Anda di halaman 1dari 12

1

P E R M A S A L A H A N
(Problem Statement)

Berdasarkan amanat Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945, DPR memiliki


peran bersama Pemerintah dalam menyetujui sebuah perjanjian.
Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional (UUPI) peran DPR dalam menyetujui
penyusunan sebuah Perjanjian Internasional justru tereduksi
(pengurangan peran dari politik DPR RI). Terhadap hal tersebut,
sejumlah LSM dan perseorangan warga negara menggugat sejumlah
pasal dalam UUPI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga yang
menjadi isu permasalahan dari kasus tersebut ialah:
1. Apakah pembuatan Perjanjian Internasional dengan negara lain
secara sepihak oleh Presiden sesuai dengan semangat
Reformasi?
2. Apakah persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diperlukan
dalam pembuatan perjanjian internasional?

1
P O S I S I K A S U S
(Statement of Facts)

Dalam sidang Pengujian Undang-Undang Perjanjian Internasional


yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi yakni Anwar Usman
di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Irfan Hutagalung selaku
Pakar Hukum Internasional menyampaikan bahwa, “perjanjian-
perjanjian penting seperti Perjanjian Perdagangan Bebas atau
Perjanjian Kemitraan dengan Jepang, Cina-Asian, atau Indonesia-
Cina, persetujuan dari DPR harus diminta. Namun, dengan undang-
undang yang ada saat ini, hal tersebut tidak mungkin dilakukan”.
Menanggapi keterangan tersebut, Hakim Konstitusi yakni I Dewa
Gede Palguna mempertanyakan terkait siapakah yang mempunyai
kredibilitas untuk memberikan kewenangan dalam perjanjian
internasional. I Dewa Gede Palguna mengatakan bahwa “kalau
seperti itu, siapa yang memiliki kredensial untuk membuat
Perjanjian Internasional? Apakah itu DPR, Presiden selaku Kepala
Negara, Menteri Luar Negeri dalam hal tertentu, atau bahkan
Menteri-Menteri Khusus tergantung pada persoalan spesifik yang
ingin dimuat dalam Perjanjian Internasional tersebut”. Menjawab
pertanyaan tersebut Irfan Hutagalung mengatakan bahwa dalam
undang-undang negara untuk membentuk suatu undang-undang
haruslah dilakukan oleh dua lembaga yakni Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Pemerintah secara bersama-sama.

2
D A S A R H U K U M
(Applicable Laws)

Dasar hukum dalam sidang pengujian Undang-Undang Perjanjian


Internasional bertujuan untuk memastikan kesesuaian perjanjian
tersebut dengan konstitusi dan hukum yang berlaku di negara
tersebut. Sidang pengujian ini merupakan proses penting dalam
menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif,
serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam
pembentukan dan implementasi perjanjian internasional. Sehingga
dalam Legal Opinion tersebut akan mengacu pada dasar hukum yang
digunakan sebagai berikut:
I. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional.

3
A N A L I S A H U K U M
(Law Analysis)

Analisa hukum bertujuan untuk mengidentifikasi isu-isu hukum


yang relevan, menganalisis argumen hukum yang ada, dan mencari
solusi atau rekomendasi yang tepat berdasarkan hukum yang
berlaku. Melalui analisa hukum, maka dapat mengidentifikasi
implikasi hukum dari suatu peristiwa atau permasalahan,
menentukan kekuatan dan kelemahan argumen hukum yang ada, dan
memprediksi kemungkinan hasil dari suatu kasus hukum. Berikut
analisa hukum pada Legal Opinion tersebut.
I. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pada Pasal 11 Ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
Pasal 11 Ayat (1) menyatakan bahwa, “Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.
Maksud dari pasal tersebut ialah untuk menetapkan kewenangan
Presiden dalam menyatakan perang, membuat perdamaian, dan
menjalin perjanjian dengan negara lain, tetapi dengan syarat
mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Argumentasi hukum terkait dengan apakah persetujuan DPR
diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional,
sehingga dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Prinsip Checks and Balances: Persyaratan persetujuan DPR
dalam pembuatan perjanjian internasional sejalan dengan
prinsip checks and balances dalam sistem pemerintahan.
Persyaratan ini memastikan bahwa keputusan penting seperti
perjanjian internasional melibatkan partisipasi dan
pengawasan dari lembaga legislatif untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif.
b. Legitimasi Demokratis: Melibatkan DPR dalam pembuatan
perjanjian internasional memberikan legitimasi demokratis
pada proses tersebut. DPR yang merupakan perwakilan rakyat
dapat menggambarkan kepentingan dan pandangan masyarakat

4
yang beragam, sehingga persetujuan mereka memberikan
legitimasi pada keputusan yang diambil oleh pemerintah.
c. Pengawasan dan Pertanggungjawaban: Persetujuan DPR juga
memberikan mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban
terhadap kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh
pemerintah. DPR dapat memastikan bahwa perjanjian
internasional tersebut sesuai dengan kepentingan nasional
dan tidak merugikan negara dan masyarakat.
Pasal 11 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Maksud dari pasal
tersebut ialah untuk mengatur bahwa dalam pembuatan
perjanjian internasional yang memiliki dampak signifikan
terhadap kehidupan rakyat, beban keuangan negara, dan/atau
memerlukan perubahan atau pembentukan undang-undang,
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diperlukan.
Argumentasi hukum terkait dengan apakah persetujuan DPR
diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional,
sehingga dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengaruh yang Luas dan Mendasar: Persetujuan DPR
diperlukan jika perjanjian internasional tersebut
memiliki dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat. Hal ini penting karena perjanjian semacam itu
dapat berdampak signifikan pada kehidupan masyarakat, baik
dari segi sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan
melibatkan DPR, kepentingan dan pandangan rakyat dapat
diwakili dan dipertimbangkan dalam proses pembuatan
perjanjian.
b. Beban Keuangan Negara: Jika perjanjian internasional
tersebut juga membawa beban keuangan yang signifikan bagi
negara, persetujuan DPR diperlukan. DPR bertanggung jawab

5
dalam mengawasi penggunaan anggaran negara dan menentukan
prioritas pengeluaran. Dengan persetujuan DPR, keputusan
mengenai perjanjian internasional yang berdampak pada
beban keuangan dapat diperiksa secara seksama dan
dipertimbangkan dengan matang.
c. Perubahan atau Pembentukan Undang-Undang: Jika perjanjian
internasional memerlukan perubahan atau pembentukan
undang-undang di dalam negeri, persetujuan DPR diperlukan.
DPR memiliki wewenang dalam membuat undang-undang dan
mengawasi proses legislasi. Dengan melibatkan DPR dalam
pembuatan perjanjian yang mempengaruhi kebijakan hukum di
dalam negeri, aspek-aspek hukum dan konstitusional dapat
diperhatikan dengan baik.
II. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000
Tentang Perjanjian Internasional pada Pasal 9 Ayat (2) dan
Pasal 11 Ayat (2), sebagai berikut:
Pasal 9 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Pengesahan perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan presiden”. Maksud dari
pasal tersebut ialah pengesahan dengan undang-undang
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan
dengan keputusan presiden selanjutnya diberitahukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 11 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Pemerintah Republik
Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan Presiden
yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi”. Maksud dari pasal
tersebut ialah Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan
pengawasan terhadap Pemerintah, walaupun tidak diminta
persetujuan sebelum pembuatan perjanjian internasional
tersebut karena pada umumnya pengesahan dengan keputusan
presiden hanya dilakukan bagi perjanjian internasional di
bidang teknis. Di dalam melaksanakan fungsi dan wewenang
Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta pertanggungjawaban

6
atau keterangan Pemerintah mengenai perjanjian internasional
yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan
nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan
atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam Sidang Uji Materiil UU Perjanjian Internasional, apabila
dibandingkan antara Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan Pasal 9 Ayat 2 dan Pasal
11 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000
Tentang Perjanjian Internasional, yang mana kedua UU ini
bertentangan. Hal ini dijelaskan, dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD
1945 yang dibutuhkan dalam Perjanjian Internasional adalah
persetujuan DPR. Undang-undang a quo menggantikan frasa
“persetujuan DPR RI” dengan “frasa pengesahan dengan undang-
undang”. Hal ini berarti hanya melibatkan DPR dalam bagian akhir
penyusunan perjanjian internasional. Kata “pengesahan”
mereduksi kata “persetujuan” dengan DPR sehingga menempatkan DPR
di bagian akhir penyusunan perjanjian internasional dengan hanya
berperan mengesahkan perjanjian internasional yang telah dibuat
oleh Pemerintah Indonesia.
SELAIN HAL TERSEBUT, JUGA : -----------------------------------
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2000 Tentang Perjanjian Internasional pada Pasal 2 menyatakan
bahwa, “Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyakut kepentingan publik”.
Maksud dari pasal tersebut ialah sesuai dengan tugas dan
fungsinya, Menteri memberikan pendapat dan pertimbangan politis
dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional
berdasarkan kepentingan nasional. Sebagai pelaksana hubungan
luar negeri dan politik luar negeri, Menteri juga terlibat dalam
setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional,
khususnya dalam mengkoordinasikan langkah-langkah yang perlu
diambil untuk melaksanakan prosedur pembuatan dan pengesahan

7
perjanjian internasional. Hal yang menyangkut kepentingan publik
adalah materi yang diatur dalam Pasal 10 undang-undang ini.
Dan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2000 Tentang Perjanjian Internasional pada Pasal 5 Ayat (1)
menyatakan bahwa, “Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah,
yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,
terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai
rencana tersebut dengan Menteri”. Maksud dari pasal tersebut
ialah lembaga negara adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Badan
Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Dewan Pertimbangan Agung
yang fungsi dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945. Lembaga Pemerintah adalah lembaga eksekutif termasuk
presiden, departemen/instansi dan badan-badan pemerintah lain,
seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Tenaga Atom
Nasional, yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Badan-
badan independen lain yang dibentuk oleh pemerintah untuk
melaksanakan tugas-tugas tertentu tidak termasuk dalam
pengertian lembaga pemerintah. Mekanisme konsultasi dengan
Menteri sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pelaksana
hubungan dan politik luar negeri, dengan tujuan melindungi
kepentingan nasional dan mengarahkan agar pembuatan perjanjian
internasional tidak bertentangan dengan kebijakan politik luar
negeri Republik Indonesia, dan prosedur pelaksanaannya sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang
Perjanjian Internasional. Mekanisme konsultasi tersebut dapat
dilakukan melalui rapat antar departemen atau komunikasi surat
menyurat antara lembaga-lembaga dengan Departemen Luar Negeri
untuk meminta pandangan politis/yuridis rencana pembuatan
perjanjian internasional tersebut.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa Menteri
memiliki peran sentral dalam proses pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional. Menteri memberikan pertimbangan
politis, mengambil langkah-langkah yang diperlukan, dan

8
berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, lembaga negara dan lembaga
pemerintah juga harus berkoordinasi dengan Menteri sebelum
merencanakan perjanjian internasional.
--------------------------------------------------------------
Selanjutnya apabila menjawab beberapa pertanyaan pada isu
permasalahan yang terdapat pada Legal Opinion tersebut ialah,
maka:
1. Apakah pembuatan Perjanjian Internasional dengan negara lain
secara sepihak oleh Presiden sesuai dengan semangat
Reformasi?
Opini Hukum :
Semangat reformasi dalam konteks Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah semangat untuk
memperbaiki tata kelola pemerintahan dan memperkuat
demokrasi di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana persetujuan DPR
diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional. Akan
tetapi hal tersebut sudah tidak sejalan dengan lahirnya UU
Perjanjian Internasional, peran DPR dalam persetujuan
perjanjian internasional telah berkurang. Bahwa pembuatan
Perjanjian Internasional dengan negara lain secara sepihak
oleh Presiden tidak sesuai dengan semangat Reformasi. Hal
ini karena Reformasi di Indonesia bertujuan untuk memperkuat
demokrasi dan memperbaiki tata kelola pemerintahan. Dalam
konteks hubungan internasional, Reformasi mengarahkan
Indonesia untuk lebih terbuka dan transparan dalam melakukan
hubungan dengan negara lain. Oleh karena itu, pembuatan
perjanjian internasional harus melalui proses yang
transparan dan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak,
seperti DPR, masyarakat sipil, dan ahli hukum internasional.
Meskipun UU Perjanjian Internasional memberikan kewenangan
kepada DPR untuk melakukan pengesahan dengan undang-undang
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan
pengesahan dengan Keputusan Presiden selanjutnya

9
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, namun hal
tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang
diatur dalam UUD 1945. Oleh karena itu, pembuatan Perjanjian
Internasional dengan negara lain secara sepihak oleh Presiden
tidak sesuai dengan semangat Reformasi dan ketentuan hukum
yang berlaku.
2. Apakah persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diperlukan
dalam pembuatan perjanjian internasional?
Opini Hukum :
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2000 Tentang Perjanjian Internasional, persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) tidak diwajibkan dalam pembuatan
perjanjian internasional. Pasal 9 Ayat (2) menyatakan bahwa
pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dengan
undang-undang atau keputusan presiden. Namun, Pasal 11 Ayat
(2) mengharuskan Pemerintah Republik Indonesia untuk
menyampaikan salinan setiap keputusan Presiden yang
mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi. Hal ini menunjukkan bahwa
DPR memiliki peran dalam melakukan evaluasi terhadap
perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Presiden,
meskipun persetujuan DPR tidak diperlukan secara langsung
dalam proses pengesahan perjanjian internasional.
Apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, beberapa
ahli hukum berpendapat bahwa persetujuan DPR seharusnya
diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional sebagai
bentuk pengawasan dan keterlibatan lebih lanjut dari lembaga
legislatif. Namun, ada juga pendapat bahwa pengesahan
perjanjian internasional yang dilakukan oleh Presiden sudah
cukup mewakili kepentingan negara, sehingga persetujuan DPR
tidak diwajibkan.

10
K E S I M P U L A N & P E N U T U P
(Conclusion and Closing)

Dari Analisa Hukum tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai


berikut:
1. Pembuatan Perjanjian Internasional secara sepihak oleh
Presiden tidak sesuai dengan semangat Reformasi yang ingin
memperkuat demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang lebih
baik. Reformasi mengarahkan Indonesia untuk lebih terbuka
dan transparan dalam hubungan internasional, jadi pembuatan
perjanjian internasional harus melibatkan partisipasi dari
berbagai pihak, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
masyarakat sipil, dan ahli hukum internasional. Jadi,
pembuatan perjanjian internasional secara sepihak tidak
sesuai dengan semangat Reformasi dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak diwajibkan
dalam pembuatan perjanjian internasional menurut Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000. Meskipun begitu, DPR masih punya
peran dalam mengevaluasi perjanjian internasional yang sudah
disahkan oleh Presiden.

Pendapat yang saya berikan dalam Legal Opinion ini didasarkan


pada informasi yang saya terima dan analisis hukum yang saya
lakukan. Namun, penting untuk dicatat bahwa pendapat ini hanya
berdasarkan hukum yang berlaku saat ini dan dapat berubah
seiring perubahan hukum dan fakta-fakta yang relevan.
Demikianlah Legal Opinion disampaikan, atas perhatiannya
diucapkan terima kasih.

Tarakan, 16 Oktober 2023

Pengkaji

11

Anda mungkin juga menyukai