Anda di halaman 1dari 12

Filsafat Islam merupakan ilmu yang memiliki peran dalam perjalanan

berkembangnya pendidikan agama Islam. Konsep berpikir yang tidak hanya


berdasarkan logika tetapi juga harus didasarkan pada keimanan. Orang boleh
berfilsafat namun akidah tetap yang paling utama. Filsafat itu bersifat rasional
artinya memikirkan sesuatu tanpa melihat sesuatu.
Menurut pendapat orang barat filsafat is mother of science, tetapi
pendapat tersebut dibantah oleh ahli filsafat dari kalangan Islam seperti Imam
Ghozali dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa akidah is mother of science. Hal
tersebut didasarkan karena filsafat merupakan produk dari teologi, oleh
karena itu filsafat harus mendukung teologi. Contoh filsafat adalah seperti
Nabi Ibrahim a.s yang mencari Tuhannya. Pada awalnya Beliau mempercayai
bintang, kemudian bulan lalu matahari. Namun pada akhirnya Beliau
mempercayai bahwa yang menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya
adalah Allah SWT. Yang terdapat dalam QS Ar-Rum ayat 30 : “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah
Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Pada masa Dinasti Abbasiyah, Islam mengalami masa kejayaan
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Terdapat berbagai buku yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sehingga mempermudah para ilmuwan
Islam untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat. Kemudian
muncullah para filsuf muslim mulai dari Al-Kindi sampai pada masa Ibnu
Rusyd. Pada masa sesudah Ibnu Rusyd muncullah para tokoh filsafat dari
umat Islam seperti Nashiruddin Al-Thusi, Mulla Sadra, Muhammad Abduh,
Muhammad Iqbal.
Tokoh yang akan kita bahas kali ini kurang begitu populer dibanding
tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ar-
Razi, dan lainnya. Oleh karena itu, kemunculan namanya sebagai tokoh

1
penting dalam khazanah perkembangan peradaban Islam juga menjadi
sesuatu yang sulit ditemukan. Padahal memperbincangkan sejarah Filsafat
Islam, kita tak bisa meninggalkan tokoh yang memberikan sumbangan yang
begitu besar bagi perkembangan filsafat Islam khususnya madzhab
paripatetik ini. Nashiruddin Al-Thusi adalah seorang pemikir Islam yang
tidak hanya dikenal sebagai seorang filsuf, tetapi juga sebagai ahli astronomi,
matematikawan dan saintis/ilmuwan yang beberapa pemikirannya masih
digunakan sampai saat ini. Dia adalah seorang penulis yang mempunyai
banyak karya dalam bidang matematika. Ia juga seorang biolog, ahli kimia,
ahli pengobatan, ahli ilmu fisika, teolog dan Marja Taqleed. Al-Thusi
termasuk satu di antara sedikit astronom Islam yang mendapat perhatian dari
ilmuwan modern. Seyyed Hussein Nasr mengkategorikan Al-Thusi sebagai
salah satu di antara tokoh universal sains Islam yang pernah lahir dalam
peradaban Islam pada abad pertengahan.
Dari uraian diatas penulis ingin lebih luas mengetahui salah satu tokoh
filsuf muslim modern, yaitu Nashiruddin Al-Thusi. Oleh karena itu, pada
makalah kali ini kami akan memfokuskan bahasan ini pada Nashiruddin Al-
Thusi dan bagaimana pemikiran-pemikiran filsafat yang Ia munculka

A. Biografi Nashiruddin Al-Thusi


Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-
Hasan Nashiruddin Al-Thusi.(Mustofa, 1997) Ia lahir pada 18 Februari 1201
M / 597 H di kota Thus dekat Meshed Persia sekarang sebelah timur laut
Iran. Beliau di kenal dengan sebutan Nashiruddin Al-Thusi. Nama ayahnya
Muhammad bin Hasan, yang mendidik Thusi sejak pendidikan dasar.
Nashiruddin Al-Thusi menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa arab dan
bahasa persia. Dia juga menulis dengan dua bahasa tersebut. Nashiruddin Al-
Thusi dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya, yaitu
budaya arab dan budaya persia dengan tingkat penguasaan yang sama.(Cahya,
2015) Sejak usia belia, Al-Thusi sudah mendapatkan pendidikan agama dari
ayahnya dan pengetahuan logika, fisika, metafisika dari pamannya.

2
Meskipun demikian beliau juga mempunyai beberapa nama berbeda
dikarenakan kemahsyurannya, antara lain Muhaqqiq Al-Thusi, Khuwaja
Thusi dan Khuwaja Nasir, dan Al-Thusi. Al-Thusi pun dikenal sebagai
ilmuwan “serba bisa” (Multi Talented). Al-Thusi merupakan sarjana Muslim
yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja
seperti Thomas Aquinas. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti
astronomi, politik, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran hingga
ilmu agama Islam.(El Saha, 2004)
Selain mempelajari ilmu agama di sekolah itu, Al-Thusi juga
mempelajari Fiqih, Ushul, Hikmah dan Kalam, dan juga Isyaratnya Ibnu Sina,
dari Mahdar Fariduddin Damad,dan Matematika dari Muhammad Hasib, di
Nishapur. Kemudian dia pergi ke Baghdad. Disana dia mempelajari ilmu
pengobatan dan Filsafat dari Qutbuddin, dan juga Matematika dari
Kamaluddin bin Yunus dan Fiqih serta Ushul dari Salim bin Bardan.
(M.M.Syarif, 1993)
Al-Thusi lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia Islam telah
mengalami masa-masa sulit. Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang
begitu kuat di bawah pimpinan Jengis Khan yang brutal dan sadis bergerak
cepat dari Cina ke Barat menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang amat
luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara
Mongol dengan sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan
E.F.Robertson, bahwa pada masa itu dunia tengah diliputi kecemasan. Hilang
rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk
mengembangkan ilmu pengetahuannya. Al-Thusi pun tak dapat mengelak
dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil, Al-Thusi digembleng ilmu
oleh ayahnya yang berprofesi sebagai ahli hukum di sekolah Imam Kedua
Belas. Karena keahliannya, akhirnya ia direkrut penguasa dinasti Nizari
Ismailiyah. Selama mengabdi, ia mengisi waktunya dengan menulis beragam
karya penting tentang logika, filsafat, matematika serta astronomi. Karya
pertamanya adalah kitab Akhlaqi Nasiri yang ditulisnya pada 1232 M.(Cahya,
2015)

3
Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan
akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluhlantakkannya pada tahun
1251 M. Al-Thusi selamat, karena Hulagu Khan ternyata sangat menaruh
minat terhadap ilmu pengetahuan. Al-Thusi pun diangkat sebagai penasihat di
bidang ilmu pengetahuan oleh Hulagu Khan. Al-Thusi bahkan juga diangkat
sebagai wazir dan pengawas lembaga-lembaga agama pemerintahan Mongol.
Karenanya, ia dapat meningkatkan pengaruh Imamiyah di Irak dan Iran.
Meskipun telah menjadi penasihat pasukan Mongol, Nashiruddin tetap tak
mampu menghentikan kebiadaban Hulagu Khan yang membumi hanguskan
Kota Metropolis Intelektual dunia, yaitu kota Baghdad pada tahun 1258 M.
Terlebih lagi pada saat itu Dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan
Khalifah Al-Mu’tashim yang lemah.
Hulagu Khan sangat senang sekali ketika Al-Thusi mengungkapkan
rencananya untuk membangun observatorium di Margha, Azerbaijan.
Kecenderungan intelektualnya pun akhirnya semakin bertambah saat Hulagu
Khan membangun observatorium untuknya pada tahun 657 H / 1259 M yang
dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Beliau juga menulis biografi raja
Mongol, yang berjudul Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno, yang berisi
nasihat-nasihat keuangan negara dan administrasi pemerintahan.
Pembangunan observatorium ini melibatkan para sarjana dari Persia dan
astronom dari China. Observatorium Margha ini mulai beroperasi pada tahun
1262 M. Disini Al-Thusi menyusun tabel-tabel astronominya yang disebut Zij
Al-Ikhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam
Bahasa Arab dan kemudian menjadi terkenal di seluruh Asia bahkan sampai
ke China. Pada akhir abad ke-7 H / ke-13 M, observatorium ini juga
digunakan untuk mengembangkan 3 ilmu penting lainnya, yaitu Matematika
dan Filsafat. Al-Thusi juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya yang
berjudul At-Tadzkira fi ‘Ilm Al-Hay’a (Memoar Astronomi). Al-Thusi
mampu memodifikasi model semesta Apisiklus Ptolomeus dengan prinsip-
prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit.
(Rabbani, 2018)

4
Pada musim dingin tahun 672 H / 1273 M, Al-Thusi bersama dengan
Agha Khan pergi ke Baghdad. Agha Khan kembali ke ibu kota setelah selesai
musim dingin. Namun Al-Thusi tetap disana dengan maksud untuk
menyelesaikan tugasnya hingga akhirnya ia meninggal pada tanggal 18
Dzulhijjah pada tahun tersebut. Berdasarkan surat wasiat yang ditulisnya, ia
pun dimakamkan di dekat Haram Kazhimain, Irak.(Ni’mat, 1987)

B. Karya-Karya Nashiruddin Al-Thusi


Al-Thusi merupakan salah seorang ulama yang menguasai berbagai
bidang ilmu, tidak hanya filsafat semata. Terbukti bahwa ia telah mengarang
lebih dari 145 buku dalam bidang ilmu matematika, astronomi, geografi, dan
fisika. Diantara sebagian buku itu, terdapat hasil terjemahan dari buku-buku
Yunani dan penjelasannya. Sebagaimana dia juga mempelajari buku-buku
Ibnu Haitsam yang sangat dikaguminya. Buku-buku tersebut dia tambah
dengan penjelasan-penjelasan dan komentar.(Islamea, 2015)
Meskipun Al-Thusi pandai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan
namun ia bukan seorang ilmuwan atau filsuf yang kreatif sebagaimana filsuf
yang ada di Timur yang memuat gagasan sebelumnya. Ia bukan termasuk ahli
fikir yang kreatif yang dapat memberikan gagasan yang murni dan
cemerlang. Hal ini tampak pada perannya sebagai pengajar gerakan
kebangkitan kembali dan dalam karya-karyanya yang kebanyakan bersifat
elektis yakni bersifat memilih dari berbagai sumber. Meskipun demikian, ia
tetap memiliki ciri khas tersendiri dalam menyajikan bahan tulisannya.
Kepandaiannya yang beragam sangat mengagumkan. Minatnya yang banyak
dan mencakup berbagai jenis ilmu pengetahuan, antara lain filsafat,
matematika, astronomi, fisika, mineralogi, musik, ilmu pengobatan, sejarah,
kesusastraan dan dogmatik.(Suryadi, 2009)
Adapun karya-karya Al-Thusi sebagai berikut(Suryadi, 2009):
1. Karya di bidang Logika
a. Asas Al-Iqtibas
b. At-Tajrid fi Al-Mantiq

5
c. Syarhi Mantiq Al-Isyarat
d. Ta’dil Al-Mi’yar
2. Karya di bidang Metafisika
a. Risalah Dar Ithbati Wajib
b. Itsari Jauhar Al-Mufariq
c. Risalah Dar Wujudi Jauhari Mujarrad
d. Risalah Dar Itsbati ‘Aqil Fa’al
e. Risalah Darurati Marg
f. Risalah Sudur Kharat Az Wahdat
g. Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul
h. Tashawwurat
i. Talkis Al-Muhassal
j. Halli Musykilat Al-Asyraf
3. Karya di bidang Etika
a. Akhlaki Natsiri
b. Ausaf Al-Asyarf
4. Karya di bidang Dogmatik
a. Tajrid Al-‘Aqaid
b. Qawaid Al-‘Aqaid
c. Risalahi I’tiqodat
5. Karya di bidang Astronomi
a. Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai’a : Buku suntingan dari
sejumlah karya Yunani, Ikhananian Table (penyempurna Planetary
Tables).
b. Kitab At-Tadzkira fi Al-Ilmal Hai’a : Buku ini terdiri atas empat
bab, yaitu:
1) Pengantar geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi
tentang saat berhenti, gerak-gerik sederhana dan kompleks.
2) Pengertian-pengertian Astronomikal secara umum, perubahan
sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab ini diterjemahkan oleh
Carr De Vaux yang penuh dengan kritik tajam atas Al-Magest

6
karya Ptolemy. Kritikan ini merupakan pembuka jalan bagi
Copernicus, terutama pembiasaan-pembiasaan pada bulan dan
gerakan dalam ruangan planet-planet.
3) Bumi dan pengaruh benda-benda angkasa atasnya, termasuk di
dalamnya tentang laut, angin, pasang surut, serta bagaimana hal
ini terjadi.
4) Besar dan jarak antar planet.
c. Zubdat Al-Hai’a, termasuk 9 karya yang terbaik dalam Astronomi
d. Al-Tahsil fil An-Nujum
e. Tahzir Al-Majisti
f. Mukhtasar fi Al-‘Ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin (ringkasan
Astrologi dan penanggalan)
g. Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam
An-Nujum (buku terbaik tentang Almanak, pergerakan bintang dan
Astrologi Kehakiman).
6. Karya di bidang Aritmatika, Geometri dan Trigonometri
a. Al-Mukhtasar bi Jami’ Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab (ikhtisar
dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi).
b. Al-Jabar wa Al-Muqabala (risalah tentang Al-Jabar).
c. Al-Ushul Al-Maudu’a (risalah mengenai Euclidas Postulate).
d. Qawa’id Al-Handasa (kaidah-kaidah Geometri ).
e. Tahrir Al-Ushul.
f. Kitab Shakl Al-Qatta (risalah tentang Trilateral), sebuah karya
dengan keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang Abad
Pertengahan. Buku tersebut sangat berpengaruh di Timur dan Barat
sehingga menjadi rujukan utama dalam penelitian Trigonometri.
7. Karya di bidang optik
a. Tahrir Kitab Al-Manazir.
b. Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in Itaafiha (penelitian tentang
refleksi dan defleksi sinar-sinar).
8. Karya di Bidang Seni (Syair)

7
a. Kitab fi ‘Ilm Al-Mausiqi
b. Kanz At-Tuhaf
9. Karya di bidang medis
a. Kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah(Hadariansyah,
2013) buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan
kesehatan dan hubungan seksual.

C. Pemikiran Filsafat Nashiruddin Al-Thusi


Abad 13 adalah masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit
pemikiran politik yang berkembang, bahkan sulit menemukan pemikir politik
yang orisinal pada periode pasca Mongol tersebut. Akan tetapi Al-Thusi
merupakan seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual
dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Al-Thusi tidak menciptakan
pemikiran baru, tetapi ia mengadopsi dan mengembangkan pemikiran yang
sudah ada. Ia mempelajari filsafat Yunani dan Islam, misalnya lewat karya-
karya Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya. Ia juga dikenal ahli
dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di Nishapur, sebuah
kota yang menjadi pusat peradaban yang sangat berpengaruh.
Dalam pemikiran agama, Al-Thusi mengadopsi ajaran-ajaran
Neoplatonik Ibnu Sina dan Suhrawardi, dimana keduanya menyebutkan
bahwa demi alasan-alasan taktis, orang bijak (hukama’) bukan sebagai filsuf.
Nashiruddin Al-Thusi sendiri berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa
dibuktikan, namun sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan
pengajaran yang otoritatif, sekaligus filsafat.
Dalam pemikiran politik, Al-Thusi cenderung menyintesiskan ide-ide
Aristoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre nasihat
kepada raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat.
Buku etiknya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya tersebut
membahas persoalan individu, keluarga, serta komunitas kota, provinsi, desa,
atau kerajaan.

8
Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan
pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau
adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai
pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada
kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, yaitu
hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fikih.(Murtiningsih, 2012)
Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk individu, keluarga, dan
penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat mempunyai kebenaran-
kebenaran yang tetap, sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin
berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta
terjadinya peralihan dinasti. Beliau menafsirkan Negara atau dinasti sepeti
daulah menurut pandangan Ismailiyah, hal ini terlihat dari pandangannya
tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penafsiran Fuqaha’ dan
juga para imam. Sehingga Al-Thusi menganggap syariat sebagai suatu
tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan
Sunni.(Black, 2006).

Pemikiran filsafat Al-Thusi dibagi menjadi tiga, yaitu:


1. Filsafat Metafisika
Menurut Al-Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu ilmu
Ketuhanan (‘Ilmi Ilahi) dan filsafat pertama (Falsafah Ula). Ilmu
Ketuhanan meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, serta pengetahuan tentang
alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta yang
merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok
ketunggalan dan kemajemukan, kepastian, dan kemungkinan, esensi dan
eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan juga membentuk bagian dari
filsafat pertama tersebut. Diantara cabang (furu’) metafisika itu termasuk
pengetahuan ke-Nabian (Nubuwwat). Jelajah subjek itu menunjukkan
bahwa metafisika merupakan esensi filsafat Islam dan lingkup
sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.(Syarif, 1963)

9
Bagi Al-Thusi eksistensi Tuhan sebagai postulat (yang sudah terang
akan kebenaran bahwa Allah itu ada), harus diyakini oleh manusia dan
bukan harus dibuktikan. Pembuktian eksistensi Tuhan ataupun wujud
Tuhan bagi manusia adalah mustahil, karena pemahaman manusia
tentang wujud Tuhan sangat terbatas untuk dipikirkan. Meskipun Al-
Thusi membagi metafisika atas ilmu Ketuhanan dan filsafat pertama,
tetapi di dalamnya tidak mencakup kajian pembuktian eksistensi Tuhan,
karena ini merupakan hal yang di luar batas kemampuan pembuktian
manusia. Al-Thusi berpendapat sama halnya dengan filsuf lainnya yang
mengulas teori ex nihilo yaitu sebuah teori yang menyatakan adanya
penciptaan sesuatu dari tidak ada.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-
Anbiya’ ayat 30, yaitu:
‫َأَو َلْم َيَر اَّلِذيَن َك َف ُر وا َأَّن الَّسَم اَو اِت َو اَأْلْر َض َك اَنَت ا َر ْت ًقا َفَف َت ْق َن اُه َم ا َو َج َع ْلَن ا ِمَن اْلَم اء‬
. ‫ُك َّل َش ْي ٍء َح ٍّي َأَفاَل ُيْؤ ِم ُنوَن‬
Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?”
(QS.Al-Anbiya’:30).
2. Filsafat Etika
Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Al-Thusi ini adalah untuk
menemukan cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa
mencapai kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering
berbuat baik, menempatkan kebaikan diatas keadilan dan cinta.
Menurut Plato, yang termasuk perbuatan baik menyangkut
kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Keempat hal ini
termasuk pada trinitas jiwa yang meliputi akal, kemarahan, dan hasrat.
Namun Al-Thusi yang sependapat dengan Ibnu Maskawaih. Ia
menempatkan kebajikan diatas keadilan, dan cinta sebagai sumber alam
kesatuan, diatas kebajikan.

10
Perbuatan baik selalu diusik oleh perbuatan jahat. Selain dari
kebaikan dan kejahatan, satu hal yang mempengaruhi etika adalah
penyakit. Penyakit yang dimaksud adalah penyakit moral manusia, yang
merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut Al-Thusi,
penyakit moral ini bisa disebabkan oleh tiga sebab, yaitu keberlebihan,
keberkurangan, ketidakwajaran akal, dan kemarahan, serta hasrat.
(M.M.Syarif, 1993)
Dari teori tiga sebab ini, Al-Thusi menggunakannya dengan
menggolongkan tiga golongan penyakit fatal akal teoritis yang terbagi
menjadi tiga karakter, yaitu:
a. Kebingungan (hairat)
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk
membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya
bukti saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan
terhadap suatu masalah yang kontroversial.
b. Kebodohan sederhana (Jahl Basith)
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia
akan suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan
semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak
untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas
dengan keadaan begitu.
c. Kebodohan fatal (Jahl Murakkab)
Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia akan suatu hal
dan dia merasa mengetahui hal itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak
tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut Al-Thusi, penyakit ini
adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan
upaya keras dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa
ditekan kefatalannya menjadi kebodohan bersama.(Suryadi, 2009)
Pandangan Al-Thusi secara keseluruhan, ia menganggap bahwa
manusia adalah makhluk sosial, maka untuk memperkuat sikap
daripada manusia itu sendiri, manusia mesti mencapai sebuah watak

11
yang baik terhadap sesamanya sampai batas sempurna.
Kesempurnaan ini disebutnya dengan peradaban. Manusia hidup
saling membutuhkan maka sangat mustahil manusia bisa hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain.
3. Filsafat Jiwa
Pandangan Al-Thusi tentang jiwa, ia berasumsi bahwa jiwa
merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak
memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan secara
kasat mata. Masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi
orang itu sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang
logis sebab suatu argumen masyarakat tentang adanya seorang ahli
argumen dan sebuah masalah untuk diargumentasikan, sedangkan dalam
hal ini, keduanya sama yang bernama jiwa.(M.M.Syarif, 1993) Jiwa
mmpunyai sifat sebagai substansi sederhana dan immaterial yang dapat
merasa sendiri. Jiwa berkerja untuk mengontrol tuubuh melalui otot-otot
dan alat-alat perasa, tetapi jiwa tidak bisa dirasa lewat alat-alat tubuh.

12

Anda mungkin juga menyukai