Anda di halaman 1dari 3

Moderasi Beragama dalam Perspektif Teologi Agama Buddha

Manggala Wiriya Tantra, M.Pd.

Indonesia adalah rumah yang nyaman bagi perbedaan, perbedaan suku, perbedaan ras,
perbedaan etnis, perbedaan aliran kepercayaan dan juga perbedaan agama. Sejatinya
perbedaan itu memperindah kehidupan, bukan menjadi benteng penghalang, serta menembus
sekat mayoritas minoritas, karena dimanapun dan sampai kapanpun perbedaan itu akan tetap
ada, yang harus dilakukan adalah menjaga dan merawatnya.
Agama buddha sebagai salah satu agama yang eksis di Indonesia memberikan
kontribusi yang tidak sedikit bagi terwujudnya kedamaian dan keharmonisan. Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam sebuah buku
berjudul kakawin Sutasoma, seorang pujangga yang menganut agama buddha. Mpu Tantular
mengajarkan makna toleransi antar umat beragama dan dianut oleh pemeluk agama Hindu
dan Buddha pada masa itu. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa
digunakan untuk menciptakan kerukunan di antara rakyat Majapahit dalam kehidupan
beragama. Kini Bhinneka Tunggal Ika ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa Kuno
tepat di bawah lambang negara. (Kristina, 2021: detik.com)
Kitab suci Tri Pitaka memuat ajaran-ajaran moderasi beragama yang mengajarkan
betapa pentingnya menjunjung tinggi kerukunan. Salah satu ajaran buddha untuk
mewujudkan moderasi beragama tertulis dalam Anguttara Nikaya, Chakkanipata yaitu
Saraniyadhamma Sutta menyebutkan enam cara untuk menciptakan kerukunan: (1) Memiliki
perbuatan berdasarkan cinta kasih di depan maupun di belakang orang lain; (2) Memiliki
ucapan berdasarkan cinta kasih di depan maupun di belakang orang lain; (3) Memiliki pikiran
berdasarkan cinta kasih di depan maupun di belakang orang lain; (4) Mau berbagi miliknya
dengan orang lain; (5) Melaksanakan kemoralan yang sama sewaktu ia sendirian maupun di
depan umum; (6) Memiliki pandangan yang benar di kala sendirian maupun bersama.
Penerapan keenam cara ini dalam kehidupan sehari-hari akan membawa perdamaian dan
kebahagiaan (Hansen, 2008:52-53).
Selama mengajarkan dharma, Buddha tidak pernah mempengaruhi seseorang agar
mengikuti ajaranNya, bahkan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih guru
spiritual yang diinginkan tanpa adanya paksaan. Ketika Buddha ditemui suku Kalama yang
saat itu sedang kebingunan akan siapa sesungguhnya guru spiritual yang pantas diikuti dan
ajaran siapa yang paling benar, karena setiap kali datang seseorang yang mengaku sebagai
guru spiritual seseorang tersebut merendahkan ajaran guru lain dan menyebut ajarannya yang
paling benar.
Mengetahui persoalan tersebut, Buddha dengan bijak berkata:
Wahai, suku Kalama, jangan begitu saja percaya dan mengikuti tradisi lisan, ajaran
turun-temurun, kata orang, koleksi kitab, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan,
perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah memikirkannya, pembicara yang
kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, ‘Petapa itu adalah guru kami’. Tetapi
setelah kalian mengetahui sendiri, ‘hal-hal ini adalah tidak bermanfaat, hal-hal ini dapat
dicela; hal-hal ini dihindari oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan
dipraktekkan, akan menyebabkan kerugian dan penderitaan’, maka kalian harus
meninggalkannya.” (Soma, Bodhi, dkk., 2010: 23)
Sabda Buddha kepada suku Kalama tersebut begitu sarat makna, bahwa betapa
moderatnya, betapa menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi sekaligus sangat rasional, tanpa
ada unsur pemaksaan untuk mengakui dan meyakini suatu ajaran tanpa pembuktian terlebih
dahulu. Khotbah tersebut dikenal sebagai Kalama Sutta yang termuat pada Angutara Nikaya
3.65 yang relevan dengan semangat moderasi beragama, yakni tidak mengklaim ajaran
agama paling benar dan tidak merendahkan ajaran lain.
Teladan luhur lainnya tentang moderasi beragama ditunjukkan Buddha semasa masih
hidup. Saat itu terdapatlah seorang bernama Upali datang menemui Sang Buddha, dan
memohon untuk diterima sebagai murid. Namun, Buddha tidak langsung begitu saja
menerimanya dan justru malah meminta satu syarat. Lalu, apa syarat yang diminta Buddha?
Karena Sang Buddha mengetahui bahwa Upali adalah pengikut keyakinan lain dan selama ini
ia menjadi pendukung utamanya, maka dengan bijak Sang Buddha meminta kepada Upali
agar terus berbuat baik dan memberikan bantuan kepada keyakinan yang dulu ia ikuti, serta
harus tetap menghormati gurunya yang dulu.
Upali pun menyetujui syarat yang diminta Buddha tersebut dan akhirnya diterima
sebagai murid-Nya. Peristiwa ini terdapat pada Kitab Suci Tripitaka, tepatnya di bagian
Upali-Sutta. Peristiwa bersejarah tersebut mengajarkan betapa pentingnya seorang pemimpin
agama menjadi teladan dalam hal menghargai ajaran agama yang lain, terlebih apabila ada
umat yang berpindah keyakinan. Apabila ada umat yang berpindah keyakinan yang sama
dengan kita, tidak perlu terlalu dielu-elukan, demikian juga sebaliknya. Apabila ada umat
yang seagama dengan kita lalu berpindah agama lain, tidak sepatutnya untuk dicela, terlebih
mencela guru spiritual sebelumnya.
Nasihat Buddha tersebut kemudian diadaptasi dan dimanifestokan oleh Asokha,
seorang raja yang memerintah berdasarkan ajaran buddha, membuat suatu maklumat yang
dituliskan pada Prasasti Batu Kalingga No. XXII, Abad ke-3 SM. Maklumat tersebut
berbunyi “Janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela agama orang
lain. Sebaliknya, agama orang lain sebaiknya dihormat atas dasar tertentu. Dengan berbuat
begini, kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang di samping menguntungkan
pula agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dengan
mencela agama lain, semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan
berpikir ‘bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri, maka dengan berbuat
demikian, maka ia malah akan merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, toleransi dan
kerukunan umat beragamalah yang dianjurkan dengan pengertian, bahwa semua orang
selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri, juga bersedia untuk mendengarkan ajaran
agama orang lain.” (Dhammika, 2006: 25-26).
Pesan dalam maklumat tersebut tentu sangat relevan sampai kapanpun. Dengan tidak
mencela agama dan keyakinan orang lain akan mewujudkan tatanan masyarakat yang damai
dan harmonis. Nasihat tersebut tentu saja dapat dipakai oleh siapapun yang menginginkan
keharmonisan dalam bingkai keberagaman, tidak terbatas pada agama Buddha saja. Buddha
sangat menitikberatkan pada cinta kasih sebagai inti dalam mewujudkan persaudaran sejati,
sekalipun ada yang membenci kita, tidak selayaknya kita membalas dengan kebencian.
Dalam kitab Dhammapada, Buddha berkata: “Kebencian tidak pernah berakhir apabila
dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih
dan saling memaafkan. Inilah satu kebenaran abadi” (Dhammadhiro, 2005: 3).

Sumber Referensi
Dhammika, S.V. (2006). Maklumat Raja Asokha. Yogyakarta:Vidyasena Production.

Hansen., S.S. (2008). Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta:Vidyasena Production.

Soma., T, Bodhi, B., dkk. (2010). Kalama Sutta. Yogyakarta:Vidyasena Production.

Kristina. (2021). Sejarah Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.


https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5711982/sejarah-semboyan-bhinneka-tunggal-ika-
yang-pertama-kali-diungkapkan-mpu-tantular diakses pada tanggal 22 November 2022,
Pukul 21.15

Dhammadhiro. (2005). Pustaka Dhammapada Pali-Indonesia. Tangerang: Sangha Theravada


Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai