Anda di halaman 1dari 5

Catatan di Benak Emilius

Emilius tak pernah lagi mengunci kamar. Ia selalu menanti Kinarsih, pada petang hari.
Perempuan itu ia biarkan mendatangi kamarnya, membiusnya dengan dongeng-dongeng dari
buku lawas yang dibeli oleh perempuan itu di Pasar Yaik. Dengan cara itulah mereka akhirnya
akrab.

Emilius 23 tahun, tetapi di dalam badannya bersemayam jiwa anak enam tahun. Ia senang
melukis dan mendengarkan musik klasik. Ia juga mengarahkan kipas hanya ke kasurnya,
sehingga tiupan angin tidak merobohkan kartu remi yang disusunnya seperti piramid.

Semua kaosnya polos, tersimpan rapi di dalam lemari dan tersedia beraneka warna. Ia akan
memakai putih pada Senin, kuning pada Selasa, dan ia tak sabar menanti Minggu untuk
memakai kaos ungu, warna favoritnya. Hidupnya bergulir seperti itu, entah sampai kapan.

Selain itu, ia juga menyukai dongeng. Buku-buku dongengnya berdesak-desakan hingga rak
kayunya bengkok, pemberian seorang ibu yang telah pergi. Ya, ia masih ingat bagaimana ibunya
meninggalkannya, tetapi ia juga ingat bahwa ibunya pernah menjadi ibu yang menyenangkan.

Dulu, menjelang tidurnya, ibunya sering datang ke kamar, duduk di sudut kasur dan
menceritakan kisah-kisah ajaib tentang naga, penyihir, dan kutukan-kutukan. Ibunya juga sering
membawanya naik motor ke hutan karet. Mereka lalu berjalan menyusuri hutan dengan senter,
kemudian menyelinap di pagar kawat yang menganga untuk menuju sebuah danau.

Selain jernih; memantulkan bulan dan ribuan bintang di langit, danau itu milik perumahan elit,
dijaga ketat oleh satpam dan anjing hitam yang mukanya serupa si satpam. Oleh karena itu,
mereka hanya menyelinap pada malam hari di danau itu, duduk di bibir danau dengan rumput
sebagai alas, bercakap-cakap sambil melempari air dengan kerikil.

Karena sering menyelinap ke danau, benak Emilius mencatat detail danau itu. Dibukanya
catatan itu di dalam kamar ketika ia berhadapan dengan selembar kanvas. Ia pun melukis danau
itu seiring "Symphony No. 5" mengalun di kamarnya.
Suatu ketika ia merasa ibunya murung, sorot matanya meredup. Kemurungan itu berlangsung
hingga berhari-hari. Ibunya jadi sering terdiam di teras, menatap udara dengan tatapan kosong,
tertidur di sofa dengan wajah kusam dan kering seperti daun-daun di musim gugur yang
menguning, mencokelat, kemudian tanggal dari ranting.

Ibunya juga menghabiskan banyak waktu di depan TV, hingga lupa masak dan mandi. Malam
harinya, ibunya mendongeng dengan suara datar—tanpa gairah—, sering menguap, dan
mengakhirinya di tengah kisah dengan mengatakan, "Kita lanjutkan besok."

Sebuah malam mendadak mencekam ketika orang tuanya saling berteriak. Teriakan mereka
memekakkan telinga sehingga ia menyesal tidak terlahir tuli.

"Aku seperti di penjara!"

"Aku pun benci pekerjaanku, tetapi tetap mengerjakannya!"

"Kau tak tahu rasanya jadi aku!"

"Dia anakmu, dia anak kita!"

Di dalam kamarnya yang sunyi, Emilius mondar-mandir di lantai, mengerang-erang, menggaruk-


garuk kepala, dan menggosok-gosok lengan. Ia lakukan itu tiap kali badai dari luar kamar
menggempurnya.

Suatu pagi, ketika ayahnya pergi bekerja, ibunya memenuhi tas dengan baju-baju. Emilius
hanya terdiam di ambang pintu sambil menggulung-gulung ujung rambut keritingnya.
Wajahnya tampak gelisah, seolah-olah tahu bahwa hal buruk akan terjadi sebentar lagi.

"Nenekmu sakit," kata ibunya. "Aku harus menjenguknya."

Ia menunduk ketika ibunya meraba pipinya.

"Aku pulang Selasa," bisik ibunya.


Ia mengikuti ibunya menuju jalan raya. Di tepi jalan, ia berhenti sementara ibunya berada di
seberang jalan. Mobil dan motor hilir-mudik dan tak putus-putus, menimbulkan kebisingan
yang membuatnya kebingungan.

"Aku pulang Kamis!" teriak ibunya di tengah desir angin.

Lalu, bus biru bergerak lamban dari utara, kemudian menepi dan melahap ibunya dan
menyisakan trotoar kosong yang sunyi di tengah keramaian. Semenjak itu, ia mengawetkan
kesedihan di dalam dada.

Malamnya, setelah menutup warung yang terletak di tepi jalan raya, seorang tetangga
menemukannya di bawah tiang lampu lalu lintas.

"Dia berjongkok di tepi jalan," kata si tetangga kepada ayah dari Emilius.

Di balik punggung si tetangga, Emilius menunduk seraya menggosok-gosok lengan. Ia tak


menangis; tak setiap patah hati ditandai dengan tangisan. Dan sejak itu ia melukis dengan
warna-warna gelap.

Dua tahun kemudian, badai sekali lagi menggempurnya. Ayahnya membawa pulang Kinarsih,
perempuan 29 tahun. Padahal usia ayahnya 53 tahun.

"Kami akan menikah," kata ayahnya di ruang tamu.

Sesaat kemudian, Emilius balik ke kamar, lalu memutar lagu-lagu Greenday dengan volume
penuh, sehingga dinding dan bingkai-bingkai jendela bergetar. Gerimis baru saja reda di luar,
tetes-tetes air bergelantungan di ujung atap, berkilauan karena sinar matahari sore.

***

Pada siang hari, Kinarsih muncul di ambang pintu kamarnya, mengetuk pintu itu sambil
tersenyum manis. Mereka saat itu telah akrab.

Seperti biasa, Emilius terdiam. Perempuan itu lalu melihat-lihat deretan kanvas yang tegak di
sudut-sudut lantai; beberapa lukisan masih basah, dan beberapa telah kering.
"Kau berbakat."

"Ini danau yang kemarin malam, bukan?"

"Kau masih ada kanvas lain?"

"Aku ingin dilukis."

"Di mana kau meletakkannya?"

Dengan langkah kikuk, Emilius menuju kasur untuk mengambil kanvas di kolong.

Kinarsih duduk di bangku plastik, sementara Emilius mulai melukis dengan cat minyak di palet.
Ketika terbenam dalam keheningan, ia mencatat detail Kinarsih dan menyimpannya di dalam
benak: Perempuan itu memiliki rahang yang tegas dan tangan yang liat. Rambut hitamnya
terurai sebahu, bibirnya bersih tanpa lipstik, dan matanya setenang permukaan telaga.

Ia teringat suatu malam, ketika Kinarsih mengajaknya naik ke genteng. Sambil menikmati
energen, mereka menatap langit di tengah desir angin. Perempuan itu lalu bercerita bahwa
dirinya berasal dari desa.

"Keluargaku punya warung di jalan raya. Di situlah aku melihat ayahmu pertama kali."

Sambil menorehkan cat di kanvas, Emilius juga teringat saat Kinarsih menggandengnya di Kota
Lama dan melihat lukisan-lukisan di sudut jalan, menyelinap ke danau dan menghabiskan
malam-malam indah seperti saat bersama ibunya. Ia juga teringat saat perempuan itu
mendongeng, kemudian tertidur di sampingnya dengan buku tengkurap di dada. Ketika
terbangun, perempuan itu selalu mengucapkan, "Selamat pagi, nasib baik!"

Sensasi aneh menggempur dadanya tiap kali Kinarsih mendekatinya. Ia merasa tenteram, tetapi
juga bergejolak, selalu ingin berdekatan, tetapi juga merasa bingung. Mereka lalu dikejutkan
suara klakson mobil.

"Ayahmu!" Kinarsih bangkit.


Suara-suara yang sebelumnya tak disadari oleh Emilius mulai menusuk-nusuk telinganya seperti
ribuan jarum. Ia mendengar tawa Kinarsih, tawa ayahnya, dan dengus napasnya sendiri yang
tergesa-gesa. Betapa dadanya perih, seperti dijerat kawat berduri.

Ia terdiam malamnya, menatap lukisan Kinarsih yang belum selesai, diiringi oleh lagu-lagu
kelam yang kian membuatnya terperosok ke dalam kesunyian. Di tengah segala keheningan, ia
mendengar rintihan Kinarsih, rintihan ayahnya, dan rintihan kaki-kaki dipan dari kamar sebelah,
seolah-olah dipan itu mau ambrol.

Ia lalu beranjak dari kasur, keluar kamar dengan kepala meledak-ledak. Dan saat melewati
kamar mereka, dari sela-sela pintu, ia melihat mereka berkeringat dan saling tindih. Betapa ia
hancur lebur karena pemandangan itu. Oleh sebab itu, ia meninggalkan rumah.

"Dia berjongkok di tepi jalan!" kata si tetangga, pemilik warung di dekat jalan raya. Di halaman
rumah, Emilius tak hanya menjerit-jerit dan menangis malam itu, tetapi juga meremas kepala
saat ayahnya mendekat.

Nama Penulis : Baron Yudo Negoro

Alamat. : Jl Truntum 4 No 6, Tlogosari, Semarang

Email : baronnegoro@gmail.com

Facebook : Baron Negoro

No HP : 0882 2725 0258

Nomor Rekening : 0170189337 Bank BCA an Baron Yudo Negoro

Profil Singkat : Penulis adalah seorang buruh di Semarang.

Anda mungkin juga menyukai