Anda di halaman 1dari 4

MATA KULIAH PENGANTAR ILMU POLITIK

UJIAN AKHIR SEMESTER 2020


Pengampu: Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA & Dr. Maharani Hapsari

Gantar Eliezer Sinaga

20/455797/SP/29386

Topik: Ideologi

Regresi Demokrasi dan Lunturnya Ideologi Nasional Masyarakat

Pendahuluan

Konsep ideologi pada hakikatnya adalah sebuah nilai dan pemahaman dari individu
ataupun sekelompok masyarakat yang dipercaya menjadi bentuk pemikiran yang dapat
mewadahi bentuk kepercayaan itu sendiri–sebagai tatanan dan norma yang mampu
memberikan batasan moral–diawali dengan basis kepercayaan misalnya dalam konteks
sejarah, akarnya muncul dari agama yang diinstitusikan oleh kelompok hegemonik Gereja
pada zaman pra-rennaisance sebagai bentuk dogma dan nilai moral yang dianut oleh lapisan
masyarakat monarki pada masa itu.

Namun pada perkembangannya, muncul pemikiran-pemikiran baru yang disebabkan


oleh faktor sekularisasi dan kebutuhan mendasar dari masyarakat mengenai perkembangan
cara pikir yang merasa tatanan moral yang dikontrol oleh status quo Gereja, patut
dipertanyakan keabsahannya. Francis Bacon (1620) dalam bukunya Novum Organum
menjelaskan tentang fenomena ideologi yang membutuhkan perpindahan fungsi dan wujud
ideologi yang tidak hanya dibentuk dalam konsep religius, ‘tahayul’, dan doktrin berbasis
agama yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional menuju konsep ideologi yang
mengarah pada tatanan sosial yang lebih terstruktur berdasarkan semangat dan prinsip
kebebasan masyarakat (liberalisme) serta tuntutan kesetaraan kelas antara masyarakat buruh
dengan kaum Gereja yang pada perkembangannya memanipulasi instrumen agama sebagai
doktrin yang hanya menguntungkan pihak Gereja (Bacon dalam Ecchleshall et al., 1984).

Tipologi ideologi sendiri terbentuk ketika Revolusi Perancis sedang berkecamuk.


Seorang filsuf Perancis dan Bapak Ilmu Ideologi, Antoine Destutt de Tracy menuliskan riset
ilmu politik mengenai pembentukan gagasan dengan sebutan 'ideologi' (idea/ology) sebagai
definisi ilmiah dari suatu konstruksi ide untuk mewujudkan struktur politik pemerintahan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mengedepankan rasionalitas serta
kepentingan ruang lingkup masyarakat secara menyeluruh (Ecchleshall et al., 1984).
Perumusan Tracy mengenai ideologi tersebut berhasil membentuk pemahaman dan konsep
kenegaraan yang mengutamakan kepentingan masyarakat kelas bawah untuk menentang
ototarianisme rezim Napoleon, maka setelah itu muncullah ideologi yang mengakar kuat pada
cara pikir masyarakat di era revolusi yang memunculkan slogan ‘Liberté, égalité, fraternité’
sebagai bentuk teriakan massa dan lahirnya istilah liberalisme untuk menuntut kesetaraan dan
keadilan dalam hidup bernegara dan bermasyarakat.

Pada perkembangannya hingga abad ke-21, ideologi mengalami berbagai bentuk


pelebaran dan penyesuaian terhadap dinamika politik internasional. Banyak model dan
pemetaan ideologi yang muncul dan pada akhirnya luntur dikarenakan visi dari ideologi
tersebut dianggap terlampau idealis dan utopis dengan pendekatan yang radikal (sebagai
contoh fasisme dan komunisme). Fenomena tersebut oleh Daniel Bell (1960) dalam bukunya
The End of Ideology beropini bahwa modernisasi masyarakat mendorong paham liberalisme
sebagai ‘juara bertahan’ dalam kontestasi ideologi–bahwa keadilan sosial dan cita-cita
masyarakat tanpa kelas tidak dapat dirancang sedemikian rupa dalam dinamika perpolitikan
modern yang menuntut masyarakat untuk tidak lagi menggunakan ideologi sebagai semangat
atau propaganda–menjadikan ruang ideologi hanya sebatas pemahaman pragmatis saja (Bell
dalam Wright & Eatwel, 1993). Esai ini membahas mengenai pendekatan ideologi lewat studi
kasus dan analisis nilai nasionalisme dan perkembangan ideologi di Indonesia lewat
fenomena kemerosotan demokrasi menuju perpindahan paham pragmatis-liberalis yang
diancam oleh pergerakan populisme-konservatif di tanah air.

Untuk memahami kembali mengenai tipologi ideologi pada konteks domestik – perlu
sekali lagi ditegaskan untuk menjawab pertanyaan “Sejauh apa ideologi itu dapat
didefiniskan dan apa saja batasan-batasannya?”–dapat didefinisikan bahwa ideologi
merupakan bentuk abstraksi pemikiran manusia yang dapat ditemukan lewat pemahaman
kultural, pola pikir, kepercayaan yang dianut sebagai struktur tatanan kemasyarakatan–lebih
sempit dalam konteks politik negara–digambarkan ideologi sebagai perwujudan dari identitas
suatu negara yang bersumber dari gaya hidup masyarakat, keadaan geografis, hingga model
pasar bisnis maupun media sebagai sarana sosialisasi gagasan. Untuk menunjukkan batasan-
batasan dan keberpihakan politik dalam pemetaan intelektual. Oleh masyarakat, ideologi
dikonstruksi sebagai instrumen sosial yang menjadi sarana kritik dan kesempatan bagi setiap
lapisan ketatanegaraan untuk mengoreksi atau membentuk manifestasi politik berdasarkan
keyakinan dan pola pikir yang bisa menilai apakah mekanisme yang dijalankan oleh pemilik
hegemoni negara sesuai dengan nilai-nilai ideologi atau tidak.

Dalam perkembangannya terdapat tiga pemetaan politik dari pemahaman dan ideologi
yang berkembang dalam politik level global: ideologi sayap kiri, ideologi moderat, dan
ideologi sayap kanan; Sayap kiri diasosiasikan dengan barisan masyarakat yang memasang
sikap skeptis dan kritis terhadap kebijakan status quo–golongan sayap kanan mayoritas
adalah kelas korporat dan elit pemerintahan yang mengadakan regulasi kebijakan dengan
paham pragmatis-liberalisnya – golongan tengah ataupun moderat menjadi golongan
masyarakat yang mampu membendung radikalisme sayap kiri dan konsep kapitalisme sayap
kanan dengan menyelenggarakan partisipasi demokrasi sesuai dengan ketentuan undang-
undang yang dijalani segenap penduduk warganegara. Dalam konteks sejarah Indonesia,
golongan sayap kiri (terutama bagi penganut ideologi sosialis-komunis) yang juga disebabkan
oleh berakhirnya Perang Dingin akhirnya tergerus dan tidak dapat menunjukkan relevansinya
di era demokrasi modern.

Berbagai macam kontestasi rancangan dasar negara telah menempatkan eksistensi


paham demokrasi disandingi nasionalisme Republik Indonesia yang selalu diperbaharui dan
disesuaikan dengan dinamika negara dari berbagai macam era. Paham demokrasi dan
nasionalisme hingga saat ini menjadi rancangan fundamental yang bertahan. Namun akar
ideologi dari demokrasi yang tersisa mulai mengalami kemerosotan nilai sampai pada
tingkatan pragmatis saja (Aspinall & Warburton, 2018). Setelah mengalami berbagai macam
penyesuaian mulai dari demokrasi terpimpin, parlementer, hingga masa reformasi yang
menunjukkan bahwa praktik demokrasi Indonesia di lapangannya sampai pada saat ini hanya
hadir dalam penyelenggaraan politik seperti hak suara dalam pemilihan umum saja.

Penyelenggaraan demokrasi di era pasca-otoritarianisme nyatanya hanya memberikan


ruang yang sempit bagi kritik dan aspirasi dari masyarakat. Ancaman iliberalisme yang hadir
dari kelompok konservatif menantang pemerintahan yang ada menuntut pemerintahan di era
administrasi Jokowi untuk menggunakan instrumen senada yaitu metode iliberalisme yang
memberikan ruang bagi kaum korporat dalam kursi parlemen demi mempertahankan posisi
dan mengurangi potensi ancaman penggulingan kekuasaan dari gerakan populisme yang
digerakkan oleh basis koalisi antara golongan konservatif agama dengan eliti politik oposisi-
pemerintah (Mietzner, 2018 & 2020).
Pengorbanan dan relevansi ideologi yang merosot tersebut memicu sikap kritis
masyarakat yang kepentinganya tertutupi oleh adanya konflik politik, ketidakhadiran
instrument ideologis memicu sikap dan partisipasi dalam masyarakat untuk bisa
mengembalikan stabilitas politik kenegaraannya, adanya kemerosotan demokrasi ini dapat
memicu kebangkitan masyarakat ataupun menandai berakhirnya relevansi demokrasi di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai