58 JOHN STUART MILL
mula nurani, saya bisa mengatakan inilah yang
semula membentuknya.
Oleh karena itu, sanksi utama dari semua
moralitas (dalam hal ini, motif sosial dipisahkan)
menjadi perasaan yang subjektif dalam pikiran
kita. Saya melihat orang-orang, dengan standar
utilitas mereka, tanpa malu bertanya: lantas, apa
sanksi dari standar yang khusus itu? Kita bisa
menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang
sama seperti standar moral lain yakni kesadaran
manusia. Tentu saja sanksi tidak selalu manjur
bagi orang-orang yang tidak memiliki perasaan ini,
namun mereka juga tidak akan lebih taat pada
prinsip moral lain selain prinsip utilitarian. Mereka
merasa moralitas tidak memiliki pegangan kecuali
melalui sanksi sosial. Ketika perasaan itu hadir
(perasaan ini sebenarnya sudah menjadi bagian
jiwa manusia), kekuatan yang besar kemudian
mampu mengontrol tindakan orang lain dan ini
dibuktikan dengan pengalaman. Tidak pernah ada
alasan mengapa tindakan-tindakan yang terkait
dengan moral utilitarian diatur dengan perhatian
yang besar seperti aturan moral lainnya.
Saya sadar ada kecenderungan untuk meyakini
bahwa seseorang yang memandang kewajiban
moral sebagai fakta transendental, realitas objektif
yang mengarah pada “hal-hal dalam diri mereka
sendiri”, memang biasanya lebih patuh daripada
orang yang percaya bahwa kewajiban moralUTILITARIANISME
sepenuhnya subjektif dan hanya tumbuh dalam
kesadaran manusia saja. Namun apa pun pen-
dapat orang tentang ontologi ini, kekuatan yang
sangat dia dambakan adalah perasaan subjek-
tifnya sendiri dan perasaan ini tentu diukur pula
berdasarkan kekuatannya. Tidak ada yang
meyakini bahwa Tugas adalah realita objektif yang
lebih kuat daripada keyakifian mereka terhadap
kekuatan Tuhan; namun kepercayaan pada Tuhan,
lepas dari harapan akan ganjaran dan hukuman,
hanya bekerja berdasarkan perilaku, dan ini
sebanding pula dengan perasaan keagamaan yang
subjektif. Sanksi, sejauh tidak memihak, selalu ada
dalam pikiran itu sendiri; dan oleh karena itu,
gagasan tentang moralis transendental haruslah
menegaskan bahwa sanksi ini tidak akan ada
dalam pikiran kecuali sudah berakar dalam benak;
dan jika seseorang kemudian Perranyy pada
nuraninya apakah perasaan ini hanya m cul
dalam pikirannya sendiri, dia mungkin bisa
menarik kesimpulan bahwa kewajibannya berhenti
ketika perasaan itu juga sudah tidakjada. | al
dia tidak nyaman dengan kondisi ini, di
akan mengabaikannya, bahkan me}
Tapi, apakah bahaya ini hanya seba
dalam moralitas utilitarian? Apak
bahwa kewajiban moral memiliki tem
pikiran lantas membuatnya sulit dileny
perasaan? Kenyataan yang terjadi sejauh inijustru