Anda di halaman 1dari 14

Personal Privacy in Forensic Accou

Moh. Abqori Mudhories


PENDAHULUAN
Dalam era digital yang penuh kompleksitas ini, di mana keuangan terinterkoneksi
secara mendalam, peran akuntansi forensik mengemuka sebagai elemen yang semakin
penting dalam mengungkap kecurangan dan penyelewengan keuangan. Keberhasilan
akuntansi forensik tidak hanya ditentukan oleh keakuratannya dalam mengungkap
pelanggaran keuangan, tetapi juga oleh kemampuannya untuk menjaga privasi data sensitif
yang terlibat dalam setiap investigasi. Keterlibatan data pribadi, seperti identitas individu,
transaksi keuangan, dan rincian rekening, menghadirkan implikasi serius terhadap hak privasi
individu yang tidak dapat diabaikan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh (Gabudeanu et
al.,(2021) mengungkap bahwa terjadi kesenjangan antara perlindungan data pribadi dan
implementasi kewajiban untuk mendeteksi fraud.
Seiring meningkatnya kompleksitas upaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan
transparansi keuangan dan perlindungan privasi individu, tantangan kompleks mulai muncul.
Secara khusus, risiko keamanan data menjadi semakin nyata dan mengkhawatirkan, terutama
mengingat volume besar informasi yang terlibat dalam ranah akuntansi forensik. Tao et al.,
(2019) menyoroti adanya potensi resiko pelnggaran data yang besar dan akhirnya
menimbulkan kerugian finasial yang cukup besar terhadap berbagai pihak. Di sisi lain,
kompleksitas bisnis keuangan menuntut adanya transparansi data secara besar-besaran
(Zheng et al., 2022). Data memiliki keuatan yang sangat besar dan memberikan wawasan
yang besar dan mumpuni terhadap pemangku kepentingan (Krafft et al., 2021). Adanya
pelanggaran keamanan data tidak hanya dapat mengancam integritas seluruh penyelidikan
keuangan, tetapi juga berpotensi merugikan privasi individu yang menjadi subjek investigasi.
Dengan kata lain, ketika informasi yang seharusnya bersifat rahasia dan terlindungi justru
terancam, hal ini menciptakan ketidakseimbangan yang menantang antara kepentingan umum
dan hak-hak individu dalam konteks akuntansi forensik.
Penelitian yang dilakukan oleh Piotrowski (2023) mengungkapkan bahwa mayoritas
manyarakat memiliki sikap negative terhadap pembagian data yang tersedia secara public
dengan angka lebih dari 88%. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat masih
mempunyai rasa tidak percaya terhadap data sharing yang dilakukan di dunia maya.
Dari uraian diatas, benturan kepentingan antara privasi data dan keterbukaan data
dalam praktik akuntansi forensik semakin membesar sejalan dengan kemajuan digitalisasi di
era saat ini. Fenomena ini menciptakan kompleksitas baru dalam menjalankan penyelidikan
keuangan, di mana perlindungan data pribadi bertabrakan dengan tuntutan untuk keterbukaan
dan akses informasi. Sebagai penulis, saya meyakini bahwa topik mengenai privasi data
dalam konteks akuntansi forensik bukan hanya menarik, tetapi juga sangat penting untuk
dibahas. Memahami dinamika dan implikasi dari benturan kepentingan ini akan membuka
pintu untuk penemuan solusi yang seimbang, di mana keberlanjutan praktik akuntansi
forensik dapat tetap terjaga tanpa mengorbankan integritas atau hak privasi individu.
Pembahasan dalam tulisan ini dirancang dengan tujuan memberikan gambaran teori
yang universal terkait perlindungan data privasi dalam akuntansi forensik. Dengan merinci
temuan dan pandangan dari literatur yang berkualitas, diharapkan tulisan ini dapat
memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan pemahaman teoritis di bidang ini.
Selain itu, dengan merangkum pemikiran dari berbagai sumber, tulisan ini diharapkan
mampu memberikan wawasan yang mendalam dan holistik terkait peran dan tantangan
perlindungan data privasi dalam praktik akuntansi forensik.

1
MOTODOLOGI
Tulisan ini didasarkan pada metodologi studi literatur yang cermat, menggabungkan
berbagai sumber penelitian, survei, berita, dan literatur terkait perlindungan data privasi
dalam konteks akuntansi forensik. Dengan memfokuskan literatur pada artikel yang terindeks
dalam basis data Scopus dan dipublikasikan antara tahun 2018 hingga 2023, penelitian ini
menciptakan dasar yang kuat untuk pemahaman teoritis tentang perlindungan data privasi
dalam akuntansi forensik.
Melibatkan literatur yang terindeks Scopus menunjukkan komitmen pada akurasi dan
relevansi informasi yang diambil, karena basis data ini dikenal sebagai salah satu sumber
rujukan akademis yang terpercaya. Rentang tahun 2018 hingga 2023 juga dipilih dengan
cermat untuk mencakup literatur terbaru, sehingga penelitian ini dapat memberikan
pemahaman yang sesuai dengan perkembangan terkini dalam domain akuntansi forensik dan
perlindungan data privasi.

PEMBAHASAN
Perkembangan Privasi Data di Dunia
Golden et al., (2011) membahas perkembangan regulasi tentang data privasi di Eropa
dan Amerika telah menjadi perhatian utama sebagai respons terhadap perubahan lanskap
teknologi dan meningkatnya kekhawatiran akan privasi.
Amerika Serikat
Secara historis, Konstitusi Amerika Serikat telah memberikan perlindungan privasi
kepada individu, meskipun hanya diterapkan terhadap pemerintah federal dan negara bagian.
AS mulai mempertimbangkan implikasi privasi dari teknologi informasi pada tahun 1973
dengan diterbitkannya laporan dari komite penasihat Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan
Kesejahteraan (HEW).
Dalam sektor keuangan, Dua undang-undang utama dengan ketentuan privasi yang
mungkin ditemui oleh penyelidik forensik adalah Gramm-Leach-Bliley Act (GLBA) dan Fair
Undang-Undang Pelaporan Kredit (FCRA). GLBA juga menetapkan aturan privasi yang
harus dipatuhi oleh organisasi-organisasi ini. GLBA, pasal 6801 hingga 6809 menetapkan
persyaratan seputar pengungkapan informasi pribadi non-publik. Ketentuan privasi GLBA
secara umum sesuai dengan praktik informasi adil yang dinyatakan dalam UndangUndang
Privasi tahun 1974. Pada tahun 1970, Kongres mengesahkan Fair Credit Reporting Act
(FCRA), undang-undang federal pertama yang membatasi penggunaan PII oleh bisnis untuk
mencakup laporan konsumen yang digunakan, secara keseluruhan atau sebagian, untuk
menetapkan kelayakan pelanggan atas kredit, asuransi, pekerjaan, atau lainnya. Kepentingan
Bisnis. Laporan konsumen didefinisikan secara luas untuk mencakup informasi yang
berkaitan dengan kelayakan kredit, karakter, reputasi umum, atau karakteristik pribadi.
Pada sektor kesehatan, Kongres mengesahkan Undang-Undang Portabilitas dan
Akuntabilitas Asuransi Kesehatan (HIPAA) pada tahun 1996, yang sebagian bertujuan untuk
melindungi perlindungan asuransi bagi pekerja dan keluarga mereka ketika berganti
pekerjaan. HIPAA dan peraturan yang dikeluarkan juga menetapkan persyaratan privasi dan
keamanan untuk transmisi atau penggunaan informasi kesehatan yang dilindungi (PHI) dalam
bentuk apa pun.

2
Yang terbaru, pada tahun 2020 disahkan California Consumer Privacy Act (CCPA).
CCPA adalah undang-undang privasi konsumen di California yang memberikan hak kepada
warga negara California untuk mengetahui, mengontrol, dan melarang penjualan informasi
pribadi mereka.
Uni Eropa
Undang-undang privasi Uni Eropa berasal dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan
Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar 1950. Pasal 8 menjelaskan hak untuk
menghormati kehidupan pribadi dan keluarga. Ketika bisnis beralih ke skala yang lebih
global, kebutuhan akan undang-undang yang mengatur transfer lintas batas negara menjadi
penting. Pada tahun 1981, Dewan Eropa menyusun Konvensi Perlindungan Individu
sehubungan dengan Pemrosesan Otomatis Data Pribadi, dan Organisasi untuk Kerja Sama
dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menerbitkan Pedoman yang Mengatur Perlindungan
Privasi dan Lintas Batas Arus Data Data Pribadi.
Yang terbaru adalah General Data Protection Regulation (GDPR) adalah peraturan
privasi data yang berlaku di Uni Eropa dan EEA (Area Ekonomi Eropa). GDPR resmi
diberlakukan pada 25 Mei 2018, menggantikan Direktif Perlindungan Data tahun 1995 dan
memberikan kerangka kerja yang lebih modern dan komprehensif untuk perlindungan data
pribadi.
Berikut adalah beberapa poin utama dari GDPR:
1. Ruang Lingkup: GDPR mencakup semua organisasi yang memproses data pribadi
warga Uni Eropa, termasuk organisasi di luar Uni Eropa yang menawarkan produk atau
layanan kepada individu di Uni Eropa.
2. Definisi Data Pribadi: GDPR mendefinisikan "data pribadi" sebagai informasi apa pun
yang dapat mengidentifikasi langsung atau tidak langsung seseorang. Ini mencakup
nama, alamat, ID, informasi genetik, dan lainnya.
3. Prinsip-prinsip Pengolahan Data:
 Keterbukaan (Transparency): Organisasi harus memberikan informasi yang jelas dan
transparan tentang bagaimana data akan diproses.
 Tujuan yang Terbatas (Purpose Limitation): Data harus dikumpulkan untuk tujuan
yang sah dan spesifik, dan tidak boleh diproses lebih lanjut secara tidak sesuai.
 Pemrosesan yang Terbatas (Data Minimization): Organisasi harus memproses data
pribadi yang sesuai dan relevan dengan tujuan yang ditetapkan.
4. Hak Individu:
 Hak Akses: Individu memiliki hak untuk mengetahui apakah data pribadi mereka
diproses, dan jika ya, mendapatkan akses ke data tersebut.
 Hak untuk Dihapus (Right to Be Forgotten): Individu dapat meminta penghapusan
data pribadi mereka dalam beberapa situasi.
 Portabilitas Data: Individu memiliki hak untuk menerima dan mentransfer data
pribadi mereka ke penyedia layanan lain.
5. Notifikasi Pelanggaran Data: Organisasi harus memberi tahu otoritas pengawas dan
individu terkait jika terjadi pelanggaran data yang mungkin merugikan.

3
6. Otoritas Pengawas (Supervisory Authority): Setiap negara bagian di Uni Eropa
memiliki otoritas pengawas independen yang bertanggung jawab untuk mengawasi
kepatuhan dengan GDPR.
7. Sanksi: Pelanggaran GDPR dapat dikenai sanksi administratif yang signifikan, termasuk
denda yang dapat mencapai persentase tertentu dari pendapatan tahunan global
organisasi.
GDPR bertujuan untuk memberikan kontrol lebih besar kepada individu atas data
pribadi mereka dan meningkatkan tanggung jawab organisasi terkait pengolahan data.
Organisasi yang melanggar GDPR dapat dikenai sanksi yang serius, sehingga memotivasi
kepatuhan yang lebih baik terhadap standar privasi yang ditegakkan oleh regulasi ini.
Asia Pasifik
Kerangka Privasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) merinci pendekatan
kawasan Asia Pasifik terhadap privasi dengan memberikan penekanan khusus pada Praktik
Informasi yang Adil. Dengan mempromosikan keseragaman dalam perlindungan privasi
informasi, kerangka privasi APEC bertujuan untuk memfasilitasi arus informasi yang tidak
terhambat di seluruh kawasan. Sasaran utamanya mencakup pengembangan perlindungan
informasi pribadi yang sesuai, pencegahan terhadap hambatan yang tidak diperlukan terhadap
aliran informasi, pemberian fleksibilitas kepada perusahaan multinasional untuk menerapkan
pendekatan seragam dalam pengumpulan, penggunaan, dan pemrosesan data, serta dukungan
terhadap upaya domestik dan internasional dalam menegakkan standar perlindungan privasi
informasi.
Jepang memiliki beberapa undang-undang dan peraturan yang mengatur privasi data.
Salah satu undang-undang utama yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi adalah
"Act on the Protection of Personal Information" (Undang-Undang Perlindungan Informasi
Pribadi) yang pertama kali diberlakukan pada tahun 2005 dan kemudian direvisi pada tahun
2015. Undang-undang ini mengatur perlindungan data pribadi dengan prinsip-prinsip seperti
pemberian izin sebelum pengumpulan data, pengelolaan data yang jelas, keamanan data, dan
hak individu terhadap informasi pribadi mereka. APPI juga mengatur transfer data
internasional dan memberikan wewenang kepada otoritas pengawas untuk mengawasi dan
memberikan sanksi atas pelanggaran privasi data. Selain APPI, regulasi tambahan berlaku di
sektor-sektor tertentu seperti perbankan dan kesehatan. Sebaiknya perhatikan bahwa
informasi ini dapat berubah, dan untuk pemahaman yang lebih mendalam atau terkini,
sebaiknya merujuk ke sumber resmi atau berkonsultasi dengan ahli hukum yang
berkualifikasi.
Korea Selatan memiliki undang-undang privasi dan keamanan data yang relevan,
yaitu "Personal Information Protection Act (PIPA)" dan "Act on the Promotion of IT
Network Use and Information Protection (IT Network Act). Personal Information Protection
Act (PIPA) di Korea Selatan adalah undang-undang utama yang mengatur perlindungan data
pribadi. Undang-undang ini mencakup prinsip-prinsip penting seperti pemberian izin sebelum
pengumpulan data, penjelasan tujuan pengumpulan yang jelas, dan pembatasan penggunaan
data. PIPA juga mengharuskan organisasi untuk mengimplementasikan langkah-langkah
keamanan untuk melindungi data pribadi, dan memberikan hak-hak kepada individu untuk
mengetahui, mengakses, mengoreksi, dan menghapus data pribadi mereka. Otoritas
pengawasan, yaitu Komisi Perlindungan Informasi Pribadi, bertanggung jawab untuk
mengawasi implementasi undang-undang dan menegakkan sanksi terhadap pelanggaran
privasi. Sedangkan Act on the Promotion of IT Network Use and Information Protection"

4
adalah undang-undang yang berlaku di Korea Selatan dan berfokus pada promosi
penggunaan jaringan IT dan perlindungan informasi.
Tiongkok memiliki beberapa undang-undang dan regulasi yang mengatur privasi dan
perlindungan data, termasuk Cybersecurity Law (CSL), Personal Information Protection
Specification (PIPS), dan Draft Personal Information Protection Law (PIPL). CSL mencakup
berbagai aspek keamanan data dan privasi. PIPS, sebuah standar yang dikeluarkan oleh
Standardization Administration of China (SAC), memberikan pedoman untuk praktik
perlindungan informasi pribadi. PIPL, yang masih dalam proses peninjauan, diharapkan
menjadi undang-undang komprehensif yang mengatur hak individu dan standar keamanan
data.
Indonesia memiliki undang-undang yang berkaitan dengan privasi dan perlindungan
data pribadi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019
tentang Pelaksanaan UU ITE (PP ITE). Dan yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Tantangan terhadap Privasi Data dalam Akuntansi Forensik


Risiko Keamanan Data
Penanganan volume besar data pribadi di dalam konteks akuntansi forensik
memperkenalkan tantangan besar, terutama terkait dengan risiko keamanan data. Semakin
besar volume informasi yang terlibat dalam proses investigasi, semakin kompleks juga risiko
yang terkait dengan keamanan data. Adanya pelanggaran keamanan dapat menjadi ancaman
serius terhadap kerahasiaan informasi sensitif, yang pada gilirannya, dapat merugikan
individu yang sedang menjadi subjek penyelidikan. Dalam penelitainya, Cheng et al., (2021)
menyoroti risiko financial yang akan timbul dalam era big data. Risiko keuangan memiliki
bentuk yang berbeda-beda dan bergantung pada berbagai faktor di era big data, seperti
penyalahgunaan algoritma dan teknologi AI, mata uang digital, dan bisnis online.
Gai et al., (2018) memandang penggunaan big data dalam financial teknologi
memberikan dampak yang serius dalam hal kemanan (security) dan privacy. Choi et al.,
(2019) mengemukakan model privasi teoretis di mana pengumpulan data memerlukan
persetujuan konsumen dan konsumen sepenuhnya menyadari konsekuensi dari persetujuan
tersebut. Meskipun demikian, pengumpulan informasi pribadi berlebihan muncul dalam
keseimbangan pasar monopoli yang mengakibatkan hilangnya privasi secara berlebihan
dibandingkan dengan optimal sosial. Dalam situasi ini, pelanggaran keamanan data dapat
mencakup akses yang tidak sah, peretasan sistem, atau kebocoran informasi yang dapat
membahayakan integritas seluruh investigasi akuntansi forensik. Informasi sensitif seperti
identitas individu, transaksi keuangan, dan rincian pribadi lainnya menjadi rentan terhadap
risiko ini. Hal ini tidak hanya dapat merugikan privasi individu yang bersangkutan tetapi juga
dapat menyebabkan kerugian finansial, kerugian reputasi, dan konsekuensi hukum yang
serius. Stewart & Jürjens, (2018) mengungkapkan fakta bahwa jumlah pengguna seluler di
Jerman meningkat pesat, namun penerapan FinTech sangat lamban. Menarik untuk
diperhatikan bahwa 99% responden memiliki perangkat seluler, namun hanya 10% yang
mengenali FinTech. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat masih ragu akan
kemanan data pribadi mereka di dunia maya. Faktor kepercayaan akan kemanan data pribadi

5
merupakan hal yang paling menentukan kesedian pengguna untuk membagikan data pribadi
mereka (Maureen Nelloh et al., 2019).
Untuk mengatasi risiko ini, praktisi akuntansi forensik harus memprioritaskan
implementasi langkah-langkah keamanan yang kuat. Penggunaan teknologi enkripsi tingkat
tinggi, pengaturan kontrol akses yang ketat, dan pemantauan keamanan yang terus-menerus
menjadi kunci untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran keamanan data. Beberapa
penelitian telah mengemukakan berbagai metode untuk menjaga kemanan data privasi,
namun yang sering dibahas adalah penggunaan blockchain. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Du et al., (2020) yang membahas Inovasi Pembiayaan Rantai Pasokan Menggunakan
Blockchain, Jesus et al., (2018) Cara Menggunakan Blockchain untuk Mengamankan data
dari serangan hacker dan Demirkan et al., (2020) tentang penggunaan blockcahain sebagai
cybersecurity dimasa depan. Selain itu, pelatihan yang cermat kepada personel tentang
praktik keamanan informasi yang baik juga menjadi langkah penting untuk meminimalkan
risiko tersebut.
Kesadaran akan potensi risiko keamanan data dalam penanganan volume besar informasi
pribadi harus menjadi fokus utama dalam perencanaan dan pelaksanaan investigasi akuntansi
forensik. Dengan demikian, tidak hanya integritas dan keberlanjutan investigasi yang terjaga,
tetapi juga hak privasi individu mendapatkan perlindungan yang layak.
Dilema Etika
Dalam dunia akuntansi forensik, akuntan forensik seringkali dihadapkan pada dilema
etika yang kompleks. Etika seringkali bersinggungan dengan privasi seseorang dan
perkembangan teknologi yang menuntut keterbukaan (Reynolds, 2015). Dilema ini muncul
ketika kebutuhan mendesak untuk mengumpulkan informasi yang relevan dan substansial
dalam suatu investigasi bertentangan langsung dengan hak privasi individu yang terlibat.
Mencapai keseimbangan antara tuntutan profesional dan prinsip etika merupakan tugas yang
sangat rumit dan membutuhkan pertimbangan yang matang.
Saat menghadapi kebutuhan mendalam akan informasi, akuntan forensik sering
merasakan tekanan untuk menavigasi jalur yang memungkinkan pengungkapan kebenaran
finansial tanpa mengorbankan integritas etika. Pada saat yang sama, hak privasi individu
diakui sebagai hak yang fundamental dan harus dihormati. Oleh karena itu, akuntan forensik
dihadapkan pada tantangan untuk menentukan batasan yang jelas antara memenuhi tuntutan
investigasi dan melindungi hak privasi (Howieson, 2018).
Tantangan terbesarnya adalah merekonsiliasi perspektif ini secara politis dan teoritis.
Proses pengumpulan informasi dalam akuntansi forensik sering memasuki ranah yang
sensitif, melibatkan identifikasi individu, transaksi keuangan pribadi, dan dokumen-dokumen
rahasia (Taylor, 2017). Dalam menangani dilema etika ini, akuntan forensik perlu
mempertimbangkan secara seksama etika profesi mereka, serta mematuhi regulasi dan hukum
yang berlaku. Penerapan kebijakan yang jelas terkait etika dan privasi, serta pelatihan yang
berkelanjutan, dapat membantu menyiapkan akuntan forensik dengan keterampilan dan
pengetahuan untuk mengatasi dilema ini secara tepat.
Konsekuensi pemrosesan data tidak lagi terbatas pada isu-isu umum terkait privasi,
namun mencakup prasangka terhadap kelompok individu dan kelompok yang lebih luas hak-
hak dasar. Selain itu, ketegangan antara penggunaan Big Data dan AI secara ekstensif, di satu
sisi, dan meningkatnya permintaan akan penggunaan data yang bertanggung jawab secara
etika dan sosial (Mantelero, 2018). Dalam keseluruhan konteks investigasi, akuntan forensik

6
juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan yang adil antara memenuhi
kebutuhan klien atau organisasi yang mempekerjakan mereka dan melindungi hak privasi
individu yang terlibat. Pemahaman mendalam tentang implikasi etika dan keterbatasan
hukum yang berkaitan dengan privasi data menjadi penting agar akuntan forensik dapat
mengambil keputusan yang bermoral dan sesuai dengan norma-norma profesi mereka.
Dengan menjunjung tinggi prinsip integritas dan etika, akuntan forensik dapat
membuktikan bahwa investigasi dapat dilakukan secara adil dan bertanggung jawab tanpa
mengorbankan hak privasi individu. Membangun budaya etika yang kuat dalam praktik
akuntansi forensik adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa para profesional dapat
mengatasi dilema etika ini dengan penuh tanggung jawab dan kepekaan terhadap hak privasi
individu yang melibatkan.
Celah Regulasi
Perkembangan teknologi yang pesat di era saat ini seringkali terjadi dengan cepat,
bahkan mungkin melampaui kemampuan regulasi untuk menyusun dan
mengimplementasikan peraturan yang memadai. Kecepatan evolusi teknologi ini dapat
menciptakan ketidakselarasan antara kemajuan teknologi dan kemampuan perundang-
undangan untuk menyesuaikan diri. Dalam konteks akuntansi forensik, di mana teknologi
berperan kunci, perbedaan ini dapat meninggalkan celah dalam perlindungan data pribadi
selama proses penyelidikan.
Kelemahan regulasi menjadi lebih nyata ketika teknologi baru dan inovatif diterapkan
dalam lingkup akuntansi forensik. Adanya celah ini dapat memberikan peluang bagi
penyalahgunaan data pribadi atau penggunaan teknologi secara tidak etis selama
penyelidikan. Sebagai contoh, algoritma dan analisis data canggih dapat menghadirkan risiko
penembusan privasi, terutama jika tidak ada regulasi yang cukup kuat untuk mengaturnya.
Razaghpanah et al., (2018) mengatakan bahwa fakta yang terjadi adalah analisis kebijakan
data privasi menyebar ke seluruh dunia melalui inter ataupun antar organisasi. Sehingga dia
berharap temuannya akan memicu dan menginformasikan lebih banyak wacana publik dan
menghasilkan kerangka peraturan yang lebih kuat untuk melindungi privasi pengguna.
Dampak dari ketidakselarasan ini dapat merugikan hak privasi individu yang terlibat
dalam investigasi. Informasi sensitif seperti rekam jejak transaksi keuangan, data identifikasi
personal, dan dokumen pribadi lainnya mungkin lebih rentan terhadap penyalahgunaan atau
pelanggaran keamanan. Oleh karena itu, keberhasilan dalam melindungi data pribadi selama
penyelidikan akuntansi forensik tidak hanya tergantung pada keterampilan teknis dan metode
investigasi, tetapi juga pada kejelasan dan keketatan regulasi yang mengatur penggunaan
teknologi tersebut.
Untuk mengatasi tantangan ini, peningkatan regulasi yang responsif terhadap
perkembangan teknologi menjadi penting. Pihak berwenang dan lembaga pengawas harus
secara aktif terlibat dalam memperbarui dan meningkatkan regulasi agar sejalan dengan
perkembangan teknologi. Peraturan yang diperbarui ini perlu mencakup panduan etika,
batasan-batasan yang jelas, dan sanksi yang tegas untuk melindungi data pribadi selama
penyelidikan akuntansi forensik. Penelitian yang dilakukan oleh Chatterjee & Sreenivasulu,
(2019) mengungkap bahwa subjek data menjadi percaya diri dan tidak segan untuk
mengungkapkan data pribadinya meskipun data tersebut diproses dan dianalisis melalui
penerapan AI jika ditemukan bahwa penggunaan AI telah dikendalikan oleh pembatasan
peraturan yang sesuai. Pemberlakuan regulasi mengarah pada individu subjek data menjadi
patuh. Mereka kemudian tanpa rasa takut membagikan data pribadi mereka

7
Dalam upaya untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan
perlindungan data pribadi, kolaborasi antara pemerintah, lembaga pengawas, dan praktisi
akuntansi forensik menjadi krusial. Hanya dengan regulasi yang kuat dan responsif, kita
dapat memastikan bahwa perkembangan teknologi digunakan dengan etika dan
memperhatikan hak privasi individu dalam setiap tahap penyelidikan keuangan.
Strategi Menjaga Privasi Data dalam Akuntansi Forensik
Safeguard Teknologi
Implementasi teknologi tinggi, terutama melalui penerapan metode enkripsi dan
sistem pengamanan data yang canggih, memainkan peran sentral dalam upaya melindungi
data pribadi dalam konteks akuntansi forensik. Dalam menghadapi volume besar informasi
sensitif yang terlibat dalam penyelidikan, keamanan teknologi menjadi kunci untuk
menghindari risiko akses yang tidak sah dan menjaga integritas seluruh investigasi.
Penerapan enkripsi, yang melibatkan proses penyandian informasi sehingga hanya
dapat dibaca oleh pihak yang berwenang, membentuk lapisan pertahanan yang kuat terhadap
ancaman keamanan. Dengan menggunakan algoritma enkripsi yang canggih, data pribadi
dapat diubah menjadi format yang tidak dapat dimengerti oleh pihak yang tidak memiliki
otorisasi, bahkan jika mereka berhasil mendapatkan akses ke sistem.
Penelitian yang dilakukan oleh Domingo-Ferrer et al., (2019) menawarkan 3 teknik
proteksi data, yaitu data spilting, data Anonymization methods dan cryptographic tecnique.

 Data Spilting : Pemisahan data adalah teknik perlindungan yang didasarkan pada
fragmentasi data sensitif dan penyimpanan fragmen tersebut secara terpisah dalam
bentuk yang jelas di lokasi yang berbeda.
 Anonymization methods: Anonimisasi data secara permanen menyamarkan data
dengan menjaga privasi. Teknik anonimisasi telah dikembangkan di bidang
Pengendalian Pengungkapan Statistik dan Penerbitan Data yang Menjaga Privasi
sebagai cara untuk melepaskan data sensitif kepada pihak ketiga yang tidak dapat
dipercaya, sehingga data tetap berguna secara analitis untuk penggunaan sekunder
tetapi tidak mengungkapkan informasi yang dapat dikaitkan dengan individu tertentu.
 Cryptographic tecnique: Kriptografi modern telah berkembang dengan memenuhi
kebutuhan keamanan dunia nyata yang sangat beragam, banyak di antaranya berlaku
untuk komputasi cloud. Sebagai bidang, kriptografi mempertimbangkan berbagai
tujuan keamanan informasi, arsitektur pengguna, dan fungsi. Awan dunia nyata
skenario komputasi mungkin memerlukan berbagai tujuan keamanan, seperti
kerahasiaan data atau integritas data. Selain itu, seseorang mungkin ingin
melakukannya menjalankan fungsionalitas yang lebih kaya daripada penyimpanan
aman sederhana di cloud.
Pengamanan data yang canggih juga melibatkan langkah-langkah seperti sistem
otentikasi ganda, kontrol akses yang ketat, dan pemantauan keamanan real-time. Sistem
otentikasi ganda, misalnya, membutuhkan lebih dari satu metode verifikasi identitas untuk
mengakses data, meningkatkan tingkat keamanan secara signifikan. Kontrol akses yang ketat
memastikan bahwa hanya pihak yang memiliki izin tertentu yang dapat mengakses informasi
pribadi, mengurangi risiko akses yang tidak sah yang dapat merugikan privasi individu.
Selain 3 metode proteksi yang dikemukakan ferrer diatas, metode pengamanan data
yang ramai diperbicangkan dalam konteks keamanan data adalah blockchain. Penelitian

8
sebelumnya yang mambahas blockchain antara lain Du et al., (2020), Jesus et al., (2018),
Demirkan et al., (2020), Chen et al., (2019) dan Zheng et al., (2022). Blockchain adalah suatu
bentuk teknologi yang digunakan untuk menyusun dan mencatat transaksi secara
terdesentralisasi dan aman. Ini adalah struktur data terdistribusi yang terdiri dari blok-blok
yang saling terhubung dan membentuk rantai (chain). Setiap blok menyimpan sejumlah
transaksi, dan setiap blok berisi tanda waktu dan referensi ke blok sebelumnya. Blockchain
pertama kali dikenal sebagai teknologi di balik mata uang digital Bitcoin, namun sejak itu
telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk keuangan, rantai pasokan, kesehatan, dan
banyak lagi. Blockchain menyediakan cara yang aman dan terdesentralisasi untuk mencatat
dan mentransfer kepemilikan aset digital atau informasi tanpa melibatkan pihak perantara
atau otoritas pusat.
Selain itu, penggunaan teknologi keamanan canggih tidak hanya bersifat responsif,
tetapi juga proaktif dalam mendeteksi dan merespons ancaman keamanan potensial. Sistem
pemantauan keamanan real-time memungkinkan deteksi dini terhadap aktivitas yang
mencurigakan atau tidak sah, sehingga tindakan pencegahan dapat diambil segera untuk
melindungi data pribadi yang terlibat.
Dengan mengimplementasikan teknologi tinggi dalam keamanan data, praktisi
akuntansi forensik dapat meningkatkan tingkat kepercayaan dalam melakukan penyelidikan,
sekaligus memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak privasi individu. Langkah-
langkah ini juga membantu membangun fondasi yang solid untuk integritas seluruh sistem
akuntansi forensik, memastikan bahwa data pribadi tetap aman dan terlindungi selama proses
investigasi berlangsung. Seiring dengan evolusi teknologi, upaya terus-menerus dalam
mengadopsi inovasi keamanan menjadi krusial untuk menjaga privasi data dalam konteks
akuntansi forensik yang semakin kompleks dan terkoneksi secara digital.
Pelatihan dan Pedoman Etika
Menetapkan pedoman etika yang ketat dan memberikan pelatihan berkelanjutan
tentang hukum privasi serta prinsip-prinsip etika merupakan langkah-langkah kritis dalam
memastikan bahwa akuntan forensik beroperasi dengan integritas dan sensitivitas terhadap
hak privasi individu. Pedoman etika yang ketat memberikan kerangka kerja yang jelas dan
tegas mengenai norma-norma perilaku yang diharapkan dalam setiap tahap penyelidikan. Hal
ini mencakup tanggung jawab untuk melindungi data pribadi dan menjaga keseimbangan
yang adil antara kebutuhan investigasi dan hak privasi. Para pembuat kebijakan didorong
untuk mempertimbangkan audit berbasis etika sebagai komponen integral dari pendekatan
holistik dalam mengelola risiko etika yang ditimbulkan. Ini benarbukan berarti mekanisme
kepatuhan tradisional berlebihan. Sebaliknya, audit forensik berbasis etika mempunyai
potensi untuk melengkapi dan menyempurnakan alat dan metode lainnya seperti pengawasan
manusia, sertifikasi, dan regulasi (Mökander & Floridi, 2021).
Pelatihan berkelanjutan menjadi esensial dalam menjaga pemahaman akuntan
forensik terhadap perkembangan hukum privasi dan prinsip-prinsip etika yang berkaitan
dengan praktik mereka. Seiring dengan perubahan regulasi dan perkembangan teknologi,
pelatihan ini memastikan bahwa akuntan forensik tetap relevan dan memahami cara terbaik
untuk menangani data pribadi dengan bijaksana.
Melé et al., (2017) mengemukakan dua maslaha penting dalam praktek keuangan dan
akuntansi yaitu pemahaman yang dalam tentang etika dan yang kedua dalah pemahaman
yang mendalam tentang bisnis. Kesadaran etika memainkan peran kunci dalam membentuk
perspektif dan keputusan akuntan forensik selama penyelidikan. Memahami implikasi etika

9
dari setiap langkah investigasi membantu mereka mengambil keputusan yang tidak hanya
mempertimbangkan kebutuhan investigasi, tetapi juga menghormati dan melindungi hak
privasi individu yang terlibat. Kesadaran ini menciptakan budaya profesional yang
memprioritaskan integritas dan moralitas dalam melakukan tugas-tugas akuntansi forensik.
Selain itu, pedoman etika dan pelatihan berkelanjutan bukan hanya alat untuk
memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga sebagai langkah proaktif untuk membangun
kepercayaan publik. Dengan menunjukkan komitmen terhadap etika dan privasi data, akuntan
forensik dapat membangun reputasi yang kuat sebagai profesional yang dapat dipercaya
dalam melaksanakan tugas mereka (Munoko et al., 2020).
Dengan menyatukan pedoman etika yang ketat, pelatihan berkelanjutan, dan
kesadaran etika yang tinggi, praktisi akuntansi forensik dapat menjaga standar tertinggi dalam
melindungi privasi data sambil menjalankan penyelidikan keuangan dengan integritas.
Penerapan langkah-langkah ini bukan hanya sebagai bentuk kepatuhan, tetapi juga sebagai
wujud komitmen etis untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa mengorbankan hak
privasi individu.
Kepatuhan Hukum dan Pengawasan
Aktif mematuhi regulasi privasi yang berlaku dan berkolaborasi dengan badan
pengawas merupakan strategi integral bagi akuntan forensik untuk menciptakan kerangka
hukum yang sesuai dan memperkuat perlindungan data pribadi. Mengingat kompleksitas
regulasi yang terus berkembang, kepatuhan yang proaktif bukan hanya menjadi kewajiban,
tetapi juga langkah penting dalam menjaga integritas penyelidikan keuangan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, regulasi yang ramai dibicarakan saat ini
adalah General Data Protection Regulation (GDPR). DPR berasumsi bahwa data pribadi itu
penting, begitu pula setiap aspek interaksi dengan data memerlukan perencanaan yang
matang (Hoofnagle et al., 2019).
Kunci implikasi perubahan ini terhadap penerapan GDPR disusun menjadi sebuah
kerangka kerja dengan 12 aspek yang harus dipertimbangkan oleh perusahaan agar secara
proaktif mempersiapkan dan mematuhinya dengan persyaratan yang akan datang dan untuk
menghindari sanksi ketidakpatuhan. Berdasarkan kerangka kerja tersebut, dampak dan
pendekatan masing-masing aspek diuraikan implementasi telah diuraikan. Dengan
mempertimbangkan 12 aspek tersebut, perusahaan dapat merencanakan peningkatan
perlindungan data pribadinya (Tikkinen-Piri et al., 2018).
Melibatkan diri secara aktif dalam mematuhi regulasi privasi memberikan manfaat
ganda. Pertama, ini memastikan bahwa akuntan forensik beroperasi dalam batas hukum yang
ditetapkan, menghindari potensi sanksi dan konsekuensi hukum yang dapat timbul akibat
pelanggaran regulasi. Kedua, hal ini menciptakan dasar yang kuat bagi perlindungan data
pribadi yang efektif, mengurangi risiko terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran privasi
selama penyelidikan.
Kolaborasi yang erat dengan badan pengawas menjadi kunci dalam membentuk
kerangka hukum yang sesuai. Dengan berpartisipasi secara aktif dalam dialog dan sharing
informasi dengan badan pengawas, akuntan forensik dapat memahami secara mendalam
perubahan dalam regulasi dan mendapatkan wawasan mengenai praktik terbaik yang
dianjurkan. Langkah-langkah ini membantu menciptakan kerangka hukum yang adaptif,
dapat disesuaikan dengan perkembangan terkini dalam perlindungan data pribadi.

10
Keterlibatan proaktif dengan otoritas tidak hanya memperkuat kepatuhan, tetapi juga
dapat meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik. Dengan menunjukkan keterbukaan
dan komitmen untuk bekerja sama dengan badan pengawas, akuntan forensik dapat
memperoleh dukungan dan pengakuan sebagai pihak yang berintegritas dalam menjalankan
tugas mereka.
Selain itu, melalui keterlibatan proaktif, akuntan forensik dapat membantu
membentuk arah regulasi ke depan. Berbagi pengalaman dan wawasan dari lapangan dapat
menjadi kontribusi berharga dalam pengembangan regulasi yang lebih efektif dan relevan
dengan realitas investigasi keuangan modern.
Dengan memadukan kepatuhan aktif terhadap regulasi, kolaborasi yang erat dengan
badan pengawas, dan keterlibatan proaktif dalam proses perumusan regulasi, akuntan
forensik dapat memainkan peran yang efektif dalam membangun kerangka hukum yang
memadai dan melindungi dengan kuat data pribadi selama penyelidikan akuntansi forensik.
Ini bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawab hukum, tetapi juga sebagai langkah strategis
untuk memastikan bahwa praktik akuntansi forensik tetap relevan, etis, dan dapat dipercaya.

KESIMPULAN
Privasi data merupakan aspek kritis dalam dunia akuntansi forensik, di mana
keamanan dan kerahasiaan informasi memiliki dampak langsung terhadap kepercayaan
publik, integritas bisnis, dan efektivitas investigasi. Dalam essay ini, kita akan
mengeksplorasi peran penting privasi data dalam konteks akuntansi forensik,
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi, serta merinci strategi untuk menjaga dan
meningkatkan keamanan informasi.
Akuntansi forensik, sebagai disiplin yang mencakup pemeriksaan dan analisis atas
catatan keuangan untuk mendeteksi penipuan atau kecurangan, sering kali melibatkan akses
terhadap informasi yang sangat rahasia dan sensitif. Data keuangan, rincian transaksi, dan
informasi pribadi karyawan menjadi bahan baku utama selama proses investigasi. Oleh
karena itu, pentingnya melindungi privasi data dalam konteks ini tidak dapat diabaikan.
Dalam akuntansi forensik, privasi data bukan hanya tentang kepatuhan hukum, tetapi
juga tentang menjaga kepercayaan publik dan integritas profesi. Dengan merangkul
teknologi, membangun kesadaran tim, dan mematuhi standar regulasi, praktisi akuntansi
forensik dapat menjadi pelindung privasi data yang andal, memastikan bahwa setiap langkah
investigasi diambil dengan mempertimbangkan hak-hak individu dan organisasi.

11
REFERENSI

Chatterjee, S., & Sreenivasulu, N. S. (2019). Personal data sharing and legal issues of human rights in
the era of artificial intelligence: Moderating effect of government regulation. International
Journal of Electronic Government Research, 15(3), 21–36.
https://doi.org/10.4018/IJEGR.2019070102

Chen, Y., Guo, J., Li, C., & Ren, W. (2019). FaDe: A blockchain-based fair data exchange scheme for
big data sharing. Future Internet, 11(11), 1–13. https://doi.org/10.3390/fi11110225

Cheng, X., Liu, S., Sun, X., Wang, Z., Zhou, H., Shao, Y., & Shen, H. (2021). Combating emerging
financial risks in the big data era: A perspective review. Fundamental Research, 1(5), 595–606.
https://doi.org/10.1016/j.fmre.2021.08.017

Choi, J. P., Jeon, D. S., & Kim, B. C. (2019). Privacy and personal data collection with information
externalities. Journal of Public Economics, 173, 113–124.
https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2019.02.001

Demirkan, S., Demirkan, I., & McKee, A. (2020). Blockchain technology in the future of business
cyber security and accounting. Journal of Management Analytics, 7(2), 189–208.
https://doi.org/10.1080/23270012.2020.1731721

Domingo-Ferrer, J., Farràs, O., Ribes-González, J., & Sánchez, D. (2019). Privacy-preserving cloud
computing on sensitive data: A survey of methods, products and challenges. Computer
Communications, 140–141(April), 38–60. https://doi.org/10.1016/j.comcom.2019.04.011

Du, M., Chen, Q., Xiao, J., Yang, H., & Ma, X. (2020). Supply Chain Finance Innovation Using
Blockchain. IEEE Transactions on Engineering Management, 67(4), 1045–1058.
https://doi.org/10.1109/TEM.2020.2971858

Gabudeanu, L., Brici, I., Mare, C., Mihai, I. C., & Scheau, M. C. (2021). Privacy intrusiveness in
financial-banking fraud detection. Risks, 9(6). https://doi.org/10.3390/risks9060104

Gai, K., Qiu, M., & Sun, X. (2018). A survey on FinTech. Journal of Network and Computer
Applications, 103, 262–273. https://doi.org/10.1016/j.jnca.2017.10.011

Golden, T. W., Skalak, S. L., Clayton, M. M., & Pill, J. S. (2011). A guide to forensic accounting
investigation Second Edition. John Wiley & Sons, Inc. https://doi.org/10.5860/choice.43-6636

Hoofnagle, C. J., Sloot, B. van der, & Borgesius, F. Z. (2019). The European Union general data
protection regulation: What it is and what it means. Information and Communications
Technology Law, 28(1), 65–98. https://doi.org/10.1080/13600834.2019.1573501

Howieson, B. (2018). Article information :What is the ‘good’ forensic accountant?A virtue ethics
perspective. Pacific Accounting Review, 30(2), 155–167.

Jesus, E. F., Chicarino, V. R. L., De Albuquerque, C. V. N., & Rocha, A. A. D. A. (2018). A Survey
of How to Use Blockchain to Secure Internet of Things and the Stalker Attack. Security and
Communication Networks, 2018. https://doi.org/10.1155/2018/9675050

Krafft, M., Kumar, V., Harmeling, C., Singh, S., Zhu, T., Chen, J., Duncan, T., Fortin, W., & Rosa, E.
(2021). Insight is power: Understanding the terms of the consumer-firm data exchange. Journal
of Retailing, 97(1), 133–149. https://doi.org/10.1016/j.jretai.2020.11.001

12
Mantelero, A. (2018). AI and Big Data: A blueprint for a human rights, social and ethical impact
assessment. Computer Law and Security Review, 34(4), 754–772.
https://doi.org/10.1016/j.clsr.2018.05.017

Maureen Nelloh, L. A., Santoso, A. S., & Slamet, M. W. (2019). Will users keep using mobile
payment? It depends on trust and cognitive perspectives. Procedia Computer Science, 161,
1156–1164. https://doi.org/10.1016/j.procs.2019.11.228

Melé, D., Rosanas, J. M., & Fontrodona, J. (2017). Ethics in Finance and Accounting: Editorial
Introduction. Journal of Business Ethics, 140(4), 609–613. https://doi.org/10.1007/s10551-016-
3328-y

Mökander, J., & Floridi, L. (2021). Ethics-Based Auditing to Develop Trustworthy AI. Minds and
Machines, 31(2), 323–327. https://doi.org/10.1007/s11023-021-09557-8

Munoko, I., Brown-Liburd, H. L., & Vasarhelyi, M. (2020). The Ethical Implications of Using
Artificial Intelligence in Auditing. Journal of Business Ethics, 167(2), 209–234.
https://doi.org/10.1007/s10551-019-04407-1

Piotrowski, D. (2023). Privacy frontiers in customers’ relations with banks. Economics and Business
Review, 9(1), 119–141. https://doi.org/10.18559/ebr.2023.1.5

Razaghpanah, A., Nithyanand, R., Vallina-rodriguez, N., Sundaresan, S., Allman, M., Kreibich, C., &
Gill, P. (2018). Apps , Trackers , Privacy , and Regulators. Network and Distributed Systems
Security (NDSS) Symposium, February.

Reynolds, G. W. (2015). Ethics in information science. In Cengage Learning (Vol. 1, Issue 5).
https://doi.org/10.1177/016555157900100505

Stewart, H., & Jürjens, J. (2018). Data security and consumer trust in FinTech Innovation in Germany
Information & Computer Security Data security and consumer trust in FinTech Innovation in
Germany Article information : Information & Computer Security, 26(1), 109–128.

Tao, H., Bhuiyan, M. Z. A., Rahman, M. A., Wang, G., Wang, T., Ahmed, M. M., & Li, J. (2019).
Economic perspective analysis of protecting big data security and privacy. Future Generation
Computer Systems, 98, 660–671. https://doi.org/10.1016/j.future.2019.03.042

Taylor, L. (2017). What is data justice? The case for connecting digital rights and freedoms globally.
Big Data and Society, 4(2), 1–14. https://doi.org/10.1177/2053951717736335

Tikkinen-Piri, C., Rohunen, A., & Markkula, J. (2018). EU General Data Protection Regulation:
Changes and implications for personal data collecting companies. Computer Law and Security
Review, 34(1), 134–153. https://doi.org/10.1016/j.clsr.2017.05.015

Zheng, K., Zheng, L. J., Gauthier, J., Zhou, L., Xu, Y., Behl, A., & Zhang, J. Z. (2022). Blockchain
technology for enterprise credit information sharing in supply chain finance. Journal of
Innovation and Knowledge, 7(4), 100256. https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100256

13

Anda mungkin juga menyukai