Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistematika Hukum Islam dan Adat Kebudayaan merupakan suatu hal yang
tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Keduanya saling berkaitan erat.
Masyarakat menjadi bagian dari kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sendiri
merupakan hasil dari adanya masyarakat. Seperti halnya kebudayaandan suku
batak, suku batak sudah tidak asing lagi kita dengar dalam pembelajaran kita
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Suku batak sendiri memiliki beraneka
ragam jenis subsub suku/etnis yang memang berbeda-beda dan unik. Bahkan
diluar sana menurut pengamatan penulis masih banyak orang yang belum
mengetahui mengenai suku batak lebih spesifik.
Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami perbedaan Sistematika
Hukum Islam dan Adat Budaya yang satu ini serta agar dapat menambah
wawasan pembaca mengenai Sistematika Hukum Islam dan Adat Budaya
Mandailing.0
BAB II
PEMBAHASAN
1
Lihat, H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bagian pertama (Cet. I: Jakarta:
Logos, 1997), h. 46.
2
Lihat, M. Hasbi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam (Cet. V, Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 105.
3
Lihat, H. Faturrahman Djamil, op.cit. h. 47
Rasul menjelaskan beberapa aspek jual beli yang lazim berlaku pada
masa beliau. Selebihnya, tradisi atau adat masyarakat tertentu dapat,
dijadikan sebagai bahan penetapan hukum jual beli.
c) Universal dan Dinamis
Ajaran Islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa tapal
batas, tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup
ajaranajaran Nabi sebelumnya. Berlaku bagi orang Arab dan orang
`Ajam (non Arab). Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik
hukum itu sendiri yang kekuasaan tidak terbatas. Di samping itu, hukum
Islam mempunyai sifat yang dinamis (cocok untuk setiap zaman).4
Hukum Islam memberikan kepada kemanusiaan sejumlah hukum
yang positif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat.
Dalam gerakannya hukum Islam menvertai perkembangan manusia,
mempunyai kaidah asasiyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah yang akan
menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman
dengan tetap memelihara kepribadian. dari nilai-nilai asasinya.5
d) Sistematis
Arti dari pc.myataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis
adalah bahwa hukum Islam nu mencerminkan sejumlah doktrin yang
bertalian secara logis, sating berhubungan satu dengan lainnya.6
Perintah shalat dalam al-Qur'an senantiasa diiringi dengan perintah
zakat. Dan berulang-ulang Allah berfirman "makan dan minumlah kamu
tetapi jangan benlebihan". Dalam hal ini dipahami bahwa hukum Islam
melarang seseorang hanya mermuamalah dengan Allah dan melupakan
dunia. Manusia diperintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam
melarang sifat imperial dan kolonial kctika mencari rezeki tersebut.
e) Hukum Islam bersifat Ta'aquli dan Ta'abbudi
Sebagaimana dipahami bahwa syari'at Islam mencakup bidang
mu'amalah dan bidang ibadah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-
nilai ta'abbudil ghairu ma' qulah al ma'na (Irasional), artinya manusia
4
Ibid, h. 49.
5
Lihat, M. Hasbi As-Shiddiegy, Op-cit.; h. 108
6
Lihat, H. Fathurrahman Djamil, Op.cit., h. 5 1
tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyari'atkan dalam
bidang ini, tidak ada pintu ijtihad bagi umat manusia. Sedangkan bidang
muamalah, di dalamnya terkadang nilai-nilai ta'aquli/ma’aqulah al-ma’na
(rasional). Artinya, umat Islam dituntut untuk berijtihad guna
membumikan ketentuan-ketentuan syari'at tersebut.7
7
Ibid, h. 52.
8
Lihat, H. Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dart Pengantar Studi Hukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 64- 65.
9
Lihat T.M. Hasbi ash-Shiddeqy, Op.Cit. h. 73-83
Ada lima prinsip hukum Islam yang menjadi dasar atau fundamen
bangunan hukum Islam baik yang akan muncul dalam kehidupan manusia :
a) Tidak Menyulitkan/Memberatkan (‘adam al-haraj)
Al-Haraj berarti al-dhaiq/ al-dhīq yang berarti kesempitan,
kesusahan, kesedihan, kesukaran, atau kesulitan.Prinsip ‘adam al-haraj
dalam hukum Islam bermakna bahwa di dalam hukum Islam tidak ada
dan tidak boleh ada tugas/tanggung jawab yang melebihi kemampuan
atau terlalu berat untuk dipikul oleh manusia. 10 Cukup banyak teks
Alqur’an dan Hadis yang menjelaskan tentang prinsip ini, di antaranya :
Q.S. Al-Baqarah/02:286
14
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jilid I, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1998), h. 417
15
Tâj al-Dîn al-Subkî, Matn Jam al-Jawâmi’ dalam Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Bannânî, Jilid I,
(Bayrût : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983), h. 124-124.
16
Saefuddîn al-Âmidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1983), h.13
17
Abû Ishâq Ibrâhîm ibn ‘Alî al-Syîrâzî, al-Luma’ fi Ushûl al-Fiqh, (Semarang: Toha Putra,
t.t.), h. 3
18
AbdulWahhâb Khallâf, Ilm Ushûl al-Fiqh, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), h. 20.
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat
Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang
Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang
merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf
Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara
Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Suku
Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan
dipergunakan untuk menulis kitabkitab kuno yang disebut pustaha (pustaka).
Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-
ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan
mimpi.
2. Landasan Operasional
a) Adat Pertunangan
Mangarisika Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke
tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk
mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda
mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-
barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
b) Horja Siriaon (Upacara Adat Perkawinan)
Sebelum acara adat dimulai, biasanya diperlukan perlengkapan
upacara adat, seperti sirih (napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang
(gambir), tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam
sebuah tepak. Lalu, sebagai simbol kebesaran (paragat) disiapkan payung
rarangan, pedang dan tombak, bendera adat (tonggol) dan langit-langit
dengan tabir.
Adat pada suku Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na
tolu, seperti mora, kahanggi dan anak boru. Prosesi upacara pernikahan
dimulai dari musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai, yaitu
berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik. Setiap anggota
berbalas tutur, seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama
yang membuka pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat (suhut),
dilanjutkan dengan menantu yang punya hajat (anak boru suhut), ipar
dari anak boru (pisang raut), peserta musyawarah yang turut hadir
(paralok-alok), raja adat di kampung tersebut (hatobangan), raja adat dari
kambpung sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan
sidang (raja panusunan bulang).
Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama
mangupa atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak
agama Islam masuk dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu
kepada ajaran Islam dan adat. Biasanya ada kata-kata nasihat yang
disampaikan saat acara ini. Tujuannya untuk memulihkan dan atau
menguatkan semangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk mangupa,
berupa hidangan yang diletakkan ke dalam tampah besar dan diisi dengan
nasi, telur dan ayam kampung dan garam Masing-masing hidangan
memiliki makna secara simbolik. Contohnya, telur bulat yang terdiri dari
kuning dan putih telur mencerminkan kebulatan (keutuhan) badan
(tondi). Pangupa tersebut harus dimakan oleh pengantin sebagai tanda
bahwa dalam menjalin rumah tangga nantinya akan ada tantangan berupa
manis, pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu, pengantin harus siap
dan dapat menjalani dengan baik hubungan tersebut.
c) Mengharoani
Sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya
diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang
berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut
tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan
aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan
memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung
adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak
yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.
d) Pelestarian Horja Mambulungi/ Horja Siluluton (Upacara Adat
Kematian)
Didalam adat istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu
perkawinannya dilaksanakan dengan upacara adat perkawinan, maka
pada saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat
kematian terutama dari garis keturunan Raja-Raja Mandailing. Seorang
anak keturunan Raja, apabila ayahnya meninggal dunia wajib mengadati
(Horja Mambulungi). Jika belum mengadati seorang anak atau
keluarganya tetap menjadi kewajiban /utang adat bagi keluarga yang
disebut mandali di paradaton dan jika ada yang akan menikah, tidak
dibenarkan mengadakan pesta adat perkawinanan (horja siriaon).
Pelaksanaan Upacara Adat Kematian dilaksanakan:
1. Pada saat penguburan.
2. Pada hari lain yang akan ditentukan kemudian sesuai dengan
kesempatan dan kemampuan keluarganya.
3. Landasan Strukural
a) Dalihan Na Tolu merupakan fondasi budaya Angkola-Sipirok, Padang
Lawas dan Mandailing, yang saat ini lambat laun mengalami ancaman
kepunahan. Pada Dalihan Na Tolu terdapat 3 unsur, yaitu:
1) Kahanggi, adalah kelompok yang mengayomi.
2) Anak boru, adalah kelompok yang melaksanakan tugas.
3) Mora, adalah kelompok yang dalam posisi penasehat.
Pada Dalihan Na Tolu terdapat 109 nilai, yang diperas menjadi 9 nilai
budaya utama, yaitu:
1) Kekerabatan, mencakup hubungan primordial, suku, kasih sayang atas
dasar hubungan darah dan perkawinan.
2) Religi, mencakup kehidupan beragama.
3) Hagabeon, mencakup banyak anak-cucu serta panjang umur.
4) Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan dan kharisma.
5) Hamaraon, mencakup kekayaan yang banyak tapi halal.
6) Hamajuon, mencakup kemajuan dalam menuntut ilmu pengetahuan.
7) Hukum, mencakup “ptik dan uhum’’ dalam rangka menegakkan
kebenaran.
8) Pengayoman, nilainya lebih kecil dari 7 unsur lainnya, karena orang
AngkolaMandailing harus mandiri.
9) Konflik, mencakup terjadi pertarungan kekuatan tentang masalah
tanah dan warisan.
b) Mamodomi Boru
Mungkin semua orang sering mendengar istilah kawin lari, di
Mandailing. Biasa disebut dengan Mangalojongkon Boru. Bila seorang
pemuda membawa kawin lari seorang gadis, biasanya si gadis ditemani
satu orang gadis juga yang disebut dengan Pandongani. Dalam tradisi
Mandailing ini masih sering terjadi. Untuk menghindari sesuatu yang
dianggap melanggar norma-norma, lahirlah tradisi yaitu “Mamodomi
Boru”. Mamodomi Boru artinya, meramaikan/menemani seorang gadis
yang mau menikah pada malam hari dirumah kediaman calon suaminya
sebelum dijatuhi akad nikah. Mamodomi boru biasanya diramaikan oleh
gadis-gadis setempat selama tiga malam. Dan rumah kediaman calon
suami akan selalu ramai karena, pemuda-pemuda juga ikut berkunjung ke
rumah itu.
Pada momen ini juga biasanya disediakan daun sirih (Burangir)
beserta dengan kombinasinya seperti sontang sejenis daun kering yang
biasa dimakan bersamaan dengan daun sirih. Dan perlu diketahui sontang
bisa jadi obat saat suara kita serak. Bila para gadis mau tidur,
diperkenankan kepada para pemuda untuk bubar. Begitulah seterusnya
pada setiap malamnya sampai akad nikah telah dilaksanakan. Mamodomi
boru sering juga disebut dengan istilah paboru-boru. Seperti yang
diuraikan tadi, bila akad nikah sudah dilakukan sipandongani juga boleh
pulang kerumahnya. Tapi perlu diketahui sebelumnya, kalau selama akad
nikah belum terlaksana. Dari pihak laki-laki atau calon suami harus pergi
ke rumah orangtua calon istri, untuk menyatakan kalau anak gadisnya
telah dibawa kawin lari, ini biasa disebut mandokon ulang agoan. Nah
begitulah salah satu adat di Mandailing yang mempunyai nilai dan norma
yang baik.
c) Kekerabatan
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik
patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing
mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja, antara
lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang,
Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay,
Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin
semarga, maka orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin
semarga. Hal ini lah yang menyebabkan marga orang Batak bertambah
banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat marga
yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi
perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan
upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status
sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi
dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah
berubah, terutama di perantauan. Kata marga di Mandailing atau
Mandahiling bisa berarti clan yang berasal dari bahasa Sanskrit, varga
yaitu warga atau warna, ditambah imbuhan ma atau mar, menjadi mavarga
atau marvarga, artinya berwarga, dan disingkat menjadi marga. Marga itu
sendiri bermakna kelompok atau puak orang yang berasal dari satu
keturunan atau satu dusun. Marga juga bisa berasal dari singkatan 'naMA
keluaRGA'. Namun, tidak semua orang Mandailing mencantumkan marga
dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas antara orang
Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang Mandailing
ada juga yang tak memakai sistem patrilineal atau sistem marga,
melainkan memakai sistem matrilineal atau yang diistilahkan sebagai
sistem suku dalam bahasa Minang, seperti contohnya etnis Lubu yang
merupakan penduduk asli Mandahiling. Selain itu, marga juga bisa
diartikan sebagai dusun, seperti halnya arti marga di wilayah Sumatera
Utara.
d) Agama dan Bahasa
Penduduk suku Batak Mandailing mayoritas adalah beragama Islam.
Berbeda dengan orang Batak Toba yang beragama Kristen. Tapi kedua
suku bangsa ini berawal dari sejarah asal usul yang sama. Bahasa
Mandailing merupakan bahasa yang terdapat di provinsi Sumatera Utara
bagian Utara, Sumatera Barat dan Riau bagian utara, yang merupakan
varian dari bahasa Sanskerta yang banyak dipengaruhi bahasa Arab.
Bahasa Mandailing Julu dan Mandailing Godang dengan pengucapan yang
lebih lembut lagi dari bahasa Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba.
Mayoritas penggunaannya di daerah Kabupaten Mandailing Natal, tapi
tidak termasuk bahasa Natal (bahasa Minang), walaupun pengguna bahasa
Natal berkerabat (seketurunan) dengan orang-orang Kabupaten Mandailing
Natal pada umumnya.
e) Pakaian Adat
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
secara umum hukum Islam berorientasi pada perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Artinya hukum Islam bertujuan pada pemeliharaan
agama, menjamin, menjaga dan memelihara kehidupan dan jiwa, memelihara
kemurnian akal sehat dan menjaga ketertiban keturunan manusia serta menjaga
hak milik harta kekayaan untuk kemaslahatan hidup umat manusia.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Sebagai umat Islam hendaknya memahami hukum Islam dengan baik, karena
hukum ini mengatur berbagai kehidupan umat manusia untuk mencapai
kemaslahatan.
2. Setiap manusia hendaknya menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, karena
hak ini sebagai dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
3. Dalam mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, baik dibidang hukum,
hak dan kewajiban asasi manusia, serta kehidupan berdemokrasi hendaknya
berdasarkan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.
DAFTAR PUSTAKA