Anda di halaman 1dari 22

Korek untuk Sepuntung Rokok

Pagi datang dengan lembut, membawa hembusan dingin yang tersisa dari malam
sebelumnya. Di langit yang mulai terang, sinar matahari pertama perlahan menembus kabut tipis.
Kedua pasang sepatu boots melangkah bersama dengan irama yang seakan menyatu. Jejak debu
menempel di pakaian kami yang didominasi warna hijau, membuatnya tampak kecoklatan.

Aku mengibaskan topi untuk meredakan kelembaban yang menempel di leherku dan
memberikannya sedikit angin yang melegakan diri. Kita berjalan sambil melihat sisi gelap pagi,
banyak lampu masih menyala terang sebagai pengganti matahari yang belum sepenuhnya
bangkit. Tirto berada di sampingku, sibuk memeriksa kantongnya untuk uang. Tubuhnya sudah
dibasahi oleh keringat, meninggalkan pola yang tampak sangat jelas di bajunya, meskipun tidak
sebanyak bekas yang menutupi punggung seragamku. Pagi ini, aroma amis layaknya bau ikan
pasar telah merayap ke dalam pakaian kami.

Ada sentuhan pegal di pundakku yang selama ini telah aku abaikan, tetapi sekarang aku
merasa betapa tegangnya otot-otot itu ketika Tirto menempatkan tangannya perlahan di sana, dan
memijatnya dengan penuh perhatian. Saking kagetnya, aku langsung menoleh ke arah Tirto
hanya untuk melihat wajahnya yang menyeringai, saat ini hanya ada kami berdua yang
merasakan nikmatnya istirahat setelah lama bekerja. Otot-otot yang sebelumnya terasa nyeri dan
mati rasa kini menjadi hidup kembali, menyebar hangat di seluruh tubuh. Aku merentangkan otot
di bawah telapak tangan Tirto... krek, suara yang keras seperti memecah kesunyian pagi itu.

Matahari pun seolah-olah tersentak dari tidurnya, dan akhirnya menampakkan diri dari
balik gedung warnet yang masih tertutup. Tirto tertawa pelan, menepuk punggungku. Kemudian
tangan kirinya merangkul pundakku, membiarkan kepalaku bersandar dengan nyaman di
bahunya. Aku melirik wajahnya dan membalas tawa tersebut dengan senyum. Langkah kakiku
menyesuaikan diri dengan posisi tersebut seolah-olah berpadu seiring, kanan, kiri, kanan, kiri.
Seperti kita menari di atas awan. Beberapa warung sudah buka pagi itu. Aku menuju tempat
langganan kami. Mereka sedang menyapu tempat itu dan pemilik warung, seorang wanita tua
yang manis, mempersilakan kami untuk duduk terlebih dahulu karena makanan belum sempat
dimasak jam segitu. Kami menempati sudut warung, dan Tirto akhirnya melepaskan
pegangannya dariku. Aku duduk tegak di sisinya, mengambil sekotak rokok dari kantong
celanaku. Dengan rokok di ujung bibirku, tangan bebas mencari korek yang… tunggu, yah,
sepertinya aku lupa membawa korek. Tirto menoleh ke arahku dengan wajah penuh sindiran, aku
tahu dia sedang menertawakanku di dalam hati.

"Kamu mau rokok gak bawa korek. Aduh, gimana sih Tris,"

1
Dia tidak salah tapi aku tetap saja kesal. Tirto menyalakan koreknya di bawah rokok yang
masih tenang berada di bibirku. Aku merasa api korek itu, perlahan menyentuh ujung rokok yang
telah sabar menunggu. Tangannya bergerak dengan hati-hati, takut menyentuh kulitku. Api itu,
satu-satunya sumber kehangatan di pagi ini, berfluktuasi dengan lembut di antara jemari Tirto.

Aku menikmati rasa pertama dari rokok yang telah menyala, menarik hisapan dengan
dalam-dalam dan melepaskan asap abu-abu pekat ke udara. Rokok itu hanya terbakar sebentar di
ujung sebelum Tirto mengambilnya dengan dua jari dari wajahku. Ia membawa itu ke bibirnya
dan menarik satu hisapan dalam dari rokok yang sedetik lalu masih ada di mulutku.

"Kalau mau merokok beli saja sendiri To,"

"Ah gak mau, enakan minta kamu saja,"

Kali ini, senyumnya mengungkapkan giginya yang tak sejajar. Gigi-giginya putih, dan
aku tak pernah bosan melihatnya. Sayangnya, dia hanya tersenyum seperti itu ketika dia
menjahiliku. Kali ini, aku mengambil rokok lagi dari kotaknya dan mengulurkan tanganku. Tirto
mengerti maksud gestur itu dan dengan cepat memberikan ku koreknya. Kami berdua duduk
menunggu ibu pemilik warung datang dengan makanan kami dan dua cangkir kopi.

Seorang anak kecil muncul dari pintu dapur, menatap kita dengan wajah bulatnya yang
menggemaskan. Pipi anak itu benar-benar lucu. Aku melambaikan tangan ke arahnya, tetapi dia
hanya berbalik dan dengan canggung menutup pintu di belakangnya. Tirto menertawakan ku
lagi.

"Kau mukanya nakutin anak tuh," celetuknya. Aku menggerutu, kalau saja Tirto bukan
sahabatku, aku mungkin langsung memukulnya.

"Diam bangs-,"

"Tapi memang sih, dengan seragam ini kita kelihatan cukup mengintimidasi, apalagi
kalau udah keringetan pagi-pagi begini," kata Tirto sambil menghisap rokoknya lagi. Bibirnya
bergerak pelan, hampir tanpa perubahan otot yang signifikan, seolah dia mencari cara paling
efisien untuk merokok. Tirto tidak begitu suka bergerak, kecuali bila memang harus. Itu
sebabnya dia selalu terlihat lelah, bahkan jika sebenarnya tidak. Ekspresinya berubah cepat, dari
senyum menjadi wajah biasanya. "Aku sudah tidak kenal lagi mukaku sendiri."

"Heh, kamu masih kelihatan jagoan kok," terkadang aku susah mengetahui apa arti dari
kata-katanya.

2
"Ya jelas, tapi bukan itu maksudnya," balas Tirto. Aku tidak begitu mengerti.

Ibu pemilik warung datang membawa pesanan biasa kami, lalapan tempe, dua cangkir
kopi, dan kerupuk udang berwarna putih kekuningan. Kami berdua mengucapkan terima kasih
padanya, lalu Tirto segera meletakkan rokoknya di tepi meja dan mulai menikmati makanannya
dengan lahap. Aku menunggu sebentar, paling tidak hingga rokokku hampir habis. Kemudian,
aku mengetuk rokok itu di atas asbak, dan gundukan abu jatuh ke dalamnya membentuk
piramida kecil. Setelah beberapa saat, aku mulai mengambil porsi makananku. Tanganku
menyendok nasi dengan perlahan, lalu membawa tempe mendekati mulutku. Aku menggigit
tempe dengan mulut yang masih penuh nasi, tidak cukup sabar untuk menelan nasi terlebih
dahulu. Saat masih mengunyah, Tirto mulai berbicara.

“Banyak sekali masalahnya ini, benar, jadi susah,” kata Tirto, aksen Sunda merdunya
masih melekat meskipun sudah dua tahun kita tinggal di Yogyakarta.

Tangannya meraih sepotong tempe goreng yang disisihkan di meja samping piringnya.
Aku tidak menunggu dia selesai mengunyah untuk menjawab.

"Hah, aku gak tahu, gak pinter soal politik," ujarku.

"Yah, tapi tetap saja, kau lebih pintar dari aku," balasnya, sambil tangannya sibuk
mencubit bagian dari tempe yang diletakkan di atas meja. Setelah itu, dia tidak membahas topik
tersebut lebih lanjut, seakan melupakannya begitu saja.

Aku masih belum terbiasa dengan sisi Tirto yang seperti ini. Dia telah tumbuh menjadi
seorang pemuda, pemuda yang memiliki banyak hal di pikirannya. Selain menggoda, dia sering
memberikan pujian yang tidak aku sepenuhnya pahami. Sejujurnya, aku bukan lebih pintar
daripadanya; malah sebaliknya. Dia bisa dianggap lebih dewasa daripadaku, aku masih siap
mengikuti perintah saja. Itulah salah satu alasan aku menjadi seorang tentara, selain untuk
membela bangsa.

Tak pernah terbayangkan olehku bahwa perjuangan kami akan berlangsung secepat ini.
Agak lucu untuk memikirkan kami, dua pemuda Jawa Barat yang merantau sendirian ke
Yogyakarta. Sebenarnya, kami tidak benar-benar sendirian, kami memiliki satu sama lain dalam
perjalanan ini. Beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia, aku memutuskan untuk
bergabung dengan TNI. Bukan karena alasan yang megah dan mulia, melainkan karena
gambaran tentang tentara yang gagah berani, dengan seluruh prestise seorang pahlawan menarik
perhatianku. Mereka adalah pembela terbaik negara. Tirto menyukai ideku dan ikut pergi
menjadi tentara bersamaku di Yogyakarta. Sulit dibayangkan kulit keemasan Tirto tertutup oleh

3
seragam rapi seorang tentara. Dia pasti akan memukul pundakku jika mendengar kata-kata
seperti itu.

"Itu bagus ya, cocok!," Itu yang akan dia katakan.

Tidak... dia terlihat konyol dengan seragam tentara. Dia harus memotong rambut
gondrongnya dan membentuk otot di tangan yang sebelumnya lemah. Kulit sawo matangnya
akan terlihat pucat di antara pria-pria lainnya. Tubuh kurus atletis dan wajah Tirto yang dipajang
begitu indah oleh rambut hitam dahulunya sepanjang pundak sebelum ia memotongnya.
Gambaran itu yang begitu ku kenali memang tidak cocok menjadi seorang tentara. Tetapi, jika
aku jujur, aku juga tidak terlihat baik sebagai seorang tentara. Seragam itu selalu terlihat terlalu
besar di tubuhku, tidak peduli seberapa kecil ukuran yang ku pilih. Wajahku mungkin terlihat
akademik, tetapi otakku tidak mengerti banyak tentang dunia ini. Aku bisa berpura-pura
memiliki pengetahuan seorang bapak yang bijak di warung kopi, tetapi dalam pikiran, aku hanya
tahu tempat terbaik untuk membeli rokok eceran dengan harga termurah.

Itu memang menarik untuk dipikirkan. Meskipun kita mungkin tidak merasa pantas, kita
bisa berpura-pura, kita bisa disiplin, kita bisa belajar cara memegang senjata, dan cara menjadi
bagian dari negara kita. Sebagai tentara, kita bisa membayangkan bahwa kita layak memiliki
nama yang dikenang, bukan hanya oleh keluarga. "Tristan" akan terdengar aneh jika dipanggil
oleh orang asing, mereka tidak akan mengucapkannya seperti keluargaku. Mereka tidak akan
bisa mengatakannya seperti cara Tirto memanggil ku. Kemungkinan besar sih kita tidak akan
begitu dikenal, tapi selalu menyenangkan untuk membayangkan salah satu dari kita sebagai
pahlawan.

Seharusnya kita tidak perlu memiliki ambisi semacam ini. Seharusnya kita bertarung
untuk Indonesia, tanpa menginginkan pengakuan. Tapi kita memilih pergi dan kembali dengan
sebuah nama. Jika kita bisa pulang dengan selamat, baik jiwa maupun tubuh utuh, itu sudah
merupakan anugerah. Tapi entah mengapa, cukup dengan memiliki sebuah nama juga terasa
penting. Bertarung itu bertarung, seharusnya sudah cukup untuk merelakan diri apapun
alasannya.

Kita lahir dalam keluarga menengah atas. Seharusnya kita melanjutkan sekolah, tetapi
menjadi tentara juga merupakan pilihan yang sangat dihormati. Waktu itu kita terlalu muda untuk
membantu dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Pada saat itu, kita cukup bahagia hanya
dengan mengangkat ranting pohon, seolah itu adalah sebilah bambu runcing yang akan kita
gunakan. Tapi aku juga merasa ragu bahwa kepercayaan dan cintaku pada negara ini mungkin
bukan hal yang sungguh-sungguh, mungkin tidak asli. Aku khawatir bahwa kepura-puraan ini
akan menguasai diriku, dan tidak akan lama sebelum aku mulai membenci diriku sendiri karena

4
aku memilih untuk menjadi bagian dari TNI. Kita tidak pernah benar-benar berada dalam hati
konflik negara, aku merasa seperti kurang familiar dengan apa yang akan kita pertaruhkan.

Itu adalah alasan kami menjadi tentara. Kami muda, kuat, dan merasa tak berarti. Kami
memiliki otot dan tubuh yang dapat kami berikan untuk negara. Kami berharap dapat pulang
dengan nama seorang pahlawan. Namun, disiplin militer tidak pernah bisa menghapus jati diri
seseorang, meskipun kami harus menyesuaikannya untuk negara. Di antara barisan tentara yang
membentang dari Sabang hingga Merauke, kami masih saling mengolok-olok layaknya kawan.
Aku masih tidur dengan kepala di pangkuan Tirto saat dia menceritakan hal-hal yang tak penting.
Lekukan senyumnya tidaklah berubah ketika ia menjadi tentara. Aku akan selalu menyandarkan
tubuhku di pundaknya, punggungku tidak pernah bebas dari debu yang juga menutupi anak desa
yang gemar bermain gobak sodor. Kami tidur bersama di kos-kosan sebagai bantal satu sama
lain. Kami berada di bawah lengan satu sama lain, sebagai pelindung dan sumber kehangatan.
Tirto, sahabatku, berjalan bersamaku di antara barisan tentara lainnya.

Aku ingat ketika radio membicarakan mengenai kehadiran rombongan tentara Belanda
yang mulai berkeliaran. Kami semua menjalankan latihan seperti biasa. Sayangnya, saat itu kami
sudah mendapatkan kabar bahwa lawan kami bukan hanya orang asing yang melihat negara kami
sebagai harta karun yang bisa dirampas. Tetapi juga para pemberontak dari negeri sendiri. Tidak
pernah enak mengetahui bahwa lawan kita juga termasuk saudara sendiri. Tapi mereka harus
tahu bahwa kami berusaha. Mereka harus diam sejenak agar kita bisa melawan musuh sejati.
Berita tentang pemberontakan masih menjadi topik yang hangat, dan ada rasa pahit di lidah
rakyat ketika mereka berbicara tentang kami, TNI. Tapi itu sulit. Ekspektasi dan harapan
masyarakat terlalu besar, membuat orang-orang ini sangat tidak sabar. Mereka tidak mau
membiarkan pemimpin mereka yang memimpin. Mereka ragu pada keputusan yang dibuat untuk
mengelola negara ini. Mereka hanya ingin membangun negara mereka sendiri, tanpa menghargai
perjuangan para pahlawan. Seiring berjalannya waktu, kita mungkin tidak akan memiliki negara
lagi. Tapi itu bukan fokus kita saat ini. Fokus kita adalah ancaman yang lebih mendesak,
kedatangan kembali Belanda.

Tirto duduk di seberangku selama istirahat, wajahnya tampak dipenuhi pikiran dan cara
untuk menghadapi situasi. Meskipun begitu, bukan tugasnya untuk merumuskan strategi perang;
kita hanya perlu menunggu perintah dari Jenderal dan siap untuk pergi ke medan perang.

"Bila akhirnya terjadi perang besar dengan penjajah, apakah kamu siap untuk mati?"
tanyanya.

Topik ini selalu sulit bagiku, terutama karena dia tahu apa jawabanku. "Aku berharap
tidak ada terlalu banyak korban," jawabku, meskipun aku sadar bahwa harapan itu mungkin tidak
realistis.

5
"Korban memang harus ada, untuk membangun negara," kata-kata Tirto terdengar seperti
sebuah pertanyaan, meskipun sebenarnya tidak.

Aku hanya mengangguk pelan, setuju dengan perkataan Tirto tetapi tidak begitu antusias
dengan kenyataannya. Dia memeluk badanku seolah tahu maksud dari gerakan lemah itu.
Wajahnya sangat dekat denganku, dan ini bukanlah hal yang tidak biasa, tetapi aku terkadang
merasa malu ketika ia begitu dekat denganku sehingga hidung kita hampir bersentuhan. Karena
aku selalu ingin mendorong kepalaku ke badannya. Inilah jalan yang kita pilih, dia memastikan
bahwa aku sudah yakin pada itu, dari sentuhannya dan kepedulian di matanya. Ia
mengingatkanku, bahwa tidak ada yang ingin mati, tetapi kematian itu harus ada untuk
membangun kehidupan. Dia tampaknya bersedia untuk mati. Namun, semakin aku
memikirkannya, semakin aku tidak ingin dia mati . Bukan karena aku takut, tapi lebih karena
sulit menerimanya. Bayangan tubuhnya yang tertidur tanpa napas, darah hangat mengalir
bagaikan sungai - itu adalah gambaran yang membuatku merasa mual. Tapi kita adalah tentara.
Aku bukan takut melihat darah. Aku hanya ragu kehilangannya. Jika harus mati, biarkan aku
mati bersamanya. Aku hanya berharap dia menjadi seorang pahlawan.

Aku ingat mendengar tentang serangan pangkalan udara Maguwo melalui radio, dan hal
tersebut membuat bulu kudukku merinding, mereka datang ke sini untuk mengubah kita menjadi
arang. Para bajingan ini memang tidak bisa dipercaya. Kami tidak punya banyak waktu; jika
harus berperang, mari kita melakukannya sekarang. Dan itulah yang terjadi. Kepala brigadir
kami memimpin tentaranya menuju medan perang. Rencananya sederhana, para pemimpin
militan perlu keluar dari kota untuk menentukan strategi perang selanjutnya dan kami akan siap
menjalaninya. Ini adalah hasil dari semua latihan yang telah kami lalui, inilah cara kami
membayar hutang kepada negara kami. Satu kali saja dia mengatakannya, dan tiba-tiba aku
hanya bisa mendengar hentakan kaki yang mengguncang bumi. Aku berjalan dalam barisan, dan
dari sini semua orang tampak sama, gerakan mereka tampak kabur. Tiba-tiba, aku memegang
pistol di tanganku dan sudah berada di belakang mobil tentara. Kami bertarung untuk mengambil
oksigen yang kami hirup. Di dalam mobil itu sangat pengap. Udara terlalu berat untuk bernapas
dengan nyaman, dan dadaku tertekan oleh panas tubuh orang-orang di sekitarku. Tapi aku tidak
merasakannya; entah bagaimana, otakku seakan dimatikan pada saat ini, dan aku bergerak seperti
mesin. Jalan yang kami tempuh hanya berupa tanah berbatu, kami dilemparkan ke kanan dan kiri
dalam mobil, aku menyenggol orang di sebelahku, dan keringat hangat mereka mengalir di
lenganku. Dahi ku merah, tetapi wajah semua orang di sini begitu tegas. Waktu berlalu, dan
mobil tidak pernah melambat. Beberapa orang menjadi lebih tenang setelah sekian jam berlalu,
walaupun masih ada adrenalin yang mengalir dalam diri kami. Di antara semua pria di sini, aku
bisa merasakan seseorang bergerak di sebelahku, menyesuaikan tempat duduknya.

6
Dia menyamankan diri di tempat duduknya, wajahnya tidak tegang, tetapi juga tidak
sepenuhnya tenang. Tubuhnya tegap. Tangannya tidak meremas pistolnya dengan kuat, tetapi
pembuluh darah di bawah kulit kasarnya sudah terlihat. Rambut tebalnya menutupi punggung
tangannya, dan kulitnya tampak berminyak di bagian-bagian yang tidak begitu ditumbuhi
rambut. Ada banyak luka yang telah sembuh dan benjolan kulit pada jari-jari lebarnya.
Tangannya terlihat lebih besar dari tanganku, kukunya berwarna kuning kecoklatan, bukan warna
pink seperti kuku biasa orang. Aku menundukkan wajahku, tidak sanggup menatap mukanya.
Sepertinya aku sudah mulai sadar kembali, dan semuanya tampak lebih jelas sekarang. Aku bisa
melihat orang di depanku duduk tegak, menatap keluar jendela mobil. Matanya sangat fokus,
tetapi tidak pada titik tertentu. Aku bisa melihat tanganku sendiri yang gelap dengan beberapa
retakan di kuku, ada juga tanah di sana. Tanganku sedikit gemetar, tapi aku tidak tahu apakah itu
karena ketakutan atau karena mobil yang terus berguncang. Aku merasa jari yang memegang
tanganku dengan kulit yang lebih terang dari kulitku. Aku tahu pasti siapa pemilik tangan itu,
tidak ada keraguan atau ketakutan dalam cara dia memegang tanganku. Pegangan itu seolah
menjadi sebuah panduan, sebuah ajakan untuk mempercayai saat ini. Dan aku mempercayainya,
aku mempercayai orang yang menggenggam tanganku.

Mobil kita masuk lebih dalam ke jalan kecil dan menghilang ke hutan, aku yakin
Yogyakarta sudah jauh dari sini. Daun memukuli atap kendaraan kami dan goncangan menjadi
lebih keras. Kita melintasi semak - semak dan jalan semakin lama semakin kecil hingga kita
tidak lagi bisa melanjutkan perjalanan dalam kendaraan. Tibalah kami pada pos pertama, sebuah
desa kecil yang telah menyediakan pondok untuk beristirahat sejenak dan makanan apapun yang
mereka miliki. Desa tersebut dipotong oleh hutan dan sawah yang sangat luas. Dari bentang
sawah kita bisa melihat suatu gedung di kejauhan. Kita diberikan briefing tentang apa yang akan
kita lakukan di sini. Desa itu terletak di antara hutan dan sawah yang sangat luas. Dari tengah
sawah, kami bisa melihat sebuah gedung yang berdiri jauh di kejauhan. Kami diberikan briefing
tentang rencana tindakan kami di sini. Pasukan kami bahkan tidak sebanding 1:3 dengan pasukan
Belanda. Mereka memiliki senjata asli, sementara kami hanya memiliki alat sisa-sisa dari zaman
Jepang. Kami sangat kekurangan personel, dan perang besar-besaran tidak mungkin terjadi. Jika
itu terjadi, kami pasti akan kalah. Kalah pada pesawat, senapan, bom, dan kekuatan api Belanda.
Kami telah mendapatkan kabar dari Jenderal Sudirman untuk melakukan taktik perang gerilya.
Jadi kita akan melemahkan mereka, tujuan kita di sini untuk mengambil kembali desa yang
berpuluhan hektar dari sini dan memotong jalan Belanda di sawah dan mendorong mereka ke
hutan. Harapan kita adalah tidak terjadi perlawanan sporadis di dalam desa tersebut dan
mendorong mereka ke wilayah dengan sedikit orang. Bila mereka terpaksa masuk ke hutan kita
akan memiliki keunggulan.

Bila operasi ini sukses, kami akan terus bergerak menuju pos-pos Belanda dan melakukan
serangan pada malam hari. Target kami adalah tiang radio komunikasi Belanda dan jalanan yang
mereka gunakan untuk mengirim pesan. Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk

7
memotong aliran informasi antara pasukan Belanda. Kami diberi beberapa jam untuk beristirahat
dan makan makanan yang disediakan oleh kepala desa, sementara kepala brigadir kami
membahas rute terbaik yang bisa kami ambil jika kami perlu kabur atau bergerak lebih cepat dari
rencana.

Ketika matahari akhirnya mengundurkan diri ke balik garis pepohonan, kami semua
berkumpul kembali dan bersiap untuk bergerak. Aku dan Tirto sepakat untuk menggunakan
waktu ini untuk menjelajahi hutan, mencari rute alternatif, dan familiarisasi dengan lingkungan
kami. Pada saat itu, seorang tentara datang menghampiri kami dan menawarkan diri untuk ikut
serta.

"Oh, aku Candra," kata pria itu. Dia menyunggingkan senyum ramah, rasa-rasanya terlalu
ramah untuk orang berwajah keras khas Batak seperti dia. Rambut ikalnya dipotong pendek rapi
sesuai aturan, mungkin dia ingin mematuhi aturan kemiliteran yang ada. Dia hampir terlihat
seperti anjing baik yang patuh, membuatku merasa gemas.

Mata hitam legamnya menatapku dengan lembut, hampir membuatku lupa akan dunia
yang terus berputar dan waktu yang terus berkurang. Berkas-berkas sinar matahari menerpa kulit
sawo matang dia, melukiskan warna kuning cerah di atas hamparan sehat bintik kecoklatannya
dengan bekas-bekas luka masa lalu berceceran dimana-mana. Kedua alis tebalnya terangkat
santai saat dia mengamati ekspresiku, keramahannya tidak berkurang sedikitpun. Kita bertiga
berjalan dengan waspada, lantai hutan ini tampak bersih dari ranjau, paling tidak sepanjang jalan
yang kita lalui. Kami bergerak ke arah kiri dan melihat lantai hutan menanjak dengan terjal. Tirto
berjalan mendekati tempat itu,

"Bila kita bisa mencari jalan ke atas sini yang cepat kita akan mudah menembaki
siapapun yang ada di bawah kami," katanya dengan nada yang lega.

"Tunggu hati-hati. Siapa tahu ada jebakan di atas sana!," Tegasku. Memang dataran
tinggi berupa tempat yang sangat strategis tetapi bagaimana bila tentara Belanda sudah
menemukannya terlebih dahulu.

Kami semua mendekat dan dengan teliti mengamati tanah di bawah kaki kami, dan
terlihatlah garis kecil di antara dua pepohonan. Sehalus jaring laba-laba, itu hampir tak kasat
mata dan menghilang ketika sinar matahari tidak menari tepat di atasnya. Sebuah benang kecil,
kita tidak tahu benang tersebut terkait dengan apa. Wajah Candra menjadi serius dan dia
mengeluarkan pisau lipat kecil untuk memotong benang itu. Untuk menetralkan potensi
bahayanya, walaupun hanya sebagian saja. Kita semua memiliki determinasi untuk menemukan
ranjau yang terkait pada benang tersebut sebelum matahari terbenam dan harus kembali. Dan kita
akhirnya menemukannya di bawah dedaunan yang mengubur tanah. Sebuah bom yang tidak

8
lebih besar dari piring aluminium berwarna hijau gelap. Tirto menyadari suatu cara untuk
membedakan tanah yang aman di injak dan tanah yang menutupi ranjau, dia mengatakan bahwa
ada ranting kecil yang menghadap ke atas yang menandai di mana lokasi ranjau tersebut.

"Tapi kita tidak bisa yakin, kita baru menemukan satu saja. Mungkin itu cuma kebetulan"
balas Candra

"Tetap saja… tunggu lihat itu," Tirto menunjuk kejauhan dan says serta Candra awalnya
agak bingung mengenai apa yang sebenarnya ditunjuk oleh Tirto.

Dia pergi, langkahnya sangat pelan seolah dia sedang berjalan di atas air, aku ingin
memanggilnya untuk kembali. Kembali ke sini Tirto, di sana berbahaya, biarkan saja apapun itu
yang kau cari. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku hanya terpaku melihat Tirto
membungkuk dan dengan tangan yang seolah tahu semua hal, dia mengambil ranjau lain dari
lantai hutan. Itu bukti yang ia butuhkan untuk yakin bahwa metode pencarian bomnya cukup
efektif. Yah, sudah jelas Belanda memberikan sebuah petanda pada letak bom tersebut. Untung
saja kami menemukan ini sebelum kita melanjutkan strategi untuk menggunakan hutan. Tapi
Candra tidak berpikir begitu, dia menjelaskan bahwa kita masih bisa menggunakan hutan ini
menuju keunggulan kita. Candra dengan berhati-hati membawa ranjau sebelumnya dan
menyuruh Tirto untuk mengambil ranjau yang ia temukan. Lalu ia jelaskan bahwa tidak ada
bahayanya ranjau Belanda bila kita semua tahu cara menemukannya. Ia justru menyuruh kami
mencari sebanyak mungkin ranjau di daerah ini untuk di ambil.

"Kita akan meledakkan badut itu dengan bom mereka sendiri," cara Candra mengatakan
kalimat itu seolah dia sedang mengatakan sebuah lelucon. "Tirto, apa dah petandanya untuk
ranjau ini? Ranting? Ubah itu agar Belanda tidak tahu dimana letak ranjau mereka sendiri,"

Wajah Tirto hanya menampilkan sedikit perubahan, tetapi aku bisa melihat kelipan di
matanya, dia ragu, dia bersemangat, dia mau percaya bahwa metode ini dapat berhasil. Aku
melihat ekspresi itu diselimuti oleh cahaya oranye yang membuatnya seolah bersinar. Aku hanya
bisa mengikuti api yang ada di kedua pria ini. Entah mengapa rasa tidak nyaman di perutku tidak
menghilang begitu saja, perasaan itu tidak bisa digantikan oleh sesuatu yang lebih membara dan
indah. Langit berubah menjadi dua warna: merah pada barat dan biru pada arah timur. Seolah
langit sedang menyuruh kami untuk kembali. Kami pasti dicari, dan kami masih harus
menjelaskan ke semua tentara lainnya tentang ranjau ini. Kali ini, rinjau ditandai dengan
kombinasi ranting, batu, daun, dan lumut. Kami segera kembali melihat ke semua arah sebelum
langit sepenuhnya ditelan oleh kegelapan memastikan sekali lagi bagaimana kami telah merubah
hutan yang sebelumnya dikendalikan Belanda.

9
Candra yang menjelaskan semua penemuan kita kepada kepala brigadir. Wajahnya
berbinar dan dia sudah jelas sedang menutupi sebuah senyuman, aku dan Tirto hanya berdiri di
sampingnya sesekali mengangguk untuk memastikan bahwa semua yang dikatakan Candra
adalah sebuah kebenaran. Badan Candra juga tidak baik dalam menutupi betapa senangnya ia
untuk mampu memberikan informasi ini kepada para tentara lainnya, untuk menjelaskan kepada
mereka tempat-tempat yang perlu dijauhi, cara menemukan ranjau yang ada di lantai hutan, dia
tampak hidup ketika semua mata itu melihatnya, memujinya, mengaguminya. Aku dan Tirto
senang untuknya. Tapi kita tidak mungkin memotong kata-katanya untuk menjelaskan bahwa
kita juga disana, Tirto yang menemukan cara melihat ranjau yang disembunyikan tentara. Aku
bahagia untuk Candra tetapi aku sedikit kesal tak ada yang tahu kontribusi kita pada- Tirto
meletakkan tangannya pada lututku dan mengelusnya. Dia bahkan tidak perlu menatap wajahku
untuk tahu apa yang aku rasakan. Aku menggenggam tangannya yang masih nyaman duduk di
atas lutut seperti saat ia menggenggam tanganku di mobil tadi. Memintanya untuk percaya
bahwa aku memang yakin pada kita. Kita akan mengambil kembali semua yang telah dirampas
Belanda.

Malam sudah jatuh dan penduduk desa menyalakan lampu minyak tanah mereka, belum
ada listrik dalam desa ini, ataupun desa tetangga yang dipenuhi tentara Belanda. Hal itu juga
dapat diubah menjadi sebuah keunggulan untuk kami. Lampu tersebut masih membiarkan
banyak bayangan untuk tempat persembunyian. Kita bergerak dengan cepat dan satu-satunya hal
yang ku ingat adalah suaranya. Tidak seperti apapun yang pernah ku dengar sebelumnya. Bahkan
tidak sama seperti waktu kita latihan menembak target. Kali ini semuanya jauh lebih keras. Jauh
lebih marah. Seperti teriakan yang tak ada hentinya. Seperti hujan meteor yang datang melandai
kira. Dentuman itu ada di mana-mana. Kita tidak boleh membuang-buang peluru jadi tiap
tembakan yang kita lakukan itu dengan irit dan presisi. Tetapi tidak begitu untuk Belanda,
mereka memecahkan pot, membuat lubang di dinding, berjalan layaknya raksasa yang tak
terkalahkan. Tidak lama sebelum binatang malam menahan napas dan berdiam diri, seakan takut
dengan pertempuran kecil dua kelompok ini.

Walaupun begitu, kita sukses mendorong dan memancing mereka ke dalam hutan itu.
Ada perlawanan di lereng bukit untuk mengklaim dataran tinggi, tapi kami lebih cepat. Dan kami
merusak susunan ranjau Belanda. Itu sama seperti kata Candra. Kami meledakkan mereka
dengan bom mereka sendiri, dari atas gundukan itu kita arahkan senapan dan pistol ke bawah
seperti membunuh tikus di kegelapan. Ada kilatan cahaya dan suara seperti guntur yang
membangkitkan amarah bumi, melempar bebatuan ke atas seolah tuli sementara yang kami
rasakan tidaklah cukup. Tanah dan batu memandikan kita, dengan warna-warna merah dan hitam
yang terlihat sama di bawah cahaya redup bulan.

Beberapa dari kita berjarak sangat dekat dengan musuh, sampai terasa hawa panas dari
tubuh mereka yang bersembunyi di balik pohon dan semak melihat siapa yang akan menarik

10
pelatuk lebih dahulu. Terdengar suara teriakan bahasa Belanda dan langkah kaki yang semakin
lama semakin sulit dideteksi. Beberapa dari kita diam di desa memburu sisa-sisa tentara yang
mencari perlindungan di jalanan yang gelap seperti serigala yang haus darah. Satu, dua, lima,
sepuluh tubuh jatuh. Jantungku terasa seperti terbakar dan napasku seperti teriakan serak. Aku
berusaha sediam mungkin di antara ramainya semua organku. Hanya ketika angin terdengar lagi
itulah saat semuanya selesai. Garis merah terlihat di cakrawala tetapi tidak ada sinar yang bisa
menyembuhkan buta malam kami. Segala hal masih gelap. Tapi kita tahu, kita menang
perlawanan ini. Dalam satu malam kita bisa menyerang mereka tanpa mereka sadari. Kita bisa
menang.

Paginya kami pergi. Perayaan dilakukan sambil berjalan, kita harus bergerak ke lokasi
berikutnya. Satu malam, satu pagi, pertempuran sesingkat itu tidak pernah ku bayangkan apalagi
dimenangkan. Aku bahkan tidak sadar kakiku sempat tergores sesuatu dan darah merah
membasahi celanaku. Aku tidak percaya aku masih bisa berdiri, aku tidak percaya di pedalaman
ini betapa lemahnya raksasa itu. Kami mencuri semua senjata yang kami temukan, dari
persediaan yang terpaksa mereka tinggalkan dan dari mayat yang masih tidak terima mereka
mampu dikalahkan oleh rakyat pribumi. Kami mendapat kabar bahwa peperangan di
pinggir-pinggir kota lainnya juga berhasil dengan sukses. Setelah 8 jam berjalan mulai terasa
kakiku terbakar tetapi aku tidak menghiraukannya, emosiku terlalu bergejolak, aku terlalu
bahagia. Di pinggiran hutan kami berhasil mengalahkan satu atau dua tentara Belanda di siang
bolong sebelum mereka tahu apa yang terjadi dan mengejar kita. Kami selalu pergi terlebih
dahulu sebelum bantuan datang untuk menangani kami, kelompok yang mengikis jumlah mereka
secara perlahan. Siapapun yang sendirian tidaklah aman. Kita bisa melakukan ini. Tirto
membantu menjadi tumpuan ku ketika kakiku yang luka tidak bisa dipaksakan untuk bergerak
lagi. Terkadang dia bahkan memaksa untuk menggendongku, layaknya aku anak kecil. Aku tidak
ingin menyusahkannya tapi dia bersikeras bahwa dia memang mau melakukan ini.

Kita selalu beristirahat di rumah orang, pondok kecil, masjid, dan tempat umum lainnya.
Makanan yang disediakan tidak begitu enak tapi memangnya mau apa dari orang-orang ini,
paling tidak kita bisa makan. Bambu muda dicuci dan dimasak bersama dengan akar ubi liar dan
laron yang beruntung saja, masih tidak malu keluar di malam hari. Nasi hampir tidak pernah
cukup untuk memberi makan rombongan kami, Tirto selalu antri paling dahulu mengambil
semua makanan yang untuk kami, memaksakan aku untuk istirahat sebanyak mungkin. Karena
kita tidak memiliki banyak peluang untuk istirahat. Dia seolah berubah ketika dia ada di Medan
perlawanan dan ketika kita berdua, duduk dan berbicara.Tiap kemenangan yang kita raih, tiap
pos Belanda yang mengalami serangan sporadis dari kita, semangat dan moral kami begitu
tinggi, dan juga semangat rakyat yang menganggap kami sebagai tamu.

Kami terus melakukan perlawanan yang sangat merepotkan bagi Belanda. Tindakan kami
kadang-kadang ekstrem, berakhir dengan kebakaran hebat atau hanya beberapa kematian.

11
Selama perjalanan, kami berhasil menghadang konvoi Belanda, menghancurkan
jembatan-jembatan, mendirikan rintangan di jalan mereka, melancarkan serangan-serangan
dengan senjata tradisional seperti golok dan pedang, meledakkan ranjau, dan bahkan membakar
beberapa lokasi.

Kami akhirnya bergerak dari desa ke kota, kembali ke hutan, pada beberapa pos kami
sudah menunggu mobil yang akan mengantarkan kami ke lokasi berikutnya. Aku sudah terbiasa
dengan rasa ini, panasnya udara di dalam mobil, basahnya keringat di tubuhku, beratnya udara
dan tingginya semangat karena kita bisa melakukan sesuatu. Kita mendorong orang-orang ini
memaksa mereka melihat kita sebagai layak, bukan hanya makhluk yang bisa ditindas begitu
saja. Kebanggaan yang ku rasakan ketika aku melihat wajah mereka lari ketakutan, panik,
terdorong dan terluka. Itu yang mereka harus rasakan. Itu balasan untuk semua hal yang mereka
telah lakukan. Perasaan ku saat itu tidak ada duanya. Bahkan mereka cukup berani untuk
mencaci-maki ku ketika aku berdiri di atas mereka memegang nyawa mereka di ujung pistol ku.
Perasaan itu tidak ada duanya. Jalan-jalan disekitar kota terus menerus diintai oleh kelompok
gerilya kami, sehingga kendaraan-kendaraan Belanda yang lewat harus berupa konvoi dibawah
lindungan pasukan panser. Jalan menjadi berbahaya bagi konvoi Belanda. Dan aku mau mereka
tahu betapa kuat bahayanya yang akan mereka hadapi. Belanda tidak hanya menghadapi ranjau
darat dan tembakan-tembakan tersembunyi, melainkan juga serangan dari jarak dekat dengan
menggunakan granat, pedang, klewang dan tombak. Beberapa rakyat juga membantu kita dalam
perjalanan gerilya yang panjang ini untuk waktu singkat. Rakyat dan tentara tidak gentar
menghadapi tank dan kendaraan lapis baja. Asrama-asrama tentara Belanda seringkali mendapat
serangan kaum gerilya. Kita selalu mengecek berita untuk memastikan apakah kelompok gerilya
lainnya sesukses kami, terkadang tidak. Beberapa berhasil dipisahkan dan ditembak satu per
satu. Beberapa mati secara langsung pada balasan Belanda yang berhasil mengetahui rute
penyerangannya dan menyergap mereka. Tetapi kebanyakan berhasil sukses, berita juga masuk
dari tentara lain yang membawa pesan-pesan dari sang jenderal yang saat itu aku sudah ketahui
sedang sakit. Hebat sekali kemampuan kita. Bahkan Belanda tak mampu melawan orang yang
sedang sakit-sakitan.

Saat itu kami masih bergerak hingga langit merah. Kami berjalan dengan perlahan,
memastikan untuk memakai jalan kecil dan rute yang berliku-liku seringkali memutar ke tempat
yang sudah dilalui agar sulit untuk mendapatkan lokasi kami. Aku berjalan di bagian belakang
kelompok karena kakiku belum sepenuhnya pulih, Tirto dan Candra berjalan bersamaku kali ini
menemaniku. Terkadang aku merasa hanya memperlambat pergerakan kami tapi tidak juga,
mereka justru kagum pada kemampuan ku untuk berjalan dengan luka kaki. Sebenarnya tidak
ada yang perlu dikagumi, adrenalin yang disebabkan oleh kemenangan-kemenangan ini jauh
lebih kuat dari obat bius. Aku tidak bisa merasakan sakit ataupun lelah sedikitpun. Terkadang
ketika aku mengatakannya seperti itu Tirto akan sedikit kesal, tidak baik untuk meremehkan luka
pada tubuhku. Aku sangat mengapresiasinya, kepedulian nya padaku. Dia tidak perlu seragu itu,
memang benar aku tidak bisa merasakan kelaparan, kelelahan, kesakitan, kehausan, yang

12
seharusnya dirasakan tubuhku saat ini. Tapi aku masih menjaga diri, dan aku tahu dia menjaga
ku.

Dari kejauhan aku bisa melihat seseorang datang menaiki sepeda coklat tentara. Aku
kenal orang itu, dia yang biasanya pergi membawa berita antara kelompok gerilya. Terkadang dia
juga ikut dalam perang kami, dan diam bermalam serta makan-makan dengan rombongan kami.
Kemungkinan besar dialah yang menyuruh orang untuk menyediakan tempat makan dan tempat
tidur untuk kedatangan tentara TNI kepada rakyat, dan menyiapkan pos untuk kami berencana
dan beristirahat. Tapi kali ini, Kipli tampak ketakutan. Wajahnya merah dan seragamnya basah
kuyup dari keringatnya. Kami semua berhenti ketika ia datang, ini pasti penting jika dia datang
sejauh ini dengan rasa urgensi. Aku tidak akan berbohong, darah seolah tersedot dari kepalaku
ketika ia datang dan jantungku berdebar kencang.

"Mereka tahu! Mereka memukuli rakyat dan menculik orang yang menerima kalian
sebagai tamu," suara Kipli berusaha keluar diantara napasnya yang tersengal, "mereka bergerak
ke sini, tidak ada seorang yang melihatku pergi tetapi… tetapi kalian harus pergi! cepat! AYO!"

Ini diluar dugaan, kita punya sedikit opsi untuk ini. Kita bisa pergi ke tempat jauh yang
kita sudah tentukan sebagai aman untuk bersembunyi sementara, karena orang-orang hanya tahu
dengan rencana kami untuk menyerbu target menjelang kegelapan malam atau lanjutkan ke
target selanjutnya lebih cepat dari rencana. Target yang kami tujui berupa pos milik tentara
Belanda, dan ketakutan muncul, bagaimana jika mereka tahu kita akan datang. Kipli berdiskusi
sebentar bersama kepala brigadir untuk menentukan langkah selanjutnya dan akhirnya mereka
setuju bahwa kami harus pindah ke tempat aman terlebih dahulu untuk menghindari risiko
serangan dadakan. Kipli mengangguk dan pergi kembali menaiki sepedanya untuk memberi tahu
tuan rumah yang setuju untuk menyediakan salah satu rumah kontrakannya sebagai tempat
istirahat jaga-jaga TNI bahwa kita datang.

Ada banyak anggota dari kelompok kami yang terluka walaupun tidak parah, kuku jari
jempol yang berdarah, luka gores, tusukan, sedikit terbakar, termasuk aku. Kami tidak akan
mampu berlari dan tempat aman tersebut tidak begitu dekat dari sini. Tirto memegang pundakku
dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia tidak akan membiarkan aku
tertinggal. Sungguh beruntung aku memilikinya. Kata-kata itu membuatku sedikit lebih tenang,
Candra sudah bergerak lebih dahulu dari kami. Ia berjanji untuk menyiapkan dua piring nasi
dengan lauk saat dia tiba bersama dengan anggota lainnya. Kelompok kami terbagi menjadi dua
dengan kepala brigadir dan beberapa anggota berlari secepat mungkin untuk memastikan semua
aman di tempat yang kami sudah tentukan, dan kita tidak menemukan tentara Belanda sepanjang
jalan. Dan kelompok kedua yang berupa orang yang terluka atau terlalu lelah untuk lari, berjalan
perlahan secara bersembunyi agar kita tidak ditangkap. Aku dan Tirto menutupi raga kami
dengan lumpur yang ada di bawah kami dan berkamuflase. Matahari masih bersinar jadi kita

13
harus benar-benar berhati-hati. Memperhatikan setiap langkah, memastikan bahwa kami tidak
menginjak daun kering atau ranting yang akan membuat suara keras.

Tapi tetap saja. Beberapa dari kami mampu lolos dan pergi menuju lokasi berikutnya
tetapi tidak semuanya. Saat itu sekitar 14 orang terpaksa menghadapi tim pencarian milik
Belanda, kami bisa membalas beberapa tembakan ke arah mereka. Kami bisa membuat mereka
mundur dan mencari bantuan… tapi tetap saja. Tirto memeras lenganku, memaksaku dekat
dengannya. Tubuh kita saling tertempel, dan aku bisa merasakan detak jantungnya yang
mempercepat. Wajahku mencium lehernya dengan gemetar, memohon dengan seluruh sel dalam
tubuhku bahwa ini bukanlah kali terakhir aku bisa merasakan tubuhnya sedekat ini. Aku melihat
peluru itu menembus dada Tirto. Pistol di tangan tentara Belanda masih mengeluarkan asap tipis.
Suara tembakan masih bergema di telinga.

Suara tembakan menggelegar, memecah keheningan, dan dalam sekejap, hidupnya telah
berakhir. Tubuhnya terjatuh dengan gerakan tiba-tiba, dan darah mulai mengalir dari luka
tembak. Aku melihatnya terbaring di tanah, gemetar dalam konvulsi terakhirnya. Wajahnya pucat
dan tampak sangat lemah. Darah yang mengalir keluar dari lukanya dengan cepat, menciptakan
genangan yang mengerikan di bawahnya. Pakaian yang dikenakannya kotor oleh debu dan darah.
Matanya terbuka lebar, memancarkan rasa sakit dan kebingungan. Dia benar-benar tidak sadar
bahwa dia tertembak sebelum ia mati.

Aku merasa lumpuh oleh kekejaman saat itu, tidak tahu apa yang kurasakan. Mungkin
kebingungan dan ketakutan yang sama dengan apa yang ada pada wajah Tirto bercampur dalam
diriku. Seribu pertanyaan memenuhi pikiranku dan aku merasa seolah napasku juga direnggut
oleh pistol itu. Aku berusaha untuk meraihnya tapi sebuah tangan menarikku pergi. Suara
teriakan Pendeng, tentara yang menyelamatkanku tidak terdengar melalui telingaku yang
berdengung.

"APA KAU MAU MATI JUGA, AYO PERGI! SINI!," Pendeng mengatakan itu
berulang kali hingga aku bisa mendengarnya. Dia menarikku ke garis hutan dan kami berjalan di
belakang pohon hingga bertemu dengan tentara lainnya.

Pendeng berjalan di belakangku untuk memastikan aku tidak berhenti. Tidak ada satupun
suara yang diucapkan hingga kami tiba di tempat persembunyian sementara kami. Tidak ada
yang keluar untuk menyambut kami tetapi ketika Pendeng menyampaikan kata sandi pada
pemilik rumah, kami dibiarkan masuk. Candra mendatangiku dan bertanya di mana Tirto
sebelum Pendeng memukul pundaknya. Ku rasa dia sudah sadar. Dia minta maaf dan
mengajakku untuk makan malam tetapi aku tidak membalasnya. Bagaimana bisa aku
membalasnya. Bila Pendeng tidak menarik atau mendorong ku saat itu aku hanya bisa terpaku
atau berusaha bergerak ke arah Tirto, dimana aku akan juga tertembak mati.

14
Aku membayangkan apa yang akan terjadi bila ini adalah situasi normal. Bila ini situasi
normal, maka sebentar lagi dia akan dibungkus dalam kain kafan. Aku berharap dia setidaknya
beruntung cukup untuk dipeluk oleh kain batik. Namun, kemungkinan besar dia hanya akan
dibakar secara massal atau membusuk di lantai hutan bersama dengan tubuh-tubuh yang lain.
Dalam sepuluh tahun, mungkin tidak ada yang akan tahu bahwa hutan terpencil ini adalah
makamnya. Apakah kita akan kembali untuk mengambil jasad mereka? Aku tidak tahu. aku tidak
begitu yakin. Kami harus segera pergi ke lokasi berikutnya. aku tidak akan bisa memeluknya
lagi. Meskipun kami tidak terhubung oleh darah, dia adalah saudaraku, lebih dari itu, kami
seperti pasangan sejati ku sebagai pria pribumi. Dia adalah bagian dari diriku. Aku tidak pernah
membayangkan bahwa perasaan kehilangannya akan begitu tajam.

Aku masih ingat rasa berat tubuhnya di atas tubuhku. Ya, dia sering tidur di atasku.
Biasanya aku akan marah, mengucapkan kata-kata kasar, mendorongnya, dan dia akan tertawa.

“Kamu itu kasur yang nyaman”, itu katanya.

Tapi dia hanya melakukannya untuk menggangguku. Aku tahu itu. Kita berdua
berpura-pura marah pada satu sama lain, dan itu menjadi bagian dari kesenangan kami. Kalau
saja dia masih ada di sini, aku akan membiarkannya tidur di atasku. Aku merindukan berat
tubuhnya di atas tubuhku. Aku merindukannya. Aku berharap agar kita bisa bersatu kembali.
Aku merindukan setiap detail tentangnya: senyumnya yang memikat, kulitnya yang lembut,
tubuhnya yang hangat, rambutnya yang ikal, dan wajahnya yang begitu akrab. Saat ini, aku
seolah bisa merasakan keberadaannya masih di sekitarku, seperti bayangan yang menghilang
ketika aku menoleh untuk melihatnya. Terkadang, rasanya seolah dia sedang bersembunyi
dariku, dan saat itu, aku merasa sedikit marah. Bagaimana bisa dia tega berlari dariku, padahal
aku merasa ketakutan setengah mati ketika dia meninggalkan ku begitu saja. Dan lalu aku sadar,
dia memang telah meninggalkanku.

Candra hanya bisa mengatakan padaku untuk terus maju. Sudah berapa lama sejak
kematiannya? Seminggu? Dua minggu? Aku bisa merasakan kecemasannya di balik kata-kata
itu. Setiap kali matanya melirik ke arahku, setiap kemenangan dan kekalahan dalam kota, desa,
atau jalan yang kita lalui, dia akan menoleh ke arahku, seolah mengingatkanku bahwa aku adalah
seorang tentara, dan aku tidak perlu mendengar buah dari bibirnya.

Berita bahwa Jenderal Sudirman yang sedang dipindahkan melalui tandu ketika ia ikut
dalam perang gerilya dengan kondisi tubuhnya yang begitu parah, sudah tersebar luas di antara
tentara-tentara. Candra mengatakan bahwa keinginan untuk meraih kembali kemerdekaan itulah
yang memberinya kekuatan untuk tetap maju. Candra menyuruhku untuk mencontohnya, jalani

15
saja walaupun sesakit apapun itu. Kita melakukan ini untuk negara, bukan untuk diri sendiri.
Aku sudah tahu itu.

Jenderal Sudirman, tentara dengan satu paru-paru. Seseorang yang terus mendorong maju
meski dengan batuk keras dan dahak yang bercampuran darah menetes dari mulutnya. Itu adalah
manifestasi dari tekad mereka yang begitu kuat untuk merebut kembali kemerdekaan kita. Sosok
yang berupa tentara yang sempurna. Berita mengenainya seolah selalu mengingatkan kita: kita
pantas memiliki kemerdekaan ini. Namun, pertanyaan yang terus bergelayut dalam pikiranku
adalah, apa yang akan mereka berikan demi kemerdekaan ini?

Nyawa, tubuh, semua yang telah kami bina dengan susah payah dengan tangan belur,
keluarga, istri, anak-anak, dan diri sendiri, semuanya kami korbankan. Tapi kita
mengorbankannya demi kemerdekaan, agar bisa merasakan kebahagiaan dan kebebasan seperti
burung-burung dan kupu-kupu. Aku bertanya-tanya, apakah mereka juga memiliki hasrat yang
sama, tidakkah memiliki hasrat itu egois. Membuang kesehatan dan ikatan emosi untuk suatu
obsesi yaitu kemerdekaan. Apakah semua ini untuk keinginan mencapai dunia bahagia yang
terlalu jauh namun tampak begitu dekat? Apakah kesedihanku membuatku egois karena aku sulit
terus berjalan dan melawan musuh? Bisakah aku dianggap egois karena masih bermimpi
mengenai hal itu tanpanya di sisiku? Tetapi aku tahu bahwa dia juga berbagi impian yang sama.
Haruskah aku terus bertarung untuk mimpinya, untuk namanya? Apa aku tetap melakukan ini
karena dia sangat berarti bagiku? Manakah yang lebih parah… nasionalisme buta atau
memalsukan rasa nasionalisme dengan alasan egois?

Aku berharap dapat mengubah rasa sakit dan kesedihan ini menjadi amarah, amarah yang
membakar diriku dan memenuhi hatiku. Amarah terhadap mereka yang telah merampasnya
dariku, terhadap mereka yang membuatnya bersedia untuk mati, karena dialah yang terbaik
dalam hidupku. Dia jauh lebih cerdas dariku dan memiliki alasan yang murni untuk terus
berjuang, sementara aku hanya melakukannya demi dia. Namun, apakah aku bisa merasa marah?

Aku melihat mereka, para penjajah, dan aku bertanya-tanya, bagaimana ini mungkin
terjadi? Mereka sama seperti aku, manusia. Bagaimana aku bisa merasa seperti ini? Mereka
seharusnya menjadi musuh, orang yang harus ku benci dan ku hina karena telah merenggutnya
bersama dengan jutaan saudara sebangsaku yang lain. Mereka menindas seluruh rakyat dan
sekarang berani kembali seolah-olah negeri ini adalah milik mereka. Aku seharusnya merasa
marah, seperti jutaan orang lain yang telah kehilangan saudara, istri, sahabat, ibu, ayah, pacar,
semua yang telah kehilangan begitu banyak pemuda di tangan Belanda. Mereka merasakan
kemarahan itu, dan aku tahu hal itu. Lalu mengapa aku tidak merasakannya? Mengapa aku masih
terjebak dalam gelombang perasaan yang tak berujung ini?

16
Candra mendekatiku dengan sepiring nasi, mengingatkanku untuk makan. Eh, tunggu,
berapa kali aku makan hari ini? Aku bahkan tidak sadar bahwa aku belum makan. Ini sungguh
tidak bisa dipercaya, betapa tidak bergunanya aku. Di saat semua orang kelaparan dan berharap
TNI dapat mengusir Belanda, aku bahkan tidak ingat untuk makan, meskipun semua orang telah
menyediakannya dengan baik. Rakyat menginginkan agar TNI dapat memberi tahu Belanda
bahwa kita tidak boleh diremehkan, tetapi aku di sini, seorang tentara yang tidak dapat fokus
pada tugas membunuh. Aku hanya bisa bergerak seperti mesin. Tentara lain telah menyadari hal
ini, dan tugas utamaku adalah menyembunyikan bom dan ranjau yang dikirimkan kepada kami di
pos-pos Belanda. Itu adalah peran dan tugasku.

“Ayolah Tristan, apa kamu akan begini terus?,” sepertinya Candra sudah tidak tahan lagi
dengan sikapku yang selalu menyendiri saat menang ataupun kalah. Walaupun aku masih
menjalankan tugasku dengan hasil yang bisa dikatakan selalu memuaskan, "sakitmu bukan
apa-apa dibanding sakit sang jenderal!"

Tetap saja, dia tidak perlu berkata seperti itu. Haruskah dia membandingkan sakit seorang
dengan yang lain? Aku masih meratapi nasib Tirto,"tak berhargakah rasa pedih di hatiku? Ku
hanya bisa mengingatnya di antara semua yang lain, ia tidaklah istimewa."aku hanya bisa
membalasnya dengan lemah,"apa itu artinya negara yang dibangun dari tumpukan mayat?"

"Jika ini hanya akan dirampas terus-menerus, bukankah kita diajarkan untuk
merelakannya saja?" mungkinkah dia memiliki jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang
menghantuiku sejak kematiannya? Apa itu alasan dia selalu mendorongku untuk relakan saja
nyawanya?

"Bukan begitu maksud ajarannya," balas Candra.

"Dia dirampas dari sampingku, dan kau menyuruhku untuk merelakannya saja. Apa
bedanya merelakan nyawa dengan negara?"

"Negara masih dapat diambil kembali. Hey, jangan bersedih, dia akan pulang dengan
nama seorang pahlawan."

Sebenarnya itu satu-satunya hal yang bisa kuharapkan. Itu kan yang aku inginkan dari
awal? Untuknya menjadi seorang pahlawan, agar mereka tahu betapa hebatnya. Sepertinya
reaksiku setelah Candra mengatakan itu memberinya cara untuk meyakinkanku tetap maju.
Setiap kali gerakanku melambat, setiap kali gerakanku melemah, setiap kali aku tampak siap
untuk menyerah, dia selalu mengingatkanku untuk tetap maju agar aku bisa mendengar saat Tirto
akan dinyatakan sebagai seorang pahlawan. Aku benci bahwa aku percaya padanya, aku benci

17
bahwa itu memang berhasil meyakinkanku. Aku ingin mendengar namanya diucapkan oleh
orang lain, siapapun itu. Aku ingin nama itu berarti.

Tetapi ketika berita menyebar, nama-nama yang diucapkan hanyalah nama jenderal dan
terkadang letkol yang pernah disebutkan. Ya, jelas hanya nama jenderal dan letkol yang akan
disebutkan. Kita merupakan tentara biasa, Tirto tidaklah istimewa. Dan begitu banyak tentara
biasa yang telah mati dalam upaya gerilya ini, walaupun diselingi kemenangan terhadap Belanda
dalam skala kecil. Apakah kemenangan itu menutupi fakta bahwa mereka kehilangan nyawa
mereka? Apakah terlalu banyak nama yang perlu diingat sehingga tidak satupun yang teringat?
Tidak ada satupun nama tentara biasa yang disebut setiap kali kita membicarakan upaya dalam
perang gerilya ini. Mereka tidak memiliki nama.

Itulah yang membuatku marah, bahwa dia hanya menjadi bayangan menyedihkan dalam
kenangan yang membangkitkan semangat. Bahwa dia cukup tidak berarti untuk dilupakan begitu
saja. Bahwa aku cukup bodoh untuk percaya bahwa dia, dan semua yang telah mati sekarang dan
sebelumnya, layak memiliki nama. Itulah sebabnya ada sebutan pahlawan tanpa nama. Karena
terlalu banyak yang telah mati. Lalu untuk apa aku terus berjuang? Bukan untuk nama, aku tidak
yakin aku pernah se determin ini untuk sebuah negara. Lalu untuk apa? Aku paling marah pada
Candra yang membohongiku. Tidakkah dia sadar bahwa aku mendengar semua berita, semua
perkataan? Paling tidak cari bohongan yang lebih baik dari ini. Bohongan yang tidak begitu
mudah dibuktikan sebagai sebuah bohongan. Apakah dia menganggapku sebodoh itu? Benarkah
aku sebodoh itu?

"DIA BAHKAN TIDAK KEMBALI SEBAGAI NAMA!," aku meneriakkan itu pada
Candra, sungguh memalukan memang aku, tapi aku sudah tidak peduli siapa yang melihatnya
atau apa yang akan mereka katakan. "TIDAKLAH LAYAK DIA MEMILIKI NAMA UNTUK
DIINGAT, APA DIA HANYA JATUH SEPERTI TUMBAL?!,"

"KITA BERHASIL MENGUSIR PENJAJAH SEJAUH INI! DAN DIA MATI UNTUK
NEGERI! DIA SUDAH TAHU ITU!,"Candra membalas dengan pahit.

"BANGSAT! KAU BILANG KITA-,"

"YAH KALAU BEGITU, BENAR KAMU TIDAK LAYAK MEMILIKI NAMA!," dia
langsung memotong perkataanku begitu saja, "SEMUA INI HANYA KARENA KEMATIAN
SATU ORANG! TAI!,"

"ANJING!,"

18
"PALING TIDAK ANJING ITU TAHU DIRI! PALING TIDAK ANJING ITU SETIA
PADA PEMILIKNYA," dia mengatakan itu seolah dia memang mempercayai perkataannya.
Mungkin saja dia benar, tapi aku tidak peduli,"KAMU DIMILIKI OLEH NEGARAMU!,"

"NEGARA YANG BAHKAN TIDAK KENAL PAHLAWANNYA SENDIRI!,"

"MEREKA AKAN DIKENANG!,"

"SATU-SATUNYA DISINI YANG AKAN DIKENANG ADALAH PEMILIK


PANGKAT TINGGI! DIA SAHABATKU, DIA MILIKKU, DAN AKU SUDAH TIDAK BISA
MEMEGANGNYA LAGI, DIA HANYA AKAN MENGHILANG BEGITU SAJA"

“kamu adalah orang paling egois yang pernah kutemui, satu-satunya hal yang kau
pikirkan adalah keinginanmu, sama sekali tidak peduli dengan semua rakyat yang kehilangan
lebih banyak darimu. TIDAK PEDULIKAH KAMU PADA PARA PAHLAWAN
SESUNGGUHNYA YANG KAU HINA DENGAN PERILAKU MU,” itulah kata-kata terakhir
Candra sebelum aku meninggalkannya.

Entah apa yang aku pikirkan. Tetapi aku telah sampai pada titik di mana aku tidak tahan
lagi melanjutkan perjuangan ini. Malam itu, aku memutuskan untuk pergi. Tanpa peta, tanpa arah
yang pasti, satu-satunya temanku adalah pistol yang kugenggam erat. Aku mengganti pakaianku
dan memasuki hutan, mengetahui bahwa langkah-langkahku akan membawaku jauh dari sini.
Jika aku sampai di kota, aku akan mencari cara untuk mencapai Sunda dan memberitahu
orangtua Tirto tentang kematian anak mereka.

Selama ini, aku tahu bahwa informasi seperti itu mungkin belum sampai kepada rakyat
umum. Mereka mungkin masih berharap putra mereka, anak tunggal yang mereka banggakan,
akan kembali dan duduk di meja makan bersama saat semua ini berakhir. Aku takut
membayangkan wajah mereka sekarang. Aku tak ingin mengingat bagaimana cara aku bersikap
setelah melihat secara langsung detik-detik terakhir hidup Tirto. Bagaimana aku mengingat
setiap detail tentang wajahnya: jerawat, kumis halus, dan garis-garis di wajahnya ketika ia
tersenyum. Bagaimana semua itu hilang sekarang.

Orangtuanya pasti ingin tahu bagaimana kabarnya selama hari-hari terakhirnya. Dan aku
adalah salah satu saksi yang bisa memberikan jawaban kepada mereka. Aku menganggap mereka
sebagai keluargaku sendiri… kita seharusnya kembali menemui mereka bersama. Mengapa ia
tidak bisa bersamaku sekarang? Bagaimana bisa aku pulang sebagai diriku yang sama seperti
sebelumnya?

19
Seolah aku telah dibebaskan dari belenggu sihir yang mengepungku, yang memberiku
alasan bahwa aku masih layak hidup. Rasanya seperti perasaan campuran yang sulit aku
ungkapkan dengan jelas; ada rasa lega, kelelahan, kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang
bercampur. Hutan ini tergelap, dan aku terlalu takut untuk membawa apapun yang bisa bersinar
dan membuatku mudah dikenali. Namun, cahaya rembulan cukup untuk memberi bentuk pada
bayangan pohon dan bebatuan di hadapanku. Aku hanya takut tanpa sadar menginjak ranjau,
tetapi hutan ini sangat luas, semoga aku aman. Langit tanpa awan dengan bintang-bintang
berkelap-kelip seolah sedang merayakan sesuatu. Entah apa yang akan mereka katakan jika tahu
betapa kejamnya tindakan manusia yang ada di bawah mereka. Jika surga juga melihatku,
mereka akan menganggap ku sebagai seorang pengecut yang bahkan tidak pantas disebut anjing.
Candra mungkin benar tentang diriku, tetapi apa lagi yang bisa aku lakukan? Setiap hari yang ku
lalui membuatku merasa semakin bodoh, seolah kecerdasanku semakin luntur setelah
berbulan-bulan bertaruh nyawa di medan perang. Aku merasa terombang-ambing tanpa arah.

Terdengar langkah-langkah kaki di antara pepohonan di sebelah kananku. Langkahnya


tidak pelan, dan tampaknya dia tidak menyadari keberadaanku di sini. Mataku sudah terbiasa
dengan kegelapan malam, sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas: seorang pria dengan
rambut berwarna emas dan kumis tebal. Pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Mengapa dia
berada di sini? Apakah ada orang lain di sekitarnya? Apakah dia tersesat? Ataukah dia sedang
menjaga kelompoknya dari serangan pada malam ini? Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Apakah aku seharusnya pergi sekarang atau mencoba menembaknya? Namun, jika aku
menembaknya, mungkin akan menarik perhatian orang lain. Sepertinya aku perlu mencari cara
lain untuk menanganinya.

Aku sangat beruntung bahwa dia tidak menyadari keberadaanku di sini. Aku dengan
hati-hati mendekati pria tersebut dari belakang, dan tanpa ampun, aku mencekiknya sambil
menutup mulutnya agar dia tidak bisa berteriak. Meskipun dia berusaha keras untuk melepaskan
diri dengan menggigit lenganku, itu sia-sia. Rasa sakit yang dia alami jauh lebih parah daripada
yang dia coba berikan padaku. Tindakannya hanya membuang-buang sisa energi yang
dimilikinya. Tidak akan berlangsung lama sebelum dia kehabisan udara. Aku bisa merasakan
darah hangatku mengalir ke dalam mulutnya. Aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang semakin
lama menjadi semakin panas di malam dingin ini.

Tak pernah ku rasakan kedekatan seperti ini ketika aku membunuh mereka. Lenganku
merangkulnya dengan kekuatan yang tidak pernah ku bayangkan aku miliki, dan tubuhnya
menimpa aku dalam posisi yang sama seperti Tirto pada tubuhku waktu yang lampau—sebuah
kenangan yang tak bisa ku lupakan. Pelukanku kali ini dilakukan untuk mengambil napas
seseorang. Air mata hangatnya membasahi pundakku dan bercampur dengan keringatku.
Wajahnya semerah darah yang ada di nadiku. Bayangkan kami telah menjadi satu, bersatu

20
dengan suhu tubuh kita. Aku bisa merasakan detak jantungnya, dadanya naik dan turun dengan
setiap nafas yang dia ambil. Napas yang harus ku putus selamanya.

Posisi kita begitu intim, seolah aku sedang merangkul seorang kekasih. Apakah
menjauhkan diriku dari semua kematian yang aku sebabkan akan membuatku menjadi monster
yang sama seperti mereka, yang biasa aku sebut penjajah ini? Aku merasa sama dengan mereka
sekarang, bahkan tanpa mereka menyadarinya. Mereka bahkan tidak tahu bahwa aku sama
hangatnya dengan dia, mereka bahkan tidak tahu betapa aku tidak ingin membunuhnya pada saat
ini. Tentara yang ada di tanganku semakin memerah, semakin memberontak, mulutnya terbuka
seolah dia ingin berteriak, tetapi tidak ada sepatah kata yang bisa ia ucapkan.

Aku sangat berharap masih memiliki pisau, pisau apapun agar dia tidak harus merasa
sesakit ini sebelum mati. Agar kehilangan nyawa seseorang bisa terjadi dengan cepat, tanpa aku
harus merasakan setiap otot di tubuhnya berkontraksi saat dia kejang, tanpa aku harus tahu setiap
tangisan, keringat, dan darah yang keluar darinya. Tanpa aku harus melihatnya perlahan-lahan
menghilang selamanya, jauh lebih lambat daripada ketika ku melihat nyawa Tirto meninggalkan
tubuhnya. Dan dia bahkan tidak bisa melihat saudara-saudaranya dalam seragam yang berjanji
untuk saling melindungi satu sama lain. Dia harus melihatku, musuhnya, seseorang yang akan
membunuhnya. Wajah terakhir yang akan ia lihat adalah wajahku, yang akan membawa
kematian kepadanya. Hidupnya tidak berarti, sama seperti kehidupan tentara Belanda atau
Indonesia yang telah mati satu per satu, sama seperti kehidupan Tirto, dan hidupku. Tidak ada
lagi detak jantung di dadanya, tidak ada lagi nafas di paru-parunya. Lehernya berwarna biru dan
ungu, matanya membeku pada ekspresi yang penuh kebencian dan ketakutan.

Aku mencari tanda identitasnya, Raymond. Nama yang tidak akan teringat. Nama yang
hanya menjadi salah satu dari ribuan nama lainnya. Di kantong yang sama dimana aku
menemukan kartu identitasnya aku menemukan sekotak rokok dan korek. Aku mengambil
sepuntung rokok dan menyalakannya dengan korek, kali ini kehangatan api sekarang tidak terasa
sepanas tubuh seseorang yang ada di ujung kehidupannya. Aku hanya mengambil satu hisapan
yang dalam dan memegang rokok itu di antara kedua jariku, sekarang tidak akan ada yang
mengambil rokok ini dariku. Sekarang aku berharap ada orang yang tega memberikanku korek
untuk sepuntung rokok, hanya untuk mengambil rokok itu dari bibirku. Aku berharap aku
memiliki nama, aku berharap aku tahu apa yang ingin ku perjuangkan hingga rela membunuh
untuk hal tersebut. Di saat ini hanya ada aku dan dia, seorang mayat di lantai hutan yang masih
hidup lima menit sebelumnya.

Saat itulah aku menyadari bahwa di dunia ini, ada orang yang terlahir sebagai pemimpi
dan sebagai pelaku di saat bersamaan. Jarang sekali seseorang tetap menjadi keduanya sepanjang
hidupnya. Ketika saatnya tiba, para pemimpi mungkin kehilangan kemampuan untuk
mewujudkan mimpinya, jadi mereka akan berusaha meyakinkan para pelaku untuk menjadikan

21
mimpi mereka kenyataan. Aku adalah seorang pelaku, aku tidak memiliki mimpi pribadi. Itulah
yang aku sadari; aku dengan mudah tersesat dalam mimpi orang lain. Tirto adalah seorang
pemimpi yang memaksakan dirinya menjadi pelaku karena dia tidak yakin bisa menjadi
pemimpi. Dan Candra adalah seorang pelaku yang melakukan segala sesuatu untuk mengikuti
perintah para pemimpi, karena dia percaya dia juga bisa menjadi seorang pemimpi. Namun, pada
akhirnya, kita semua hanya nama-nama yang tak berarti. Yang diingat adalah orang yang bisa
menjadi pemimpi dan pelaku, seseorang yang meninggalkan jejak yang tak terlupakan.

Mereka memimpikan sebuah negara, sebuah dunia di mana kebebasan merajai dan tidak
ada yang namanya penjajah. Mereka menghidupkan mimpi itu dan membawanya kembali hidup
saat mimpi itu diancam. Mereka bersedia melakukan segala yang diperlukan untuk mewujudkan
mimpi itu, dan aku... Aku telah terjebak dalam mimpi mereka.

Sama seperti Raymond, nama yang tidak berarti di luar kenyataan bahwa kematiannya
diberikan untuk negaranya. Dan ia akan dihormati karena itu. Kematianku akan sama. Biarkan
para pemimpi terus bermimpi, semoga dalam hidup mereka, mereka tidak akan kehilangan
kemampuan itu. Bermimpi untukku, yang tak memiliki nama. Bermimpi untuk negara yang akan
membunuhku, yang akan menjadikan kematiannya sesuatu yang hebat dan megah, yang harus
terjadi. Negara yang akan menjadi sesuatu yang terlepas dari genggaman para pembunuh dan
yang terbunuh. Karena aku sudah tidak bisa bermimpi. Mimpi-mimpiku telah mati bersama
Tirto, dan akan mati bersama ragaku. Mimpi-mimpiku bukanlah mimpi yang indah, melainkan
mimpi yang egois. Namun, tubuhku tidak akan menjadi egois. Biarkan para penyair berkata
bahwa aku mati dengan semangat membara untuk negara ini. Biarkan mereka berbohong dan
berkata bahwa mimpi-mimpiku adalah negara ini. Aku tidak akan mati demi kemuliaan, aku
tidak akan mati demi semangat. Tetapi aku akan mati untuk negara ini.

Aku berbalik badan dan melanjutkan perang ini, ketika aku bertemu dengannya aku
membuat Pendeng berjanji untuk pergi ke Sunda jika aku tidak bisa sampai kesana sendiri.
Dialah saksi mata hembusan udara terakhir Tirto, dialah harapan yang dimiliki orang tuanya
untuk merasakan kedekatan dengan putra tunggal mereka. Keesokan harinya aku tidak lagi
memiliki napas.

22

Anda mungkin juga menyukai