Patofisiologi Integumen
Patofisiologi Integumen
Puji syukur senantiasa penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas anugerah
dan petunjuk serta hidayah-Nya lah, penulis dapat menyelesesaikan makalah dari patofisiologi
sistem integumen ini meskipun memiliki banyak sekali kekurangan.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami tentang patofisiologi
sistem integumen untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sistem Integumen”.
Penulis tentunya masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan di dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena keterbatasan ilmu dan referensi yang penulis jadikan sebagai acuan
untuk menyusun makalah ini ataupun karena hal – hal lain. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar makalah ini lebih
sempurna dan dapat meningkatkan pengetahuan bagi pembaca.
Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Penulis
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh tubuh manusia bagian terluar terbungkus oleh suatu sistem yang disebut sebagai sistem
integumen. Sistem integumen adalah sistem organ yang paling luas.Sistem ini terdiri atas kulit dan
aksesorisnya, termasuk kuku, rambut, kelenjar (keringat dan sebaseous), dan reseptor saraf khusus (untuk
stimuli perubahan internal atau lingkungan eksternal).
Sistem integumen terdiri dari organ terbesar dalam tubuh, kulit. Ini sistem organ yang luar biasa
melindungi struktur internal tubuh dari kerusakan, mencegah dehidrasi, lemak toko dan menghasilkan
vitamin dan hormon. Hal ini juga membantu untuk mempertahankan homeostasis dalam tubuh dengan
membantu dalam pengaturan suhu tubuh dan keseimbangan air.
Selain kulit, ada pula rambut dan kuku yang termasuk kedalam sistem integumen. Rambut adalah organ
seperti benang yang tumbuh di kulit terutama. Rambut muncul dari epidermis (kulit luar), walaupun
berasal dari folikel rambut yang berada jauh di bawah dermis. Serta pada kuku tumbuh dari sel mirip gel
lembut yang mati, mengeras, dan kemudian terbentuk saat mulai tumbuh dari ujung jari. Kulit ari pada
pangkal kuku berfungsi melindungi dari kotoran. Fungsi utama kuku adalah melindungi ujung jari yang
lembut dan penuh urat saraf, serta mempertinggi daya sentuh. Secara kimia, kuku sama dengan rambut
yang antara lain terbentuk dari keratin protein yang kaya akan sulfur.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami dan mampu menjalaskan tentang anatomi fisiologi patofisiologi
sistim integumen dan apa saja penyakit yang terkait
2. Tujuan khusus
Setelah menyusun makalah ini mahasiswa diharapkan mampu :
a. Mengetahui pengertian sistim integumen.
b. Mengetahui anatomi fisiologi sistim integum.
c. Mengetahui patofisiologi dari sistim integumen.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Peranan Sistem Integumen dalam Pengaturan Homeostasis Tubuh
A. Pengertian Homeostasis
Homeostasis adalah Kemampuan proses fisiologis tubuh dalam mempertahankan
keseimbangan dan kecenderungan semua jaringan hidup guna memelihara dan mempertahankan
kondisi setimbang atau ekuilibrium ( Cannon, 1926 ). Homeostasis adalah Suatu proses
perubahan yang terus menerus atau suatu keadaan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan
dalam menghadapi kondisi yang dialaminya yang sifatnya dinamis yang berlangsung secara
konstan, dan terjadi pada setiap organisme.
Proses homeostasis ini dapat terjadi apabila tubuh mengalamai stress sehingga tubuh secara
alamiyah akan melakukam mekanisme pertahanan diri untuk menjaga kondisisi yang
seimbang.Dalam mempelajari cara tubuh melakukan proses homeostasis ini dapat melalui 2 cara
diantaranya:
1. Self regulation dimana sistem ini terjadi secara ototmatis pada orang yang sehat seperti dalam
pengaturan proses sistem fisiologis tubuh manusia.
2. Berkompensasi yaitu tubuh akan cenderung bereaksi terhadap ketidak normalan dalam tubuh
sebagai contoh apabila secara tiba-tiba lingkungan menjadi dingin maka proses dalam tubuh
khususnya pembuluh darah akan mengalami kontraksi pembuluh darah perifer dan merangsang
pada pembuluh darah bagian dalam untuk meningkatkan kegiatan pada otot yang akhirnya
menggigil yang dapat menghasilkan panas sehingga suhu tetap stabil. Dengan cara sistem umpan
balik negative, proses ini merupakan penyimpangan dari keadaan normal segera dirasakan dan
diperbaiki dalam tubuh dimana apabila tubuh dalam keadaan tidak normal akan secara sendiri
mengadakan mekanisme umpan balik untuk menyeimbangkan dari keadaan yang ada. Cara
umpan balik untuk mengkoreksi ketidakseimbangan fisiologis, hal ini dapat dicontohkan apabila
seseorang terjadi hipoksia akan terjadi proses peningkatan denyut jantung yang cepat untuk
membawa darah dan oksigen yang cukup keseluruh tubuh.
Cairan tubuh merupakan objek homeostasis karena dalam cairan tubuh diatur
keseimbangan bermacam-macam elektrolit.Homeostasis juga mengatur keseimbangan asam dan
basa. Cairan tubuh diatur agar suhunya selalu konstan 370C dengan cara mekanisme produksi
dan pelepasan panas. Contoh homeostasis yang ringkas ialah:Apabila cuaca panas, sistem
kulit akan merespon dengan mengeluarkan peluh melalui kelenjar keringat pada epidermis kulit
untuk mencegah suhu darahnya meningkat, pembuluh darah akan mengembang untuk
mengeluarkan panas ke sekitarnya, hal ini juga menyebabkan kulit berwarna merah.
4
2. Konsentrasi O2 dan CO2.
3. Konsentrasi zat-zat sisa
4. pH
5. Konsentrasi garam-garam, air, dan elektrolit-elektrolit lain
6. Suhu
7. Volume dan tekanan.
5
PATOFISIOLOGI SISTEM INTEGUMEN
D. Reaksi Hipersensitivitas
adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun (merusak,
menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem
kekebalan normal. Hipersensitivitas merupakan reaksi imun tipe I, namun berdasarkan
mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe
lagi: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu dapat dikarenakan satu atau beberapa
jenis reaksi hipersensitivitas.
1) Reaksi Hipersensitivitas Tipe-I ( Reaksi Alergi ).
Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
6
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil. Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi
hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur
IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan
IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma,
dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah
menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G.
2) Reaksi Hipersensitivitas Tipe-II ( Reaksi Sitotoksik )
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunolobulin G (IgG)
dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi
dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target
sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
Pemfigus (IgG) bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal);
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada
permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah); dan
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).
3) Reaksi Hipersensitivitas Tipe-III ( Imun Kompleks)
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal
ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan
adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan,
atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara
otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan
kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit
autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran
sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ,
seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan
antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan
menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
7
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,
diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan
sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru
pembuat keju.
4) Reaksi Hipersensitivitas Tipe-IV ( Delayed Type Hypersensitivity )
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat
(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.
Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal
timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Waktu Penampak
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi an klinis
Pengerasan
Limfosit, monosit, Intraderma (tuberkulin,
Tuberkulin 48-72 jam (indurasi)
makrofag lepromin, dll.)
lokal
A. Trauma
1) Luka bakar, adalah cedera luka bakar diakibatkan dari serangan langsung, memasak, merokok,
ledakan, kebakaran rumah, kontak dengan objek panas, kecelakaan mandi air panas, dan factor
lain. Cedera luka bakar terjadi pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin. Bila ini terjadi,
tidak hanya melibatkan jarngan kulit tetapi juga semua system tubuh. Kedalaman cedera termal
8
bergantung pada agens pembakar, suhu, dan lamanya pemajanan pada pana. Titik ekuilibrium
kulit kira-kira 44˚C. suhu ini dapat ditoleransi sampai 6 jam tanpa terbakar. Luka bakar
diklasifikasikan sebagai derajat pertama, kedua, dan ketiga. Kedalaman cedera sulit untuk dikaji
pada periode pasca-terbakar awal, dan secara garis besar di bagi menjadi cederaketebalan parsial
dan cedera ketebalan penuh.
Luka bakar ketebalan parsial : mencakup derajat pertama dan kedua serta cedera dermal
dalam.
Luka bakar ketebalan penuh : mencakup destruksi lapisan kulit atau mencakup jaringan
subkutan, otot, atau bahkan tulang. Penyebabnya sama dengan luka bakar ketebalan parsial.
Penampilan luka bervariasi, putih, hitam, coklat, atau merah tua. Kerusakan jarigan pada luka
bakar ini bergantung pada ukuran area yang terbakar, kedalaman dan lokasinya, usia korban,
adanya penyakit atau cedera penyerta, dan stats psikologis korban.
Kedalaman Luka Bakar
Luka bakar derajat satu (super ficial partial-thickness). Epidermis mengalami kerusakan
atau cedera dan sebagian dermis turut cedera. Luka tersebut bisa terasa nyeri, tampak merah dan
kering seperti luka bakar matahari, atau mengalami lepuh/bullae.
Luka bakar derajat dua (deep partial-thickness). Meliputi destruksi epidermis serta lapisan
atas dermis dan cedera pada bagian dermis yang
lebih dalam. Luka tersebut terasa nyeri, tampak merah dan mengalami eksudasi cairan.
Pemutihan jaringan yang terbakar diikuti oleh pengisian kembali kapiler; folikel rambut masih
utuh.
Luka bakar derajat tiga (full-thickness). Meliputi destruksi total epidermis serta dermis, dan
pada sebagian kasus, jaringan yang berada di bawahnya. Warna luka bakar sangat bervariasi
mulai dari warna putih hingga merah, cokelat atau hitam. Daerah yang terbakar tidak terasa nyeri
karena serabut-serabut sarafnya hancur. Luka bakar tersebut tampak seperti bahan kulit. Folikel
rambut dan kelenjar keringat turut hancur.
Perkiraan persentase area permukaan tubuh total yang telah terbakar penting untuk
menentukan kebutuhan cairan dan nutrisi. Aturan Sembilan telah menjadi standar untuk
memperkirakan area luka bakar. Metode ini mempuyai beberapa keterbatasan bergantung pada
usia pasien (kepala anak-anak menunjukan persentase lebih dari permukaan tubuh orang
dewasa). Dan luasnya cedera actual derajat tiga.
2.1 Gambaran Laboratorium
1. Biopsi Kulit
Mendapatkan jaringan untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopik dengan cara eksisi dengan
scalpel atau alat penusuk khusus ( skin punch) dengan mengambil bagian tengah jaringan.
Indikasi : Pada nodul yang asal nya tidak jelas untuk mencegah malignitas. Dengan warna dan
bentuk yang tidak lazim. Pembentukan lepuh.
2. Patch Test
Untuk mengenali substansi yang menimbulkan alergi pada pasien dibawah plester khusus
(exclusive putches).
9
Indikasi : Dermatitis, gejalak kemerahan, tonjolan halus, gatal-gatal. Reaksi + lemah. Blister
yang halus, papula dan gatal-gatal yang hebat reaksi + sedang.
-Blister/bullae, nyeri, ulserasi reaksi + kuat.
Penjelasan pada pasien sebelum dan sesudah pelaksanaan patch test :
Jangan menggunakan obat jenis kortison selam satu minggu sebelum tanggal pelaksanaan.
Sample masing-masing bahan tes dalam jumlah yang sedikit dibubuhkan pada plester
berbentuk cakaram kemudian ditempel pada punggung,dengan jumlah yang bervariasi. (20-30
buah).
Pertahankan agar daerah punggung tetap kering pada saat plester masih menempel.
Prosedur dilaksanakan dalam waktu 30 menit.
2-3 hari setelah tes plester dilepas kemudian lokasi dievaluasi.
3. Pengerokan Kulit
Sampel kulit dikerok dari lokasi lesi, jamur, yang dicurigai.dengan menggunakan skatpel
yang sudah dibasahi dengan minyak sehingga jaringan yang dikerok menempel pada mata pisau
hasil kerokan dipindahkan ke slide kaca ditutup dengan kaca objek dan diperiksa dengan
mikroskop.
5. Apus Tzanck
Untuk memeriksa sel – sel kulit yang mengalami pelepuhan.
Indikasi :
Herpes zoster,varisella, herpes simplek dan semua bentuk pemfigus.
Secret dari lesi yang dicurigai dioleskan pada slide kaca diwarnai dan periksa.
10
Penyakit pada Sistem Integumen yang disebabkan oleh Bakteri
1) Impetigo
Impetigo adalah infeksi permukaan epidermis yang disebabkan
oleh StaphylococcusAureus atau Streptococcus Pyghenes. Impetigo paling sering terjadi pada
anak-anak terutama pada wajah, yan dapat menyebar karena digaruk. Penularan melalui kontak
langsung : Impetigo sangat menular.
Umumnya, impetigo mulai sebagai putsul (lepuh berisi pus) yang ruktur dan membentuk
kusta tebal, kuning, dan translusen. Secara mikroskopis, lepuh terdapat pada bagian permukaaan
epidermis. Eredikasi infeksi dengan antibiotik menyebabkan pemulihan yang cepat tanpa
jaringan parut.
Impetgo neonatal merupakan varian sangat serius pada bayi yang disebabkan oleh strain
stafilokokus yang menimbulkan toksin epidermolitik. Bula meluas dan membesar,
mengakibatkan pengelupasan epidermis permukaan dalam area yang luas (“scalded skin
syndrome”).
3) Akne Vulgaris
Meskipun bukan merupakan infeksi primer, lesi akne vulgaria serin terinfeksi patogen derajat
rendah. Lesi akne vulgaria adalah komedo (kepala hitam atau kepala putih), yang terdiri atas
struktur pilosebaseus berisi keratin dan lipid. Sekresi keratin dan sebasea yang tertahan
dihancurkan oleh bakteri anaerob (misal, Propioni-bacterium acnes), menyebabkan peradangan
akut yang dapat berkembang menjadi abses yang sangat menyerupai funankel, terutma jika
terjadi infeksi sekunder.
Akne mengenai banyak remaja usia pubertas. Penyebabnya tidak pasti. Peningkatan kadar
hormon seks pada masa pubertas dapat mempengaruhi mutu sekresi sebasea, dan pada beberapa
ndivdu bahan makanan tertentu tampak mengeksaserbasi kondisi tersebut, menunjukkan
fenomena alergik. Higiens yang buruk secara tidak jelas turut berperan pada timbulnya komedo
(kepala hitam adalah lipid teroksidasi, bukan kotoran), tetapi merupakan predisposisi timbulnya
infeksi sekunder.
11
4) Hidradenitis Supurativa
Infeksi stafilokokus pada kelenjar apokrin dapat menyebabkan peradangan supratif akut
disertai pembentukan abses. Daerah aksila dan anogenital merupakan tempat yang sering
terkena. Proses ini dapat menjadi kronis, disertai peningkatan jaringan parut fibrosa dan abses
rekuren.
5) Erisipelas
Erisipelas adalah peradangan kulit akut yang menyebar, terutama pada wajah atau kulit
kepala, sering disebabkan Streptococcus. Kulit yang terserang menjadi merah, panas, bengkak
dan tebal. Dermis menunjukkan hipermia dan infiltrasi nutrofil. Tidak terjadi pembentukan abses
lokal. Pasien memiliki tanda-tanda sistemik peradangan akut disertai demam tinggi.
6) Selulitas
Peradangan akut yang cepat menyebar pada jaringan subkutan terjadi sebagai komplikasi
infeksi luka. Organisme yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus Pyogenes. Daerah yang
meradang berwarna merah, panas, dan bengkak. Bakteremia sering terjadi dan pasien febril.
Dua bentuk selulitas nekrotikan berat yang disebabkan oleh bakteri anaerob adalah angina
Ludwig (yang mengenai dasar mulut dan leher) serta gangren Fournier pada skrotum.
7) Fascitis Nekrotikan
Fascitis Nekrotikan adalah penyebaran infeksi umum pada jaringan subkutan dalam, fasia
dalam, dan otot rangka di bawahnya, terutama mengenai ekstermitas dan dinding abdomen.
Kelainan ini biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob, ditanadai dengan nekrosis otot, fasia, dan
kulit ekstensif serta terjadinya perdarahan kulit, nekrosis, dan lesi bolusa besar berisi cairan
berwarna darah. Lesi cenderung menyebar cepat serta nenerlukan debridemen bedah darurat dan
agresif.
Salah satu jenis khusus fascitis nekrotikan disebabkan oleh Vibrio vulnificus yang merupakan
pencemar ikan yang sering terdapat di perairan pantai. Sembilan puluh persen kasus disebabkan
oleh adanya riwayat ingesti tiram mentah yang tercemar vibrio tersebut. Ingesti vibrio
mengakibatkan bakteremia pada pasien penyakit hati kronis, yang merupakan kelompok utama
yang rentan. Fascitis nekrotikan terjadi setelah bakteremia yang menyebar dengan cepat sehingga
mengakibatkan kematian. Pengenalan agen secara dini memngkinkan pengobatan antibiotik yang
sangat efektif.
8) Antraks
Antraks adalah infeksi yang jarang terjadi yang disebabkan oleh Bacillus anthracis(bakteri
gram positif pembawa spora yang terutama ditemukan di dalam dan sekitar peternakan hewan).
Antraks memiliki hubungan okupasional yang kuat dengan industri yang menangani produk
hewani dan kulit (pertanian, tekstil, dan industri kulit). Sekitar 95% kasus terjadi pada utaneus
akibat inokulasi kulit, 5% terjadi pada paru akibat menhirup spora.
12
Antrak ditandai oleh peradangan akut hemorargik nekrotikan berat pada kulit yang
disebabkan oleh virulensi organisme dan cenderung menghasilkan vaskulitis. Bakteremia terjadi
pada kasus-kasus berat.
Lepra adalah penyakit yang sering terjadi di negara tropis. Di Amerika Serikat, lepra dijumpai
di California Selatan, Hawai, dan negara bagian di selatan. Lepra disebabkan
oleh Mycobacterium leprae, suatu bakteri tahan asam yang belum dibiakkan di media buatan.
Gambaran klinikopatologk lepra bergantung pada reaksitvitas imunologik pejamu terhadap
bakteri lepra. Terdapa spektrum pola penyakit yang berkisar
dari tuberkuloid hingga lepromatosa, dengan borderline yan menunjukkan pola sedang.
A. Lepra Tuberkuloid, terjadi pada pasien yang memiliki respon sel T yang baik terhadap bakteri.
Organisme ini terletak di tempat masuk, jumlah lesi kecil, dan penyebaran bakterimia jarang
terjadi. Secara klinis lesi kulit merupakan makula anastetik hipopigmentasi. (Makula adalah
daerah datar, berbatas-tegas yang mengalami perubahan warna). Keterlibatan saraf perifer besar
(ulnaris, pronealis komunis, aurikularis magnus) menimbulkan penebalan dan palsi saraf yang
dapat diraba (lumpuh pada tangan [wristdrop] dan kaki [footdrop] merupkaan gambaaran yang
sering). Lesi kulit secara histologis ditandai dengan granuloma sel epitel, banyak limfosit, daan
sejumlah kecil kuman lepra.
B. Lepra Lepromatosa, terjad pada pasien yang mempunyai kadar imunitas selular yang rendah.
Pada keadaan tidak adanya respon sel T yang efektif, bteri berkembang tidak terkendali di dalam
makrofag kulit, membentuk “sel lepra” besar yang berbusa yang banyak ditemukan pada bakteri
tahan asam. Agregasi menyebabkan penebalan dan nodularitas kulit, mata, saluran napas atas,
dan testis. Bakteri lepra timbul terutama pada suhu di bawah 37 C, dan oran dalam (misal,
limpa dan hati) yang jarang terserang pada suhu tubuh inti. Lepra jenis ini merupakan penyakit
serius yang menyebabkan kerusakan pada jaringan. Terkenanya jari, hidung, dan telinga
menimbulkan perubahan bentuk. Pengobatan tidak memuaskan.
C. Lepra Borerline, memilik gambaran antara lepra tuberkuloid dan lepra lepromatosa.
13
bepergian pada siang hari di atas jam 09.00, sebaiknya anda menggunakan lotion dan juga jaket pelindung untuk
menghindari terpapar dengan sinar matahari secara langsung.
4. Hindari menggaruk-garuk kulit terlalu keras.Hal ini bisa menyebabkan kulit lecet. Jika
anda memang sedang gatal, sebaiknya di garuk sewajarnya saja. Dan jika masih gatal, anda
bisa mengoleskan minyak angin atau balsem untuk menghilangkan rasa gatal itu.
5. Hindari makanan yang menyebabkan alergi. Jika anda memilki riwayat alergi, hindari makanan yang
menyebabkan alergi seperti gatal di kulit dan merah-merah di kulit. Ada beberapa orang yang memiliki riwayat
alergi pada makanan tertentu misalnya telur dan udang. Mereka perlu untuk tetap menghindari konsumsi
makanan jenis ini agar alergi tidak kambuh dan pada kulit tidak terjadi iritasi dan masih banyak lagi. Itulah
beberapa tips untuk terhindar dari penyakit kulit.
6. Pertahankan kulit cukup hidrasi:
gunakan krim pada daerah yang kering
jangan terus-menerus menggunakan tatarias yang tebal.
7. Observasi perubahan kulit:
Amati kulit secara keseluruhan dan sering. Gunakan cermin untuk melihat seluruh tubuh.
Catat dan konsultasikan perubahan warna, ukuran, dan keadaan cedera kulit yang sudah ada.
8. Hindari terapi sendiri:
Jangan gunakan resep lama pada cedera kulit baru atau lesi yang lain, serta jangan gunakan
obat yang tidak diketahui secara pasti kegunaannya.
Segera dapatkan nasihat medis atau kunjungi tempat pelayanan kesehatan bila terjadi
gangguan kulit (Long, 1996).
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem integumen atau biasa disebut kulit adalah sistem organ yang membedakan,
memisahkan, melindungi, dan menginformasikan manusia terhadap lingkungan
sekitarnya.Fungsi sistem integumen sebagai perlindungan, pengaturan suhu tubuh, ekskresi,
metabolisme, dan komunikasi.
Fungsi sistem integumen pada homeostasis yaitu sebagai sawar protektif bagian luar yang
mencegah cairan internal keluar dari tubuh dan mikroorganisme asing masuk ke dalam
tubuh. Faktor-Faktor yang Mengganggu Fungsi Sistem Integumen yaitu Kelainan
genetik, Kelainan kongenital, Idiopatik, hipersensitivitas, dan trauma. Jenis Bakteri/ Mikroba
Terkait Penyakit pada Sistem Integumen yaitu StaphylococcusAureus, Streptococcus Pyghenes,
Propioni-bacterium acnes, Bacillus anthracis, Mycobacterium leprae, Mycobcterium
tuberculosis, Mycrocteru marinum dan lain-lain.
3.2 Saran
Bagi para pembaca diharapkan untuk lebih banyak membaca tentang anatomi sistim integumen
serta patofisiologis sitim integumen.
dan diharapkan pembaca agar lebih banyak mencari informasi serta referensi buku tetang
patofisiologi penyakit sistem integumen.
15
Daftar Pustaka
Sloane, Ethel. (2004). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC
Tambayong, Jan. (2000). Patofsiolgi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Tamher, Sayuti, Heryati. (2011). Patologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta Timur : CV Trans Info Media.
Taylor, Clive R. (2006). Ringkasan Patalogi Anatomi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
TersediaOnline di: http://dokumen.tips/documents/makalah-sistem-integumen-55b08ab768cd4.html. Diakses pada
tanggal 29 April 2016
16