Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA AN ”A” DENGAN APPENDIK PERFORASI
DI RUANG ICU UMBK RSUD DR MOHAMAD SALEH
KOTA PROBOLINGGO

OLEH:
LUSIA WAHYU WIDIYANTI, S.ST
NIM 14901.08.21086

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG


PROBOLINGGO

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kritis adalah penilaian dan evaluasi secara cermat dan hati-hati terhadap suatu
kondisi krusial dalam rangka mencari penyelesaian/jalan keluar. Keperawatan kritis
merupakan salah satu spesialisasi di bidang keperawatan yang secara khusus
menangani respon manusia terhadap masalah yang mengancam hidup. Seorang perawat
kritis adalah perawat profesional yang bertanggung jawab untuk menjamin pasien yang
kritis dan akut beserta keluarganya mendapatkan pelayanan keperawatan yang optimal.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan
sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil (Kusnanto, 2009). Jadi peran
perawat adalah suatu cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam praktik, yang
telah menyelesaikan pendidikan formalnya, diakui dan diberikan kewenangan oleh
pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara
profesional sesuai dengan kode etik profesinya. Peran yang dimiliki oleh seorang
perawat antara lain peran sebagai pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai
pengelola, dan peran sebagai peneliti (Asmadi, 2008).
End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of life care
adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun
terakhir kehidupan mereka (NHS Choice, 2015). End of life akan membantu pasien
meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya
menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
tersebut. End of life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang
diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan.
Didalam bidang keperawatan ada beberapa peran perawat yang penting dalam
merawat pasien kritis yang berada dilingkungan keperawatan kritis dengan penyakit
yang tertentu yang dapat menimbulkan kegagalan fungsi organ. Asuhan keperawatan
kritis yang dilakukan secara ilmiah dan panduan dalam memprosesnya untuk
memberikan kualitas perawatan yang terbaik, supaya dapat mengatasi masalah pasien
sehingga proses keperawatan kritis yang berupa pengkajian, diagnosa, rencana
tindakan, implementasi dan evaluasi sebagai akhir dari proses keperawatan.
B. TUJUAN PENULISAN
C.
Tujuan penulisan laporan ini adalah :
1. Tujuan Umum : Agar mahasiswa dapat mengungkapkan pola pikir yang ilmiah
dalam melaksanakan asuhan keperawatan kritis.
2. Tujuan khusus : Agar mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisa data,
menetapkan diagnosa keperawatan, merencanakan tindakan, mengimplementasikan
tindakan sesuai rencana dan mengevaluasi asuhan keperawatan pada pasien kritis.
BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN KRITIS

A. KONSEP KEPERAWATAN KRITIS


Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi dibidang keperawatan yang
secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah yang mengancam
kehidupan. Secara keilmuan perawatan kritis focus pada penyakit yang kritis atau
pasien yang tidak stabil. Untuk pasien yang kritis, pernyataan penting yang harus
dipahami perawat yaitu “waktu” dan ”vital”. Sedangkan istilah kritis memiliki arti
yang luas penilaian dan evaluasi secara cermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi
krusial dalam rangka mencari penyelesaian atau jalan keluar (Heru & Diah, 2019).

Keperawatan kritis adalah keahlian khusu di dalam ilmu perawatan yang


dihadapkan secara rinci dengan manusia (pasien) dan bertanggung jawab atas masalah
yang mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat professional yang resmi yang
bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis dan keluarga pasien
mendapatkan kepedulian yang optimal (Diane & JoAnn, 2015)

B. PERAN PERAWAT KRITIS


Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan
sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil (Kusnanto, 2009). Jadi peran
perawat adalah suatu cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam praktik, yang
telah menyelesaikan pendidikan formalnya, diakui dan diberikan kewenangan oleh
pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara
profesional sesuai dengan kode etik profesinya. Peran yang dimiliki oleh seorang
perawat antara lain peran sebagai pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai
pengelola, dan peran sebagai peneliti (Asmadi, 2008).
1. Macam-macam peran perawat
Dalam melaksanakan keperawatan, menurut Hidayat (2012) perawat mempunyai
peran dan fungsi sebagai perawat sebagai berikut:
a. Pemberi Perawatan (Care Giver)
Peran utama perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan, sebagai
perawat, pemberian pelayanan keperawatan dapat dilakukan dengan memenuhi
kebutuhan asah, asih dan asuh. Contoh pemberian asuhan keperawatan meliputi
tindakan yang membantu klien secara fisik maupun psikologis sambil tetap
memelihara martabat klien. Tindakan keperawatan yang dibutuhkan dapat berupa
asuhan total, asuhan parsial bagi pasien dengan tingkat ketergantungan sebagian
dan perawatan suportif-edukatif untuk membantu klien mencapai kemungkinan
tingkat kesehatan dan kesejahteraan tertinggi (Berman, 2010). Perencanaan
keperawatan yang efektif pada pasien yang dirawat haruslah berdasarkan pada
identifikasi kebutuhan pasien dan keluarga (Aliana et al., 2020)
b. Advocat Keluarga
Selain melakukan tugas utama dalam merawat, perawat juga mampu sebagai
advocat keluarga sebagai pembela keluarga dalam beberapa hal seperti dalam
menentukan haknya sebagai klien. Dalam peran ini, perawat dapat mewakili
kebutuhan dan harapan klien kepada profesional kesehatan lain, seperti
menyampaikan keinginan klien mengenai informasi tentang penyakitnya yang
diketahu oleh dokter. Perawat juga membantu klien mendapatkan hak-haknya
dan membantu pasien menyampaikan keinginan (Berman, 2010).
c. Pencegahan Penyakit
Upaya pencegahan merupakan bagian dari bentuk pelayanan keperawatan
sehingga setiap dalam melakukan asuhan keperawatan harus selalu
mengutamakan tindakan pencegahan terhadap timbulnya masalah baru sebagai
dampak dari penyakit atau masalah yang diderita. Salah satu contoh yang paling
signifikan yaitu keamanan, karena setiap kelompok usia beresiko mengalami tipe
cedera tertentu, penyuluhan preventif dapat membantu pencegahan banyak
cedera, sehingga secara bermakna menurunkan tingkat kecacatan permanen dan
mortalitas akibat cidera pada pasien (Wong, 2009).
d. Pendidik
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, perawat harus mampu
berperan sebagai pendidik, sebab beberapa pesan dan cara mengubah perilaku
pada pasien atau keluarga harus selalu dilakukan dengan pendidikan kesehatan
khususnya dalam keperawatan. Melalui pendidikan ini diupayakan pasien tidak
lagi mengalami gangguan yang sama dan dapat mengubah perilaku yang tidak
sehat. Contoh dari peran perawat sebagai pendidik yaitu keseluruhan tujuan
penyuluhan pasien dan keluaraga adalah untuk meminimalkan stres pasien dan
keluarga, mengajarkan mereka tentang terapi dan asuhan keperawatan di rumah
sakit, dan memastikan keluarga dapat memberikan asuhan yang sesuai di rumah
saat pulang (Kyle & Carman,2015).
e. Konseling
Merupakan upaya perawat dalam melaksanakan peranya dengan memberikan
waktu untuk berkonsultasi terhadap masalah yang dialami oleh pasien maupun
keluarga, berbagai masalah tersebut diharapkan mampu diatasi dengan cepat dan
diharapkan pula tidak terjadi kesenjangan antara perawat, keluarga maupun
pasien itu sendiri. Konseling melibatkan pemberian dukungan emosi, intelektual
dan psikologis. Dalam hal ini perawat memberikan konsultasi terutama kepada
individu sehat dengan kesulitan penyesuaian diri yang normal dan fokus dalam
membuat individu tersebut untuk mengembangkan sikap, perasaan dan perilaku
baru dengan cara mendorong klien untuk mencari perilaku alternatif, mengenai
pilihan-pilihan yang tersedia dan mengembangkan rasa pengendalian diri
(Berman,2010).
f. Kolaborasi
Kolaborasi merupakan tindakan kerja sama dalam menentukan tindakan yang
akan dilaksanakan oleh perawat dengan tim kesehatan lain. Pelayanan
keperawatan pasien tidak dilaksanakan secara mandiri oleh tim perawat tetapi
harus melibatkan tim kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi, psikolog dan lain-
lain, mengingat pasien merupakan individu yang kompleks/yang membutuhkan
perhatian dalam perkembangan (Hidayat,2012).
g. Pengambilan Keputusan Etik
Dalam mengambil keputusan, perawat mempunyai peran yang sangat
penting sebab perawat selalu berhubungan dengan pasien kurang lebih 24 jam
selalu disamping pasien, maka peran perawatan sebagai pengambil keputusan
etik dapat dilakukan oleh perawat, seperti akan melakukan tindakan pelayanan
keperawatan (Wong, 2009).
h. Peneliti
Peran perawat ini sangat penting yang harus dimiliki oleh semua perawat
pasien. Sebagai peneliti perawat harus melakukan kajian-kajian keperawatan
pasien, yang dapat dikembangkan untuk perkembangan teknologi keperawatan.
Peran perawat sebagai peneliti dapat dilakukan dalam meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan pasien (Hidayat,2012)
Menurut Puspita (2014), peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
secara komprehensif sebagai upaya memberikan kenyamanan dan kepuasan pada
pasien, meliputi: Caring, merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat, menghargai orang
lain, artinya memberi perhatian dan mempelajari kesukaan- kesukaan seseorang dan
bagaimana seseorang berpikir dan bertindak.

a) Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan ilmu atau berdiskusi
dengan pasiennya.
b) Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi seorang perawat untuk
meningkatkan rasa nyaman pasien.
c) Crying artinya perawat dapat menerima respon emosional baik dari pasien
maupun perawat lain sebagai suatu hal yang biasa disaat senang ataupunduka.
d) Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun psikologis merupakan
komunikasi simpatis yang memiliki makna.
e) Helping artinya perawat siap membantu dengan asuhan keperawatannya.
f) Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang lain memiliki hasrat
dan kemampuan untuk selalu meningkatkan derajat kesehatannya.
g) Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan diri
danketerampilannya.
h) Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang
lain dengan menjaga kerahasiaan pasien kepada yang tidak berhak
mengetahuinya.
i) Listening artinya mau mendengar keluhanpasiennya.
j) Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan memahami perasaan
duka , senang, frustasi dan rasa puaspasien.
2. Fungsi Perawat
Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun
sakit dimana segala aktifitas yang di lakukan berguna untuk pemulihan kesehatan
berdasarkan pengetahuan yang di miliki, aktifitas ini di lakukan dengan berbagai
cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk
proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah
(diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi (Aisiah, 2004).

Fungsi perawat dapat dijelaskan sebagai berikut ini:

a) Fungsi independen, merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada


orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilaksanakan
sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia.
b) Fungsi dependen, merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatan
atas pesan atau instruksi dari perawat lain.
c) Fungsi interdependen, fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang
bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan lainnya.
C. EBN DALAM PERAWATAN KRITIS
Edvidance Based Nursing yang biasa di lakukan pada pasien PPOK (Paru
obstruktif kronik) dalam waktu satu bulan di rawat hingga tiga kali yang di akibatkan
karena meengalami gejala kesulitan bernapas yang membutuhkan alat bantuan
bernapas berupa oksigen agar mengurangi rasa sesak napas(Marquardt, M.M &
Talbot, 2010)
D. END LIFE ND OF LIFE PERAWATAN KRISIS.
End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of life care
adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun
terakhir kehidupan mereka (NHS Choice, 2015). End of life akan membantu pasien
meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya
menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
tersebut. End of life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang
diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan.
End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-baiknya
dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care adalah salah satu
kegiatan membantu memberikan dukungan psikososial dan spiritual (Putranto, 2015).
1. Prinsip-Prinsip End Of Life
Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara lain :
a. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian
Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan, namun ketika
hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk memberikan
kenyamanan dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk mendukung
orang lain dalam melakukannya.
b. Hak untuk mengetahui dan memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak untuk diberitahu
tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka.Mereka memiliki hak
untuk menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang hidup.Pemberi
perawatan memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan menghormati
pilihan-pilihan sesuai dengan pedoman.
d. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan pengobatan
yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk
mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka menahan atau menarik
intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam
kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
e. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama untuk
membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan keputusan,
dengan mempertimbangkan keinginan pasien.
f. Transparansi dan akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk
memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan
keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat
didokumentasikan.
g. Perawatan non diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus
bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-nilai
dan keinginan pasien.
h. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang tidak
rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien.Pasien
memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan
memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan
norma-norma profesional dan standar hokum Perbaikan terus-menerus.

Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki


intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien
maupun kepada keluarga.

E. EFEK KONDISI KRITISBAGI PASIEN DAN KELUARGA PSIKOSOSIAL


DAN EDUKASI
Dampak kondisi kritis terhadap reaksi keluarga yang dirawat di rumah sakit adalah
sebagai berikut.
a) Perasaan cemas dan takut, rasa cemas dari keluarga pada saat menunggu pada saat
menunggu diagnosis pasien, rasa takut keluarga muncul akibat takut kehilangan
pasien dengan kondisi terminal.
b) Perasaan sedih dalam keluarga muncul saat pasien dalam keadaan kritis dan tau
bahwa tidak ada harapan bagi pasien untuk sembuh.
c) Perasaan prustasi yang muncul pada keluarga karena pasien sudah lama dirawat di
rumah sakit dan tidak ada kesempatan sembuh lagi (Jevon, P. Ewens, 2010).
LAPORAN PENDAHULUAN APENDIKSITIS

I. Laporan Pendahuluan Apendiksitis

A. DEFINISI

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis


akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Smeltzer, 2001 dalam Docstoc, 2010). Apendisitis merupakan peradangan pada
appendiks dan menjadi penyebab umum terjadinya tindakan emergency bedah
abdomen pada anak (Hockenberry & Wilson, 2008).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan. (Mansjoer, Arief,dkk,
2007).Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur
yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul
dan multiplikasi (Chang, 2010). Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks
yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh
feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).
Apendisitis adalah infeksi atau peradangan pada appendiks karena
tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan
cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama dari Apendisitis.
appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi
B. ANATOMI FISOLOGI
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-
kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat
perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans
sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih
akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit
kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada
usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar
pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu
dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala
klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah
retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di

bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%,

Fisiologi Appendiks

Appendiks berfungsi untuk menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu
secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis
Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated
Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk
appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus,
serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karea jumlah
jaringan lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah jaringan di saluran cerna
dan seluruh tubuh.
C. ETIOLOGI

Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
1. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak

b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks

c. Adanya benda asing seperti biji-bijian

d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.

2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus
3. Appendiksitis terjadi paling banyak pada umur 15-30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada
masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks :

a. Appendik yang terlalu panjang

b. Massa appendiks yang pendek

c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks

d. Kelainan katup di pangkal appendiks


(Nuzulul, 2009)

Gambar Appendicitis karena benda asing


D. MANIFESTASI KLINIS/ TANDA DAN GEJALA

a. Nyeri Perut

Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien


dengan apendisitis akut. Karakteristik nyeri perut penting untuk diperhatikan
klinisi karena nyeri perut pada apendisitis memiliki ciri-ciri dan perjalanan
penyakit yang cukup jelas. Nyeri pada apendisitis muncul mendadak (sebagai
salah satu jenis dari akut abdomen) yang kemudian nyeri dirasakan samar-
samar dan tumpul. Nyeri merupakan suatu nyeri viseral yang dirasakan
biasanya pada daerah epigastrium atau periumbilikus. Nyeri viseral terjadi
terus menerus kemudian nyeri berubah menjadi nyeri somatik dalam
beberapa jam. Lokasi nyeri somatik umumnya berada di titik McBurney,
yaitu pada 1/3 lateral dari garis khayalan dari spina iliaka anterior superior
(SIAS) dan umbilikus. Nyeri somatik dirasakan lebih tajam, dengan intesitas
sedang sampai berat. Pada suatu metaanalisis, ditemukan bahwa neyri perut
yang berpindah dan berubah dari viseral menjadi somatik merupakan salah
satu bukti kuat untuk menegakkan diagnosis apendisitis.

Sesuai dengan anatomi apendiks, pada beberapa manusia letak apendiks


berada retrosekal atau berada pada rongga retroperitoneal. Keberadaan
apendiks retrosekal menimbulkan gejala nyeri perut yang tidak khas
apendisitis karena terlindungi sekum sehingga rangsangan ke peritoneum
minimal. Nyeri perut pada apendisitis jenis ini biasanya muncul apabila
pasien berjalan dan terdapat kontraksi musculus psoas mayor secara dorsal.
b. Mual dan Muntah
Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu
makan berkurang atau anoreksia merupakan tanda-tanda awal terjadinya
apendisitis.
c. Gejala Gastrointestinal
Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik
dalam bentuk diare maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering
ditemukan adanya diare 1-2 kali akibat respons dari nyeri viseral. Diare
terjadi karena perangsangan dinding rektum oleh peradangan pada apendiks
pelvis atau perangsangan ileum terminalis oleh peradangan apendiks
retrosekal. Akan tetapi, apabila diare terjadi terus menerus perlu dipikirkan
terdapat penyakit penyerta lain.
Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama
dilaporkan ketika pasien sudah mengalami nyeri somatik.
d. Demam
Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien
dengan radang atau nyeri akut. Takikardia dan demam ringan-sedang sering
ditemukan. Demam pada apendisitis umumnya sekitar 37,5 – 38,5°C. Demam
yang terus memberat dan mencapai demam tinggi perlu dipikirkan sudah
terjadinya perforasi.
e. Mual dan Muntah
Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu
makan berkurang atau anoreksia merupakan tanda-tanda awal terjadinya
apendisitis.
f. Gejala Gastrointestinal
Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik
dalam bentuk diare maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering
ditemukan adanya diare 1-2 kali akibat respons dari nyeri viseral. Diare
terjadi karena perangsangan dinding rektum oleh peradangan pada apendiks
pelvis atau perangsangan ileum terminalis oleh peradangan apendiks
retrosekal. Akan tetapi, apabila diare terjadi terus menerus perlu dipikirkan
terdapat penyakit penyerta lain.
Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama
dilaporkan ketika pasien sudah mengalami nyeri somatik.
g. Demam
Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien
dengan radang atau nyeri akut. Takikardia dan demam ringan-sedang sering
ditemukan. Demam pada apendisitis umumnya sekitar 37,5 – 38,5°C. Demam
yang terus memberat dan mencapai demam tinggi perlu dipikirkan sudah
terjadinya perforasi.

E. PATOFISOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi. (Mansjoer, 2007) .
F. PATWAY
Terlampir

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG / DIAGNOSTIK


a. Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan


jumlah leukosit (sel darah putih). terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan
test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan
jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas
75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Pemerriksaan urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya
berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter
kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis
kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET
(kehamilan diluar kandungan) (Sanyoto, 2007).
b. Radiologi

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram)


dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala)
didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan
bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau
penyakit lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007). Namun dari
semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis apendisitis
akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai
bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan
orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah
biasanya lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007) Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang
mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.
c. Pemeriksaan urine.

Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.


pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding
seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis
yang hampir sama dengan appendisitis.
H. KOMPLIKASI
1. Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa


lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36
jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh
perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi


berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis
umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
4. Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang.
I. KLASIFIKASI

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu apendisitis akut dan kronis

a) Apendisitis Akut

Peradangan pada appendiks dengan gejala khas yang memberikan tanda


setempat. Gejala apendisitis akut antara lain nyeri samar-samar dan tumpul
yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus.
Keluhan ini disertai rasa mual muntah dan penurunan nafsu makan. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini nyeri
yang dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatic setempat. Nyeri tekan dan nyeri lepas disertai rigiditas pada titik
McBurney sensitive untuk apendisitis akut. Komplikasi dari apendisitis akut
yang paling sering terjadi adalah perforasi. Perforasi dari appendiks dapat
menimbulkan abses periapendisitis yaitu terkumpulnya pus yang terinfeksi
bakteri. Appendiks menjadi terinflamasi, bias terinfeksi dengan bakteri, dan
bisa dipenuhi pus hingga pecah, jika appendiks tidak diangkat tepat waktu.
Pada apendisitis perforasi isi pus yang di dalam appendiks dapat ke luar ke
rongga peritoneum. Gejala dari apendisitis perforasi mirip dengan gejala
apendisitis akut biasa, namun keluarnya pus dari lubang appendiks
menyebabkan nyeri yang lebih saat mencapai rongga perut (Lee, 2009).
Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis,
yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi
yaitu sudah bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).
b) Apendisitis Kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan 3 hal


yaitu; pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah
abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternative diagndosis lain.
Kedua, setelah dilakukan appendiktomi gejala yang dialami pasien akan
hilang dan yang ketiga, secara histopatologik gejalanya dibuktikan sebagai
akibat dari inflamasi kronis yang aktif pada dinding appendiks atau fibrosis
pada appendiks, (Santacroce & Craig, 2006). Gejala yang dialami oleh pasien
apendisitis kronis tidak jelas dan progresifnya lambat. Terkadang pasien
mengeluh merasakan nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten atau
persisten selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau
parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis
obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua
(Docstoc, 2010).
J. PENATALAKSANAAN

a) Penatalaksanaan medis.

Tata laksana apendisitis sebelum terjadinya perforasi antara lain;


rehidrasi, pemberian antibiotik, dan tindakan bedah appendiktomi
(pengangkatan appendiks). Biasanya antibiotik diberikan sebelum prosedur
operasi. Cairan intra vena dan elektrolit diberikan sebelum operasi.
Khususnya pada anak yang mengalami dehidrasi yang ditandai dengan
anorexia yang merupakan karakteristik apendisitis (Hockenberry & Willson,
2007)
Tindakan bedah biasanya dilkukan pada kuadran kanan bawah perut
dengan dilakukan insisi (appendiktomi terbuka). Operasi laparoscopic
biasanya dilakukan untuk mengatasi apendisitis akut nonperforasi. Tiga buah
kanula dimasukkan ke dalam perut, satu kanula pada umbilicus, satu kanula
pada kuadran kiri bawah perut, dan satu lagi pada area suprapubic. Telescope
kecil dimasukkan melalui kanula pada kuadran kiri bawah dan stapler
endoscopic dimasukkan melalui kanula umbilicus. Appendiks akan diligasi
dengan menggunakan stapler dan dikeluarkan melalui kanula lewat
umbilicus.
Manfaat laparascopi appendiktomi mengurangi waktu operasi dan
dibawah pengaruh anestesi dan juga mengurangi risiko terjadinya infeksi
pada luka postoperasi (Hockenberry & Willson, 2007).
Pada apendisitis perforasi atau yang telah mengalami rupture appendiks
memiliki tata laksana antara lain; rehidrasi intra vena, antibiotic sistemik, dan
dekompresi saluran gastro intestinal dengan menggunakan selang naso gastric
sebelum operasi, serta tindakan bedah laparatomi appendiktomi. Anak yang
mengalami peritonitis diberikan antibiotik seperti ampicilin, gentamicin, dan
clindamycin selama 7- 10 hari (Hockenberry & Willson, 2007).
b) Penatalaksanaan Keperawatan
Tata laksana keperawatan yang dapat diberikan pada kien dengan
appendicitis adalah mengobservasi secara umum keadaan pasien. Pada kasus
appendicitis penatalaksanaan yang dilakukan merupakan terapi simptomatik
yang diberikan sesuai dengan gejala yang muncul. Dalam 8-12 jam setelah
timbulnya keluhan, tanda dan gejala appendisitis sering kali masih belum
jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta
melakukan tirah baring. Pada kejadian lain, pasien sering mengalami demam
sehingga dapat diberikan tepid sponge. Tepid sponge merupakan terapi yang
diberikan untuk mengatasi demam pada anak secara non medis dengan
menggunakan kompres hangat (Sharber, 1997). Teknik ini dilakukan dengan
memberikan kompres hangat pada anak, dengan suhu air 30-35°C. Sebuah
penelitian di India menunjukkan bahwa pemberian antipiretik yang disertai
tindakan tepid sponge menurunkan suhu tubuh lebih cepat dibandingkan
dengan pemberian antipiretik saja (Thomas, Vijaykumar,Naik, Moses, &
Antonisamy, 2009). Penelitian Tia Setiawati 2009 menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna pada kelompok intervendi dan kelompok
kontrol yang diberikan terapi tepid sponge dan disertai pemberian antipiretik.
Pada persiapan pasien untuk apendiktomi diantaranya perawat
memastikan kepada dokter bahwa tes darah, cek urine, rontgen, dan puasa
sudah dilaksanakan. Sedangkan tata laksana perawatan post operasi antara
lain; management nyeri, berikan kompres hangat (pada pasien dengan
hipertermia post opp), perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk
mengetahui terjadinya perdarahan didalam, syok, hipertermia, atau gangguan
pernafasan, baringkan pasien dalam posisi Fowler, lakukan perawatan luka
jahitan dan mobilisasi pasien secara teratur untuk mencegah dekubitus.

II. Asuhan Keperawatan Secara Teoritis


A. PENGKAJIAN
a) Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa/ras, pendidikan, bahasa,
pekerjaan, penghasilan dan alamat.
b) Keluhan utama
Keluhan utama nyeri pada perut bagian kanan bawah. Pada pasien post opp
appendiktomi keluhan utama yang dirasakan nyeri pada luka insisi pasca
pembedahan.
c) Riwayat penyakit sekarang
Pre-operasi, pasien dengan appendicitis biasanya mengeluh nyeri pada
abdomen kanan bawah yang dapat disertai dengan demam. Timbul keluhan
nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk, nyeri dirasakan pada luka
bekas operasi dengan skala (0-10) dan nyeri timbul memberat ketika
bergerak.
d) Riwayat penyakit dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi
sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya
sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman folar
kolon sehingga menjadi appendisitis akut.
e) Pola – pola fungsi kesehatan

1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan


kebiasaan olah raga (lama frekwensinya), karena dapat mempengaruhi
lamanya penyembuhan luka.
2. Nutrisi dan metabolik
Pre Operasi :
Umumnya pasien mengkunsumsi makanan yang rendah serat dan juga
makanan yang banyak mengandung biji-bijian. (Sueparman, 1990) dan
pola minum pasien tidak mengalami gangguan. (Barbara C. Long, 1996).
Post Operasi :
Biasanya pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh adanya
nyeri di daerah abdomen yang disertai pengaruh anastesi. Dan pola
minum pasien tidak mengalami gangguan
3. Aktivitas dan latihan
Pre Operasi :
Sebelum dioperasi pasien bisa melakukan aktivitas sehari-hari
Post Operasi :
Umumnya pada pasien operasi apendiktomy pola aktivitas mengalami
gangguan karena disebabkan nyeri pada daerah bekas insisi.
4. Tidur istirahat

Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat


mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
5. Eliminasi
Pre Operasi :
Umumnya BAB dan BAK tidak mengalami gangguan.
Post Operasi :
Biasanya pada pasien post apendiktomy pola BAB dan BAK mengalami
gangguan karena pengaruh anastesi.
6. Pola persepsi kesehatan (konsep diri)
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala
kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan
dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
7. Peran dan hubungan sosial
Pre Operasi :
Umumnya pasien dengan apendiktomy psikologisnya tidak mengalami
gangguan.
Post Operasi :

Biasanya pada pasien apendiktomy psikologisnya mengalami gangguan


karena merasa cemas.
8. Seksual dan reproduksi

Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama


beberapa waktu.
9. Manajemen koping
Pre Operasi :
Klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.
Post Operasi :
Klien kalau stress murung sendiri, menutup diri

10. Kognitif perceptual

Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran,


kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua,
waktu dan tempat.
11. Nilai dan kepercayaan
Pre Operasi :
Biasanya pada pasien apendiktomy keadaan spiritualnnya tidak
mengalami gangguan.
Post Operasi :Umumnya pada pasien apendiktomy keadaan spiritualnya
mengalami gangguan karena terjadinya proses pembedahan abdomen
kanan bawah.
f) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran : umumnya tidak mengelami penurunan kesadaran
Tanda-tanda vital

a. Tekanan darah

b. Suhu

c. Pernafasan

d. Denyut nadi

Pre operasi

a. Abdomen :

 Inspeksi: Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal


swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan
distensi perut.
 Auskultrasi: Pada umumnya suara bising usus masih normal ( 6-
12x/menit)
 Perkusi : Pada umumnya Perkusi normal (timpani) pada seluruh
kuadran
 Palpasi: Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada
perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis
dari apendisitis.

Post operasi

a. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda


adanya infeksi dan pendarahan.
b. Sistem gastrointestinal: Distensi abdomen dan adanya penurunan bising
usus dapat terjadi pada pasien post appendiktomi karena pasien dalam
efek anastesi sehingga aliran vena dan gerakan peristaltik usus menjadi
menurun.
c. Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena post
operasi
d. Sistem Persyarafan: Terdapat nyeri pada luka insisi pembedahan.
e. Sistem Integumen : adanya luka bekas operasi pada kulit bagian
abdomen kanan bawah.
f. Abdomen :

 Inspeksi : Akan tampak adanya luka bekas operasi pada abdomen


kanan bawah.
 Auskultrasi: Umumnya terjadi penurunan paristaltik usus akibat
dari pengaruh sisa obat anastesi
 Perkusi: Perkusi pada seluruh kuadran kecuali pada kuadran ke-4
normal (timpani)
 Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa
nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg
sign) dan Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat /
tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin
parah (psoas sign), bila tekanan dilepaskan juga akan terasa nyeri.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL (SDKI)


Diagnosa Pre-Operasi
1. Hipertermia

2. Nyeri akut.

3. Resiko Hipovolemia

Diagnosa Post-Operasi

1. Nyeri akut

2. Intoleransi aktivitas

3. Resiko infeksi

4. Konstipasi

5. Defisiensi pengetahuan (perawatan luka post operasi)


Rencana Keperawatan

No Standar Diagnosis Standar Luaran Standar Intervensi


Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 D.0130 Hipertermia Hipertermia dapat diatasi setelah Mandiri :
dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor temperatur tubuh pasien
Definisi : Suhu tubuh meningkat diatas selama……x 24 jam tiap............................jam.
rentang normal tubuh. 2. Perhatikan pola nafas, derajat suhu,
Kondisi Klinis Terkait: Proses infeksi, Kriteria hasil : adanya menggigil.
hipertiroid, stroke, dehidrasi, trauma, 1. S : 36 - 37,4 ºC 3. Batasi penggunaan linen atau selimut
prematuritas. 2. N.......................x/mnt ( sesuai indikasi).
3. RR.....................x/mnt 4. Berikan kompres air biasa / coldpack,
Hipertermia berhubungan dengan 4. Pasien mengatakan badannya jangan gunakan alkohol.
□ Dehidrasi tidak 5. Berikan pasien pakaian yang tipis
□ Terpapar lingkungan panas panas/ demam lagi dan menyerap keringat.
□ Proses penyakit (mis. Infeksi, kanker) 5. Kulit : hangat, tidak 6. Anjurkan pasien banyak minum
□ Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu kemerahan ( jangan air es ), ± 2000 cc/24 jam
lingkungan bila tidak ada kontra indikasi.
□ Peningkatan laju metabolisme 7. Jelaskan dan Batasi aktivitas fisik
□ Respon trauma 8. Monitor intake dan output tiap……
□ Aktivitas berlebihan jam
□ Penggunaan inkubator

DS: Kolaborasi :
□ Pasien mengeluh demam 1. Beri therapi :
□ Antipiretik : ……………
DO: □ Infus : …………………
□ Suhu tubuh lebih dari 37,8 ºC oral 2. Cek lab:
atau Suhu tubuh 38,8 ºC rektal
□ Suhu tubuh.............ºC peraksila/skin
□ kulit kemerahan
□ kejang
□ Nadi..................x/menit.(Takikardi )
□ RR......................x/menit (Takipnea)
□ Kulit terasa hangat
2 D.0077 Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
Definisi : Pengalaman sensorik/emosional keperawatan selama ………x 24 1. Kaji ulang nyeri sesuai katagori : onset,
yang berhubungan dengan kerusakan jam provocating/palliating, Quality, Region/
jaringan aktual atau fungsional, dengan radiation, Severity, Treatment,Understanding/
onset mendadak atau lambat dan Kriteria hasil: Impact of you, valus (OPQRSTUV)
berintensitas ringan hingga berat yang 1. Nyeri berkurang/ hilang. 2. Observasi lokasi nyeri, intensitas nyeri
berlangsung kurang dari 3 bulan. - Hari 1 skala nyeri … ( skala 1-10 ), lamanya, kualitasnya ( tajam
Kondisi klinis terkait : pembedahan, cedera - Hari 2 skala nyeri … / tumpul ) dan radiasi, respon verbal dan
traumatis, infeksi, kecemasan / stress. - Hari 3 skala nyeri … non verbal.
Nyeri Akut (….................) b.d. : - Hari…..skala………. 3. Kaji riwayat nyeri sebelumnya sesuai
□ Agen pencedera fisiologis penyebabnya agen pencedera: fisiologis,
(infeksi, iskemia, neoplasma) 2. Pasien tenang dan dapat kimiawi atau fisik.
□ Agen pencedera kimiawi istirahat. 4. Beritahu pasien untuk melaporkan nyeri
(terbakar, bahan kimia iritan) 3. Ekspresi wajah tidak tegang. dengan segera.
□ Agen pencedera Fisik 4. Tanda-tanda vital dalam batas 5. Pertahankan lingkungan yang tenang dan
(abses, amputasi, terbakar, terpotong, normal. suasana yang nyaman.
mengangkat berat, prosedur operasi, TD:...............mmHg 6. Bantu / ajarkan teknik relaksasi , seperti:
trauma, latihan fisik berlebihan) HR:..............x/mnt nafas dalam, perilaku distraksi, visualisasi,
DS RR................x/menit bimbingan imajinasi.
□. Pasien mengeluh nyeri………….. 7. Observasi tanda-tanda vital sebelum dan
dengan skor aktivitas: /Istirahat: 5. Pasien dapat mendemonstrasikan sesudah pemberian obat narkotik.
DO : tehnik relaksasi. 8. Obsrvasi nyeri pasien setelah 30 menit
□ Tampak pasien gelisah, muka pemberian obat nyeri (pain killer)
pucat, meringis kesakitan, Kolaborasi:
memegang area yang sakit 1. Beri O2 sesuai indikasi.
□ Sulit tidur 2. Beritahu petugas pain managemen bila skor
□ Keringat dingin > 3 (nyeri sedang)
□ EKG : ST elevasi/ ST depresi dilead … 3. Pemberian terapi analgesik sesuai indikasi
□ Perubahan tanda vital: □ Analgetik (paracetamol, Morphin, …
TD................mmHg 4. Persiapkan intervensi angioplasti PTCA.
HR..................x/mnt 5. Persiapkan intervensi bedah
RR..................x/mnt 6. Bantu / ajarkan teknik relaksasi , seperti:
nafas dalam
3 D.0142 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Mandiri :
keperawatan, selama …x 24 jam 1. Cuci tangan sebelum dan sesudah
Definisi: Berisiko mengalami peningkatan tidak terjadi infeksi melakukan
terserang organisme patogenik. nantinya tindakan keperawatan ke pasien,
Kondisi klinis Terkait: AIDS, luka bakar, Keriteria hasil : meskipun menggunakan sarung tangan.
penyakit paru obstruksi kronis, diabetes 1. Tanda-tanda vital dalam batas 2. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
melitus, tindakan invasif, kondisi normal: sistemik
penggunaan terapi steroid, penyalahgunaan Sistolik 90-130 mmHg dan lokal
obat, ruptur membran yang prematur, Diastolik 60-90 mmHg 3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
kanker, gagal ginjal, imunosupresi, S :36-37 ºC 4. Tinjau riwayat adanya perjalanan
lymphedema, leukositopenia, gangguan N: 80-100 x/mnt international
fungsi hati. RR : 12-20 x/mnt dan global
2. Lekosit < 10.000 /ul. 5. Skrining semua pengunjung terkait
Resiko infeksi dibuktikan dengan penyakit
□ Penyakit kronis (mis. Diabetes melitus) menular
□ Efek prosedur invasif 6. Bantu pasien ubah posisi tiap 2-3 jam.
□ Malnutrisi 7. Ajarkan latihan nafas dalam dan batuk
□ Peningkatan paparan organisme efektif.
patogen lingkungan 8. Batasi tindakan invasif jika
□ Ketidakadekuatan pertahanan tubuh memungkinkan.
primer: 9. Periksa keadaan luka atau tempat
1. Gangguan peristaltik pemasangan
2. Kerusakan integritas kulit alat invasif tiap hari bila ada di tubuh
3. Penurunan kerja siliaris pasien.
4. Ketuban pecah lama 10. Monitor vital sign, terutama suhu
5. Ketuban pecah dini tiap........jam.
6. Merokok 11. Observasi adanya menggigil dan
7. Statis cairan tubuh diaporesis.
□ Ketidakadekuatan pertahanan tubuh 12. Monitor tanda-tanda kemunduran kondisi
sekunder: selama terapi.
1. Penurunan hemoglobin
2. Imununosupresi Kolaborasi :
3. Leukopenia 1. Monitor lab : DPL, kultur darah, urine,
4. Supresi respon inflamasi sputum dan sensitifitas.
5. Vaksinasi tidak adekuat 2. Beri therapi :
□ antibiotik :............................
DS: 3. Vaksin:………………………………..
□ Pasien mengatakan badannya terasa
demam
DO:
□ Hipertermia, S.............° C
□ Leukositosis............
PATHWAY PATHWAY APPENDISITIS

Fekolit Feses yang keras), Konsumsi


hiperplasia limfoid & Tumor rendah serat

Konstipasi
Obstruksi pada lumen

Bendungan Mukus

Peningkatan tekanan intra-lumen


(penekanan pada dinding appendiks)

Aliran darah terganggu

Edema, Invasif bakteri akibat ulserasi pada dinding appendiks

Respon Nyeri
Hipertermia
Inflamasi Appendiks Meradang abdomen Nyeri
(Appendisitis) kuadran kanan
Peritonium
Peritonitis
Mual, Muntah

Appendiktomi
Kurang pengetahuan
Defisiensi Risiko Kekurangan Volume
tentang proses
Cairan
Pengetahuan pengobatan

Jaringan
Risiko Infeksi Luka Insisi Efek Anastesi
(Portal) Terbuka
Peristaltik usus
menurun

Konstipasi
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzzane. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Volume 2.


Jakarta:EGC.
Sylvia, A Price. 2000. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Jilid ll.
Jakarta:EGC
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 7. Jakarta:EGC
Purnama Junaidi, Atiek S. Soemasto, Husna Amels,Kapita selecta kedokteran edisi II
Media Aeskulis, FKUI ; 1982
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Aliana, D., Bejo, U., & Suryani, R. (2020). PANDUAN ASUHAN KEPERAWATAN.

Diane, C. B., & JoAnn, C. H. (2015). KEPERAWATAN MEDIKAL-BEDAH. Katalog Dalam Terbitan.

Heru, S., & Diah, A. K. (2019). Sleep Hygien, Strategi Mengurangi Nyeri pada Pasien Kritis. Chakra
Brahmanda Lentera.
3
5

Anda mungkin juga menyukai