Anda di halaman 1dari 2

BERIMAN KEPADA TAQDIR

( Materi Bimbingan Atau Penyuluhan )


Oleh : Ahmad Muttaqin, S.Ag

Apa yang dijelaskan oleh Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Rahimahullah merupakan salah satu
prinsip dari sekian banyak prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau menjelaskan
bahwa pembahasan tentang takdir itu merupakan rahasia ilmu Allah ‘Azza wa Jalla. Dan
sebagaimana yang kita maklumi, tidak seorangpun yang bisa mengetahui ilmu Allah ‘Azza wa
Jalla yang maha luas. Baik ilmu yang berkaitan dengan perbuatan makhluk atau perbuatan Allah
sendiri, semua itu rahasia Allah.

Kemudian juga semuanya yang diketahui Allah Subhanahu wa Ta’ala ditulis di Lauhul Mahfudz.
Dan tidak seorangpun yang mengetahui apa yang tertulis. Sampai pun para Malaikat tidak
mengetahui, begitu juga para Nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka tidak
mengetahui hal itu.

Begitu juga kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang meliputi seluruh makhlukNya yang tidak
terbatas serta ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apa yang diciptakan oleh Allah, apa yang
ingin diciptakan, apa yang belum diciptakan dan yang akan diciptakan oleh Allah. Semua itu
adalah rahasia ilmu Allah yang hanya diketahui Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sehingga apabila seseorang memaksakan dirinya untuk mendalami lebih jauh, meneliti lebih
dalam hanya berlandaskan akal semata logika, maka sungguh dia tidak akan bisa mengetahui hal
itu bahkan itu merupakan sebab yang akan menjerumuskan ia dalam kehinaan. Dan juga
merupakan tangga demi tangga yang dia akan lewati, yang akan dia lalui, yang akan
menjerumuskan dia dalam hal-hal yang terlarang atau kesesatan.

Karena hal demikian itu merupakan sikap yang telah melampaui batas. Maka kata beliau,
hendaklah kita waspada dan berhati-hati jangan sampai kita mendalami dan meneliti perkara
tersebut terlampau jauh atau melampaui batas yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala baik secara pikiran, penelitian atau apa yang ada dalam jiwa kita berupa was-was yang itu
merupakan sikap yang ditanamkan oleh iblis dalam diri manusia sehingga menjadikan seseorang
ragu dan bimbang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak boleh ditanya tentang perbuatannya kenapa Allah menciptakan.
Adapun manusia, merekalah yang akan diminta pertanggungjawaban terhadap perbuatan mereka.
Mereka akan ditanya, kenapa melakukan hal itu, apa tujuannya dan apa landasannya.
Baca Juga:
Menisbatkan Diri kepada Salaf dan Memakai Sebutan Salafiyah

Maka dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak boleh didalam memahami pembahasan
takdir kita bertanya dengan redaksi:

kenapa Allah menciptakan?


kenapa Allah menghendaki hal ini?
kenapa Allah melakukan?

Itu adalah pertanyaan yang tidak diperbolehkan. Pertanyaan tentang perbuatan Allah. Allah
mengatakan:

﴾٢٣﴿ ‫اَل ُيْس َأُل َعَّم ا َيْف َعُل َو ُه ْم ُيْس َأُلوَن‬


“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-
Anbiya[21]: 23)
Maka kata Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Rahimahullah, barangsiapa yang menyelisihi lalu dia
bertanya “kenapa”, itu sama saja artinya menolak hukum Al-Qur’an, maka konsekuensinya
barangsiapa yang menolak hukum Al-Qur’an maka dia termasuk ke dalam orang-orang yang
kafir.

Pembahasan Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Rahimahullah tentang takdir ini yaitu menjelaskan
secara umum tentang hakikat secara global masalah takdir. Tapi beliau tidak menjelaskan secara
spesifik tentang aqidah atau tentang prinsip-prinsip yang berkaitan dengan masalah ini. Maka ada
baiknya untuk lebih bisa dipahami dengan jelas, kita akan mencoba menjelaskan secara sistematis
dan juga terperinci tentang apa saja hal-hal yang diyakini oleh sunnah tentang masalah takdir ini.

Yang pertama, bahwa beriman kepada takdir terbagi pada dua macam. Beriman secara global dan
beriman secara terperinci. Secara umum, wajib kita mengimani bahwa segala sesuatu dengan
takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak satupun yang terjadi, baik itu suatu kebaikan atau
kejelekan, semua itu dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka wajib kita imani bahwa segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi ini, baik yang telah
terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi, semua itu tidak keluar dari takdir Allah dan
bila hal itu terjadi, itu pasti Allah telah menghendaki kejadian atau terjadinya hal tersebut. Itu kita
imani.

Bila seseorang mengimani semua hal itu, maka secara umum imannya sah terhadap takdir. Tapi
tentunya kurang sempurna imannya, bila dia hanya mencukupkan diri tentang hal itu saja.
Bahkan sangat dikhawatirkan dia bisa terjerumus kedalam pemikiran-pemikiran atau aqidah-
aqidah yang menyimpang bila dia tidak memahami perincian tentang aqidah Ahlus Sunnah dalam
masalah takdir.

Yang kedua, beriman kepada takdir secara terperinci yaitu mengimani semua yang tertera di
dalam Al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diantaranya yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits, maka kita imani.

Dalam hal ini ada baiknya kita jelaskan terlebih dulu hakikat takdir. Yang dimaksud beriman
kepada takdir adalah bahwa kita mengimani Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui segala
sesuatu sebelum hal itu terjadi, segala sesuatu itu telah tertulis di Lauhul Mahfudz, kemudian
segala yang terjadi telah dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan itu semua termasuk ke
dalam ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah secara global atau secara umum makna dari
takdir. Sehingga dari definisi tadi kita memahami bahwa beriman kepada takdir itu mencakup
dua tingkatan. Tingkatan yang pertama, yaitu sebelum penciptaan. Dan tingkatan yang kedua
adalah setelah penciptaan.

Sebelum penciptaan, kita mengimani bahwa Allah telah mengetahui segala sesuatu. Sebelum
Allah menciptakan seluruh makhluk di langit dan di bumi, Allah telah mengetahui. Dan yang
telah Allah ketahui tersebut itu, ditulis di Lauhul Mahfudz sebelum penciptaan. Kemudian bila
hal itu terjadi, maka itu semua dengan izin Allah dan dengan kehendak Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Anda mungkin juga menyukai