APEC memiliki tiga pengamat (observer), yaitu ASEAN Secretariat, Pacific Economic
Cooperation Council (PECC), dan Pacific Islands Forum (PIF) Secretariat.
1. Consensus, yang berarti bahwa semua keputusan di APEC harus disepakati oleh dan
bermanfaat bagi 21 Ekonomi Anggota.
2. Voluntary and non-binding yang berarti semua kesepakatan dalam forum APEC
dilakukan secara sukarela dan tidak mengikat.
3. Concerted unilateralism, yang berarti pelaksanaan keputusan dilakukan secara
bersama-sama sesuai dengan kemampuan tiap Ekonomi, tanpa syarat resiprositas.
4. Differentiated time frame yaitu bahwa setiap Ekonomi maju diharapkan melakukan
liberalisasi terlebih dahulu
“… with the industrialized economies achieving the goal of free and open trade and
investment no later than the year 2010 and developing economies no later than the year
2020."
Perdagangan dan investasi yang lebih terbuka, diharapkan akan menurunkan dan,
dalam jangka panjang, menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif bagi perdagangan
dan investasi, membuka pasar (khususnya bagi produk-produk Indonesia),
meningkatkan perdagangan dan investasi antar Ekonomi anggota APEC, mendorong
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Ekonomi anggota APEC, serta meningkatkan
standar hidup diseluruh kawasan Asia Pasifik.
Mekanisme kerja APEC bermuara pada para Pemimpin Ekonomi APEC yang melakukan
pertemuan setahun sekali dalam APEC Economic Leaders' Meeting (AELM). Sebelumnya,
para Menteri Luar Negeri dan Menteri Perdagangan APEC menghadiri pertemuan bersama
dalam APEC Ministerial Meeting (AMM). Hasil kesepakatan para Pemimpin Ekonomi dan
Menteri APEC tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh para Pejabat Tinggi (Senior Officials)
APEC yang bertemu lazimnya 3 (tiga) kali dalam setahun. Pada tingkatan teknis, hasil-hasil
pertemuan Senior Officials Meeting (SOM) akan dilaksanakan oleh Komite, Working Groups,
Fora dan Subfora.
Seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu perdagangan dan investasi di kawasan, kerja
sama sektoral di APEC juga semakin luas dan kompleks. Tidak kurang dari 34 kelompok
kerja, fora dan subfora yang menyelenggarakan pertemuan secara rutin. Dalam periode
keketuaan dan ketuanrumahan Indonesia di APEC pada tahun 2013, telah diselenggarkan
sebanyak 182 pertemuan untuk berbagai tingkatan.
Koordinator nasional Indonesia untuk APEC berada di bawah tanggung jawab Kementerian
Luar Negeri. Selain itu, guna mendukung partisipasi aktif Indonesia di berbagai fora dan
subfora APEC dimaksud, berbagai Kementerian/Lembaga nasional terlibat aktif dan
berkontribusi sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, seperti Kementerian
Perdagangan di Committee on Trade and Investment (CTI), Kementerian Koordinator bidang
Perekonomian di Economic Committee (EC), dan Kementerian PPN/Bappenas di SOM
Steering Committee on Economic and Technical Cooperation (SCE).
Sektor swasta, melalui APEC Business Advisory Council (ABAC), juga memegang peran
penting di APEC. Setiap Pemimpin Ekonomi APEC menunjuk dan mengirimkan tiga orang
pengusaha terkemuka sebagai anggota ABAC, guna menyuarakan kepentingan dunia usaha di
masing-masing Ekonomi. Ketua ABAC Indonesia saat ini adalah Wishnu Wardhana dengan
anggota Anindya Bakrie dan Karen Agustiawan, dengan anggota pengganti adalah Gatot
Suwondo, Arief Yahya, dan Erwin Aksa.
Pada tahun 2013, Indonesia kembali menjadi ketua dan tuan rumah KTT ke-21 APEC, setelah
sebelumnya menjadi ketua di tahun 1994. Tema APEC Indonesia 2013 adalah “Resilient
Asia-Pacific, Engine of Global Growth." Kepemimpinan Indonesia telah dimanfaatkan untuk
mewujudkan kawasan Asia Pasifik yang lebih tangguh, berketahanan, dan cepat pulih di
tengah krisis ekonomi, sehingga dapat berperan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi
dunia.
Guna mendukung pencapaian tema tersebut, Indonesia mengusung tiga prioritas utama, yaitu
1. mendorong upaya pencapaian Bogor Goals (Attaining the Bogor Goals) dan
penguatan integrasi ekonomi regional, melalui kerjasama perdagangan dan investasi,
dan dukungan pada sistem perdagangan multilateral.
2. mendorong pertumbuhan berkelanjutan yang merata (Achieving Sustainable Growth
with Equity), termasuk didalamnya penguatan peran UMKM dan wanita dalam
perekonomian, membahas masalah ketahanan pangan, serta mengarusutamakan isu-
isu kelautan di APEC.
3. serta meningkatkan konektivitas kawasan (Promoting Connectivity), khususnya
penguatan infrastruktur fisik, institusional, dan hubungan antar perseorangan di
kawasan, diantaranya melalui peningkatan kerja sama pengembangan dan investasi
infrastruktur, kerja sama lintas batas sektor pendidikan, kerja sama fasilitasi tanggap
darurat bencana alam, serta kerja sama fasilitasi pariwisata di kawasan Asia Pasifik.
APEC China 2014, dengan tema “Shaping the Future thorough Asia Pacific Partnership",
telah mengusung tiga prioritas utama, yaitu i) advancing regional economic integration;
ii) promoting innovative development, economic reform and growth; dan iii) strengthening
comprehensive connectivity and infrastructure development.
Melalui forum APEC CEO Summit, ABAC Dialogue with Leaders dan Indonesia-Tiongkok,
Presiden RI telah menyampaikan program kerja pemerintah untuk lima tahun ke depan
khususnya dalam pengembangan infrastruktur, konektivitas dan industri dalam negeri dan
mengundang para pengusaha untuk berpartisipasi pada pembangunan infrastruktur di
Indonesia.
Hasil KTT APEC 2014 tersebut juga memuat beberapa inisiatif Indonesia yang perlu terus
ditindklanjuti di tahun mendatang, seperti:
a. APEC Connectivity Blueprint, yaitu kelanjutan inisiatif Indonesia pada APEC 2013
di Bali, yang memastikan bahwa kerja sama konektivitas dan infrastruktur menjadi
visi APEC hingga 2025. Dalam kaitan ini, APEC bermanfaat dalam menciptakan
iklim yang kondusif bagi pengembangan infrastruktur dan konektivitas Indonesia.
b. Dukungan tenaga ahli APEC pada pendirian Pusat Kemitraan Pemerintah-Swasta
(PPP Center) di Kementerian Keuangan RI agar berstandar internasional dan
penyusunan suatu Guidebook on PPP Framework inisiatif Indonesia, yang
mengidentifikasi praktek-praktek Kemitraan Pemerintah-Swasta yang baik di
kawasan.
c. Upaya Indonesia untuk mendorong peningkatan kerja sama kelautan yang
komprehensif dan penunjukan Indonesia selaku koordinator isu kelautan di APEC.
Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong kerja sama kelautan di APEC
agar selaras dengan gagasan “Poros Maritim".
d. Upaya Indonesia untuk melanjutkan studi tentang “development products", yang
bertujuan memperjuangkan komoditas seperti minyak sawit, karet alam, kertas, rotan,
dan produk perikanan yang kerap melibatkan petani kecil dan dapat mendukung
pembangunan pedesaan. Upaya ini diharapkan dapat membuka peluang dan
menghilangkan hambatan perdagangan bagi komoditas unggulan tersebut, termasuk
keringanan tarif.
e. Melanjutkan gagasan Indonesia untuk meningkatkan sinergi antara APEC dengan
berbagai organisasi/forum regional dan internasional, sehingga berbagai tantangan
yang menghambat pertumbuhan perekonomian di kawasan dapat dihadapi oleh
berbagai forum sekaligus. Terdapat 3 cara yang diusulkan yaitu dengan mendorong
penyelesaian suatu masalah secara komprehensif, membentuk kerja sama antar
organisasi/forum, dan memperkuat arsitektur kerja sama perdagangan dan investasi
di kawasan.
Posisi geografis Indonesia pada titik persinggungan antara kawasan Asia dan Pasifik secara
alamiah menjadikan Indonesia sebagai jembatan atau penghubung antara kedua wilayah ini.
Posisi strategis ini membawa konsekuensi hadirnya tanggung jawab Indonesia untuk
memainkan peran lebih aktif dalam upaya-upaya menjaga dan mempertahankan stabilitas
kawasan. Dengan kerangka berfikir demikian, dalam kebijakan luar negeri Indonesia, negara-
negara Pasifik menjadi salah satu prioritas utama politik regionalisme Indonesia dewasa ini
disamping ASEAN. Wujud nyata dari sikap aktif Indonesia di kawasan Pasifik tercermin
melalui partisipasi aktif Indonesia selaku penggagas pembentukan SwPD pada tahun 2002
maupun sebagai mitra wicara Pacific Islands Forum sejak tahun 2001 dan sebagai negara
peninjau pada Melanesian Spearhead Group (MSG) sejak tahun 2011.
Keberadaan SwPD diharapkan dapat bersinergi dengan kepentingan nasional Indonesia dan
kepentingan kawasan secara keseluruhan. Sejak dibentuk pada 5 Oktober 2002, forum SwPD
telah menjadi forum penting bagi kawasan Pasifik Barat Daya terutama dalam memfasilitasi
dialog di antara para menteri luar negeri Australia, Indonesia, Filipina, Selandia Baru, Papua
Nugini dan Timor Leste guna membahas isu-isu yang menjadi kepentingan kawasan. Forum
ini telah mendorong diskusi mengenai pemahaman tentang terorisme, demokrasi, isu-isu
maritim, dan konektivitas.
Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) SwPD diadakan setahun sekali dengan tuan rumah
bergiliran. Pada awalnya, tempat sidang adalah antara salah satu kota di negara anggota
ataupun di New York di sela-sela Sidang Umum PBB. Sejak tahun 2004, PTM SwPD selalu
diselenggarakan di sela-sela Sidang ASEAN Ministerial Meeting / Post Ministerial
Conference dan ASEAN Regional Forum(AMM/PMC dan ARF).
PTM SwPD telah diselenggarakan sebanyak 10 kali, yaitu: di Jogjakarta (host: Indonesia), 5
Oktober 2002; di New York (host : New Zealand), 27 September 2003; di Adelaide
(host: Australia), 3 Desember 2004; di Kuala Lumpur (host: Indonesia), 26 Juli 2006; di
Manila (host: Filipina), 31 Juli 2007; di Singapura (host: Timor Leste), 22 Juli 2008; di
Phuket (host: PNG), 21 Juli 2009; di Hanoi (host : New Zealand), 23 Juli 2010; di Bali
(host: Australia), 21 Juli 2011; di Phnom Penh (host: Indonesia), 11 Juli 2012.
Selain konektivitas fisik, people-to-people contact juga tidak kalah penting untuk
dikembangkan. Dalam kaitan ini, kerja sama people-to-people contact yang secara rutin telah
ditawarkan oleh Indonesia kepada negara - negara SwPD antara lain:
1. Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (the Indonesian Art and Culture Scholarship)
2. Journalist Visit Program
3. Beasiswa Dharmasiswa dan Beasiswa Kerja Sama Negara Berkembang (the
Dharmasiswa and the Developing Countries Partnership Scholarship)
4. Diplomatic Training Course for Diplomats
5. Kerjasama Teknik Negara Berkembang (the Indonesian Technical Cooperation
among Developing Countries Programme)
Melalui kegiatan Cultural and Educational Cooperation dan juga Interfaith Dialogue,
Indonesia mencoba untuk melakukan Confidence Building Measure (CBM) dengan kalangan
masyarakat negara-negara anggota SwPD.
Pada PTM SwPD ke-10 di Phnom Penh, Kamboja, para Menlu sepakat untuk mengadakan
Pertemuan Tingkat Menteri Ke-11 SwPD dengan Filipina bertindak selaku tuan rumah, di
sela-sela penyelenggaraan 46th AMM/PMC dan 20th ARF di Brunei Darussalam pada bulan
Juli 2013.
Pada tanggal 7 Juni 1996 ditandatangani sebuah dokumen yang berjudul sama yaitu “Agreed
Principles of Cooperation Among Independent States of Melanesia", Kiriwana, Trobriand
Island, yang isinya menyepakati kerja sama untuk memajukan perekonomian negara anggota.
Keputusan untuk menjadikan MSG sebagai sebuah organisasi sub-regional ditetapkan dalam
sebuah perjanjian yang berjudul “Agreement Establishing the Melanesian Spearhead Group"
yang draftnya telah diselesaikan pada bulan Maret 2007. Dalam Agreement tersebut
disepakati untuk menyertakan FLNKS dari Kaledonia Baru sebagai anggota dengan reservasi
terhadap pasal 10, 11, dan 12 sesuai dengan pasal 19 ayat 5 Agreement tersebut yang
mengatur anggota berstatus sebagai organisasi/wilayah yang bukan negara merdeka.
Dalam KTT ke-16 di Goroka, Papua Nugini, 19 Agustus 2005 disepakati pembentukan
Sekretariat MSG yang berkedudukan di Port Vila. Pada tanggal 14-15 April 2008
diselenggarakan rangkaian pertemuan MSG yang berpuncak pada KTT ke-17 di Port Vila,
Vanuatu, sekaligus peresmian Sekretariat organisasi tersebut.
Pada KTT MSG ke-18 di Fiji, Indonesia diterima sebagai Observer. Dengan menjadi observer
dalam MSG, Indonesia akan dapat bekerja sama lebih erat dan memberikan kontribusinya
kepada negara-negara anggota MSG baik dalam bentuk kerja sama eknomi dan teknik,
termasuk program capacity building maupun bantuan teknis lainnya. Indonesia juga
berkomitmen untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan MSG Regional Police
Academy.
Pada bulan Maret 2012 telah diadakan KTT Khusus MSG guna membahas isu-isu ekonomi,
perdagangan, sosial-budaya dan perubahan iklim. Delegasi Indonesia pada pertemuan ini
dipimpin oleh Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik yang menyampaikan
komitmen Indonesia untuk terus mengembangkan kerja sama dengan negara-negara anggota
MSG.
KTT MSG tahun 2013 diadakan di Noumea, Kaledonia Baru pada tanggal 20-21 Juni 2013.
Pacific Islands Forum (PIF) merupakan organisasi utama di kawasan Pasifik yang didirikan
pada tahun 1971 dengan nama South Pacific Forum (SPF). Negara anggota PIF meliputi 16
negara yaitu: Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Marshall
Islands, Nauru, Niue, Palau, Papua Nugini, Samoa, Selandia Baru, Solomon Islands, Tonga,
Tuvalu, Vanuatu.
Disamping anggota tetap, PIF memiliki dua associate members yaitu Kaledonia Baru dan
French Polynesia. PIF juga memiliki 13 mitra dialog, yaitu: Amerika Serikat, China, Filipina,
India, Indonesia, Inggris, Jepang, Kanada, Korea, Malaysia, Perancis, Thailand, dan Uni
Eropa. Indonesia menjadi mitra wicara PIF sejak tahun 2001.
Sejak tahun 1989 Post Forum Dialogue (PFD) merupakan Pertemuan rutin PIF dengan
negara-negara mitra dialog dan organisasi-organisasi terpilih yang dilakukan setelah
Pertemuan para pemimpin PIF. Sejak bergabungnya Indonesia sebagai negara mitra wicara
PIF, Indonesia tidak pernah absen dalam Pertemuan PFD-PIF.
Partisipasi Indonesia sebagai mitra wicara PIF tidak terlepas dari arti penting kawasan
tersebut bagi Indonesia. Adapun elemen penting dalam hubungan Indonesia dengan kawasan
Pasifik antara lain adalah:
Sebagai bentuk kontribusi Indonesia selaku negara mitra dialog, Indonesia berkomitmen
untuk memberikan program kerja sama teknik dan bantuan teknik lainnya kepada negara-
negara anggota PIF baik dalam kerangka kerjasama bilateral maupun regional. Dalam kaitan
ini, Indonesia telah mengundang dan mengikutsertakan negara-negara di kawasan Pasifik
dalam berbagai lokakarya dan pelatihan yang diadakan oleh Pemerintah Indonesia.
Selain itu, Indonesia juga mengundang pejabat negara-negara anggota PIF untuk
berpartisipasi dalam Bandung Spirit Program (BSP) yang diadakan setiap 2 (dua) tahun di
Indonesia. Untuk tahun 2013, BSP diikuti oleh sembilan pejabat dari Cook Islands, Fiji,
Marshall Islands, Papua Nugini, dan Solomon Islands. Para peserta BSP diantaranya
berkunjung ke Ternate, Propinsi Maluku Utara, yang memiliki karakteristik alam dan
geografis yang hampir sama dengan negara-negara Pasifik.
Pertemuan terakhir PIF yaitu yang ke-43 telah diselenggarakan pada tanggal 27-31 Agustus
2012 di Rarotonga, Cook Islands, dihadiri oleh seluruh negara anggota PIF, kecuali Fiji yang
keanggotaannya tengah dibekukan. PIF ke-43 ini bertemakan “Large Oceans Islands States –
the Pacific Challenges" yang bertujuan menjaga keseimbangan antara pengembangan dan
konservasi sumber-sumber kelautan. Adapun isu-isu utama yang menjadi pembahasan dalam
Pertemuan tersebut diantaranya adalah perikanan, konservasi laut, perubahan iklim,
kesetaraan gender dan kerjasama internasional.
Pertemuan PFD Ke-24 sebagai bagian dari rangkaian pertemuan PIF ke-43 membahas 2 isu
tematik yang menjadi perhatian negara kawasan Pasifik, yaitu: (i) Large Ocean Island States:
Pacific Challenges yang memfokuskan pada perikanan, konservasi laut dan eksplorasi laut
dalam; (ii) Enhancing Development Cooperation yang memfokuskan pada upaya penguatan
sistem nasional melalui kerjasama dengan negara-negara mitra.
Bagi Indonesia, tema kelautan dalam PIF tahun 2012 tersebut sejalan dengan konsep blue
economy yang menjadi bagian dari kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan Indonesia.
Sektor kelautan ini dapat memberikan peluang dalam meningkatkan kerjasama
ekonomi, people to people contacts dan kerjasama teknis antara Indonesia dengan negara-
negara Pasifik.
Pertemuan Tingkat Menteri PFD-PIF ke-25 diadakan di Marshall Islands pada tanggal 6
September 2013.
Latar Belakang
Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation (IOR-ARC) adalah salah satu
organisasi regional dikawasan Samudera Hindia. IOR-ARC dibentuk pada bulan Maret 1997
di Mauritius dan beranggotakan 20 negara (Uni Commoros ditetapkan menjadi anggota ke-20
pada Pertemuan Tingkat Menteri IOR-ARC ke-12, November 2012 di India) yang terletak di
kawasan yang strategis bagi rute perdagangan dan jalur ekonomi yang menghubungkan
Samudera Pasifik dan Atlantik. Indonesia memiliki kepentingan dikawasan ini karena
kawasan ini merupakan jalur ekonomi yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Atlantik.
IOR--ARC diharapkan dapat mendorong kerja sama ekonomi, perdagangan dan investasi
serta meningkatkan people-to-people contact antara negara-negara di Samudera Hindia yang
menjadi anggota IOR-ARC.
IOR-ARC bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi dalam kawasan. Adapun
kerja sama IOR ARC digerakkan melalui tiga jalur, yaitu jalur pemerintah, jalur akademisi,
dan jalur bisnis. Adapun kerangka kerja sama IOR ARC dikembangkan melalui tiga Working
Group yaitu:
Setiap negara anggota memiliki focal point pada masing-masing pilar kerja sama guna
mendorong kerja sama efektif di masing-masing pilar serta mastikan bahwa berbagai
pandangan dan kepentingan tercermin sepenuhnya dalam program kerja organisasi IOR-ARC.
Sementara itu, mekanisme kelembagaan kerjasama dilakukan melalui pertemuan Council of
Ministers (COM) yang diselenggarakan setahun sekali dan Committee of Senior Officials
(CSO) yang diselenggarakan dua kali dalam satu tahun.
Indonesia merupakan anggota IOR ARC yang cukup aktif. Sejak pertemuan Council Of
Ministers (COM) ke-8, Mei 2008 di Teheran, Indonesia terlibat secara langsung dalam
beberapa proyek IOR-ARC, antara lain mengusulkan penyelenggaraan Training on Micro-
Finance, penawaran Program Beasiswa Kerjasama Negara Berkembang (KNB) dan Program
Dharmasiswa untuk program Non-Gelar. Selain itu, Indonesia juga berkesempatan untuk
melakukan sharing of knowledge terkait strategic actions Indonesia dalam menangani flu
burung di tanah air.
Selama tahun 2010 Indonesia telah berpartisipasi dalam beberapa kegiatan di kerangka
kerjasama IOR-ARC yaitu: (1) Iran Biotech 2010, 13-15 April 2010, di Iran; (2) Specialized
Training Course for Foreign Diplomats for IOR-ARC Member States, 28 April - 11 May
2010; (3) Regional Experts Meeting on Herbal Medicine Processing IOR-ARC, Tehran, 19-21
Mei 2010. Sebagai tindak lanjut pertemuan tersebut akan dibentuk Indian Ocean Rim
Traditional Medicine Network (IORTMNET) dan India telah bersedia untuk menjadi tuan
rumah pertemuan yang sama pada tahun 2012.
Selain itu Indonesia juga terlibat aktif dalam beberapa Sub Committee yang membahas isu-isu
khusus antara lain : (1) Anggota Governing Committee untuk Special Fund sejak tahun 2008-
2010; (2) Anggota Sub Committee untuk pembahasan restrukturisasi Indian Ocean Rim
Academic Group (IORAG) yang digagas oleh Oman; (3) Anggota Sub Committee untuk
pembahasan amandemen statuta University Mobility in Indian Ocean Region (UMIOR) .
Perkembangan Terbaru
Dalam pertemuan Council of Ministers ke-11 tahun 2011 di Bangalore, IOR-ARC telah
menetapkan enam bidang prioritas yaitu: (i) Keamanan dan Keselamatan Maritim, (ii)
Fasilitasi Perdagangan dan Investasi, (iii) Manajemen Perikanan, (iv) Pengurangan Resiko
Bencana, (v) Kerja sama Akademis dan Ilmu Pengetahuan dan (vi) Teknologi, serta Promosi
Pariwisata dan Pertukaran Budaya. Keenam bidang prioritas tersebut sejalan dengan prioritas
Indonesia terutama di bidang kerja sama maritim, pariwisata dan pertukaran budaya.
Indonesia memiliki kepentingan untuk mengembangkan wilayah laut Indonesia tidak hanya
sebagai jalur perdagangan yang potensial tetapi juga potensi pemanfaatan sumber daya laut di
bidang IPTEK dan pariwisata.
Pada pertemuan Council of Ministers (COM) ke-12 pada tanggal 2 November 2012, di
Gurgaon, India, Indonesia telah ditetapkan menjadi Wakil Ketua untuk periode 2013-2015
dan kemudian sebagai Ketua untuk periode 2015-2017. Untuk itu, Indonesia akan
menjadi host penyelengaraan rangkaian Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) IOR-ARC yang
umumnya terdiri dari pertemuan 3 subfora/Working Groups di tingkat teknisIORAG, IORBF
dan WGTI, dilanjutkan dengan tingkat SOM (CSO) dan PTM (COM).
Salah satu hasil pada pertemuan ini adalah mengenai perubahan nama organisasi dari IOR-
ARC menjadi Indian Ocean Rim Association (IORA) dan masuknya Uni Commoros menjadi
anggota ke-20 dan Amerika Serikat menjadi mitra dialog ke-6.
Tujuan utama didirikannya Uni Afrika adalah untuk menghapuskan sisa-sisa pengaruh
penjajahan dan sistem apartheid, meningkatkan persatuan dan solidaritas diantara negara-
negara Afrika, membentuk mekanisme koordinasi guna menunjang peningkatan kerjasama
diantara negara-negara di Afrika, melindungi dan mempertahankan kedaulatan dan integritas
territorial dari negara anggota dan untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam
kerangka PBB.
Memahami perkembangan di Afrika tersebut, pada Januari 2012 Indonesia telah menjadi
salah satu negara observer pada Uni Afrika dengan Duta Besar RI di Addis Ababa
merupakan Accredited Ambassador to the African Union. Status observer pada Uni Afrika
tersebut telah memberikan peluang yang lebih luas bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan
kerjasama dengan negara-negara Afrika secara keseluruhan.
Indonesia secara aktif mengoptimalkan status observer nya pada UA guna meningkatkan
kerja sama dengan negara-negara Afrika secara keseluruhan. Salah satu bidang kerja sama
yang dikembangkan oleh Indonesia dengan UA adalah bidang pertanian yaitu dengan
memberikan bantuan kerja sama teknis berupa pelatihan di bidang pertanian
yaitu International Training Workshop on Water Management in Agriculture for African
Union Member Countries yang telah diselenggarakan pada 15 – 17 Mei 2013 di Addis Ababa
dan kemudian dilanjutkan dengan field trip ke Bali pada 18 – 23 Mei 2013 bagi 9 peserta dari
Liberia, Sudan, Kenya, Tunisia, Ethiopia, Mozambik, Tanzania, Uganda dan Ajazair. Selain
itu, Indonesia juga telah berkomitmen untuk memberikan bantuan berupa 50 traktor tangan
bagi negara-negara UA dan disalurkan melalui UA.
Pemerintah Indonesia juga telah diundang untuk menghadiri Special Anniversary Summit of
the African Union yang merupakan perayaan ulang tahun ke-50 Organization of the African
Unity/African Union (OAU/AU) dan diselenggarakan di Addis Ababa pada tanggal 25 Mei
2013. Diundangnya Indonesia pada perayaan ulang tahun tersebut dikarenakan UA
memandang Indonesia memiliki peranan besar dalam membantu perjuangan kemerdekaan
bangsa-bangsa Afrika serta kepeloporan Indonesia pada Konferensi Asia-Afrika 1955 di
Bandung yang merupakan wujud solidaritas negara-negara Asia dan Afrika yang pada
akhirnya telah mendorong lahirnya Gerakan Non Blok dan G77.
Special Anniversary Summit juga merupakan rangkaian dari pertemuan KTT UA ke-21 serta
pertemuan terkait lainnya. Beberapa hasil-hasil penting KTT UA ke-21 antara lain
adalah Declaration of the OAU/AU 50th Anniversary, yang merupakan komitmen para
pemimpin Afrika dalam mencapai visi UA, yaitu pertumbuhan dan perkembangan benua
Afrika yang digerakkan oleh masyarakatnya sendiri, integrasi Afrika, terciptanya perdamaian,
dan kesejahteraan di Afrika.
Selain itu KTT ke-21 juga mengesahkan Strategic Action Plan of the African Union
Commission (AUC) for the years 2014 to 2017 yang merupakan panduan bagi negara-negara
anggota UA dalam mencapai visi UA. Adapun prioritas pembangunan UA selama 50 tahun
mendatang adalah di bidang pembangunan sumber daya manusia (khususnya kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, teknologi, dan inovasi); pertanian dan agro-
business processing; pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, pembangunan
infrastruktur, pertanian, perdagangan, dan investasi; perdamaian, stabilitas di kawasan,
dan good governance; mobilisasi sumber daya alam dan manusia; membangun people-centred
Union; memperkuat institusi UA dan semua organnya.
Indonesia akan meningkatkan kerja sama dengan UA di berbagai bidang, terutama bidang-
bidang yang juga menjadi prioritas UA.
Liga Arab merupakan organisasi regional yang didirikan pada 22 Maret 1945 dan
beranggotakan 22 negara Arab yang berada di kawasan Afrika Utara dan Timur Laut serta
Timur Tengah. Tujuan utama didirikannya organisasi Liga Arab adalah untuk meningkatkan
kerjasama antara negara-negara anggota dan untuk meningkatkan koordinasi diantara anggota
guna memperjuangkan kepentingan bersama baik di kawasan maupun pada forum
internasional.
Bagi Indonesia, Liga Arab memiliki arti penting baik secara historis maupun strategis. Sejarah
perjuangan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan telah menunjukkan bahwa Liga
Arab merupakan salah satu dari beberapa pihak yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945. Sedangkan secara strategis, Liga Arab memiliki arti penting dalam
mengupayakan kepentingan nasional Indonesia dalam forum-forum internasional utamanya
terkait dengan isu-isu dimana Indonesia memiliki kesamaan posisi dengan negara-negara Liga
Arab.
Memahami pentingnya meningkatkan kerjasama dengan Liga Arab, telah mendorong
Indonesia untuk mendekatkan diri pada organisasi regional dimaksud. Keinginan Indonesia
tersebut mendapatkan tanggapan yang positif dari Liga Arab dan mulai September 2012, Duta
Besar Indonesia di Kairo telah menjadi Accredited Ambassador to Arab League. Melalui
status tersebut, Indonesia dapat menghadiri beberapa pertemuan Liga Arab serta memiliki
peluang yang lebih besar untuk dapat mengupayakan peningkatan kerjasama dengan negara-
negara Liga Arab dan mendapatkan informasi terkini mengenai perkembangan kerjasama
pada organisasi regional dimaksud.
Latar Belakang
Pada tanggal 22-23 April 2005, negara-negara Asia dan Afrika memperbaharui solidaritas
mereka yang telah berjalan lama pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika 2005 di
Jakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari 106 negara Asia dan Afrika yang
terdiri dari 54 negara Asia dan 52 negara Afrika. KTT AA tahun 2005 tersebut telah
menghasilkan beberapa kesepakatan akhir:
Perkembangan NAASP
Sejak tahun 2005 Indonesia dan Afrika Selatan menjadi Ketua Bersama (Co-Chairs) NAASP.
Dalam mengemban tugas sebagai Co-Chairs, Indonesia telah berperan aktif dalam upaya
mengembangkan NAASP. Indonesia dalam kurun waktu 2006-2011 telah berhasil
melaksanakan 26 program di bawah rerangka kerja sama NAASP, antara lain: NAASP-
UNEP Workshop on Environmental Law and Policy tahun 2006; Asian African Forum on
Genetic Resources, Traditional Knowledge, and Folklore pada tahun 2007,
dan Apprenticeship Program for Mozambican Farmers pada tahun 2010. Indonesia juga
menjadi tuan rumah bagi NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for
Palestine tahun 2008 yang dihadiri oleh 218 peserta dari 56 negara dan 3 organisasi
internasional.
Komitmen bagi pengembangan NAASP juga dibagi bersama dengan negara-negara peserta
NAASP yang lain. Menyebutkan beberapa diantaranya, Malaysia telah
melaksanakan Training Course for Diplomats tahun 2007 dan Training Course in Disaster
Management tahun 2008, serta China yang telah melaksanakan The 5th Training Program for
Staff from African Chambers tahun 2009 dan China-Zambia Trade and Investment
Forum tahun 2010.
Dengan pandangan untuk memberikan berbagai rekomendasi bagi KTT NAASP,
NAASP Senior Officials' Meeting (SOM) diadakan di Jakarta pada tanggal 12-13 Oktober
2009. Pertemuan ini berhasil membahas beberapa agenda penting, khususnya usulan the
8 Focus Areas of Cooperation yang dimaksudkan sebagai mekanisme panduan untuk
mengarahkan berbagai skema kerja sama di bawah rerangka NAASP yang telah dirumuskan
dalam KTT AA 2005 ke dalam beberapa kegiatan yang realistis dan bersifat berorientasi pada
hasil. Delapan bidang kerja sama yang telah disepakati dalam pertemuan ini yaitu: Counter
Terrorism; Combating Trans-national Organized Crime; Food Security; Energy Security;
Small and Medium Enterprises; Tourism; Asian African Development University Network;
serta Gender Equality and Women Empowerment. Beberapa negara Asia seperti Bangladesh,
China, Jepang, Filipina, dan Thailand telah menunjukkan kesediaan untuk menjadi Champion
Countries dari bidang kerja sama tersebut, berdampingan dengan Champion Countries dari
negara Afrika. Indonesia sendiri menjadi Champion Country dari kawasan Asia bersama
dengan Aljazair dari kawasan Afrika untuk bidang kerja sama Counter-Terrorism.
Indonesia dan negara-negara NAASP memandang dengan prihatin fakta bahwa bangsa
Palestina menjadi satu-satunya peserta KTT Asia Afrika pertama yang belum menikmati
kemerdekaan penuh. Oleh karena itu, Indonesia memprakarsai dan menjadi tuan rumah
NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine yang diselenggarakan di
Jakarta pada tanggal 14-15 Juli 2008.
Indonesia, Afrika Selatan dan Palestina selaku NAASP Capacity Building for Palestine
Coordinating Unit diberikan mandat untuk memantau dan memfasilitasi berbagai upaya
negara-negara NAASP yang dilakukan dalam kerangka pembanguna kapasitas bagi Palestina.
Indonesia menjalankan perannya sebagai koordinator bagi Afghanistan, Azerbaijan,
Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, India, Iran, Jepang, Korea Selatan,
Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Singapura, Sri Lanka, Suriah, Thailand, Timor
Leste, dan Vietnam. Hingga 2010, beberapa negara peserta NAASP telah menyampaikan
laporan implementasi komitmen pembangunan kapasitas bagi Palestina, antara lain: India
(102 warga Palestina), Jepang (393 warga Palestina), Korea Selatan (182 warga Palestina),
Malaysia (121 warga Palestina), Singapura (16 warga Palestina). Selaku NAASP Co-Chair
Asia Chapter, Indonesia juga mencatat keberhasilan Turki yang telah memberikan program
pembangunan kapasitas bagi 722 warga Palestina. Dalam hal ini Indonesia terus berupaya
untuk memenuhi komitmen bagi pembangunan kapasitas bagi Palestina tersebut. Hingga Mei
2013, Indonesia telah berhasil memberikan pelatihan bagi 1246 warga Palestina.
NAASP Capacity Building for Palestine Coordinating Unit Meeting terakhir diadakan di
Amman, Jordania, 2-3 Desember 2010 dan menghasilkan summary report yang mencakup
progress report dan analytical report implementasi pembangunan kapasitas oleh negara-
negara peserta NAASP. Hasil pertemuan dimaksud akan disampaikan pada pertemuan tingkat
menteri dan KTT ke-2 NAASP.
Berdasarkan hasil KTT Uni Afrika ke-20 yang diselenggarakan pada Januari 2013, telah
diputuskan bahwa NAASP merupakan bagian dari mekanisme kerja sama dalam Uni Afrika.
Kesimpulan
NAASP tetap merupakan sebuah forum yang penting dan potensial bagi kerja sama antar
negara-negara di kedua benua. Dalam dunia yang berubah, tentu NAASP, seperti forum
internasional lainnya, memiliki kewajiban untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada pada
masa kini. Tidak diragukan lagi dalam isu Palestina, masalah kebebasan dan kemerdekaan
tetap menjadi prioritas utama bagi NAASP. Bagi yang lain, isu stabilitas, sebagaimana juga
kesejahteraan masyarakat Asia dan Afrika adalah merupakan tema utama bagi kerja sama
yang membawa kedua benua untuk dapat bersama. Indonesia berkeyakinan bahwa dengan
bekerja bersama-sama kedua benua dapat menciptakan stabilitas, perdamaian, dan
kesejahteraan bagi masyarakatnya.
A. Latar Belakang
Kerjasama Asia Cooperation Dialogue (ACD) merupakan forum dialog yang berdiri pada
tahun 2002 di Cha-Am, Thailand. Forum ini membahas ekonomi, kebudayaan, pendidikan,
lingkungan, kesehatan dan penanganan bencana.
Saat ini ACD beranggotakan 32 negara, yaitu Afghanistan, Bahrain, Bangladesh, Bhutan,
Brunei Darussalam, Kamboja, China, India, Indonesia, Jepang, Khazakhstan, Republik Korea,
Kuwait, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Filipina, Qatar, Singapura, Thailand,
Vietnam, Rusia, Iran, Saudi Arabia, Oman, Sri Lanka, UAE, Tajikistan, Uzbekistan
dan Kyrgyztan.
ACD merupakan pertemuan informal para Menlu negara-negara Asia dan berfungsi sebagai
forum dialog dan tukar pandangan mengenai isu-isu internasional, regional dan subregional
yang menjadi kepentingan bersama. Forum ini juga digunakan sebagai wahana untuk saling
meningkatkan kerjasama di berbagai sektor. ACD juga diharapkan dapat menjembatani hal-
hal yang belum dicakup dalam kerjasama formal yang telah ada di kawasan Asia selama ini.
Indonesia telah bergabung dengan ACD sejak pembentukannya di tahun 2002. Selain
berbagai potensi kerja sama yang dapat dikembangkan, ACD juga memiliki nilai tambah
karena menyertakan dalam keanggotaannya negara pengekspor dan pengimpor minyak dan
gas. Karenanya, ACD dapat memberikan peran penting dalam memperkuat ketahanan energy
kawasan dan negara-negara anggotanya.
Indonesia juga mengharapkan agar dari kerja sama tersebut dapat meningkatkan efisiensi
pemanfaatan energi terutama penggunaan energi baru terbarukan dan bahan bakar alternatif
untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Terkait dengan hal tersebut, Indonesia menjadi ACD Co-Prime Mover di bidang energi
bersama dengan Bahrain, China, Filipina, Kazakhstan, Qatar dan Laos. Sebagai salah satu
anggota EnergyCo-prime Movers Indonesia terlibat secara aktif dalam berbagai aktivitas di
area kerjasama tersebut, di antaranya :
Menyusun concept paper "ACD: Concept Paper on Energy Security" dan dibahas
pada Meeting of Prime Movers on Energy Security ACD di Manama pada Februari
2003;
Menyusun ACD Plan of Action on Energy yang dibahas dalam Meeting of ACD Co-
Prime Movers on Energy Action Plan di Bali pada April 2007;
Menyelenggarakan 1st ACD Energy Forum yang diadakan di Bali pada 26 – 28
September 2005, yang menghasilkan Joint Declaration of the 1st ACD Energy
Forum;
Menyelenggarakan ACD Co-Prime Movers on Energy Action Plan di Bali 11 – 12
April 2007, yang menetapan focal point masing-masing negara di bidang energi
untuk menuntaskan pembahasan Energy Plan of Action;
Berpartisipasi dalam ACD Energy Cooperation Conference; Energy and Climate
Change: Challenges and Opportunity di Bahrain, 26-27 November 2008. Indonesia
diwakili oleh Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral mempresentasikan materi “Climate Change Issues
and Its Implication on the ACD Member States" dengan fokus pada keterkaitan
energi dan perubahan iklim; implikasi perubahan iklim terhadap negara ACD dan
langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh negara ACD;
Menjadi co-chair bersama dengan Filipina dalam penyelenggaraan ACD Energy
Working Group Meeting tanggal 27 Maret 2013 untuk finalisasi draft PoA sebelum
Pertemuan Tingkat Menteri ACD ke-12 di Tajikistan.
Dalam berbagai forum PTM ACD Indonesia selalu menyampaikan perlunya negara-
negara Asia untuk memberikan perhatian kepada ketahanan energi sebagai salah satu
unsur penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan.
Para menteri luar negeri ACD bertemu secara rutin 2 kali setiap tahun yakni saat Foreign
Minister's Breakfast Meeting bulan September di sela-sela Sidang Umum PBB di New York
dan saat PTM yang terselenggara secara rutin di negara yang sedang menjabat sebagai ketua
ACD di tahun berjalan. Selain pertemuan tingkat menteri, sesuai dengan bidang kerja
samanya negara-negara anggota juga dapat menyelenggarakan pertemuan yang sifatnya lebih
sektoral dalam kerangka ACD.
Pertemuan Tingkat Kepala Negara (KTT) ACD yang pertama diselenggarakan di Kuwait,
tanggal 17 Oktober 2012. Pertemuan KTT ACD ke-2 disepakati akan diselenggarakan di
Thailand bulan Maret 2015 dan KTT ACD ke-3 di Iran tahun 2018. Sebagai suatu forum
dialog, ACD sampai saat ini tidak memiliki sekretariat permanen dan Thailand sebagai
pencetus forum ini bertindak sebagai koordinator. ACD sedang dalam tahap pembahasan
untuk membentuk sekretariat tetap.
I. Pendahuluan
1. Kerja sama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-the Philippines East ASEAN
Growth Area (BIMP-EAGA) merupakan kerja sama dengan orientasi proyek yang
dibentuk secara resmi pada Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) ke-1 di Davao City,
Filipina, pada tanggal 26 Maret 1994.
2. Kepentingan nasional RI yang ingin dicapai melalui kerja sama BIMP EAGA adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di
wilayah-wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara-negara anggota
BIMP. Pada kerja sama ini pihak swasta diharapkan menjadi pelaku dan penggerak
utama dengan didukung oleh pemerintah sebagai regulator dan fasilitator.
3. BIMP EAGA sebagai Kerja Sama Ekonomi Sub-regional (KESR) dinilai dapat
mengurangi kesenjangan pembangunan dan ikut mendorong integrasi ekonomi
ASEAN Economic Community 2015. BIMP EAGA juga sebagai wadah untuk
mengimplementasikan kesepakatan yang telah ada di ASEAN (test-bed). Hal ini
dipraktekkan dengan mengadopsi berbagai kesepakatan ASEAN dan membahasnya
di tingkat sub-regional.
4. Wilayah Indonesia yang menjadi anggota BIMP-EAGA adalah provinsi-provinsi:
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Gorontalo.
5. Sampai saat ini BIMP-EAGA telah menyelenggarakan 9 kali Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT), 17 kali Pertemuan Tingkat Menteri, dan 21 kali Pertemuan Tingkat
Pejabat Senior. KTT BIMP-EAGA terakhir dilaksanakan di Bandar Seri Begawan,
Brunei, pada 25 tanggal April 2013.
a. Menjadikan BIMP-EAGA sebagai lumbung pangan bagi wilayah ASEAN dan wilayah lain
di Asia. Kerja sama pada bidang Lumbung Pangan diarahkan untuk menjamin ketersediaan
pangan dalam jangka panjang; dan memaksimalkan potensi pertanian, peternakan dan
perikanan.
c. Meningkatkan konektivitas ke dalam wilayah BIMP dan keluar dalam mendukung Master
Plan of ASEAN Connectivity (MPAC). Kerja sama pada area Konektivitas ditujukan bagi:
Forum ini juga memiliki kerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) sebagai
regional adviser. BIMP EAGA juga menyelenggarakan konsultasi dengan Sekretariat ASEAN
dalam rangka membentuk keterpaduan antara agenda BIMP EAGA dengan ASEAN
Community.
I. Pendahuluan
KTT ke-6 IMT GT tanggal 4 April 2012 di Phnom Penh telah mensahkan Implementation
Blueprint 2012-2016 yang berisi sistematika dan institusi kerja sama serta daftar proyek.
Pada KTT ke-7 di Brunei Darussalam, 25 April 2013, para kepala negara IMT-GT
menyampaikan perhatian pada isu konektivitas dan pelaksanaan proyek-proyek prioritas.
Proyek pada kerja sama ini meliputi (a) Transportasi dan infrastruktur; (b) Perdagangan dan
investasi; (c) Pertanian, agro-based industry, dan lingkungan; (d) Pariwisata; (e) Produk dan
Jasa Halal; dan (f) Pengembangan SDM.
Beberapa proyek yang dianggap "fast tracked" projects untuk menopang relevansi IMT-GT
adalah Melaka-Pekanbaru Power Interconnection, dan Melaka-Dumai RoRo connectivity.