mengalami
gangguan di tes dahulu.
5

- Jelaskan pada klien untuk beristirahat setelah prosedur,


berikan cairan oral untuk menghindari mual dan muntah.
c) Tes Dix-Hallpike untuk vertigo
Dilakukan dengan membantu klien duduk di meja
pemeriksaan dengan posisi berdiri di samping klien dan
memposisikan klien dari duduk kesupinasi secara cepat dengan
kepala ekstensi keluar dari ujung sisi meja. Klient dengan
vertigo posisi benigna akan mengalami robekan nistagmus
setelah 5-10 detik kemudian (Ignatavicius dan Workman ,
2013).
Persiapan klien untuk test Dix-Hallpike.
- Jelaskan prosedur dan tujuan
- Katakan pada klien terus membuka mata dan jangan
berkedip
- Jelaskan pada klien bahwa pandangan berbayang dapat
terjadi pada saat tes
d) Posturografi Platform
Posturografi platform adalah uji untuk menyelidiki
kemampuan mengontrol postural. Diuji integrasi antara bagian
visual, vestibuler dan proprioseptif (integrasi sensoris dengan
keluaran respons motoris dan koordinasi anggota bawah.Pasien
berdiri pada panggung (platform), dikelilingi layar, dan
berbagai kondisi ditampilkan. Respons klien terhadap 6 kondisi
yang berbeda diukur dan menunjukkan sistem mana yang
terganggu (Smeltzer & Bare, 2013).

b. Pemeriksaan Laboratorium
Umumnya bukan untuk menilai dalam menentukan ketajaman
pendengaran. Tetapi untuk melihat adanya infeksi pada telinga,
organisme yang menyebabkan, dan pengobatan yang tepat. Jika terapi
5

antibiotik tidak berhasil, maka dapat dilakukan kultur mikroba dan uji
sensitivitas (Ignatavicius & Workman, 2013)
d. Pengkajian mulut
1. Riwayat
a. Kesehatan Masa Lalu
 Adakah riwayat penyakit mulut khususnya lidah sebelumnya?
b. Riwayat Keluarga
 Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit lidah
c. Riwayat Pengobatan
 Adakah obat yang digunakan oleh pasien?
 Adakah terapi yang dijalani oleh pasien?
2. Pemeriksaan Fisik
Lidah diinspeksi dengan cermat pada semua sisi, dan bagian dasar
mulut juga diperiksa. Terlebih dahulu klien harus merilekskan mulut dan
sedikit menjulurkan lidah ke luar. Perawat mencatat adanya
penyimpangan, tremor, atau keterbatasan gerak. Hal tersebut dilakukan
untuk menguji fungsi saraf hipoglosum. Jika klien menjulurkan lidahnya
terlalu jauh, dapat terlihat adanya reflex muntah. Pada saat lidah
dijulurkan, lidah berada di garis tengah. Pada beberapa keadaan gangguan
neurologis akan didapatkan ketidaksimetrisan lidah akibat kelemahan otot
lidah, contohnya pada klien yang mengalami Miastenia gravis dengan
tanda khas triple forrowed. Untuk menguji mobilitas lidah, perawat
meminta klien untuk untuk menaikkan lidah keatas dan kesamping. Lidah
harus dapat bergerak dengan bebas.
Dengan menggunakan senter untuk pencahayaan, perawat memeriksa
warna, ukuran, posisi, tekstur, dan adanya lapisan atau lesi pada lidah.
Lidah harus berwarna merah sedang atau merah pudar, lembap, sedikit
kasar pada bagian permukaan atasnya, dan halus sepanjang tepi lateral.
Permukaan bawah lidah dan bagian dasar mulut sangat bersifat vascular.
Kecermatan ekstra harus dilakukan pada saat menginspeksi area-area ini,
daerah umum tempat terjadinya lesi kanker oral. Klien mengangkat
lidahnya dengan menempatkan bagian ujungnya pada palatum dibagian
belakang taring.
5

Perawat memeriksa warna, adanya pembengkakan, dan lesi seperti


nodul atau kista. Permukaan ventral dari lidah berwarna merah muda dan
halus dengan vena besar diantara lipatan frenulum. Untuk memalpasi
lidah, perawat menjelaskan prosedur dan kemudian meminta klien untuk
menjulurkan lidahnya. Perawat memegang ujung lidah menggunakan
sarung tangan, perawat memalpasi sepanjang lidah dan juga bagian
dasarnya untuk adanya pengerasan atau ulserasi. Selain itu juga dapat
terlihat adanya varises (vena yang membangkak dan berkelok-kelok).
Varises jarang menimbulkan masalah, tetapi banyak terjadi pada lansia.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Diagnostik (Smeltzer S. C., 2013)
 Biopsy eksisi
 Biopsy insisi
 Punch biopsy
 Needle biopsy
 Biopsy aspirasi
 Media transpor
b. Pemeriksaan laboratorium (Smeltzer S. C., 2013)
 Hematologi
 Mikrobiologi
e. Pemeriksaan Kulit
1. Riwayat
a. Kesehatan Masa Lalu
Pada saat merawat pasien dengan gangguan dermatologic, perawat
mendapatkan informasi penting melalui riwayat kesehatan paien dan
observasi langsung. Dalam banyak kasus, pasien atau keluarganya
merasa lebih nyaman berbicara dengan perawat dan menyampaikan
informasi penting yang mungkin disimpannya atau lupa disampaikan
ketika berbicara dengan dokter atau petugas kesehatan yang lain.
Keterampilan perawat dalam pengkajian fisik dan pemahamannya
terhadap anatomi dan fungsi kulit dapat menjamin bahwa setiap
5

penyimpangan dari keadaan normal akan dapat dikenali, dilaporkan


dan didokumentasikan.
Selama wawancara riwayat kesehatan, ajukan pertanyaan tentang
alergi kulit, reaksi alergik terhadap makanan, obat serta zat kimia,
masalah kulit sebelumnya dan riwayat kanker kulit. Nama-nama
kosmetika , sabun, sampo atau produk hygiene personal lainnya juga
harus ditanyakan jika terdapat masalah kulit yang terjadi setelah
memakai produk tersebut. Riwayat kesehatan akan berisi informasi
yang spesifik mengenai awitan, tanda dan gejala, lokasi, dan durasi
nyeri, gatal-gatal, ruam atau gangguan rasa nyaman lainnya yang
dialami pasien. (Smeltzer, 2001)
b. Riwayat Keluarga
 Apakah ada diantara anggota keluarga anda yang mengalami
masalah kulit atau ruam?
c. Riwayat Pengobatan
 Obat-obat apa yang sedang anda gunakan?
 Obat oles (krim, salep, lotion) apakah yang anda pakai untuk
mengobati lesi tersebut (termasuk obat-obat yang dapat dibeli
bebas ditoko obat)?
 Produk kosmetik atau preparat perawatan kulit apa yang anda
gunakan?
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit, termasuk membrane
mukosa, kulit kepala dan kuku. Kulit merupakan cermin dari kesehatan
seseorang secara menyeluruh dan perubahan yang terjadi pada kulit
umumnya berhubungan dengan penyakit pada system organ lain.
Inspeksi dan palpasi merupakan prosedur utama yang digunakan dalam
memeriksa kulit, dan pemeriksakan ini memerlukan ruangan yang terang
dan hangat. Penlight dapat digunakan untuk menyinari lesi. Pasien dapat
melepaskan seluruh pakaiannya dan diselimuti dengan benar. Sarung
tangan harus selalu dipakai ketika melakukan pemeriksaan kulit.
5

Tampilan umum kulit dikaji dengan mengamati warna, suhu,


kelembaban, kekeringan, tekstur kulit (kasar atau halus), lesi, vaskularitas,
mobilitas dan kondisi rambut serta kuku. Turgor kulit, edema yang
mungkin terjadi dan elastisitas kulit harus dinilai dengan palpasi.
Warna kulit bervariasi antara orang yang satu dengan lainnya, dan
berkisar dari warna gading hingga cokelat gelap. Kulit bagian tubuh yang
terbuka, khususnya dikawasan yang beriklim panas dan banyak cahaya
matahari, cenderung lebih berpigmen daripada bagian tubuhlainnya. Efek
vasodilatasi yang ditimbulkan oleh demam, sengatan matahari dan
inflamasi akan menimbulkan bercak merah muda atau kemerahan pada
kulit. Pucat merupakan keadaan tidak adanya atau berkurangnya tonus
serta vaskularitas kulit yang normal dan paling jelas terlihat pada
konjungtiva.
Warna kebiruan pada sianosis menunjukkan hipoksia seluler dan
mudah terlihat pada ekstrimitas, dasar kuku, bibir serta membrane mukosa.
Ikterus, yaitu kulit yang menguning, berhubungan langsung dengan
kenaikan kadar bilirubin serum dan acapkali terlihat pada sclera serta
membrane mukosa.
 Mengkaji pasien dengan kulit gelap
Gradasi warna yang terjadi pada orang yang berkulit gelap
terutama ditentukan oleh transmisi genetic; gradasi ini dapat
dinyatakan sebagai warna yang cerah, sedang atau gelap. Pada orang
yang berkulit gelap, melanin diproduksi dengan kecepatan yang lebih
besar dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada orang yang
kulitnya lebih cerah. Kulit yang gelap dan sehat memiliki dasar
kemerahan atau undertone. Mukosa pipi, lidah, bibir dan kuku dalam
keadaan normal tampak merah muda.
Dalam memeriksa pasien yang berkulit gelap, cahaya ruangan
harus baik dan pemeriksaan dilakukan terhadap kulit serta dasar kuku
disamping mulut. Semua daerah yang dicurigai harus dipalpasi.
Derajat pigmentasi pada kulit pasien yang berwarna gelap dapat
mempengaruhi penampakan suatu lesi. Lesi dapat berwarna hitam,
5

uangu atau abu-abu dan bukannya berwarna merah atau cokelat


kekuningan seperti yang terlihat pada pasien yang berkulit cerah.
Eritema. Karena adanya kecenderungan pada kulit yang gelap
untuk berwarna kelabu kebiruan ketika terdapat reaksi inflamasi,
eritema (kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh kongesti kapiler)
mungkin sulit terdeteksi. Untuk menentukan inflamasi yang mungkin
terdapat, kulit dipalpasi agar bertambahnya kehangatan atau kelicinan
(edema) atau kekerasan pada kulit dapat diketahui. Kelenjar limfe
disekitarnya juga harus dipalpasi.
Ruam. Pada kasus-kasus pruritus (gatal-gatal), kepada pasien
harus diminta untuk menunjukkan bagian tubuh yang terasa gatal.
Kemudian kulit diregangkan dengan hati-hati untuk mengurangi tonus
kemerahan dan membuat ruam tersebut menghilang. Perbedaan tekstur
kulit dinilai dengan menggerakkan ujung-ujung jari tangan yang
menyentuh secara ringan pada permukaan kulit. Biasanya bagian tepi
ruam dapat diraba. Mulut dan telinga pasien harus turut diperiksa.
(kadang-kadang rubeola atau campak akan menimbulkan ruam
berwarna merah pada ujung telinga). Akhirnya, suhu pasien dinilai dan
kelenjar limfe dipalpasi.
Sianosis. Bila seorang pasien yang berkulit gelap mengalami syok,
kulit biasanya berwarna kelabu. Untuk mendeteksi sianosis, daerah di
sekitar mulut serta bibir dan daerah tulang pipi serta daun telinga harus
diamati. Indicator lainnya adalah kulit yang basah dan dingin; denyut
nadi yang cepat dan lembut; dan respi yang cepat serta dangkal. Ketika
dilakukan pemeriksaan konjungtiva palpebra untuk menemukan
petekie (bintik-bintik halus berwarna merah akibat keluarnya darah),
tanda ini tidak boleh dikelirukan dengan endapan melanin yang
normal.
Perubahan warna. Perubahan warna kulit pada orang yang
berkulit gelap dapat diketahui dan biasanya menimbulkan distress pada
pasiennya. Sebagai contoh, hipopigmentasi (kehilangan atau
berkurangnya warna kulit) yang dapat disebabkan oleh vitilago (suatu
keadaan yang ditandai oleh penghancuran melanosit padda daerah kulit
5

yang terbatas atau luas) dapat menimbulkan keprihatinan yang lebih


besar pada orang yang berkulit gelap karena lesi tersebut lebih mudah
terlihat. Hiperpigmentasi (peningkatan warna) dapat timbul sesudah
terjadi penyakit atau cedera pada kulit. Lapisan nasal berpigmen di
bawah mata mungkin merupakan tanda eksternal alergi. Namun,
guratan berpigmen pada kuku dianggap sebagai keadaan yang normal.
Pada umumnya orang yang kerkulit gelap akan menderita kelainan
kulit yang sama seperti orang yang berkulit cerah, kendati lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami penyakit kanker kulit dan scabies.
Sebaliknya, orang yang berkulit gelap memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk mengalami pembentukan keloid atau jaringan parut
dan kelainan yang mengakibatkan oklusi atau penyumbatan folikel
rambut.
 Mengkaji lesi kulit
Lesi kulit merupakan karakteristik yang paling menonjol pada
kelainan dermatologic. Lesi pada kulit memiliki ukuran, bentuk serta
penyebab yang beragam, dan diklasifikasikan menurut penampakan
serta asalnya,
Lesi kulit dapat diuraikan sebagai lesi primer atau sekunder. Lesi
primer merupakan lesi inisial dan karakteristik penyakit itu sendiri.
Lesi sekunder terjadi akibat sebab-sebab eksternal, seperti garukan,
trauma, infeksi atau perubahan yang disebabkan oleh kesembuhan
luka. Bergantung pada stadium perkembangannya, lesi kulit dapat
dipilah lebih lanjut menurut tipe dan penampakannya.
Pengkajian pendahuluan terhadap erupsi atau lesi harus membantu
mengenali tipe dermatosis (keadaan kulit yang abnormal) dan
menunjukkan apakah lesi tersebut primer ataukah sekunder. Pada saat
yang sama, distribusi anatomi erupsi harus dicatat karena beberapa
penyakit tertentu cenderung mengenai lokasi tubuh tertentu dan
tersebar dengan corak serta bentuk yang khas. Untuk menentukan luas
distribusi regional, bagian sisi kiri dan kanan tubuh harus
dibandingkan sementara
5

warna dan bentuk lesi dicatat. Sesudah tekstur, bentuk serta tepinya,
dan untuk melihat apakah lesi tersebut teraba lunak atau berisi cairan,
atau teraba keras dan terfiksasi pada jaringan di sekitarnya.
Sebuah penggaris dapat digunakan untuk mengukur besar lesi
sehingga setiap pembesaran lebih lanjut dapat dibandingkan dengan
ukuran awalnya. Keadaan dermatosis tersebut kemudian dicatat pada
catatan kesehatan pasien; catatan ini harus dijelaskan secara rinci
dengan terminology yang tepat.
Sesudah distribusi lesi yang khas ditentukan, informasi berikut
harus diperoleh dan dijelaskan secara rinci:
- Bagaimana warna lesi tersebut?
- Apakah terdapat kemerahan, panas, nyeri atau pembengkakan?
- Berapa besar daerah kulit yang terkena? Dimana lokasinya?
- Apakah erupsi tersebut berbentuk macula, papula, skuama, lesi
dengan eksudasi, diskrit atau konfluen?
- Bagaimana distribusi lesi simetris, linier, sirkuler?
 Mengkaji vaskularitas dan hidrasi
Setelah warna kulit diinspeksi dan keadaan lesi dicatat, pengkajian
terhadap perubahan vaskuler pada kulit harus dilakukan. Uraian
tentang perubahan vaskuler mencakup lokasi, distribusi, warna, ukuran
dan adanya pulsasi. Perubahan vaskuler yang lazim ditemukan adalah
petekie, ekimosis, telangiektasis, angioma dan venous stars.
Kelembaban kulit, suhu dan tekstur kulit dinilai terutama dengan
cara palpasi. Elastisitas (turgor) kulit yang menurunpada proses
penuaan yang normal dapat menjadi salah satu factor untuk menilai
status hidrasi seorang pasien.
 Mengkaji kuku dan rambut
Kuku. Inspeksi siingkat pada kuku mencakup observasi untuk
melihat konfigurasi, warna dan konsistensi. Banyak perubahan pada
kuku atau dasar kuku (nailbed) yang mencerminkan kelainan local atau
sistemik yang sedang berlangsung atau yang terjadi akibat peristiwa di
5

masa lalu. Alur transversal yang dinamakan garis-garis Beau pada


kuku dapat mencerminkan retardasi pertumbuhan matriks kuku yang
terjadi sekunder akibat sakit yang berat atau yang lebih sering lagi
akibat trauma local. Penonjolan, hipertrofi dan berbagai perubahan
lainnya dapat pula terjadi pada trauma local.
Paronikia, suatu inflamasi kulit disekitar kuku, biasanya akan
disertai gejala nyeri tekan dan eritema. Sudut antaraa kuku yang
normal dan pangkalnya (basis unguium) adalah 160 derajat. Ketika
dipalpasi, pangkal kuku biasanya teraba keras. Clubbing (jari tabuh)
terlihat sebagai pelurusan sudut yang normal (menjadi 180 derajat atau
lebih) dan pelunakan pada pangkal kuku. Pelunakan ini akan terasa
seperti sponts ketika dipalpasi.
Rambut. Pengkajian rambut dilaksanakan dengan cara inspeksi
dan palpasi. Sarung tangan harus dikenakan dan ruang pemeriksaan
harus memiliki penerangan yang baik. Sibak rambut pasien agar
kondisi kulit yang ada di baliknya dapat dilihat dengan mudah;
kemudian perawat harus mencatat warna, tekstur serta distribusinya.
Setiap lesi yang abnormal, gejala gatal-gatal, inflamasi atau tanda-
tanda infestasi parasit (tuma atau kutu) harus dicatat.
Warna dan tekstur. Warna rambut yang alami berkisar dari putih
hingga hitam. Warna rambut mulai berubah menjadi kelabu (beruban)
ketika seseorang menjadi tua, dan perubahan ini pertama kali terlihat
dalam decade usia ketiga ketika hilangnya melanin mulai terjadi.
Walaupun demikian, rambut orang muda tidak jarang sudah beruban
karena sifat herediter keluarga. Orang dengan albinisme (tidak adanya
pigmentasi yang parsial atau total) mempunyai predisposisi genetic
untuk terjadinya uban seejak lahir. Kondisi alami rambut dapat
berubah dengan penggunaan pewarna rambut, pemutih dan produk
untuk mengeritingkan atau meluruskan rambut. Tipe-tipe produk yang
digunakan harus diketahui dalam pengkajian.
6

Tekstur rambut kulit kepala berkisar dari halus hingga tebal; ulet
hingga mudah patah; berminyak hingga kering; dan lurus, berombak
atau keriting. Rambut yang keriting dan mudah patah dapat terjadi
akibat penggunaan pewarna rambut yang berlebihan, pengering rambut
dan alatpengering atau akibat gangguan fungsi tiroid. Rambut
berminyak biasanya disebabkan oleh peningkatan sekresi kelenjar
sebasea didekat kulit kepala (Grimes & Burns dalam (Smeltzer,
2001)). Jika tekstur rambut menunjukkan perubahan yang baru saja
terjadi, etiologi yang mendasarinya harus dicari. Perubahan tersebut
dapat terjadi hanya karena pemakaian produk rambut komersial yang
berlebihan atau penggantian shampoo.
Distribusi. Distribusi rambut tubuh bervariasi menurut lokasinya.
Rambut yang tumbuh diseluruh badan memiliki tekstur yang halus
kecuali rambut didaerah aksila dan pubis yang kasar serta tumbuh pada
usia pubertas. Distribusi rambut pada laki-laki memiliki bentuk wajik
yang meluas sampai daerah umbilicus. Rambut pubis wanita
menyerupai bentuk segitiga terbalik. Jika pola distribusi yang
ditemukan tampak lebih khas dari jenis kelamin yang berlawanan,
penyelidikan lebih lanjut harus dilakukan karena hal ini mungkin
menunjukkan masalah endokrin. Perbedaan rambut karena factor
rasras diperkirakan terdapat, seperti rambut yang lurus pada orang Asia
dan rambut yang kasar serta keriting pada orang Afro-Amerika.
Laki-laki cenderung memiliki rambut pada wajah dan badan yang
lebih banyak ketimbang wanita. Kerontokan rambut, alopesia, dapat
terjadi diseluruh tubuh atau terbatas pada suatu daerah tertentu.
Kerontokan rambut kepala dapatterlokalisasi pada daerah tertentu atau
dapat berkisar mulai dari penipisan rambut yang menyeluruh hingga
kebotakan total. Ketika menilai kerontokan rambut kepala, kita harus
menyelidiki penyebab yang mendasari bersama pasien. Kerontokan
rambut yang terlokalisasi (patchy loss) dapat terjadi akibat kebiasaan
“mencabut rambut” atau traksi yang berlebihan pada
rambut;pemakaian
6

bahan pewarna, pelurus atau minyak rambut yang berlebihan;


pemakaian preparat kemoterapi (doksorubisin atau siklofosfamid0;
infeksi jamur; atau penyakit kanker atau mola pada kulit kepala.
Pertumbuhan rambut kembali dapat abnormal dan distribusinya tidak
pernah mencapai ketebalan seperti semula.
Kerontokan rambut. Penyebab kerontokan rambut yang paling
sering adalah kebotakan tipe pria yang mengenai lebih dari separuh
populasi laki-laki dan diyakini ada kaitannya dengan hereditas,
penuaan serta kadar hormone androgen (hormone laki-laki). Androgen
diperlukan untuk terjadinya kebotakan pola pria. Pola kerontokan
rambut tersebut dimula dengan surutnya garis rambut di daerah
frototemporal dan kemudian berlanjut dengan penipisan gradual serta
kehilangan total rambut pada puncak kepala.
Perubahan lainnya. Distribusi rambut pola pria yang dinamakan
hirsutisme (peningkatan rambut tubuh) dapat terlihat pada sebagian
wanita pada sebagian wanita pada saat menopause ketika hormone
estrogen tidak lagi diproduksi oleh ovarium. Pada wanita yang
mengalami hirsutisme, rambut yang berlebihan dpat tumbuh di daerh
wajah, dada, bahu dan pubis. Kalau menopause sudah disingkirkan
sebagai etiologi yang mendasarinya, kelainan hormonal yang
berhubungan dengan disfungsi hipofise atau adrenal harus dicari.
 Pengkajian terhadap masalah psikososial
Karena pasien kelainan kulit (1 di antara 20 penderita) dapat
melihat dan merasakan masalah, mereka lebih cenderung untuk
terganggu oleh penyakitnya ketimbang penderita gangguan lain.
Kelainan kulit dapat menimbulkan masalah kosmetik, isolasi social,
kehilangan pekerjaan dan persoalan ekonomi.
Beberapa kelainan kulit dapat membuat pasiennya menderita sakit
yang berkepanjangan sehingga timbul perasaan depresi, frustasi,
kesadaran diri dan penolakan. Gatal-gatal serta iritasi kulit juga dapat
terus mengganggu dan sering dijumpai pada sebagian besar penyakit
6

kulit. Konsekuensi dari gangguan rasa nyaman ini dapat berupa


gangguan tidur, ansietas dan depresi yang keseluruhannya akan
meningkatkan distress serta keletihan yang sering menyertai kelainan
kulit. Di samping itu, penyakit kulit kerap kali menimbulkan
keprihatinan yang berhubungan dengan citra-diri dan berhubungan
interpersonal.
Bagi pasien-pasien yang menderita ketidaknyamanan fisik dan
psikologis semacam ini, perawat harus memperlihatkan pengertiannya,
menjelaskan masalah dan memberikan instrusi yang tepat yang
berkenaan dengan pengobatan, dukungan keperawatan, kesabaran serta
dorongan semangat yang kontinu. Diperlukan waktu untuk membantu
pasien mendapatkan wawasan terhadap masalahnya dan mengatasi
kesulitannya. Karena itu, mengatasi timbulnya keengganan yang
mungkin terasa ketika merawat penderita kelainan kulit yang tidak
atraktif tersebut merupakan hal yang mengesankan. Perawat tidak
boleh memberikan kesan ragu-ragu ketika melakukan pendekatan pada
penderita kelainan kulit. Perilaku semacam ini hanya akan menambah
trauma psikologik dri kelainan tersebut. (Smeltzer, 2001)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Penunjang pada kulit menurut (Smeltzer S. C., 2013),
yaitu:
1) Biopsi Kulit
Biops kulit yang bertujuuan untuk mendapatkan jaringan bagi
pemeriksa mikroskopik dilakukan lewat eksesi dengan scalpel atau
penusukan dengan alat khusus (skin punch) yang akan mengambil
sedikit bagian tengah jaringan. Biposi dilakukan terhadap nodul
kulit yang asalnya tidak jelas untuk menyingkirkan kemungkinan
malignitas dan terhadap plak dengan bentuk serta warna yang tak
lazim; biopsi kulit dilakukan untuk memastikan diagnosis yang
tepat pada pembentukan lepuh dan kulit lainnya.
6

2) Imunofluoresensi (IF)
Untuk mengidentifikasi lokasi suatu reaksi imun, pemeriksaan
IF mengkombinasikan antigen atau antibody dengan zat warna
fluorokrom (antibody dapat dibuat berpedar dengan meningkatnya
pada zat warna). Tes IF pada kulit (direct IF test) merpakan teknik
pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi terhadap bagian-
bagian kulit. Indirect IF test mendeteksi antibody yang spesifik
dalam serum pasien.
3) Patch Test
Pacth test yang dilakukan untuk mengenali substansi yang
menimbulkan alergi pada pasien, meliputi aplikasi alergi yang
dicurigai pada kulit normal dibawah plester khusus (occlusive
patches).jika terjadi dermatitis, gejala kemerahan, tonjolan halus
atau gatal-gatal dianggap sebagai reaksi positif lemah. Blister yang
halus, papula dan gatal-gatal yang hebat menunjukkan reaksi
positif sedang, sementara blister (bullae), nyeri serta ulserasi
menunjukkan reaksi positif kuat.
4) Pengerokan Kulit
Sempel jaringan dikerok dari lokasi jamuryang dicurigai.
Pengerokan ini dilakukan dengan mata pisaua skapel yang sudha
dibasahi dengan minyak sehingga jaringan kulit yang dikerok
melekat pada mata pisau tersebut. Bahan hasil kerokan
dipindahkan ke slide kaca, tutup dengan kaca objek dan kemudian
diperiksa di bawah mikroskop.
5) Pemeriksaan Apus Tzanck
Tes ini dilakukan untuk memeriksa sel-sel dari kulit yang
mengalami pelepuhan, seperti herpes zoster, varisela, herpes
simpleks dan semua bentuk pemfigus. Secret dari lesi yang
dicurigai dioleskan pada slide kaca, diwarnai dan diperiksa.
6) Pemeriksaan Cahaya Wood
6

Tes ini bergantung pada lampu khusus untu memproduksi


cahaya ultraviolet gelombang panjang (black light) yang akan
menghasilkan sinar perpendar berwarna ungu gelap yang khas.
Warna sinar perpedar ini terlihat paling jelas pada kamar gelap dan
digunakan untuk membedakan lesi epidermis dengan lesi dermis
dan lesi hipopigmentasi serta hiperpigmentasi dengan kulit yang
normal. Kepada pasien harus dijelaskan bahwwa cahaya tersebut
tidak berbahaya bagi kesehatan kulit ataupun mata.
7) Pembuatan Foto Klinis
Foto klinis dibuat memperlihatkan sifat serta luasnya kelainan
kulit, dan digunakan untuk menentukan progresivitas atau
perbaikan setelah dilakukan terapi.
b. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan bakteriologi dilakukan pada penyakit infeksi kulit
karena bakteri
2) Pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA

Bickley, L. S. (2008). Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan


Bates Edisi 5. Jakarta: EGC.

Gleadle, J. (2006). At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:


Erlangga.

Hetharia, Rospa, Sri, Mulyani. (2011). Asuhan Keperawatan Telinga Hidung


Tenggorokan. Jakarta: CV.Trans Info Media.

Hidayati, M. N. (2013). ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn. S


DENGAN MASALAH ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn.
S DENGAN MASALAH BRONTOWIRYAN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KARTASURA. NASKAH PUBLIKASI , 1-15.

Ignatavicius, Donna D. dan M. Linda Workman. (2013). Medical-Surgical


Nursing, 7th edition. Missouri: Elsevier Saunders.

James, B. C. (2006 ). Lecture Motes Oftalmologi Edisi Kesembilan. Jakarta:


Erlangga.

McGlynn, B. &. (1995). ADAMS Diagnosis Fisik Edisi 17. Jakarta : EGC.

Muttaqin, Arif. (2011). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik.


Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner&


Suddarth. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. (2013). Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.

W, Suwandara, Sudipta M, Eka Putra Setiawan. (2012). Otomyiasis Bilateral


pada Anak dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Medicina Volume 43
Nomor 2 : 127-130

42
43

Anda mungkin juga menyukai