Anda di halaman 1dari 329

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

NOMOR 14 TAHUN 2023 TENTANG

PENYELESAIAN
USAHA DAN/ATAU
KEGIATAN TERBANGUN
DI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM,
DAN TAMAN BURU

Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi


Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2023
DAFTAR ISI
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 14 Tahun 2023
tentang Penyelesaian Usaha Dan/Atau Kegiatan Terbangun Di Kawasan
Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Dan Taman Buru

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021


tentang Penyelenggaraan Kehutanan

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021


tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif
di Bidang Kehutanan
Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Nomor 14 Tahun 2023
tentang Penyelesaian Usaha Dan/Atau Kegiatan
Terbangun Di Kawasan Suaka Alam, Kawasan
Pelestarian Alam, Dan Taman Buru
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2023
TENTANG
PENYELESAIAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TERBANGUN DI KAWASAN
SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM, DAN TAMAN BURU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mengoptimalkan peran dan fungsi kawasan


suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru
dalam mendukung keberlanjutan pembangunan dan
menjaga fungsi ekologi sebagai penyangga kehidupan,
seluruh kegiatan usaha di kawasan suaka alam, kawasan
pelestarian alam, dan taman buru wajib memiliki
perizinan berusaha, kerja sama, dan kemitraan
konservasi;
b. bahwa untuk mengedepankan pengenaan sanksi
administratif terhadap pelanggaran yang bersifat
administratif dan tidak menimbulkan dampak kesehatan,
keselamatan, dan/atau lingkungan pada kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru;
c. bahwa untuk penyelesaian kegiatan terbangun melalui
kemitraan konservasi telah ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di
Bidang Kehutanan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tentang Penyelesaian Usaha dan/atau Kegiatan
Terbangun di Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian
Alam, dan Taman Buru;

Mengingat : 1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
-2-

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang


Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6841);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6635);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata
Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda
Administratif di Bidang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 34, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6636);
6. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2020 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 209);
7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 15 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 756);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PENYELESAIAN USAHA DAN/ATAU
KEGIATAN TERBANGUN DI KAWASAN SUAKA ALAM,
KAWASAN PELESTARIAN ALAM, DAN TAMAN BURU.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Kegiatan Terbangun di Kawasan Suaka Alam, Kawasan
Pelestarian Alam, dan Taman Buru yang selanjutnya
disebut Kegiatan Terbangun adalah seluruh usaha
dan/atau kegiatan yang telah terbangun di kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru
sebelum tanggal 2 November 2020.
2. Kemitraan Konservasi adalah kemitraan antara kepala
unit pelaksana teknis atau kepala unit pelaksana teknis
daerah sesuai dengan kewenangan dengan Mitra
Konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem, untuk
penyelesaian kegiatan terbangun berupa perkebunan,
pertanian, dan tambak pada kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, dan taman buru.
-3-

3. Mitra Konservasi adalah masyarakat setempat yang


tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, dan taman buru yang
melakukan kemitraan dengan kepala unit pelaksana
teknis atau kepala unit pelaksana teknis daerah sesuai
dengan kewenangan.
4. Pemulihan Ekosistem adalah kegiatan pemulihan
ekosistem kawasan suaka alam, kawasan pelestarian
alam, dan taman buru termasuk di dalamnya pemulihan
terhadap alam hayatinya sehingga terwujud
keseimbangan antara alam hayati dan ekosistemnya di
kawasan.
5. Kawasan Suaka Alam yang selanjutnya disingkat KSA
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan
maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai
wilayah sistem penyangga kehidupan.
6. Kawasan Pelestarian Alam yang selanjutnya disingkat KPA
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan
maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, seta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
7. Taman Buru yang selanjutnya disingkat TB adalah
kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu secara teratur.
8. Perjanjian Kemitraan Konservasi yang selanjutnya
disingkat PKK adalah kesepakatan bersama antara kepala
unit pelaksana teknis atau kepala unit pelaksana teknis
daerah sesuai dengan kewenangan dan Mitra Konservasi
dalam rangka pemulihan ekosistem pada KSA, KPA, atau
TB.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan.
10. Direktur Jenderal adalah pimpinan tinggi madya yang
diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
konservasi sumber daya alam dan ekosistem.
11. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT
adalah UPT direktorat jenderal yang membidangi
konservasi sumber daya alam dan ekosistem, yang
mengelola cagar alam, suaka margasatwa, taman
nasional, taman wisata alam, dan TB.
12. Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah yang selanjutnya
disingkat UPTD adalah UPT dinas daerah provinsi atau
kabupaten/kota yang mengelola taman hutan raya
dan/atau yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang kehutanan.
13. Kepala UPT atau Kepala UPTD adalah kepala balai/balai
besar atau kepala satuan kerja pemerintah daerah yang
diserahi tugas pengelolaan taman hutan raya.
-4-

Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini mengatur penyelesaian Kegiatan
Terbangun yang dilakukan sebelum tanggal 2 November
2020.
(2) Penyelesaian Kegiatan Terbangun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. memberikan kepastian hukum bagi Kegiatan
Terbangun;
b. mempertahankan keberadaan dan menjaga fungsi
KSA, KPA, dan TB secara optimal;
c. mewujudkan kesejahteraan masyarakat di sekitar
KSA, KPA, dan TB; dan
d. melaksanakan penguatan fungsi dan tata kelola KSA,
KPA, dan TB dan menjaga kelestarian
keanekaragaman hayatinya.

BAB II
JENIS KEGIATAN DAN INVENTARISASI
KEGIATAN TERBANGUN

Bagian Kesatu
Jenis Kegiatan Terbangun

Pasal 3
(1) Kegiatan Terbangun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 berupa:
a. perkebunan kelapa sawit;
b. perkebunan;
c. pertambangan; atau
d. kegiatan lain.
(2) Kegiatan Terbangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kegiatan:
a. yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha
perkebunan; dan
b. yang tidak memiliki perizinan berusaha, persetujuan
Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang
kehutanan.

Pasal 4
Kegiatan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a dan huruf b berupa kegiatan:
a. pengolahan lahan, penyemaian, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, dan pemanenan tanaman perkebunan di
dalam KSA, KPA, dan TB;
b. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil kebun yang
berasal dari kegiatan perkebunan di dalam KSA, KPA, dan
TB; dan/atau
c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun
dari kegiatan perkebunan di dalam KSA, KPA, dan TB.

Pasal 5
Kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf c berupa kegiatan:
-5-

a. operasi pertambangan, pengeboran, penggalian,


penghancuran, pencucian, penyaringan dan
pencampuran, serta pemadatan penambangan di dalam
KSA, KPA, dan TB;
b. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang
yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam KSA,
KPA, dan TB; dan/atau
c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang
dari kegiatan penambangan di dalam KSA, KPA, dan TB.

Pasal 6
(1) Kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf d berupa:
a. minyak dan gas bumi;
b. panas bumi;
c. tambak;
d. pertanian;
e. permukiman;
f. wisata alam;
g. industri; dan/atau
h. sarana dan prasarana.
(2) Kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa kegiatan yang dikategorikan sebagai kepentingan
strategis yang tidak terelakan di KSA, KPA, dan TB.
(3) Kepentingan strategis yang tidak terelakan di KSA, KPA,
dan TB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. minyak dan gas bumi;
b. panas bumi; dan/atau
c. sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
dan/atau strategis.
(4) Kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat,
instansi pemerintah, badan sosial/keagamaan, atau
badan usaha.

Bagian Kedua
Inventarisasi Kegiatan Terbangun

Pasal 7
(1) Inventarisasi Kegiatan Terbangun yang tidak memiliki
perizinan di bidang pemanfaatan KSA, KPA, dan TB
dilakukan oleh Menteri.
(2) Inventarisasi Kegiatan Terbangun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:
a. inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha
perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di
KSA, KPA, dan TB;
b. inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha
pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain
yang telah terbangun di KSA, KPA, dan TB; dan
c. penetapan data dan informasi kegiatan usaha yang
telah terbangun di KSA, KPA, dan TB.
-6-

Pasal 8
Tata cara inventarisasi data dan informasi Kegiatan Terbangun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III
SKEMA PENYELESAIAN KEGIATAN TERBANGUN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 9
(1) Penyelesaian Kegiatan Terbangun berupa perkebunan
kelapa sawit yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha
di bidang perkebunan dilakukan setelah memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan paling lambat
tanggal 2 November 2023.
(2) Penyelesaian Kegiatan Terbangun yang tidak memiliki
perizinan berusaha, persetujuan Menteri, kerja sama, atau
kemitraan di bidang kehutanan, dilakukan setelah
melaksanakan sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terlampaui, Kegiatan Terbangun berupa
perkebunan kelapa sawit yang memiliki izin lokasi
dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dikenakan
sanksi administratif berupa pembayaran denda
administratif.

Bagian Kedua
Penyelesaian Kegiatan Terbangun Perkebunan Kelapa Sawit
yang Memiliki Izin Lokasi dan/atau Izin Usaha
di Bidang Perkebunan

Pasal 10
(1) Penyelesaian Kegiatan Terbangun berupa perkebunan
kelapa sawit yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha
di bidang perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) harus sesuai dengan tata ruang pada saat
kegiatan tersebut pertama kali dibangun.
(2) Penyelesaian Kegiatan Terbangun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama.
(3) Penyelesaian Kegiatan Terbangun perkebunan kelapa
sawit sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh
orang perseorangan atau badan usaha.

Pasal 11
(1) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2) harus memenuhi ketentuan:
a. melakukan kegiatan pemulihan ekosistem;
b. tidak melakukan penanaman sawit baru; dan
-7-

c. setelah habis 1 (satu) daur selama 15 (lima belas)


tahun sejak masa tanam wajib mengembalikan areal
usaha kepada negara.
(2) Dalam hal orang perseorangan atau badan usaha yang
melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit melampaui
batas waktu 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun
sejak masa tanam dan tidak melakukan pemulihan
ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
orang perseorangan atau badan usaha dikenakan biaya
pemulihan ekosistem.
(3) Besaran biaya pemulihan ekosistem sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Kegiatan Terbangun yang Tidak Memiliki
Perizinan, Persetujuan Menteri, Kerja Sama, atau kemitraan
di Bidang Kehutanan

Pasal 12
Penyelesaian Kegiatan Terbangun yang tidak memiliki
perizinan berusaha, persetujuan Menteri, kerja sama, atau
kemitraan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) dilakukan melalui:
a. kerja sama;
b. perizinan berusaha pemanfaatan jasa lingkungan;
c. Kemitraan Konservasi; atau
d. pengembalian areal usaha dan/atau kegiatan kepada
negara.

Pasal 13
(1) Penyelesaian Kegiatan Terbangun melalui kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan
terhadap kegiatan:
a. sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
milik pemerintah pusat atau pemerintah daerah;
b. sarana dan prasarana untuk kepentingan umum;
c. minyak dan gas bumi; atau
d. permukiman.
(2) Kegiatan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dikenai
kewajiban pembayaran denda administratif.
(3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan minyak dan gas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan yang
ditetapkan sebagai proyek strategis nasional.
(4) Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dilakukan kerja sama antara kelompok
masyarakat dan Direktur Jenderal.
(5) Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d tidak dikenai kewajiban pembayaran denda
administratif.
-8-

Pasal 14
(1) Penyelesaian Kegiatan Terbangun melalui perizinan
berusaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dilakukan terhadap
kegiatan panas bumi.
(2) Kegiatan Terbangun panas bumi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
badan usaha atau instansi pemerintah.

Pasal 15
(1) Penyelesaian Kegiatan Terbangun melalui Kemitraan
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf c dilakukan terhadap kegiatan:
a. perkebunan kelapa sawit;
b. perkebunan;
c. pertanian; atau
d. tambak.
(2) Kemitraan Konservasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan dengan
ketentuan:
a. tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan; dan
b. bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar KSA,
KPA, dan TB paling singkat 5 (lima) tahun secara
terus menerus dengan luasan paling banyak 5 (lima)
hektar.
(3) Kemitraan Konservasi dilakukan oleh orang perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenai
kewajiban pembayaran denda administratif.

Pasal 16
(1) Penyelesaian Kegiatan Terbangun melalui pengembalian
areal usaha dan/atau kegiatan kepada negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d dilakukan
terhadap kegiatan:
a. perkebunan kelapa sawit;
b. perkebunan;
c. tambak;
d. pertanian;
e. pertambangan;
f. minyak dan gas bumi;
g. wisata alam;
h. industri; dan/atau
i. sarana dan prasarana untuk kepentingan strategis.
(2) Perkebunan kelapa sawit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, tambak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, dan pertanian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh:
a. orang perseorangan, dengan ketentuan:
1. tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan
dan dengan luasan lahan lebih dari 5 (lima)
hektar; atau
2. tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan,
dengan luasan lahan kurang dari 5 (lima) hektar,
dan bertempat tinggal di dalam dan/atau di
-9-

sekitar KSA, KPA, dan TB kurang dari 5 (lima)


tahun; dan
b. badan usaha, dengan ketentuan tidak memiliki
perizinan di bidang kehutanan.
(3) Kegiatan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f, serta kegiatan sarana dan prasarana
untuk kepentingan strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i merupakan kegiatan yang tidak termasuk
dalam kegiatan proyek strategis nasional.

BAB IV
TATA CARA PENYELESAIAN KEGIATAN TERBANGUN

Bagian Kesatu
Tata Cara Kerja Sama

Pasal 17
(1) Penyelesaian Kegiatan Terbangun berupa perkebunan
kelapa sawit melalui kerja sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dilakukan selama 1 (satu) daur atau 15
(lima belas) tahun sejak masa tanam dan tidak dapat
diperpanjang.
(2) Apabila jangka waktu kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) telah berakhir, orang perseorangan dan/atau
badan usaha wajib mengembalikan areal kegiatan
usahanya kepada negara.

Pasal 18
(1) Penyelesaian Kegiatan Terbangun berupa kegiatan sarana
dan prasarana milik pemerintah pusat dan pemerintah
daerah melalui kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf a diberikan untuk jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang.
(2) Penyelesaian Kegiatan Terbangun kegiatan sarana dan
prasarana untuk kepentingan umum melalui kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b
serta minyak dan gas bumi melalui kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c
diberikan sesuai dengan jangka waktu perizinan di
bidangnya.
(3) Penyelesaian Kegiatan Terbangun permukiman melalui
kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf d diberikan untuk jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) tahun.

Pasal 19
Apabila jangka waktu kerja sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) telah berakhir, pelaku
usaha atau masyarakat wajib mengembalikan areal kegiatan
usahanya kepada negara.

Pasal 20
Tata cara kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
dan Pasal 18 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 10 -

Bagian Kedua
Tata Cara Perizinan Berusaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan

Pasal 21
Penyelesaian Kegiatan Terbangun melalui perizinan berusaha
pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) diberikan sesuai dengan jangka waktu
perizinan di bidangnya dan dapat diperpanjang.

Pasal 22
Apabila jangka waktu perizinan berusaha pemanfaatan jasa
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 telah
berakhir, pelaku usaha wajib mengembalikan areal kegiatan
usahanya kepada negara.

Pasal 23
Tata cara perizinan berusaha pemanfaatan jasa lingkungan
untuk kegiatan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Tata Cara Kemitraan Konservasi

Paragraf 1
Umum

Pasal 24
Penyelesaian Kegiatan Terbangun melalui Kemitraan
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
oleh orang perseorangan dengan Kepala UPT atau Kepala UPTD
sesuai dengan kewenangan.

Pasal 25
Penyelesaian Kegiatan Terbangun melalui Kemitraan
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Kemitraan Konservasi untuk perkebunan kelapa sawit
diberikan paling lama untuk jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun atau 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun
sejak masa tanam; atau
b. Kemitraan Konservasi selain perkebunan kelapa sawit
diberikan paling lama untuk jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun.

Paragraf 2
Permohonan

Pasal 26
(1) Kemitraan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 diajukan melalui permohonan persetujuan
kepada Menteri.
(2) Untuk mengajukan permohonan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang perseorangan
harus membentuk:
- 11 -

a. kelompok masyarakat; atau


b. kelompok tani hutan.

Pasal 27
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
dilengkapi dengan persyaratan:
a. surat keputusan kelompok yang ditetapkan oleh
kepala desa;
b. identitas anggota kelompok masyarakat atau
kelompok tani hutan;
c. sketsa persil lahan yang dikuasai dengan
menampilkan lokasi/petak lahan garapan tiap
anggota;
d. pakta integritas yang bermeterai; dan
e. gambaran umum lokasi permohonan.
(2) Pakta integritas yang bermeterai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d paling sedikit memuat:
a. kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban;
b. komitmen untuk beralih ke komoditas hasil hutan
bukan kayu; dan
c. pernyataan pengakuan bahwa tidak memperluas
areal garapannya dan areal yang dikuasai merupakan
areal KSA, KPA, dan TB.
(3) Format permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 28
(1) Berdasarkan permohonan Kemitraan Konservasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27
Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk melakukan
pemeriksaan administratif.
(2) Direktur Jenderal dalam melakukan pemeriksaan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melakukan pengecekan lapangan dan pembahasan
dengan pihak terkait.

Pasal 29
(1) Direktur Jenderal menyampaikan hasil pemeriksaan
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
kepada pemohon berupa:
a. persetujuan jika hasil pemeriksaan administratif
telah memenuhi kelengkapan dan kesesuaian; atau
b. perbaikan jika hasil pemeriksaan administratif tidak
memenuhi kelengkapan dan/atau tidak memenuhi
kesesuaian.
(2) Hasil pemeriksaan administratif berupa perbaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disampaikan Direktur Jenderal kepada pemohon untuk
dilakukan perbaikan kelengkapan.
(3) Dalam hal permohonan disetujui sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a Direktur Jenderal menyampaikan
persetujuan Kemitraan Konservasi kepada Kepala UPT
atau Kepala UPTD sesuai dengan kewenangan untuk
proses selanjutnya.
- 12 -

Paragraf 3
Penyusunan Perjanjian Kemitraan Konservasi

Pasal 30
(1) Berdasarkan persetujuan Kemitraan Konservasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a
Kepala UPT atau Kepala UPTD sesuai dengan kewenangan
melakukan penyusunan PKK dengan pemohon selaku
calon Mitra Konservasi.
(2) Direktur Jenderal dapat melakukan supervisi penyusunan
PKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 31
(1) PKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 paling sedikit
memuat:
a. identitas para pihak;
b. tujuan;
c. ruang lingkup program/kegiatan Kemitraan
Konservasi;
d. letak dan luas areal kerja sama Kemitraan
Konservasi;
e. rencana pelaksanaan program/kegiatan Kemitraan
Konservasi;
f. hak dan kewajiban para pihak;
g. jangka waktu dan perpanjangan Kemitraan
Konservasi;
h. pembiayaan;
i. monitoring, evaluasi, dan pelaporan; dan
j. penyelesaian perselisihan.
(2) Format PKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 32
(1) Kepala UPT atau Kepala UPTD sesuai dengan kewenangan
menandatangani PKK bersama dengan Mitra Konservasi.
(2) PKK yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal.

Paragraf 4
Pendampingan Kemitraaan Konservasi

Pasal 33
(1) Mitra Konservasi berhak mendapatkan pendampingan
dari Kepala UPT atau Kepala UPTD sesuai dengan
kewenangan dalam melakukan Kemitraan Konservasi.
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan:
a. penyuluhan;
b. asistensi; dan/atau
c. pelatihan.
- 13 -

(3) Asistensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b


dapat berupa:
a. pembentukan, penguatan, dan pengembangan
kelompok;
b. penyusunan rencana kerja;
c. penyusunan naskah PKK; dan/atau
d. pengembangan akses informasi pasar.

Pasal 34
(1) Dalam melakukan pendampingan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 Kepala UPT atau Kepala UPTD sesuai
dengan kewenangan dapat melibatkan penyuluh
kehutanan dan/atau pihak lain.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan orang perseorangan dan/atau
organisasi/lembaga yang mempunyai kompetensi di
bidang Kemitraan Konservasi.

Bagian Keempat
Tata Cara Pengembalian Areal Usaha dan/atau Kegiatan
kepada Negara

Pasal 35
(1) Pengembalian areal usaha dan/atau kegiatan kepada
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan
setelah pelaku usaha melakukan pembayaran denda
administratif.
(2) Pelaku usaha menyampaikan surat pernyataan kepada
Menteri mengenai pengembalian areal usaha kepada
negara.

Bagian Kelima
Pemulihan Ekosistem

Pasal 36
(1) Pelaku usaha dan/atau masyarakat yang telah
mendapatkan rekomendasi penyelesaian kegiatan harus
melakukan Pemulihan Ekosistem pada areal usahanya.
(2) Tata cara Pemulihan Ekosistem sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

BAB V
MONITORING, EVALUASI, PEMBINAAN, DAN PENGENDALIAN

Bagian Kesatu
Monitoring dan Evaluasi

Pasal 37
(1) Kepala UPT atau Kepala UPTD sesuai dengan kewenangan
melakukan monitoring atas pelaksanaan penyelesaian
Kegiatan Terbangun paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.
(2) Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan oleh Kepala UPT atau Kepala UPTD sesuai
dengan kewenangan kepada Direktur Jenderal.
- 14 -

(3) Laporan hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) disusun sesuai dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 38
(1) Laporan hasil monitoring sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 disampaikan oleh Direktur Jenderal kepada
Menteri setiap 6 (enam) bulan sekali.
(2) Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi bahan pelaksanaan evaluasi Kegiatan Terbangun
oleh Menteri.

Pasal 39
(1) Evaluasi atas pelaksanaan penyelesaian Kegiatan
Terbangun dilaksanakan oleh Kepala UPT atau Kepala
UPTD sesuai dengan kewenangan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum
jangka waktu berakhir atau sesuai dengan kebutuhan.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaporkan kepada Direktur Jenderal sesuai dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

Pasal 40
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dapat melibatkan
lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan/atau
pihak lain yang memiliki kompetensi terkait.

Bagian Kedua
Pembinaan dan Pengendalian

Pasal 41
(1) Pembinaan dan pengendalian atas pelaksanaan
penyelesaian Kegiatan Terbangun dilakukan oleh:
a. Direktur Jenderal; dan/atau
b. Kepala UPT atau Kepala UPTD sesuai dengan
kewenangan.
(2) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. bimbingan;
b. pelatihan;
c. arahan;
d. supervisi; dan/atau
e. monitoring dan evaluasi.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42
(1) Perjanjian kerja sama dan perjanjian kerja sama
Kemitraan Konservasi Kegiatan Terbangun yang telah
ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini,
- 15 -

tetap sah dan berlaku sampai dengan berakhirnya


perjanjian.
(2) Perjanjian kerja sama dan perjanjian kerja sama
Kemitraan Konservasi Kegiatan Terbangun yang masih
dalam proses dan belum mendapatkan persetujuan
Menteri, harus diproses berdasarkan ketentuan mengikuti
Peraturan Menteri ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. ketentuan Pasal 139 huruf a, Pasal 163 ayat (4), Pasal 175
ayat (1) huruf e, Pasal 178 ayat (1) huruf c, Pasal 179
huruf a, dan Pasal 194 Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan, dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan,
serta Penggunaan Kawasan Hutan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 322); dan
b. ketentuan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 3 ayat (2) Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9
Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 320),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 44
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 17 -

LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP
DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2023
TENTANG
PENYELESAIAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TERBANGUN DI
KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM, DAN
TAMAN BURU

FORMAT PERMOHONAN KEMITRAAN KONSERVASI

A. Format Surat Permohonan Kemitraan Konservasi

KOP SURAT
(Kelompok)

......................, ............ 20.......


Nomor : ...
Lampiran : 1 (satu) eks
Hal : Permohonan Persetujuan Kemitraan Konservasi

Kepada Yth.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini;


Nama : ...
No. Telp : ...
Jabatan : Ketua Kelompok …

Mengajukan permohonan Persetujuan Kemitraan Konservasi yang berlokasi di


Kawasan :…
Zona/Blok : …
Resor :…
Desa :…
Kecamatan : …
Kabupaten : …
Provinsi :…
Luas : … hektar
Untuk kegiatan … (perkebunan non sawit/pertanian/tambak)

Sebagai bahan pertimbangan, terlampir kami sampaikan dokumen:


a. Surat Arahan Direktur Jenderal.
b. SK kelembagaan kelompok.
c. Daftar anggota kelompok (cetakan dan softfile), fotocopy KTP dan kartu
keluarga.
d. Gambaran umum lokasi.
e. Peta lokasi.
f. Surat Pernyataan/Pakta Integritas.
- 18 -

Demikian, atas pertimbangan Bapak/Ibu Menteri kami ucapkan terima


kasih.

Mengetahui Ketua

ttd dan cap basah

Kepala Desa setempat Ketua Kelompok

Tembusan:
1. Direktur Jenderal KSDAE
2. Kepala Balai TN/KSDA
3. Kepala UPTD …
4. Bupati/Wali kota ...
5. Kepala Dinas …
- 19 -

B. Format Keputusan Kepala Desa tentang Pembentukan/Penetapan


Kelompok

KOP SURAT KEPALA DESA

KEPUTUSAN KEPALA DESA/LURAH …


KECAMATAN …KABUPATEN/KOTA …
No. …
TENTANG
PENETAPAN PEMBENTUKAN KELOMPOK …

Yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Desa/Lurah …, Kecamatan ...,


Kabupaten/Kota ..., dengan memperhatikan Berita Acara Kesepakatan
Pembentukan Kelompok … dengan ini kami menetapkan:

… (Nama Kelompok)
Desa/Kelurahan ... Kecamatan ... Kabupaten/Kota …

Dengan susunan pengurus dan keanggotaan, sebagaimana tersebut dalam


lampiran keputusan ini.

Demikian surat penetapan pembentukan kelompok ..., agar diketahui kelompok


.. yang bersangkutan dan pihak-pihak yang terkait.

Tanggal ... Bulan ... ,20 ...

Kepala Desa/Lurah ...

ttd


Tembusan :
1. Camat
2. Arsip
- 20 -

C. Format Daftar Identitas Anggota Kelompok

Disajikan dalam matrik (format xls), yang memuat informasi:


1. Nomor
2. Nomor Kartu Kelauarga
3. NIK
4. Nama
5. Usia/tanggal lahir
6. Jenis kelamin
7. Pekerjaan (mata pencaharian)
8. Alamat
- RT/RW
- Desa/kelurahan
- Kecamatan
- Kabupaten
- Provinsi
- Pekerjaan
9. Luas penggunaan lahan di kawasan

No KK NIK Nama Usia / Jenis pekerjaan Alamat Luas


Tanggal kelamin penggunaan
lahir lahan
RT/RW Desa Kec Kab Prov
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Alat verifikasi: KTP/surat keterangan, kartu keluarga

Mengetahui Ketua Kelompok


Kepala Desa

( …………………………… ) ( …………………………… )
- 21 -

D. Format Gambaran Umum Calon Lokasi

1. Sejarah pengelolaan/penggunaan lahan: …


Letak dan luas
a. Kawasan :…
b. Zona/Blok :…
c. Resor :…
d. Desa :…
e. Kecamatan :…
f. Kabupaten :…
g. Provinsi :…
h. DAS/Sub DAS : …
i. Luas : … hektar
2. Batas-batas
a. Sebelah Utara :…
b. Sebelah Selatan :…
c. Sebelah Timur :…
d. Sebelah Barat :…
3. Kondisi fisik
a. Jenis & kondisi tutupan lahan : …
b. Biodiversitas :
- Jenis pohon dan tumbuhan lainnya) :…
- Jenis fauna (satwa liar) :…
- Jenis ekosistem/habitat :…
- Sungai/situ/danau dst i : ...
c. Ketinggian : kisaran … s/d …dpl
d. Kelerengan : kisaran … %
e. Topografi dominan : datar/bergelombang/berbukit/curam *)
f. Jenis tanah : …
g. Curah hujan : …
h. Aksesibilitas (jarak dari rumah tinggal ke lokasi: … (kisaran)
i. Pola/praktik pengelolaan/penggunaan lahan dan hutan: ...
(ladang/kebun monokultur/campuran/agroforestry/pertanian/
sawah/ tambak dll
j. Jenis tanaman pokok yang diusahakan/dibudidayakan masyarakat:
- ...
- ...
- ...
- dst
k. Jenis tanaman pokok (komoditas) yang diperdagangkan
- ...
- ...

4. Kearifan lokal terkait pengelolaan/penggunaan lahan & hutan (jika masih


ada dan dipraktekan) : ...

5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa


a. Jenis-jenis komoditas utama yang dihasilkan : ...
b. Jenis-jenis komoditas utama diperdagangkan : ...
- 22 -

c. Jumlah Penduduk berdasarkan jenis kelamin


- Jumlah Penduduk : ...
- Jumlah Laki-Laki : ...
- Jumlah Perempuan : ...
- Jumlah Kepala Keluarga : ...
d. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
- Tidak sekolah : ...
- SD : ...
- SMP /SLTP : ...
- SMA /SLTA : ...
- Diploma : ...
- S1/S2/S3 : ...
e. Jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan/mata pencaharian
- Petani : ...
- Buruh Tani : ...
- PNS/TNI/Polri : ...
- Pegawai Swasta : ...
- Buruh : ...
- Wiraswasta : ...
- Pengrajin : ...
- Pengusaha : ...
- Ibu rumah tangga : ...
- Pedagang : ...
- Purnawirawan/pensiunan : ...
- Belum bekerja : ...
f. Jumlah penduduk (kepala keluarga) berdasarkan kepemilikan lahan
- Tidak memiliki : ...
- 0,1 – 0,25 Ha : ...
- >0,25 – 0,5 Ha : ...
- >0,5 – 0,75 Ha : ...
- >0,75 – 1,0 Ha : ...
- >1,0 – 1,25 Ha : ...
- >1,25 – 1,5 Ha : ...
- >1,5 – 1,75 Ha : ...
- >1,75 – 2,0 Ha : ...
- > 2,0 Ha : ...
g. Infrastruktur Jalan : ...
h. Sarana prasarana kesehatan
- Jumlah Puskesmas : ...
- Jumlah posyandu : ...
- Jumlah rumah bersalin : ...
i. Sarana Prasarana Pendidikan
- Jumlah Madrasah/Pesantren : ...
- Jumlah SD/sederajat : ...
- Jumlah SMP/Sederajat : ...
- Jumlah SMU/Sederajat : ...
- 23 -

E. Format Peta Lokasi Permohonan Persetujuan Kemitraan Konservasi

Memuat informasi:
1. Judul: PETA LOKASI PERMOHONAN PERSETUJUAN KEMITRAAN
KONSERVASI
2. Nama kelompok: ...
3. Lokasi: di Kawasan Konservasi …, zona/blok …, wilayah resor
pengelolaan …
4. Lokasi administratif: Desa … Kecamatan … Kabuptaen … Provinsi …
5. Luas: …
6. Skala (minimal 1:50.000 atau menyesuaikan)
7. Dasar/sumber informasi peta
8. Legenda: sungai, jalan, zonasi/blok, lokasi kemitraan konservasi
9. Peta permohonan telah diverifikasi dan ditandatangani oleh Pihak
pengelola Kawasan (UPT/UPTD) dan Ketua kelompok
10. Logo KLHK, logo UPT, dan logo KTHK

Disampaikan dalam bentuk cetak (hardcopy), softfile (.pdf), dan shape file
(.shp)
- 24 -

F. Format Surat Pernyataan/Pakta Integritas

Kami yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :…
NIK :…
Alamat :…
No Telp. :…
Jabatan : Ketua Kelompok ... dengan anggota (… orang), sesuai daftar
terlampir
Dalam rangka kelengkapan permohonan kemitraan konservasi yang berlokasi
di:
Kawasan :…
Desa :…
Kecamatan : …
Kabupaten : …
Provinsi :…
Luas : … hektar

MENYATAKAN

1. Nama-nama anggota Kelompok ... adalah benar-benar masyarakat setempat


(penggarap) yang memenuhi syarat mengajukan permohonan persetujuan
kemitraan konservasi.
2. Kelompok mengakui bahwa lokasi areal kemitraan konservasi (dimohon)
adalah bagian dari kawasan … yang ditetapkan untuk tujuan konservasi.
3. Kelompok … dalam permohonan persetujuan kemitraan konservasi,
menjamin tidak ada konflik dengan pihak-pihak lain.
4. Kelompok akan melaksanakan kemitraan konservasi sesuai dengan
ketentuan:
a. Menjaga, mengamankan areal kemitraan konservasi dari kebakaran,
perburuan, penyerobotan lahan, penebangan pohon, penambangan,
dan gangguan kawasan lainnya;
b. Melakukan pemulihan ekosistem secara bertahap pada areal kemitraan
konservasi;
c. Tidak akan melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi dan
peruntukan kawasan konservasi antara lain:
1) tidak menebang pohon;
2) tidak memasukkan/menanam jenis asing dan atau jenis yang
dapat menimbulkan kerusakan habitat maupun ekosistem
asli/alami dan keanekaragaman hayati;
3) tidak menggunakan bahan/materi berbahaya/beracun atau yang
dapat menimbulkan kerusakan habitat/ekosistem alami dan
keanekaragaman hayati;
4) tidak menggunakan peralatan mekanis yang mengakibatkan
perubahan bentang alam maupun kerusakan habitat/ekosistem
asli /populasi jenis/ dan keanekaragaman hayati;
5) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang
alam atau tidak sesuai di dalam kawasan konservasi;
6) tidak menambah/memperluas areal garapan dalam kawasan
konservasi;
- 25 -

7) Tidak memindahtangankan, mengagunkan atau menyewakan


areal persetujuan kemitraan konservasi;
8) Tidak menanam kelapa sawit pada areal kemitraan konservasi;
9) akan beralih mata pencaharian lain yang tidak tergantung pada
areal garapan di kawasan konservasi.
10) Siap menerima sanksi apabila melanggar ketentuan pelaksanaan
kemitraan konservasi.

Demikian pakta integritas ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan


ditandatangani dengan meterai cukup. Apabila dikemudian hari terdapat
kekeliruan dan informasi yang tidak benar, kami bersedia
mempertanggungjawabkannya secara hukum.

Ketua kelompok ...

ttd dan cap basah


Di atas meterai Rp.10.000,-

Mengetahui

Kepala UPT/UPTD Kepala Desa

( ………………… ) ( ………………… )
- 27 -

LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP
DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2023
TENTANG
PENYELESAIAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TERBANGUN DI
KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM, DAN
TAMAN BURU

FORMAT PERJANJIAN KEMITRAAN KONSERVASI

LOGO LOGO LOGO


KLHK UPT KTH

PERJANJIAN KEMITRAAN KONSERVASI


ANTARA

DAN

Nomor : …
Nomor : …
TENTANG
KEMITRAAN KONSERVASI
DI …
TAMAN NASIONAL …

Pada hari ini … tanggal …, bulan …, tahun …, bertempat di … kami yang


bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : …
Jabatan : …
Alamat : …
Berdasarkan : Surat Keputusan …
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Balai …, Direktorat Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, selanjutnya disebut PIHAK KESATU;
2. Nama : …
Jabatan : …
Alamat : …

Berdasarkan : …
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kelompok Tani Hutan …,
selanjutnya disebut PIHAK KEDUA;
- 28 -

PIHAK KESATU dan PIHAK KEDUA, dalam perjanjian ini selanjutnya secara
bersama-sama disebut PARA PIHAK,

PARA PIHAK menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:


1. Bahwa kawasan … ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan … dan
telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan … seluas ... hektar.
2. Bahwa Rencana Pengelolaan Jangka Panjang … Tahun … telah
ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor .., tanggal …, tentang ...
3. Bahwa Zona/Blok … telah ditetapkan melalui Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem Nomor …, tanggal …, tentang …
4. PIHAK PERTAMA merupakan …
5. PIHAK KEDUA merupakan …
6. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor … Tahun … tentang
Penyelesaian Kegiatan Terbangun di KSA, KPA dan TB, bahwa pola
penyelesaian kegiatan terbangun berupa lahan garapan
masyarakat yang telah dikuasai paling sedikit 5 tahun dan paling
luas 5 hektar oleh orang perseorangan setelah kawasan tersebut
ditunjuk sebagai kawasan hutan, diselesaikan melalui skema
Kemitraan Konservasi.
7. Bahwa PIHAK KEDUA telah mengajukan permohonan Kemitraan
Konservasi kepada PIHAK KESATU melalui surat Ketua KTH …
Nomor … tanggal …
8. Bahwa areal seluas … ha yang digarap oleh Kelompok Tani Hutan
., telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri LHK Nomor:
SK. … Tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah
Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan
di Bidang Kehutanan Tahap VI, dan telah dilakukan verifikasi
teknis pada tanggal …
9. Bahwa PIHAK KEDUA melalui Surat Pernyataan bermeterai tanggal
… Telah menyatakan pengakuan bahwa lokasi Kemitraan
Konservasi merupakan bagian dari kawasan …, sehingga tidak
dapat dijadikan Hak Milik dan/atau diperjualbelikan, serta akan
mendukung skema Kemitraan Konservasi.
10. Bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Nomor … tanggal … telah memberikan persetujuan penyelesaian
terhadap …, untuk tidak dikenakan sanksi kewajiban pembayaran
denda administratif, dan dapat ditindaklanjuti melalui skema
Kemitraan Konservasi.
11. … dst.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, PARA PIHAK telah setuju dan
bersepakat untuk mengadakan Perjanjian Kemitraan Konservasi dengan
ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal
berikut ini:
- 29 -

Pasal 1
TUJUAN

Tujuan perjanjian kemitraan konservasi ini adalah untuk:


1. …
2. …
3. …

Pasal 2
RUANG LINGKUP

Ruang lingkup perjanjian kemitraan konservasi ini meliputi:


1. …
2. …
3. …

Pasal 3
LETAK DAN LUAS AREAL KEMITRAAN KONSERVASI

(1) Areal kegiatan Kemitraan Konservasi berada di … (meliputi informasi


letak wilayah administrasi,wilayah pengelolaan, zona/blok …)
(2) Areal kegiatan Kemitraan Konservasi dengan luas … hektar,
sebagaimana tergambar dalam Peta lampiran yang merupakan
bagiantidak terpisahkan dari Perjanjian Kemitraan Konservasi ini.

Pasal 4
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

(1) Perjanjian Kemitraan Konservasi ditindaklanjuti dengan


penyusunan Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan dijabarkan ke
dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT).
(2) RPP dan RKT wajib disusun dan disahkan paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah ditandatangani Perjanjian Kemitraan Konservasi ini.
(3) Dalam hal RPP dan RKT pada ayat (2) tidak tersusun, maka
Perjanjian Kemitraan Konservasi dibatalkan oleh PIHAK KESATU.

Pasal 5
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

(1) PIHAK KESATU berkewajiban:


a. bersama PIHAK KEDUA menyusun dan melaksanakan Rencana
Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT),
disesuaikan dengan Zonasi dan Rencana Pengelolaan kawasan ...;
b. melakukan pendampingan kepada PIHAK KEDUA yang dapat
dibantu oleh pihak lain yang disetujui PARA PIHAK terkait
pelaksanaan kerja sama dan dalam rangka pemberdayaan untuk
diversifikasi mata pencaharian masyarakat sehingga mengurangi
ketergantungan terhadap Kawasan ...;
c. melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap
PIHAK KEDUA terkait pelaksanaan kerja sama;
- 30 -

d. bersama PIHAK KEDUA melaksanakan kegiatan monitoring dan


evaluasi kerja sama serta menyusun laporannya setiap 6 (enam)
bulan sekali;
e. melakukan pengawasan terhadap PIHAK KEDUA dalam
pemanfaatan tumbuhan invasif yang ditebang/dimusnahkan
pada kegiatan pemulihan ekosistem;
f. memberikan pendampingan kepada PIHAK KEDUA apabila PIHAK
KEDUA akan melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam
lingkup pelaksanaan kerja sama ini.
(2) PIHAK KESATU berhak:
a. menerima kontribusi dari PIHAK KEDUA dalam bentuk in-kind
sebagaimana tertuang dalam ruang lingkup kerja sama antara
lain berupa hasil penanaman pohon jenis asli kawasan……;
b. mendapat dukungan PIHAK KEDUA berupa penyediaan sarana
dan prasarana pendukung kegiatan kerja sama;
c. mendapatkan dukungan dari PIHAK KEDUA berupa bantuan
penjagaan areal kemitraan konservasi dan kawasan…… di
sekitarnya dari berbagai gangguan keamanan hutan antara lain
kebakaran hutan, perburuan, penyerobotan lahan dan
penambangan;
d. mendapatkan dukungan dari PIHAK KEDUA dalam menjaga dan
melindungi keberadaan kehidupan liar yang berada di areal kerja
sama dan sekitarnya;
e. mendapatkan data dan informasi terkait kemitraan konservasi
yang diperlukan dari PIHAK KEDUA;
f. mendapatkan laporan dari PIHAK KEDUA terkait pelaksanaan
kegiatan di areal kemitraan konservasi;
g. bersama-sama PIHAK KEDUA melakukan monitoring dan
evaluasi kegiatan kemitraan konservasi setiap 6 (enam) bulan
sekali dan evaluasi Perjanjian kemitraan konservasi;
h. memberikan keputusan terkait persetujuan kepada PIHAK
KEDUA untuk dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain
dalam lingkup pelaksanaan kemitraan konservasi ini.
(3) PIHAK KEDUA berkewajiban:
a. tidak melakukan penambahan luas areal garapan, serta tidak
memindah tangankan hak-hak atas areal Kemitraan Konservasi
kepada pihak lain;
b. mengurangi jenis tanaman garapan/budidaya secara bertahap;
c. tidak menggunakan bahan/materi yang berbahaya, beracun,
dan/atau mencemari KSA, KPA, dan TB;
d. menanam tanaman kehutanan secara heterogen paling lambat 1
(satu) tahun setelah naskah Perjanjian Kemitraan Konservasi
ditandatangani;
e. melaksanakan kegiatan–kegiatan pemulihan ekosistem secara
bertahap;
f. menyediakan sarana prasaranan pendukung Kemitraan
Konservasi;
g. menjaga KSA, KPA, dan TB dari kebakaran hutan, perburuan,
penyerobotan lahan, penambangan, penebangan liar, dan
penggembalaan liar;
h. membantu PIHAK PERTAMA dalam penanganan konflik manusia
dengan satwa liar;
i. melaporkan kepada PIHAK PERTAMA apabila menemukan
gangguan di dalam atau di sekitar areal kemitraannya; dan
- 31 -

j. melakukan pencatatan dan pelaporan hasil Kemitraan Konservasi


kepada PIHAK PERTAMA secara rutin dan berjenjang.
k. dst.
(4) PIHAK KEDUA berhak:
a. mendapatkan pendampingan dari PIHAK PERTAMA, berupa
fasilitasi dalam rangka pemberdayaan untuk beralih mata
pencaharian dan mengurangi ketergantungan pada lahan
garapan;
b. memanfaatkan tanaman di lahan garapan selama periode jangka
benah;
c. dst.
Pasal 6
KEKAYAAN INTELEKTUAL

(1) Setiap Kekayaan Intelektual milik masing-masing pihak yang dibawa


dan digunakan dalam Perjanjian Kemitraan Konservasi ini tetap
menjadi milik masing-masing pihak dan pemilik Kekayaan
Intelektual bertanggung jawab atas semua gugatan yang diajukan
oleh pihak manapun terhadap kepemilikan dan keabsahan
Kekayaan Intelektual tersebut.
(2) Sepanjang menghasilkan nilai tambah, baik dalam bentuk materiil
maupun immaterial seperti hak kekayaan intelektual, royalti,
barang, dan jasa akan menjadi milik para pihak dan akan diatur
lebih lanjut dalam perjanjian tersendiri dengan didasarkan pada
kontribusi masing-masing pihak dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 7
PUBLIKASI

(1) Publikasi, laporan, dan informasi lain yang dihasilkan dari


Kemitraan Konservasi ini wajib mendapatkan persetujuan dari
PIHAK KESATU;
(2) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
mencantumkan logo PARA PIHAK secara proporsional;
(3) PARA PIHAK dalam publikasi wajib mendapatkan salinan publikasi
tersebut.

Pasal 8
JANGKA WAKTU DAN PERPANJANGAN

(1) Jangka waktu Perjanjian Kemitraan Konservasi ini berlaku selama


... (...) tahun sejak ditandatangani Perjanjian Kemitraan Konservasi
ini dan dapat diperpanjang berdasarkan persetujuan PARA PIHAK
dan hasil evaluasi Tim Unit Pengelola.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidakada realisasi kegiatan sebagaimana yang telah disepakati PARA
PIHAK, maka Perjanjian Kemitraan Konservasi ini batal demi
hukum.
- 32 -

Pasal 9
BERAKHIRNYA PERJANJIAN KEMITRAAN KONSERVASI

Perjanjian Kemitraan Konservasi ini berakhir, apabila:


a. Jangka waktu perjanjian telah berakhir;
b. Salah satu pihak mengundurkan diri. Pengajuan pengunduran diri
ini sekurang-kurangnya dilakukan 3 (tiga) bulan sebelumnya; atau
c. PIHAK KEDUA melakukan tidak melakukan kewajiban dalam
Perjanjian Kemitraan Konservasi ini dan/atau melakukan tindak
pidana kehutanan;

Pasal 10
PEMBIAYAAN

(1) Seluruh biaya dalam rangka pelaksanaan kegiatan ini bersumber


dari PARA PIHAK dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
(2) Perencanaan dan penggunaan biaya yang diperlukan dalam
pelaksanaan Kemitraan Konservasi ini berdasarkan asas dan
prinsip efektivitas,efisiensi, dan transparansi.

Pasal 11
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN

(1) Monitoring dilakukan sedikitnya 6 (enam) bulan sekali.


(2) Evaluasi dilakukan oleh PARA PIHAK paling lambat 6 (enam) bulan
sebelum jangka waktu berakhir atau sesuai dengan kebutuhan.
(3) Pelaporan disusun bersama oleh PARA PIHAK secara periodik
mencakup hasil-hasil kegiatan beserta perkembangannya, kendala
dan permasalahan lain yang dihadapi.

Pasal 12
KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)

(1) Apabila terjadi hal–hal yang di luar kekuasaan PARA PIHAK atau
force majeure, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya
penyesuaian kegiatan dan waktu pelaksanaan kemitraan
konservasi dengan persetujuan PARA PIHAK.
(2) Force majeure sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
keadaan:
a. bencana alam;
b. tindakan pemerintah di bidang fiskal dan moneter.
c. keadaan keamanan yang tidak mengizinkan.
(3) Dalam hal terjadi force majeure sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), pihak yang terkena force majeure harus memberitahukan
kepada pihak lainnya secara tertulis paling lambat dalam waktu 7
(tujuh) hari sejak terjadinya force majeure.
(4) Dalam hal force majeure terjadi terus menerus melebihi 30 (tiga
puluh) hari yang berdampak pada kemampuan salah satu pihak
dalam melaksanakan kewajiban berdasarkan Perjanjian Kemitraan
Konservasi ini, maka pihak yang terkena dampak force majeure
tersebut dapat mengajukan pengakhiran Perjanjian Kemitraan
Konservasi.
- 33 -

Pasal 13
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

(1) Apabila dikemudian hari terdapat perselisihan dalam pelaksanaan


Perjanjian Kemitraan Konservasi ini, PARA PIHAK sepakat untuk
menyelesaikan secara musyawarah mufakat.
(2) Apabila upaya penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak membawa hasil yang diharapkan, PARA PIHAK
sepakat untuk menyelesaikan secara mediasi, dimana masing-
masing pihak menunjuk seorang wakilnya dan seorang yang
ditunjuk bersama PARAPIHAK.

Pasal 14
PERUBAHAN (ADDENDUM)

(1) PARA PIHAK sepakat bahwa setiap perubahan dalam Perjanjian


Kemitraan Konservasi ini hanya dapat dilakukan atas persetujuan
tertulis PARA PIHAK.
(2) Setiap perubahan (Addendum) sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), hanya berlaku dan mengikat jika telah disepakati oleh PARA
PIHAK dalam bentuk tertulis dibuat dalam suatu Addendum atau
Amandemendan ditandatangani oleh wakil-wakil yang berwenang
dari PARA PIHAK yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dalam Perjanjian Kemitraan Konservasi ini.
(3) Usul perubahan (Addendum) sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (2), diajukan oleh PIHAK yang satu kepada PIHAK lain
selambat- lambatnya 1 (satu) bulan sebelum berlakunya
perubahan yang diusulkan.

Pasal 15

Dalam hal di dalam tenggang waktu pelaksanaan kemitraan konservasi


ini terjadi perubahan peraturan perundang-undangan atau kebijakan
terkait dengan Perjanjian Kemitraan Konservasi ini, PARA PIHAK
sepakat untuk melakukan addendum terhadap Perjanjian Kemitraan
Konservasi ini dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan atau kebijakan tersebut.

Pasal 16
KETENTUAN PENUTUP

(1) PARA PIHAK dalam Perjanjian Kemitraan Konservasi ini


menyatakan dan menjamin kepada PIHAK lainnya bahwa mereka
telah melakukan seluruh tindakan yang diperlukan berdasarkan
anggaran dasar masing-masing PIHAK dan peraturan perundang-
undangan dalam rangka menandatangani Perjanjian Kemitraan
Konservasi ini.
(2) Setiap PIHAK dalam Perjanjian Kemitraan Konservasi ini
menyatakan dan menjamin kepada PIHAK lainnya bahwa
penandatanganan dari Perjanjian Kemitraan Konservasi ini adalah
benar merupakan pihak-pihak yang berwenang untuk bertindak
untuk dan atas nama PIHAK tersebut.
- 34 -

(3) Perjanjian Kemitraan Konservasi ini berlaku sejak tanggal, bulan,


tahun tersebut di atas yang dibuat dalam 2 (dua) rangkap serta
bermeterai cukup dan masing-masing mempunyai kekuatan
hukum yang sama.

Demikian Perjanjian Kemitraan Konservasi ini dibuat dengan itikad


baik, untuk dilaksanakan oleh PARA PIHAK.

PIHAK KEDUA, PIHAK KESATU,

………………………. ……………………….
- 36 -

LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN
HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2023
TENTANG
PENYELESAIAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN TERBANGUN DI
KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM, DAN
TAMAN BURU

FORMAT HASIL MONITORING DAN HASIL EVALUASI

1. Unit Pengelola : …

2. Kawasan konservasi : …

4. Nama kelompok (mitra : …


konservasi)
5. Legalitas kemitraan : Perjanjian Kemitraan Konservasi
konservasi Nomor :
6. Jenis kemitraan : …
konservasi
7. Tujuan : …

8. Ruang lingkup : …
kegiatan
9 Jangka Waktu : …
Kemitraan
Konservasi
10. Pelaksanaan : 1) Realisasi Kegiatan
Kemitraan
Konservasi : 2) Kegiatan yang belum dilaksanakan

11. Pendanaan : 1) Sumber


2) Nilai
12. Pelaksanaan : 1) Nama pendamping
Pendampingan
: 2) Asal pendamping (UPT/UPTD atau
pihak lainnya …)

13. Hasil (output dan : 1) Output (hasil langsung yang dicapai


outcome) dalam jangka pendek) baik dari sisi
masyarakat maupun Kawasan
2) Outcome (hasil selanjutnya setelah
pelaksanaan Kemitraan Konservasi)
baik dari sisi masyarakat maupun
kawasan
Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Kehutanan
SALINAN

PRESIOEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 23 TAHUN 2021

TENTANG

PENYELENGGARAAN KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 36 dan Pasal 185


huruf b Undang-Undang Nomor l1 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Kehutanan ;

Mengingat 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun1945;
2. Undang-Undang Nomor 4l Tahun l99g tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4 tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2OO4 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 4I Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2OO4 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 44121;

3. Undang-Undang.

SK No 087489 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA.
-2-
3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN
KEHUTANAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut
paut dengan Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan
yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
3. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai Hutan Tetap.
4. Hutan Negara adalah Hutan yang berada pada tanah yang
tidak dibebdni hak atas tanah.
5. Kawasan Hutan Negara adalah wilayah tertentu yang
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai Hutan Tetap yang berada pada
tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
6. Hutan Hak adalah Hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah.
7. Hutan Adat adalah Hutan yang berada dalam wilayah
Masyarakat Hukum Adat.
8. Hutan Konservasi adalah Kawasan Hutan dengan ciri
khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.
9. Hutan...

SK No 087488 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-3-
9. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
10. Hutan Produksi adalah Kawasan Hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan.
11. Hutan Produksi Tetap adalah Kawasan Hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan yang
dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap.
12. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi adalah Kawasan
Hutan Produksi yang secara ruang dapat dicadangkan
untuk pembangunan di luar kegiatan Kehutanan dan
dapat dijadikan Hutan Produksi Tetap.
13. Hutan Tetap adalah Hutan yang dipertahankan
keberadaannya sebagai Kawasan Hutan yang terdiri dari
Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi
Tetap.
L4. Kawasan Hutan Suaka Alam adalah Hutan dengan ciri
khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai
pengawetan keanekeragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan.
15. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah Hutan dengan
ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
16. Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan,
penentuan kegiatan, dan perangkat yang diperlukan
dalam pengurusan Hutan lestari untuk memberikan
pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan Kehutanan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran ralryat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
17. Sistem Informasi Kehutanan adalah kegiatan pengelolaan
data yang meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan,
dan penyajian serta tata caranya.

18. Pengukuhan ..

SK No 087487 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
18. Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan
Penunjukan Kawasan Hutan, Penataan Batas Kawasan
Hutan, pemetaan Kawasan Hutan, dan Penetapan
Kawasan Hutan dengan tujuan untuk memberikan
kepastian hukum atas status, letak, batas, dan luas
Kawasan Hutan.
19. Penunjukan Kawasan Hutan adalah penetapan awal
peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai Kawasan
Hutan.
20. Penataan Batas Kawasan Hutan adalah kegiatan yang
meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas,
pengumuman, inventarisasi, dan penyelesaian hak-hak
pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran, dan
pemetaan, serta pembuatan berita acara tata batas.
21. Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu penegasan
tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas
suatu Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan Tetap.
22. Trayek Batas adalah uraian arah Penataan Batas Kawasan
Hutan yang memuat jarak dan azimut dari titik ke titik
ukur dan di lapangan ditandai dengan rintis batas dan
patok batas atau tanda-tanda lainnya.
23. Penatagunaan Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan
dalam rangka menetapkan fungsi dan Penggunaan
Kawasan Hutan.
24. Unit Pengelolaan Hutan adalah Kesatuan Pengelolaan
Hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya,
yang dapat dikelola secara efisien, efektif, dan lestari.
25. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
dibatasi oleh pemisah topografi berupa punggung bukit
atau gunung yang berfungsi menampung air yang berasal
dari curah hujan, menyimpan, dan mengalirkannya ke
danau atau laut secara alami.
26. Taman Buru adalah Kawasan Hutan yang ditetapkan
sebagai tempat wisata berburu.
27. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan adalah
perubahan Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan
Hutan.
28. Perubahan ...

SK No 087486 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
28. Perubahan Fungsi Kawasan Hutan adalah perubahan
sebagian atau seluruh fungsi Hutan dalam satu atau
beberapa kelompok Hutan menjadi fungsi Kawasan Hutan
yang lain.
29. Pelepasan Kawasan Hutan adalah perubahan
peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang dapat
Dikonversi dan/atau Hutan Produksi Tetap menjadi
bukan Kawasan Hutan.
30. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan adalah
persetujuan tentang Perubahan Peruntukan Kawasan
Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan/atau Hutan
Produksi Tetap menjadi bukan Kawasan Hutan yang
diterbitkan oleh Menteri.
31. Penggunaan Kawasan Hutan adalah penggunaan atas
sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan Kehutanan tanpa
mengubah fungsi dan peruntukan Kawasan Hutan.
32. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan adalah
persetujuan penggunaan atas sebagian Kawasan Hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
Kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan
Kawasan Hutan tersebut.
33. Penelitian Terpadu adalah penelitian yang dilakukan oleh
lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan
memiliki otoritas ilmiah (scientific authoitg) yang
dilakukan bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.
34. Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disingkat
KPH adalah wilayah pengelolaan Hutan sesuai fungsi
pokok dan peruntukannya, yang dikelola secara efisien,
efektif, dan lestari.
35. Kepala KPH adalah pimpinan pemegang kewenangan dan
penanggung jawab pengelolaan Hutan dalam wilayah yang
dikelolanya.
36. Tata Hutan adalah kegiatan menata ruang Hutan dalam
rangka pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
yang intensif, efisien, dan efektif untuk memperoleh
manfaat yang lebih optimal dan berkelanjutan.
37. Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan
Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka
menyelesaikan permasalahan Masyarakat di dalam
Kawasan Hutan.
38. Penataan ...

SK No 087485 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
38. Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan
Kawasan Hutan adalah kegiatan Tata Hutan yang antara
lain meliputi pembagian Kawasan Hutan menjadi unit-
unit manajemen Hutan terkecil (blok dan petak)
berdasarkan satuan ekosistem, kesamaan umur tanaman,
tipe, fungsi, dan rencana Pemanfaatan Hutan.
39. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk
memanfaatkan kawasan, memanfaatkan j asa lingkungan,
memanfaatkan hasil Hutan kayu dan bukan ka1ru,
memungut hasit Hutan kayu dan bukan kayu, serta
mengolah dan memasarkan hasil Hutan secara optimal
dan adil untuk kesejahteraan Masyarakat dengan tetap
menjaga kelestariannya.
40. Pemanfaatan Kawasan adalah kegiatan untuk
memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat
lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara
optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya.
4t. Pemanfaatan Jasa Lingkungan adalah kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengusahakan potensi jasa
lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan
mengurangi fungsi utamanya.
42. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengusahakan hasil Hutan berupa
kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak
mengurangi fungsi pokoknya.
43. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah kegiatan
untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil Hutan
berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan
tidak mengurangi fungsi pokoknya.
44. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau Bukan Kayu
adalah kegiatan untuk mengambil hasil Hutan baik
berupa kayu dan/atau bukan kayu.
45. Peta Arahan Pemanfaatan Hutan adalah peta indikatif
Pemanfaatan Hutan yang ditetapkan oleh Menteri untuk
menjadi acuan pemberian Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan Lindung dan Pemanfaatan Hutan
Produksi.
46. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan
kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan
usaha dan/ atau kegiatannya.

47. Perizinan

SK No 087484A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7 -

47. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan adalah Petizinan


Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk
memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan
Pemanfaatan Hutan.
48. Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan adalah
Perizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha
untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau
kegiatan Pengolahan Hasil Hutan.
49. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
(Online Single Submission) yang selanjutnya disingkat
Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang
dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk
penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko.
50. Sistem Silvikultur adalah sistem budidaya Hutan atau
sistem teknik bercocok tanaman Hutan mulai dari memilih
benih atau bibit, penyemaian, penanaman, pemeliharaan
tanaman, perlindungan hama, dan penyakit serta
pemanenan.
51. Multiusaha Kehutanan adalah penerapan beberapa
kegiatan usaha Kehutanan berupa usaha Pemanfaatan
Kawasan, usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan
Bukan Kayu, dan/atau usaha Pemanfaatan Jasa
Lingkungan untuk mengoptimalkan Kawasan Hutan pada
Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
52. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya
disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang
pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung
maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan
sumber daya dan hak yang diperoleh negara berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, yang menjadi
penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan
perpajakan dan hibah, dan dikelola dalam mekanisme
anggaran pendapatan dan belanja negara.

53. Penatausahaan ,

SK No 087483 A
PRESIOEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-
53. Penatausahaan Hasil Hutan yang selanjutnya disebut
PUHH adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan atas
perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan,
pengukuran, pengujian, penandaan, pengangkutan/
peredaran, pengolahan, dan pemasaran hasil Hutan.
54. Iuran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang
selanjutnya disingkat IPBPH adalah pungutan yang
dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan.
55. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disingkat
PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti
nilai intrinsik dari hasil Hutan dan/atau hasil usaha yang
dipungut dari Hutan Negara.
56. Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah
dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh
alami dari Hutan Negara.
57. Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi adalah bagian daerah
yang berasal dari penerimaan sumber daya alam
Kehutanan.
58. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam
negeri atau luar negeri yang mempunyai kewajiban
membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
59. Perseorangan adalah Warga Negara Indonesia yang cakap
bertindak menurut hukum.
60. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan adalah dokumen
yang merupakan bukti legalitas hasil Hutan pada setiap
segmen kegiatan dalam PUHH.
61. Pengolahan Hasil Hutan adalah kegiatan mengolah hasil
Hutan menjadi barang setengah jadi dan/atau barang jadi.
62. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan
usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada
bidang tertentu.
63. Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perkoperasian.

64. Perhutanan...

SK No 087263 A
PFIES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9 -

64. Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan


lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara
atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh
Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat
sebagai pelaku utama untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan
dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat,
dan kemitraan Kehutanan.
65. Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial yang selanjutnya
disingkat PIAPS adalah peta yang memuat areal Kawasan
Hutan yang dicadangkan untuk Perhutanan Sosial.
66. Hutan Kemasyarakatan adalah Kawasan Hutan yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
Masyarakat.
67. Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR
adalah Hutan tanaman pada Hutan Produksi yang
dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk meningkatkan
potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber
daya Hutan.
68. Hutan Desa adalah Kawasan Hutan yang belum dibebani
izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa.
69. Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA
adalah Masyarakat tradisional yang masih terkait dalam
bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk
pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati,
dan masih mengadakan pemungutan hasil Hutan di
wilayah Hutan sekitarnya yang keberadaannya
dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.
70. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air,
dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di
atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki,
dimanfaatkan, dan dilestarikan secara turun-temurun
dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan
hidup Masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari
leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah
ulayat atau Hutan Adat.

71. Wilayah

SK No 087262A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10-

7I. Wilayah Indikatif Hutan Adat adalah wilayah Hutan Adat


yang berada pada Kawasan Hutan Negara yang belum
memperoleh produk hukum dalam bentuk Peraturan
Daerah namun wilayahnya telah ditetapkan oleh
bupati/walikota.
72. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam
tata kehidupan Masyarakat setempat antara lain untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan sumber
daya alam secara lestari.
73. Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah dan
membatasi kerusakan Hutan di dalam dan di luar
Kawasan Hutan dan hasil Hutan, yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam,
hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga
hak-hak negara, Masyarakat, dan perorangan atas Hutan,
Kawasan Hutan, hasil Hutan, investasi, serta perangkat
yang berhubungan dengan pengelolaan Hutan.
74. Pengawasan Kehutanan yang selanjutnya disebut
Pengawasan adalah serangkaian kegiatan yang
dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan/atau pengawas
Kehutanan untuk mengetahui, memastikan, dan
menetapkan tingkat ketaatan pemegang Perizinan
Berusaha atau persetujuan pemerintah yang ditetapkan
dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah
dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Kehutanan.
75. Sanksi Administratif adalah perangkat sarana hukum
administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/
perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata
usaha negara yang dikenakan kepada pemegangPerizinan
Berusaha atau persetujuan pemerintah atas dasar
ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan
di bidang Kehutanan danf atau ketentuan dalam Perizinan
Berusaha atau persetujuan pemerintah yang terkait
dengan Kehutanan.
76. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam
lingkungan instansi Kehutanan pusat dan daerah yang
sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan
dan/atau melaksanakan usaha Perlindungan Hutan yang
oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang
kepolisian khusus di bidang Kehutanan.
77. Masyarakat ...

SK No 085410 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11-

77. Masyarakat adalah Perseorangan, kelompok orang,


termasuk MHA atau badan hukum.
78. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
79. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
ggara pemerintahan daerah yang memimpin
penyelen
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
80. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
Kehutanan.
81. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur:
a. Perencanaan Kehutanan;
b. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan;
c. Penggunaan Kawasan Hutan;
d. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan;
e. Pengelolaan Perhutanan Sosial;
f. Perlindungan Hutan;
g. Pengawasan; dan
h. SanksiAdministratif.

BAB II ...

SK No 099(1 1,1 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESTA
-12-
BAB II

PERENCANAAN KEHUTANAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 3
(1) Perencanaan Kehutanan meliputi kegiatan:
a. inventarisasi Hutan;
b. Pengukuhan Kawasan Hutan;
c. Penatagunaan Kawasan Hutan;
d. pembentukan wilayah pengelolaan Hutan; dan
e. penyusunan rencana Kehutanan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung
peta Kehutanan dan/atau data numerik.

Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan

Paragraf 1

Umum

Pasal 4
(1) Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a dilaksanakan untuk mengetahui dan
memperoleh data dan informasi tentang sumber daya,
potensi kekayaan alam Hutan serta lingkungannya secara
lengkap.
(21 Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. inventarisasi Hutan tingkat nasional;
b. inventarisasi Hutan tingkat wilayah provinsi;
c. inventarisasi

SK No 085408 A
PRE S IDEN
REPUBLIK INDONESIA
_ 13_

c. inventarisasi Hutan tingkat DAS; dan


d. inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan.
(3) Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan terhadap Hutan Negara, Hutan
Adat, dan Hutan Hak.
(4) Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang dilakukan pada tingkat:
a. nasional mencakup areal Hutan di seluruh Indonesia;
b. wilayah provinsi mencakup areal Hutan di provinsi;
c. DAS mencakup areal Hutan pada DAS; dan
d. Unit Pengelolaan Hutan mencakup areal Hutan pada
Unit Pengelolaan Hutan.

Paragraf 2
Inventarisasi Hutan Tingkat Nasional

Pasal 5
Inventarisasi Hutan tingkat nasional mengacu pada kriteria
dan standar yang tertuang dalam pedoman inventarisasi Hutan
yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 6
(1) Menteri menyelenggarakan inventarisasi Hutan tingkat
nasional.
(21 Penyelenggaraan inventarisasi Hutan tingkat nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di seluruh
wilayah Indonesia untuk memperoleh data dan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(3) Inventarisasi Hutan tingkat nasional dilaksanakan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan menjadi
acuan pelaksanaan inventarisasi pada tingkat yang lebih
rendah.
(4) Menteri ...

SK No 085407 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-14-
(4) Menteri dapat melimpahkan dan/atau menugaskan
pelaksanaan kegiatan inventarisasi Hutan tingkat
nasional kepada gubernur sesuai dengan kebutuhan.

Paragraf 3
Inventarisasi Hutan Tingkat Wilayah Provinsi

Pasal 7
Inventarisasi Hutan tingkat wilayah provinsi mengacu pada
kriteria dan standar yang tertuang dalam pedoman
inventarisasi Hutan yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 8
(1) Gubernur menyelenggarakan inventarisasi Hutan tingkat
wilayah provinsi dengan mengacu pada pedoman
penyelenggaraan inventarisasi Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Penyelenggaraan inventarisasi Hutan tingkat wilayah
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan melaksanakan inventarisasi Hutan di seluruh
wilayah provinsi untuk memperoleh data dan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(3) Penyelenggaraan inventarisasi Hutan tingkat wilayah
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan dengan mengacu hasil inventarisasi Hutan
tingkat nasional.
(4) Dalam hal hasil inventarisasi Hutan tingkat nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia,
maka gubernur dapat menyelenggarakan inventarisasi
Hutan untuk mengetahui potensi sumber daya Hutan
terbaru yang ada di wilayahnya.
(5) Inventarisasi Hutan tingkat wilayah provinsi dilaksanakan
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

Paragraf 4 .

SK Nlo 085406 A
PRES lDEN
REPUBLIK ]NDONESIA
_15_

Paragraf 4
Inventarisasi Hutan Tingkat Daerah Aliran Sungai

Pasal 9
(1) Inventarisasi Hutan tingkat DAS diselenggarakan oleh:
a. Menteri pada DAS yang wilayahnya meliputi lintas
provinsi; dan
b. gubernur pada DAS yang wilayahnya di dalam
provinsi.
(2\ Inventarisasi Hutan tingkat DAS dimaksudkan sebagai
bahan pen5rusunan rencana pengelolaan DAS yang
bersangkutan.
(3) Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diiaksanakan dengan mengacu hasil
inventarisasi tingkat nasional.
(4) Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan mengacu pada:
a. pedoman inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7; dan
b. hasil inventarisasi Hutan tingkat nasional dan tingkat
provinsi.
(5) Inventarisasi Hutan tingkat DAS dilaksanakan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

Paragraf 5
Inventarisasi Hutan Tingkat Unit Pengelolaan Hutan

Pasal 10
(1) Gubernur menyelenggarakan inventarisasi Hutan tingkat
Unit Pengelolaan Hutan dan dilaksanakan oleh KPH.
(2) Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan
dimaksudkan sebagai bahan dalam pen5rusunan rencana
pengelolaan Hutan pada Unit Pengelolaan Hutan yang
bersangkutan.
(3) Inventarisasi ...

SK No 085405 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-16-
(3) Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
pengelola dengan mengacu pada pedoman
penyelenggaraan inventarisasi Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.
(4) Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan
dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun.
(5) Inventarisasi Hutan untuk men1rusun rencana kegiatan
tahunan pada blok operasional dilaksanakan setiap
tahun.
(6) Hasil Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan
dikompilasi secara nasional melalui suatu Sistem
Informasi Kehutanan.

Pasal 11

(1) Pengendalian inventarisasi Hutan meliputi kegiatan:


a. monitoring;dan/atau
b. evaluasi.
(2) Kegiatan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a merupakan kegiatan untuk memperoleh data dan
informasi pelaksanaan inventarisasi Hutan.
(3) Kegiatan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan kegiatan untuk menilai pelaksanaan
inventarisasi Hutan secara periodik sesuai dengan tingkat
inventarisasi.

Pasal 12
(1) Hasil inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (6) dikelola dalam suatu Sistem Informasi
Kehutanan.
(21 Sistem Informasi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat informasi spasial dan tabular serta
informasi lainnya.

Pasal 13 ...

SK No 085404A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t7-
Pasal 13
(1) Pemerintah melaksanakan pemantauan terhadap
Kawasan Hutan dan penutupan Hutan melalui Sistem
Informasi Kehutanan yang merupakan bagian dari
jaringan informasi spasial Kehutanan.
(21 Sistem Informasi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi acuan bagi sistem informasi Kehutanan
pada tingkatan sub-nasional.

Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan

Paragraf 1

Umum

Pasal 14
Pengukuhan Kawasan Hutan diselenggarakan oleh Menteri
untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi,
letak, batas, dan luas Kawasan Hutan.

Pasal 15
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri atas:
a. Hutan Negara;
b. Hutan Adat; dan
c. Hutan Hak.
(21 Kawasan Hutan terdiri atas:
a. Hutan Negara; dan
b. Hutan Adat.

Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi Hutan, Menteri
menyelenggarakan Pengukuhan Kawasan Hutan dengan
memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
(2) Pengukuhan ...

SK No 085.103 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
_ 18_

(21 Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan proses:
a. Penunjukan Kawasan Hutan;
b. Penataan Batas Kawasan Hutan;
c. pemetaan Kawasan Hutan; dan
d. Penetapan Kawasan Hutan.
(3) Penyelenggaraan Pengukuhan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. memanfaatkan koordinat geogralis atau satelit
dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh
pada seluruh tahapan Pengukuhan Kawasan Hutan;
b. penggunaan teknologi penginderaan jauh
sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat
dilakukan pada seluruh tahapan Pengukuhan
Kawasan Hutan;
c. pemancangan batas sementara yang lebih rapat
dan/atau membuat lorong batas dan parit, pada
wilayah yang berdekatan dengan permukiman padat
penduduk dan berpotensi tinggi terjadi perambahan
terhadap Kawasan Hutan; dan
d. mengumumkan rencana batas Kawasan Hutan yang
tertuang pada peta Penunjukan Kawasan Hutan
secara digital, terutama pada lokasi-lokasi yang
berbatasan dengan tanah hak.
(4) Menteri memprioritaskan percepatan Pengukuhan
Kawasan Hutan pada daerah strategis meliputi:
a. program strategis nasional;
b. kegiatan pemulihan ekonomi nasional;
c. kegiatan pengadaan ketahanan pangan (food estate)
dan energi;
d. pengadaan tanah obyek reforma agraria;
e. Hutan Adat;
f. kegiatan rehabilitasi Kawasan Hutan pada DAS yang
memberikan perlindungan; dan
g. pada wilayah yang berdekatan dengan permukiman
padat penduduk dan berpotensi tinggi terjadi
perambahan Kawasan Hutan.
Paragraf 2

SK No 08.5402 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t9-
Paragraf 2
Penunjukan Kawasan Hutan

Pasal 17
Penunjukan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (2) huruf a dilaksanakan sebagai proses awal
suatu wilayah tertentu menjadi Kawasan Hutan.

Pasal 18
(1) Penunjukan Kawasan Hutan meliputi :

a. wilayah provinsi; dan


b. wilayah tertentu secara parsial.
(2) Penunjukan Kawasan Hutan wilayah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
oleh Menteri dengan memperhatikan rencana tata ruang
wilayah provinsi.
(3) Penunjukan wilayah tertentu secara parsial menjadi
Kawasan Hutan harus memenuhi syarat:
a. usulan atau rekomendasi gubernur; dan
b. secara teknis dapat dijadikan Hutan.
(41 Penunjukan wilayah tertentu secara parsial untuk dapat
dijadikan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan oleh Menteri.
(5) Penunjukan Kawasan Hutan wilayah provinsi dan/atau
secara parsial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Menteri.
(6) Penunjukan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (21 dan ayat (4) dilampiri peta Penunjukan
Kawasan Hutan.

Paragraf 3

SK No 085401 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-20-
Paragraf 3
Penataan Batas Kawasan Hutan

Pasal 19
(1) Berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dilakukan
Penataan Batas Kawasan Hutan.
(21 Tahapan pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan:
a. pen1rusunan rencana Trayek Batas yang memuat
koordinat titik-titik batas yang akan dilakukan
pemancangan patok batas sementara dan/atau
koordinat yang ditetapkan secara virtual hasil
pembahasan panitia tata batas;
b. pemancangan patok batas sementara;
c. pengumuman hasil pemancangan patok batas
sementara;
d. inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga
yang berada di sepanjang Trayek Batas Kawasan
Hutan;
e. pen1rusunan berita acara pemancangan batas
sementara yang disertai dengan peta pemancangan
patok batas sementara;
f. pemasangan pal batas;
g. pemetaan hasil penataan batas;
h. pembuatan dan penandatanganan berita acara tata
batas dan peta tata batas; dan
i. pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada
gubernur.
(3) Penyelesaian hak-hak pihak ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat(2\huruf d yang berada di dalam Kawasan Hutan
diselesaikan melalui Penataan Kawasan Hutan dalam
rangka Pengukuhan Kawasan Hutan.
(4) Tahapan pelaksanaan kegiatan Penataan Batas Kawasan
Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21dikecualikan
bagi Penataan Batas Kawasan Hutan daerah strategis
untuk:
a. program...

SK l*Jo 085400 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-21 -

a. program strategis nasional;


b. kegiatan pemulihan ekonomi nasional;
c. kegiatan ketahanan pangan (food estatel dan energi;
dan/atau
d. kegiatan pengadaan tanah obyek reforma agraria.
(5) Penataan Batas Kawasan Hutan daerah strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencakup kegiatan:
a. penJrusunan rencana Trayek Batas yang memuat
koordinat titik-titik batas yang akan dilakukan
pemancangan patok batas sementara dan/atau
koordinat yang ditetapkan secara virtual hasil
pembahasan panitia tata batas;
b. pengumuman Trayek Batas;
c. pemasangan pal batas;
d. pemetaan hasil Penataan Batas Kawasan Hutan;
e. pembuatan dan penandatanganan berita acara tata
batas dan peta tata batas; dan
f. pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada
gubernur.
(6) Pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Hutan daerah
strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun setelah keputusan Persetujuan Pelepasan Kawasan
Hutan atau Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.
(7) Penataan Batas Kawasan Hutan dapat ditetapkan
menggunakan batas virtual yang digambarkan pada peta
dengan memanfaatkan citra dan pendekatan koordinat
geografis.
(8) Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (71 dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. kondisi alam; atau
b. kondisi keamanan.

Pasal 20

SK No 085399 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-22-
Pasal 20
(1) Pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat
(6) dilakukan oleh panitia tata batas Kawasan Hutan.
(21 Panitia tata batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertugas:
a. melakukan persiapan dan pelaksanaan Penataan
Batas Kawasan Hutan;
b. menyelesaikan masalah hak atas tanah/lahan
disepanjang Trayek Batas;
c. memantau pekerjaan dan memeriksa hasil
pelaksanaan pekerjaan tata batas; dan
d. membuat dan menandatangani berita acara tata
batas Kawasan Hutan dan peta tata batas Kawasan
Hutan.
(3) Hasil Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (6) dituangkan
dalam berita acara tata batas Kawasan Hutan dan peta
tata batas Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh
panitia tata batas Kawasan Hutan.
(4) Hasil Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disahkan oleh Menteri.

Paragraf 4
Pemetaan Kawasan Hutan

Pasal 2 1

Pemetaan dalam rangka kegiatan Pengukuhan Kawasan Hutan


dilakukan melalui proses pembuatan peta:
a. Penunjukan Kawasan Hutan;
b. rencana Trayek Batas;
c. pemancangan patok batas sementara;
d. Penataan Batas Kawasan Hutan; dan
e. Penetapan Kawasan Hutan.

Paragraf5...

SK No 085398 A
PRES IDEN
REPUBLIK lNDONESIA
-23-
Paragraf 5
Penetapan Kawasan Hutan

Pasal22
(1) Menteri menetapkan Kawasan Hutan didasarkan atas:
a. berita acara tata batas Kawasan Hutan; dan
b. peta tata batas Kawasan Hutan yang telah temu
gelang.
(21 Dalam hal tata batas Kawasan Hutan telah temu gelang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b namun
masih terdapat hak pihak ketiga yang belum diselesaikan,
Kawasan Hutan ditetapkan oleh Menteri dengan memuat
penjelasan hak pihak ketiga yang ada di dalamnya.
(3) Hasil Penetapan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terbuka untuk diketahui Masyarakat.
(41 Setiap Kawasan Hutan yang sudah ditetapkan wajib diberi
nomor register oleh Menteri.

Paragraf 6
Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan

Pasal 23
Penyelesaian penguasaan tanah dalam Kawasan Hutan Negara
dilakukan dengan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka
Pengukuhan Kawasan Hutan melalui kegiatan:
a. pengadaan tanah obyek reforma agrarua;
b. pengelolaan Perhutanan Sosial;
c. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan; dan/atau
d. Penggunaan Kawasan Hutan.

Pasal 24 ..

SK No 085397 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-24-
Pasal 24
(1) Penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib memenuhi
' kriteria:
a. penguasaan tanah di dalam Kawasan Hutan Negara
oleh Masyarakat dilakukan sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja;
b. dikuasai paling singkat 5 (lima) tahun secara terus
menerus;
c. dikuasai oleh Perseorangan dengan luasan paling
banyak 5 (lima) hektar;
d. bidang tanah telah dikuasai secara fisik dengan
iktikad baik secara terbuka; dan
e. bidang tanah yang tidak bersengketa.
(21 Pihak yang menguasai bidang tanah dalam Kawasan
Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Perseorangan;
b. instansi; dan/atau
c. badansosial/keagamaan.
(3) Penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. sarana dan prasarana permanen milik Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah;
b. fasilitas sosial dan fasilitas umum;
c. permukiman;
d. lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak; atau
e. bangunan untuk kegiatan lainnya yang terpisah dari
permukiman.
(4) Kategori penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan
dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum
bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan
Hutan; atau
b. bidang...

Sl'( l.ir: C85396 A


PRES lDEN
REPUBLIK INDONESIA
-25-
b. bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah
bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan
Hutan.

Pasal 25
Penyelesaian bidang tanah yang telah dikuasai dan
dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum
bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf a,
dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam
Kawasan Hutan Negara melalui perubahan batas Kawasan
Hutan.

Pasal 26
(1) Penyelesaian penguasaan bidang tanah yang dikuasai dan
dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk
sebagai Kawasan Hutan Negara di dalam Kawasan Hutan
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4)
huruf b, diawali dengan inventarisasi dan verifikasi.
(21 Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan
dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk
sebagai Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. pengeluaran bidang tanah dalam Kawasan Hutan
melalui perubahan batas Kawasan Hutan;
b. pelepasan melalui Perubahan Peruntukan Kawasan
Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan;
c. memberikan akses pengelolaan Hutan melalui program
Perhutanan Sosial; atau
d. Penggunaan Kawasan Hutan.

Pasal2T
(1) Pola penyelesaian penguasaan bidang tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) yang dikuasai oleh
instansi Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah:
a. di dalam Kawasan Hutan Produksi, diselesaikan
dengan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan;

b. di dalam

SK No 085395 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESlA
_26_

b. di dalam Kawasan Hutan Lindung, diselesaikan


dengan mekanisme Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan; atau
c. di dalam Hutan Konservasi, diselesaikan dengan
mekanisme kerja sama konservasi.
(21 Dalam hal penyelesaian bidang tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat
diselesaikan dengan Persetujuan Pelepasan Kawasan
Hutan, didahului dengan Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
(3) Pola penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tanpa memperhitungkan kecukupan luas Kawasan Hutan
dari luas DAS, pulau, dan/atau provinsi.

Pasal 28
Pola penyelesaian penguasaan bidang tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (21 yang dikuasai oleh
Perseorangan atau badan sosial/keagamaan:
a. di dalam Kawasan Hutan Konservasi, dilakukan dengan
kemitraan konservasi dengan tanpa memperhitungkan
kecukupan luas Kawasan Hutan dari luas DAS, pulau,
dan/atau provinsi.
b. di dalam Kawasan Hutan Lindung, dalam hal:
1. mempunyai kecukupan luas Kawasan Hutan dan
penutupan Hutan lebih dari kecukupan luas Kawasan
Hutan pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi,
maka:
a) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
permukiman, fasilitas umum, dan/atau fasilitas
sosial, bangunan untuk kegiatan lainya yang
terpisah dari permukiman dan memenuhi kriteria
sebagai Hutan Lindung, dilakukan melalui
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan;
b) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
permukiman, fasilitas umum, dan/atau fasilitas
sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang
terpisah dari permukiman dan tidak memenuhi
kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan dengan
mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan
Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan;
c) dalam hal ...

Si( No 085394 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-27'
c) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak dan
telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun
secara berturut-turut memenuhi atau tidak
memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung,
dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari
dalam Kawasan Hutan melalui perubahan batas
Kawasan Hutan;
d) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak dan
telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun
secara berturut-turut memenuhi atau tidak
memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung,
dilakukan persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial.
2. mempunyai kecukupan luas Kawasan Hutan dan
penutupan Hutan kurang dari kecukupan luas
Kawasan Hutan pada luas DAS, pulau dan/atau
provinsi, maka:
a) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas
sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang
terpisah dari permukiman dan memenuhi kriteria
sebagai Hutan Lindung, dilakukan melalui
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan;
b) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas
sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang
terpisah dari permukiman dan tidak memenuhi
kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan atau melalui
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; atau
c) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
lahan garapan, pertanian, perkebunan, tambak dan
memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung,
dilakukan persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial.

c. di dalam

SK No 0E5393 A
PRES lDEN
REPUBLIK INDONESIA
-28-
c di dalam Hutan Produksi, dalam hal:
1. mempunyai kecukupan luas Kawasan Hutan dan
penutupan Hutan lebih dari kecukupan luas Kawasan
Hutan pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi,
maka:
a) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas
sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang
terpisah dari permukiman, dilakukan dengan
mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan
Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan;
b) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak dan
telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun
secara berturut-turut, dilakukan dengan
mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan
Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan;
atau
c) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak dan
telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun
secara berturut-turut, dilakukan dengan
persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial.
2. mempunyai kecukupan luas Kawasan Hutan dan
penutupan Hutan kurang dari kecukupan luas
Kawasan Hutan pada luas DAS, pulau, danf atau
provinsi, maka:
a) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas
sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang
terpisah dari permukiman, dilakukan dengan
Pelepasan Kawasan Hutan atau Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan; atau
b) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk
lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak,
dilakukan dengan persetujuan pengelolaan
Perhutanan Sosial.

Pasal 29 ...

SK No 085392A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-29-
Pasal 29
(1) Apabila di wilayah Perizinan Berusaha terdapat
permukiman dan penyelesaiannya dapat dilakukan
melalui perubahan batas Kawasan Hutan, diselesaikan
melalui:
a. penataan permukiman dengan program tanah obyek
reforma agraria; atau
b. penataan permukiman dengan secara langsung
dikeluarkan dari Kawasan Hutan melalui proses
Penataan Batas Kawasan Hutan,
dengan memperhatikan fungsi Kawasan Hutan.
(2) Dalam hal di wilayah Perizinan Berusaha terdapat
permukiman dan penyelesaiannya tidak dapat dilakukan
melalui perubahan batas Kawasan Hutan, Pelepasan
Kawasan Hutan, atau Perubahan Peruntukan Kawasan
Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan,
diselesaikan melalui Perhutanan Sosial dengan pola
kemitraan Kehutanan dengan pemegang Perizinan
Berusaha.
(3) Penataan permukiman di dalam wilayah MHA mengikuti
ketentuan penetapan status Hutan Adat.

Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan

Paragraf 1

Umum

Pasal 30
(1) Berdasarkan hasil Pengukuhan Kawasan Hutan, Menteri
menyelenggarakan Penatagunaan Kawasan Hutan.
(21 Penatagunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi kegiatan:
a. penetapan fungsi Kawasan Hutan; dan
b. Penggunaan Kawasan Hutan.
Paragraf 2 ...

SK No 085391 A
PFIES IDEN
REPUBLIK ]NDONESIA
-30-
Paragraf 2
Penetapan Fungsi Kawasan Hutan

Pasal 31
(1) Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1), ditetapkan fungsinya menjadi:
a. Hutan Konservasi terdiri atas:
1. Kawasan Hutan Suaka Alam terdiri atas:
a) cagar alam; dan
b) suaka margasatwa;
2. Kawasan Hutan Pelestarian Alam terdiri atas:
a) taman nasional;
b) taman Hutan raya; dan
c) taman wisata alam;
3. Taman Buru;
b. Hutan Lindung; dan
c. Hutan Produksi terdiri atas:
1. Hutan Produksi Tetap; dan
2. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi.
(2) Kriteria penetapan fungsi Kawasan Hutan Suaka Alam
dan Kawasan Hutan Pelestarian Alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2
diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
(3) Kawasan Hutan ditetapkan fungsinya menjadi:
a. Taman Buru, apabila memenuhi kriteria:
1. mempunyai luas yang cukup dan lapangannya
tidak membahayakan; dan/ atau
2. terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan
sehingga memungkinkan perburuan secara
teratur dengan mengutamakan segi rekreasi,
olahraga, dan kelestarian satwa.
b. Hutan Lindung, apabila memenuhi kriteria:
1. Kawasan Hutan dengan faktor kelas lereng, jenis
tanah, dan intensitas hujan setelah masing-
masing dikalikan dengan angka penimbang
mempunyai jumlah nilai lebih besar dari 175
(seratus tujuh puluh lima);
2. Kawasan ...

SK No 085389 A
PFTES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-31 -

2. Kawasan Hutan yang mempunyai lereng


lapangan 4Oo/o (empat puluh persen) atau lebih;
3. Kawasan Hutan yang berada pada ketinggian
2.OOO m (dua ribu meter) atau lebih di atas
permukaan laut;
4. Kawasan Hutan yang mempunyai tanah sangat
peka terhadap erosi dengan lereng lapangan
lebih dari 15% (lima belas persen);
5. Kawasan Hutan yang merupakan daerah
resapan air; danlatau
6. Kawasan Hutan yang merupakan daerah
perlindungan pantai.
c. Hutan Produksi Tetap, apabila memenuhi kriteria
Kawasan Hutan dengan faktor kelas lereng, jenis
tanah, dan intensitas hujan, setelah masing-masing
dikalikan dengan angka penimbang mempunyai
jumlah nilai kurang atau sama dengan 175 (seratus
tujuh puluh lima), di luar Kawasan lindung, Kawasan
Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Pelestarian
Alam, dan Taman Buru.
d. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi, apabila
memenuhi kriteria:
1. Kawasan Hutan dengan faktor kelas lereng, jenis
tanah, dan intensitas hujan, setelah masing-
masing dikalikan dengan angka penimbang
mempunyai jumlah nilai kurang dari L24
(seratus dua puluh empat), di luar kawasan
lindung, Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan
Hutan Pelestarian Alam, dan Taman Buru; dan
2. Kawasan Hutan yang secara rutang dicadangkan
untuk digunakan bagi pengembangan:
a) transmigrasi;
b) permukiman;
c) pertanian;
d) perkebunan;
e) industri;
0 infrastruktur proyek strategis nasional;
g) pemulihan ...

SK No 085388 A
PRE S IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-32-
g)pemulihan ekonomi nasional;
h)ketahanan pangan (food estatel dan energi;
danf atau
i) tanah obyek reforma agraria.
(4) Menteri menetapkan fungsi Kawasan Hutan berdasarkan
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).

Paragraf 3
Penggunaan Kawasan Hutan

Pasal 32
Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan Kehutanan hanya dapat
dilakukan di dalam Kawasan Hutan Produksi dan Kawasan
Hutan Lindung.

Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan

Paragraf 1

Umum

Pasal 33
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan Hutan bertujuan
untuk mewujudkan pengelolaan Hutan yang efisien dan
lestari.
(21 Pembentukan wilayah pengelolaan Hutan dilaksanakan
untuk tingkat:
a. provinsi; dan
b. Unit Pengelolaan Hutan.

Paragraf 2

Si( No 085387 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-33-
Paragraf 2
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Provinsi

Pasal 34
(1) Wilayah pengelolaan Hutan tingkat provinsi terbentuk dari
himpunan Unit Pengelolaan Hutan dalam provinsi.
(2) Wilayah pengelolaan Hutan tingkat provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk berdasarkan kriteria dan
standar yang ditetapkan oleh Menteri.

Paragraf 3
Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan

Pasal 35
(1) Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan dilakukan pada
seluruh Kawasan Hutan meliputi:
a. Hutan Konservasi;
b. Hutan Lindung; dan
c. Hutan Produksi.
(2) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. KPH Konservasi pada Hutan Konservasi;
b. KPH Lindung pada Hutan Lindung; dan
c. KPH Produksi pada Hutan Produksi.
(3) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(21 ditetapkan dalam 1 (satu) atau lebih fungsi pokok
Hutan dan 1 (satu) wilayah administrasi atau lintas
wilayah administrasi pemerintahan.
(4) Dalam hal 1 (satu) Unit Pengelolaan Hutan terdiri lebih
dari 1 (satu) fungsi pokok Hutan, penetapan Unit
Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berdasarkan fungsi Kawasan Hutan yang luasnya
dominan.
(5) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang
ditetapkan oleh Menteri.
Bagian ...

SK No 085386 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-34-
Bagian Keenam
Prosedur Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi,
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi

Pasal 36
(1) Unit Kementerian di daerah yang bertanggung jawab di
bidang konservasi mengusulkan rancang bangun Unit
Pengelolaan Hutan konservasi berdasarkan kriteria dan
standar yang ditetapkan oleh Menteri.
(21 Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri menetapkan arahan pencadangan Unit
Pengelolaan Hutan konservasi.
(3) Menteri menetapkan Unit Pengelolaan Hutan konservasi
berdasarkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan
konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 37
(1) Gubernur men5rusun rancang bangun Unit Pengelolaan
Hutan lindung dan Unit Pengelolaan Hutan produksi.
(21 Rancang bangun Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria dan
standar yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Rancang bangun Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh gubernur kepada
Menteri.
(4) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Menteri menetapkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan
Hutan lindung dan Unit Pengelolaan Hutan produksi.
(5) Berdasarkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), gubernur
membentuk Unit Pengelolaan Hutan lindung dan Unit
Pengelolaan Hutan produksi.
(6) Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri untuk
ditetapkan sebagai Unit Pengelolaan Hutan.

Pasal 38

SK No 087479 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-35-
Pasal 38
Dalam hal terdapat Hutan Konservasi, Hutan Lindung,
dan/atau Hutan Produksi yang tidak layak untuk dikelola
menjadi 1 (satu) Unit Pengelolaan Hutan berdasarkan kriteria
dan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
dan Pasal 37 ayat (2), pengelolaannya disatukan dengan Unit
Pengelolaan Hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi
pokoknya.

Pasal 39
(1) Pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk organisasi
KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem
pengurusan Hutan nasional dan Pemerintah Daerah
provinsi.
(2) KPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. KPH konservasi;
b. KPH lindung; dan
c. KPH produksi.
(3) Wilayah KPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(2) dapat terdiri 1 (satu) atau lebih Unit Pengelolaan Hutan
dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi
pengelolaan Hutan.
(4) Dalam hal wilayah KPH akan dilakukan perubahan Unit
Pengelolaan Hutan dengan mempertimbangkan efektifitas
dan elisiensi pengelolaan Hutan, gubernur dapat
mengajukan perubahan penetapan wilayah KPH.
(5) Hutan di luar Kawasan Hutan dapat menjadi bagian
wilayah KPH yang terdekat dengan mempertimbangkan
kesamaan ekosistem, batas administrasi, dan jangkauan
pelayanan pengelolaan Hutan.
(6) Pembentukan organisasi KPH dan wilayah pengelolaan
KPH pada Hutan Konservasi ditetapkan oleh Menteri.
(71 Pembentukan organisasi KPH dan wilayah pengelolaan
KPH pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi ditetapkan
oleh gubernur.
(8) Pembentukan organisasi KPH sebagaimana dimaksud
pada ayat (71 diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 40 ...

SK No 087478 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-36-
Pasal 40
Organisasi KPH bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pengelolaan Hutan, meliputi:
a. perencanaan pengelolaan;
b. pengorganisasian;
c. pelaksanaan pengelolaan; dan
d. pengendalian dan Pengawasan.

Bagian Ketujuh
Kecukupan Luas Kawasan Hutan

Pasal 4 1
(1) Menteri menetapkan dan mempertahankan kecukupan
luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan berdasarkan
kondisi fisik dan geografis pada luas DAS, pulau, dan/atau
provinsi dengan sebaran yang proporsional.
(2) Kawasan Hutan dan penutupan Hutan yang harus
dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan sebaran yang proporsional dengan
mempertimbangkan:
a. biogeohsik;
b. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
c. karakteristik DAS; dan
d. keanekaragaman flora dan fauna.
(3) Dalam rangka optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat
sosial dan budaya, dan manfaat ekonomi dan produksi,
Menteri menetapkan dan mempertahankan fungsi
Kawasan Hutan.
(4) Dalam rangka mempertahankan kecukupan luas Kawasan
Hutan dan penutupan Hutan serta fungsi Kawasan
Hutan, Menteri dapat melakukan upaya pemulihan
lingkungan.

(5) Pemulihan ...

SK l.lo 087477 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONES!A
-37-
(5) Pemulihan lingkungan dalam rangka kecukupan luas
Kawasan Hutan dan penutupan Hutan dapat dilakukan
dengan rehabilitasi Hutan termasuk penerapan teknik
konservasi tanah dan air di dalam dan di luar Kawasan
Hutan.
(6) Penutupan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi penutupan di dalam Kawasan Hutan dan di luar
Kawasan Hutan.
(7) Dalam hal di wilayah provinsi atau kabupatenlkota
terdapat Kawasan Hutan dan penutupan Hutan yang
fungsinya sangat penting bagi perlindungan lingkungan,
Pemerintah Daerah harus mempertahankan kecukupan
luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan sesuai
dengan fungsinya.
(8) Pemerintah Daerah sesuai ketetapan Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengatur penutupan Hutan di
luar Kawasan Hutan untuk optimalisasi manfaat
lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya.
(9) Rehabilitasi Hutan termasuk penerapan teknik konservasi
tanah dan air sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(1O) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi,
Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan pihak lain dapat
memberikan insentif kepada pihak yang dapat
memulihkan, mempertahankan, dan/atau melestarikan
Hutan di dalam Kawasan Hutan dan di luar Kawasan
Hutan.
(11) Kecukupan Kawasan Hutan dan penutupan Hutan yang
ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi bahan arahan untuk diintegrasikan ke dalam
penyelenggaraan penataan ruang.

Bagian

SK No 087476 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-38-
Bagian Kedelapan
Penyusunan Rencana Kehutanan

Paragraf 1

Umum

Pasal 42
Pen5rusunan Rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e terdiri atas:
a. jenis rencana Kehutanan;
b. tata cara penyusunan rencana Kehutanan, proses
perencanaan, koordinasi, dan penilaian;
c. sistem Perencanaan Kehutanan; dan
d. evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana
Kehutanan.

Paragraf 2
Jenis Rencana Kehutanan

Pasal 43
Jenis rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 huruf a disusun menurut:
a. skala geografis;
b. fungsi pokok Kawasan Hutan; dan
c. jangka waktu perencanaan.

Pasal 44
(1) Skala geografis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
huruf a meliputi tingkat nasional dan tingkat provinsi.
(21 Pen5rusunan rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun:

a. tingkat ..

SK No 087475 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-39-
a tingkat nasional disusun dengan mengacu pada hasil
inventarisasi Hutan tingkat nasional dan dengan
memperhatikan aspek lingkungan strategis; dan
b tingkat provinsi disusun berdasarkan hasil
inventarisasi Hutan tingkat provinsi dan
memperhatikan rencana Kehutanan tingkat nasional.

Pasal 45
(1) Fungsi pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal43 huruf b, meliputi Hutan Konservasi, Hutan
Produksi, dan Hutan Lindung.
(21 Penyusunan rencana pengelolaan Hutan berdasarkan
fungsi pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. penyusunan rencana unit KPH konservasi,
b. penJrusunan rencana unit KPH lindung; dan
c. pen5rusunan rencana unit KPH produksi.

Pasal 46
Jangka waktu perencanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal43 huruf c, meliputi rencana jangka panjang dan rencana
jangka pendek.

Pasal47
(1) Rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 sampai dengan Pasal 46 merupakan 1 (satu) kesatuan
yang tidak terpisahkan.
(21 Penyusunan rencana Kehutanan pada setiap tingkatan
meliputi seluruh fungsi pokok Kawasan Hutan dan jangka
waktu perencanaan.
(3) Rencana yang lebih tinggi baik dalam cakupan wilayah
maupun jangka waktunya menjadi acuan bagi rencana
yang lebih rendah.

(4) Rencana ...

SK No 087474 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
_40_

(4) Rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


merupakan pedoman bagi penyusunan anggaran dan
pelaksanaan kegiatan di lapangan.

Pasal 48
(1) Rencana Kehutanan meliputi seluruh aspek pengurusan
Kehutanan.
(21 Aspek pengurusan Kehutanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi kegiatan penyelenggaraan:
a. Perencanaan Kehutanan;
b. pengelolaan Hutan;
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
pelatihan, serta penyuluhan Kehutanan; dan
d. Pengawasan.

Paragraf 3
Tata Cara Penyusunan Rencana Kehutanan, Proses Perencanaan,
Koordinasi, dan Penilaian

Pasal 49
(1) Penyusunan rencana Kehutanan tingkat nasional
dilakukan oleh Kementerian.
(2) Pen5rusunan rencana Kehutanan tingkat provinsi
dilakukan oleh instansi Kehutanan provinsi.
(3) Rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan konsultasi publik.
(4) Rencana Kehutanan tingkat nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Menteri.
(5) Rencana Kehutanan tingkat provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2l'disahkan oleh gubernur.

Paragraf 4 ...

SK No 087473 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-41 -

Paragraf 4
Sistem Perencanaan Kehutanan

Pasal 5O

Proses Penyusunan Rencana Kehutanan dilakukan melalui


sistem Perencanaan Kehutanan.

Paragraf 5
Evaluasi dan Pengendalian Pelaksanaan Rencana Kehutanan

Pasal 51
(1) Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana
Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf
d bertujuan untuk mengukur efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan kegiatan dari rencana yang telah ditetapkan.
(21 Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana
Kehutanan pada:
a. tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri;
b. tingkat provinsi dilaksanakan oleh gubernur;
c. KPH konservasi dilaksanakan oleh Menteri; dan
d. KPH lindung dan KPH produksi yang dilaksanakan
oleh gubernur.

Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan Kehutanan
diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB III ...

SK No 087472 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-42-
BAB III
PERUBAHAN PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN DAN PERUBAHAN
FUNGSI KAWASAN HUTAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 53
Menteri menetapkan:
a. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan; dan
b. Perubahan Fungsi Kawasan Hutan,
dengan mempertimbangkan hasil Penelitian Terpadu.

Bagian Kedua
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan

Paragraf 1

Umum

Pasal 54
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dapat dilakukan:
a. secara parsial; atau
b. untuk wilayah provinsi.

Paragraf 2
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Secara Parsial

Pasal 55
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan secara parsial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dilakukan
melalui Pelepasan Kawasan Hutan.
Pasal 56 ...

SK No 087471 A
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
-43-
Pasal 56
(1) Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan secara parsial
dilakukan berdasarkan permohonan.
(21 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan oleh:
a. menteri atau pimpinan lembaga;
b. gubernur atau bupati/wali kota;
c. pimpinan badan hukum; atau
d. Perseorangan, kelompok orang, dan/atau
Masyarakat.

Pasal 57
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 harus
memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.

Pasal 58
(1) Pelepasan Kawasan Hutan dilakukan pada Hutan
Produksi yang dapat Dikonversi.
(2) Pelepasan Kawasan Hutan pada Hutan Produksi yang
dapat Dikonversi hanya dapat dilakukan pada Hutan
Produksi yang dapat Dikonversi yang tidak produktif.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikecualikan pada provinsi yang tidak tersedia lagi
Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi yang
tidak produktif.
(41 Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (21 untuk kegiatan:
a. proyek strategis nasional;
b. pemulihan ekonomi nasional;
c. pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food
estate) dan energi;
d. pengadaan tanah untuk bencana alam;
e. pengadaan tanah obyek reforma agraria; dan

f. kegiatan

SK No 087470 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-44-
f. kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki
izin di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja,
dapat dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi yang
dapat Dikonversi danlatau Kawasan Hutan Produksi
Tetap.
(5) Pelepasan Kawasan Hutan pada Hutan Produksi yang
dapat Dikonversi dan Kawasan Hutan Produksi Tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4)
dilakukan setelah Penelitian Terpadu.

Pasal 59
(1) Penelitian Terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (5) dilakukan oleh tim terpadu yang dibentuk Menteri.
(21 Berdasarkan pertimbangan hasil Penelitian Terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim terpadu dapat
merekomendasikan untuk:
a. melakukan Pelepasan Kawasan Hutan sebagian
atau seluruhnya;
b. menolak permohonan Pelepasan Kawasan Hutan;
dan/atau
c. melakukan perubahan fungsi menjadi Kawasan
Hutan Tetap.
(3) Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (4) memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan
dilengkapi kajian lingkungan hidup strategis yang
disusun oleh pemrakarsa kegiatan, kecuali untuk
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4)
huruf d, huruf e, dan huruf f.

Pasal 60
(1) Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk kegiatan
usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun dan
memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2O2O tentang Cipta Kerja, diterbitkan pada Kawasan
Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengelolaan...

SK No 087469 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-45-
(2) Pengelolaan lahan hasil Pelepasan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada asas
konservasi tanah dan air serta memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Pasal 61
Permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diajukan kepada
Menteri.

Pasal 62
(1) Setelah menerima permohonan Pelepasan Kawasan
Hutan, Menteri meneliti pemenuhan persyaratan
administrasi dan teknis dan pemenuhan komitmen.
(21 Terhadap permohonan Pelepasan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim terpadu
menyampaikan rekomendasi kepada Menteri sebagai
bahan pertimbangan.
(3) Berdasarkan penelitan persyaratan dan rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ayat (21, Menteri
menerbitkan:
a. keputusan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan
untuk sebagian atau seluruh Kawasan Hutan yang
dimohon; atau
b. surat penolakan Pelepasan Kawasan Hutan.

Pasal 63
(1) Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan
dikenakan PNBP Pelepasan Kawasan Hutan.
(2t Terhadap kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 ayat (a) huruf a sampai dengan huruf e dan kegiatan
non komersial tidak dikenakan PNBP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara pengenaan dan tarif PNBP Persetujuan
Pelepasan Kawasan Hutan diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri.

Pasal 64 ...

SK Nc 087468 A
PRESIDEN
REPUBLIK !NDONESIA
-46-
Pasal 64
(1) Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) huruf a
wajib:
a. menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan yang
dilakukan pelepasan; dan
b. mengamankan Kawasan Hutan yang dilakukan
pelepasan.
(2) Hasil penyelesaian tata batas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dituangkan dalam berita acara dan
peta hasil tata batas yang ditandatangani oleh panitia tata
batas Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun sejak diterbitkannya Persetujuan Pelepasan
Kawasan Hutan dan tidak dapat diperpanjang.
(4) Dalam hal pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan
Hutan merupakan instansi pemerintah, jangka waktu
penyelesaian tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan
Hutan tidak dapat menyelesaikan tata batas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Persetujuan
Pelepasan Kawasan Hutan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 65
Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan yang belum
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (1) huruf a dilarang memindahtangankan Kawasan Hutan
yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain.

Pasal 66
Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dilarang:
a. memindahtangankan Kawasan Hutan yang dilakukan
pelepasan kepada pihak lain; atau
b. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan
permohonan.
Pasal 67 ...

SK No 087467 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-47-
Pasal 67
(1) Sebelum menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan yang
dilakukan pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 ayat (1) huruf a, pemegang Persetujuan Pelepasan
Kawasan Hutan dilarang melakukan kegiatan di Kawasan
Hutan, kecuali kegiatan persiapan berupa pembangunan
direksi kit, pengukuran sarana prasarana, dan
pembibitan.
(21 Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan setelah mendapat dispensasi dari
Menteri.
(3) Dalam hal kegiatan di Kawasan Hutan merupakan
program strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional,
ketahanan pangan lfood estatel dan energi, dan tanah
objek reforma agraria, pelaksanaan kegiatannya dapat
dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tata batas
Kawasan Hutan.

Pasal 68
Berdasarkan bukti pembayaran PNBP Pelepasan Kawasan
Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan
berita acara tata batas dan peta hasil tata batas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2)', Menteri menerbitkan
keputusan tentang penetapan batas areal Pelepasan Kawasan
Hutan yang dimohon.

Pasal 69
(1) Penetapan batas areal Pelepasan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 selanjutnya
diintegrasikan dalam tata ruang.
(21 Kegiatan di areal Pelepasan Kawasan Hutan dapat
dilaksanakan sebelum dan latau dalam proses integrasi
tata ruang.
(3) Menteri berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanahan dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian melakukan evaluasi
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhadap Kawasan
Hutan yang telah dilepaskan.

(4) Dalam

SK No 087466 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-48-
(41 Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terhadap Kawasan Hutan yang
telah dilepaskan:
a. belum diterbitkan hak atas tanah;
b. tidak terdapat kegiatan usaha dan arealnya masih
mempunyai tutupan Hutan; dan
c. Perizinan Berusaha di bidang perkebunan telah
dicabut oleh pejabat yang berwenang,
ditetapkan kembali oleh Menteri menjadi Kawasan Hutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 70
Berdasarkan keputusan Menteri tentang penetapan batas areal
Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68, status lahan diproses sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Paragraf 3
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Untuk Wilayah Provinsi

Pasal 71
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk wilayah
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dapat
dilakukan pada:
a. Hutan Konservasi;
b. Hutan Lindung; atau
c. Hutan Produksi.

Pasal 72
(1) Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk wilayah
provinsi dilakukan berdasarkan usulan dari gubernur
kepada Menteri.
(2) Gubernur ..

SK No 087465 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-49-
(2) Gubernur dalam mengajukan usulan Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan wajib melakukan konsultasi
teknis dengan Menteri.

Pasal 73
(1) Menteri setelah menerima usulan Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan untuk wilayah provinsi dari gubernur,
melakukan telaahan teknis.
(21 Berdasarkan hasil telaahan teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri membentuk tim terpadu.
(3) Keanggotaan dan tugas tim terpadu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri terkait.
(41 Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (21
menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi terhadap
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan kepada Menteri'
(s) Menteri setelah mempertimbangkan hasil penelitian dan
rekomendasi tim terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) menerbitkan keputusan persetujuan Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan untuk sebagian atau seluruh
Kawasan Hutan yang diusulkan.
(6) Kajian lingkungan hidup strategis dalam rangka
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan pada skala provinsi yang
merupakan bagian dari proses reviu rencana tata ruang
wilayah provinsi, menggunakan kajian lingkungan hidup
strategis rencana tata ruang wilayah provinsi yang
disusun oleh pemrakarsa kegiatan.

Pasal 74
Keputusan Menteri tentang Perubahan Peruntukan Kawasan
Hutan untuk wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 73 ayat (5) diintegrasikan oleh gubernur dalam revisi
rencana tata ruang wilayah provinsi.

Bagian

Sl( Nlo 0';9-561 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-50-
Bagian Ketiga
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

Paragraf 1

Umum

Pasal 75
(1) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 huruf b dilakukan untuk
memantapkan dan mengoptimalisasikan fungsi Kawasan
Hutan.
(21 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada Kawasan Hutan
dengan fungsi pokok:
a. Hutan Konservasi;
b. Hutan Lindung; dan
c. Hutan Produksi.
(3) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. secara parsial; atau
b. untuk wilayah provinsi.

Paragraf 2
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Secara Parsial

Pasal 76
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf a
dilakukan melalui perubahan fungsi:
a. antar fungsi pokok Kawasan Hutan; atau
b. dalam fungsi pokok Kawasan Hutan.
Pasal 77

SK l.Jo 0995(10 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-51 -

Pasal 77
Perubahan fungsi antar fungsi pokok Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf a meliputi
perubahan fungsi dari:
a. Kawasan Hutan Konservasi menjadi Kawasan Hutan
Lindung dan/atau Kawasan Hutan Produksi;
b. Kawasan Hutan Lindung menjadi Kawasan Hutan
Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Produksi; dan
c. Kawasan Hutan Produksi menjadi Kawasan Hutan
Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Lindung.

Pasal 78
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan konservasi menjadi
Kawasan Hutan Lindung danf atau Kawasan Hutan Produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a dilakukan
dengan ketentuan:
a. tidak memenuhi seluruh kriteria sebagai Kawasan Hutan
Konservasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
b. memenuhi kriteria Kawasan Hutan Lindung atau
Kawasan Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 79
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan lindung menjadi Kawasan
Hutan Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dilakukan
dengan ketentuan:
a. tidak memenuhi kriteria sebagai Kawasan Hutan Lindung
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, dalam hal untuk diubah menjadi Kawasan
Hutan Produksi; dan
b. memenuhi kriteria Kawasan Hutan Konservasi atau
Kawasan Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 80 ...

SK No 087462A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-52-
Pasal 80
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan produksi menjadi
Kawasan Hutan Konservasi dan/atau Kawasan Hutan
Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 h:uruf c wajib
memenuhi kriteria sebagai Kawasan Hutan Konservasi atau
Kawasan Hutan Lindung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 81
Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf b dilakukan
dalam:
a. Kawasan Hutan Konservasi; atau
b. Kawasan Hutan Produksi.

Pasal 82
(1) Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf
a meliputi perubahan dari:
a. kawasan cagar alam menjadi kawasan suaka
margasatwa, taman nasional, taman Hutan raya,
taman wisata alam, atau Taman Buru;
b. kawasan suaka margasatwa menjadi kawasan cagar
alam, taman nasional, taman Hutan raya, taman
wisata alam, atau Taman Buru;
c. kawasan taman nasional menjadi kawasan cagar
alam, kawasan suaka margasatwa, taman Hutan
raya, taman wisata alam, atau Taman Buru;
d. kawasan taman Hutan raya menjadi kawasan cagar
alam, kawasan suaka margasatwa, taman nasional,
taman wisata alam, atau Taman Buru;
e. kawasan taman wisata alam menjadi kawasan cagar
alam, kawasan suaka margasatwa, taman nasional,
taman Hutan taya, atau Taman Buru; atau
f. kawasan Taman Buru menjadi kawasan cagar alam,
kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman
Hutan raya, atau taman wisata alam.
(2) Perubahan

SK No 087461 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-53-
(2) Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan
Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam hal:
a. sudah terjadi perubahan kondisi biofisik Kawasan
Hutan akibat fenomena alam, lingkungan, atau
manusia;
b. diperlukan jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan
manfaat Kawasan Hutan; atau
c. cakupan luasnya sangat kecil dan dikelilingi oleh
lingkungan sosial dan ekonomi akibat pembangunan di
luar kegiatan Kehutanan yang tidak mendukung
kelangsungan proses ekologi secara alami.

Pasal 83
Perubahan fungsi dalam fungsi pokok kawasan Hutan
Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf b
meliputi perubahan dari:
a. Kawasan Hutan Produksi Tetap menjadi Kawasan Hutan
Produksi yang dapat Dikonversi; dan
b. Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi menjadi
Kawasan Hutan Produksi Tetap.

Pasal 84
(1) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf a
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan berdasarkan usulan yang diajukan oleh:
a. gubernur, untuk Kawasan Hutan Lindung dan
Kawasan Hutan Produksi; atau
b. pengelola Kawasan Hutan Konservasi.
(3) Dalam hal usulan perubahan fungsi dalam rangka kegiatan
proyek strategis nasional, program pemulihan ekonomi
nasional, pengadaan tanah untuk bencana alam, dan tanah
obyek reforma agraria yang ditetapkan Pemerintah Pusat,
dapat diusulkan oleh menteri/pimpinan lembaga yang
ditetapkan sebagai pelaksana.
Pasal 85

SK No 087460A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-54-
Pasal 85
(1) Menteri setelah menerima usulan Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
ayat (2) dan ayat (3) membentuk tim terpadu.
(2) Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri.
(3) Menteri berdasarkan hasil penelitian tim terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menerbitkan
keputusan tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan atau
surat penolakan.
(4) Setiap Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial
yang memperoleh keputusan Perubahan Fungsi Kawasan
Hutan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat dilakukan pengelolaan dan/atau kegiatan sesuai
fungsi Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Paragraf 3
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
Untuk Wilayah Provinsi

Pasal 86
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan untuk wilayah provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf b
dilakukan pada Kawasan Hutan dengan fungsi pokok:
a. Hutan Konservasi;
b. Hutan Lindung; dan
c. Hutan Produksi.

Pasal 87
(1) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 sampai dengan
Pasal 85 berlaku mutatis mutandis terhadap Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan untuk wilayah provinsi.

(2) Setiap...

SK No 087459 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-55-
(2) Setiap Perubahan Fungsi Kawasan Hutan untuk wilayah
provinsi yang memperoleh keputusan Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan dari Menteri dapat dilakukan pengelolaan
dan/atau kegiatan sesuai fungsi Kawasan Hutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB IV

PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 89
Penggunaan Kawasan Hutan bertujuan untuk mengatur
penggunaan sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan Kehutanan.

Pasal 90
(1) Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 hanya dapat dilakukan di dalam:
a. Kawasan Hutan Produksi; dan/atau
b. Kawasan Hutan Lindung.
(21 Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok
Kawasan Hutan dengan mempertimbangkan batasan
luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan.

Bagian

SK No 099579 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-56-
Bagian Kedua

Tata Cara Penggunaan Kawasan Hutan

Pasal 91
(1) Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan Kehutanan hanya dapat
dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan
strategis yang tidak dapat dielakkan.
(21 Kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. religi;
b. pertambangan;
c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik,
serta teknologi energi baru dan terbarukan;
d. pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun
pemancar radio, stasiun relay televisi, dan stasiun
bumi pengamatan keantariksaan;
e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
f. sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai
sarana transportasi umum untuk keperluan
pengangkutan hasil produksi;
g. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air
minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan
bangunan pengairan lainnya;
h. fasilitas umum;
i. industri selain Pengolahan Hasil Hutan;
j. pertahanan dan keamanan;
k. prasarana penunjang keselamatan umum;
1. penampungan korban bencana alam dan lahan
usahanya yang bersifat sementara atau pertanian
tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan
ketahanan energi; atau
m. tempat pemrosesan akhir sampah, fasilitas
pengolahan limbah, atau kegiatan pemulihan
lingkungan hidup.
Pasal 92 ...

SK No 087457 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-57 -

Pasal 92
(1) Penggunaan Kawasan Hutan untuk kegiatan
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
ayat (21huruf b dilakukan dengan ketentuan:
a. dalam Kawasan Hutan Produksi dapat dilakukan:
1. penambangan dengan pola pertambangan
terbuka; dan/atau
2. penambangan dengan pola pertambangan bawah
tanah;
b. dalam Kawasan Hutan Lindung hanya dapat
dilakukan penambangan dengan pola pertambangan
bawah tanah dengan ketentuan dilarang
mengakibatkan:
1. turunnya permukaan tanah;
2. berubahnya fungsi pokok Kawasan Hutan secara
permanen; dan/atau
3. terjadinya kerusakan akuifer air tanah'
(21 Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dikecualikan bagi kegiatan pertambangan yang dalam
dokumen lingkungannya telah dikaji bahwa akan
berdampak pada penurunan permukaan tanah,
perubahan fungsi pokok Kawasan Hutan secara
permanen, atau gangguan akuifer air tanah yang
dilengkapi dengan upaya yang akan dilakukan untuk
meminimalisir dampak dimaksud.
(3) Penambangan bawah tanah pada Hutan Lindung
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 93
Selain kegiatan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
ayat (2), Penggunaan Kawasan Hutan dapat dilakukan untuk
kegiatan lain yang dapat menunjang pengelolaan Hutan secara
langsung maupun tidak langsung melalui mekanisme kerja
sama.
Pasal 94
(1) Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan Kehutanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) dilakukan berdasarkan
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.

(2) Persetujuan ..

Sl( No 099-5-59 A
PRESIDEN
REPLIBLIK INDONESIA

-58-
(2) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan berlaku sebagai
persetujuan pemanfaatan ka1ru, serta persetujuan
pemasukan dan penggunaan peralatan.
(3) Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan Kehutanan untuk
kepentingan umum khususnya proyek prioritas
Pemerintah Pusat, dilakukan dengan ketentuan:
a. dalam hal pengadaan tanah dilakukan oleh instansi
pemerintah, melalui mekanisme Pelepasan Kawasan
Hutan; atau
b. dalam hal pengadaan tanah dilakukan oleh selain
instansi pemerintah, dengan ketentuan:
1. bersifat permanen, dengan mekanisme
Pelepasan Kawasan Hutan; atau
2. bersifat tidak permanen atau untuk menghindari
fragmentasi Kawasan Hutan serta dapat menjadi
bagian pengelolaan Hutan, dengan mekanisme
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.
(41 Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) huruf b angka 2 dapat
dilakukan:
a. pada provinsi yang terlampaui kecukupan luas
Kawasan Hutannya; dan/atau
b. pada provinsi yang kurang kecukupan luas Kawasan
Hutannya.
(s) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pada provinsi
yang terlampaui kecukupan luas Kawasan Hutan nya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a wajib
membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan.
(6) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pada provinsi
yang kurang kecukupan luas Kawasan Hutannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b wajib:
a. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan; dan
b. membayar PNBP komPensasi.
(7) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan wajib
melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS.

(8) Persetujuan

Sl( Ne 009-5-s,q A
PRESIDEN
REPUELIK INDONESIA

-59-
(8) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk kegiatan:
a. pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas
laut atau udara, dan sarana meteorologi, klimatologi,
dan geofisika;
b. kegiatan survei dan eksplorasi;
c. penampungan korban bencana alam dan lahan
usahanya yang bersifat sementara;
d. infrastruktur oleh instansi pemerintah yang bersifat
non komersial;
e. religi meliputi tempat ibadah, tempat pemakaman,
dan wisata rohani; dan
f. kegiatan program strategis nasional, pemulihan
ekonomi nasional, serta ketahanan pangan (food
estate) dan energi yang bersifat non komersial,
dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), ayat (6), dan ayat (7).
(9) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk
infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf
d, dibebani kewajiban untuk melakukan penanaman
tanaman kayu di bagian tepi di kiri kanan atau sekeliling
areal Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagai
bentuk perlindungan.

Pasal 95
(1) Penggunaan Kawasan Hutan di luar kegiatan Kehutanan
tanpa memiliki izin di bidang Kehutanan yang dilakukan
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2O2O tentang Cipta Keda, dapat diterbitkan Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan setelah dipenuhinya Sanksi
Administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(21 Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. perkebunan;
b. kegiatan ...

l.ii( lrlc 0i9.;-57 A


PRESTDEN
REPUBLIK INDONEEIA
-60-
b. kegiatan lain meliputi minyak dan B?S,
ketenagalistrikan, infrastruktur panas bumi, tambak,
pertanian, permukiman, dan/atau wisata alam,
beserta sarana dan prasarananya; dan/atau
c. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat
(2t.

Pasal 96
(1) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (3) huruf b
angka 2 serta Pasal 95 ayat (1) diberikan oleh Menteri
berdasarkan permohonan.
(21 Menteri dapat melimpahkan wewenang pemberian
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dengan luasan
tertentu kepada gubernur untuk pembangunan fasilitas
umum yang bersifat nonkomersial dan pertambangan
ralryat.

Pasal 97
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat
(1) diajukan oleh:
a. menteri atau pimpinan lembaga;
b.
gubernur atau bupati/wali kota;
c.
pimpinan badan hukum; atau
d.
Perseorangan, kelompok orang dan/atau Masyarakat.
(21 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.

Pasal 98

SK No 087453 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 61 -

Pasa] 98
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (1), Menteri melakukan penilaian.
(2) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) permohonan tidak memenuhi persyaratan,
Menteri menerbitkan surat penolakan.
(3) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) permohonan memenuhi persyaratan, Menteri
menerbitkan Persetujuan Penggunaaan Kawasan Hutan.

Pasal 99
(1) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
wajib:
a. melaksanakan tata batas areal Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan;
b. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan;
c. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi
DAS;
d. membayar PNBP kompensasi, bagi pemegang
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pada
provinsi yang kurang kecukupan luas Kawasan
Hutannya;
e. menyelenggarakan Perlindungan Hutan;
f. melaksanakan reklamasi danlatau reboisasi pada
Kawasan Hutan yang diberikan Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan yang sudah tidak
digunakan;
g. mengganti biaya investasi kepada pengelola/
pemegang pengelolaanf Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan; dan
h. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh
Menteri.

(2) Pemegang

Sl( Nk-r 0q9-5.56 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-62-
(2) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan wajib
melaksanakan tata batas areal Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah diterbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan dan tidak dapat diperpanjang.
(3) Dalam hal pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan merupakan instansi pemerintah, badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan
usaha milik desa, jangka waktu pelaksanaan tata batas
sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(4) Dalam hal pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan telah menyelesaikan pelaksanaan tata batas areal
Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (21dan ayat (3), Menteri menetapkan batas areal
kerja Penggunaan Kawasan Hutan.
(5) Dalam hal pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan tidak menyelesaikan pelaksanaan tata batas areal
Penggunaan Kawasan Hutan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (3),
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan menjadi batal
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 1OO

Pengelolaan dan pemanfaatan PNBP kompensasi dan PNBP


Penggunaan Kawasan Hutan diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang PNBP.

Pasal 101
Penggunaan denda administratif yang berasal dari Sanksi
Administratif dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang PNBP.

Pasal 102

SK No 087451 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-63-
Pasal 102
Berdasarkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan,
pemegang persetujuan dapat melakukan penebangan pohon
dalam rangka pembukaan lahan dengan membayar PSDH
dan/atau DR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 103
(1) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
Hutan dilarang:
a. memindahtangankan Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan kepada pihak lain atau melakukan
perubahan nama pemegang Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan tanpa persetujuan Menteri;
b. menjaminkan atau mengagunkan areal Penggunaan
Kawasan Hutan kepada pihak lain;
c. menggunakan merkuri bagi kegiatan pertambangan;
dan/atau
d. melakukan kegiatan di dalam areal Penggunaan
Kawasan Hutan sebelum memperoleh penetapan
batas areal kerja Penggunaan Kawasan Hutan, kecuali
membuat kegiatan persiapan berupa pembangunan
direksi kit dan/atau pengukuran sarana dan
prasarana.
(2) Dalam hal Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
diberikan untuk kegiatan pembangunan nasional yang
bersifat vital yaitu panas bumi untuk pembangkit tenaga
listrik, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan,
pertahanan dan kemanan, pemulihan ekonomi nasional
dan ketahanan pangan (food estatel, dan energi yang
bersifat non komersial serta waduk dan bendungan,
pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
dapat melakukan kegiatan di areal Penggunaan Kawasan
Hutan sebelum pelaksanaan tata batas diselesaikan.

Pasal 104
(1) Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
diberikan sama dengan jangka waktu Perizinan Berusaha
sesuai bidangnya dan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Jangka...

SK No 087450A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-64-
(21 Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
untuk kegiatan yang tidak memerlukan Perizinan
Berusaha sesuai bidangnya, diberikan dengan jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.
(3) Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
untuk kepentingan pertahanan negara, sarana
keselamatan lalu lintas laut atau udara, jalan umum, jalur
kereta api, waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran
air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi,
bangunan pengairan lainnya, sarana meteorologi,
klimatologi, geofisika, serta religi berlaku selama
digunakan untuk kepentingan dimaksud.
(4) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dievaluasi
oleh Menteri 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun atau
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan
bahwa pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan tidak lagi menggunakan Kawasan Hutan sesuai
dengan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, maka
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dicabut.

Pasal 105
(1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.
(21 Dalam melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
mendelegasikan kepada pejabat yang ditunjuk atau
melimpahkan kepada gubernur.

Pasal 1O6
(1) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) hapus apabila:
a. jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan telah berakhir;
b. dicabut oleh Menteri;
c. dicabut oleh Menteri atas keputusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap; atau

d. diserahkan
SK No 087449 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-65-
d. diserahkan kembali secara sukarela oleh pemegang
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan kepada
Menteri sebelum jangka waktu berakhir dengan
pernyataan tertulis.
(21 Pencabutan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
jika pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
dikenakan sanksi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(3) Berdasarkan penyerahan kembali secara sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Menteri
menerbitkan keputusan pencabutan Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan.

Pasal 107
(1) Hapusnya Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 tidak
membebaskan kewajiban pemegang Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan untuk menyelesaikan
kewajiban:
a. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan;
b. membayar PNBP kompensasi bagi pemegang
persetujuan penggunaan Kawasan Hutan yang
dikenakan kewajiban pembayaran PNBP
kompensasi;
c. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi
DAS atau reboisasi pada lahan kompensasi;
d. melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada
Kawasan Hutan yang diberikan Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan yang sudah tidak
digunakan;
e. membayar PSDH dan/atau DR; dan
f. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan
dalam Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.

(21Pada

SK No 087448 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-66-
(21 Pada saat hapusnya Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaan
barang tidak bergerak termasuk tanaman yang telah
ditanam dalam Kawasan Hutan yang diberikan
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan maupun
barang bergerak, kepemilikannya ditentukan sesuai
den gan keten tuan peraturan perundang-undan gan.
(3) Barang bergerak yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (21 kepemilikannya menjadi milik pemegang
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak hapusnya
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sejak
kegiatan reklamasi dinilai berhasil, wajib dikeluarkan
dari Kawasan Hutan oleh pemegang Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan.
(4) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), pemegang Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan yang persetujuannya
hapus tidak mengeluarkan barang bergerak dari
Kawasan Hutan, barang bergerak dilelang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Kawasan Hutan dengan Tujuan Tertentu

Paragraf 1

Umum

Pasal 108
(1) Untuk tujuan tertentu Kawasan Hutan dapat ditetapkan
sebagai:
a. Kawasan Hutan dengan tujuan khusus;
b. Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus; atau
c. Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Menteri.
Paragraf 2 ...

SK No 087447 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-67 -

Paragraf 2
Kawasan Hutan dengan T\.rjuan Khusus

Pasal 1O9
(1) Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf a ditetapkan
untuk kepentingan:
a. penelitian dan pengembangan Kehutanan;
b. pendidikan dan pelatihan Kehutanan; atau
c. religi dan budaya setempat.
(21 Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
pada:
a. semua fungsi Kawasan Hutan kecuali pada cagar
alam dan zona inti taman nasional;
b. Kawasan Hutan yang telah dibebani pengelolaan oleh
badan usaha milik negara bidang Kehutanan; atau
c. Kawasan Hutan yang telah dibebani Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan, setelah dikeluarkan
dari areal kerjanya.
(3) Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
a. tidak mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan;
b. tidak mengubah bentang lahan pada Hutan
Konservasi atau Hutan Lindung;
c. penutupan Hutan bukan berupa Hutan primer; dan
d. ditetapkan menjadi zonalblok khusus dalam
penataan areal KPH.
(4) Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan luas dengan mempertimbangkan:
a. luas areal KPH, paling banyak 5% (lima persen) dari
luas setiap KPH;

b. kecukupan ...

SK No 087446 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-68-
b kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan
Hutannya, paling luas 5O0 (lima ratus) hektar per unit
Kawasan Hutan dengan tujuan khusus untuk
kegiatan penelitian dan pengembangan Kehutanan
serta pendidikan dan pelatihan Kehutanan; dan
c untuk 1 (satu) unit Kawasan Hutan dengan tujuan
khusus untuk kegiatan religi dan budaya, paling luas
10 (sepuluh) hektar.

Pasal 1 10
(1) Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ditetapkan oleh
Menteri berdasarkan permohonan.
(2) Permohonan penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
kepentingan:
a. Kementerian; atau
b. di luar Kementerian meliputi:
1. perguruan tinggi;
2. lembaga penelitian bidang Kehutanan;
3. lembaga pendidikan bidang Kehutanan;
4. lembaga MHA; atau
5. lembaga keagamaan.
(3) Persyaratan permohonan untuk Kawasan Hutan dengan
tujuan khusus untuk kepentingan Kementerian dilengkapi:
a. proposal pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan
khusus; dan
b. peta permohonan pada peta dasar skala 1:50.000 (satu
banding lima puluh ribu).
(4) Persyaratan permohonan untuk Kawasan Hutan dengan
tujuan khusus untuk kepentingan di luar Kementerian
dilengkapi:
a. proposal pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan
khusus;
b. penunjukkan lembaga pengelola Kawasan Hutan
dengan tujuan khusus;

C peta

SK No 087445 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-69-
c. peta permohonan pada peta dasar skala 1:50.000 (satu
banding lima puluh ribu);
d. pertimbangan teknis dari pejabat Kementerian; dan
e. surat pernyataan dalam bentuk akta notariil yang
menyatakan ke san ggupan memenuhi kewaj iban dalam
pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus
dan tidak akan memidahtangankan kepada pihak lain.
(5) Berdasarkan permohonan dilakukan penilaian administrasi
dan penilaian teknis.
(6) Berdasarkan hasil penilaian administrasi dan penilaian
teknis Menteri menetapkan Kawasan Hutan dengan tujuan
khusus.

Pasal 111

(1) Menteri menetapkan kriteria dan standar pengelolaan


Kawasan Hutan dengan tujuan khusus untuk
mewujudkan pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan
khusus yang mandiri, meliPuti:
a. Perencanaan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus;
b. pelaksanaan kegiatan Kawasan Hutan dengan tujuan
khusus;
c. kerja sama pengelolaan Kawasan Hutan dengan
tujuan khusus;
d. Pemanfaatan Hutan pada areal Kawasan Hutan
dengan tujuan khusus;
e. pembangunan sarana dan prasarana pendukung
Kawasan Hutan dengan tujuan khusus; dan
f. pelaporan pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan
khusus.
(21 Kawasan Hutan dengan tujuan khusus hapus dan
berakhir apabila:
a. dikembalikan kepada pemerintah; dan/atau
b. dikenakan Sanksi Administratif berupa pencabutan.

Paragraf 3

Sl( No 099-5-5-s A
PRES!DEN
REPUBLIK INDONESIA
-70-
Paragraf 3
Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus

Pasal 1 12
(1) Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf b ditetapkan
untuk kepentingan:
a. Perhutanan Sosial;
b. Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan
Kawasan Hutan;
c. Penggunaan Kawasan Hutan;
d. rehabilitasi Hutan;
e. Perlindungan Hutan; atau
f. Pemanfaatan Jasa Lingkungan.
(2) Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada areal
yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada badan
usaha milik negara bidang Kehutanan pada sebagian Hutan
Negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan
Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa
Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
(3) Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan dengan
ketentuan:
a. tidak mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan;
b. tidak mengubah bentang lahan pada Hutan Lindung
atau Hutan Produksi; dan
c. penutupan Hutannya bukan berupa Hutan primer.
(4) Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 1 13
(1) Pengelolaan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dilaksanakan oleh
Menteri.

(2) Menteri ...

SK No 087443 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7t-
(2) Menteri menetapkan kriteria dan standar pengelolaan
Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus untuk
mewujudkan pengelolaan Hutan lestari.

Paragraf 4
Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan

Pasal 1 14
(1) Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf c
dilakukan Menteri berdasarkan permohonan.
(21 Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
kegiatan penyediaan Kawasan Hutan guna pembangunan
ketahanan pangan (food estatel.
(3) Permohonan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
atau Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan
(food estatel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh:
a. menteri atau pimpinan lembaga;
b. gubernur atau bupati/wali kota; atau
c. kepala badan otorita yang ditugaskan khusus oleh
Pemerintah Pusat.
(4) Permohonan Penetapan Kawasan Hutan untuk
ketahanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilengkapi dengan dokumen:
a. pernyataan komitmen; dan
b. persyaratan teknis.
(5) Pernyataan komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a untuk Penetapan Kawasan Hutan untuk
ketahanan pangan, dibuat dalam bentuk surat bermeterai
yang menyatakan:
a. kesanggupan menyelesaikan masterplan pengelolaan
Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan, yang
memuat rencana pengelolaan Kawasan Hutan untuk
ketahanan pangan dan menyusun Detail Enginering
Design dalam hal Kawasan Hutan untuk ketahanan
pangan berasal dari Kawasan Hutan Lindung;
b. kesanggupan ...

'il( t'lr; 0995-<J n


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-72-
b. kesanggupan menyelesaikan tata batas areal
Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan
dan berkoordinasi dengan Kementerian;
c. kesanggupan menyelesaikan persetujuanlingkungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
d. kesanggupan mengganti biaya investasi tanaman
kepada pengelola/ pemegang izin.
(6) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b untuk Penetapan Kawasan Hutan untuk
ketahanan pangan, meliputi:
a. kajian lingkungan hidup strategis;
b. proposal dan rencana teknis yang ditandatangani
oleh pemohon;
c. peta permohonan Penetapan Kawasan Hutan untuk
ketahanan pangan dengan menggunakan peta dasar
skala paling kecil 1:50.000 (satu banding lima puluh
ribu); dan
d. pakta integritas dalam bentuk surat bermeterai yang
menyatakan:
1. semua dokumen yang dilampirkan sah;
2. tidak melakukan kegiatan sebelum mendapat
persetujuan dari Menteri;
3. bersikap transparan, jujur, objektif, dan
akuntabel;
4. tidak memberi, menerima, menjanjikan
hadiah/hiburan dalam bentuk apapun;
5. melakukan permohonan Perizinan Berusaha
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
6. sanggup menghadapi konsekuensi hukum,
apabila melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5.

Pasal 115
(1) Penyediaan Kawasan Hutan untuk pembangunan
ketahanan pangan (food estate) dengan mekanisme
Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan
dilakukan pada:
a. Kawasan Hutan Lindung; dan/atau
b. Kawasan Hutan Produksi.
(2) Kawasan ...

SK No 087441 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-73-
(2) Kawasan Hutan Lindung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi
lindung dilakukan melalui kegiatan pemulihan terlebih
dahulu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Penyediaan Kawasan Hutan untuk pembangunan
ketahanan pangan (food estatel dapat dilakukan pada
Kawasan Hutan:
a. yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha
milik negara bidang Kehutanan;
b. yang telah dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan, setelah dikeluarkan dari areal kerjanya; dan
c. yang telah dicadangkan atau telah dibebani
persetujuan Perhutanan Sosial atau telah
dicadangkan untuk tanah objek reforma agraria
dengan menyesuaikan program yang berorientasi
pada ralryat dan reforma agraria.
(4) Menteri menetapkan batasan luasan Kawasan Hutan
untuk ketahanan pangan dengan mempertimbangkan
luasan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan dan
kecukupan luas Kawasan Hutan dan hasil kajian
lingkungan hidup strategis.
(5) Pengelolaan penggunaan Kawasan Hutan untuk ketahanan
pangan, meliputi:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan Penggunaan Kawasan Hutan;
c. pelaksanaan kegiatan Kawasan Hutan untuk
ketahanan pangan;
d. kerja sama pengelolaan Kawasan Hutan untuk
ketahanan pangan;
e. Pemanfaatan Hutan pada areal Kawasan Hutan untuk
ketahanan pangan;
f. pembangunan sarana dan prasarana pendukung;
o
b' pemulihan dan rehabilitasi Hutan; dan
h. pelaporan pengelolaan.

Pasal I 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggunaan Kawasan Hutan
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V ...

SK No 09960i A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-74-
BAB V

TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN


SERTA PEMANFAATAN HUTAN

Bagian Kesatu

Tata Hutan

Pasal 1 17
(1) Tata Hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan
Kawasan Hutan yang lebih intensif untuk memperoleh
manfaat yang lebih optimal dan lestari.
(21 Tata Hutan meliputi pembagian Kawasan Hutan dalam
blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi, dan
rencana Pemanfaatan Hutan.
(3) Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dibagi
pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi
pengelolaan.

Pasal 118
(1) Tata Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ll7
dilaksanakan pada setiap Unit Pengelolaan Hutan di
semua Kawasan Hutan.
(21 Kegiatan Tata Hutan pada setiap Unit Pengelolaan Hutan
terdiri dari:
a. inventarisasi Hutan;
b. perancangan Tata Hutan;
c. penataan batas dalam Unit Pengelolaan Hutan; dan
d. pemetaan.
(3) Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dilakukan melalui survei lapangan dan/atau
analisis data hasil penginderaan jauh serta informasi
sumber daya Hutan dari pemangku yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Perancangan Tata Hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dilakukan dengan perancangan blok dan
petak serta perancangan pembukaan wilayah Hutan
dengan mempertimbangkan sumber daya Hutan, bentang
lahan, jenis pengelolaan Hutan, dan efektivitas
pengelolaan Hutan sesuai fungsi Kawasan Hutan.
(5) Penataan ...

Sl( No ()?9601 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-75-
(5) Penataan Batas dalam Unit Pengelolaan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan
berdasarkan rancangan Tata Hutan dan jenis pengelolaan
yang dapat dilakukan pada Unit Pengelolaan Hutan.
(6) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf d
dilakukan dengan penyusunan rancangan Tata Hutan
dalam bentuk peta yang menggunakan sumber data
spasial dengan skala paling kecil 1 : 50.000 (satu banding
lima puluh ribu) atau peta dasar terbesar yang tersedia.
(71 Peta Tata Hutan ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditugaskan oleh Menteri.
(8) Tata Hutan dan pen5rusunan rencana pengelolaan Hutan
pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dilakukan oleh KPH.

Bagian Kedua
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
Pasal 119
(1) Berdasarkan blok dan petak melalui kegiatan Tata Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, disusun rencana
pengelolaan Hutan untuk jangka waktu tertentu.
(21 Pen5rusunan rencana pengelolaan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memperhatikan neraca sumber
daya Hutan, rencana Kehutanan tingkat nasional, rencana
Kehutanan tingkat provinsi, nilai budaya, aspirasi
Masyarakat setempat, kondisi sosial, dan kelembagaan
serta pengendalian lingkungan pada setiap Unit
Pengelolaan Hutan.
(3) Rencana Pengelolaan Hutan meliputi :
a. rencana pengelolaan Hutan jangka panjang untuk
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun; dan
b. rencana pengelolaan Hutan jangka pendek untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun.
(4) Rencana pengelolaan Hutan jangka panjang disusun oleh
KPH dan ditetapkan Menteri atau pejabat yang
ditugaskan.
(5) Rencana pengelolaan Hutan jangka pendek disusun oleh
KPH berdasarkan rencana pengelolaan Hutan jangka
panjang dan ditetapkan oleh kepala organisasi perangkat
daerah provinsi yang membidangi Kehutanan.

Pasal 120

SK No 087438 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
_76_

Pasal 120
(1) Rencana pengelolaan Hutan jangka panjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 ayat (3) huruf a memuat unsur:
a. tujuan yang akan dicapai KPH;
b. potensi sumber daya Hutan;
c. kondisi yang dihadapi; dan
d. strategi serta kelayakan pengembangan pengelolaan
Hutan, yang meliputi Tata Hutan, pemanfaatan, dan
Penggunaan Kawasan Hutan, rehabilitasi Hutan dan
reklamasi, dan perlindungan dan pengamanan Hutan
dan konservasi alam.
(2) Rencana pengelolaan Hutan jangka pendek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 ayat (3) huruf b, memuat
unsur:
a. tujuan pengelolaan Hutan lestari dalam skala KPH
yang bersangkutan;
b. evaluasi hasil rencana jangka pendek sebelumnya;
c. target yang akan dicapai;
d. basis data dan informasi;
e. kegiatan yang akan dilaksanakan;
f. status neraca sumber daya Hutan;
g. pemantarran, evaluasi, dan pengendalian kegiatan;
dan
h. partisipasi para pihak.

Pasal 121
(1) Rencana pengelolaan Hutan jangka panjang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 19 ayat (3) huruf a, wajib disusun
oleh Kepala KPH paling lambat 2 (dua) tahun setelah
organisasi KPH ditetapkan.
(21 Rencana pengelolaan Hutan jangka pendek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 ayat (3) huruf b, wajib disusun
oleh Kepala KPH paling lambat 1 (satu) tahun setelah
rencana pengelolaan Hutan jangka panjang disahkan.
(3) Dalam hal wilayah KPH dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
belum memiliki rencana pengelolaan Hutan jangka
panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kegiatan
Pemanfaatan Hutan dapat dilaksanakan berdasarkan
pada rencana Kehutanan tingkat nasional.
Pasal 122 ...

SK No 087437 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-77 -

Pasal 122
(1) Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya,
menetapkan organisasi KPH.
(2) Pemenuhan kebutuhan alokasi sumber daya manusia dan
sarana prasarana untuk KPH konservasi diselenggarakan
oleh Menteri.
(3) Pemenuhan kebutuhan alokasi sumber daya manusia dan
sarana prasarana untuk KPH lindung dan KPH produksi
diselenggarakan oleh gubernur.
(41 Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat
(21 dan ayat (3) wajib memiliki kompetensi di bidang
Kehutanan.
(5) Organisasi KPH lindung dan organisasi KPH produksi
merupakan unit pelaksana teknis daerah yang ditetapkan
dengan peraturan gubernur.
(6) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan tugas dan
fungsi KPH lindung dan KPH produksi dibentuk unit
manajemen tingkat tapaklresort KPH lindung dan latau
KPH produksi oleh Pemerintah Daerah provinsi.

Pasal 123
Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi:
a. menyusun rencana pengelolaan Hutan yang dituangkan
dalam dokumen rencana pengelolaan Hutan jangka
panjang dan rencana pengelolaan Hutan jangka pendek;
b. melaksanakan koordinasi perencanaan pengelolaan
Hutan dengan pemegang Perizinan Berusaha, pemegang
persetujuan penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan
serta pengelola Perhutanan Sosial;
c. melaksanakan fasilitasi implementasi kebijakan di bidang
lingkungan hidup dan Kehutanan yang meliputi:
f . inventarisasi Hutan, Pengukuhan Kawasan Hutan,
Penatagunaan Kawasan Hutan dan pen5rusunan
rencana Kehutanan;
2. rehabilitasi Hutan dan reklamasi;
3. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
Hutan; dan

4. perlindungan...

SK No 087436 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-78-
4. perlindungan dan pengamanan Hutan, pengendalian
kebakaran Hutan dan lahan, mitigasi ketahanan
bencana dan perubahan iklim.
d. melaksanakan fasilitasi, bimbingan teknis,
pendampingan, dan pembinaan kelompok tani Hutan
dalam mendukung kegiatan Perhutanan Sosial;
e. melaksanakan fasilitasi Penataan Kawasan Hutan dalam
rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan
Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan
Hutan;
f. melaksanakan fasilitasi pertumbuhan investasi,
pengembangan industri, dan pasar untuk mendukung
pemulihan ekonomi nasional;
g. melaksanakan fasilitasi kegiatan dalam rangka ketahanan
pangan (food estatel dan energi;
h. melaksanakan fasilitasi peningkatan kapasitas sumber
daya manusia;
i. melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas
pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan;
j. melaksanakan Pengawasan dan pengendalian atas
kegiatan pengelolaan Hutan; dan
k. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di wilayah kerjanya.

Pasal 124
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi sesuai
kewenangannya bertanggung jawab terhadap
pembangunan dan pengembangan KPH.
(21 Anggaran pembangunan dan pengembangan KPH
bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
c. dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 125
(1) Pemerintah Pusat dapat melimpahkan penyelenggaraan
pengelolaan Hutan kepada badan usaha milik negara
bidang Kehutanan.
(2) Pelimpahan ...

SK No 087435 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-79 -

(21 Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada


badan usaha milik negara bidang Kehutanan meliputi
pengelolaan Hutan pada sebagian Hutan Negara yang
berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan
Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur,
Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
(3) Direksi badan usaha milik negara bidang Kehutanan yang
mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan
Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membentuk
organisasi kesatuan pemangkuan Hutan dan menunjuk
kepala kesatuan pemangkuan Hutan.
(41 Penyelenggaraan pengelolaan Hutan oleh badan usaha
milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk kewenangan
publik.
(5) Kewenangan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
meliputi:
a. Penunjukan Kawasan Hutan dan Penetapan
Kawasan Hutan;
b. Pengukuhan Kawasan Hutan;
c. Penggunaan Kawasan Hutan;
d. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan;
e. pemberian Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
kepada pihak ketiga atas pengelolaan Hutan yang ada
di wilayah kerjanya; dan
f. kegiatan yang berkaitan dengan penyidik pegawai
negeri sipil Kehutanan.
(6) Dalam hal kegiatan Penggunaan Kawasan Hutan atau
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) huruf c dan huruf d diperuntukkan bagi kegiatan
pembangunan di luar kegiatan Kehutanan, badan usaha
milik negara bidang Kehutanan memberikan
pertimbangan teknis kepada Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Terhadap ...

SK No 087434 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-80-
(7t Terhadap Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan
Produksi yang tidak dilimpahkan penyelenggaraan
pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang
Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan pengelolaan
khusus untuk kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan
KawasanHutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan
Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka
Pemanfaatan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan
Hutan, rehabilitasi Hutan atau Pemanfaatan Jasa
Lingkungan yang menjadi kewenangan' Pemerintah Fusat.
(8) Penyelenggaraan pengelolaan Perhutanan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (71, mengacu pada
PIAPS.
(e) di Pulau
Penyelenggaraan pengelolaan Hutan Lindung
Jawa dilakukan dengan memperhatikan kaidah
konservasi dalam rangka memperkuat fungsi lindung.
(10) Penyelenggaraan pengelolaan Hutan oleh badan usaha
milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.

Bagian Ketiga
Pemanfaatan Hutan

Paragraf 1

Umum

Pasal 126
(1) Pemanfaatan Hutan bertujuan untuk memperoleh
manfaat hasil dan jasa Hutan secara optimal, adil, dan
lestari bagi kesejahteraan Masyarakat.
(21 Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan:
a. usaha Pemanfaatan Kawasan;
b. usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan;
c. usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan
Kayu; dan
d. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu.
Pasal 127 .

SK No C87433 A
PRESIDEN
REPUBLIK !NDONESIA

-81 -

Pasal 127
(1) Kegiatan Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 126 dilakukan berdasarkan Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan atau kegiatan Pengelolaan
Perhutanan Sosial.
(2) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat
dipindahtangankan setelah mendapat persetujuan tertulis
dari pemberi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.
(3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dilakukan
penilaian kinerja dengan memenuhi standar dan pedoman
pengelolaan Hutan lestari yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Kegiatan Pemanfaatan Hutan dapat dilakukan pada:
a. Hutan Lindung;
b. Hutan Produksi; atau
c. Hutan Konservasi.
(5) Kegiatan Pemanfaatan Hutan pada Hutan Konservasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf c dan
perizinan berusahanya diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung

Pasal 128
( 1)
Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dilakukan
melalui kegiatan:
a. usaha Pemanfaatan Kawasan;
b. usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan; atau
c. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.
(21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan, Pemanfaatan Jasa
Lingkungan, atau Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada blok
pemanfaatan.
(3) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, selain
dilakukan pada blok pemanfaatan dapat dilakukan pada
blok inti dengan tidak merrrsak tegakan Hutan.

Pasal 129 ...

Sl( No 099-578 A
PRFSIDqN
REPUP!: . IN'...NESIA
-82-
Pasal 129
(1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan
Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. budidaya hijauan makanan ternak;
f. budidaya buah-buahan dan biji-bijian;
g. budidaya tanaman atsiri;
h. budidaya tanaman nira;
i. wana mina (siluofisheryl;
j. wana ternak (siluopastural;
k. tanam wana tani (agroforestryl;
1. wana tani ternak (agrosiluopastura);
m. penangkaran satwa liar; dan/atau
n. rehabilitasi satwa.
lr2l Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan
Lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan ketentuan:
a. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan
fungsi utamanya;
b. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik
dan sosial ekonomi;
c. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat
berat; dan
d. tidak membangun sarana dan prasarana yang
mengubah bentang alam.

Pasal 130
(1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada
Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pemanfaatan aliran air;
b. pemanfaatan ...

SK Nc 087431 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-83-
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. pemulihan lingkungan; dan f atau
f. penyerapan danf atau penyimpanan karbon.
(2) Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada
Hutan Lindung, dilakukan dengan ketentuan:
a. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan
fungsi utamanya;
b. tidak mengubah bentang alam;
c. tidak merusak keseimbangan unsur-unsur
lingkungan; dan
d. tidak dilakukan pada blok inti dan blok khusus.

Pasal 131
(1) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada
Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128
ayat (1) huruf c, berupa:
a. rotan;
b. madu;
c. getah;
d. buah;
e. biji;
f. jamur;
g. daun;
h. bunga;
i. sarang burung walet; dan/atau
j.hasil Hutan bukan kayu lainnya.
(21 Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada
Hutan Lindung dilakukan dengan ketentuan:
a. hasil Hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah
tersedia secara alami dan/atau hasil rehabilitasi;
b. tidak merusak lingkungan;
c. tidak

SK No 087430 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-84-
c. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan
fungsi utamanya; dan
d. memungut hasil Hutan bukan kayu sesuai jumlah,
berat atau volume yang diizinkan.

Pasal 132
PemegangPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung, dilakukan dengan Multiusaha Kehutanan meliputi
kegiatan:
a. Pemanfaatan Kawasan;
b. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan/atau
c. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.

Pasal 133
(1) Jangka waktu kegiatan usaha Pemanfaatan Hutan pada
Hutan Lindung paling singkat 35 (tiga puluh lima) tahun.
(21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dapat diperpanjang setelah dilakukan
evaluasi oleh Menteri.

Pasal 134
(1) Pembatasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
terdiri atas:
a. pembatasan luasan;
b. pembatasanjumlahPerizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan; dan
c. penataan lokasi usaha.
(2) Pembatasan luasan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf
a dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keadilan,
pemerataan, daya dukung dan daya tampung lingkungan,
kelestarian Hutan, dan kepastian usaha.
(3) Pembatasan jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dapat diberikan paling banyak 2 (dua) Perizinan
Berusaha untuk setiap Pelaku Usaha.

(4) Penataan

SK No 487429 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDO].IESIA
-85-
(41 Penataan lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, dilakukan dengan mempertimbangkan paling
sedikit aspek kondisi biogeofisik dan potensi hasil Hutan.

Pasal 135
(1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132
diberikan oleh Menteri.
(21 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung diproses melalui Sistem OSS sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung diberikan pada areal yang telah ditetapkan oleh
Menteri berupa Peta Arahan Pemanfaatan Hutan.
(41 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan oleh:
a. Perseorangan;
b. Koperasi;
c. badan usaha milik negara;
d. badan usaha milik daerah; atau
e. badan usaha milik swasta.
(5) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung diberikan apabila memenuhi persyaratan teknis
dan pemenuhan komitmen berupa:
a. penyampaiandokumenlingkungan;
b. pembuatan berita acara koordinat geografis areal
yang dimohon; dan
c. pelunasan IPBPH.

Pasal 136 ...

Sl( Nlo 099600 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-86-
Pasal 136
Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung yang kegiatannya
tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib
memenuhi standar upaya pengelolaan lingkungan dan upaya
pemantauan lingkungan sesuai dengan ketentuan
perundan gan -undangan.

Pasal 137
(1) Pemberian Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada
Hutan Lindung dilakukan berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria Pertzinan Berusaha.
(21 Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan, diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri.
(3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung dilarang diberikan dalam:
a. wilayah kerja badan usaha milik negara bidang
Kehutanan yang telah mendapat pelimpahan
penyelenggaraan pengelolaan Hutan; dan
b. areal Hutan yang telah dibebani Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan.

Pasal 138
Setiap pemegan g Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada
Hutan Lindung berhak melakukan kegiatan usaha dan
memperoleh manfaat dari hasil usahanya.

Pasal 139
Setiap pemegan g P erizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada
Hutan Lindung, wajib:
a. menyusun dokumen perencanaan paling lambat 1 (satu)
tahun setelah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
diterbitkan;
b. melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling lambat 1
(satu) tahun sejak Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
diterbitkan;
c. melaksanakan ...

SK No 087427 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-87 -

c. melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1


(satu) tahun sejak Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
diterbitkan;
d. melaksanakan Perlindungan Hutan di areal kerjanya;
e. melakukan upaya pencegahan kebakaran Hutan di areal
kerjanya;
f. bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran Hutan di
areal kerjanya;
g. melakukan pemulihan lingkungan;
h. menatausahakan keuangan kegiatan usahanya;
i. mempekerjakan tenaga profesional bidang Kehutanan dan
tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan;
j. membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
k. melakukan PUHH;
1. menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada
Menteri;
m. melaksanakan kemitraan dengan Masyarakat setempat;
n. melaksanakan kerja sama dengan Koperasi dan/atau
usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau
o. melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 140
PemegangPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung, dilarang:
a. menebang pohon pada areal Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan;
b. melakukan pemanenan atau pemungutan hasil Hutan
melebihi daya dukung Hutan;
c. memindahtangankan Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi
Perizinan Berusaha;
d. membangun ...

SK No 087426 A
PRESIDEN
REPUELIK INDONESIA
-88-
d. membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam;
e. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau
f. meninggalkan areal kerja.

Paragraf 3
Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi

Pasal 141
(1) Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi dilaksanakan
berdasarkan prinsip untuk mengelola Hutan lestari dan
meningkatkan fungsi utamanya.
(21 Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui kegiatan:
a. usaha Pemanfaatan Kawasan;
b. usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan;
c. usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kryr;
d. usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan K.yr;
e. Pemungutan Hasil Hutan K"y,.r; dan/atau
f. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.

Pasal 142
(1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan
Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal l4l ayat (2)
huruf a, dilakukan paling sedikit meliputi kegiatan:
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa liar;
f. budidaya sarang burung walet;
g. rehabilitasi satwa;
h. budidaya hijauan makanan ternak;

i. budidaya

SK No 087425 A
PRESIDEN
REPUELIK INDONESIA
-89-
i. budidaya buah-buahan dan biji-bijian;
j. budidaya tanaman atsiri;
k. budidaya tanaman nira;
1. budidaya serat;
o. wana mina (siluofisheryl;
p. wana ternak (siluopasfiral;
m. tanam wana tani (agroforestryl;
n. wana tani ternak (agrosiluopasfitra);
o. budidaya tanaman penghasil biomassa atau
bioenergg; dan/atau
p. budidaya tanaman pangan dalam rangka ketahanan
pangan.
(21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan
Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
bersifat limitatif dan dapat diberikan kegiatan
pemanfaatan lainnya, dengan tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi.

Pasal 143
(1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada
Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141
ayat (2) huruf b dilakukan paling sedikit meliputi:
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. pemulihan lingkungan; dan latau
f. penyerapan danf atau penyimpanan karbon.
(21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada
Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan kegiatan
pemanfaatan lainnya, dengan tidak merusak
keseimbangan unsur lingkungan.

Pasal 144

SK No 087424 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-90-
Pasal 144
(1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141
ayat (2) huruf c dilaksanakan untuk mengoptimalkan
fungsi produksi dengan memperhatikan keseimbangan
lingkungan dan sosial, untuk tetap menjaga kelestarian
Hutan.
(21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Produksi dilakukan melalui:
a. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang tumbuh alami;
dan/atau
'
b. Pemanfaatan Hasil Hutan Ka)ru budidaya tanaman.
(3) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan dengan satu atau lebih
Sistem Silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber
daya Hutan dan lingkungannya.
(41 Sistem Silvikultur dipilih dan diterapkan dalam
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi
berdasarkan:
a. umur tegakan; dan
b. sistem pemanenan Hutan.
(5) Sistem silvikultur dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Produksi paling sedikit meliputi:
a. Sistem Silvikultur tebang habis permudaan buatan;
b. Sistem Silvikultur tebang habis permudaan alam;
c. Sistem Silvikultur tebang pilih tanam Indonesia;
d. Sistem Silvikultur tebang jalur tanam Indonesia;
e. Sistem Silvikultur tebang pilih tanam jalur; dan
f. Sistem Silvikultur tebang rumpang.
(6) Penerapan Sistem Silvikultur sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dalam pelaksanaannya dapat menggunakan
teknik silvikultur intensif.

Pasal 145

sr( I'to 087427 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9t-
Pasal 145
(1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang
tumbuh alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144
ayat (21huruf a meliputi kegiatan:
a. penebangan/pemanenan;
b. pengayaan;
c. pembibitan;
d. penanaman;
e. pemeliharaan;
f. pengamanan;
g. pengolahan; dan
h. pemasaran.
(2) Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Ka]ru budidaya
tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (2)
huruf b, meliputi kegiatan:
a. penyiapan lahan;
b. pembibitan;
c. penanaman;
d. pemeliharaan;
e. pengamanan;
f. pemanenan;
g. pengolahan; dan
h. pemasaran.
(3) Kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui inventarisasi
Hutan menyeluruh berkala pada seluruh areal kerja.
(4) Hasil inventarisasi Hutan menyeluruh berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijadikan dasar
pen5rusunan rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan
untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dengan
memperhatikan rencana pengelolaan jangka panjang KPH.
(5) Rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (41, dievaluasi oleh pemberi Perizinan
Berusaha sesuai kebutuhan.
(6) Tanaman ...

SK No 087422 A
FRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-92-
(6) Tanaman yang dihasilkan dari Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu budidaya tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
merupakan aset pemegangPerizinan Berusaha dan dapat
dijadikan agunan sepanjang Perizinan Berusaha yang
dipegang masih berlaku.
(7) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu budidaya tanaman hasil
rehabilitasi dilaksanakan melalui penjualan tegakan.

Pasal 146
(U Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
l4l ayat (2) huruf d, paling sedikit berupa pemanfaatan:
a. rotan, sagu, nipah, aren, bambu;
b. getah, kulit ka5ru, daun, buah atau biji, gaharu;
c. komoditas pengembangan bahan baku bahan bakar
nabati (bioenerggl; dan I atau
d. komoditas pengembangan tanaman pangan,
yang meliputi kegiatan pengayaan/penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan/atau
pemasaran.
(21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
untuk kegiatan pengembangan bahan baku bahan bakar
nabati (bioenerg,gd sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi yang
tidak produktif.

Pasal 147
Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal l4l ayat (2) huruf e,
dilakukan untuk:
a. memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum
kelompok Masyarakat setempat; dan
b. memenuhi kebutuhan individu.

Pasal 148 ...

SK l.lo 087421 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
_93_

Pasal 148
(1) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada
Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141
ayat (21huruf f hanya boleh dilakukan oleh Masyarakat di
sekitar Hutan.
(2) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada
Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. rotan;
b. madu;
c. getah;
d. buah atau biji;
e. daun;
f. gaharu;
g. kulit kayu;
h. tanaman obat;
i. umbi-umbian; atau
j. hasil Hutan bukan kayu lainnya.
(3) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada
Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terhadap tumbuhan liar dan/atau satwa liar dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 149
PemegangPertzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Produksi, dilakukan dengan Multiusaha Kehutanan meliputi
kegiatan:
a. Pemanfaatan Kawasan;
b. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;
c. Pemanfaatan Hasil Hutan K"y,r;
d. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan K.yr;
e. Pemungutan Hasil Hutan K"yr; dan/atau
f. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.

Pasal 150 ...

SK No 087420 A
PRESIDEN
REPUBLTK INDONESIA
-94-
Pasal 150
(1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal I49,
diberikan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) tahun.
(21 Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang setelah dilakukan evaluasi oleh Menteri.

Pasal 151
(1) Pembatasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada
Hutan Produksi meliputi:
a. pembatasan luasan;
b. pembatasan jumlah Perizinan Berusaha; dan
c. penataan lokasi.
(21 Pembatasan luasan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf
a, dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keadilan,
pemerataan, daya dukung dan daya tampung lingkungan,
kelestarian Hutan dan kepastian usaha.
(3) Pembatasan luasan Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling luas
50.000 Ha (lima puluh ribu hektare), kecuali untuk
wilayah Papua, dapat diberikan paling luas 100.000 Ha
(seratus ribu hektare).
(41 Pembatasan jumlah Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan paling
banyak 2 (dua) Perizinan Berusaha.
(5) Penataan lokasi Penzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan
dengan mempertimbangkan antara lain aspek kondisi
biogeofisik dan potensi hasil Hutan.

Pasal 152

S!( No 037419 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-95-
Pasal 152
(1) Setiap kegiatan Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149, wajib
memiliki Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dari
Menteri.
(2) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Produksi diproses melalui Sistem OSS sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Produksi diberikan pada areal yang telah ditetapkan oleh
Menteri berupa Peta Arahan Pemanfaatan Hutan.
(4) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan oleh:
a. Perseorangan;
b. Koperasi;
c. badan usaha milik negara;
d. badan usaha milik daerah; atau
e. badan usaha milik swasta.
(5) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diberikan
apabila memenuhi persyaratan teknis dan pemenuhan
komitmen berupa:
a. penyampaian dokumen lingkungan;
b. pembuatan berita acara koordinat geografis areal
yang dimohon; dan
c. pelunasan IPBPH.

Pasal 153
(1) PemberianPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada
Hutan Produksi dilakukan berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha.
(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi,
diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

(3) Perizinan

SK No 087418 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-96-
(3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang
diberikan dalam:
a. wilayah kerja badan usaha milik negara bidang
Kehutanan yang telah mendapat pelimpahan
penyelenggaraan pengelolaan Hutan ;

b. Kawasan Hutan yang telah dibebani Perizinan


Berusaha Pemanfaatan Hutan;
c. Kawasan Hutan yang telah diberikan persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial; dan
d. Kawasan Hutan yang telah diberikan persetujuan
penggunaan Kawasan Hutan dan Pelepasan
Kawasan Hutan.

Pasal 154
Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi yang kegiatannya
mengubah bentang alam dan mempengaruhi lingkungan serta
berdampak penting wajib memenuhi analisis mengenai dampak
lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 155
Setiap pemegang Perrzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
Produksi berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat
dari hasil usahanya.

Pasal 156
Setiap pemegan g Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada
Hutan Produksi, wajib:
a. men)rusun dokumen rencana kerja usaha Pemanfaatan
Hutan untuk 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan
rencana pengelolaan Hutan jangka panjang KPH, paling
lambat 1 (satu) tahun setelah Perizinan Berusaha
diberikan;
b. menyusun rencana kerja tahunan berdasarkan rencana
kerja usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud
pada huruf a.

c. melaksanakan

SK No 487417 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-97 -

c. melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling lambat 1

(satu) tahun setelah Perizinan Berusaha diterbitkan;


d. melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 2
(dua) tahun sejak Perizinan Berusaha diberikan;
e. melaksanakan Perlindungan Hutan di areal kerjanya;
f. melakukan upaya pencegahan kebakaran Hutan di areal
kerjanya;
g. bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran Hutan di
areal kerjanya;
h. melakukan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan di
areal kerjanya;
i. melaksanakan penanaman paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari target yang telah ditentukan;
j. merealisasikan produksi hasil Hutan paling sedikit 50%
(lima puluh persen) dari target yang direncanakan;
k. menatausahakankeuangankegiatanusahanya;
l. mempekerjakan tenaga profesional bidang Kehutanan dan
tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan
dan kompetensi;
m. membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
n. melaksanakan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dengan
Sistem Silvikultur sesuai dengan kondisi Hutan;
o. melaksanakan pemanenan hasil Hutan kayu dengan
menerapkan teknik pembalakan berdampak
rendah / Reduce Impact Logging;
p. melakukan PUHH;
q. melakukan pengukuran atau pengujian hasil Hutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
r. menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada
Menteri; dan/atau
s. melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 157

SK No 0E7416 A
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
-98-
Pasal 157
(1) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 156, badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, badan usaha milik swasta, pemegang
Perizinan Berusaha wajib melakukan kerja sama dengan
Koperasi Masyarakat setempat, paling lambat 3 (tiga)
tahun setelah diterimany a P erizinan Berusaha.
(2) PemegangPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dalam
melaksanakan kegiatan usaha Pemanfaatan Hutan wajib
melakukan kemitraan dengan Masyarakat di dalam dan di
sekitar Hutan.
(3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat bekerja
sama dengan badan usaha lainnya antara lain dalam
rangka menunjang ketahanan pangan (food estate) dan
energi.

Pasal 158
Peme gan g P erizinan Berusaha Pemanfaatan H asil Hutan untuk
kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang tumbuh alami,
dilarang:
a. menebang pohon yang dilindungi;
b. menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar
5% (lima persen) dari total target volume yang ditentukan
dalam rencana kerja tahunan;
c. menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar
3o/o (tiga persen) dari volume per jenis kayu yang
ditetapkan dalam rencana kerja tahunan;
d. menebang pohon sebelum rencana kerja tahunan
disahkan;
e. menebang pohon untuk pembuatan koridor sebelum ada
persetujuan atau tidak sesuai dengan persetujuan
pembuatan koridor;
f. menebang pohon di bawah batas diameter yang diizinkan;
g. menebang pohon di luar blok tebangan yang dirzinkan;
h. menebang pohon untuk pembuatan jalan bagi lintasan
angkutan kayu di luar blok rencana kerja tahunan, kecuali
dengan persetujuan dari pejabat yang berwenang;

i. meninggalkan

Sl( No 087415 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-99 -

1 meninggalkan areal kerja; dan/ atau


J memindahtangankan Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi
Perizinan Berusaha.

Paragraf 4
Perpanjangan, Perubahan Luas, dan Hapusnya Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan

Pasal 159
(1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali.
(2) Permohonan perpanjangan Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan harus diajukan paling lambat 2 (dua)
tahun sebelum berakhirny a Perizinan Berusaha.
(3) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang
tidak mengajukan permohonan perpanjangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (21, pemberi Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan menerbitkan keputusan
hapusny a P erizinan Berusaha.

Pasal 160
(1) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Pemanfaatan Hutan secara lestari, dilakukan perubahan
luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan antara lain dilaksanakan dengan mengurangi
luasan areal kerja Penzinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan.
l2l Pengurangan luasan areal kerja Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat dilakukan dalam hal terjadi paling sedikit:
a. tumpang tindih Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan;
b. perubahan status dan/atau fungsi Kawasan Hutan
yang diakibatkan adanya perubahan tata ruang; atau

c. kebijakan...

.Sl( No 099.599 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 100-
c. kebijakan Pemerintah, meliputi proyek strategis
nasional, pemulihan ekonomi nasional, ketahanan
pangan (food estate) dan kegiatan lainnya yang
strategis serta Penataan Kawasan Hutan dalam
rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan pada areal
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.
(3) Pengurangan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21,
melalui:
a. permohonan oleh pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan;
b. permohonan oleh gubernur; atau
c. penetapan oleh pemberi Perizinan Berusaha.

Pasal 161
(1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus, apabila:
a. jangka waktu Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan telah berakhir;
b. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dicabut oleh
pemberi Perizinan Berusaha sebagai sanksi yang
dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha
atau berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap; atau
c. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diserahkan
kembali oleh pemegang Perizinan Berusaha dengan
pernyataan tertulis kepada pemberi Perizinan
Berusaha sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha
berakhir.
(2) Sebelum Pefizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu
diaudit oleh pemberi Perizinan Berusaha.
(3) Hapusnya Pertzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak
membebaskan kewajiban pemegang Perizinan Berusaha
untuk melunasi seluruh kewajiban finansial serta
memenuhi seluruh kewajiban lainnya yang ditetapkan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan/atau
Pemerintah Daerah kabupaten/ kota.
(a) Pada ...

Sl( Nlo 0c)9598 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-101 -

(41 Pada saat hapusnya Perizinan Berusaha sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), seluruh barang tidak bergerak
menjadi milik negara kecuali aset berupa hasil budidaya
tanaman.
(s) Aset berupa hasil budidaya tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (4l1, harus dimanfaatkan oleh
pemegan g Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan paling
iam" 1 (satu) tahun sejak hapusnya Petuinan Berusaha,
dan dalam hal tidak dimanfaatkan menjadi milik negara.
(6) Dengan hapusnya Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota
tidak bertanggung jawab atas kewajiban pemegang
Perizinan Berusaha terhadap pihak ketiga'

Paragraf 5

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan

Pasal 162
(1) Pengolahan Hasil Hutan bertujuan untuk:
a. meningkatkan investasi;
b. meningkatkan nilai tambah hasil Hutan;
c. memanfaatkan hasil Hutan secara efisien;
d. menciptakan laPangan kerja;
e. mewujudkan Pengolahan Hasil Hutan yang efisien,
produktif dan berdaya saing tinggi;
f. menjamin terselenggaranya rantai pasok hasil Hutan
legal; dan
g. menjamin tersedianya bahan baku legal untuk
pengolahan lanjutan.
(2) Pengolahan Hasil Hutan terdiri atas:
a. Pengolahan Hasil Hutan kaYu; dan
b. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu.

(3) Pengolahan

SK No 099571 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-to2-
(3) Pengolahan Hasil Hutan kayu dan Pengolahan Hasil Hutan
bukan kayu dapat dilakukan secara terintegrasi dalam 1
(satu) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan.
(4) Pengolahan Hasil Hutan dapat dibangun dan terintegrasi
di dalam areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
Produksi, pengelolaan oleh badan usaha milik negara
bidang Kehutanan dan persetujuan pengelolaan
Perhutanan Sosial.
(5) Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan
ketentuan:
a. telah memenuhi kelayakan teknis; dan
b. terletak pada lokasi yang telah disetujui oleh pejabat
yang berwenang.
(6) Dalam rangka penguatan daya saing Pengolahan Hasil
Hutan skala usaha kecil atau skala usaha menengah,
Pemerintah dapat memberikan bantuan sarana
Pengolahan Hasil Hutan.

Pasal 163
(1) Setiap usaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib memiliki
Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan.
(2) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan kepada:
a. Perseorangan;
b. Koperasi;
c. badan usaha milik desa;
d. badan usaha milik swasta;
e. badan usaha milik daerah; atau
f. badan usaha milik negara.
(3) Perizinan Berusaha pengolahan kayu bulat menjadi
produk kayu gergajian dengan kapasitas produksi kurang
dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun dan/atau
Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dengan skala usaha
kecil, hanya diberikan kepada:

a. Perseorangan ...

SK No 087411 A
PRES]DEN
REPUBLIK INDONESIA
-103-
a Perseorangan;
b Koperasi; atau
c badan usaha milik desa.
(41 Kapasitas produksi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil
Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan
dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku legal
dan/atau lestari.
(5) Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala besar
dan perubahannya diterbitkan oleh Menteri, untuk
kegiatan usaha:
a. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih
dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk
kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.0OO m3
(enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih;
b. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk-
produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala
usaha besar; dan
c. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih
dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk
kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.000 m3
(enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih yang
terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan
kayu skala usaha menengah atau skala usaha besar.
(6) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan Skala
Menengah dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur
untuk kegiatan usaha:
a. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih,
dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk
kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OO0 m3
(dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari
6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun;
b. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk-
produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala
usaha menengah; dan

c pengolahan

SK No 087410 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-104-
c. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih,
dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk
kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OOO m3
(dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari
6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun yang
terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan
kayu skala usaha kecil atau skala usaha menengah.
(71 Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala kecil
dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur, untuk
kegiatan usaha:
a. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih,
dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk
kayu olahan dengan kapasitas produksi kurang dari
2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun; dan
b. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk-
produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala
usaha kecil.
(8) Dalam hal Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan
danf ata:u perubahannya berstatus penanaman modal
asing, diterbitkan oleh Menteri.
(9) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahtangankan atau
dilakukan pemindahan hak atas saham dan dilaporkan
kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil
Hutan untuk dilakukan penyesuaian.
(10) Setiap perubahan data pokok dalam Pefizinan Berusaha
Pengolahan Hasil Hutan termasuk perluasan usaha
Pengolahan Hasil Hutan, dilakukan penyesuaian melalui
mekanisme addendum Perizinan Berusaha Pengolahan
Hasil Hutan.

Pasal 164
(1) Pengolahan Hasil Hutan kayu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 162 ayat (21 huruf a, meliputi seluruh
kegiatan pengolahan:
a. kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dan ragam
produk turunannya, kecuali mebel dan kerajinan;

b. kayu

SK l,lo 037409 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-105-
b. kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih
menjadi produk serpih kayu (tuood chips)dan ragam
produk turunannya, kecuali pulp dan kertas;
c. kayu bulat menjadi produk panel kayu dan ragam
produk turunannya; dan/atau
d. kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau
biomassa kayu menjadi ragam produk bioenergg.
(2) Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf b meliputi
kegiatan usaha:
a. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk
olahan setengah jadi; dan/atau
b. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk
jadi.
(3) Menteri berwenang mengatur, membina, dan
mengembangkan seluruh kegiatan usaha Pengolahan
Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2).

Pasal 165
(1) Pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa
mebel, kerajinan, pulp dan kertas merupakan tanggung
jawab dan wewenang menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
(2) Dalam pelaksanaan pengaturan produk Pengolahan Hasil
Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian harus memperhatikan daya dukung hasil
Hutan atas usulan dan masukan dari Menteri.

Pasal 166
(1) Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil
Hutan kayu dapat berasal dari:
a. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;
b. Pengelolaan Perhutanan Sosial;
c. pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang
Kehutanan;
d. Hutan ...

SK No 087408 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-106-
d. Hutan Hak;
e. perkebunan;
f. impor; dan
g. sumber sah lainnya.
(21 Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil
Hutan bukan kayu dapat berasal dari:
a. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;
b. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Lindung;
c. Pengelolaan Perhutanan Sosial;
d. pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang
Kehutanan;
e. Hutan Hak;
f. Perkebunan; dan
g. sumber sah lainnya.
(3) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan,
untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya dapat
mengembangkan Hutan Hak atau melaksanakan kerja
sama dengan pemegang Hutan Hak.
(4\ Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan selain menggunakan
bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2)', dapat menggunakan bahan baku setengah jadi
dan/atau bahan baku penolong lainnya yang berasal dari
sumber yang sah.

Pasal 167
(1) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 163, dilakukan melalui Sistem OSS
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(21 Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan
Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri.

Pasal 168
(1) Masa berlaku Penzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan
dinyatakan berakhir apabila:

a. dikembalikan ...

SK No 087407 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-to7-
a. dikembalikan oleh pemegang Perizinan Berusaha
Pengolahan Hasil Hutan kepada pemberi Perizinan
Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sesuai
kewenangannya;
b. dibatalkan oleh pemberi Perizinan Berusaha
Pengolahan Hasil Hutan apabila dalam kurun waktu
3 (tiga) tahun sejak Perizinan Berusaha Pengolahan
Hasil Hutan diterbitkan tidak merealisasikan
pembangunan pabrik dan/atau tidak melakukan
kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; atau
c. dicabut oleh pemberiPerizinan Berusaha Pengolahan
Hasil Hutan sebagai akibat dari pengenaan Sanksi
Administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(21 Menteri dan gubernur sesuai kewenangannya melakukan
pembinaan dan Pengawasan Perizinan Berrrsaha
Pengolahan Hasil Hutan dan kegiatan Pengolahan Hasil
Hutan.

Pasal 169
(1) Setiap pemegang Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil
Hutan berhak memperoleh kepastian dalam menjalankan
usahanya dan mendapatkan pelayanan dari Pemerintah
Fusat dan Pemerintah Daerah.
12) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku
untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi
dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan,
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang
Kehutanan, atau persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial.

Pasal 170
(1) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan,
wajib:
a. merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau
kegiatan Pengolahan Hasil Hutan;
b. menjalankan usahanya sesuai dengan legalitas
Perrzinan Berusaha yang dimiliki;

c. men)rusun

SK No 099591 A
PRESIDEN
REPUBLII. INOONESIA
- 108-

c. men5rusun dan menyampaikan rencana kegiatan


operasional setiap tahun melalui sistem rencana
pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;
d. menyampaikan laporan realisasi kinerja secara
periodik setiap bulan melalui sistem rencana
pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;
e. melaksanakan PUHH sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan ;
f. memiliki jaminan legalitas bahan baku dan produk;
g. mengajukan addendum Perizinan Berusaha apabila
merencanakan penambahan jenis pengolahan
dan/atau penambahan kapasitas produksi melebihi
30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang
diizinkan;
h. memiliki dan/atau mempekerjakan tenaga teknis
pengukuran dan pengujian hasil Hutan bersertifikat;
i. melaksanakan pengukuran dan pengujian sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. membayar PNBP atas jasa fasilitas pelayanan
dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen
penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. melaporkan pemindahtanganan Perizinan Berusaha
atau pemindahan hak atas saham kepada pemberi
Perizinan Berusaha;
l. melakukan penyesuaian perubahan data pokok
dalam Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan
apabila melakukan penambahan jenis Pengolahan
Hasil Hutan, penambahan ragam produk olahan,
atau melakukan perubahan data pokok Perizinan
Berusaha Pengolahan Hasil Hutan melalui addendum
Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan;
m. melakukan kegiatan produksi, memiliki sarana dan
prasarana kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; dan
n. mematuhi dan menaati ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(2) Kewajiban

SK No 087405 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONES!A
-109-
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga
diberlakukan untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan
yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang
Kehutanan, atau Persetujuan Pengelolaan Perhutanan
Sosial.

Pasal 171
(1) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal l7O ayat (1), pemegang Perizinan Berusaha
Pengolahan Hasil Hutan, dilarang:
a. memperluas usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa
addendum P erizinan Berusaha ;
b. memindahkan lokasi usaha Pengolahan Hasil Hutan
tanpa addendum Perizinan Berusaha;
c. melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan
pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan
hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;
d. menadah, menampung, atau mengolah bahan baku
hasil Hutan yang berasal dari sumber bahan baku
yang tidak sa}l (ilegal); atau
e. melakukan kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan
yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang
diberikan.
(21 Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
juga berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang
terintegrasi dengan usaha Pemanfaatan Hutan atau
Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Pasal 172
(1) Semua hasil Hutan yang diproduksi, diedarkan, diolah,
dan dipasarkan, harus berasal dari sumber bahan baku
yang legal dan/atau lestari.
(21 Untuk memastikan hasil Hutan berasal dari sumber yang
legal dan/atau lestari sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan kegiatan penjaminan legalitas hasil Hutan.
(3) Penjaminan legalitas hasil Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:

a. penilaian ...

SK No 087404 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 110-

a.penilaian kinerja pengelolaan Hutan Lestari;


b.verifikasi legalitas hasil Hutan; dan
c.deklarasi hasil Hutan secara mandiri.
(41 Pengendalian penjaminan legalitas produk hasil Hutan
diselenggarakan melalui sistem informasi pada
Kementerian.

Pasal 173
(1) Produk hasil Hutan dapat dipasarkan untuk tujuan dalam
negeri dan tujuan luar negeri.
(21 Produk ekspor atau produk impor hasil Hutan, harus
dilengkapi dengan dokumen penjaminan legalitas produk
hasil Hutan.
(3) Dalam hal pelaku ekspor berasal dari Pelaku Usaha mikro,
kecil, atau menengah, maka persyaratan dokumen
penjaminan legalitas produk hasil Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh Pemerintah
Pusat.
(4) Pemerintah Pusat dapat melakukan kerja sama
internasional untuk memperkuat sistem penjaminan
legalitas produk hasil Hutan.

Pasal 174
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya, berwenang mengatur, membina, dan
mengembangkan pemasaran hasil Hutan.
(21 Kewenangan pengaturan ekspor dan/atau impor hasil
Hutan diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perdagangan atas usulan Menteri.
(3) Usulan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
didasarkan hasil kajian kebutuhan ekspor dan/atau
impor hasil Hutan.

Paragraf 6 ...

SK No 087403 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 111-

Paragraf 6

Penatausahaan Hasil Hutan

Pasal 175
(1) Dalam rangka melindungi hak negara atas hasil Hutan,
menjamin legalitas dan tertib peredaran hasil Hutan serta
kelestarian Hutan, dilakukan pengendalian dan
pemasaran hasil Hutan melalui PUHH.
(21 Setiap Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan,
Pengolahan Hasil Hutan dan perizinan lainnya yang terkait
dengan peredaran hasil Hutan wajib melaksanakan PUHH
dengan sellassessment melalui Sistem Informasi PUHH.
(3) PUHH sebagaimana dimaksud pada ayat (21, dapat
terintegrasi dengan sistem informasi pada kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perindustrian, kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan latau
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
(4) PUHH yang berasal dari kegiatan Pengelolaan Perhutanan
Sosial, dilakukan pengukuran dan pengujian oleh tenaga
teknis di bidang pengelolaan Hutan atau pendamping dan
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara,
dilakukan pengukuran dan pengujian meliputi
volume/berat, penghitungan jumlah dan penetapan jenis
oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan sebagai
dasar pengenaan PNBP atas Pemanfaatan Hutan.
(6) Terhadap fisik hasil Hutan berupa kayu bulat yang telah
dilakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilakukan penandaan berupa pemasangan ID quick
response code.

Pasal 176
Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak, dilakukan
penetapan jenis, pengukuran volumef berat, dan penghitungan
jumlah serta dilengkapi dengan surat keterangan asal usul
hasil Hutan Hak.

Pasal 177 ...

SK No 087402A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-tt2-
Pasal 177
(1) Setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil
Hutan yang berasal dari Hutan Negara, wajib dilengkapi
bersama-sama dengan dokumen.
(21 Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan surat keterangan sahnya hasil Hutan yang
berlaku dan dipergunakan untuk mengangkut hasil Hutan
di dalam wilayah Republik Indonesia.

Pasal 178
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 harus
sesuai dengan fisik hasil Hutan yang diangkut.
(21 Kesesuaian fisik hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempertimbangkan hasil pengukuran dan
pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan.
(3) Pengukuran dan pengujian sebagaimana dimaksud pada
ayat (21 dilakukan sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia.

Paragraf 7
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pemanfaatan Hutan

Pasal 179
(1) PNBP atas Pemanfaatan Hutan berupa:
a. IPBPH;
b. PSDH;
c. DR;
d. dana hasil usaha penjualan tegakan yang berasal
dari Hutan tanaman hasil rehabilitasi;
e. penerimaan dari denda pelanggaran; dan
f. penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan
hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas
ekspor hasil Hutan.

(2) Instansi ...

SK No 087401 A
PRES!DEN
REPUBLIK INDONESIA
- 113 -
(2) Instansi Pengelola PNBP dan Wajib Bayar yang
menghitung sendiri PNBP terutang wajib
menatausahakan PNBP.

Pasal 180
Seluruh penatausahaan PNBP dilakukan secara self
assessment melalui Sistem Informasi PNBP bidang Kehutanan.

Pasal 181
(1) IPBPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (ll
huruf a dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan berdasarkan pada jangka waktu,
luas areal, dan tarif yang diberikan dalam Perizinan
Berusaha.
(2) Penentuan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan kondisi tutupan lahan.
(3) IPBPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut
sekali sebelum Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
diberikan.

Pasal 182
(1) PSDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1)
huruf b dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari
hasil Hutan dan/atau hasil usaha yang dipungut dari
Hutan Negara.
(21 Pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu tumbuh alami
dan pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu budidaya
tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau
atas lelang hasil Hutan kayu.
(3) Pemungutan PSDH atas hasil Hutan bukan kayu yang
berasal dari hasil Hutan bukan kayu tumbuh alami atau
hasil Hutan bukan kayu budidaya tanaman didasarkan
pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan
bukan kayu.
(4) Pemungutan PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (21
tidak berlaku bagi:
a. hasil Hutan yang berasal dari Hutan Adat yang
dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;

b. hasil

SK No 087400A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-tr4-
b. hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh
penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan
dan tidak diperdagangkan; atau
c. hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan
Hak.

Pasal 183
(1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1)
huruf c dikenakan atas Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
tumbuh alami berdasarkan laporan hasil produksi atau
atas lelang hasil Hutan kayu alam atau hasil rehabilitasi.
(21 Pengenaan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak berlaku bagi:
a. hasil Hutan kayu yang berasa-l dari budidaya
tanaman;
b. hasil Hutan kayu yang berasal dari Hutan Adat yang
dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;
c. hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh
penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan
dan tidak diperdagangkan; atau
d. hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan
Hak.
(3) DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
untuk kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan.
(4) Tata cara pelaksanaan rehabilitasi Hutan dan lahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri.

Pasal 184
Perencanaan DR terdiri atas:
a. rencana penerimaan; dan
b. rencana penggunaan.

Pasal 185 ..

SK No 087399 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 115 -
Pasal 185
(1) Penyusunan rencana penerimaan DR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 184 huruf a, organisasi perangkat
daerah provinsi penghasil melakukan inventarisasi dan
kompilasi rencana produksi hasil Hutan kayu yang
dikenakan DR dan disampaikan kepada Menteri.
(2) Berdasarkan laporan organisasi perangkat daerah
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri
melakukan verifikasi.
(3) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (21, Menteri men5rusun rencana penerimaan
negara yang bersumber dari DR untuk disampaikan
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.

Pasal 186
Rencana penggunaan DR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 184 huruf b, dituangkan dalam bentuk perencanaan
rehabilitasi Hutan dan lahan.

Pasal 187
(1) Perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan terdiri atas:
a. rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS;
dan
b. rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan.
(2) Rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun
dan ditetapkan oleh Menteri dalam jangka waktu 10
(sepuluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5
(lima) tahun.

Pasal 188
(1) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (1) huruf b
terdiri atas:
a. rencana tahunan rehabilitasi Hutan; dan

b. rencana

SK No 087398 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 116 -
b. rencana tahunan rehabilitasi lahan.
(2) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun oleh:
a. Menteri, pada Kawasan Hutan yang tidak dibebani
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang
Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan;
b. gubernur dan bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya pada taman Hutan raya; atau
c. pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara
bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Kawasan Hutan
yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha
milik negara bidang Kehutanan atau Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan.
(3) Rencana tahunan rehabilitasi lahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun oleh gubernur.

Pasal 189
Pen5rusunan rencana rehabilitasi Hutan dan lahan,
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai rehabilitasi Hutan dan
lahan.

Pasal 190
(1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dikenakan
sebesar tarif yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBPyang
berlaku pada kementerian teknis.
(2) Pengenaan DR terhadap pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan dilakukan berdasarkan laporan hasil
produksi.
(3) Pengenaan DR terhadap pemenang lelang hasil Hutan
kayu alam didasarkan pada berita acara hasil lelang.
Pasal 191
(1) DR wajib disetor ke kas negara.

(2) wajib

SK No 087397 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-tt7-
(2) Wajib Bayar DR menyetorkan DR melalui sistem
informasi PNBP yang telah terintegrasi dengan sistem
penerimaan negara.

Pasal 192
(1) PNBP berupa:
a. sisa DR setiap tahun yang diperoleh dari realisasi
setoran/penerimaan DR yang sudah mendapat
persetujuan penggunaan untuk bagian Pemerintah
Pusat setelah dikurangi realisasi penggunaan oleh
kementerian teknis;
b. penerimaan pembayaran kembali pinjaman/kredit
beserta bunganya dari para debitur dan denda
yang tidak dikelola oleh instansi yang menangani
pembiayaan pembangunan Hutan;
c. penerimaan hasil divestasi, deviden, dan pungutan
dari kayu sitaan;
d. pengembalian DR yang berada di pihak ketiga; dan
e. bunga dan/atau jasa giro yang berasal dari rekening
pembangunan Hutan,
disetor ke kas negara.
(2) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e digunakan untuk
kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan.

Pasal 193
(1) DR dibagi dengan imbangan:
a. 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah Pusat;
dan
b. 4Oo/o (empat puluh persen) bagian Pemerintah Daerah
provinsi penghasil.
(2) DR bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, dialokasikan melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara Kementerian.
(3) Penggunaan DR bagian Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (21 diutamakan untuk rehabilitasi
Hutan dan lahan di luar daerah provinsi penghasil DR.

(4) DR ...

SK No 087396 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 118 -
(4) DR bagian Pemerintah Daerah provinsi penghasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dialokasikan melalui Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.
(5) DR bagian Pemerintah Daerah provinsi penghasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disalurkan
dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum
negara ke rekening kas umum daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) DR bagian Pemerintah Daerah provinsi penghasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diutamakan
digunakan untuk kegiatan rehabilitasi di wilayah
penghasil DR di provinsi tersebut.

Pasal 194
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian dan
mekanisme penyaluran Dana Bagi Hasil DR diatur dengan
peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.

Pasal 195
DR digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah provinsi untuk membiayai kegiatan:
a. rehabilitasi Hutan dan lahan; dan
b. pendukung rehabilitasi Hutan dan lahan.

Pasal 196
(1) Kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 195 huruf a untuk Pemerintah
Pusat diselenggarakan melalui kegiatan:
a. reboisasi;
b. penghijauan;
c. pemeliharaan Hutan;
d. pengayaan tanaman;
e. penerapan teknis konservasi tanah secara vegetatif
dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif;
f. Perhutanan Sosial;

g. pencegahan

SK No 099575 A
PRES IDEN
REPUBLTK INDONESIA
- 119 -

g. pencegahan dan penanggulangan kebakaran Hutan


dan lahan; dan/atau
h. pemulihan ekosistem gambut dan mangrove.
(2) Kegiatan pendukung rehabilitasi Hutan dan lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 huruf b untuk
Pemerintah Pusat diselenggarakan melalui kegiatan:
a. prakondisi;
b. pengembangan perbenihan;
c. pengembangan teknologi;
d. pengamanan Hutan dan perlindungan tanaman;
e. pengembangan kelembagaan; dan latau
f. Penataan Kawasan Hutan.

Pasal 197
(i) Kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 195 huruf a untuk Pemerintah
Daerah provinsi meliputi:
a. pembangunan Hutan Hak;
b. penghijauan lingkungan;
c. pembangunan Hutan kota;
d. rehabilitasi Hutan dan lahan yang menjadi
kewenangannya;
e. rehabilitasi Hutan dan lahan oleh Masyarakat; dan
f. rehabilitasi lahan dan taman Hutan raya yang terdiri
atas:
1. penghijauan;
2. reboisasi;
3. pemeliharaan tanaman;
4. pengayaan tanaman;
5. penerapan teknik konservasi tanah secara
vegetatif dan sipil teknis;
6. penanaman pohon kanan kiri sungai; dan
7. pengendalian kebakaran Hutan dan lahan.

(2) Kegiatan

Sl( No 099-596 A
PFTESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t20-
(2) Kegiatan pendukung rehabilitasi Hutan dan lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 huruf b untuk
Pemerintah Daerah provinsi meliputi:
a. prakondisi;
b. pengembangan perbenihan;
c. pengembangan teknologi;
d. pencegahan dan penanggulangan kebakaran Hutan
dan lahan;
e. pengamanan Hutan dan perlindungan tanaman;
f. pengembangan kelembagaan; dan
g. pemulihan ekosistem gambut dan mangrove.

Pasal 198
(1) Menteri menyelenggarakan pembinaan dan
Pengawasan atas perencanaan, pengenaan,
pembayaran, penggunaan, dan pertanggungjawaban
DR.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan
atas operasionalisasi pengenaan, pembayaran, dan
penggunaan DR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pembinaan dan pengawasan terhadap perencanaan,
pengenaan, pembayaran, penggunaan, dan
pertanggungjawaban DR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri setelah
mendapat persetujuan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
pengawasan atas operasionalisasi pengenaan,
pembayaran, dan penggunaan DR sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 199

SK No 087393 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t2t-
Pasal 199
Dana hasil penjualan tegakan yang berasal dari Hutan
tanaman hasil rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
179 ayat (1) huruf d dipungut dari hasil Pemanfaatan Hutan
tanaman hasil rehabilitasi.

Pasal 200
Denda Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179
ayat (1) huruf e dikenakan terhadap Wajib Bayar yang
melakukan pelanggaran atas kewajiban dan larangan dalam
Pemanfaatan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 2O1
Pengenaan PNBP atas Pelayanan dokumen angkutan hasil
Hutan dan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf j
dikenakan kepada:
a. pengguna layanan dokumen angkutan hasil Hutan; atau
b. pengguna dokumen legalitas produk hasil Hutan melalui
penerbit dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil
Hutan.

Pasal 2O2
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Hutan, pen5rusunan
rencana pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan pada Hutan
Lindung dan Hutan Produksi, Pengolahan Hasil Hutan, PUHH,
dan PNBP Pemanfaatan Hutan diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VI

SK No 087392A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-r22-
BAB VI

PENGELOLAAN PERHUTANAN SOSIAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 203
Pemanfaatan Hutan melalui pengelolaan Perhutanan Sosia-l di
dalam Kawasan Hutan Negara dan Hutan Adat dilaksanakan
untuk mewujudkan kelestarian Hutan, kesejahteraan
Masyarakat, keseimbangan lingkungan, dan menampung
dinamika sosial budaya, diperlukan pemberian persetujuan,
pengakuan, dan peningkatan kapasitas kepada Masyarakat.

Pasal 204
(1) Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2O3, terdiri atas:
a. Hutan Desa;
b. Hutan Kemasyarakatan;
c. HTR;
d. Hutan Adat; dan
e. kemitraan Kehutanan.
(21 Kemitraan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e di Hutan Konservasi, diberikan dalam bentuk
kemitraan konservasi.
(3) Pada Hutan Lindung dapat diberikan persetujuan sebagai
Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan/atau kemitraan
Kehutanan.
(4) Pada Hutan Produksi dapat diberikan persetujuan sebagai
Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, HTR, dan/atau
kemitraan Kehutanan.
(5) Arahan areal pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c
ditetapkan oleh Menteri dalam bentuk PIAPS.

Pasal 205 ...

SK No 087391 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-r23-
Pasal 205
Pengelolaan Hutan yang dilakukan atas inisiatif Masyarakat
yang sudah berjalan dapat diproses menjadi pengelolaan
Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204.

Pasal 206
(1) Kegiatan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 204 meliPuti:
a. penataan areal dan penyusunan rencana;
b. pengembangan usaha;
c. penanganan konflik tenurial;
d. pendampingan; dan
e. kemitraan lingkungan.
(21 Penataan areal dan penyusunan rencana sebagaimana
dimaksud ayat (1) huruf a, meliputi:
a. penandaaan batas, penataan blok/petak, penataan
batas areal garapan per kepala keluarga dan
pemetaan; dan
b. pen5rusunan rencana jangka panjang 10 (sepuluh)
tahun dan rencana tahunan.
(3) Pengembangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, terhadap Pemanfaatan Hutan pada
pengelolaan Perhutanan Sosial, meliputi:
a. Pemanfaatan Kawasan;
b. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;
c. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan/atau
Pemungutan Hasil Hutan KaYu; dan
d. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dan/atau
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.
(41 Pengembangan usaha pengelolaan Perhutanan Sosial
dapat dilakukan secara mandiri oleh pemegang
persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dan/atau
bekerja sama dengan para pihak.
(5) Bentuk ...

SK Nlo 099514 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t24-
(5) Bentuk Pemanfaatan Kawasan, Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu dan/atau Pemungutan Hasil Hutan Ka5ru, dan
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dan/atau
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada pengelolaan
Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan dengan pola
tanam:
a. wana tani (agroforestryl;
b. wana mina (siluofishery);
c. wana ternak (siluopasfitre); dan
d. wana tani ternak (agrosiluopasture).
(6) Pemanfaatan areal pengelolaan Perhutanan Sosial
didasarkan kondisi dan potensi Hutan sesuai fungsi
konservasi, lindung, dan produksi.
(7) Peningkatan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh
Kementerian atau kementerian/lembaga, Pemerintah
Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan
para pihak sesuai perencanaan pengelolaan Perhutanan
Sosial dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 2O7
(1) Peningkatan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 206 ayat (7) dapat berupa:
a. fasilitasi;
b. pengembangan kelembagaan;
c. bimbingan teknis; dan
d. pendidikan dan pelatihan.
(21 Menteri melakukan pembinaan, pengendalian, dan
Pengawasan pengelolaan Perhutanan Sosial.
(3) Dalam melakukan Pengawasan pengelolaan Perhutanan
Sosial, Menteri dapat mendelegasikan kepada Pemerintah
Daerah.

Pasal 208

Sl( No 099-59-5 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-r25-
Pasal 208
(1) Persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial yang berada
pada areal Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus
dapat dilakukan melalui Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, dan HTR.
(2) Persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial yang berada di
areal badan usaha milik negara bidang Kehutanan
dilakukan melalui kemitraan Kehutanan.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan aset tanaman dan aset
lainnya pada areal Kawasan Hutan dengan pengelolaan
khusus dan pada areal badan usaha milik negara bidang
Kehutanan melalui kemitraan Kehutanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21, dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 2O9
Pengelolaan Perhutanan Sosial dapat diberikan kepada:
a. Perseorangan;
b. kelompok tani Hutan; dan
c. Koperasi.

Pasal 210
(1) Akses legal berupa persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial dalam Kawasan Hutan diberikan oleh Menteri.
(21 Jangka waktu pengelolaan Perhutanan Sosial selain
Hutan Adat diberikan paling lama 35 (tiga puluh lima)
tahun dan dapat diperpanjang.
(3) Persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial bukan
merupakan hak kepemilikan atas Kawasan Hutan.

Pasal 21 1

(1) Pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial


diberikan insentif atas kegiatan pemulihan lingkungan.
(21 Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 212 ...

SK No 087388 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-126-
Pasal2L2
(1) Pemegang persetujuan Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, dan HTR, wajib:
a. melaksanakan pengelolaan Hutan sesuai dengan
prinsip pengelolaan Hutan lestari yang dituangkan
dalam peraturan desa;
b. menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran
lingkungan;
c. memberi tanda batas areal kerjanya;
d. menyusun rencana pengelolaan Hutan, rencana kerja
usaha, dan rencana kerja tahunan, serta
menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada
pemberi persetujuan pengelolaan Hutan Desa;
e. melakukan penanaman dan pemeliharaan Hutan di
areal kerjanya;
f. melaksanakan penatausahan hasil Hutan;
g. membayar PNBP dari hasil kegiatan pengelolaan
Perhutanan Sosial sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undan gan ; dan
h. melaksanakan Perlindungan Hutan.
(21 Pemegang persetujuan Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, dan HTR, dilarang:
a. memindahtangankan persetujuan Pengelolaan
Perhutanan Sosial;
b. menanam kelapa sawit pada areal persetujuan
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
c. mengagunkan areal persetujuan Pengelolaan
Perhutanan Sosial;
d. menebang pohon pada areal persetujuan pengelolaan
Perhutanan Sosial dengan fungsi Hutan Lindung;
e. menggunakan peralatan mekanis pada areal
persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dengan
fungsi Hutan Lindung;
f. membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam pada areal persetujuan pengelolaan
Perhutanan Sosial dengan fungsi Hutan Lindung;

g. menyewakan .

SK No 087387 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t27-
g. menyewakan areal persetujuan Pengelolaan
Perhutanan Sosial; dan/atau
h. menggunakan persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial untuk kepentingan lain.

Pasal 213
(1) Pemilik kebun rakyat yang berada di Kawasan Hutan
Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O
tentang Cipta Kerja yang memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan, dapat mengajukan persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial dalam jangka waktu
tertentu yang selanjutnya dilakukan penanaman pohon
dalam rangka jangka benah.
(21 Pemanfaatan kebun ralgrat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. kemitraan Kehutanan atau kemitraan konservasi;
b. Hutan Desa; dan/atau
c. Hutan Kemasyarakatan.

Bagian Kedua
Hutan Desa

Pasal 214
Hutan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat (71
huruf a, dapat dilaksanakan dalam kawasan:
a. Hutan Lindung; dan
b. Hutan Produksi.

Pasal 215
(1) Legalitas pengelolaan Perhutanan Sosial dengan skema
Hutan Desa diberikan dalam bentuk persetujuan
pengelolaan Hutan Desa kepada lembaga desa oleh
Menteri.

(2) Pemanfaatan

SK No 087386 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-128-
(2) Pemanfaatan Hutan Desa yang berada pada:
a. Hutan Lindung, meliputi kegiatan:
1. PemanfaatanKawasan;
2. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan
3. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.
b. Hutan Produksi, meliputi kegiatan:
1. Pemanfaatan Kawasan;
2. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;
3. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan
Kayu; dan
4. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu.

Pasal 216
Persetujuan pengelolaan Hutan Desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 215 ayat (1) diberikan selama 35 (tiga puluh lima)
tahun dan dapat diperpanjang.

Pasal 217
(1) Menteri memberikan persetujuan pengelolaan Hutan Desa
dengan tembusan kepada gubernur atau bupati/wali kota
dan Kepala KPH.
(2) Dalam keadaan tertentu, pemberian persetujuan
pengelolaan Hutan Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilimpahkan oleh Menteri kepada gubernur.
(3) Lembaga desa sebagai pemegang persetujuan pengelolaan
Hutan Desa, wajib melaksanakan pengelolaan Hutan
sesuai dengan prinsip pengelolaan Hutan lestari yang
dituangkan dalam peraturan desa.
(41 Lembaga desa bersama Kepala KPH atau pejabat yang
ditunjuk, men5rusun rencana pengelolaan Hutan Desa
sebagai bagian dari rencana pengelolaan Hutan.

Pasal 218 ...

SK No 087385 A
PRESIDEN
REPUBLIK !NDONESIA
-t29-
Pasal 218
(1) Persetujuan pengelolaan Hutan Desa bukan merupakan
hak kepemilikan atas Kawasan Hutan.
(2) Kawasan Hutan yang ditetapkan sebagai Hutan Desa
wajib dikelola berdasarkan prinsip pengelolaan Hutan
lestari.
Pasal 2 19
Setiap pemanfaatan hasil Hutan pada persetujuan pengelolaan
Hutan Desa dikenakan PSDH dan/atau DR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Hutan Kemasyarakatan

Pasal 220
Pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk
Hutan
Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat
(1) huruf b dapat dilaksanakan dalam kawasan:
a. Hutan Lindung; dan/atau
b. Hutan Produksi.

Pasal 221
(1) Legalitas pengelolaan Perhutanan Sosial dengan skema
Hutan Kemasyarakatan diberikan dalam bentuk
Persetujuan Hutan Kemasyarakatan oleh Menteri.
(21 Persetujuan Hutan Kemasyarakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berada pada:
a. Hutan Lindung meliputi kegiatan:
1. Pemanfaatan Kawasan;
2. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan
3. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.
b. Hutan Produksi meliputi kegiatan:
1. Pemanfaatan Kawasan;
2. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

3. Pemanfaatan

SK No 087384 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESlA
- 130-

3. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu;


dan
4. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu.

Pasal 222
(1) Menteri memberikan persetujuan Hutan Kemasyarakatan
pada areal kerja Hutan Kemasyarakatan, dengan
tembusan kepada gubernur, bupati/wali kota, dan Kepala
KPH.
12) Dalam keadaan tertentu pemberian persetujuan Hutan
Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (l)
dapat dilimpahkan oleh Menteri kepada gubernur.
(3) Persetujuan Hutan Kemasyarakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada:
a. Perorangan;
b. kelompok tani; atau
c. Koperasi.
(4) Pemegang persetujuan Hutan Kemasyarakatan selain
melaksanakan kegiatan Pemanfaatan Hutan wajib
melaksanakan pengelolaan Hutan sesuai dengan prinsip
pengelolaan Hutan lestari.

Pasal 223
Persetujuan Hutan Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 222 ayat (1) diberikan paling lama 35 (tiga puluh
lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Pasal224
(1) Persetujuan Hutan Kemasyarakatan bukan merupakan
hak kepemilikan atas Kawasan Hutan.
(2) Kawasan Hutan yang ditetapkan untuk Hutan
Kemasyarakatan harus dikelola berdasarkan prinsip
pengelolaan Hutan lestari.

Pasal 225 ...

Sl( No 099(r 13 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-131 -

Pasal 225
Setiap pemegang persetujuan Hutan Kemasyarakatan
dikenakan PSDH dan/atau DR sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Hutan Tanaman Rallyat

Pasal 226
Persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk HTR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat (1) huruf c
dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam:
a. memberikan akses legal;
b. meningkatkan produktivitas Hutan Produksi;
c. meningkatan kapasitas Masyarakat dalam pengelolaan
Hutan;
d. menyelesaikan permasalahan tenurial dan pemulihan
ekosistem; dan
e. menyelesaikanpengentasankemiskinan.

Pasal 227
HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 bertujuan untuk
mendorong Masyarakat memiliki kemampuan secara mandiri
dalam pengelolaan Hutan, meningkatkan kesejahteraan
Masyarakat, dan mendukung ketersediaan bahan baku
Industri Pengolahan Hasil Hutan, bahan pangan, buah-
buahan, dan ternak.

Pasal 228
(1) Areal HTR yang berada pada Kawasan Hutan Produksi
Tetap diprioritaskan pada Kawasan Hutan Produksi yang
tidak produktif dan belum dibebani Perizinan Berusaha
atau pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang
Kehutanan.
(21 Areal HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dicadangkan oleh Menteri melalui penetapan peta arahan
Pemanfaatan Hutan yang tidak dibebani Perizinan
Berusaha dan/atau berdasarkan PIAPS.
Pasal 229 ...

SK No C87382 A
PRESIDEN
REPUBLIK INNONESIA
-t32-
Pasal 229
(1) Legalitas pengelolaan Perhutanan Sosial dengan skema
HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 diberikan
dalam bentuk Persetujuan HTR oleh Menteri.
(2) Persetujuan HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada:
a. kelompok tani Hutan;
b. gabungan kelompok tani Hutan;
c. Koperasi tani Hutan;
d. kelompok usaha Perhutanan Sosial; atau
e. profesional Kehutanan atau Perseorangan yang
memperoleh pendidikan Kehutanan atau bidang ilmu
lainnya yang pernah sebagai pendamping atau
penyuluh di bidang Kehutanan, dengan membentuk
kelompok atau Koperasi bersama Masyarakat
setempat.
(3) Pemohon persetujuan HTR sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dipersyaratkan memiliki jaminan penyediaan
modal dari lembaga keuangan.

Pasal 230
(1) Persetujuan HTR bukan merupakan hak kepemilikan atas
Kawasan Hutan.
(21 Kawasan Hutan yang ditetapkan sebagai HTR wajib
dikelola berdasarkan prinsip pengelolaan Hutan lestari.

I
Pasal 23
(1) Pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk HTR
dilakukan dengan menerapkan Sistem Silvikultur melalui
kegiatan Multiusaha Kehutanan berupa:
a. Pemanfaatan Kawasan;
b. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;
c. Pemanfaatan Hasil Hutan Kryr;
d. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan K"yu;
e. Pemungutan ...

SK No 087381 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-133-
e. Pemungutan Hasil Hutan Kayu; dan
f. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu
(21 Kegiatan Multiusaha Kehutanan dalam pengelolaan HTR
dituangkan dalam rencana kerja usaha Pemanfaatan
Hutan dan rencana kerja tahunan.
(3) Penilaian dan persetujuan rencana kerja usaha
Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(4) Penilaian dan persetujuan rencana kerja tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh
Menteri atau dapat dilimpahkan kepada gubernur atau
pejabat yang ditunjuk oleh gubernur.

Pasal 232
Persetujuan HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat
(1) diberikan selama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat
diperpanjang.

Bagian Kelima
Hutan Adat

Pasal 233
(1) Hutan Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat
(1) huruf d, dapat berasal dari:
a. Hutan Negara; dan/atau
b.
bukan Hutan Negara.
(21 Hutan Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai fungsi pokok:
a. konservasi;
b. lindung; dan/atau
c. produksi.
(3) Hutan Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola
oleh MHA.

Pasal 234

Sl( No 099-593 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t34-
Pasal 234
(1) Pengukuhan keberadaan MHA dalam Kawasan Hutan
Negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Pengukuhan keberadaan MHA di luar Kawasan Hutan
Negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah atau
keputusan gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Pengukuhan keberadaan MHA dengan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a- Peraturan Daerah yang memuat substansi
pengaturan tata cara pengakuan MHA; atau
b. Peraturan Daerah yang memuat substansi penetapan
pengukuhan, pengakuan, dan pelindungan MHA.
(4) Dalam hal Peraturan Daerah hanya memuat substansi
pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
pengukuhan keberadaan MHA ditetapkan dengan
keputusan gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Pemerintah dapat memfasilitasi pendanaan dan
pendampingan dalam rangka pengukuhan keberadaan
MHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 235
Pengukuhan keberadaan MHA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 234 dilakukan dengan kriteria:
a. MHA masih dalam bentuk paguyuban;
b. terdapat kelembagaan pengelola dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya;
c. terdapat batas wilayah Hukum Adat yang jelas;
d. terdapat pranata dan perangkat hukum, khususnya
sanksi adat yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil Hutan di wilayah
Hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari.

Pasal 236 .

SK No 087379 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-135-
Pasal 236
Penetapan status Hutan Adat dilakukan dengan kriteria
a. berada di dalam wilayah MHA;
b. merupakan areal berhutan dengan batas yang jelas dan
dikelola sesuai Kearifan Lokal MHA yang bersangkutan;
c. berasal dari Kawasan Hutan Negara atau di luar Kawasan
Hutan Negara; dan
d. masih ada kegiatan pemungutan hasil Hutan oleh MHA di
wilayah Hutan di sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari.

Pasal 237
(1) Wilayah MHA yang telah ditetapkan berdasarkan
ketentuan Pasal 234 dan telah memenuhi kriteria dalam
Pasal 235 dan Pasal 236 dikeluarkan dari Hutan Negara.
(2) Wilayah MHA yang telah dikeluarkan dari Hutan Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kriteria
berhutan ditetapkan statusnya sebagai Hutan Adat.
(3) Wilayah MHA yang telah dikeluarkan dari Hutan Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam
peta penetapan status Hutan Adat sesuai dengan kondisi
penutupan dan penggunaan lahannya.

Pasal 238
(1) Penetapan status Hutan Adat dilakukan melalui
permohonan kepada Menteri oleh pemangku adat.
(2) Terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan
dalam Pasal 234, Menteri membentuk tim terpadu untuk
melakukan verifikasi lapangan dengan merujuk kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 dan Pasal 236.

Pasal 239
(1) Dalam hal permohonan penetapan status Hutan Adat yang
berada pada Hutan Negara dan belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234,
tetapi telah mendapat penetapan Wilayah Adat dengan
keputusan bupati lwali kota, Menteri melakukan proses
penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat.

(2) Dalam ...

SK No 087378 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-136-
(2) Dalam rangka penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membentuk
tim terpadu untuk melakukan verif,rkasi lapangan dengan
merujuk kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235
dan Pasal 236.
(3) Hasil verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (21menjadi pertimbangan Menteri dalam menerbitkan
keputusan penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat.
(41 Wilayah Indikatif Hutan Adat ditetapkan statusnya
menjadi Hutan Adat setelah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234.
(5) Kegiatan pemegang Perizinan Berusaha atau pemegang
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang berada
dalam Wilayah Indikatif Hutan Adat disesuaikan dengan
Kearifan Lokal dan dikoordinasikan dengan pemangku
adat yang bersangkutan.
(6) Dalam hal Wilayah Indikatif Hutan Adat berada pada areal
yang tidak dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan atau persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan,
maka pada wilayah tersebut tidak diterbitkan Perizinan
Berusaha atau persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.

Pasal 24O
Hutan Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237
dinyatakan tetap berlaku selama kelembagaan MHA yang
mengelola masih ada.

Pasal 241
(1) Perubahan Fungsi Hutan yang telah ditetapkan statusnya
sebagai Hutan Adat harus mendapat persetujuan Menteri.
(21 Hutan Adat yang telah ditetapkan statusnya
diintegrasikan dalam peta Kawasan Hutan dan peta
rencana tata ruang wilayah.

Pasal 242 ...

SK No 087377 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-r37-
Pasal 242
Pemanfaatan dan/atau Pemungutan Hasil Hutan Kayu
dilakukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari dan sesuai dengan Kearifan Lokal MHA yang
bersangkutan.
Pasal 243
(1) Pemegang persetujuan Hutan Adat, wajib:
a.
menjalankan prinsip pengelolaan Hutan lestari;
b.
memanfaatkan Hutan Adat sesuai dengan kearifan
lokalnya;
c. mempertahankan fungsi Hutan Adat;
d. memanfaatkan Hutan Adat sesuai fungsinya;
e. memulihkan dan meningkatkan fungsi Hutan; dan
f. melakukan pengamanan dan pelindungan terhadap
Hutan Adat, antara lain pelindungan dari kebakaran
Hutan dan lahan.
(21 Pemegang persetujuan Hutan Adat, dilarang:
a. menyewakan areal Hutan Adat;
b. mengubah status dan fungsi Hutan Adat;
c. menebang pohon pada areal Hutan Adat dengan
fungsi Hutan Lindung;
d. menggunakan peralatan mekanis pada areal Hutan
Adat dengan fungsi Hutan Lindung;
e. membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam pada areal Hutan Adat dengan fungsi
Hutan Lindung; dan
f. menanam kelapa sawit pada areal Hutan Adat.

Bagian Keenam
Kemitraan Kehutanan

Pasal 244
(1) Pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk kemitraan
Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat
(1) huruf e, diberikan pada Kawasan Hutan yang telah
dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara
bidang Kehutanan atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan.

(2) Kemitraan
SK No 087376 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-138-
(21 Kemitraan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemegang
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang
Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan dengan Masyarakat setempat.
(3) Kemitraan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan untuk jangka waktu yang disesuaikan
dengan masa berlakunya Peizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan.
(4) Kemitraan Kehutanan tidak mengubah kewenangan dari
pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara
bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan kepada Masyarakat setempat.

Bagian Ketujuh
Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial

Pasal 245
(1) Dalam rangka percepatan Perhutanan Sosial untuk
kesejahteraan dan kelestarian Hutan perlu disusun
perencanaan terpadu percepatan persetujuan distribusi
akses legal, pendampingan, dan pengembangan usaha
Perhutanan Sosial.
(2) Perencanaan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedelapan
Pembiayaan Pengelolaan Perhutanan Sosial

Pasal 246
(1) Pembiayaan pengelolaan Perhutanan Sosial bersumber
dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
c. sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
(21 Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi,
Pemerintah Daerah kabupatenfkota, dan para pihak
dapat memberikan insentif kepada pihak yang dapat
memulihkan, mempertahankan, danf atau melestarikan
Hutan di dalam dan di luar Kawasan Hutan.

Pasal 247 ..

SK No 087375 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-139-
Pasal247
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perhutanan
Sosial diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VII

PERLINDUNGAN HUTAN

Pasal 248
(1) Perlindungan Hutan merupakan bagian dari kegiatan
pengelolaan Hutan.
(21 Kegiatan Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan pada:
a. wilayah pengelolaan Hutan;
b. wilayah Hutan Hak;
c. areal kerja persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan,
areal kerja pengelolaan Perhutanan Sosial, atau areal
kerja Perizinan Berusaha; dan/atau
d. areal di luar Kawasan Hutan dalam rangka
memenuhi daya dukung dan daya tampung
lingkungan.

Pasal 249
(1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan Perlindungan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 sesuai
kewenangannya.
(21 Pemerintah Daerah menyelenggarakan Perlindungan
Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 sesuai
kewenangannya.
(3) Badan usaha milik negara bidang Kehutanan
menyelenggarakan Perlindungan Hutan pada wilayah
pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
248 ayat (2) huruf a sesuai kewenangannya.

(4) Pemegang ..

SK No 087374 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-140-

(4) Pemegang Hak menyelenggarakan Perlindungan Hutan


pada wilayah Hutan Hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 248 ayat (2) huruf b.
(5) Pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan,
pengelolaan Perhutanan Sosial atau Perizinan Berusaha,
menyelenggarakan Perlindungan Hutan pada areal
kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (21
huruf c.
(6) Pemegang Perizinan Berusaha di luar Kawasan Hutan
menyelenggarakan Perlindungan Hutan pada areal di luar
Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248
ayat (21huruf d.
(7) Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
menyelenggarakan Perlindungan Hutan pada areal di luar
Kawasan Hutan yang tidak dibebani Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2) huruf d.

Pasal 250
Penyelenggaraan Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 248 dilaksanakan dengan prinsip:
a. mencegah dan membatasi kerusakan Hutan di dalam dan
di luar Kawasan Hutan dan hasil Hutan, yang disebabkan
oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya alam,
hama serta penyakit dalam rangka perlindungan paling
sedikit:
1. landscape;
2. kerapuhan terhadap flora dan fauna endemik;
3. perlindungan terhadap nilai konservasi tinggi;
4. fragmentasi habitat (koridor satwa); atau
5. mangrove;
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara,
Masyarakat, dan Perseorangan atas Hutan, Kawasan
Hutan, hasil Hutan, investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan Hutan; dan
c. pemulihan lingkungan.
Pasal 251 ...

SK No 087373 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-141 -

Pasal 251
Dalam rangka penyelenggaraan Perlindungan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan Masyarakat:
a. melakukan sosialisasi dan penyuluhan peraturan
perundang-undangan di bidang Kehutanan;
b. melakukan inventarisasi permasalahan;
c. mendorongpeningkatan produktivitas Masyarakat;
d. memfasilitasi terbentuknya kelembagaan Masyarakat;
e. meningkatkan peran serta Masyarakat dalam kegiatan
pengelolaan Hutan;
f. melakukan kerja sama dengan pemegang hak atau
Perizinan Berusaha;
g. meningkatkan efektivitas koordinasi kegiatan
Perlindungan Hutan;
h. mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian
Masyarakat;
i. meningkatkan efektifitas pelaporan terjadinya gangguan
keamanan Hutan;
j. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap
gangguan keamanan Hutan; atau
k. mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum.

Pasal 252
(1) Perlindungan Hutan atas Kawasan Hutan yang
pengelolaannya diserahkan kepada badan usaha milik
negara bidang Kehutanan, dilaksanakan dan menjadi
tanggung jawab pengelolanya.
(21 Perlindungan Hutan atas Kawasan Hutan yang telah
menjadi areal kerja pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan, persetujuan Perhutanan Sosial, dan
persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dilaksanakan
dan menjadi tanggung jawab pemegang Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan, persetujuan Perhutanan
Sosial, dan persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
yang bersangkutan.

(3) Kegiatan .

SK No 087372A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-I42-
(3) Kegiatan Perlindungan Hutan pada Kawasan Hutan
dengan tujuan khusus dilaksanakan dan menjadi
tanggung jawab pengelolanya.
(4) Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) paling sedikit meliputi kegiatan:
a. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut
Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan termasuk
tumbuhan dan satwa;
b. mencegah kerusakan Hutan dari perbuatan manusia
dan ternak, kebakaran Hutan, hama, dan penyakit
serta daya-daya alam;
c. mengambil tindakan pertama yang diperlukan
terhadap adanya gangguan keamanan Hutan di areal
kerjanya;
d. melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran
hukum di areal kedanya kepada instansi Kehutanan
yang terdekat; dan
e. menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga
pengamanan Hutan yang sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 253
(1) Perlindungan Hutan pada Hutan Hak, dilaksanakan dan
menjadi tanggung jawab pemegang hak.
(21 Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit meliputi kegiatan:
a. pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak
berhak;
b. pencegahan, pemadaman, dan penanganan dampak
kebakaran;
c. penyediaan personil dan sarana prasarana
Perlindungan Hutan;
d. mempertahankan dan memelihara sumber air; dan
e. melakukan kerja sama dengan sesama pemilik Hutan
Hak, pengelola Kawasan Hutan, pemegang Perizinan
Berusaha Pemanfaatan Hutan, persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan, dan Masyarakat.

Pasal 254 ...

SK No 087371 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-143-
Pasal 254
(1) Pemantiaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
hanya dapat dilakukan apabila telah memiliki Perizinan
Berusaha atau persetujuan dari pejabat yang berwenang.
(21 Terkait dengan Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikategorikan tanp a Perizinan Berusaha atau persetujuan
apabila:
a. pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
atau Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan yang melakukan Pemanfaatan Hutan atau
Penggunaan Kawasan Hutan di luar areal yang
diberikan;
b. pemegang Perizinan Berusaha yang melakukan
penangkapan/ pengumpulan flora dan fauna melebihi
target/kuota yang telah ditetapkan; atau
c. pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
atau Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan yang melakukan kegiatan dalam radius dari
lokasi tertentu yang dilarang undang-undang.
(3) Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 255
(1) Setiap orang dilarang membakar Hutan.
(2) Larangan membakar Hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan terhadap kegiatan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah yang meliputi:
a. pengendalian kebakaran Hutan;
b. pembasmian hama dan penyakit; dan latau
c. pembinaan habitat tumbuhan dan satwa.

Pasal 256

SK No 087370A
PRESIDEN
REPLIBLIK INDONESIA
-t44-
Pasal 256
(1) Dalam rangka pemadaman kebakaran, setiap pemegang
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang
persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang
persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, pemangku
Hutan Adat, pemilik Hutan Hak, danf atau Kepala KPH,
berkewaj iban melakukan rangkaian tindakan pemadaman
dengan cara:
a. melakukan upaya pencegahan kebakaran Hutan di
areal kerjanya;
b. melakukan deteksi terjadinya kebakaran Hutan;
c. mengerahkan satuan pemadaman kebakaran Hutan
yang dimiliki untuk melakukan pemadaman;
d. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api;
e. memobilisasi Masyarakat untuk mempercepat
pemadaman;
f. koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh
Masyarakat dalam rangka mempercepat pemadaman,
evakuasi, litigasi, dan mencegah bencana; dan
g. menyarnpaikan laporan kepada bupati/wali kota
mengenai kebakaran Hutan yang terjadi dan
tindakan pemadaman yang dilakukan.
(2) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan,
pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial,
pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan,
pemilik Hutan Hak, dan/atau Kepala KPH melakukan:
a. koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh
Masyarakat dalam rangka mempercepat pemadaman,
evakuasi, litigasi, dan mencegah bencana; dan
b. pelaporan kepada bupati/wali kota mengenai
kebakaran Hutan yang terjadi dan tindakan
pemadaman yang dilakukan.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat(2)
huruf b, bupati lwali kota melakukan:
a. deteksi terjadinya kebakaran Hutan;
b. mobilisasi...

SK No 087368 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-145-
b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan
koordinasi instansi terkait dan tokoh Masyarakat;
dan
c. penyampaian laporan kepada gubernur dan Menteri
tentang kebakaran Hutan yang terjadi, tindakan yang
sudah dan akan dilakukan.
(4) Berdasarkan informasi dan/atau laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), gubernur melakukan:
a. deteksi terjadinya kebakaran Hutan;
b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan
koordinasi instansi terkait dan tokoh Masyarakat;
dan
c. penyampaian laporan kepada Menteri tentang
kebakaran Hutan yang terjadi, tindakan yang sudah
dan akan dilakukan.
(5) Berdasarkan informasi dan/atau laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Menteri melakukan:
a. deteksi terjadinya kebakaran Hutan; dan
b. koordinasi dan mobilisasi tenaga, sarana, dan
prasarana kebakaran Hutan.
(6) Dalam rangka koordinasi dan mobilisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf b, Menteri membentuk
pusat pengendalian operasi kebakaran Hutan.

Pasal 257
Untuk membatasi meluasnya kebakaran Hutan dan
mempercepat pemadaman kebakaran setiap orang yang berada
di dalam dan di sekitar Hutan wajib:
a. melaporkan kejadian kebakaran Hutan kepada kepala
desa setempat, petugas Kehutanan, Kepala KPH,
pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan,
pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial,
pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau
pemilik Hutan Hak; dan
b. membantu memadamkan kebakaran Hutan.
Pasal 258 ...

SK No 087367 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t46-
Pasal 258
(1) Kepala KPH, pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan, pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial, pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan, atau pemilik Hutan Hak, melakukan kegiatan
identifikasi dan evaluasi.
(21 Kegiatan identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), berupa:
a. pengumpulan data dan informasi terjadinya
kebakaran;
b. pengukuran dan sketsa lokasi kebakaran; dan
c. analisis tingkat kerusakan dan rekomendasi.

Pasal 259
(1) Berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 256, dilakukan kegiatan rehabilitasi.
(21 Kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh Kepala KPH,
pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan,
pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial,
pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, atau
pemilik Hutan Hak.
(3) Kegiatan rehabilitasi diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.

Pasal 260
(1) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan,
pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial,
pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau
pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya
kebakaran Hutan di areal kerjanya.
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 261

SK No 087366 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t47-
Pasa1 261
(1) Untuk terselenggaranya pelaksanaan tugas Polisi
Kehutanan, Menteri menetapkan standar susunan
organisasi personil dan standar peralatan Polisi
Kehutanan.
(21 Polisi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkedudukan di Kementerian, instansi Kehutanan
Daerah dan badan usaha milik negara bidang Kehutanan.
(3) Polisi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (21
berada dalam satu kesatuan komando di bawah Menteri.

Pasal262
(1) Wewenang Polisi Kehutanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26I, meliputi kegiatan dan tindakan
kepolisian khusus di bidang Kehutanan yang bersifat
deteksi dini, pre-emtif, preventif, Pengawasan tindakan
administrasi, dan operasi represif.
(21 Wewenang sebagimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam Kawasan
Hutan atau wilayah hukumnya;
b. mengadakan operasi fungsional dan operasi
gabungan terhadap tindak pidana yang menyangkut
Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan;
c. melakukan pengumpulan data dan informasi dan
operasi intelijen terhadap dugaan tindak pidana yang
menyangkut Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil
Hutan;
d. memeriksa surat atau dokumen berkaitan dengan
pengangkutan hasil Hutan di dalam Kawasan Hutan
atau wilayah hukumnya;
e. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak
pidana yang menyangkut Hutan, Kawasan Hutan,
dan hasil Hutan;

f. mencari

SK No 087365 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-148-
f. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya
tindak pidana yang menyangkut Hutan dan hasil
Hutan;
g. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap
tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang,
dan membuat laporan dan menandatangani laporan
tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut
Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan; dan
h. melakukan Pengawasan terhadap penyelenggaraan
serta pelaksanaan kegiatan dari pemegarlg Perizinan
Berusaha, pemegang persetujuan Pemerintah,
pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan,
pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Kehutanan.
(3) Polisi Kehutanan atas perintah pimpinan berwenang
untuk melakukan pengumpulan bahan keterangan untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana Kehutanan.

Pasal 263
(1) Satuan Pengamanan Kehutanan dibentuk oleh pemegang
pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang
Kehutanan, pemegang Perrzinan Berusaha, atau
persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.
(2) Anggota Satuan Pengamanan Kehutanan diangkat oleh
Pengelola Hutan, pemegang Perizinan Berusaha, atau
pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang
jumlahnya disesuaikan dengan luas dan intensitas
pengelolaan atau usaha Pemanfaatan Hutan atau
Penggunaan Kawasan Hutan.
(3) Tugas Satuan Pengaman Kehutanan terbatas pada
pengamanan fisik di lingkungan areal Hutan yang menjadi
tanggung jawabnya.
(4) Satuan Pengaman Kehutanan sebelum diangkat diberikan
pelatihan terkait perlindungan dan pengamanan bidang
Kehutanan dan kepolisian.
(5) Satuan Pengamanan Kehutanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya bertanggung
jawab kepada pimpinan perusahaan dan dalam koordinasi
instansi Kehutanan setemPat.
Pasal 264 ...

Sl( No 099-s7l A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONES!A
-L49-
Pasal 264
Setiap pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara
bidang Kehutanan, pemegang Perizinan Berusaha, pemegang
persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, atau persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan wajib melakukan pencegahan
dan pengamanan Hutan di areal kelolanya.

Pasal 265
Ketentuan lebih tanjut mengenai Perlindungan Hutan diatur
dalam Peraturan Menteri.

BAB VIII

PENGAWASAN

Pasal 266
(1) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya
melakukan Pengawasan penaatan terhadap pelaksanaan
kegiatan meliputi:
a. Perizinan Berusaha di bidang Kehutanan;
b. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan;
c. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan;
d. Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;
e. Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan; atau
f. penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perllndang-undangan di
bidang Kehutanan.
12) Pengawasan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 267
(1) Menteri berwenang melakukan Pengawasan penaatan
terhadap pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 266 ayat (1) yang diterbitkan oleh Pemerintah
Pusat.
(2) Gubernur ...

SK No 087363 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-150-
(21 Gubernur berwenang melakukan penaatan terhadap
pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
266 ayat (1) yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah
provinsi.
(3) Menteri atau gubernur dapat mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan Pengawasan kepada
pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang
Pengawasan Kehutanan.
(4) Untuk melaksanakan Pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Menteri atau gubernur sesuai
kewenangannya menetapkan pejabat fungsional.
(5) Pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
terdiri dari:
a. Polisi Kehutanan; dan/atau
b. Pengawas Kehutanan.
(6) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan,
pelantikan, dan pemberhentian pejabat fungsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan'

Pasal 268
(1) Menteri dapat melakukan Pengawasan terhadap penaatan
pelaksanaan kegiatan yang tidak dilakukan Pengawasan
oleh gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267
ayat (2).
(21 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan:
a. pelanggaran serius;
b. pelanggaran berulang;
c. pengaduan Masyarakat; atau
d. penyerahan Pengawasan oleh gubernur.

Pasal 269
(1) Untuk melaksanakan tugas, Pengawas Kehutanan
berwenang:
a. melaksanakan pemantauan;

b. meminta ..

SK No 087362A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-151 -

b. meminta keterangan;
c. melakukan pemeriksaan pengelolaan Hutan;
d. memeriksa dan membuat salinan dari dokumen
dan/atau membuat catatan yang diperlukan;
e. memasuki tempat tertentu;
f. memotret;
g. membuat rekaman audio visual;
h. mengukur dan menguji hasil Hutan;
i. mengambil sampel;
j. memeriksaperalatan;
k. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi;
dan/atau
1. menghentikan pelanggaran tertentu.
(21 Penghentian pelanggaran tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf 1 dapat dilakukan melalui pemasangan
plang penghentian pelanggaran tertentu dan/atau garis
pejabat pengawas Kehutanan.
(3) Pejabat pengawas Kehutanan setelah melakukan
penghentian pelanggaran tertentu men5rusun berita acara
penghentian pelanggaran tertentu yang paling sedikit
memuat:
a. lokasi;
b. waktu;
c. dugaan pelanggaran; dan
d. jangka waktu penghentian pelanggaran tertentu.
(41 Terhadap tindakan penghentian pelanggaran tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1, Pelaku
Usaha bertanggung jawab menjaga lokasi dari potensi
kerusakan, berubah atau hilangnya barang bukti.
(5) Berdasarkan berita acara penghentian pelanggaran
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat
pengawas Kehutanan segera melaporkan kepada pejabat
pemberi tugas.

Pasal 27O .

SK l.Jo 0873,61 A
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
-152-
Pasal 270
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 266 ayat (ll dilakukan dengan
intensitas pelaksanaan secara:
a. rutin; dan
b. insidental.
(2) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hurtf a dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
(3) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan terhadap:
a. hasil evaluasi internal;
b. pengaduan Masyarakat; dan/atau
c. dugaan pelanggaran yang berdampak nasional dan
internasional di bidang Kehutanan.
(41 Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b dilakukan secara terkoordinasi antara Menteri
dan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 271
(1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27O ayat (1) huruf a dilakukan dengan tahapan:
a. perencanaan Pengawasan; dan
b. pelaksanaanPengawasan.
(21 Perencanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a merupakan dasar untuk melaksanakan
Pengawasan yang meliputi kegiatan:
a. inventarisasi Perizinan Berusaha, persetujuan
pemerintah, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Kehutanan; dan
b. identifikasi pemegang Perizinan Berusaha,
persetujuan pemerintah, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Kehutanan.
(3) Pelaksanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
a. persiapan Pengawasan;
b. pemeriksaan...

SK No 087360 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-153-
b. pemeriksaan administrasi dan lapangan; dan
c. tindak lanjut hasil Pengawasan.

Pasal 272
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengawasan Kehutanan,
diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB IX

SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu

Penerapan Sanksi Administratif

Pasal273
(1) Menteri atau gubernur sesuai kewenangan menerapkan
Sanksi Administratif terhadap pemegang Perizinan
Berusaha atau persetujuan pemerintah di bidang
Kehutanan yang melanggar ketentuan dalam Perizinan
Berusaha atau persetujuan pemerintah di bidang
Kehutanan dan peraturan perundang-undangan di bidang
Kehutanan.
(21 Gubernur atau bupati/wali kota sesuai kewenangan dapat
menerapkan Sanksi Administratif terhadap pemegang
perizinan yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/wali
kota sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.
(3) Dalam hal gubernur atau bupati/wali kota tidak
menerapkan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Menteri dapat menerapkan Sanksi
Administrarif terhadap pemegang perizinan yang
diterbitkan oleh gubernur atau bupati/wali kota sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O
tentang Cipta Kerja.

Bagian

SK No 087359 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-154-
Bagian Kedua
Sanksi Administratif Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan

Pasal 274
Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 66, diberikan Sanksi
Administratif berupa:
a. pembekuan persetujuan; atau
b. pencabutan persetujuan.

Pasal 275
Sanksi Administratif berupa pembekuan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 h:uruf a dikenakan
kepada pemegang persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan,
apabila tidak:
a. menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan yang
dilakukan pelepasan; dan
b, mengamankan Kawasan Hutan yang dilakukan
pelepasan.

Pasal 276
Sanksi Administratif berupa pencabutan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ilruruf b dikenakan
kepada pemegang persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan,
apabila:
a. memindahtangankan Kawasan Hutan yang dilakukan
pelepasan kepada pihak lain;
b. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan
permohonan; atau
c. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif
pembekuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 275.

Bagian ...

SK No 08735E A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-155-
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif Penggunaan Kawasan Hutan

Pasal 277
Pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf b, Pasal 99, dan Pasal
103, diberikan Sanksi Administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan;
dan/atau
c. pencabutan persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.

Pasal 278
Sanksi Administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 277 huruf a dikenakan kepada
pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, apabila:
a. melakukan kegiatan di dalam areal Penggunaan Kawasan
Hutan sebelum memperoleh penetapan batas areal kerja
Penggunaan Kawasan Hutan, kecuali membuat kegiatan
persiapan berupa pembangunan direksi kit dan/atau
pengukuran sarana dan prasarana;
b. tidak membayar PNBP Kawasan Hutan;
c. tidak melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi
DAS;
d. tidak membayar PNBP kompensasi, bagi pemegang
persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pada provinsi
yang kurang kecukupan luas Kawasan Hutannya;
e. tidak menyelenggarakan Perlindungan Hutan; atau
f. tidak melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada
Kawasan Hutan yang diberikan Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan yang sudah tidak digunakan.

Pasal 279 ...

SK No 099592 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-156-
Pasal 279
Sanksi Administratif berupa pembekuan persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 277 lnuruf b dikenakan kepada pemegang persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan apabila:
a. menjaminkan atau mengagunkan areal Penggunaan
Kawasan Hutan kepada pihak lain;
b. tidak melaksanakan tata batas areal Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan;
c. tidak mengganti biaya investasi kepada pengelola/
pemegang pengelolaanlPerizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan;
d. menggunakan merkuri bagi kegiatan pertambangan; atau
e. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif
teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278.

Pasal 280
Sanksi Administratif berupa pencabutan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 huruf c dikenakan
kepada pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan,
apabila:
a. memindahtangankan persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan kepada pihak lain atau melakukan perubahan
nama pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
tanpa persetujuan Menteri;
b. melakukan kegiatan pertambangan pada Kawasan Hutan
Lindung dengan pola pertambangan terbuka;
c. melakukan kegiatan pertambangan pada Kawasan Hutan
Lindung yang mengakibatkan:
1. turunnya permukaan tanah;
2. berubahnya fungsi pokok Kawasan Hutan secara
permanen; dan/atau
3. terjadinya kerusakan akuifer air tanah.

d. tidak

SK No 087356 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t57-
d tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif
Pembekuan Persetujuan penggunaan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279.

Bagian Keempat
Sanksi Administratif Pemanfaatan Hutan

Pasal 281
Untuk menjamin status, kelestarian Hutan, dan kelestarian
fungsi Hutan, setiap pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan, apabila melanggar ketentuan di luar
ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Undang-
Undang Nomor 4L Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2OO4 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO4 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4l Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, dan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2Ol3 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan dikenakan Sanksi
Administratif.

Pasal 282
Pemegang Perizinan Berusaha yang tidak melaksanakan
kewajiban dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139, Pasal l4O, Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal
158, Menteri dapat memberikan Sanksi Administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan Perizinan Berusaha; dan latau
d. pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 283 ...

SK No 087355 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-158-
Pasal 283
Sanksi Administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a dikenakan kepada
pemegan g Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, apabila:
a. tidak melaksanakan penanaman paling sedikit 50% (lima
puluh persen) dari target yang telah ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 huruf i;
b. tidak merealisasikan rencana produksi hasil Hutan paling
sedikit 5oo/o (lima puluh persen) dari target yang
direncanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156
huruf j;
c. tidak menatausahakan keuangan kegiatan usahanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf h atau
Pasal 156 hurufk;
d. tidak men5rusun rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan
jangka panjang untuk seluruh areal kerja dengan
memperhatikan rencana pengelolaan Hutan jangka
panjang yang disusun oleh KPH, paling lambat 1 (satu)
tahun setelah Perizinan Berusaha diberikan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 huruf a atau Pasal 156 huruf
a;
e. tidak men5rusun rencana kerja tahunan berdasarkan
rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 huruf b;
f. tidak melaksanakan penataan batas areal kerja sejak
diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf
c atau Pasal 156 hurufd;
g. tidak mempekerjakan tenaga profesional bidang
keHutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan
sesuai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
139 huruf i atau Pasal 156 huruf 1;
h. tidak melaksanakan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
dengan Sistem Silvikultur sesuai dengan kondisi Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 huruf n;
i. tidak melaksanakan pemanenan hasil Hutan kayu pada
Hutan Produksi dengan menerapkan teknik pembalakan
berdampak rendahl Reduce Impact Logging sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 huruf o;
j. tidak melaksanakan kemitraan dengan Masyarakat di
dalam dan di sekitar Hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 huruf m atau Pasal 157 ayat (21;

k. tidak ...

SK I{o 087354 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-159-

k tidak melaksanakan kerja sama dengan Koperasi


Masyarakat setempat paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf n atau
Pasal 157 ayat (1); dan/atau
t. tidak menyampaikan laporan kinerja secara periodik
kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
huruf I atau Pasal 156 huruf r.

Pasal 284
(1) Sanksi Administratif berupa denda administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf b
dikenakan kepada pemegan g Perizinan Berusaha sebesar:
a. 10 (sepuluh) kali PSDH; atau
b. 15 (lima belas) kali PSDH.
(2) Pengenaan Sanksi Administratif berupa denda
administratif sebesar 1O (sepuluh) kali PSDH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan apabila:
a. tidak melakukan pengukuran atau pengujian hasil
Hutan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 156 huruf q;
b. menebang pohon yang melebihi toleransi target
sebesar 5% (lima persen) dari total target volume yang
ditentukan dalam rencana kerja tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf b;
c. menebang pohon yang melebihi toleransi target
sebesar 3o/o (tiga persen) dari volume per jenis kayu
yang ditetapkan dalam rencana kerja tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf c;
d. memanen atau memungut hasil Hutan yang melebihi
daya dukung Hutan yaitu 5% (lima persen) dari target
volume per jenis hasil Hutan yang diizinkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14O huruf b;
dan/atau
e. tidak melaksanakan PUHH dengan benar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf k
atau Pasal 156 huruf p.
(3) Pengenaan...

SK No 087353 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-160-
(3) Pengenaan Sanksi Administratif berupa denda administratif
sebesar 15 (lima belas) kali PSDH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dikenakan apabila:
a. menebang pohon sebelum rencana kerja tahunan
disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158
huruf d;
b. menebang pohon untuk pembuatan koridor sebelum
ada persetujuan atau tidak sesuai dengan persetujuan
pembuatan koridor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 huruf e;
c. menebang pohon di bawah batas diameter yang
diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158
huruf f;
d. menebang pohon di luar blok tebangan yang diizinkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf g;
e. menebang pohon untuk pembuatan jalan bagi
lintasan angkutan kayu di luar blok rencana kerja
tahunan, kecuali dengan persetujuan dari pejabat
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
158 huruf h; dan/atau
f. menebang pohon yang dilindungi, kecuali dengan izin
dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 huruf a.

Pasal 285
(1) Sanksi Administratif berupa pembekuan Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 huruf
c dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan, apabila:
a. tidak melaksanakan Perlindungan Hutan di areal
kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
huruf d atau Pasal 156 huruf e;
b. tidak melakukan upaya pencegahan kebakaran
Hutan di areal kerjanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 huruf e atau Pasal 156 huruf f;

c. tidak ...

SK No 087352A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-161 -

c. tidak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran


Hutan di areal kerjanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 huruf f atau Pasal 156 huruf g;
d. tidak melakukan pemulihan terhadap kerusakan
lingkungan di areal kerjanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 huruf g atau Pasal 156 huruf h;
dan/atau
e. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif
teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
283.
(2) Terhadap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan
Hutan pada Hutan Lindung yang melakukan pelanggaran
sebagaim ana ayat (1), juga dikenakan Sanksi Administratif
berupa pembeku an Perizinan Berusaha apabila:
a. menebang pohon pada areal Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a;
b. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat pada
areal. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140 huruf e; dan/atau
c. membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam pada areal Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf d.

Pasal 286
Sanksi Administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282
huruf d dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha,
apabila:
a. tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling
lambat 1 (satu) tahun setelah Perizinan Berusaha
diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf
b atau Pasal 156 huruf c;
b. tidak membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 huruf j atau Pasal 156 huruf m;
c. meninggalkan areal kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140 huruf f atau Pasal 158 huruf i;

d. memindahtangankan

SK No 087351 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t62-
d memindahtangankan Perizinan Berusaha tanpa
persetujuan pemberi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal l4O huruf c atau Pasal 158
huruf j;
e. dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri;
f. dikenakan sanksi pidana yang telah berkekuatan hukum
tetap; dan/atau
o
b' tidak melaksanakan perintah Sanksi Adminitratif
pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 285.

Bagian Kelima
Sanksi Administratif Pengolahan Hasil Hutan

Pasal 287
(1) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal l7O dan Pasal 171, dikenakan Sanksi Administratif,
berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuanPerizinan Berusaha/operasional kegiatan
Pengolahan Hasil Hutan; dan/atau
d. pencabutanPerizinan Berusaha.
(2) Pengenaan Sanksi Administratif berupa teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dikenakan
apabila:
a. tidak merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau
kegiatan Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17O ayat (1) huruf a dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya
Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan;
b. tidak menjalankan usahanya sesuai dengan
te galitas / P erizinan Beru saha Pen golahan H asil Hutan
yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam Pasa1
l7O ayat (1) huruf b;
c. tidak ...

SK No 099570 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-163-
c. tidak menyusun dan menyampaikan kegiatan
operasional setiap tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal L7O ayat (1) huruf c;
d. tidak menyampaikan laporan realisasi kinerja secara
periodik sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O
ayat (1) huruf d;
e. tidak memiliki jaminan legalitas bahan baku dan
produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal L7O ayat
(1) huruf f;
f. melakukan kegiatan produksi melebihi kapasitas izin
produksi tanpa pemberitahuan kepada pemberi
Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan
dan/atau tanpa addendum Perizinan Berusaha
Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal l7O ayat (1) huruf g;
g. melakukan penambahan jenis Pengolahan Hasil
Hutan, penambahan ragam produk olahan, atau
melakukan perubahan data pokok Perizinan
Berusaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa
pemberitahuan kepada pemberi Perizinan Berusaha
dan/atau tanpa addendum Perizinan Berusaha
Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal l7O ayat (1) huruf l; dan/atau
h. tidak melaporkan pemindahtanganan Perizinan
Berusaha atau pemindahan hak atas saham kepada
pemberi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal l7O ayat (1) huruf k.
(3) Pengenaan Sanksi Administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikenakan
apabila tidak membayar PNBP atas jasa pelayanan
dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan
legalitas ekspor hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal I7O ayat (1) huruf j.
(41 Pengenaan Sanksi Administratif berupa pembekuan
Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan /operasional
kegiatan Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, dikenakan apabila:
a. tidak melaksanakan PUHH sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf e;
b. tidak

SK No 087349 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t64-
b. tidak memiliki dan/atau tidak mempekerjakan
tenaga teknis pengukuran dan pengujian hasil Hutan
bersertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170
ayat (1) huruf h;
c. tidak melaksanakan pengukuran dan pengujian
sesuai ketentuan peraturan perundang undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1)
huruf i;
d. memperluas usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa
addendum Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17l ayat (1) huruf a;
e. memindahkan lokasi usaha Pengolahan Hasil Hutan
tanpa addendum Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17l ayat (1) huruf b; dan/atau
f. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif
Teguran Tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(5) Sanksi Administratif berupa pencabutan Perizinan
Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d, dikenakan apabila:
a. tidak merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau
kegiatan Pengolahan Hasil Hutan dalam kurun waktu
3 (tiga) tahun sejak Perizinan Berusaha diterbitkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1)
huruf a;
b. tidak melakukan kegiatan produksi dalam kurun
waktu paling sedikit 3 (tiga) tahun berturut-turut
dan/atau sudah tidak memiliki sarana dan prasarana
kegiatan Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17O ayat (1) huruf m;
c. melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan
pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan
hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7l ayat (1)
huruf c;
d. menadah, menampung, atau mengolah bahan baku
hasil Hutan yang berasal dari sumber bahan baku
yang tidak sah (ilegaQ sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17I ayat (1) huruf d;
e. melakukan ...

5r( No 099591 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-165-
e. melakukan kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan
yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang
diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I7I
ayat (1) huruf e;
f. dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri;
g. dikenakan sanksi pidana yang telah berkekuatan
hukum tetap; dan/atau
h. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif
pembekuan Perizinan Berusaha/ operasional kegiatan
Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
(6) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, juga diberlakukan
terhadap kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang
terintegrasi dengan Pemegang Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik
negara bidang Kehutanan, atau persetujuan pengelolaan
Perhutanan Sosial.

Bagian Keenam
Sanksi Administratif Pengelolaan Perhutanan Sosial

Pasal 288
(1) Pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 212 dan Pasal 243 dikenakan Sanksi Administratif.
(2t Sanksi Administratif sebagaimana ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial; dan/atau
d. pencabutan persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial.
(3) Sanksi Administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (21 huruf a dikenakan kepada
pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial
apabila tidak melaksanakan kewajiban dan/atau
melanggar larangan yang telah ditetapkan.

(4) Sanksi ...

SK No 099-568 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-166-

(4) Sanksi Administratif berupa denda administratif


sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b dikenakan
kepada pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan
Sosial apabila tidak melaksanakan PUHH berlaku mutatis
muntadis dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.
(5) Sanksi Administratif berupa pembekuan persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (21 huruf c dikenakan kepada pemegang
persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial apabila tidak
menindaklanj uti te guran tertulis yan g ditetapkan.
(6) Sanksi Administratif berupa pencabutan persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (21 huruf d dikenakan kepada pemegang
persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial apabila tidak
menindaklanjuti teguran tertulis dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sejak pembekuan persetujuan pengelolaan
Perhutanan Sosial.

Bagian Ketujuh
Sanksi Administratif Perlindungan Hutan

Pasal 289
Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dan
pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255
dan Pasal 257 dikenakan Sanksi Administratif.

Pasal 290
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sanksi Administratif diatur
dalam Peraturan Menteri.

BAB X...

St( No 099567 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-167-
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 291
Dalam hal penentuan Peraturan Pemerintah tentang tarif PNBP
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan belum
ditetapkan maka pengenaan PNBP digunakan nilai tarif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 292
(1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan
Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan
perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan
kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja.
(21 Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan
pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan
pemerintahan di bidang perekonomian.

Pasal 293
Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak
mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi
untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan di bidang Kehutanan.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Bagian Kesatu
Perencanaan Kehutanan

Pasal 294

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


a. Kawasan Hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan atau
diubah fungsinya berdasarkan Keputusan Menteri
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan
tetap berlaku;
b. Kawasan ...

SK No 099525 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-168-
b. Kawasan Hutan Produksi terbatas sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sesuai
dengan tahap pengukuhannya serta diberlakukan
peruntukan dan fungsinya sebagai Hutan Produksi Tetap;
c. Kawasan Hutan Produksi terbatas yang masih dalam
tahap proses pengukuhan, dilanjutkan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah ini;
d. Rencana Kehutanan yang telah ada sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah atau
diganti dengan rencana Kehutanan yang baru
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;
e. Kawasan Hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh
Menteri sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini,
dinyatakan sebagai bagian dari kecukupan luas Kawasan
Hutan;
f. Kawasan Hutan yang belum dilakukan pengukuhan
diselesaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini;
g. dalam hal suatu provinsi atau wilayah belum ditetapkan
kecukupan luas Kawasan Hutan nya maka Kawasan
Hutan yang dipakai adalah Kawasan Hutan sebelumnya;
dan
h. untuk usaha yang telah terbangun di Kawasan Hutan
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2O2O tentang Cipta Kerja, mekanisme Penataan Kawasan
Hutan diselesaikan berdasarkan Peraturan Pemerintah
tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan
Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal
dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan,
selanjutnya diproses dengan Peraturan Pemerintah ini.

Bagian Kedua
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan

Pasal 295
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Permohonan

SK No 099524 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-169-
a permohonan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
atau Perubahan Fungsi Kawasan Hutan yang telah
diajukan dan memenuhi persyaratan, atau telah
mendapat persetujuan prinsip sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini tetap diproses dengan
memenuhi kewajibannya, selanjutnya diproses dan
diterbitkan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sesuai Peraturan
Pemerintah ini;
b permohonan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
atau Perubahan Fungsi Kawasan Hutan yang telah
diajukan dan belum memenuhi persyaratan sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini diproses
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;
c permohonan Pelepasan Kawasan Hutan atau tukar
menukar Kawasan Hutan sesuai ketentuan Pasal 51 ayat
(1) dan ayat (21 Peraturan Pemerintah Nomor 1.O4 Tahun
2Ol5 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan yang telah diajukan dan
memenuhi seluruh persyaratan, atau telah mendapat
persetujuan prinsip sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini tetap diproses dengan memenuhi
kewajibannya, dan selanjutnya diterbitkan persetujuan
Pelepasan Kawasan Hutan sesuai Peraturan Pemerintah
ini;
d permohonan Pelepasan Kawasan Hutan, tukar menukar
Kawasan Hutan, atau persetujuan melanjutkan kegiatan
usaha yang telah terbangun di Kawasan Hutan sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O
tentang Cipta Kerja, diproses sesuai dengan Peraturan
Pemerintah ini; dan
e Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan yang berdampak penting dan
cakupan luas serta bernilai strategis, penetapannya
dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan
kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan.

Bagian

SI( No 099523 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t70-
Bagian Ketiga
Penggunaan Kawasan Hutan

Pasal 296
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. izin atau perjanjian pinjam pakai Kawasan Hutan yang
diterbitkan dan telah memenuhi seluruh kewajiban
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin atau
perjanjian pinjam pakai Kawasan Hutan dan
diberlakukan sebagai persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan;
b. izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang telah diterbitkan
dan belum memenuhi seluruh kewajiban sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap
berlaku dan melengkapi kewajiban sesuai dengan
Peraturan Pemerintah ini;
c. permohonan izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang
diajukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
dan telah memenuhi persyaratan dapat diterbitkan
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dengan
kewajiban sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini;
d. permohonan izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang
diajukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
dan belum memenuhi seluruh persyaratan serta
kewajiban, diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini;
e. permohonan izin pinjam pakai Kawasan Hutan untuk
Kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan
bagi kepentingan umum, khususnya proyek prioritas
Pemerintah yang diajukan oleh instansi pemerintah
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, diproses
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;

f. pemegang

SK No 099522A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- l7l -

f. pemegang izin pinjam pakai Kawasan Hutan dengan


kewajiban menyediakan dan menyerahkan lahan
kompensasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
dan telah melakukan ganti rugi sebagian lahan
kompensasi atau telah mendapatkan persetujuan
sebagian lahan kompensasi atau telah melaksanakan
serah terima sebagian lahan kompensasi, lahan
kompensasi tersebut dapat diserahkan kepada Menteri
dan kekurangannya dikenakan PNBP kompensasi
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;
o
b' pemegang izin pinjam pakai Kawasan Hutan dengan
kewajiban menyediakan dan menyerahkan lahan
kompensasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
dan telah melakukan ganti rugi atau telah mendapatkan
persetujuan atau telah melaksanakan serah terima
seluruh lahan kompensasi, lahan kompensasi tersebut
dapat diserahkan kepada Menteri dan tidak lagi dikenakan
PNBP kompensasi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;
h pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batu bara, izin prinsip pinjam pakai Kawasan Hutan, atau
penggunaan Kawasan Hutan yang telah memenuhi
kewajiban menyerahkan lahan kompensasi sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan telah
menyelesaikan kewajiban serah terima lahan kompensasi,
permohonan penggunaan Kawasan Hutan nya diproses
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;
1 permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
pada areal yang belum dilakukan penetapan kecukupan
luas Kawasan Hutan provinsi sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, tetap diproses berdasarkan
batasan kecukupan luas Kawasan Hutan yang telah
ditetapkan sebelumnya; dan
J usaha dan/atau kegiatan yang telah terbangun di
Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja diproses
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Bagian

SK No 099521 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-r72-
Bagian Keempat
Pemanfaatan Hutan

Pasal 297
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. seluruh hak, perizinan, dan kerja sama pemanfatan Hutan
di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang
telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
hak, perizinart, dan kerja sama pemanfaatan berakhir dan
disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini;
b. permohonan lzin Usaha Pemanfaatan Hutan, perluasan
dan perpanjangan izin yang sedang dalam proses sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, penerbitannya
disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini; dan
c. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan yang diterbitkan
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan
tetap berlaku, dan disesuaikan dengan Peraturan
Pemerintah ini.

Bagian Kelima
Perhutanan Sosial

Pasal 298

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


a hak pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan, Izin Usaha Pemanflaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Ra}ryat, Izin
Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, pengakuan dan
perlindungan kemitraan Kehutanan, penetapan Hutan
Adat, dan penetapan Hutan Hak yang sudah terbit
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan hak pengelolaan atau izin
berakhir dan disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah
ini; dan
b. permohonan ..

SK No 099520 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t73-
b permohonan Hak pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan, lzin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Ra}ryat, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial,
pengakuan dan perlindungan Kemitraan Kehutanan,
Penetapan Hutan Adat, dan penetapan Hutan Hak yang
sedang dalam proses penetapan, prosesnya dilakukan
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 299
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. DR yang ditampung di rekening pembangunan Hutan
dan merupakan bagian Pemerintah Pusat digunakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. saldo DR pada rekening pembangunan Hutan
dialokasikan melalui daftar isian pelaksanaan anggaran
bendahara umum negara investasi Pemerintah Pusat dan
penggunaannya untuk pembiayaan badan pengelolaan
dana lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
c. ketentuan mengenai pengalokasian saldo DR diatur
dalam peraturan mehteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.

Pasal 300

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan


pelaksanaan dari:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2OO4 tentang
Perencanaan Kehutanan ;

b. Peraturan

SK No 099566 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-t74-
b Peraturan Pemerintah Nomor 1O4 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan;
c Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
105 Tahun 2Ol5 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan;
d Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2OO7 tentang Tata Hutan dan Pen5rusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan;
e Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang
Perlindungan Hutan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2OO9 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2OO4 tentang Perlindungan Hutan;
f Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2OO2 tentang
Dana Reboisasi sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2OO7 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
2OO7 tentang Dana Reboisasi;

o
b' Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang
Provisi Sumber Daya Hutan; dan

h. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2OlO tentang


Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 301

SK No 099-590 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-L75-
Pasal 301
ini mulai berlaku:
Pada saat Peraturan Pemerintah
a Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2OO4 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 146, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor aa1\;
b Peraturan Pemerintah Nomor lO4 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol5
Nomor 326, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 579a1;
c Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2OlO tentang
Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 3O, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5112) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010
tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 327, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5795);
d Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2OO7 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 46961 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor aSlal;

e. Pasal

SK No 099517 A
PRESIDEN
REPUBLIK INbONESIA
-176-
e Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasa1
14, Pasal 19, Pasal 24,Pasal26,Pasal 28, Pasal 29,Pasal
30, Pasal 34, Pasal 36, dan Pasal 41 Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4453) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2OO9 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2OO9 Nomor I37, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5O56);

f. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2OO2 tentang


Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2OO2 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4207) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2OO7 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2OO7 tentang Dana Reboisasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2OO7 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
a776);
g. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang
Provisi Sumber Daya Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3759); dan
h. Pasal 3 ayat (1), ayat (21, ayat (4), dan ayat (6) Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 201O tentang Perusahaan
Umum (Perum) Kehutanan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 1241,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 3O2
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar

Sl( No 099-589 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-177-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2O2L

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2O2l

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2O2I NOMOR 33

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Perundang-undangan dan
strasi Hukum,

Silvanna Djaman

SK No 099515 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2021
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEH UTANAN

I UMUM
Hutan sebagai karunia T\rhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan
kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai
harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai
amanah, karenanya Hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak
mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada
T\rhan Yang Maha Esa.
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang
nyata agar kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat
ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.
Untuk itu Hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan
secara berkesinambungan bagi kesejahteraan Masyarakat Indonesia, baik
generasi sekarang maupun yang akan datang.
Dalam rangka meningkatkan iklim investasi dan kegiatan berusaha,
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, kemudahan,
pemberdayaan, perlindungan UMK-M serta perkoperasian, dan percepatan
proyek strategis nasional serta mempermudah dalam pengurusan dan
memperoleh lahan khususnya Kawasan Hutan di Indonesia guna
menciptakan lapangan kerja,maka dipandang perlu melakukan perubahan
terhadap Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4, di antaranya:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2OO4 tentang Perencanaan
Kehutanan, yang erat kaitannya dengan perubahan:
a. batas maksimal 30 (tiga puluh) persen Kawasan Hutan yang harus
dipertahankan dari luas DAS atau pulau yang sering dianggap
menghambat perolehan lahan untuk investasi diganti dengan
kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan;

b. pelaksanaan

Sl( No 099588 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-
b. pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Hutan, untuk mempercepat
Pengukuhan Kawasan Hutan khususnya pada program strategis
nasional, pemulihan ekonomi nasional, kegiatan ketahanan pangan
(food estatel dan energi, kegiatan tanah obyek reforma agraria,
Hutan Adat, kegiatan rehabilitasi Kawasan Hutan pada DAS yang
memberikan perlindungan, dan pada wilayah yang berdekatan
dengan permukiman padat penduduk dan berpotensi tinggi terjadi
perambahan, dapat dilakukan dengan memanfaatkan koordinat
geografis atau satelit dengan menggunakan teknologi penginderaan
jauh.
2. Peraturan Pemerintah Nomor lO4 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan:
a. perubahan terhadap kriteria Kawasan Hutan Produksi yang semula
terdapat 3 (tiga) kriteria fungsi yaitu Kawasan Hutan Produksi
terbatas, Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan
Produksi yang dapat Dikonversi diubah menjadi 2 (dua) fungsi yaitu
Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang
dapat Dikonversi, sehingga akan memudahkan dalam menentukan
kriteria fungsi Hutan dan dalam penggunaan dan Pemanfaatan
Kawasan Hutan;
b. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan yang semula hanya pada
Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi untuk semua
kegiatan, pada Peraturan Pemerintah ini untuk kegiatan program
proyek strategis nasional (PSN), kegiatan pemulihan ekonomi
nasional (PEN), kegiatan ketahanan pangan (food estatel dan energi,
program tanah obyek reforma agraria, kegiatan usaha yang telah
terbangun dan memiliki perizinan di dalam Kawasan Hutan
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang
Cipta Kerja, dapat dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi Tetap
dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi, serta
dikecualikan dari ketentuan pengenaan PNBP.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2OlO tentang Penggunaan
Kawasan Hutan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015, memberikan
kemudahan dan percepatan serta kepastian usaha seperti:
a. pengadaan tanah yang dilakukan oleh swasta yang bersifat
permanen dengan mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan
sedangkan yang bersifat tidak permanen dan untuk menghindari
fragmentasi Kawasan Hutan serta dapat menjadi bagian
pengelolaan Hutan dilakukan dengan mekanisme persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan;

b. Penggunaan

Sl( No 099(r ll A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-
b. Penggunaan Kawasan Hutan di luar Kehutanan untuk kegiatan
tanpa memiliki perizinan Kehutanan yang dilakukan sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja, diterbitkan persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
setelah dipenuhinya Sanksi Administratif;
c. ketentuan terkait penyediaan lahan pengganti dalam Penggunaan
Kawasan Hutan, pada provinsi yang kecukupann luas Hutannya
terlampaui berkewajiban membayar PNBP, sedangkan pada
provinsi yang luas Hutannya kurang terlampaui berkewajiban
membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan membayar
PNBP kompensasi sebesar nilai lahan yang digunakan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata Hutan dan
Pen5rusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008, pembatasan izin usaha Pemanfaatan Hutan dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek kelestarian Hutan dan aspek
kepastian usaha, seperti:
a. perubahan nomenklatur yang semula diberikan dalam bentuk izin
diganti dengan Perizinan Berusaha untuk seluruh kegiatan
Pemanfaatan Hutan;
b. menghapus jenis-jenis izin menjadi satu Perizinan Berusaha;
c. mengubah pemberdayaan Masyarakat menjadi pengelolaan
Perhutanan Sosial serta memasukan kegiatan yang selama ini telah
diatur dalam Peraturan Menteri ke dalam Peraturan Pemerintah
serta memberikan legalitas kegiatan pengelolaan Perhutanan Sosial
yang selama ini diatur dalam Peraturan Menteri ke dalam Peraturan
Pemerintah; dan
d. Multiusaha Kehutanan.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang Perlindungan
Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2OO9, seperti menyesuaikan kewajiban dan larangan serta
nomenklatur yang berada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 2OO4 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2OO9 ke dalam
Peraturan Pemerintah ini dengan Peraturan Pemerintah yang terkait.

6. Peraturan ...

.SK No 099(rl I A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-
6. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2OO2 tentang Dana Reboisasi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2OO7, menyelesaikan permasalahan penggunaan DR seperti:
a. penyelesaian sisa dana bergulir; dan
b. penggunan DR lintas provinsi.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber
Daya Hutan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan
Umum (Perum) Kehutanan Negara, menyelesaikan permasalahan:
a. penyelesaian tenurial Kawasan Hutan;
b. efisiensi pengelolaan Kawasan Hutan oleh badan usaha milik
negara Kehutanan dengan fokus pada pendapatan negara dan
efektivitas perusahaan; dan
c. pengurangan areal kerja badan usaha milik negara Kehutanan yang
paling sedikit diperuntukkan bagi Perhutanan Sosial.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas maka perlu dilakukan
perubahan terhadap beberapa Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4 tersebut di atas,
dengan memperhatikan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik,
keberpihakan kepada Masyarakat kecil, mendorong pertumbuhan dan
investasi.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3 ...

SK No 09951 I A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11

Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19

SK No 099510 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-
Pasal 19
Ayat (1)
Petunjuk pelaksanaan penataan batas memuat petunjuk teknis
penataan batas dan pemetaan Kawasan Hutan meliputi:
a. pembuatan peta kerja, peta hasil tata batas sementara, dan
peta tata batas;
b. pembuatan dan pemasangan/pemancangan tanda-tanda
batas fisik Kawasan Hutan di lapangan meliputi bentuk fisik
tanda batas (pal batas, tugu batas, papan pengumuman, rintis
batas, lorong batas, dan pada lokasi yang rawan dibuat parit
batas) dan pemberian inisial nomor dan huruf pada pal
batas/ tugu, batas I papan pengumuman;
c. pengukuran ikatan dan batas Kawasan Hutan serta
pemetaan Kawasan Hutan;
d. pembuatan dokumen hasil penataan batas dan pemetaan
Kawasan Hutan seperti berita acara tata batas dan peta tata
batas;
e. pengaturan dan penyelenggaraan rapat panitia tata batas dan
panitia batas fungsi;
f. tenaga kerja dan peralatan;
g. pembuatan batas sementara dan batas definitif;
h. pembuatan laporan;
i. pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas
dan Peta Tata Batas; dan
j. pendistribusian, penyimpanan, dan pemeliharaan dokumen
penataan batas dan Pemetaan Kawasan Hutan.

Ayat (2)
Pada lokasi-lokasi yang rawan perambahan Kawasan Hutan
dapat dilengkapi pembuatan parit batas.
Pengakuan hasil pemancangan patok batas sementara
dituangkan dalam berita acarapengakuan hasil pembuatan batas
Kawasan Hutan, yang telah mengakomodir hak-hak atas
lahan/tanah. berita acara tersebut ditandatangani oleh tokoh
Masyarakat yang mewakili Masyarakat di sekitar Trayek Batas
Kawasan Hutan dan diketahui/disetujui oleh kepala desa
setempat atau yang disebut dengan nama lain.

Pada

SK No 099509 A
PFTESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7 -
Pada saat pemasangan pal batas sekaligus dilakukan pengukuran
posisi pal batas.
Berita acara tata batas dan peta tata batas merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Ayat (3)
Pedoman penyelenggaraan penataan batas memuat garis-garis
besar mengenai prosedur dan tata kerja Penataan Batas Kawasan
Hutan dan Pemetaan Kawasan Hutan meliputi:
a. pembuatan rencana kerja, penJrusunan Trayek Batas,
pelaksanaan Penataan Batas, Pemetaan Kawasan Hutan
serta pembuatan, pendistribusian, penyimpanan, dan
pemeliharaan dokumen penataan batas dan pemetaan
Kawasan Hutan;
b. Pengawasan dan pembinaan;
c. pelaporan;
d. pelaksanaan pemeliharaan dan pengamanan batas; dan
e. orientasi dan rekonstruksi batas Kawasan Hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kondisi alam" adalah kondisi suatu
wilayah yang tidak memungkinkan dilalui seperti daerah
dengan topografi berat, sungai, atau rawa dalam.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kondisi keamanan" adalah suatu
wilayah apabila dilakukan Penataan Batas Kawasan Hutan
akan mengancam keselamatan pelaksana tata batas.

Pasal 20

Sl( Nlo 09958-s A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 2 1
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Penetapan Kawasan Hutan didasarkan pada berita acara tata
batas Kawasan Hutan temu gelang yang luasnya sudah
dapat diketahui secara pasti berdasarkan hasil pengukuran
di lapangan.
Yang dimaksud dengan temu gelang adalah poligon tertutup
hasil tata batas Kawasan Hutan sehingga dapat diketahui
luas Kawasan Hutan.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30

Sl( NIo 09)56,4 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9 -
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria penetapan fungsi Kawasan Hutan yang berupa cagar
alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman Hutan raya,
dan taman wisata alam diatur dalam Peraturan Pemerintah
tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1

Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Yang dimaksud dengan "daerah resapan air" yaitu
daerah percurah hujan yang tinggi, berstruktur tanah
yang mudah meresapkan air, dan mempunyai
geomorfologiyang mampu meresapkan air hujan secara
besar-besaran.
Angka 6
Cukup jelas
Huruf c ...

SK No 099506 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-10-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (a)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 4O
Cukup jelas.
Pasal 4 1
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (21

Huruf a
Yang dimaksud dengan "biogeofisik" meliputi:
1. tutupan Hutan/kondisi vegetasi; dan
2. keanekaragaman flora fauna.
Kondisi..

SK No 099505 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11-
Kondisi biogeofisik berdasarkan geografisnya
direpresentasikan sebagai ekoregion geofisik meliputi:
a. kelerengan;
b. curah hujan; dan
c. jenis tanah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "karakteristik DAS" adalah kesatuan
bio dan geofisik di alam menjadi satu kesatuan
landscape I landsy stem.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pelaksanaan atas dukungan keberadaan dan kecukupan luas
Kawasan Hutan atas provinsi dan/atau kabupaten/kota yang
memberi manfaat antara lain dilakukan dengan memberikan
kontribusi dan kompensasi yang disepakati bersama.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (1o)
Cukup jelas.

Ayat (11) ...

SK No 099504 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t2-
Ayat (1 1)

Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57 .

SK No 099503 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-13-
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (21
Yang dimaksud dengan "Hutan Produksi yang dapat Dikonversi
yang tidak produktil" berupa Hutan Produksi yang penutupan
lahannya didominasi lahan tidak berhutan antara lain semak
belukar, lahan kosong, dan kebun campur.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha" adalah izin usaha
yang diberikan kepada Pelaku Usaha sebagai legalitas untuk
memulai dan menjalankan usaha dan atau kegiatannya yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk izin
lokasi danf atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64 ..

SK No 099502 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t4-
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal T4
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80 ..

SK No 099501 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-15-
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Huruf a
Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan Produksi
selain dilakukan karena tidak lagi memenuhi kriteria fungsi
Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perLrndang-
undangan, hanya dapat dilakukan dalam hal:
1. untuk memenuhi kebutuhan luas Hutan Produksi optimal
untuk mendukung stabilitas ketersediaan bahan baku
industri pengolahan kayu; atau
2. diperlukan jangka benah fungsi Kawasan Hutan.
Huruf b
Perubahan fungsi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi
menjadi Hutan Produksi Tetap dalam rangka proses pemberian
Perizinan Berusaha setelah memperoleh pertimbangan
gubernur serta dilakukan penelitian oleh tim internal yang
anggotanya berasal dari Kementerian.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89 ..

Sl( No 099-553 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-L6-
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kegiatan yang mempunyai tujuan
strategis" adalah kegiatan yang diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap
kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara, pertumbuhan
ekonomi, sosial, budaya, dan f atau lingkungan.
Ayat (2)
Pemohon dalam mengusulkan kegiatan pembangunan di luar
kegiatan Kehutanan disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf a
Kegiatan religi misalnya tempat ibadah, tempat pemakaman,
dan wisata rohani.
Huruf b
Kegiatan pertambangan yaitu pertambangan minyak dan gas
bumi, mineral, dan batubara.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i ...

SK No 099-s84 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t7-
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Kegiatan pertahanan dan keamanan misalnya pusat latihan
tempur, stasiun radar, dan menara pengintai.
Huruf k
Prasarana penunjang keselamatan umum misalnya
keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, dan sarana
meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
Huruf I
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101 ...

-,1', ;',iil 0()r)c-i i .A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONES!A

-18-
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 1 10
Cukup jelas.
Pasal 11 1

Cukup jelas.
Pasal 1 12
Cukup jelas.
Pasal 1 13
Cukup jelas.
Pasal 1 14
Cukup jelas.
Pasal 1 15
Cukup jelas.
Pasal 1 16

Sl( trlo 099-s-50 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-19-
Pasal 1 16
Cukup jelas.
Pasal 1 17
Cukup jelas.
Pasal 1 18
Cukup jelas.
Pasal 1 19
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (21

Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah terbatas


pada pengalihan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang
berakibat beralihnya pengendalian perusahaan.

Ayat (3)

Sl( Nlo 099549 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-20-
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "memenuhi standar dan pedoman
pengelolaan Hutan lestari" adalah mendapat sertifikat
pengelolaan Hutan lestari secara mandatory.
Ayat (a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 128
Ayat (1)
Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan Masyarakat terutama Masyarakat
setempat, sekaligus menumbuhkan kesadaran Masyarakat untuk
menjaga dan meningkatkan fungsi Hutan Lindung sebagai
amanah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan
datang.
Ayat (2)
Kegiatan Pemanfataan Kawasan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan,
dan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dilakukan survei
potensi oleh pemohon dan diverifikasi oleh KPH.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Ayat ( 1)

Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b

Sl( Nlo 099-51+8 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2L-
Huruf b
Yang dimaksud dengan "lingkungan" adalah unsur hayati
dan nonhayati serta proses ekosistem, antara lain dinamika
populasi flora-fauna dan phytogeografi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kegiatan nyata di lapangan" adalah
kegiatan memasukan peralatan paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari unit peralatan yang ditentukan dalam rencana ke
dalam areal kerja serta membangun sarana dan prasarana
Pemanfaatan Hutan yang tidak merubah bentang alam.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d ...

Sl( No 099-547 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-22-
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf I
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.

Pasal 14O
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c

Sl( Nlo 099-546 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-23-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "meninggalkan areal kerja" termasuk
tidak ada lagi kegiatan Pemanfaatan Hutan.
Pasal 141
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Pemanfaatan Kawasan pada Hutan
Produksi" termasuk memanfaatkan rulang tumbuh dengan tidak
mengganggu fungsi utamanya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Huruf a
Yang dimaksud dengan "memenuhi kebutuhan" adalah jumlah
volume yang diberikan dalam Pemungutan Hasil Hutan Kayu
disesuaikan dengan kebutuhan fasilitas umum.

Huruf b

5il( l.lo 099-545 A


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-24-
Huruf b
Yang dimaksud dengan "memenuhi kebutuhan individu" adalah
jumlah volume yang diberikan dalam Pemungutan Hasil Hutan
Kayu disesuaikan dengan kebutuhan untuk rumah.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Huruf a
Dalam rencana kerja, antara lain memuat pula aspek kelestarian
usaha, aspek keseimbangan lingkungan, dan sosial dan ekonomi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kegiatan nyata" adalah kegiatan
memasukkan peralatan mekanik paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari unit peralatan yang ditentukan ke dalam areal kerja
serta membangun sarana dan prasarana, untuk pemegang
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.

Huruf d ...

Sl( No 099.s44 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-25-
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

Yang dimaksud dengan "Perlindungan Hutan" antara lain,


meliputi:
a. mencegah adanya pemanenan pohon tanpa izin;
b. mencegah atau memadamkan kebakaran Hutan;
c. menyediakan sarana dan prasarana Pengamanan Hutan;
d. mencegah perburuan satwa liar dan/atau satwa yang
dilindungi;
e. mencegah penggarapan dan/atau penggunaan, dan/atau
menduduki Kawasan Hutan secara tidak sah;
f. mencegah perambahan Kawasan Hutan;
g. mencegah terhadap gangguan hama dan penyakit; dan latau
h. membangun unit satuan pengamanan Hutan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Humf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf 1
Yang dimaksud dengan "tenaga profesional bidang Kehutanan"
adalah sarjana Kehutanan dan tenaga teknis menengah, yang
meliputi lulusan sekolah Kehutanan menengah atas, diploma
Kehutanan, serta tenaga-tenaga hasil pendidikan dan latihan
Kehutanan, antara lain penguji kayu (gradefi, perisalah Hutan
(cruisefl, dan pengukur (scaler).
Yang...

SK No 099-543 A
PRES!DEN
REPUBLIK INDONESIA

-26-
Yang dimaksud dengan "tenaga lain" adalah tenaga ahli di bidang
lingkungan, sosial, ekonomi, dan hukum.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Pasal 157
Ayat (1)
Bentuk kerja sama dapat berupa penyertaan saham atau kerja
sama usaha pada segmen kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan.
Termasuk dalam kegiatan kerja sama usaha pada segmen
kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, antara lain penataan
batas areal kerja, batas blok dan batas petak kerja, pembukaan
wilayah Hutan, pemanenan hasil Hutan, penyiapan lahan,
perapihan, inventarisasi potensi hasil Hutan, pengadaan benih
dan bibit, penanaman dan pengayaan, pembebasan,
pengangkutan, Pengolahan Hasil Hutan, pemasaran hasil Hutan,
dan kegiatan pendukung lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 158.

Sl( No 099542 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-27 -
Pasal 158
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "meninggalkan areal kerja" termasuk
sebelum izin berakhir:
1. tidak menyedikan alat-alat atau peralatan untuk
melaksanakan kegiatannya;
2. tidak berfungsinya alat-alat atau peralatan yang tersedia;
3. tidak ada lagi tenaga kerja tetap di areal kerjanya; atau
4. tidak ada kegiatan pemanfaatan.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161 ...

Sl( No 099-s83 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-28-
Pasal 161
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sebelum dilakukan pencabutan izin terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan lapangan.
Huruf c
Pernyataan tertulis dilengkapi dengan alasan-alasan yang
jelas.
Ayat (2)
Audit dilaksanakan untuk mengevaluasi pemenuhan kewajiban
pemegan g P erizinan Berusaha.
Ayat (3)
Untuk melunasi kewajiban finansial pemegang Perizinan
Berusaha yang izinnya telah berakhir, Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah
kabupaten/kota, dapat melakukan upaya paksa, antara lain
menyita barang-barang bergerak milik pemegang Perizinan
Berusaha, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (a)
Barang bergerak tetap menjadi milik pemegang Perrzinan
Berusaha.
Ayat (5)
Setelah Perizinan Berusaha berakhir, maka tanaman yang telah
ditanam tersebut harus segera ditebang bagi tanaman yang telah
memenuhi masa tebang sesuai daur, paling lambat 1 (satu) tahun
sejak tanggal berakhirnya Perizinan Berusaha, dan bila tidak
ditebang menjadi milik negara.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" antara lain kreditor atau
mitra usaha.

Pemerintah..

SK No 099540 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-29-
Pemerintah Pusat memperhitungkan nilai tegakan atau tanaman
yang dibangun oleh perusahaan pemegang Perizinan Perusaha
sebagai aset perusahaan, terutama pada waktu awal
pembangunan Hutan tanaman, yang dimulai dari tanah kosong
atau padang alang alang, dan tidak dimulai dari konversi Hutan
AIam melalui Perizinan Berusaha pemanfaatan kayu.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal t72
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175 ...

SK No 099539 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-30-
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal I77
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190

SK No 099538 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-31 -
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 2O1
Cukup jelas.
Pasal 2O2
Cukup jelas.
Pasal 2O3
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.

Pasal 2OS ...

SK No 099537 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-32-
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pengembangan usaha" adalah
meningkatkan kemampuan lembaga Perhutanan Sosial
dalam usaha Pemanfaatan Hutan antara lain melalui:
1. bimbingan;
2. supervisi;
3. pendidikan dan latihan;
4. penyuluhan;
5. akses terhadap pasar;
6. permodalan; dan
7. pembentukan Koperasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas.
Ayat (21

Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)

SK No 099536 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-33-
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 21 1
Cukup jelas.
Pasal212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 2 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "lembaga desa" adalah lembaga yang
dibentuk oleh kepala desa melalui musyawarah desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk
melakukan pengelolaan Hutan Desa untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyakarat desa.
Ayat (21

Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal2lT
Cukup jelas.
Pasal 218
Cukup jelas.
Pasal 219 ...

Sl( No 099582 A
PFIESIDEN
REPUELIK INDONESIA

-34-
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 22O
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Cukup jelas.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Cukup jelas.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Cukup jelas.
Pasal 229
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235 ...
SK No 099534 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-35-
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Ayat (1)
Kegiatan pengelolaan Hutan meliputi :

a. Tata Hutan dan penyusunan rencana pengelolaan Hutan;


b. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan;
c. rehabilitasi dan reklamasi Hutan; dan

d. Perlindungan ..
SK No 099533 A
PFIESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-36-
d Perlindungan Hutan dan konservasi alam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 25O
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c

Sl( Nc 099-581 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-37 -
Huruf c
Laporan terjadinya kebakaran Hutan yang dilakukan oleh
Masyarakat melalui pemberian informasi tentang apa yang
dilihatnya, sedangkan laporan oleh petugas diusahakan
selengkap-lengkapnya yang meliputi antara lain informasi
mengenai lokasi, waktu, penyebab, luas areal, kondisi
lapangan, arah angin, sketsa situasi, dan data lain yang
diperlukan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan
inventarisasi dan identifikasi lapangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Tingkat kerusakan akibat kebakaran diperlukan untuk
mengetahui jumlah kerugian negara akibat kebakaran
Hutan.
Tingkat kerawanan dan kerusakan diperlukan untuk
memprediksi prioritas kegiatan yang harus dilaksanakan
tahun berikutnya.

Pasal 259 ..

SK No 099531 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-38-
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Ayat (1)
Pertan ggu n gj awaban pe me ga ng P er izinan Beru sah a Pe manfaatan
Hutan, pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau
pemilik Hutan Hak atas terjadinya kebakaran Hutan di areal
kerjanya merupakan tanggung jawab mutlak yang berarti
pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau pemilik Hutan Hak
baik sengaja maupun tidak sengaja, wajib bertanggung jawab
secara pidana dan/atau membayar ganti rugi atas terjadinya
kebakaran Hutan di areal kerjanya, kecuali apabila pemegang
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan atau pemilik Hutan Hak dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Ayat (21

Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Cukup jelas.
Pasal 269 ..

SK No 099530 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-39-
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal2TL
Cukup jelas.
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal273
Cukup jelas.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasa1275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.

Pasal 284 ...

SK No 099529 A
PRES!DEN
REPUBLIK INDONESIA

-40-
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Cukup jelas.
Pasal 286
Cukup jelas.
Pasal 287
Cukup jelas.
Pasal 288
Cukup jelas.
Pasal 289
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 29 1
Cukup jelas.
Pasal 292
Cukup jelas.
Pasal 293
Cukup jelas.
Pasal 294
Cukup jelas.
Pasal 295
Cukup jelas.
Pasal 296
Cukup jelas.
Pasal 297
Cukup jelas.
Pasal 298
Cukup jelas.
Pasal 299 ...

SK No 099528 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4t-
Pasal 299
Cukup jelas.
Pasal 30O
Cukup jelas.
Pasal 3O1
Cukup jelas.
Pasal 3O2
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6635

Sl( No 099-s80 A
SALINAN

PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2O2I

TENTANG

TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA


PENEzuMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA
ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 dan


Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O
tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang
Kehutanan;

Mengingat 1. Pasal 5 ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol3
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5a321;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573\;

MEMUTUSKAN:

SK No 085128 A
Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 24 Tahun 2021
tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif dan Tata Cara
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal
dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA
PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL
DARI DENDA ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai Hutan tetap.
3. Hutan Produksi adalah Kawasan Hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan.
4. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata atr,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

5. Hutan

SK No 085120 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-
5. Hutan Konservasi adalah Kawasan Hutan dengan ciri
khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya.
6. Rencana Tata Ruang adalah Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi atau Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.
7. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan
usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada
bidang tertentu.
8. Perizinan Berusaha adalah izin usaha yang diberikan
kepada Setiap Orang sebagai legalitas untuk memulai
dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam
bentuk Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang
perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.
9. Pejabat yang berwenang adalah Pemerintah,
Gubernur, atau Bupati/Walikota yang menerbitkan
IzinLokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.
10. lzin Lokasi adalah tzin yang diberikan kepada
perusahaan untuk memperoleh tanah dalam rangka
penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin
pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah
tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.
11. Izin Usaha Perkebunan adalah izin usaha yang
menghasilkan barang danf ataujasa perkebunan.

12. Penzinan

SK No 085119 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-
12. Perizinan di bidang kehutanan adaiah izin usaha di
bidang kehutanan yang diterbitkan sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O
tentang Cipta Kerja, yang meliputi rzin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, rzin usaha pemanfaatan hasil hutan ka)ru
danf atau bukan ka5ru, izin pemungutan hasil hutan
kayu dan/atau bukan ka5ru, izin pinjam pakai
Kawasan Hutan, izin perhutanan sosial, atau
pelepasan Kawasan Hutan.
13. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan adalah
persetujuan tentang perubahan peruntukan kawasan
Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan/atau
Hutan Produksi Tetap menjadi bukan Kawasan Hutan
yang diterbitkan oleh Menteri.
14. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan adalah
persetujuan penggunaan atas sebagian Kawasan
Hutan untuk kepentingan pembangunan di iuar
kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan
peruntukan Kawasan Hutan.
15. Sanksi Administratif adalah perangkat sarana hukum
administrasi yang bersifat pembebanan
kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikenai kepada
Setiap Orang atas dasar ketidaktaatan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan.
16. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya
disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh
orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat
langsung maupun tidak langsung atas layanan atau
pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh
negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan,
yang menjadi penerimaan Pemerintah Fusat di luar
penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam
mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.

17. Provisi

SK No 0851 l8 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-
17. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya
disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan
sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan
danf atau hasil usaha yang dipungut dari hutan
negara.
18. Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah
dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang
tumbuh alami dari hutan negara.
19. Surat Pemberitahuan adalah pemberitahuan tertulis
yang dikeluarkan oleh Menteri atau pejabat yang
berwenang terhadap kegiatan usaha yang telah
terbangun di Kawasan Hutan sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja.
20. Denda Administratif adalah Sanksi Administratif
berupa pembebanan kewajiban bagi Setiap Orang
untuk melakukan pembayaran sejumlah uang
tertentu akibat pelanggaran penggunaan Kawasan
Hutan secara tidak sah.
21. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha adalah
tindakan yang dilakukan oleh Menteri untuk
menghentikan kegiatan pelanggaran pertambangan,
perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam
Kawasan Hutan.
22. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha adalah
persetujuan yang diberikan oleh Menteri untuk
menjalankan kegiatan usaha yang telah terbangun
dan/atau beroperasi di kawasan Hutan Lindung
dan/atau kawasan Hutan Konservasi.
23. Surat Peringatan adalah pemberitahuan tertulis yang
dikeluarkan oleh Menteri terhadap tindakan
pelanggaran oleh Setiap Orang karena tidak
melaksanakan Sanksi Administratif.

24. Pernerintah

SK No 0851 17 A
PRES I DEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-
24. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
25. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom.
26. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan.

Pasal 2
(1) Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan wajib
memiliki Perizinan Berusaha di bidang kehutanan,
persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di
bidang kehutanan.
(21 Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikenai sanksi pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3
(1) Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha
perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di
dalam Kawasan Hutan dan memiliki lzin Lokasi
dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O
tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki Perizinan di
bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku.

(2) Jika .

SK No 085146 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7
(21 Jika penyelesaian persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun
sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang
Cipta Kerja berlaku, Setiap Orang dikenai Sanksi
Administratif.
(3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha
pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain
yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang
dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, yang tidak
memiliki Perrzinan di bidang kehutanan, dikenai
Sanksi Administratif.
(4) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) berupa:
a. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
b. Denda Administratif;
c. pencabutan Perizinan Berusaha; dan f atau
d. paksaan pemerintah.

Pasal 4
(1) Kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah
terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memrhki lzin
Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus
sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang diterbitkan
oleh Pejabat yang berwenang pada saat usaha pertama
kali dibangun dan/atau dioperasikan.
(2) Kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau
kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan
Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
meliputi bidang:
a. pertambangan yang:
1. melakukan kegiatan penambangan di dalam
Kawasan Hutan;

2. rnengangkut

SK No 085145 A
PRES lDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-
2. mengangkut dan/atau menerima titipan
krasil t.ambang yang berasal dari kegiatan
penambangan di dalam Kawasan Hutan;
dan/atau
3. membeli, memasarkan, dan latau mengolah
hasil tambang dari kegiatarr penambangan di
dalam Kawasan Hutan.
b perkebunan yang:
1. melakukan kegiatan perkebunan di dalam
Kawasan Hutan;
2. mcngangkut dan/atau menerima titipan
hasil kebun yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam Kawasan Hutan;
dan/atau
3. membeli, memasarkan, dan latau mengolah
hasil kebun dari kegiatan perkebunan di
dalam Kawasan Hutan.
C kegiatan lain yang meliputi:
1. minyak dan gas bumi;
2. panas bumi;
3. tambak;
4. pertanian;
5. permukiman;
6. wisata alam;
7. industri; dan/atau
8. sarana dan prasarana.

Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
a. inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang
telah terbangun rli clalam Kawasan Hutan yang tidak
memiliki Perizinan di bidang kehutanan;

b. tata

SK No 089094 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-
b. tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha
perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di
dalam kawasan hutan yang memiliki lzin Lokasi
dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak
memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
c. tata cara pengenaan Sanksi Administratif terhadap
kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak
memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
d. tata cara perhitungan Denda Administratif;
e. PNBP yang berasal dari Denda Administratif; dan
f. paksaan pemerintah.

BAB II
INTVENTARISASI DATA DAN INFORMASI KEGIATAN USAHA
YANG TELAH TERBANGUN DI DALAM KAWASAN HUTAN YANG
TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6
(1) Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang
telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak
memiliki Perizinan di bidang kehutanan dilakukan
oleh Menteri.
(2) Inventarisasi data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. data dan informasi kegiatan usaha perkebunan
kelapa sawit yang telah terbangun di dalam
Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dan tidak memiliki Perizinan di
bidang kehutanan;
b. data dan informasi kegiatan usaha
pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan
lain yang telah terbangun di dalam Kawasan
Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(21 yang tidak memiliki Perizinan di bidang
kehutanan; dan
c. penetapan data dan informasi kegiatan usaha
yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan.

Bagian
SK No 085144 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10-
Bagian Kedua
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit
yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Telah Memiliki Izin
Lokasi dan/atau Izin Usaha di Bidang Perkebunan yang
Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan

Paragraf 1

Umum

Pasal 7
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah
terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasai 6 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa
sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan
yang sesuai Rencana Tata Ruang; dan
b. data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa
sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan
yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang.

Paragraf 2
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun
di dalam Kawasan Hutan yang Sesuai Rencana Tata Ruang

Pasal 8
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a yang sesuai
Rencana Tata Ruang terdiri atas:
a. tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di
bidang kehutanan; dan
b. tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di
bidang kehutanan.

Pasal 9

SK No 085143 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 1r -
Pasal 9
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha
perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam
Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf a dan huruf b, berada di dalam:
a Kawasan Hutan Produksi;
b Kawasan Hntan Lindung; dan/atau
c, Kawasan Hutan Konservasi.

Paragraf 3
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usah.a
Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun
di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Sesuai Rcncana Tata Ruang

Pasal 10
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha
perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam
Kawasan Hutan yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b tercliri atas:
a. trdak tumpang-tindih dengan keberaclaan Perizinan di
bidang kehutanan; dan
b. tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di
bidang kehutanan.

Pasal 11

Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha


perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam
Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a dan huruf b berada di dalam:
a. Kawasan Hutan Produksi;
b. Kawasan Hutan Lindung; dan/atau
c. Kawasan Hutan Konservasi.

Paragraf 4

SK No 089097 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t2-
Paragraf 4
Tata Cara Inventarisasi Data dan Informasi

Pasal 12
Inventarisasi data darr informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan Pasal 11 dilakukan melalui kegiatan:
a. evaluasi berdasarkan data dan informasi kegiatan
usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun
di dalam Kawasan Hutan yang sudah diajukan
penyelesaiannya;
b. inventarisasi terestris dan nonterestris yang dilakukan
oleh Pemerintah atau Pemerintah bersama Pemerintah
Daerah;
c. operasi pengamanan Hutan yang dilakukan oleh Polisi
Kehutanan;
d. pengumpulan bahan dan keterangan atau
penyelidikan yang dilakukan oleh Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Lingkurrgan Hidup dan
Kehutanan; dan/atau
e. pengawasan yang dilakukan cleh Pejabat Pengawas
Lingkungan l{idup.

Bagian Ketiga
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Pertambangan, Perkebuiran,
dan/atau Kegiatan Lain di dalam Ka'.vasan Hutan yang Tidak Memiliki
Perizinan di Bidang Kehutanan
Paragraf 1

Umum

13
Pasal
Inventarisasi data 'dr.., informasi kegiatan usahe
pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b,
terdiri atas:
a. tidak tumpang-tinclih dengan keberadaan Perizinan di
bidang kehutanan; dan
b. trrmpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di
bidang kehutanan.

Paragraf 2
SK No 089199 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-13-
Paragraf 2
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Pertambangan, Perkebunan,
dan/atau Kegiatan Lain

Pasal 14
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha
pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan huruf
b, berada di dalam:
a. Kawasan Hutan Produksi;
b. Kawasan Hutan Lindung; dan/atau
c. Kawasan Hutan Konservasi.

Paragraf 3
Tata Cara Inventarisasi Data dan Informasi

Pasal 15
Inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilakukan melalui kegiatan:
a. inventarisasi terestris dan nonterestris yang dilakukan
oleh Pemerintah atau Pemerintah bersama Pemerintah
Daerah;
b. operasi pengamanan Hutan yang dilakukan oleh Polisi
Kehutanan;
c. pengumpulan bahan dan keterangan atau
penyelidikan yang dilakukan oleh Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan
Kehutanan; dan/atau
d. pengawasan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup.

Bagian

SK No 087071 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESTA

-14-
Bagian Keempat
Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan
di Bidang Kehutanan di dalam Kawasan Hutan

Paragraf 1

Klasifikasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan
di Bidang Kehutanan di dalam Kawasan Hutan
Pasal 16
(1) Hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha
perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di
dalam Kawasan Hutan yang trdak memiliki perizinan
di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 dan Pasal 11 memuat data dan informasi
mengenai:
a. Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha di
dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki
Perizinan di bidang kehutanan;
b. luasan Kawasan Hutan yang dikuasai;
c. jangka waktu kegiatan usaha yang dilakukan di
dalam Kawasan Hutan; clan
d. lokasi yang terdiri atas:
1. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit
yang sesuai Rencana Tata Ruang dan tidak
tumpang-tirrdih dengan keberadaan
Perizinan di bidang kehutanan yang berada
di dalam kawasan Hutan produksi;
2. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit
yang scsuai Rencana Tata Ruang dan tidak
tumpang-tindih dengan keberadaan
Perizinan di bidang kchutanan yang berada
di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau
kawasan Hutan Konscrvasi;
3. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit
yang sesuai Rerrcana Tata Ruang dan
tumpang-tindih dengan keberadaan
.Perrzinan di bidang kehutanan yang berada
di dalam kawasan Hutan produksi.

4. kegiatan
SK No 089100 A
PRES IDEN
REPI.JBLIK INDONESIA

- 15-
4. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit
yang sesuai Rencana Tata Ruang dan
tumpang-tindih dengan keberadaan
Perizinan di bidang kehutanan yang berada
di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau
kawasan Hutan Konservasi;
5. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit
yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan
tidak tumpang-tindih dengan keberadaan
Perizinan di bidang kehutanan yang berada
di dalam kawasan Hutan Produksi;
6. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit
yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan
tidak tumpang-tindih dengan keberadaan
Perizinan di bidang kehutanan yang berada
di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau
kawasan Hutan Konservasi;
7. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit
yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan
tumpang-tindih dengan keberadaan
Perizinan di bidang kehutanan yang berada
di dalam kawasan Hutan Produksi; dan
8. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit
yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan
tumpang-tindih dengan keberadaan
Perizinan di bidang kehutanan yang berada
di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau
kawasan Hutan Konservasi.
{2) Hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha
pertambangan, perkebunan, danf atau kegiatan lain di
dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan
di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 disusun berdasarkan kriteria:
a. Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau
kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang
tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
b. jenis pelanggaran;
c. luasan Kawasan Hutan yang dikuasai;
d. jangka waktu pelanggaran; dan

e. Lokasi

SK No 085140 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-16-
e lokasi yang terdiri atas:
1. kegiatan usaha pertambangan, perkebunan,
dan/atau kegiatan lain dan tidak tumpang-
tindih dengan keberadaan Perizinan di
bidang kehutanan yang berada di kawasan
Hutan Produksi;
2. kegiatan usaha pertambangan, perkebunan,
dan/atau kegiatan lain dan tidak tumpang-
tindih dengan keberadaan Perizinan di
bidang kehutanan yang berada di kawasan
Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan
Konservasi;
3. kegiatan usaha pertambangan, perkebunan,
dan/atau kegiatan lain dan tumpang-tindih
dengan keberadaan Perizinan di bidang
kehutanan yang berada di kawasan Hutan
Produksi; dan
4. kegiatan usaha pertambangan, perkebunan,
dan/atau kegiatan lain dan tumpang-tindih
dengan keberadaan Perizinan di bidang
kehutanan yang berada di kawasan Hutan
Lindung dan/atau kawasan Hutan
Konservasi.

Paragraf 2
Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha di dalam
Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 17
Data dan informasi kegiatan usaha di dalam Kawasan
Hutan yang tidak memiliki Perizitan Ci bidang kehutanan
yang ielah disusun berdasarkan klasifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan oleh Menteri.

BAB III

SK No 089102 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-t7-
BAB III
TATA CARA PE}IYELESAIAN TERHADAP KEGIATAN USAHA PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT YANG TELAH TERBANGUN DI DALAM KAWASAN HUTAN
YANG MEMILIKI IZIN LOKASI DAN/ATAU IZTN USAHA DI BIDANG
PERKEBUNAN YANG TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN

Bagian Kesaiu
Umum

Pasal 18
Tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha
perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam
Kawa-sarr Hutan yang memiliki lzin Inkasi dan/atau izin
usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan
di bidang kehutanan, dilakukan melalui tahapan:
a. pemberitahuan pemenuhan persyaratan perizinan di
bidang kehutanan;
b. pengajuan permoh.onan penyelesaian persyaratan
Perizinan di bidang kehutanan;
c. verifikasi permohonan;
d. penerbitan surat perintah tagihan pelunasan pSDH
dan DR;
e. pelunasan PSDH dan DR; cian
f. penerbitan:
1. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan di dalam
kawasa-n Hutan Produksi; atau
2. Persetu.itan Melanjutkan I(egiatan Usaha di
dalam kawasan Hutan Lindung danf atau
kawasan Hutan Konservasi.

Bagian Kedua
Pemberitahuan Pemerruhan Pei'syaratan Perizinan di Bidang l(eh.utanan

Pasal 19
(1) Pemberitahuan pemenuhan persyaratan Perizinan di
bidatrg kehutanan rlisampaikan kepada Setiap Orang
yang fitert€lrrrhi klasifikasi sebagaimana dimaksurd
dalam Pasal'1(>, ciilrtkulian oleh Menteri.

(2) Pemberitahuan

SK No 093513 A
PRES I DEN
REPUBLIK INDONES]A

-18-
(21 Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat:
a. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang
telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang
tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
b. kewajiban untuk mengajukan permohonan
penyelesaian persyaratan Perizinan di bidang
kehutanan;
c. perintah untuk melaksanakan kewajiban
pelunasan PSDH dan DR;
d. batas waktu pengajuan permohonan Perizinan di
bidang kehutanan paling iama 3 (tiga) tahun sejak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang
Cipta Kerja berlaku;
e. pengenaan Sanksi Administratif berupa
kewajiban pembayaran Denda Administratif jika
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
huruf d terlamPaui; dan
f. penetapan status tidak berlakunya Perizinan
Berusaha yang dimilikinya apabila batas waktu
Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud
dalam huruf e terlamPaui.
(3) Penyampaian pemberitahuan dari Menteri kepada
Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah ini.

Bagian Ketiga
Pengajuan Permohonan Penyelesaian Persyaratan
Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 20
(1) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal \9, Setiap Orang mengajukan
permohonan Perizinan di bidang kehutanan kepada
Menteri.
(2t Selain berdasarkan pemberitahuan, permohonan juga
dapat dilakukan atas inisiatif sendiri oleh Setiap Orang
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).

(3) Permohonan
SK No 085136 A
PRES IDEN
REPUBLIK ]NDONESIA

-19-
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat \21 dilengkapi dengan persyaratan:
a. administratif, paling sedikit meliputi:
1. identitas pemohon; dan
2. nomor induk berusaha.
b. teknis, paling sedikit meliPuti:
1. peta permohonan sesuai Rencana Tata
Ruang;
2. lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang
perkebunan; dan
3. dokumen lingkungan hiduP.

Bagian Keempat
Verilikasi Permohonan

Pasal 21
(1) Verifikasi permohonan dilakukan terhadap:
a. persyaratan administratif; dan
b. persyaratan teknis.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
selanjutnya dilakukan verifi kasi fakta lapangan.

Pasal 22
(1) Verifikasi persyaratan administratif dan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (1)
dilakukan oleh Menteri.
(2t Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap pemenuhan persyaratan berupa:
a. administratif dan teknis atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3); dan
b. kesesuaian antara dokumen permohonan dengan
fakta lapangan.
(3) Berdasarkan hasil verifikasi administratif dan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan
dinyatakan:

a. diterima

SK No 085135 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-20-
a. diterima, dalam hal persyaratan lengkap dan
benar; atau
b. ditolak, dalam hal persyaratan tidak lengkap
dan/atau tidak benar.
(4) Dalam hal permohonan dinyatakan diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Menteri
melakukan verifikasi kesesuaian antara data
administratif dan teknis dengan fakta lapangan.
(5) Dalam hal permohonan dinyatakan ditolak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Menteri
dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja mengembalikan
persyaratan administratif dan teknis kepada Setiap
Orang untuk dilengkapi.
(6) Setiap Orang dalam jangka waktu paling lama 18O
(seratus delapan puluh) hari mengembalikan
persyaratan administratif dan teknis yang sudah
dilengkapi kepada Menteri.
(71 Apabila Setiap Orang tidak mengembalikan
persyaratan yang lengkap dan benar melewati jangka
waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, dikenai
Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda
Administratif dan/atau pencabutan Pertzinan
Berusaha.

Pasal 23
(1) Verifikasi fakta lapangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2l ayat (2), dilakukan oleh Menteri
terhadap kesesuaian antara persyaratan administratif
dan teknis dengan fakta lapangan.
(2) Menteri dalam melakukan verifikasi fakta lapangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membentuk tim
terpadu.
(3) Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (21
bertugas untuk melakukan validasi atas kesesuaian
dokumen administratif dan teknis dengan fakta
lapangan terhadap:
a. nomor induk berusaha;
b. kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang;
c. dokumen

SK No 085134 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2t-
c. dokumen lzin Lokasi dan/atau izin usaha di
bidang perkebunan;
d. dokumen lingkungan hidup;
e. luas Kawasan Hutan yang dikuasai;
f. perhitungan besaran PSDH dan DR; dan
g. tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang
kehutanan.
(4) Validasi yang dilakukan oleh tim terpadu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
(5) Hasil validasi yang dilakukan oleh tim terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4ll, dilaporkan
kepada Menteri.
(6) Dalam hal hasil validasi tim terpadu terdapat
tumpan g- tindih antara lzin Lokasi dan / at au izin u saha
di bidang perkebunan dengan Perizinan di bidang
kehutanan, penyelesaiannya dilakukan dengan cara:
a. Apabila Perizinan di bidang kehutanan terbit
terlebih dahulu dari Izin Lokasi danf atau izin
usaha di bidang perkebunan maka luasan areal
permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan
Hutan produksi atau permohonan Persetujuan
Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan
Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan
Konservasi, dikurangi dengan luasan areal yang
masuk dalam Perizinan di bidang kehutanan.
b. Apabila lzinLokasi dan/atauizin usaha di bidang
perkebunan terbit terlebih dahulu dari Perrzinan
di bidang kehutanan, Menteri berwenang
melakukan revisi luasan Perizinan di bidang
kehutanan.
c. Terhadap perkebunan kelapa sawit yang masuk
dalam areal Perizinan di bidang kehutanan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
pengelolaannya dilakukan melalui:
1. kerja sama dengan pemegang Perizinan di
bidang kehutanan untuk kawasan Hutan
Produksi; atau
2. kemitraan atau kerja sama dengan
Pemerintah untuk kawasan Hutan Lindung
dan/atau kawasan Hutan Konservasi.

(7) Terhadap
SK No 085132A
PRE I DEN
S
REPUBLIK INDONESIA

-22-
(7) Terhadap perkebunan kelapa sawit sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf c angka 1 dan angka 2,
dikenai pembayaran PNBP di bidang kehutanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Dalam hal lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang
perkebunan terbit terlebih dahulu daripada Perizinan
di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf b berupa izin pinjam pakai Kawasan
Hutan yang dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, atau merupakan proyek strategis nasional,
luasan areal permohonan Persetujuan Pelepasan
Kawasan Hutan produksi atau permohonan
Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam
kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan
Konservasi dikurangi dengan luasan areal izin pinjam
pakai Kawasan Hutan.

Bagian Kelima
Penerbitan Surat Perintah Tagihan Pelunasan
Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi

Pasal24
(1) Berdasarkan hasil verifikasi administratif dan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4),
Menteri menerbitkan surat perintah peiunasan tagihan
PSDH dan DR.
(2) Surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. identitas Setiap Orang;
b. besaran tagihan PSDH dan DR yang harus
dilunasi; dan
c. jangka waktu pelunasan.

Bagian

SK No 085115 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-23-
Bagian Keenam
Pelunasan Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi

Pasal 25
(1) Setiap Orang yang telah menerima surat perintah
pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), wajib melakukan
pelunasan tagihan PSDH dan DR.
(21 Pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat diangsur.
(3) Pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana
dimaksud pada ayar (1), disetorkan ke kas negara.
(41 Setiap Orang melaporkan pelunasan tagihan PSDH
dan DR kepada Menteri disertai bukti pelunasan
pembayaran.
(5) Dalam hal Setiap Orang telah melakukan pembayaran
dan pelunasan PSDH dan DR sebelum Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja
berlaku, bukti pembayaran dapat digunakan sebagai
bukti pengganti pelunasan PSDH dan DR.

Bagian Ketujuh
Penerbitan

Paragraf I
Penerbitan Persetujuan Kegiatan Usaha yang
Tidak Tumpang-Tindih dengan Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 26
Setelah menerima pelaporan pelunasan tagihan PSDH dan
DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), Menteri
menerbitkan:

a. Persetujuan

SK No 089109 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESlA

-24-
a. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan di dalam
kawasan Hutan Produksi; atau
b.PersetujuanMelanjutkanKegiatanUsahadidalam
kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan
Konservasi.

Paragraf 2
Penerbitan Persetujuan Kegiatan Usaha yang
Tumpang-TindihdenganPerizinandiBidangKehutanan

Pasal27
(1) Dalam hal kegiatan usaha perkebunajn kelapa sawit
tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan
di kawasan Hutan Produksi, dilakukan kerja sama
pengelolaannya antara pemohon dengan pemegang
Perizinan di bidang kehutanan'
(21 Jangka waktu kerja sama sebagaimarla - dimaksud
padl ayat (1) dilakukan selama 1 (satu) daur paling
i"-r 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam'
(3) Menteri memfasilitasi kerja sama sebagaimana
dimaksud pada aYat (2)-
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meiruat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
a. melakukan kegiatan jangka benah dengan
tanamanpokokkehutanansesuaisilvikulturdi
sela-sela tanaman sawit;
b. tidak melakukan penanaman sawit baru
(replanting); dan
c. setelah habis 1 (satu) daur selama 25 (dua puluh
lima) tahun sejak masa tanam sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), wajib mengembalikan
areal usaha di dalam Kawasan Hutan kepada
negara.

Pasal 28

SK No 085281 A
PRES lDEN
REPUBLIK INDONESIA

-25-
Pasal 28
(1) Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b,
dilaksanakan dengan mekanisme kerja sama atau
kemitraan dengan Menteri.
(21 Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b,
berlaku 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun
sejak masa tanam.
(3) Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b
memuat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
a. melakukan kegiatan jangka benah dengan
tanaman pokok kehutanan sesuai silvikultur di
sela-sela tanaman sawit;
b. tidak melakukan penanaman sawit baru
(replanting); dan
c. setelah habis 1 (satu) daur selama 15 (lima belas)
tahun sejak masa tanam sebagaimana dimaksud
pada ayat (21, wajib mengembalikan areal usaha
di dalam Kawasan Hutan kepada negara,

Bagian Kedelapan
Pengenaan Sanksi Administratif

Paragraf 1

Umum

Pasal 29
(1) Sanksi Administratif dikenakan kepada Setiap Orang
yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di
bidang kehutanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2O2O tentang Cipta Kerja.

(2) Sanksi

SK No 085312 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-26-
(21 Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. pembayaran Denda Administratif; dan/atau
b. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Besaran Sanksi Administratif berupa pembayaran
Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a, dihitung sebesar 10 (sepuluh) kali besaran
PSDH dan DR.

Paragraf 2
Pengenaan Denda Administratif Bagi Setiap Orang yang
Tidak Menyelesaikan Pe:'syaratan Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 30
(1) Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan
Perizinan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 3
(tiga) tahuri sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2O2O tentang Cipta Kerja berlaku, dikenai Sanksi
Administratif berupa pembayaran Denda
Administratif.
(21 Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda
Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pembayaran Denda Administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat(21, wajib disetorkan ke kas negara
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
ditetapkannya pengenaan Sanksi Administratif.
(4) Setiap Orang melaporkan bukti pelunasan Denda
Administratif kepaCa Menteri.
(5) Berdasarkan bukti pelunasan Denda Administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri
menerbitkan:
a. Persetujuan Pelepasan Kawasan ' Hutan di
kawasan Hutan Produksi; atau
b. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di
dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau
kawasan Hutan Konservasi.

Pasal31...

SK No 0891 12 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-27 -

Pasal 31
(1) Setiap Orang yang tidak melakukan pelunasan Denda
Administratif dikenai Sanksi Administratif berupa
pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Pencabutan Perizinair Berusaha dilakukan cleh
penerbit izin berdasarkan rekomendasi dari Menteri.
(3) Dalam jangka u,aktu 30 (tiga puluh) hari sejak
rekomendasi dari Menteri diterima, penerbit izin wajib
mencabut Perizinan Berusaha.
(4) Dalam hal penerbit izin tidak mencabut Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perizinan Berusaha dinyatakan ticlak berlaku demi
hukum.
(5) Pernyataan tidak berlakunya Perrzinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Persetujuan
Pelepasan Kawasan Hutan, Persetujuan Melanjutkan
Kegiatan Usaha, kemitraan, dan kerja sama dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang kehutanan.

BAB IV
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP
KEGIATAN USAHA DI DALAM KAU/ASAN HUTAN YANG
TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BiDANG KEI{UTANAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 33
(1) Terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan
yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dikenai
Sanksi Administratif berupa:
a. Penghentian Seinentara Kegiatan Usaha;
b. Denda Administratif; dan/atau
c. paksaan pemerintah.
(2) Selain. . .

SK No 089113 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-28-
(2) Selain Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Setiap Orang wajib menyelesaikan
pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui tahapan:
a. verifikasi dan validasi data dan informasi; dan
b. penetapan pengenaan Sanksi Administratif.
Bagian Kedua
Verifikasi dan Validasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha di dalam Kawasan
Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 34
(1) Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a, dilakukan
terhadap data dan informasi yang tertuang dalam
penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17.
(2) Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Dalam melakukan verifikasi dan validasi data dan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ,
Menteri membentuk tim yang terdiri atas:
a. Polisi Kehutanan;
b. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup;
c. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan
Hidup dan Kehutanan; dan/atau
d. Pejabat lain yang ditunjuk.
Pasal 35
(1) Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, Menteri menerbitkan
Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang
melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam
Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di
bidang kehutanan.

(2) Dalam

SK No 085311 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-29-
(21 Dalam hal 1 (satu) lokasi Karvasan Hutan terdapat
lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha yang tidak memiliki
Perizinan di bidang kehutanan, Menteri menerbitkan
Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang
melakukan kegiatan usaha yang lebih dahulu
beroperasi dan selanjutnya dapat diproses Persetujuan
Penggunaan Ka'uvasan Hutan.
(3) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (21paling sedikit memuat:
a. identitas Setiap Orang yang melakukan
pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam
Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di
bidang kehutanan;
b. jenis pelanggaran;
c. jenis Sanksi Administratif:
1. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha dan
pembayaran Denda Administratif; dan
2. paksaan pemerintah, apabila tidak
melakukan pelunasan pembayaran Denda
Administratif;
d. jangka waktu pelunasan Denda Administratif; dan
e. perintah pengurllsan Pcrsetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan untuk pelanggaran di kawasan
Hutan Produksi.
(4) Pelunasan Denda Administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), disetorkan ke kas negara.
(5) Pembayaran Denda Administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf d, dapat diangsur dalam
jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam
tahun anggaran berjalan terhitung sejak surat
persetujuan pengangsuran Citet-apkan.

(6) Apabila

Si( No 0891 15 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-30-
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) melewati tahun anggaran, surat persetujuan
keringanan berupa pengangsuran harus terlebih
dahulu mendapat pertimbangan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan.
(7) Menteri melakukan pengawasan ketaatan pemenuhan
Sanksi Administratif.

Bagian Ketiga
Tata Cara Penyelesaian
Paragraf 1

Umum

Pasal 36
(1) Terhadap Setiap Orang yang telah melakukan
pelunasan pembayaran Denda Administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4l,,
Menteri:
a. menerbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan di kawasan Hutan Produksi;
b. memfasilitasi kerja sama dalam hal kegiatan
usaha terdapat tumpang-tindih dengan Perizinan
di bidang kehutanan di kawasan Hutan Produksi;
atau
c. memerintahkan pengembalian areal kegiatan
usaha kepada Negara jika kegiatan usaha berada
di kawasan Hutan Lindung danlalau kawasan
Hutan Konservasi.
(21 Dalam hal pengembalian areal kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak
dilaksanakan oleh Setiap Orang, dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perLlndang-undangan di
bidang kehutanan.

Pasal 37

SK No 085310 A
PRES IDEN
REPUBLIK ]NDONESIA

-31 -

Pasal 37
(1) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
huruf a wajib memiliki perizinan di bidangnya.
(21 Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
huruf a adalah selama 1 (satu) daur maksimal 25 (dua
puluh lima) tahun sejak masa tanam untuk
perkebunan kelapa sawit atau sesuai dengan perizinan
di bidangnya untuk kegiatan usaha pertambangan,
perkebunan, danf atau kegiatan lain.
(3) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf
a wajib membayar PNBP di bidang kehutanan.
(41 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang kehutanan.

Pasal 38
Areal atas kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (1) huruf b dikenai PNBP di bidang kehutanan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Tata Cara Penyelesaian Terhadap Kegiatan Strategis
dan Kepentingan Umum

Pasal 39
(1) Dalam hal kegiatan usaha yang berada di kawasan
Hutan Lindung merupakan kegiatan strategis dan
tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya,
Menteri memberikan Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan.

(2) Jangka .

SK No 085309 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONES]A

-32-
(2) Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan
Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan
sesuai jangka waktu perizinan di bidangnya.
(3) Dalam hal kegiatan usaha yang berada di kawasan
Hutan Konservasi merupakan kegiatan strategis dan
tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya,
Menteri:
a. menerbitkan perizinan berusaha pemanfaatan
jasa lingkungan pada kawasan Hutan
Konservarsi; atau
b. melakukan kerja sama.
(4) Jangka waktu izin pemanfaatan jasa lingkungan atau
kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
diberikan sesuai jangka waktu perizinan di bidangnya.
(5) Kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki
penzinan di bidangnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) meliputi:
a. minyak dan gas bumi;
b. panas bumi;
c. sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
dan/ atau strategis; dan/atau
d. kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud
pada Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 2OO4 tentang Perizinan atau
Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada
di Kawasan Hutan.
(6) Dalam hal masa berlaku Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan jangka waktu perrzinan berusaha pemanfaatan
jasa lingkungan pada kawasan Hutan Konservarsi atau
kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
berakhir, Setiap Orang wajib mengembalikan areal
kegiatan usahanya kepada negara.

Pasal 40

SK No 085308 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-33-
Pasal 40
(1) Sarana dan prasarana untuk kepentingan umum milik
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang berada di:
a. Hutan Produksi diselcsaikan dengan mekanisme
Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan;
b. Hutan Lindung diselesaikan ciengan mekanisme
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; atau
c. Hutan Konservasi diselesaikan dengan
mekanisme kerja sama.
(21 Sarana dan prasarana untuk kepentingan umum milik
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai kewajiban
pembayaran Denda Administratif dan Menteri
rrrenerbitkan Surat Pemberitahuan untuk mengurus
perizinan.

Paragraf 3
Tata Cara Penyelesaian Kegiatan Usaha Masyarakat
yang Bertempat Tinggal di dalam dan/atau di Sekitar Kawasan Hutan

Pasal 4 l
(1) Dalam hal kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan
yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat
tinggal di dalam dan/atari di sekitar Kawasan Hutan
paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus
dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar,
dikecualikan dari Sanksi Administratif dan
diselesaikan melalui penataan Kawasan Hutan.
(2) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar Kawasan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:

a. kartu

SK No 0891 19 A
IDEN
PRE S
REPUBLIK TNDONESIA

-34-
a. kartu tanda penduduk; atau
b. surat keterangan tempat tinggal dan/atau
domisili yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau
Lurah setempat, yang alamatnya di dalam
Kawasan Hutan atau di desa yang berbatasan
langsung dengan Kawasan Hutan.
(3) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5
(lima) tahun secara terus menerus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan memiliki
tempat tinggal tetap dan surat keterangan yang
diterbitkan oleh Kepala Desa atau Lurah setempat.
(41 Orang perseorangan yang menguasai Kawasan Hutan
dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan:
a. bukti penguasaan tanah;
b. surat keterangan dari Kepala Desa atau Lurah
setempat; atau
c. surat pengakuan dan perlindungan kemitraan
kehutanan termasuk di dalamnya Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
(5) Pembuktian terhadap orang perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), dan
ayat (4) dilakukan melalui verifikasi teknis.

Pasal 42
(1) Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4I ayat (1) meliputi:
a. perhutanan sosial;
b. tanah obyek reforma agraria; atau
c. perubahan peruntukan dan fungsi Kawasan
Hutan.
(2) Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

BABV...

SK No 085306 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-35-
BAB V
TATA CARA PERHITUNGAN DENDA ADMINISTRATIF

Pasal 43

(1) Dend.a Administratif sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 33 ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan
formula perhitungan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Pemerintah ini.
(21 Pemerintah daPat menggunakan jasa Penaksir
(appraisal) dalam menentukan besaran Denda
Administratif.
(s) Dalam hal kegiatan usaha belum beroperasi dan tidak
dapat ditentukan besaran keuntungan, perhitungan
keuntungan per tahun per hektar disetarakan dengan
sepuluh kali besaran Tarif PNBP Penggunaan Kawasan
Hutan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang jenis dan tarif atas
jenis PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutarr.
(4) Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha di
Kawasan Hutan tanpa memiliki Perizinan di bidang
kehutanan yang atas inisiatif sendiri melaporkan
kegiatan usahanya kepada Menteri dan melunasi
nenda Administratif dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini
diberikan insentif berupa keringanan pengenaan
denda dengan penetapan tarif Denda Administratif
sebesar 2OVo (dua puluh persen) sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

BABVI...

SK No 085271 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-36-
BAB VI
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI
DENDA ADMINISTRATIF

Pasal 44
PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (3) dan Denda Administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 35 ayat (4) merupakan
PNBP Kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

Pasal 45
Penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
dilakukan sesuai dengan peraturan pcrundang-undangan
di bidang PNBP.

BAB VII
PAKSAAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 46
Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (3) hurr.rf c angka 2, dilakukan terhadap Setiap
Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di
dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di
bidang kehutanan, berupa:
a. pemblokiran;
b. pencegahan ke luar negeri;
c. penyitaan aset; dan/atau
d. paksa badan (gijzeling).

Bagian

SK No 089122 A
PRESIDEN
REPUBLIK lNDONESlA

-37 -

Bagian Kedua
Pemblokiran

Pasal4T
(1) Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
huruf a, dilakukan terhadap rekening bank, akta
pendirian, dan/atau akta perubahan terakhir
perusahaan.
(2) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan oleh instansi yang berwenang atas
permintaan Menteri.

Bagian Ketiga
Pencegahan ke Luar Negeri

Pasal 48
(1) Pencegahan ke luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 huruf b dilakukan oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keimigrasian atas permintaan Menteri'
(2) Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), paling sedikit memuat:
a nama;
b umur;
c. pekerjaan;
d. alamat;
e. jenis kelamin; dan
f. kewarganegaraan, dari orang atau pengurus
perusahaan.
(3) Dalam hal keputusan pencegahan telah habis masa
berlakunya, Menteri dapat mengajukan permohonan
perpanjangan pencegahan ke luar negeri.

Bagian

SK No 085270 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-38-
Bagian Keempat
Penyitaan Aset

Pasal 49
(1) Penyitaan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
huruf c, dilakukan oleh Menteri dengan menerbitkan
surat perintah pelaksanaan penyitaan aset.
(2) Dalam melakukan penyitaan aset, Menteri membentuk
tim yang terdiri atas:
a. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan
Hidup dan Kehutanan;
b. Polisi Kehutanan; dan/atau
c. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup.
(3) Pelaksanaan penyitaan aset dilengkapi dengan berita
acara pelaksanaan sita.

Pasal 50
(1) Penyitaan aset dapat dilaksanakan terhadap barang
milik Setiap Orang yang berada di tempat tinggal,
tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain
termasuk di areal pelabuhan, baik yang
penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang
dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan
pelunasan utang tertentu, beruPa:
a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang
tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau
surat berharga lainnya, piutang, akta perusahaan
dan penyertaan modal pada perusahaan lain;
dan/atau
b. barang tidak bergerak termasuk tanah,
bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu'

(2) Penyitaan .

SK No 085269 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESlA

-39-
(21 Penyitaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita
diperkirakan cukup untuk melunasi Denda
Administratif.

Pasal 51
Menteri dapat menitipkan barang yang telah disita kepada
Setiap Orang atau disimpan di kantor kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup dan kehutanan danf atau di tempat lain.

Pasal 52
(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
dilarang:
a. memindahkan hak, memindahtangankan,
menyewakan, meminjamkan, atau merusak
barang yang telah disita;
b. membebani barang yang telah disita dengan hak
jaminan; dan
c. merusak, mencabut, atau menghilangkan salinan
berita acara pelaksanaan sita atau segel sita yang
telah ditempel pada barang sitaan.
(21 Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53
Pelaksanaan penyitaan aset dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang sita
jaminan.

Pasal 54 .

SK No 085295 A
PRES I DEN
REPUBLIK INDONESIA

-40-
Pasal 54
(1) Dalam hal Denda Administratif tidak dilunasi setelah
dilakukan penyitaan aset, Menteri melakukan
penjualan secara lelang terhadap barang yang disita
melalui Kantor Lelang Negara.
(2) Dalam hal barang yang disita, berupa:
a. uang tunai;
b. deposito berjangka;
c. tabungan;
d. saldo rekening koran;
e. giro;
f. akta perusahaan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
g. obligasi;
h. saham;
i. surat berharga lainnya;
j. piutang; atau
k. penyertaan modal pacra perusahaan, dikecualikan
dari penjualan secara ielang.
(3) Barang yang disita sebagairrrana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) cligunakan untuk membayar Denda
Administratif.
(41 Barang yang drsita sebagaimana dimaksud pada avat
(21 dipergunakan untuk membayar Denda
Administratrf dengan cara:
a. uang t.unai di.sctor kc kas negara;
b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening
koran, giro, atatr bentuk lainnya yang
dipersamakan dengarr itu, dipiirdahbukukan ke
rekening kas umum negara atas permintaan
Menteri kepada bank yang bcrsangkutan;

c. obligasi .,. .

SK No 089126 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4t-
C obiigasi, saham, atau surat berharga lainnya yang
diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek
atas permintaan Menteri;
d obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang
tidak diperdagangkan di bursa efek segera drjual
oleh Menteri;
e piutang dibuatkan berita acara persetujuan
tentang pengalihan hak menagih dari Setiap
Orang kepada Menteri; dan
f penyertaan modal pada perusahaan lain
dibuatkan akta persetujurin pengalihan hak
menjual dari Setiap Orang kepada Menteri.

Pasal 55
(1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penyitaan aset dilakukan.
(2) Menteri yang bertindak sebagai penjual atas barang
yang disita mengajukan permintaan lelang kepada
Kantor Lelang.

Pasal 56
(1) Hasil penjualan secara lelang digrnakan untuk
membayar Denda Administratif.
(21 Dalam hal hasil penjualan secara lelang sudah
mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Denda
Administratif, pelaksanaan lelang dihentikan.
(3) Menteri segera mengembalikan sisa barang hasil
penyitaan aset beserta kelebihan uang hasil penjualan
secara lelang kepada Setrerp Orang setelah
pelaksanaan lelang.

Pasal 57

SK No 089127 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-42-

Pasal 57
Ketentuan lebitr lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
lelang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kelima
Paksa Badan

Pasal 58
(1) Dalam hal Setiap Orang
a. tidak memenuhi kewajiban pembayaran Sanksi
Administratif dengan nilai parling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
b. tidak mempunyai itikad baik untuk membayar
Denda Administratif,
Menteri menerbitkan Surar. Peringatan.
(2) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diberikan untuk jangka u.aktu 14 (empat belas) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (21 berakhir, Setiap Orang tidak melunasi Denda
Administratif, Menteri menerbitkan surat perintah
paksa badan untuk pengenaan paksa badan (gijzeling)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf d.
(4) Surat perintah patksa badan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), paling sedikit memuat:
a. identitas orang atau pengurus perusahaan;
b. alasan paksa badan;
c. jangka waktu paksa badan; dan
d. tempat paksa badan.

(5) Pelaksanaan

SK No 089128 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-43-

(5) Pelaksanaan paksa badan sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Polisi
Kehutanan dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup.
(6) Pelaksanaan paksa badan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dapat dilakukan dengan meminta
bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan/atau Tentara Nasional Indonesia.
(71 Jangka waktu pelaksanaan paksa badan paling lama 6
(enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6
(enam) bulan.

Pasal 59

(1) Setiap Orang yang dikenai sanksi paksa badan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3)
dilepas:
a. apabila Setiap Orang telah melunasi pembayaran
Denda Administratif;
b. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam
surat perintah paksa badan berakhir;
c. berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri.
(2) Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan apabila:
a. Setiap Orang sudah membayar 5O%o (lima puluh
persen) atau lebih dari jumlah Denda
Administratif dan sisanya dilunasi dengan cara
mengangsur;

b. Setiap

SK No 085293 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-44-
b. Setiap Oran^g sanggup melunasi Denda
Adminrstratif dengan menyerahkan bank garansi;
c. Setiap Orang sanggup melunasi Denda
Administratif dengan menyerahkan harta
kekayaannya yang sama nilainya dengan Denda
Administratif;
d. orang atau pengurus perusahaan yang berumur
70 (tujuh puluh) tahun atau lebih; dan/atau
e. orang atau pengurus perusahaan dengan alasan
kesehatan yang dibuktikan dengan surat
keterangan doktcr.
(3) Menteri memberitahukan pelepasan serta alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
pertimbangan sebagaimana climaksud pada ayat (21
secara tertulis kepada pimpinan tempat paksa badan.

Pasal 60
Paksa badan terhadap orang atau pengurLls perusahaan
tidak mengakibatkan hapusnya sanksi Denda
Administratif.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 61
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar

SK No 089130 A
PRES IOEN
REPUBLIK INDONESIA

-45-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam kmbaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2O2l

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2O2L

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK TNDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2O2I NOMOR 34

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
De Perundang-undangan dan
istrasi Hukum,

na Djaman

SK No 085127 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2021
TENTANG
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA
ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN

I. UMUM
Kebijakan pembangunan di bidang kehutanan mengamanatkan bahwa
dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsi Hutan dalam mendukung
keberlanjutan pembangunan dan menjaga fungsi ekologis Hutan sebagai
penyangga kehidupan, seluruh kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan
wajib memiliki perrzinan berusaha di bidang kehutanan, persetujuan
Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan dengan ancaman
sanksi pidana bagi siapapun yang melakukan pelanggaran. Dalam
kenyataannya, tidak jarang ditemukan adanya kegiatan usaha di dalam
Kawasan Hutan yang tidak memiiiki perrzinan dimaksud. Berdasarkan hasil
identifikasi, terdapat perkebunan kelapa sawit dalam Kawasan Hutan seluas
+ 3,3 juta hektar yang belum mendapat kepastian hukum. Perkebunan
kelapa sawit tersebut dimiliki oleh badan usaha maupun masyarakat yang
memerlukan kepastian pengaturan hukum yang adil, bermartabat, dan
tuntas. Hal itu untuk menjamin kepastian hukum terhadap keberadaan
aktivitas kegiatan nonkehutanan di dalam Kawasan Hutan. Selain
perkebunan kelapa sawit, kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang
tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan juga meliputi kegiatan
pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain seperti minyak dan gas bumi,
panas bumi, tambak, pertanian, permukiman, wisata alam, industri,
danf atau sarana dan prasarana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja memuat
terobosan kebijakan baru dengan menerapkan prinsip ultimum remedium
yaitu mengedepankan pengenaan Sanksi Administratif sebelum dikenai
sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak
menimbulkan dampak kesehatan, keselamatan, danf atau lingkungan (K2Ll.
Pengaturan prinsip ultimum remidium tersebut tercermin dalam pengaturan
norma Pasal 11OA dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2OL3
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana
telah diubah dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O
tentang Cipta Kerja khususnya:

1. Pasal.

SK No 085290 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-
1. Pasal 110A yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha
perkebunan t<elapa sawit yang telah terbangun, memiliki lzin Lokasi
dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai Rencana Tata
Ruang tetapi belum mempunyai Perizinan di bidang kehutanan yang
dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O
tentang Cipta Kerja, tidak dikenai sanksi pidana tetapi diberikan
kesempatan untuk menyelesaikan pengurusan Perrzinan di bidang
kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan
Dana Reboisasi (DR).
2. pasal 11013 yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha
pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan
y"rrg dilakukan-sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun
2O2O tentang Cipta Kerja dan belum mempunyai Periztnan di bidang
kehutanan, tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi
Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, perintah
pembayaran Dend" na*i.ristratif, dan/atau paksaan pemerintah untuk
selanjutnya diberikan persetujuan sebagai alas hak untuk melanjutkan
kegiatan usahanya di dalam kawasan Hutan Produksi.
Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut pengenaan Sanksi
Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari
denda administratif di bidang kehutanan. Adapun substansi norma
pengaturan tersebut terdiri atas:
f . inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di
dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang
kehutanan;
2. tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa
sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki Izin
Lokasi d,anlatau izin uiaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki
Perizinan di bidang kehutanan;
3 tata cara pengenaan Sanksi Administratif terhadap kegiatan usaha di
dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang
kehutanan;
4 tata cara perhitungan Denda Administratif;
5 PNBP yang berasal dari Denda Administratif; dan
6 paksaan pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini disusun dalam rangka menyelesaikan
kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan sebelum terbitnya Undang-Undang
Nomor 1 1 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki Perizinan di
bidang kehutanan dengan tujuan untuk:
a. menjamin kepastian hukum bagi masyarakat;

b.menjamin...

SK No 085288 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-
b. menjamin kepastian berusaha;
c. mempertahankan keberadaan Hutan secara optimal;
d. menjaga fungsi lingkungan hidup;
e. mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial;
f. memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat setempat; dan
g. meningkatkanpendapatannegara.
Secara umum, Peraturan Pemerintah ini mengatur secara tuntas,
transparan, dan berkeadilan mekanisme penyelesaian kegiatan usaha di
Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebelum
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku sebagai
berikut:
1. Terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah
terbangun, memiliki lzin Lokasi danf atau izin usaha di bidang
perkebunan yang sesuai rencana tata ruang, setelah membayar PSDH
dan DR maka: a. Untuk di kawasan Hutan Produksi, diterbitkan
Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan; b. Untuk di kawasan Hutan
Lindung dan/atau Kawasan Hutan Konservasi, diterbitkan persetujuan
melanjutkan usaha selama 1 (satu) daur maksimal 15 (lima belas) tahun
sejak masa tanam.
2. Terhadap kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau
kegiatan lainnya, setelah melaksanakan Sanksi Administratif berupa
Denda Administratif, maka: a. Untuk di kawasan Hutan Produksi,
diterbitkan persetujuan penggunaan Kawasan Hutan; b. Untuk di
kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi,
diwajibkan menyerahkan areal kegiatan usahanya kepada negara.
Diharapkan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
dengan memberikan Perizinan di bidang kehutanan setelah pelaku usaha
melakukan perintah pembayaran PSDH dan DR atau Sanksi Administratif
berupa Denda Administratif dapat menjadi model penyelesaian kegiatan
usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang
kehutanan yang saat ini menjadi salah satu persoalan utama dalam tata
kelola Kawasan Hutan.
Untuk mendukung efek eksekutoriai dari pengenaan Sanksi
Administratif berupa pembayaran Denda Administratif maka Peraturan
Pemerintah ini mengatur tata cara dan mekanisme paksaan pemerintah
berupa pemblokiran, pencegahan ke luar negeri, penyitaan aset, dan paksa
badan (gijzelling) bagi Setiap Orang yang tidak melaksanakan Sanksi
Administratif.

II. PASAL

SK No 085287 A
PRES tDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1

Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Data dan informasi perkebunan kelapa sawit di dalam
Kawasan Hutan baik yang memiliki maupun tidak
memiliki Perizinan di bidang kehutanan dapat merujuk
antara lain pada hasil evaluasi tindak lanjut Instruksi
Presiden mengenai Penundaan dan Evaluasi Perizinan
Perkebunan KelaPa Sawit.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9

SK No 085286 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11

Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas'
Huruf b
yang dimaksud dengan "inventarisasi terestris dan nonterestris"
yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah bersama
pernerintah Daerah merupakan hasil kegiatan penelitian atau
pendataan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak
mempunyai PTrizina.n di bidang kehutanan yang berasal dari
data internal kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, data
interpretasi citra satelit yang dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan lapangan (aktual/sampel) dan lain-lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e

Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
PasaI t4
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal t6
Cukup jelas.
Pasal 17 . .

SK No 085285 A
PRE S I DEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-
Pasal t7
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan "izin usaha di bidang perkebunan" terdiri atas:
a. usaha budi daya Tanaman Perkebunan berupa lzin Usaha
Perkebunan Budidaya (IUP-B) atau Surat Tanda Daftar Usaha
Perkebunan (STD-B); atau
b. usaha budi daya Tanaman Perkebunan (IUP-B atau STD-B) dan
usaha Pengolahan Hasil Perkebunan (lzin Usaha Perkebunan
Pengolahan (IUP-P) atau Surat Tanda Daftar Usaha Pengolahan
(srD-P)),
yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya pada
saat dimulainya kegiatan perkebunan.
Dalam hal terdapat perbedaan luasan antara lzin Lokasi dan/atau rzin
usaha di bidang perkebunan dengan Hak Guna Usaha, yang
digunakan sebagai dasar pengajuan permohonan adalah Izir, Lokasi
dan/atau izin usaha di bidang perkebunan.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 2T
Cukup jelas.
Pasai 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26

SK No 089137 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan 'Jangka benah" adalah waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai struktur Hutan dan
fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan
pengelolaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 3 1
Ayat ( 1)

Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)

SK No 089138 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-
Ayat (a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "Pernyataan tidak berlakunya Perrzinan
Berusaha" adalah keputusan yang diterbitkan oleh Menteri yang
menegaskan bahwa Perizinan Berusaha dinyatakan tidak
berlaku karena dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diterbitkannya rekomendasi Menteri, penerbit izin tidak
mencabu t P erizinan Berusaha yang diterbitkannya.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kegiatan usaha di dalam Kawasan
Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan"
meliputi kegiatan menduduki, merambah, mengerjakan,
dan/atau mengusahakan Kawasan Hutan tanpa izin atau
dilakukan secara tidak sah untuk kegiatan pertambangan,
perkebunan danf atau kegiatan lain.
Ayat (21

Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37

SK No 085284 A
PRES lDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-
Pasal 37
Ayat (1)
yang dimaksud dengan "perizinan di bidangnya" antara lain:
Izin Usaha Pertambangan untuk kegiatan usaha pertambangan,
Izin Usaha Perkebunan untuk kegiatan usaha perkebunan, atau
P erizinan Berusaha lainnYa.
Ayat (21

Cukup jelas.
Ayat (3)
CukuP jelas.
Ayat (4)
CukuP jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
CukuP jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (s)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sarana dan prasarana untuk
kepentingan umum dan/atau strategis" meliputi:
1. sarana dan prasarar:,a kelistrikan;
2. sarana dan prasararLa perhubungan;

3. sarana. . .

SK No 085283 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-10-
3. sarana dan prasaratla telekomunikasi; atau
4. sarana dan prasarana penunjang tambang antara
lain meliputi: sarana dan prasarana pelabuhan,
terminal khusus/pelabuhan khusus angkutan
produksi dan pengelolaan dampak kegiatan
pertambangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 4O
Cukup jelas.
Pasal 4 1
Ayat ( 1)
CukuP jelas.
Ayat (21
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (a)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "bukti penguasaan tanah" adalah
surat hak atas tanah antara lain sertifikat Hak Milik, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Girik, Letter C, Verklaring,
Eingendom, atan) Surat Keterangan Tanah'
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Verifikasi teknis dilakukan melalui verilikasi data administratif
dan lapangan dengan menggunakan metode sosiometri.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45. . .

SK No 085282 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11-
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran" adalah pembekuan
sementara atas harta kekayaan Setiap Orang yang tersimpan di
Bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening
koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dan
pelaksanaannya mengacu pada ketentuan mengenai
kerahasiaan bank sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penyitaan aset" adalah tindakan untuk
menguasai barang Setiap Orang, guna dijadikan jaminan untuk
melunasi Denda Administratif menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "paksa badan" adalah pengekangan
sementara waktu kebebasan Setiap Orang yang tidak membayar
Denda Administratif dengan menempatkannya di tempat
tertentu. Paksa badan berupa penyanderaan atau pengekangan
sementara waktu kebebasan Setiap Orang dengan tujuan untuk
mendorong agar Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif
membayar atau melunasi Denda Administratif. Penyanderaan
dilakukan dengan dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan)
dan terpisah dari tahanan lain. Apabila Setiap Orang yang akan
disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi, atau melarikan
diri, maka dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk menghadirkan Setiap Orang yang dikenai
Denda Administratif.
Pasal47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49

SK No 085314 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-12-
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup
untuk melunasi Denda Administratif, Menteri dapat
melaksanakan penyitaan tambahan terhadap barang milik
Setiap Orang yang belum disita. Dengan demikian, penyitaan
aset dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan
jumlah yang cukup untuk melunasi Denda Administratif.
Pasal 51
Meskipun barang yang telah disita penguasaannya beralih dari Setiap
Orang kepada Menteri, penyimpanannya dititipkan kepada Setiap
Orang, misalnya tanah dan/atau bangunan. Namun, ada barang yang
karena sifatnya atau karena pertimbangan tertentu dari Menteri,
penyimpanannya dapat dititipkan pada Bank atau disimpan di kantor
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup dan kehutanan, seperti perhiasan atau peralatan
elektronik.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Karena penguasaan barang yang disita telah beralih dari
Setiap Orang kepada Menteri, maka Setiap Orang dilarang
untuk memindahtangankan atau memindahkan hak atas
barang. yang disita, misalnya, dengan cara menjual,
menghibahkan, mewariskan, mewakafkan, atau
meny'umbangkan kepada pihak lain. Selain itu, Setiap
Orang juga dilarang untuk membebani barang yang telah
disita dengan hak jaminan untuk pelunasan utang
tertentu atau menyewakan. Larangan dimaksud berlaku
untuk seluruh maupun sebagian barang yang disita.

Huruf b

SK No 085313 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-13-
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Menteri
memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga
wajar. Dalam hal tertentu, Menteri dapat meminta bantuan jasa
penaksir (appraisal).
Ayat (a)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58

SK No 089144 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-14-
Pasal 58
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tidak mempunyai itikad baik,,
adalah Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif
apabila:
1. tidak merespons imbauan untuk melunasi Denda
Administratif;
2. tidak menjelaskanltidak bersedia melunasi Denda
Administratif baik secara sekaligus maupun
angsuran;
3. tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk
melunasi Denda Administratif;
4. akan meninggalkan wilayah Negara Kesa[uan
Republik Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu;
5. memindahtangankan barang yang dimiliki atau
yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau
mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan
yang dilakukannya di Indonesia; dan/atau
6. akan membubarkan badan usahanya atau
menggabungkan usahanya, atau memekarkan
usahanya, atau memindahtangankan perusahaan
yang dirniliki atau dikuasainya, atau melakukan
perubahan bentuk lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)

SK No 089145 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-15-
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6636

SK No 085126 A
PRES lDEN
REPUBLIK lNDONESIA

LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2O2I
TENTANG
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF
DAN TATA CARA PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA
ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN

FORMULA PERHITUTTGAN BESARAN DENDA ADMINISTRATIF


D=LxJxTD

Keterangan:
D = Denda Administratif (Rupiah)
L = Luas Pelanggaran dalam Kawasan Hutan (Hektar)
J : Jangka Waktu Pelanggaran dalam Kawasan Hutan (Tahun)
Perhitungan Jangka Waktu Pelanggaran dihitung berdasarkan
usia produktif Kegiatan Usaha

yang mana,
J =Jp-Je
Jp = Jangka Waktu Pelanggaran
Je = Jangka Waktu Usia Tidak Produktif Kegiatan Usaha

TD Tarif Denda dari Persentase Keuntungan I Tahun (Rupiah)

yang mana,
TD = PBxDTH
PB = Pendapatan Bersih /Tahun (Rupiah)
DTH = Tarif Denda Tutupan Hutan (Persen)
Penentuan Tarif Denda berdasarkan Persentase Luas Tutupan
Hutan/Luas Kegiatan Pelanggaran berdasarkan Informasi Citra
Satelit dan Data Pendukung Lainnya

Tabel

SK No 085125 A
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-
Tabel Perhitungan Denda Administratif

Persentase Tarif Pendapatan Tarif Denda Luas Jangka Denda


Tutupan Denda Bersih/ dari Persentase Pelanggaran Waktu Administratif
Hutan Tutupan Tahun Keuntungan/ dalam Pelanggaran (D)
Hutan Tahun (TD) Kawasan dalam
(PB)
(DrH) Hutan Kawasan
(L)
Hutan
(J)

1 2 3 4 5 6 7
(2x3) (4x5x6)
Tinggi 600/o 600/oxTDxLxJ
(z s0 %)

Sedang 40% 4Oo/oxTDxLxJ


(21-49 o/o)

Rendah 2Oo/o 2O%oxTDxLxJ


(< 20 o/ol

contoh perhitungan Denda Administratif perkebunan kelapa sawit:

Pembukaan Kawasan Hutan untuk perkebunan kelapa sawit seluas 10.OOO


hektar dilakukan pada Januari 2005 yang didasarkan pada informasi citra
satelit dan data pendukung lainnya, dengan asumsi bahwa pohon kelapa sawit
mulai produktif pada tahun ke-6 masa tanam (Januar: 20 1O). Asumsi
keuntungan bersih/tahun/nektar, yaitu sebesar Rp25.ooo.oo0,oo.
Perhitungan keuntungan bersih/tahun/hektar dihitung berdasarkan fluktuasi
keuntungan pertahunnya. Perhitunga.n keuntungan bersih tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan jasa oenaksir (appraisal).

Berdasarkan informasi citra satelit bahwa Persentase Tutupan Hutan di ternpat


tersebut adalah s 2Oo/o (rendah), sehingga Tarif Denda Tutupan Hutan (DTH)
masuk ke dalam kategori 2ooh.

Perhitungan. . .

SK No 093514 A
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-

Perhitungan Denda Administratif kegiatan perkebunan kelapa sawit sebagai


berikut:
Jangka Waktu (J) = Jangka Waktu Peianggaran (Jp) - Jangka Waktu Usia Tidak
Produktif Kegiatan Usaha (Je)

J=Jp-Je
J= 15tahun-5tahun
= 10 tahun

TD=PBxDTH
TD = Rp25.000.00O,00 x2Ooh
= Rp5.0O0.00O,OO

D=LxJxTD
D = 10.000 Ha x 1O tahun x Rp5.O0O.000,00
D = Rp5OO.O0O.0O0.00O,0O (Lima Ratus Miliar Rupiah).

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Salinan sesuai dengan aslinYa


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
g Perundang-undangan dan
strasi Hukum,

Silvanna Djaman

SK No 085124 A

Anda mungkin juga menyukai