Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PROSEDUR PEMEKARAN KECAMATAN OLEH PEMERINTAH DAERAH


KABUPATEN

A. Pengaturan Pemekaran Kecamatan Oleh Pemerintah Kabupaten Menurut


Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Pemekaran dan penggabungan wilayah saat ini merupakan salah satu aspek penting

dalam pelaksanaan otonomi daerah.Hal ini bertujuan untuk memperkuat hubungan antara

pemerintah daerah dan masyarakat guna percepatan pembangunan daerah. Oleh karena

melalui interaksi yang lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru maka

masyarakat akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik

sebagai warga negara.

Dengan adanya perubahan otonomi daerah sampai dengan tingkat kecamatan

memberikan pilihan-pilihan strategis bagi pemerintah daerah untuk melakukan dan

mengeluarkan kebijakan pemekaran di sejumlah kecamatan dengan menggabungkan

desa-desa yang berada didalam lingkup pemerintahan kecamatan yang bersangkutan. 1

Kebijakan pemekaran kecamatan yang dilakukan saat ini oleh bupati guna

memperpendek rentang kendali sehingga dapat meningkatkan efektifitas

penyelenggaraan pemerintahan di daerah kabupaten.Selain itu juga pemekaran kecamatan

dilakukan sebagai sebuah terobosan guna meningkatkan pelayanan bagi masyarakat serta

untuk mempercepat pembangunan.Pemekaran kecamatan merupakan salah satu wujud

nyata dengan adanya otonomi daerah.Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk

menciptakan kesejahteraan rakyat.

1
Okti Selvia, “Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Pemberian Pelayanan Di Kecamatan Sentajo Raya
Kabupaten Kuantan Singingi (Studi Kasus Seksi Pemerintahan)”, FISIP Universitas Riau, Kampus Bina Widya
Km.12,5 Simpang Baru Panam, Pekanbaru, 2009, hal. 82
Walaupun tujuan pemekaran kecamatan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten

memiliki tujuan yang positif yaitu untuk menyelesaikan masalah ketertinggalan suatu

daerah kecamatan namun harus memperhatikan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.Oleh karena itu maka pemekaran suatu

kecamatan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun

2014 dan PP No. 19 Tahun 2008.Maka dengan kewenangan yang ada pada pemerintah

daerah kabupaten dapat melakukan pemekaran kecamatan sebagaimana diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sehubungan dengan itu maka dalam Pasal 221 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No.

23 Tahun 2014 menyatakan sebagai berikut :

Pasal 221 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Daerah
kabupaten/kota membentuk Kecamatan dalam rangka meningkatkan koordinasi
penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat
Desa/kelurahan.

Pasal 221 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Kecamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Perda Kabupaten/Kota
berpedoman pada peraturan pemerintah.

Pasal 221 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pembentukan Kecamatan yang telah mendapatkan
persetujuan bersama bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota, sebelum ditetapkan
oleh bupati/ wali kota disampaikan kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk mendapat persetujuan.

Selanjutnya pembentukan kecamatan harus memenuhi persyaratan dasar, persyaratan

teknis, dan persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 222 ayat (1), ayat

(2), ayat (3), dan ayat (4) UU No. 23 Tahun 2014, sebagai berikut :

Pasal 222 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pembentukan
Kecamatan sebagaimana dimaksud Pasal 221 ayat (1) harus memenuhi persyaratan
dasar, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif.
Pasal 222 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Persyaratan dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a Jumlah penduduk minimal;
b Luas wilayah minimal;
c Jumlah minimal Desa/kelurahan yang menjadi cakupan; dan
d usia minimal Kecamatan.

Pasal 222 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a Kemampuan keuangan Daerah;
b Sarana dan prasarana pemerintahan; dan
c Persyaratan teknis lainnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 222 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a Kesepakatan musyawarah Desa dan/atau keputusan forum komunikasi
kelurahan atau nama lain di Kecamatan induk; dan
b Kesepakatan musyawarah Desa dan/atau keputusan forum komunikasi
kelurahan atau nama lain di wilayah Kecamatan yang akan dibentuk.

Kecamatan diklasifikasikan atas beberapa tipe sebagaimana diatur dalam Pasal 223

ayat (1) dan ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014. Klasifikasi tipe kecamatan yang diatur

dalam Pasal 223 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, sebagai berikut :

Pasal 223 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Kecamatan
diklasifikasikan atas:
a Kecamatan tipe A yang dibentuk untuk Kecamatan dengan beban kerja yang
besar; dan
b Kecamatan tipe B yang dibentuk untuk Kecamatan dengan beban kerja yang
kecil.

Pasal 223 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Penentuan beban kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk, luas
wilayah, dan jumlah Desa/kelurahan.

Kecamatan dipimpin oleh seorang camat yang bertanggungjawab kepada

bupati/walikota melalui sekretaris daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 224 ayat (1)

UU No. 23 Tahun 2014. Dalam Pasal 224 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan

bahwa Kecamatan dipimpin oleh seorang kepala kecamatan yang disebut camat yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris

Daerah.

Syarat pembentukan kecamatan selain diatur dalam Pasal 221 dan Pasal 222 UU No.

23 Tahun 2014 juga diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 PP No. 19

Tahun 2008. Oleh karena itu maka pemekaran kecamatan yang dilakukan oleh

pemerintah daerah kabupaten harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik

kewilayahan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No. 19 Tahun 2008. Dalam Pasal 3 PP

No. 19 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Syarat administratif pembentukan kecamatan diatur dalam Pasal 4 PP No. 19 Tahun

2008. Dalam Pasal 4 PP No. 19 Tahun 2008 menyatakan bahwa syarat administratif

pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi:

a Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;

b Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang akan

dibentuk menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;

c Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa

dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di seluruh

wilayah kecamatan baik yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru

maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan kecamatan;

d Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan Keputusan Lurah atau

nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamatan baik yang akan

menjadi cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang

persetujuan pembentukan kecamatan;


e Rekomendasi Gubernur.

Persyaratan teknis pembentukan kecamatan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)

PP No. 19 Tahun 2008, sebagai berikut :

Pasal 7 ayat (1) PP No. 19 Tahun 2008 menyatakan bahwa Persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
a Jumlah penduduk;
b Luas wilayah;
c Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan;
d Aktivitas perekonomian;
e Ketersediaan sarana dan prasarana.
Pasal 7 ayat (2) PP No. 19 Tahun 2008 menyatakan bahwa Persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian yang dilakukan
pemerintah kabupaten/kota sesuai indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Syarat fisik kewilayahan pembentukan kecamatan diatur dalam Pasal 5 PP No. 19

Tahun 2008. Dalam Pasal 5 PP No. 19 Tahun 2008 menyatakan bahwa syarat fisik

kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi cakupan wilayah, lokasi

calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Selanjutnya terkait cakupan wilayah,

lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan diatur dalam Pasal 6 ayat (1),

ayat (2), dan ayat (3) PP No. 19 Tahun 2008. Dalam Pasal 6 ayat (1) PP No. 19 Tahun

2008 menyatakan bahwa Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 untuk

daerah kabupaten paling sedikit terdiri atas 10 desa/kelurahan dan untuk daerah kota

paling sedikit terdiri atas 5 desa/kelurahan. Kemudian dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 19

Tahun 2008 menyatakan bahwa Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal

5 memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak

geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya. Dan dalam

Pasal 6 ayat (3) PP No. 19 Tahun 2008 menyatakan bahwa Sarana dan prasarana
pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi bangunan dan lahan untuk

kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

B. Kewenangan Pemekaran Kecamatan Kisar Utara Dengan Ketentuan Peraturan


Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008.
Lahirnya kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 merupakan

jawaban atas tuntutan reformasi politik dan demokratisasi serta pemberdayaan

masyarakat daerah.Karena selama ini sebelum adanya UU No. 23 Tahun 2014 ini

kebijaksanaan otonomi daerah di Indonesia mengacu pada sistem sentralisasi.

Pelaksanaan sistem sentralisasi tersebut membawa beberapa dampak bagi

penyelenggaraan pemerintahan daerah.Diantaranya yang paling menonjol selama ini

adalah dominasi pusat terhadap daerah yang menimbulkan besarnya ketergantungan

daerah terhadap pusat.Pemerintah daerah tidak mempunyai keleluasaan dalam

menetapkan program-program pembangunan di daerahnya.Demikian juga dengan sumber

keuangan penyelenggaraan pemerintahan yang diatur oleh Pusat.Kondisi tersebut

mendorong timbulnya tuntutan agar kewenangan pemerintahan dapat didesentralisasikan

dari pusat ke daerah.Desentralisasi merupakan pembagian kekuasaan kepada

daerah.Dengan demikian daerah otonom mempunyai kewenangan yang luas untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat, namun tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi

berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan

masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan

kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah

untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam

membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika

membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya

hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta

keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan

kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara

keseluruhan.

Terkait dengan itu maka guna memperpendek pelayanan publik yang maksimal

terhadap masyarakat serta untuk memperpendek rentang kendali penyelenggaraan

pemerintahan di daerah maka pemerintah pusat memberikan otonomi kepada pemerintah

daerah. Untuk itu maka salah satu aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah saat

ini yaitu berkaitan dengan pemekaran dan penggabungan wilayah.Oleh karena itu maka

pemerintah daerah dalam mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pemekaran

kecamatan merupakan pilihan strategis bagi pemerintah daerah.

Terkait dengan hal tersebut maka salah satu bentuk nyata dari otonomi daerah yaitu

pemerintah daerah melakukan pemekaran kecamatan. Pemekaran tersebut merupakan

suatu proses pemecahan dari satu kecamatan sebelumnya dan membentuk satu kecamatan

baru dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat serta memperpendek rentang

kendali penyelenggaraan pemerintahan serta pelayanan publik.


Pemerintah daerah dengan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-

undangan dapat melakukan suatu pemekaran kecamatan di daerahnya menjadi dua

kecamatan atau lebih jika syarat-syarat yang telah ditentukan dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan telah terpenuhi.Persyaratan-persyaratan tersebut seperti kelayakan

administratif, kelayakan fisik kewilayahan, dan kelayakan teknis.Selanjutnya ada juga

indikator yang harus dipenuhi yakni jumlah penduduk, luas wilayah, rentang kendali,

aktivitas prekonomian, dan ketersediaan sarana prasarana. Persyaratan terkait

pembentukan suatu kecamatan telah diatur secara jelas dalam Pasal 221 dan Pasal 222

UU No. 23 Tahun 2014 juga diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7

PP No. 19 Tahun 2008.

Pemekaran kecamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah diharapkan untuk

dapat menciptakan kemandirian suatu daerah. Oleh karena itu keputusan terkait dengan

pemekaran tersebut harus lebih cermat dan bijaksana untuk melakukan otonomi daerah

berdasarkan kapasitas yang dimiliki agar dalam pelaksanaannya tidak tergesa-gesa dan

cenderung bersifat politis. Jika hal ini tidak diperhatikan secara serius, maka pemekaran

sebuah kecamatan tidak akan memberi dampak positif terhadap peningkatan pelayanan

dan kesejahteraan masyarakat, tetapi cenderung akan membebani keuangan daerah dan

masyarakat.

Sehubungan dengan itu maka persyaratan-persyaratan terkait dengan pembentukan

sebuah kecamatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

ini harus dipatuhi oleh pemerintah daerah. Dalam Pasal 1 angka 6 PP No. 19 Tahun 2008

menyatakan bahwa pembentukan kecamatan adalah pemberian status padawilayah

tertentu sebagai kecamatan di kabupaten/kota. Pasal 2 ayat (1) PP No. 19 Tahun 2008
menyatakan bahwa kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Peraturan

Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini. Dan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 19

Tahun 2008 menyatakan bahwa pembentukan kecamatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat berupa pemekaran 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan atau

lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan dari beberapa kecamatan.

Akan tetapi pemekaran Kecamatan Kisar Utara pada tahun 2012 yang dilakukan oleh

Pemda Kab.MBD dengan mengeluarkan Perda Kab. MBD No. 10 Tahun 2012

bertentangan dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam Pasal 221 dan

Pasal 222 UU No. 23 Tahun 2014 juga diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan

Pasal 7 PP No. 19 Tahun 2008.Hal ini disebabkan karena wilayah Kecamatan Kisar Utara

hanya memiliki 3 (tiga) desa yaitu Desa Lebelau, Desa Purpura, dan Desa Nomaha.

Sedangkan salah satu persyaratan pembentukan kecamatan baru di tingkat kabupaten

yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PP No. 19 Tahun 2008 harus memiliki paling sedikit

terdiri atas 10 desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5

desa/kelurahan.

Hal ini menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Pemda Kab.MBD dalam

membentuk Kecamatan Kisar Utara merupakan suatu tindakan yang menyimpang dalam

penyelenggaran pemerintahan di daerah.Kemudian tindakan tersebut tidak sesuai dengan

asas-asas umum pemerintahan yang baik, selanjutnya disingkat AUPB.Oleh karena itu

maka dalam melakukan tindakan maupun kebijakan Pemda Kab.MBD harus mengacu

kepada AUPB serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.Sehingga tujuan yang

dicita-citakan dapat terwujud dan sesuai dengan tujuan negara.Oleh sebab itu maka satu

hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pemekaran Kecamatan Kisar Utara yang tidak
sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

dapat memberikan dampak yang buruk dari masyarakat terhadap Pemda Kab.MBD dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dampak buruk tersebut berupa masyarakat

tidak akan mempercayai Pemda Kab. MBD karena Pemda Kab.MBD telah melanggar

ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan syarat untuk pemekaran sebuah

kecamatan.Padahal pemekaran kecamatan bertujuan untuk memajukan pembangunan

dengan cepat serta meningkatkan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas maka pemekaran Kecamatan Kisar Utara yang dilakukan

oleh Pemda Kab.MBD tidak sesuai dengan ketentuan PP No. 19 Tahun 2008.Hal ini

disebabkan karena Pemda Kab.MBD dalam melakukan pemekaran Kecamatan Kisar

Utara tersebut tidak mempertimbangkan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu kelayakan administratif, kelayakan fisik

kewilayahan, dan kelayakan teknis.Adapun indikator yang harus terpenuhi yaitu jumlah

penduduk, luas wilayah, rentang kendali, aktivitas prekonomian, dan ketersediaan sarana

prasarana. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 221 dan Pasal 222 UU No. 23 Tahun

2014 dan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 PP No. 19 Tahun 2008.

Anda mungkin juga menyukai