Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan tentang : 1) Konsep Edukator Perawat 2)

Konsep Discharge planning 3) Konsep Peran Edukator Perawat Dalam Discharge

planning 4) Konsep Dasar Kepatuhan 5) Hipertensi Kerangka Teori 6)

Kerangka Konsep 7) Hipotesis Penelitian

2.1 Konsep Edukator Perawat

2.1.1 Pengertian Peran Perawat

Pengertian perawat menurut Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang

registrasi dan praktik perawat, perawat adalah seseorang yang telah lulus

pendidikan perawat, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perawat juga dituntut melakukan

peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan masyarakat

sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2004). Perawat adalah

profesi yang sifat pekerjaannya berhubungan dengan manusia, terjadi proses

interaksi antara individu, saling mempengaruhi antar individu dan dapat

memberikan dampak terhadap tiap-tiap individu yang bersangkutan (Suhaemi,

2004). Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dari masyarakat

sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Peran perawat adalah seperangkat

tingkah laku yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan profesinya (Kusnanto,

2004).

Peran perawat adalah cara yang dilakukan perawat dalam aktivitas berupa

praktik dan telah menyelesaikan pendidikan formalnyasebagai tenaga kesehatan

1
profesional yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah sesuai kode etik

profesional keperawatan (Harnilawati, 2013)

Peran perawat diartikan sebagai tingkah laku yang diharapkan oleh orang

lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, dimana dapat

dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar

profesi keperawatan yang bersifat konstan (Budiono, 2016). Perawat memberikan

suatu edukasi kesehatan secara efektif yang bertujuan untuk mengurangi

terjadinya penyebaran penyakit sehingga dapat menurunkan jumlah kunjungan

pasien ke rumah sakit.(Potter,P.A & Perry, 2005). Menurut Kusnanto, (2004),

pasien akan dibantu oleh perawat untuk diberikan pengetahuan terkait perawatan

hingga tindakan medis yang akan dilakukan untuk peningkatan kesehatannya,

oleh karenanya klien ataupun keluarga dapat bertanggung jawab terhadap sesuatu

hal yang diketahui.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan peran perawat adalah

harapan yang diinginkan oleh pasien atau keluarga dari tingkah laku perawat

dalam menjalankan tugasnya. Perawat mempunyai peranan dalam berinteraksi

dengan pasien yang dapat mempengaruhi kesehatan sehingga pasien memiliki

derajat kesehatan yang lebih tinggi.

2
2.1.2 Klasifikasi Peran Perawat

1. Care provider ( pemberi asuhan )

Perawat memberikan layanan asuhan keperawatan bertujuan untuk

menerapkan ketrampilan berpikir kritis dan pendekatan sistem untuk

menyelesaikan masalah serta pembuat keputusan dalam asuhan

keperawatan yang komprehensif berlandaskan aspek legal dan etik

(Kemenkes.RI, 2017).

2. Manager dan Community Leader ( pemimpin komunitas)

Perawat dalam satu komunitas atau kelompok masyarakat memiliki

jiwa kepemimpinan dalam hal memanajemen asuhan keperawatan pada

pasien, baikperawat komunitas profesi maupun komunitas sosial

(Kemenkes.RI, 2017).

3. Edukator ( pendidik )

Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya dalam

memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan keterampilan pada

pasien, keluarga pasien maupun anggota masyarakat dalam upaya

pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan (Susanto, 2012). Dalam

keperawatan , edukasi merupakan bagian dari proses keperawatan. Perawat

membuat tujuan dan strategi pengajaran dalam proses asuhan keperawatan.

Sebagai perawat klinis, perawat komunitas, atau sebagai individu.

perawaat dituntut untuk untuk mampu memberikan edukasi kesehatan

terhadap pasien dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya

(Kemenkes.RI, 2017).
4. Advocate (Pembela)

Perawat dapat menjalankan peran sebagai pembela atau

mengadvokasi pasien sesuai pengetahuan dan kewenangannya

(Kemenkes.RI, 2017).

5. Researcher (peneliti)

Perawat memiliki berbagai kompetensi dan kemampuan intelektual

yang juga mampu melakukan suatu penelitian sederhana di bidang

keperawatan dengan mencari fenomena dan menumbuhkan rasa ingin tahu

yang dituangkan dalam ide di aspek komunitas maupun klinis

6. Care giver( Pemberi perawatan )

Perawat bertindak sebagai pemberi asuhan keperawatan. Perawat

dapat memberikan pelayanan secara langsung dan tidak langsung kepada

pasien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang

meliputi: pengkajian, menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan

hasil analisis data, merencanakan intervensi keperawatan sebagai upaya

mengatasi masalah yang muncul dan membuat langkah/cara pemecahan

masalah, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang

telah disusun, dan melakukan evaluasi berdasarkan respon pasien terhadap

tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Pemberian asuhan

keperawatan, perawat melihat individu sebagai mahluk yang holistik dan

unik(Harnilawati, 2013)

7. Conselor(konselor )
Perawat sebagai konselor membantu pasien untuk mengatasi

masalah tekanan psikologis atau masalah sosial dengan tujuan untuk

membangun hubungan interpersonal yang baik, meningkatkan dukungan

intelektual dan emosional pasien (Harnilawati, 2013)

8. Collaborator ( Kolaborator )

Peran perawat sebagai kolabolator dapat membantu penyembuhan

pasien. Perawat dapat bekerja sama menjadi tim kesehatan untuk

memenuhi aspek kebutuhan pasien (Harnilawati, 2013). Pendidikan

kesehatan bagi pasien telah menjadi satu dari peran yang paling penting

bagi perawat yang memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Pasien

dan anggota keluarga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan

kesehatan (Potter,P.A & Perry, 2005).

2.1.3 Peran Pendidik/ Educator Perawat

Pendidikan kesehatan bagi pasien telah menjadi satu dari peran yang

paling penting bagi perawat yang memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.

Pasien dan anggota keluarga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan

kesehatan (Potter & Perry, 2005). Perawat sebagai pendidik bertugas untuk

memberikan pengajaran baik dalam lingkungan klinik, komunitas, sekolah,

maupun pusat kesehatan masyarakat (Brunner&Suddarth, 2003). Perawat sebagai

pendidik menjalankan perannya dalam memberikan pengetahuan, informasi, dan

pelatihan ketrampilan kepada pasien, keluarga pasien maupun anggota masyarakat

dalam upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan (Susanto, 2012).


Perawat sebagai pendidik berperan untuk mendidik dan mengajarkan individu,

keluarga, kelompok, masyarakat, dan tenaga kesehatan lain sesuai dengan

tanggungjawabnya. Perawat sebagai pendidik berupaya untuk memberikan

pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada klien dengan evaluasi yang dapat

meningkatkan pembelajaran (Wong, 2009).

Perawat dalam perannya sebagai pendidik perlu memahami kekuatan, baik

dulu maupun saat ini yang telah berdampak dan terus berdampak pada tanggung

jawab mereka di dalam praktik dengan pengajaran sebagai aspek utama dari peran

profesional perawat. Perawat diharapkan memberikan instruksi kepada pasien

agar dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan yang optimum, mencegah

penyakit, menangani penyakit, dan mengembangkan keterampilan sehingga dapat

memberikan perawatan pendukung bagi anggota keluarga (Bastable, 2002).

Perawat profesional pada dasarnya harus siap untuk memberikan jasa

pengajaran efektif yang dapat memenuhi kebutuhan perorangan dan kelompok

dalam berbagai kondisi di lingkungan praktik (Bell 1986, dalam Bastable, 2002).

Peran perawat sebagai pendidik akan meningkatkan kepuasan kerja perawat saat

perawat menyadari bahwa kegiatan pengajaran berpotensi untuk membantu

terbinanya hubungan terapeutik dengan pasien yang lebih besar dan menciptakan

perubahan yang benar-benar membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain

(Bastable, 2002). Perawat sebagai pendidik harus memiliki kemampuan sebagai

syarat utama antara lain (Asmadi, 2008):

a. wawasan ilmu pengetahuan. Pendidikan kesehatan merupakan upaya sadar

yang dilakukan oleh seorang edukator untuk mempengaruhi orang lain agar
dapat berperilaku atau memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sesuai

dengan yang diharapkan. Dalam Proses pendidikan ini terjadi transfer ilmu

pengetahuan yang luas bukan hanya menyangkut ilmu keperawatan, tetapi

juga ilmu-ilmu lain.

b. Komunikasi. Keberhasilan proses pendidikan dipengaruhi oleh kemampuan

perawat dalam berkomunikasi, baik secara verbal maupun non verbal.

Kemampuan berkomunikasi ini merupakan aspek mendasar dalam

keperawatan. Perawat harus berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh.

Interaksi merupakan bagian dari komunikasi. Perawat dapat memberikan

informasi/penjelasan kepada pasien, membujuk dan menghibur pasien, dan

menjalankan tugas lainnya dengan adanya komunikasi. Proses komunikasi

diharpakan dapat mempengaruhi dan meyakinkan pihak lain baik itu pasien,

rekan sejawat, maupun tenaga kesehatan lain. Citra profesionalisme yang baik

pada perawat akan tercipta dengan komunikasi yang baik pula.

c. Pemahaman psikologis. Sasaran pelayanan keperawatan adalah pasien, dalam

hal ini individu, keluarga, dan juga masyarakat. Perawat harus mampu

memahami psikologis agar dapat mempengaruhi orang lain. Perawat harus

meningkatkan sensitivitas dan kepeduliannya. Saat berbicara dengan orang

lain perawat harus melakukannya dengan hati dengan kata lain perawat

berkomunikasi dengan orang lain dengan menyentuh hati orang lain. Setiap

pemikiran dan ide perawat dapat langsung diterima oleh pasien sehingga

tujuan pendidikan kesehatan dapat tercapai.


d. Menjadi model/contoh. Seberapa bagusnya gaya komunikasi perawat dan

luasnya wawasan ilmu pengetahuan, orang lain perlu melihat bukti atas apa

yang disampaikan. Upaya untuk mengubah dan menigkatkan profesionalisme

perawat paling baik dilakukan melalui pembuktian secara langsung melalui

peran sebagai model. Perawat harus mampu menjadi model yang baik dalam

menjalankan profesinya.

2.1.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Peran Perawat sebagai Edukator

1. Persepsi Iklim Pendidikan Pasien

Hal ini disebabkan kelebihan beban kerja, kurangnya kebijakan dan

pedoman tentang edukasi pasien, dan edukasi pasien masih menjadi

prioritas rendah. Apabila semakin perawat merasa edukasi pasien, dan

edukasi pasien merupakan bagian integral dari proses keperawatan yang

bersifat profesional, maka semakin sedikit rintangan dari kesulitan

perawat dalam menghadapi masalah yang mempengaruhi persepsi iklim

pendidikan pasien. (Live et al,2017)

2. Persepsi Peran Perawat Memberikan Edukasi

Persepsi peran perawat dalam memberikan edukasi disebabkan oleh

kurangnya pengetahuan dan ketrampilan profesional, kesulitan

berkomunikasi dengan pasien, keyakinan bahwa edukasi pada pasien

bukan menjadi tanggung jawab perawat. Apabila persepsi peran perawat

memberikan edukasi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan

ketrampilan profesional, kesulitan berkomunikasi dengan pasien,


keyakinan bahwa edukasi pada pasien bukan menjadi tanggung jawab

perawat. Apabila persepsi peran perawat memberikan edukasi baik, maka

akan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan perawat yang

profesional, berkurangnya kesulitan berkomunikasi dengan pasien, dan

meningkatkan keyakinan bahwa edukasi menjadi bagian tanggung jawab

perawat ( Live et al, 2017)

3. Kemampuan Pasien untuk Menulis dan Membaca

Permasalahan pada pasien yang mengalami buta huruf dapat

menyebabkan pasien tidak mampu membaca, menulis, dan memahami

informasi yang diberikan oleh perawat. Pasien yang mengalami buta huruf

juga akan menurunkan pengetahuan tentang kesehatan, seperti diagnosis

yang tertunda, keterampilan manajemen penyakit yang buruk, dan biaya

perawatan kesehatan akan menjadi lebih tinggi. Perawat bertanggung

jawab untuk meningkatkan keterampilan, preferensi, dan menyediakan

informasi kesehatan. Pasien yang berusia >74tahun memiliki ketrampilan

melek kesehatan rendah, pasien berusia 65 – 74tahunmemiliki ketrampilan

melek kesehatan sedang dan pasien berusia 50 - 64tahun memiliki

keterampilan melek kesehatan cukup (Beagle, 2011).

4. Budaya Pasien

Perawat harus mempelajari budaya pasien sebagai kompetensi untuk

merawat pasien dengan cara yang responsif terhadap keyakinan, gaya,

sikap, bahasa dan perilaku individu yang mengharuskan perawat dapat

mengerti perbedaan budaya pasien. Perawat memiliki tantangan untuk


mengetahui setiap budaya dari berbagai macam pasien. Perawat

menggunakan budaya sebagai kerangka kerja untuk melihat kondisi

masyarakat secara global, termasuk kesehatan dan kebutuhan perawatan

kesehatan. Apabila pasien mengalami sakit dan merasa kehilangan kendali

dalam perawatan kesehatan, maka pasien cenderung berpegang teguh

terhadap keyakinan yang dianut oleh keluarganya. Peran perawat tersebut

harus menggabungkan nilai budayaatau kepercayaan yang dianut dengan

praktik kesehatan agar dapat meningkatkan kepuasan dan kepatuhan

pasien terhadap perawatan kesehatan (Beagle, 2011).

5. Bahasa Sehari Hari yang Digunakan Pasien

Perawat memiliki tantangan untuk mengetahui setiap bahasa dari berbagai

macam pasien. Apabila bahasa yang digunakan pasien sudah melekat dan

sebagai bahasa utamanya, maka hal tersebut menjadi rintangan perawat

untuk berkomunikasi dengan pasien. Biasanya perawat menggunakan

anggota keluarga yang mampu berkomunikasi dengan bahasa yang

digunakan perawat, namun ada beberapa istilah dalam keperawatan yang

tidak mampu diterjemahkan terkait dengan edukasi yang diberikan oleh

perawat (Beagle, 2011).

6. Hambatan Fisik dan Lingkungan Pasien

Faktor fisiologis berperan bagaimana pasien mampu memproses informasi

kesehatan. Seiring bertambahnya usia pasien, kejelasan visual dan

ketajaman pendengaran akan menurun sehingga membuat pasien sulit

untuk menerima sebuah informasi, berfikir dan menyimpan informasi.


Perubahan kapasitas mental karena patologis proses penyakit, seperti

penyakit Azheimer atau intervensi farmakologis dapat menciptakan

penghalang untuk memberikan edukasi yang efektif. Pasien yang

mengalami kehilangan ingatan jangka pendek dan banyaknya informasi

baru akan membatasi sesi dalam pemberian edukasi dan jumlah informasi

yang diberikan. Pasien yang merasakan nyeri akibat keterbatasan fisik

juga akan menghambat kemampuan pasien menerima informasi,

akibatnya pasien merasa antisipasi, cemas, dan ketakutan karena

kekurangan pengetahuan. Faktor lingkungan juga menjadi faktor penentu

keberhasilan dalam proses edukasi. Apabila pencahayaan buruk, adanya

kebisingan dan suhu ruangan tidak menentu, maka akan menghambat

proses edukasi. Hal terwebut menjadi tantangan perawat untuk

mempersingkat perawatan psien di rumah sakit dengan cara memberikan

edukasi selama perawatan kesehatan pasien (Beagle, 2011).

7. Gaya Belajar Pasien

Perawat harus memahami bagaimana gaya belajar dari setiap pasien.

Penilaian pasien sangat penting terhadap perawat agar efektif dalam

memberikan edukasi, karena setiap pasien memiliki gaya pembelajaran

yang berbeda beda. Pola pembelajaran dari setiap pasien berbeda beda

tergantungdari beberapa pola yang disukai pasien yaitu pola belajar visual,

auditorial, dan kinestik. Perawat perlu mempelajari pola belajar pasien

agar perawat berhasil untuk menyampaikan pesan dan membangun

pemahaman pasien. (Beagley, 2011).


8. Metode Edukasi Perawat

Metode edukasi sangat penting dipahami oleh perawat untuk memberikan

edukasi pada pasien. Metode yang diberikan dapat berupa metode

demonstrasi, metode instruksi tercetak( contoh leaflet, pamflet, dan

sebagainya), dan metode video. Metode-metode tersebut harrus

disesuaikan dengan kondisi pasien, sebelumnya perawat harus mengkaji

kebutuhan edukasi pasien, lalu perawat memberikan intervensi edukasi

sesuai metode yang akan diberikan (Beagle, 2011).

9. Beban Kerja Perawat yang Tinggi

Perawat merasa memiliki beban kerja yang tidak hanya memberikan

edukasi pasien, melainkan bekerja merawat pasien seperti membantu

memobilisasi pasien , memberi dan mengambilkan obat, membersihkan

tubuh pasien, berkoordinasi dengan staf lainnya, dan lain lain(Abdi et al,

2014).

10. Ketidakpuasan Kerja

Ketidakpuasan kerja merupakan penghalang untuk mengimplementasikan

edukasi pada pasien. Adanya ketidak puasan kerja yang tinggi disebabkan

oleh kurangnya motivasi, gaji yang tidak mencukupi,, kurangnya

kesempatan yang tepat untuk belajar, kurangnya staf medis, stres kerja,

adanya kecemasan, depresi dan tidak mendukungnya lingkungan

pekerjaan sehingga memperburuk kepuasan perawat ( abdi, et al, 2014).


11. Kurangnya perhatian manajerial terhadap edukasi pasien

Kurangnya perhatian manajer menjadi penyebab utama hambatan

dalam memberikan edukasi pada pasien. Manajer seharusnya mendukung

tindakan dalam pemberian edukasi, seperti mengevaluasi staff dalam

pelaksanaan prosesedukasi pasien, menyediakan fasilitas dan tempat yang

sesuai untuk edukasi, mempersiapkan suasan interaktif antar staf, serta

mendukung proses promosi dan edukasi pasien( Abdi et al, 2014).

2.1.4 Perbedaan Sudut Pandang Antar Staf Pendidik

Perbedaan sudut pandang antar perawat dengan staf medis lainnya, seperti

dokter menjadi kendala untuk melakukan edukasi pada pasien. Perbedaan

perbedaan sudut pandang antar staf untuk memberikan edukasi pada pasien

disebabkan oleh kurangnya interaksi yang sesuai dan bidang pendidikan antar staf

yang berbeda, kurangnya koordinasi dan komunikasi antar staf dapat meng

hambat proses edukasi pasien. Untuk menawarkan yang tepat terkait edukasi

pasien, perlu interaksi dan diskusi antar staff untuk menentukantindakan apa yang

harus diberikan dalam upaya edukasi pasien (Abdi, 2014).

2.1.5 Tanggung Jawab Perawat Pada Pendidikan Kesehatan

Tiga area yang menjadi tanggung jawab perawat terhadap pendidikan

kesehatan kepada pasien antara lain (Krugger, 1991 dalam Potter & Perry, 2005) :

a. persiapan pasien dalam menerima perawatan contoh: penyuluhan preoperasi,

injeksi insulin.
b. Persiapan pasien pulang dari perawatan rumah sakit contoh: medikasi untuk

pulang dan prosedur tertentu dan risiko komplikasi yang mungkin

menyebabkan pasien kembali ke dokter atau rumah sakit.

c. Pencatatan aktivitas pendidikan pasien contoh: menuliskan pendidikan

kesehatan tertentu dalam catatan kesehatan pasien, format catatan pendidikan

pasien atau ringkasan pasien pulang.

2.1.6 Prinsip Dalam Pendidikan Kesehatan

Hal- hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan kesehatan antara lain

(Potter & Perry, 2005):

a. Menggunakan tempo yang lambat ketika memberikan pendidikan kesehatan.

b. Memberikan informasi yang tidak berbelit-belit.

c. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.

d. Memberikan lingkungan yang nyaman dan aman.

e. Menetapkan tujuan dalam memberikan pendidikan kesehatan.

f. Memberikan informasi yang baru.

2.2 Konsep discharge planning

2.2.1 Definisi discharge planning

Discharge planning atau disebut juga dengan perencanaan pulang

merupakan suatu proses keperawatan yang bertujuan untuk mengurangi lama

perawatan klien di rumah sakit dan untuk dapat memenuhi kebutuhan

perawatannya sendiri di rumah (Potter,P.A & Perry, 2005). Menurut Sistem


Nasional Akreditasi Rumah Sakit ( SNARS, 2017) juga disebutkan bahwa

penentuan discharge planning adalah pada saat awal pengkajian pasien masuk dan

disesuaikan dengan kriteria kebutuhan pasien dan didokumentasikan di rekam

medis. Pelaksanaan discharge planning meliputi intervensi yang diberikan oleh

tim multidisiplin, perawat spesialis maupun perawat praktik, serta melibatkan

pasien untuk diberikan pendidikan kesehatan (WHO, 2005)Discharge planning

keperawatan merupakan komponen yang terkait dengan rentang keners. Rentang

keperawatan sering pula disebut dengan keperawatan berkelanjutan yang artinya

keperawatan yang dibutuhkan oleh pasien di mana pun pasien berada. Kegagalan

untuk memberikan dan mendokumentasikan perencanan pulang akan berisiko

terhadap beratnya penyakit, ancaman hidup, dan disfungsi fisik. Dalam

perencanan pulang diperlukan komunikasi yang baik terarah, sehingga apa yang

disampaikan dapat dimengerti dan berguna untuk keperawatan di

rumah.(Nursalam, 2014)

2.2.2 Tujuan

Pemberian discharge planning terdiri dari kolaborasi tim kesehatan kepada

klien untuk membuat rencana pemulangan klien kembali ke rumah atau

komunitas(WHO,2005) Pemberian discharge planning dapat menghasilkan

hubungan yang terintegrasi antara perawatan yang diterima saat di rumah sakit

serta perawatan yang didapatkan setelah pasien pulang, hal ini bertujuan agar

perawatan yang didapatkan di rumah sakit tetap dilanjutkan dengan perawatan di

rumah secara mandiri (Nursalam, 2012).


2.2.3 Prinsip

Menurut (Mennuni, M., M.Massimo Gulizia, G. Alunni, A. Francesco

Amico, F, Maria Bovenzi, R, Caporale, F. Colivicci, A. Di Lenarda, G. Di Tano,

S. Egman, F. Fattiroli, D. Radini, C. Riccio, F. Rigo, M. Sicuro, S. Urbinati, 2017)

ada beberapa prinsip utama dalam pemberian discharge planning, yaitu :

1. Discharge planning bukan merupakan prosesyang terpisah, namun harus

direncanakan sedini mungkin setelah menerima pasien masuk, pasien dan

pemberi pelayanan kesehatan telah berdiskusi dan sepakat untuk

memperbaiki kesehatan pasien , serta merupakan mitra yang setara.

2. Memiliki fasilitas dengan pendekatan yang sistematis dan komperhensif

dimulai dengan evaluasi multidisiplin dan para tenaga kesehatan

3. Memiliki penanggung jawab yang ditugaskan untuk mengatur perjalanan

pasien di rumah sakit serta berkoordinasi dengan para tenaga kesehatan

untuk informasi yang diterima selanjutnya diteruskan kepada pasien dan

keluarga pasien.

4. Discharge planning merupakan hasil kolaborasi dari tim yang terdiri dari

tenaga kesehatan yang terintegrasi.

5. Melakukan implementasi secara tepat dengan menggunakan perawatan

tradisional dan menengah.

6. Implementasi Discharge planning menggunakan sistem perawatan

terorganisir dan perawatan yang berkelanjutan.

7. Memiliki program pengiriman informasi ke sistem pelayanan setelah

pasien pulang.
Menurut Nursalam(2012) prinsip prinsip dalampelaksanaan discharge

planning yaitu :

1. Nilai harapan dan kebutuhan dari pasien harus dikaji dan dievaluasi karena

pasien adalah fokus utama dalam pelaksanaan discharge planning.

2. Mengodentifikasi kebutuhan pasien kemudian dikaitkan dengan masalah

yang kemungkinan timbul saat pasien pulang nanti, sehingga masalah

tersebut dapat segera diantisipasi

3. Pelaksanaan dilakukan secara kolaboratif karena discharge planning

merupakan pelayanan multi disiplin yang setiap tim harus saling bekerja

sama

4. Tindakan dan rencana yang akan dilakukan setelah pasien pulang

disesuaikan dengan pengetahuan dari tenaga atau sumber daya dan fasilitas

yang tersedia dilingkungan masyarakat

5. Pelaksanaan discharge planning dilakukan dalam setiap sistem tatanan

pelayanan kesehatan.

2.2.4 Manfaat Discharge Planning

Perencanaan pulang mempunyai manfaat sebagai berikut (Spath, 2003

dalam Nursalam 2008):

a. Memberikan kesempatan dalam mendalami pengajaran kepada pasien

yang dimulai dari rumah sakit.

b. Memberikan tindak lanjut secara sistematis yang digunakan untuk

memberikan kontinuitas perawatan.


c. Mengevaluasi pengaruh dari intervensi yang sudah disusun dan

mengidentifikasi adanya kekambuhan atau perawatan baru yang

dibutuhkan.

d. Membantu pasien untuk mandiri dan siap melakukan perawatan di rumah.

2.2.5 Faktor Risiko dalam Discharge planning

Beberapa kondisi yang menyebabkan pasien berisiko tidak dapat

memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan setelah pasien

mendapatkan perencanaan pulang/discharge planning antara lain (Potter & Perry,

2005):

a. Kurangnya pengetahuan tentang rencana pengobatan.

b. Diagnosa terbaru penyakit kronik kepada pasien.

c. Terjadi operasi besar.

d. Terjadi operasi radikal.

e. Masa penyembuhan yang lama dari penyakit yang diderita atau setelah

dilakukan operasi besar.

f. Iisolasi social.

g. Ketidakstabilan emosional atau mental.

h. Program perawatan di rumah yang kompleks.

i. Kurangnya sumber dana.

j. Kurangnya penyediaan atau ketepatan sumber rujukan.

k. Penyakit terminal.
2.3 Konsep Peran Educator Perawat Dalam Discharge planning

2.3.1 Pengajaran dalam Discharge Planning

Perencanaan pemulangan pasien membutuhkan identifikasi

kebutuhanspesifik pasien. Kelompok perawat berfokus pada kebutuhan rencana

pengajaran yang baik untuk persiapan pulang pasien yang disingkat dengan

METHOD, yaitu (Luverne & Barbara, 1988 dalam Triastini, 2011):

1. Medication (obat)

Perawat menjelaskan obat yang harus dilanjutkan di rumah;

2. Environment (lingkungan)

Lingkungan rumah tempat pasien akan pulang sebaiknya aman. Pasien

juga sebaiknya memiliki fasilitas pelayanan yang dibutuhkan untuk

kontinuitas perawatannya;

3. Treatment (pengobatan)

Perawat harus memastikan bahwa pengobatan dapat berlanjut setelah

pasien pulang, yang dilakukan oleh pasien atau anggota keluarga. Jika hal

ini tidak memungkinkan, perencanaan harus dibuat sehingga seseorang

dapat berkunjung ke rumah untuk memberikan keterampilan perawatan;

4. Health teaching (pengajaran kesehatan)

Pasien yang akan pulang sebaiknya diberitahu bagaimana

mempertahankan kesehatan. Termasuk tanda dan gejala yang

mengindikasikan kebutuhan perawatan kesehatan tambahan.

5. Outpatient referral
Pasien sebaiknya mengenal pelayanan dari rumah sakit yang dapat

meningkatkan perawatan kontinu;

6. Diet

Pasien sebaiknya diberitahu tentang pembatasan pada dietnya, mampu

memilih diet yang sesuai untuk dirinya,

2.3.2 Tanggung Jawab Peran Educator Perawat dalam Discharge Planning

Pendidikan sebagai bagian perencanaan pulang, perawat mempunyai

tanggung jawab utama untuk memberi instruksi kepada pasien antara lain

(Potter,P.A & Perry, 2005):

1. Tentang sifat masalah kesehatan;

2. Hal-hal yang harus dihindari;

3. Penggunaan obat-obatan di rumah;

4. Jenis komplikasi;

5. Sumber bantuan yang tersedia.

2.3.3 Tujuan Peran Educator Perawat dalam Discharge Planning

Tujuan perawat memberikan pendidikan perencanaan pulang yaitu untuk

meminimalkan penurunan fungsi pasien, menurunkan biaya perawatan,

mengembalikan pasien ke lingkungan rumahnya tepat waktu, dan membantu

keluarga dalam melaksanakan aktivitas perawatan di rumah (Collier, Schrim,

1992 dalam Potter & Perry, 2005). Potter & Perry (2005) mengemukakan bahwa

tujuan perawat memberikan pendidikan perencanaan pulang kepada pasien untuk


memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan

perawatan berkelanjutan.

2.3.4 Instrumen dan Cara Pengukuran Peran Educator Perawat dalam

Discharge Planning

Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner yang diisi oleh

responden. Penilaian menggunakan kuesioner dengan jumlah pertanyaan

sebanyak 18 item.Skor 1 diberikan jika jawaban “ ya “ dan skor 0 jika jawaban “

tidak “. Penilaian dihitung menggunakan rumus ( Azwar , 2007 ).

P= f
X 100%
N

Keterangan :

P = Presentasi Nilai

F = Jumlah skor yang diperoleh

N = Jumlah skor maximal ( jumlah keseluruhan item yang dilakukan )

Interpretasi nilai dikelompokkan dalam kategori

sangat baik ( SB ) = 86 – 100%,

baik (B) = 75-85% ,

cukup ( C ) = 56 – 74% dan

kurang (K) = < 55%

(Azwar, 2007)
Tabel 2.1 Instrumen dan Cara Pengukuran Peran Educator Perawat dalam
Discharge Planning

No Pertanyaan Ya Tidak Nilai


Pada saat pasien pertama kali masuk ruang rawat inap
1. Perawat menanyakan tentang kebutuhan
pelayanan kesehatan untuk kepulangan
pasien
2. Perawat menenyakan kebutuhan pendidikan
kesehatan untuk pasien dan keluarga yang
berhubungan dengan penyakit pasien
3. Perawat menanyakan faktor faktor
lingkungan di rumah yang dapat
mengganggu perawatan diri
4. Perawat bekerja sama dengan dokter dan
tenaga kesehatan lainnya tentang perlu
tidaknya rujukan untuk mendapatkan
perawatan di rumah atau di tempat
pelayanan yang lainnya
5. Perawat bekerjasama dengan tim kesehatan
lainnya tentang berbagai kebutuhan pasien
setelah pulang
Persiapan sebelum hari kepulangan pasien
6. Perawat memberikan informasi tentang
pelayanan kesehatan di masyarakat kepada
pasien dan keluarga
7. Perawat menjelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang tanda dan gejala
kekambuhan penyakit
8. Perawat menjelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang obat obatan yang
diberikan (dosis, cara penggunaan, efek
samping)
9. Perawat menjelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang makanan yang boleh
dikonsumsidan yang harus dihindari
10. Perawat menjelaskan kepada pasien dan
keluarga tentang aktivitas yang boleh
dilakukan dan yang harus dibatasi
11. 1Perawat menjelaskan kepada pasien dan
1keluarga tentang tempat layanan kesehatan
terdekat yang bisa dijangkau pasien dan
keluarga jika mengalami kekambuhan
penyakit
12. Perawat memberikan nomor kontak kepada
pasien dan keluarga yang bisa dihubungi
jika terjadi masalah kesehatan di rumah
13. Perawat memberikan leaflet/ brosur atau
buku saku
Pada hari kepulangan pasien
14. Perawat menayakan transportasi pasien
ketika pulang
15. Perawat memeriksa seluruh ruang rawat
inap untuk memastikan tidak ada barang
yang tertinggal
16. Perawat memberikan pasien resep obat
sesuai pesan dokter
17. Perawat menghubungi bagian keuangan
untuk menentukan , apakah pasien bisa
mengurus administrasi
18. Perawat memberikan tawaran untuk
menggunakan kursi roda

2.4 Konsep Dasar Kepatuhan

2.4.1 Definisi Kepatuhan

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat

adanya interaksi antarapetugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti

rencana dan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta

melaksanakannya (Kemenkes RI , 2011). Kepatuhan berasal dari kata patuh yaitu

suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan, diiplin yaitu ketaatan

melakukan sesuatu yang dianjurkan atau yang ditetapkan. Kepatuhan pasien

hipertensi merupakan hal penting sebab penyakit hipertensi merupakan penyakit

yang sulit untuk disembuhkan tetapi harus di kontrol atau dikendalikan agar tidak

terjadi komplikasi yang berujung kematian (Yulike Megandai et al., 2017).

Menurut Lukman, et al, (1999) seseorang dikatakan patuh berobat apabila

pasien mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai jadual yang
telah ditetapkan dan mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas

kesehatan (Suparyanto, 2010). Kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan yang

akan dicapai pada pengobatan yang telah ditentukan( Susan,2002). Kepatuhan

program kesehatan merupakan perilaku yang dapat diobservasi dan dapat diukur

secara langsung.

2.4.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

1. Jenis Kelamin

Jenis Kelamin antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan

peran kehidupan dan perilaku di masyarakat. Perbedaan pola perilaku sakit

juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, perempuan lebih sering mengobati

dirinya atau berobat dibandingkan dengan laki-laki (Notoadmodjo, 2010)

2. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi kepatuhan. Tingkat pengetahuan yang tinggi

mengenai penyakit yang diderita dan pengobatan yang sedang dijalankan

akan meningkatkan kepatuhan pasien (Pratama & Ariastuti, 2015).

3. Status Pekerjaan

Orang yang bekerja cenderung memiliki waktu yang sedikit untuk

mengunjungi fasilitas kesehatan (Notoatmodjo, 2007). Pekerjaan memiliki

hubungan dengan tingkat kepatuhan pasien, dimana pasien yang bekerja

cenderung tidak patuh dibandingkan dengan pasien yang tidak bekerja

(Cho & kim, 2014)


4. Jumlah Obat Yang Dikonsumsi

Jumlah obat yang dikonsumsi sering menjadi alasan ketidak

patuhan pasien. Semakin banyak obat yang dikonsumsi, semakin besar

juga kemungkinan pasien tidak patuh (Busari dkk, 2010).

5. Keikutsertaan Asuransi Kesehatan

Keikutsertaan asuransi akan mempermudah dari segi pembiayaan

sehingga pasien lebih patuh untuk berobat daripada yang tidak memiliki

asuransi (Budiman dkk, 2013).

6. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga akan menimbulkan rasa percaya diri pasien

untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya. Dukungan keluarga yang

baik tentunya akan selalu mengingatkan pasien untuk meminum obat tepat

waktu, sehingga kepatuhan pasien meningkat (friedman, 2010)

7. Peran Tenaga Kesehatan

Peran tenaga kesehatan sangatlah besar karena sering berinteraksi

dengan pasien (Novian, 2013). Peran tenaga kesehatan dalam memberikan

pemahaman seperti konseling kepada pasien akan meningkatkan

kepatuhan pasien (Dewi, 2014).

2.4.3 Faktor yang Menghambat Kepatuhan

Faktor-faktor yang menghambat kepatuhan antara lain (Blevins & Lubkin,

1999 ;Hussey & Gilliland, 1989 dalam Carpenito, 2009):

a. Penjelasan yang tidak adekuat.


b. Perbedaan pendapat antara pasien dan tenaga kesehatan.

c. Terapi jangka panjang.

d. Tingginya kompleksitas atau biaya pengobatan.

e. Tingginya jumlah dan tingkat keparahan efek samping.

2.4.4 Pengukuran Kepatuhan

Pengukuran kepatuhan dilakukan dengan mengumpulkan data yang

diperlukan untuk mengukur indikator-indikator yang telah dipilih. Indikator

tersebut sangat diperlukan sebagai ukuran tidak langsung mengenai standar dan

penyimpangan yang diukur melalui sejumlah tolak ukur atau ambang batas yang

digunakan sebagai standar derajat kepatuhan (Al-Assaf, 2009). Salah satu

indikator kepatuhan penderita adalah datang atau tidaknya penderita setelah

mendapat anjuran kembali untuk kontrol (Snider dalam Aditama 1997, dalam

Khoiriyah, 2005). Kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan yang akan dicapai

pada pengobatan yang telah ditentukan (Susan,2002). Kepatuhan program

kesehatan merupakan perilaku yang dapat diobservasi dan dapat diukur secara

langsung. Penderita yang patuh adalah yang melakukan kontrol ke pelayanan

kesehatan, setidaknya satu bulan sekali. Dikatakan tidak patuh jika pasien tidak

melakukan kontrol selama dua bulan (Permenkes RI, 2016).

2.4.5 Tingkat Kepatuhan

Pengukuran kepatuhan pasien dalam melaksanakan kontrol di Asia,

Kuesioner MMAS-8 merupakan metode yang paling sering digunakan untuk


menilai kepatuhan pasien (Culig dkk, 2014). Di Indonesia, kuesioner MMAS-8

banyak digunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pasien. Hal ini dilakukan

karena kuesioner MMAS-8 yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

yang digunakan merupakan kuesioner MMAS-8 versi Indonesia yang sudah baku,

maka tidak perlu melakukan uji validitas lagi, sedangkan kuesioner yang belum

baku perlu dilakukan uji validitas (Nasir dkk., 2015). Pengukuran tingkat

kepatuhan pasien dengan instrumen yang telah valid dan reliabel perlu dilakukan

di fasilitas kesehatan terutama rumah sakit/puskesmas yang menjadi fasilitas

kesehatan pertama agar tercapai efektifitas dan efisiensi pengobatan, serta untuk

monitoring keberhasilan dari pengobatan.

MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale) merupakan skala

kuesioner dengan butir pertanyaan sebanyak 8 butir menyangkut dengan

kepatuhan kontrol. Menilai tingkat kepatuhan dapat diukur dengan kuesioner

MMAS-8. Item 2-7 jika dijawab “YA” maka diberi skor 0 dan jika “TIDAK”

diberi skor 1. Item 5 jika dijawab “YA” skor 1. Jika “TIDAK” skor 0. Item 1

menggunakan skala likert 5 point terdiri dari 5 pendapat responden yang diminta

yaitu tidak pernah (1), pernah sekali (2), kadang-kadang (3), biasanya (4), dan

selalu (0). MMAS-8 dikategorikan menjadi 2 tingkat kepatuhan yaitu: patuh dan

tidak patuh.

Skor kepatuhan pengobatan berdasarkan MMAS-8 yaitu :

Patuh :≥6

Tidak patuh : < 6


Tabel 2.2 Kuesioner Tingkat Kepatuhan Pasien

No Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah anda rutin melakukan pemeriksaan ulang ke Rumah
Sakit untuk kontrol tekanan darah setelah obat habis?
*Jika tidak sebutkan alasan : (lingkari jawaban)
a.Tidak merasa adanya keluhan yang dirasakan lagi
b.Lupa mengingat waktu kontrol
c.Memiliki kesibukan lain misal: bekerja
d.Melakukan pengobatan alternatif / minum obat
tradisional
e.Takut bahaya efek samping obat
2. Apakah anda merasa terganggu karena harus menjalani
pengobatan dan konsumsi obat secara rutin?
3. Apakah anda terkadang lupa minum obat?
4. Saat anda melakukan perjalanan atau meninggalkan rumah ,
apakah anda membawa serta obat?
5. Ketika anda merasa kondisi tubuh mulai membaik, apakah
anda tetap meminum obat sampai habis?
6. Ketika anda merasa kondisi tubuh mulai memburuk, apakah
anda akan tetap melanjutkan minum obat?
7. Apakah anda sering mengalami kesulitan dalam mengingat
penggunaan obat?
8. Apakah anda mengurangi/menghentikan penggunaan obat
tanpa memberitahu dokter?

2.5 Hipertensi

2.5.1 Definisi hipertensi

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka

kesakitan (morbiditas) dan angka kematian / mortalitas. Tekanan darah

140/90mmhg didasarkan pada dua fase yaitu fase sistolik 140 menunjukkan fasae

darah yang sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90 menunjukkan fase

darah yang kembali ke jantung (Endang Triyanto, s.Kep., Ns., 2017).

Menurut WHO batas normal tekanan darah adalah 120-140mmhg tekanan

sistolik dan 80-90 mmhg tekanan diastolik. Seseorang dinyatakan mengidap

hipertensi bila tekanan darahnya >140/90mmhg.


2.5.2 Klasifikasi Tekanan Darah pada Orang Dewasa

Tabel 2.3 Klasifikasi Tekanan Darah pada Orang Dewasa

Kategori Tekanan darah Tekanan darah


sistolik diastolik
Normal Dibawah 130mmhg Dibawah 85mmhg
Normal tinggi 130-139mmhg 85-89mmhg
Stadium 1(hipertensi 140-159mmhg 90-99mmhg
ringan
Stadium 2(hipertensi 160-179mmhg 100-109mmhg
sedang)
Stadium 3 (hipertensi berat 180-209mmhg 110-119mmhg
Stadium 4 (hipertensi 210mmhg atau lebih 120mmhg atau lebih
Maligna)

2.5.3 Penyebab

Berdasarkan Penyebabnya, hipertensi dapat digolongkan menjadi 2

((Ns.Alfeus Manuntung, S.Kep., 2018) yaitu :

1. Hipertensi essensial atau primer

Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum dapat

diketahui. Namun berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab

hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan

hereditas (keturunan). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong

hipertensi sekunder.

2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui,

antara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid

(hipertiroid),penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme), dan lain lain.

Karena golongan terbesar dari penderita hipertensi adalah hipertensi

esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan ke

penderita hipertensi esensial.


2.5.4 Faktor – faktor yang daapat menyebabkan hipertensi

1. Umur

Orang yang berumur 40 tahun biasanya rentan terhadap meningkatnya

tekanan darah yang lambat dan dapat menjadi hipertensi seiring dengan

bertumbuhnya umur mereka.

2. Ras / suku

Diluar negeri orang kulit hitam > kulit putih. Karena adanya perbedaan

status /derajat ekonomi, orang kulit hitam dianggap rendah dan pada jaman

dahulu dijadikan budak. Sehingga banyak menimbulkan tekanan batin

yang kuat sehingga menyebabkan stress, timbullah hipertensi.

3. Urbanisasi

Hal ini akan menyebabkan perkotaan menjadi padat penduduk yang

merupakan salah satu pemicu timbulnya hipertensi. Secara otomatis akan

banyak kesibukan di wilayah tersebut, dan banyak tersedia makanan-

makanan siap saji yang menimbulkan hidup kurang sehat sehingga

memicu timbulnya hipertensi.

4. Geografis

Jika dilihat dari segi geografis, daerah pantai lebih besar prosentasinya

terkena hipertensi. Hal ini disebabkan daerah pantai kadar garamnya lebih

tinggi jika dibandingkan dengan daerah pegunungan atau daerah yang

lebih jauh dari pantai.Selain itu keadaan suhu juga menjadi suatu alasan

mengapa hipertensi banyak terjadi di daerah pantai.

5. Jenis kelamin
Wanita > pria: di usia >50 tahun. Karena di usia tersebut seorang wanita

sudah mengalami menopause dan tingkat stres lebih tinggi

Pria>wanita: di usia, 50 tahun. Karena di usia tersebut seorang pria

mempunyai lebih banyak aktifitas dibanding wanita.

Berdasarkan faktor akibat hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah di

dalam arteri, bisa terjadi melalui beberapa cara:

1. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak

cairanpada setiap detiknya.

2. Terjadi penebalan dan kekakuanpada dinding arteri akibat usia lanjut.

Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka

tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri

tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk

melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan

naiknya tekanan.

3. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya

tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga

tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh.

Volume darah dalam tubuh meningkat , sehingga tekanan darah juga

meningkat.

Oleh sebab itu, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri

mengalami pelebaran, dan banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah

akan menurun atau menjadi lebih kecil.


2.6 Kerangka Teori

Px HT
akan
Pengobatan sembuh &
tuntas terkontrol
Pasien Peran Edukator Perawat
hipertensi dalam Discharge Planning
Penderita
rawat jalan
Putus HT akan
pengobatan semakin
parah
bahkan bisa
mengalami
kematian

Macam-macam Faktor yang Pengetahuan Faktor yang Sikap


Karakteristik: mempengaruhi: mempengaruhi:
1. Umur 1. Pengalaman
1. Umur 2. Tingkat pribadi
2. Jenis pendidikan 2. Pengaruh
Kelamin 3. Pekerjaan orang lain
3. Pekerjan 4. Pengalaman 3. Faktor emosi
5. Sumber 4. Media massa
informasi

Kepatuhan Kontrol

Gambar 2.1 Kerangka Teori Hubungan Peran Educator Perawat Dalam Discharge Planning
Dengan Kepatuhan Pasien Untuk Kontrol Di RSUD Bangil
2.7 Kerangka Konsep
Iya
Peran Edukator Perawat dalam
Pasien HT Discharge Planning Tidak
rawat jalan

Macam-macam Faktor yang Pengetahuan Faktor yang Sikap


Karakteristik: mempengaruhi: mempengaruhi:
1. Umur 1. Pengalaman
1. Umur 2. Tingkat pribadi
2. Jenis pendidikan 2. Pengaruh
Kelamin 3. Pekerjaan orang lain
3. Pekerjan 4. Pengalaman 3. Faktor
5. Sumber emosi
informasi 4. Media
massa

Baik Cukup kurang baik sedan buruk


g

Kepatuhan Kontrol

Patuh Tidak
Patuh

Keterangan:
: Diteliti

:Tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Peran Educator Perawat Dalam Discharge
Planning Dengan Kepatuhan Pasien Untuk Kontrol Di RSUD Bangil
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara dari masalah yang diteliti yangkebenarannya akan

dibuktikan melalui penelitian (Setiadi, 2007). Hipotesis alternatif adalah hipotesis yang diterima

yang dinyatakan dengan simbol Ha (Budiarto, 2002). Ha : ada hubungan peran educator perawat

dalam discharge planning dengan tingkat kepatuhan pasien hipertensi untuk kontrol di RSUD

Bangil.

Anda mungkin juga menyukai