Anda di halaman 1dari 319

KATA PENGANTAR

Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Morowali Utara sebagai perangkat pemerintah
daerah mempunyai tugas menegakan peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah,menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman serta menyelenggarakan
perlindungan masyarakat. Dalam melaksanakan tugsnya satuan polisi pamong praja kabupaten
morowali utara perlu berpedoman pada aturan aturan yang berlaku
Buku ini disusun sebagai salah satu pedoman pelaksanaan tugas bagi anggota Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Morowali Utara dalam melaksanakan tugas terutama dalam
menegakan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah Kabupaten Morowali Utara.
Semoga buku ini bermanfaat bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang ingin
membekali diri dalam melaksanakan tugas. Tentunya masih ada kekurangan dalam buku ini.
Oleh karena itu, saran dan masukan untuk kelengkapan dan kesempurnaan buku ini sangat
diharapkan.

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Daftar Isi

Bagian 1 Peraturan Bupati Nomor 30 tahun 2019 Tentang Tugas,Fungsi Dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong
Praja Dan Pemadam Kebakaran Daerah

Bagian 2 Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati Yang selama ini di awasi oleh Satuan Polisi Pamong Praja

Bagian 3 Standar Operasional Prosedur Penegakan Satuan Polisi Pamong Praja


BAGIAN 1
( Peraturan Bupati Nomor 30 tahun 2019 tentang Tugas,Fungsi
dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Dan Pemadam
Kebakaran Daerah )
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN BUPATI MOROWALI UTARA


NOMOR 30 TAHUN 2019

TENTANG

TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA


SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DAN PEMADAM KEBAKARAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan


Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah
Kabupaten Morowali Utara sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah
Kabupaten Morowali Utara Ketentuan lebih lanjut
mengenai Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Bupati;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang


Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5494);

1
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3547) sebagaimana telah diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
2010 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5121);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4018) sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Struktur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4194);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887);

2
7. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 11
Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah Kabupaten Morowali Utara
(Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun
2018 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 25) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah
Kabupaten Morowali Utara (Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara Tahun 2018 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Morowali
Utara Nomor 37);
8. Peraturan Bupati Morowali Utara Nomor 38 Tahun
2018 tentang Kedudukan dan Susunan Organisasi
Kecamatan (Berita Daerah Kabupaten Morowali Utara
Tahun 2018 Nomor 38);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN


TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DAN
PEMADAM KEBAKARAN DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan :


1. Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Daerah adalah Daerah Kabupaten Morowali Utara.
3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali
Utara.
4. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
5. Perangkat Daerah yang disingkat PD adalah unsur pembantu Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Daerah.

3
6. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi
bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja yang berkerja pada instansi pemerintah.
7. Dinas Daerah adalah Dinas Daerah Kabupaten Morowali Utara.
8. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Daerah Kabupaten Morowali Utara.
9. Sekretaris Dinas adalah Sekretaris Dinas Daerah Kabupaten Morowali
Utara.
10. Unit Pelaksana Teknis Dinas yang selanjutnya disebut UPT Dinas adalah
unsur pelaksana teknis dinas daerah yang melaksanakan kegiatan
teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu.
11. Kelompok Jabatan Fungsional adalah himpunan kedudukan yang
mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang
Pegawai Negeri Sipil dalam satuan organisasi yang dalam pelaksanaan
tugasnya didasarkan pada keahlian dan keterampilan.
12. Tata Kerja adalah suatu cara yang ditempuh untuk mengatur suatu
pekerjaan agar terlaksana dengan baik dan efisien.

BAB II
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 2

Susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran


Daerah terdiri atas :
a. Kepala Satuan;
b. Sekretaris, membawahi :
1. Sub Bagian Program, Keuangan dan Aset; dan
2. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian.
c. Bidang Ketenteraman dan Ketertiban Umum membawahi :
1. Seksi Pembinaan Gangguan Ketenteraman;
2. Seksi Pembinaan Ketertiban Umum; dan
3. Seksi Data Informasi dan Pelaporan.
d. Bidang Penegakan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Sumber
Daya Alam membawahi :
1. Seksi Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati;
2. Seksi Koordinasi dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan
3. Seksi Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
e. Bidang Pemadam Kebakaran membawahi :
1. Seksi Penyusunan Rencana Induk Proteksi Kebakaran;
2. Seksi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pencegahan Kebakaran;
3. Seksi Operasional, Sarana dan Prasarana.
f. UPT Dinas;
g. Kelompok Jabatan Fungsional.

4
BAB III
TUGAS DAN FUNGSI
Bagian Kesatu
Kepala Satuan
Pasal 3

(1) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah
mempunyai tugas membantu Bupati serta memimpin, merencanakan,
merumuskan, mengendalikan, mengoordinasikan dan mengawasi
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, pada
Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Satuan mempunyai fungsi :
a. perumusan kebijakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
b. pelaksanaan kebijakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
c. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat;
d. pelaksanaan administrasi pada urusan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat; dan
e. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Bupati terkait dengan
tugas dan fungsinya.

Bagian Kedua
Sekretaris
Pasal 4

(1) Sekretaris mempunyai tugas penyiapan penyelenggaraan dan


pengoordinasian, pelaksanaan tugas serta memberikan pelayanan
administrasi meliputi perencanaan program, keuangan dan aset,
kepegawaian dan umum serta pengembangan pola kerjasama
penanggulangan bencana dilingkungan Satuan Polisi Pamong Praja dan
Pemadam Kebakaran Daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Sekretaris mempunyai fungsi :
a. penyiapan pengelolaan penyusunan rencana dan program kerja
Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah;
b. penyiapan pengelolahan urusan keuangan dan aset serta urusan
kepegawaian dan umum;
c. penyiapan bahan evaluasi dan pelaporan rumusan Kebijakan
Koordinasi Penyusunan Program secara terpadu;

5
d. penyiapan perumusan kebijakan monitoring, evaluasi dan pelaporan
pelaksanaan tugas-tugas kesekretariatan dan kepala bidang;
e. penyiapan pengoordinasian/kerja sama dan kemitraan dengan Unit
Kerja/Instansi/Lembaga atau pihak ke tiga dibidang pengelolaan
pelayanan masyarakat; dan
f. melaksanakan tugas dan fungsi lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 5

(1) Sub Bagian Program, Keuangan dan Aset Daerah mempunyai tugas
melaksanakan koordinasi, menyusun perumusan program kebijakan,
pengelolaan keuangan dan aset milik daerah, fasilitasi dan evaluasi
pelaporan pengelolaan keuangan dan barang milik daerah di lingkungan
Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Sub Bagian Program, Keuangan dan Aset Daerah mempunyai fungsi :
a. melaksanakan penyusunan program, perumusan kebijakan teknis
administrasi, rencana kegiatan dan anggaran;
b. melaksanakan pengelolaan data dan informasi keuangan dan aset;
c. melaksanakan pengoordinasian penyusunan rencana dan program
kerja dengan sub unit kerja lain dilingkungan Dinas;
d. melaksanakan evaluasi dan pelaporan rencana anggaran,
perumusan kebijakan penyusunan kegiatan dan program kerja
dinas;
e. melaksanakan evaluasi pelaporan dan monitoring keuangan dan
aset;
f. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 6

(1) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan


pengoordinasian, penatalaksanaan kepegawaian dan dukungan
administrasi umum yang menjadi tanggung jawab di lingkungan Satuan
Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Sub Bagian Umum dan Kepegawaian mempunyai fungsi :
a. melaksanakan kebijakan teknis administrasi kepegawaian dan
menghimpun, pengumpulan dan pengolahan data pegawai sesuai
pedoman administrasi kepegawaian;
b. melaksanakan urusan administrasi kantor seperti surat menyurat,
kearsipan surat yang masuk dan surat yang keluar;
c. melaksanakan petunjuk teknis menyusun Daftar Induk
Kepegawaian, Daftar Urut Kepangkatan dan nominatif pengelolaan
system informasi manajemen kepagawaian untuk tertibnya
adminitrasi kepegawaian;

6
d. melaksanakan pengumpulan data pegawai usulan kenaikan pangkat,
kenaikan gaji berkala, pembuatan kartu pegawai, asuransi kesehatan,
Kartu Suami/Istri, pemberian tanda penghargaan/tanda jasa,
pengisian pejabat struktural/fungsional, mutasi pegawai dan lain-
lain;
e. melaksanakan pembuatan Surat Keputusan Kepala Dinas dan Surat
Keputusan Bupati;
f. melaksanakan penyusunan rencana pengelolaan administrasi dan
optimalisasi usulan permintaan kepegawaian sesuai kebutuhan
formasi unit tugas;
g. melaksanakan evaluasi penyiapan bahan perlengkapan yang
dibutuhkan masing-masing bidang;
h. melaksanakan monitoring evaluasi dan pelaporan Sub Bagian Umum
dan Kepegawaian; dan
i. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Bagian Ketiga
Bidang Ketentraman dan Ketertiban Umum Daerah
Pasal 7

(1) Bidang Ketentraman dan Ketertiban umum mempunyai tugas,


memimpin, mengoordinasikan, penyiapan pedoman data operasi
gangguan ketentraman, pengendalian ketenteraman dan pembinaan
ketentraman serta menghimpun informasi dan pelaporan ketenteraman
dan ketertiban di bidang Ketenteraman dan Ketertiban Umum Satuan
Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bidang Ketentraman dan Ketertiban umum mempunyai fungsi :
a. penyiapan penyusunan perencanaan dan penetapan program kerja
ketenteraman dan ketertiban umum;
b. penyiapan penyelenggaraan bahan kajian teknis, kebijakan teknis
dan fasilitasi ketenteraman dan ketertiban umum seta kerjasama
operasional;
c. penyiapan penyelenggaraan pelaksanaan kajian bahan fasilitasi
penyusunan pedoman dan supervisi ketenteraman dan ketertiban
umum dan kerja sama operasional;
d. penyiapan kajian bahan koordinasi penyelenggaraan ketenteraman
dan ketertiban umum serta kerja sama operasional;
e. penyiapan teknis pengendalian operasional dan penetapan rumusan
pembinaan tugas Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran di
wilayah Kabupaten Morowali Utara;
f. penyiapan tugas pemeliharaan Ketenteraman dan Ketertiban umum di
wilayah Kabupaten Morowali Utara;

7
g. penyiapan pengamanan dan pengawalan pimpinan daerah dan
pejabat lainnya serta pengamanan gedung–gedung milik Pemerintah
Daerah;
h. penyiapan perumusan pemelihara ketenteraman dan ketertiban
umum di wilayah Kabupaten Morowali Utara;
i. penyiapan evaluasi dan pelaporan tugas Ketenteraman dan Ketertiban
umum masyarakat;
j. penyiapan pengoordinasi/kerjasama dan kemitraan dengan unit
kerja/instansi/lembaga atau pihak ketiga di bidang ketenteraman dan
ketertiban umum; dan
k. melaksanakan tugas kedinasan lain yang di berikan oleh pimpinan.

Pasal 8

(1) Seksi Pembinaan Gangguan Ketenteraman mempunyai tugas


melaksanakan, merencanakan, mengoordinasikan, mengevaluasi dan
melaporkan tugas pembinaan gangguan ketenteraman dan penegakan
peraturaan perundang-undangan daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Pembinaan Gangguan Ketenteraman mempunyai fungsi :
a. melaksanakan program kerja operasional dan rencana kerja Seksi
Pembinaan Gangguan Ketenteraman;
b. melaksanakan penyusunan dan pengolahan bahan kebijakan teknis
dan fasilitasi pembinaan, gangguan ketrenteraman daerah;
c. melaksanakan pengelolaan data pembinaan gangguan
ketrenteraman daerah;
d. melaksanakan pertimbangan dan saran sebagai pertimbangan
pengambilan kebijakan;
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi pelaksanaan tugas
pembinaan, gangguan ketentraman daerah; dan
f. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 9

(1) Seksi Pembinaan Ketertiban Umum mempunyai tugas melaksanakan


pengoordinasian, memimpin dan mengendalikan tugas-tugas seksi
ketertiban umum yang meliputi operasi, pengendalian dan kerja sama.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi pembinaan ketertiban umum mempunyai fungsi :
a. melaksanakan penyusunan perencanaan program kerja ketertiban
umum;
b. melaksanakan pengkajian bahan kebijakan teknis dan fasilitasi
ketertiban umum masyarakat serta kerja sama operasional;

8
c. melaksanakan penyelenggaraan ketertiban umum serta kerja sama
operasional;
d. melaksanakan rumusan pengkajian bahan fasilitasi penyusunan
pedoman dan supervisi ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
e. melaksanakan koordinasi penetapan rumusan pembinaan
pengkajian bahan koordinasi penyelenggaraan ketertiban umum
serta kerja sama operasional;
f. melaksanakan penetapan rumusan pembinaan teknis pengendalian
operasional dan tugas fungsi Polisi Pamong Praja dan Pemadam
Kebakaran dalam pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban umum
di wilayah Kabupaten Morowali Utara;
g. melaksanakan penetapan rumusan pelaksanaan pengamanan dan
pengawalan pimpinan dan pejabat lainnya serta gedung-gedung milik
pemerintah daerah;
h. melaksanakan koordinasi/kerjasama dan kemitraan dengan unit
kerja/instansi/lembaga atau pihak ketiga dibidang ketenteraman
dan ketertiban umum;
i. melaksanakan kerja sama pengawasan dan pengendalian keamanan
dan ketertiban umum dengan pelaksana perlindungan masyarakat di
Daerah Kabupaten Morowali Utara;
j. melaksanakan evaluasi dan pelaporan tugas ketenteraman dan
ketertiban umum daerah; dan
k. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 10

(1) Seksi Data Informasi dan Pelaporan mempunyai tugas melaksanakan


pengumpulan data dan informasi serta mengelolah data hasil analisis
serta menyusun hasil evaluasi dan laporan pelaksanaan program pada
Seksi Data Informasi dan Pelaporan.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Data Informasi dan Pelaporan mempunyai fungsi :
a. melaksanakan pengumpulan dan mengelolah data informasi dan
pelaporan sesuai jenisnya sebagai bahan penyusunan pelaporan;
b. melakukan analisis atas hasil evaluasi pelaporan data kegiatan
Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah;
c. melaksanakan pelaporan program dan kegiatan Satuan Polisi
Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah sesuai kebutuhan
sebagai acuan pelaksanaan tugas unit terkait;
d. melaksanakan penyusunan rencana kegiatan pengolahan data
sesuai kebutuhan sebagai acuan pelaksanaan tugas unit terkait
serta menyajikan data Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam
Kebakaran Daerah sesuai kebutuhan sebagai bahan informasi;

9
e. melaksanakan konsultasikan tugas dengan atasan, baik lisan
maupun tertulis untuk beroleh petunjuk lebih lanjut;
f. melaksanakan pembuatan laporan hasil pelaksanaan tugas secara
berkala sebagai bahan evaluasi; dan
g. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Bagian Keempat
Bidang Penegakkan Peraturan Daerah,
Peraturan Bupati dan Sumber Daya Alam
Pasal 11

(1) Bidang Penegakkan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Sumber


Daya Alam mempunyai tugas penyiapan, mengoordinasi, mengendalikan
dan mempertanggungjawabkan tugas–tugas di bidang penegakan
Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati yang meliputi pembinaan,
pengawasan, penyuluhan, penyelidikan dan penyidikan.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bidang Penegakkan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Sumber
Daya Alam mempunyai fungsi :
a. menyiapkan penyusunan rencana dan program kerja penegakan
Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Sumber Daya Alam;
b. menyiapkan kebijakan teknis, pengkajian dan fasilitasi penegakan
Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Sumber Daya Alam;
c. penyiapan pedoman, supervisi, pembinaan, pengawasan dan
penyuluhan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Sumber Daya
Alam;
d. penyiapan kajian, fasilitasi, koordinasi penyelenggaraan dan
penyidikan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Sumber Daya
Alam;
e. penyiapan kebijakan teknis operasional penyidikan dan pemeriksaan
serta pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati
dan Sumber Daya Alam serta fasilitasi;
f. penyiapan pelaporan teknis operasional penyidikan dan pemeriksaan
pelanggaran tugas penegakan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati
dan Sumber Daya Alam; dan
g. penyiapan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 12

(1) Seksi Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati mempunyai


tugas melaksanakan pengoordinasian, mengendalikan dan evaluasi
serta mempertanggungjawabkan tugas–tugas dibidang penegakan
Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati yang meliputi pembinaan,
pengawasan, penyuluhan, penyelidikan dan penyidikan.

10
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Penegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati mempunyai
fungsi :
a. melaksanakan kebijakan teknis rumusan penegakan Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati;
b. melaksanakan kajian, fasilitasi, penyusunan pedoman dan
penyelidikan serta supervisi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati;
c. melaksanakan koordinasi penyelenggaraan Peraturan Daerah dan
Peraturan Bupati;
d. melaksanakan fasilitasi operasional penyidikan dan pemeriksaan
pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati;
e. melaksanakan evaluasi dan pelaporan operasional penyidikan dan
pemeriksaan pelanggaran Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati;
f. melaksanakan pelaporan pelaksanaan tugas penegakan Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati; dan
g. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 13

(1) Seksi Koordinasi dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil


mempunyai tugas melaksanakan, mengoordinasikan, mengevaluasi dan
melaporkan pelaksanaan tugas pembinaan, pengawasan dan
penyuluhan penegakan peraturaan perundang-undangan daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Koordinasi dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
mempunyai fungsi :
a. melaksanakan penyusunan perumusan bahan kebijakan teknis dan
fasilitasi Seksi Koordinasi dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil;
b. melaksanakan pembinaan peningkatan dan pengembangan Seksi
Koordinasi dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
c. melaksanakan pengelolaan data pembinaan, pengawasan dan
penyuluhan Seksi Koordinasi dan Pembinaan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil;
d. melaksanakan pengendalian, pelaporan dan evaluasi kebijakan
teknis dan fasilitasi Seksi Koordinasi dan Pembinaan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil; dan
e. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 14

(1) Seksi Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai tugas


melaksanakan merencanakan, mengoordinasikan, mengevaluasi dan
melaporkan pelaksanaan tugas Penyelidikan dan Penyidikan Penegakan
Peraturan Perundang-Undangan Daerah.

11
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai fungsi :
a. melaksanakan penyusunan rumusan kebijakan teknis, pelaksanaan
pembinaan, peningkatan dan pengembangan Seksi Pemberdayaan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
b. melaksanakan pengendalian kebijakan teknis operasional, fasilitasi
dan pembinaan pelaksanaan tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
c. melaksanakan penyelidikan dan penyidikan pelanggaraan peraturan
perundang-undangan daerah;
d. melaksanakan pengelolaan data hasil penyelidikan dan penyidikan
pelangaraan peraturan perundang-undangan daerah;
e. melaksanakan penyusunan bahan kebijakan teknis dan fasilitasi
Seksi Koordinasi dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
f. melaksanakan operasional penyidikan dan pemeriksaan pelanggaran
peraturan perundang-undangan daerah;
g. melaksanakan analisa, pelaporan dan evaluasi terhadap jenis dan
bentuk pelanggaran sebagai bahan masukan pengambilan kebijakan
pimpinan; dan
h. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Bagian Kelima
Bidang Pemadam Kebakaran
Pasal 15

(1) Bidang Pemadam Kebakaran mempunyai tugas penyiapan urusan


pemerintahan, dan tugas pembinaan, pengawasan dan pengendalian
kegiatan dan penyuluhan kebakaran serta peningkatan masyarakat.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bidang Pemadam Kebakaran mempunyai fungsi :
a. penyiapan penyusunan rencana kerja Bidang Pemadam Kebakaran;
b. penyiapan pengkajian bahan perumusan kebijakan teknis di Bidang
Pemadam Kebakaran;
c. penyiapan penyusunan standarisasi prosedur tetap di Bidang
Pemadam Kebakaran;
d. penyiapan pengumpulan data sebagai bahan kajian penyelenggaraan
penyuluhan dan pencegahan di Bidang Pemadam Kebakaran;
e. penyiapan pembinaan, pengoordinasian pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan
pencegahan;
f. penyiapan pengembangan, peningkatan peran serta masyarakat
dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran;

12
g. penyiapan laporan dan evaluasi kegiatan di Bidang Pemadam
Kebakaran; dan
h. penyiapan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 16

(1) Seksi Penyusunan Rencana Induk Proteksi Kebakaran mempunyai tugas


melaksanakan pembinaan, merencanakan dan koordinasi serta
mengawasi pengendalian program usaha-usaha yang berhubungan
dengan pencegahan kebakaran.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Penyusunan Rencana Induk Proteksi Kebakaran mempunyai
fungsi :
a. melaksanakan penyusunan pola pencegahan kebakaran dan
pendataan gedung rawan kebakaran;
b. melaksanakan peningkatan dan mengembangkan system metode
peralatan dan kemampuan personil dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan kebakaran;
c. melaksanakan persyaratan teknis menentukan system proteksi
kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan;
d. melaksanakan penyuluhan pencegahan dan penanggulangan
kebakaran;
e. melaksanakan permohonan ijin yang berhubungan dengan
persyaratan pencegahan kebakaran dengan menerima dan meneliti
berkas-berkas;
f. melaksanakan evaluasi terhadap seluruh pelaksanaan kegiatan
untuk perbaikan kedepan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
g. melaksanakan pengawasan dan pengendalian bahan bakar
berbahaya yang mudah terbakar;
h. melaksanakan pengajuan bahan dan Peralatan Proteksi Kebakaran
di setiap Instansi atau Perusahaan;
i. melaksanakan pelaporan terhadap pelaksanaan setiap kegiatan
sebagai bahan informasi dan pertanggungjawaban kepada atasan;
dan
j. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 17

(1) Seksi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pencegahan Kebakaran


mempunyai tugas melaksanakan pengoordinasian, perencanaan,
pembinaan, pengawasan dan pengendalian program usaha-usaha yang
berhubungan dengan pencegahan dan pemadam kebakaran.

13
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pencegahan Kebakaran
mempunyai fungsi:
a. melaksanakan pembinaan dan petunjuk teknis kepada masyarakat
luas dan dinas atau instansi dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan bahaya kebakaran;
b. melaksanakan penghimpunan data sebagai bahan kajian
penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan peran serta masyarakat;
c. melaksanakan penghimpunan data sebagai bahan kajian
pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan pencegahan kebakaran dan
proteksi kebakaran dan instalasi gedung;
d. melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam wilayah
kerjanya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan bahaya
kebakaran;
e. melaksanakan koordinasi dengan instansi atau lembaga lainnya
terkait penyuluhan pencegahan bahaya kebakaran, pelatihan
personil dan kemitraan penanggulangan serta pencegahan
kebakaran;
f. melaksanakan monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan;
g. melaksanakan pembinaan dan memfasilitasi proses hukuman
disiplin kepada bawahannya (secara berjenjang) yang melakukan
pelanggaran disiplin dengan berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Disiplin Pegawai
Negeri; dan
h. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Pasal 18

(1) Seksi Operasional Sarana dan Prasarana mempunyai tugas


melaksanakan urusan Pemerintahan, dan tugas pembantuan dibidang
pembinaan, pengawasan dan pengendalian kegiatan pemadam
kebakaran, penyelamatan dan evakuasi kebakaran.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Operasional Sarana dan Prasarana mempunyai fungsi :
a. melaksanakan penyusunan rencana kerja seksi operasional
kebakaran mengacuh pada rencana strategi;
b. melaksanakan kajian, bahan perumusan kebijakan teknis,
standarisasi dan prosedur tetap di Seksi Operasional Sarana dan
Prasarana;
c. melaksanakan pengumpulan data sebagai bahan kajian
penyelenggaraan pembinaan, pengawasan dan pengendalian,
operasional kebakaran;

14
d. melaksanakan pembinaan, pengoordinasian, pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan kegiatan pengendalian operasional
kebakaran;
e. melaksanakan pengawasan dan pengendalian hydrant kebakaran
dan sumber air lainnya;
f. melaksanakan penyusunan laporan dan evaluasi kegiatan
penyelenggaraan operasional, sarana dan prasarana;
g. melaksanakan penyusunan sistem komunikasi informasi dan
petakan wilayah kebakaran;
h. melaksanakan penyusunan rencana kerja sarana dan prasarana
kebakaran mengacuh pada rencana strategis kerja;
i. melaksanakan kajian perumusan kebijakan teknis dan
mengumpulkan data sebagai bahan kajian penyusunan kebijakan
perencanaan, pengendalian dan evaluasi sarana dan prasarana;
j. melaksanakan dan mengumpulkan data sebagai bahan kajian
penyusunan kebijakan perencanaan, pengendalian dan evaluasi
sarana dan prasarana;
k. melaksanakan pengoordinasian dan penyelenggaraan kegiatan
pembinaan, bimbingan teknis, pengawasan, dan pengendalian
penyelenggaraan pengadaan dan pemeliharaan sarana teknis
kebakaran;
l. melaksanakan penyusunan laporan dan evaluasi kegiatan
penyelenggaraan seksi operasional dan sarana prasarana, teknis
kebakaran; dan
m. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.

Bagian Keenam
Unit Pelaksana Teknis Dinas
Pasal 19

Pembentukan, susunan organisasi, tugas dan fungsi Unit Pelaksana Teknis


Dinas, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketujuh
Kelompok Jabatan Fungsional
Pasal 20

Uraian tugas, fungsi dan tata kerja kelompok jabatan fungional ditetapkan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan menurut jenis
dan jenjang jabatan fungsional.

15
BAB IV
TATA KERJA
Pasal 21

(1) Untuk menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah dibidang


ketenteraman dan ketertiban umum dan pemadam kebakaran daerah
kabupaten yang menjadi tugas dan fungsi dinas, disusun standar
prosedur kerja atau manual dan standar pelayanan minimal.
(2) Standar prosedur kerja atau manual dan standar pelayanan minimal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Bupati.

Pasal 22

(1) Dalam melaksanakan tugas setiap pimpinan unit organisasi dan


kelompok jabatan fungsional di lingkungan Dinas wajib menerapkan
prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi dalam
lingkungan masing-masing, antara satuan organisasi di lingkungan
Pemerintah Daerah, serta dengan instansi lain di luar Pemerintah
Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dan menerapkan
asas umum penyelenggaraan negara.
(2) Asas umum penyelengaraan negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
a. asas kepastian hukum;
b. asas tertib penyelenggaraan negara;
c. asas kepentingan umum;
d. asas keterbukaan;
e. asas proporsionalitas;
f. asas profesionalitas;
g. asas akuntabilitas;
h. asas efektifitas;
i. asas efisiensi; dan
j. asas keadilan.
(3) Setiap pimpinan satuan organisasi di lingkungan Dinas wajib
mengawas, memimpin, mengoordinasikan, membimbing serta
memberikan petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya.
(4) Dalam hal mengawasi, memimpin, mengoordinasikan, membimbing
serta memberikan petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terjadi
penyimpangan bawahan maka dilakukan tindakan sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(5) Setiap pimpinan satuan organisasi di lingkungan dinas wajib mengikuti
dan mematuhi petunjuk dan tanggung jawab kepada atasan masing-
masing dan menyampaikan laporan berkala tepat pada waktunya
dengan tembusan kepada instansi lain yang secara fungsional
mempunyai hubungan kerja.

16
(6) Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari
bawahannya wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk
penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk
kepada bawahannya.
(7) Dalam rangka pemberian bimbingan kepada bawahannya masing-
masing setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengadakan rapat
berkala
(8) Dalam hal pimpinan satuan organisasi dilingkungan dinas berhalangan
maka tugas pimpinan satuan organisasi dilaksanakan oleh pimpinan
satuan organisasi setingkat dibawahnya.

BAB V
KEPEGAWAIAN
Pasal 24

(1) Untuk menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi tugas dan


fungsi dinas diangkat sejumlah ASN sesuai dengan formasi dan syarat
jabatan.
(2) Ketentuan mengenai formasi dan syarat jabatan struktural dan
fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 25

(1) Pengangkatan ASN dalam jabatan dilaksanakan berdasarkan ketentuan


Peraturan Perundang-undangan dengan memperhatikan senioritas
dalam daftar urut kepangkatan dan syarat jabatan.
(2) Ketentuan mengenai pola karier ASN dilingkungan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VI
KEUANGAN
Pasal 26

(1) Untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi


tugas dan fungsi dinas, dialokasikan sejumlah anggaran yang
bersumbar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber
lain yang sah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh ASN yang diserahi tugas, wewenang, dan tanggung
jawab secara khusus untuk mengelola keuangan.

17
(3) Pengelola anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Bupati atas usul Kepala Dinas dari ASN yang
memenuhi persyaratan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(4) Masa kerja jabatan pengelola keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak
pengangkatannya.

BAB VII
PERLENGKAPAN KANTOR DAN ASET
Pasal 27

(1) Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan urusan yang menjadi tugas


dan fungsi Dinas, masing-masing unit organisasi dan ASN, dilengkapi
dengan perlengkapan kantor meliputi alat, perkakas dan perlengkapan
kerja.
(2) Ketentuan mengenai penentuan kebutuhan dan standardisasi
perlengkapan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bupati.

Pasal 28

(1) Pengadaan dan pengelolaan perlengkapan kantor dilakukan sesuai


dengan pedoman ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Mutasi jabatan ASN tidak mengakibatkan mutasi perlengkapan kantor.
(3) Setiap ASN wajib menjaga dan memelihara perlengkapan kantor yang
berada dalam penguasaannya.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29

Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku, Peraturan Bupati Morowali
Utara Nomor 12 Tahun 2017 tentang Tugas dan Fungsi Masing-Masing
Jabatan pada Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam
Kebakaran Daerah (Berita Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun 2017
Nomor 12) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

18
Pasal 30

Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten
Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal

BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

APTRIPEL TUMIMOMOR

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,

TTD

MUSDA GUNTUR

BERITA DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2019 NOMOR…

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

BETSI A. POMBALAWO, SH
NIP. 19780121 200604 2 027

19
BAGIAN 2
( Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati Yang selama ini diawasi
oleh Satuan Polisi Pamong Praja )
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


NOMOR 17 TAHUN 2015

TENTANG

RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 141 dan


Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Perizinan
Tertentu ;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara Di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);

1
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA

dan

BUPATI MOROWALI UTARA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN


TERTENTU.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
4. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
5. Dinas adalah Dinas Kabupaten Morowali Utara yang menangani urusan di
bidang retribusi daerah.
6. Lembaga Teknis adalah Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Morowali
Utara yang menangani urusan dibidang retribusi daerah.
7. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang retribusi
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Peraturan Bupati adalah Peraturan Bupati Morowali Utara.
9. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan Orang Pribadi atau Badan.
10. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan
yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
11. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam
rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
12. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan
perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran
retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu.
13. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas
waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan
tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

2
14. Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah
bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas
Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
15. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD,
adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok
retribusi yang terutang.
16. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat
SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar
daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
17. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD, adalah
surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif
berupa bunga dan/atau denda.
18. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
19. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
20. Surat Izin Usaha Perdagangan yang selanjutnya disingkat SIUP adalah
surat izin untuk melaksanakan usaha perdagangan.
21. Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya
disingkat SIUPMB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan
usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau
golongan C.
22. Talam Kencana adalah golongan Restoran kelas tertinggi yang dinyatakan
dengan piagam bersimbol sendok garpu berwarna emas.
23. Talam Selaka adalah golongan Restoran kelas menengah yang dinyatakan
dengan piagam bersimbol sendok garpu berwarna perak.
24. Surat Pendaftaran Data Objek Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat
SpdORD adalah surat yang digunakan oleh wajib retribusi untuk
melaporkan data objek retribusi dan wajib retribusi sebagai dasar
perhitungan dan pembayaran retribusi yang terhutang menurut peraturan
perundang-undangan retribusi daerah.
25. Tempat Pelelangan Ikan yang selanjutnya disingkat TPI adalah pasar yang
biasanya terletak di dalam pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan dan
ditempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara
lelang maupun tidak.
26. Pangkalan Pendaratan Ikan yang selanjutnya disingkat PPI adalah tempat
berlabuh atau bertambatnya perahu/kapal perikanan guna mendaratkan
hasil tangkapannya, menurut perbekalan kapal serta sebagai basis
kegiatan produksi, pengolahan, pemasaran ikan, dan pembinaan
masyarakat perikanan (anonimous).
27. Taksi adalah sebuah transportasi angkutan umum atau non-pribadi yang
pada umumnya adalah mobil sedan.
28. Gross Tonage (GT) adalah perhitungan volume semua ruang yang terletak
di bawah geladak kapal ditambah dengan volume ruangan tertutup yang
terletak di atas geladak kapal ditambah dengan isi ruangan berserta semua
ruangan tertutup yang terletak di atas geladak paling atas.

3
29. Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB adalah
perizinan yang diberikan oleh Bupati kepada pemilik bangunan untuk
membangun baru, mengolah, memperluas, mengurangi dan/atau merawat
bangunan sesuai dengan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis
yang berlaku.

BAB II
JENIS DAN GOLONGAN RETRIBUSI

Pasal 2

Jenis Retribusi Perizinan Tertentu yang diatur dalam Peraturan Daerah ini
meliputi :
a. retribusi izin mendirikan bangunan;
b. retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol;
c. retribusi izin gangguan;
d. retribusi izin trayek; dan
e. retribusi izin usaha perikanan.

Pasal 3

Jenis retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 termasuk golongan


Retribusi Perizinan Tertentu.

BAB III
RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Retribusi

Pasal 4

(1) Dengan nama retribusi izin mendirikan bangunan dipungut retribusi


sebagai pembayaran atas pemberian izin mendirikan bangunan.
(2) Tata cara pemberian izin ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 5

(1) Objek Retribusi adalah pemberian izin untuk mendirikan bangunan.


(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
peninjauan desain dan pemantauan pelaksanaan pembangunannya agar
tetap sesuai dengan rencana teknis bangunan dan rencana tata ruang,
dengan tetap memperhatikan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien
Luas Bangunan (KLB), Koefisien Ketinggian Bangunan (KTB) dan
pengawasan penggunaan bangunan yang meliputi pemeriksaan dalam
rangka memenuhi syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan
tersebut.
(3) Dikecualikan dari objek retribusi adalah pemberian izin untuk bangunan
milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pasal 6

(1) Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Izin
Mendirikan Bangunan.

4
(2) Wajib retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi izin
mendirikan bangunan.

Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa

Pasal 7

(1) Tingkat penggunaan jasa diukur dengan rumus yang didasarkan atas
faktor luas bangunan, ketinggian bangunan, fungsi bangunan, lokasi
bangunan, usia bangunan dan klasifikasi/spesifikasi bangunan.
(2) Faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bobot
(koefisien).
(3) Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni :
a. retribusi pembangunan baru :
Luas lantai bangunan (m²) kali Indeks terintegrasi kali 1,00 kali Harga
satuan bangunan.
b. retribusi rehabilitasi/renovasi bangunan :
Luas lantai bangunan (m²) kali Indeks terintegrasi kali Tingkat
kerusakan kali Harga satuan bangunan.
c. retribusi rehabilitasi prasarana bangunan :
Volume/besaran (m³) kali Indeks kerusakan kali Tingkat kerusakan kali
Harga satuan prasarana bangunan.
d. retribusi prasarana bangunan :
Volume/besaran (m³) kali Indeks kerusakan kali Tingkat kerusakan kali
Harga satuan bangunan.
(4) Besarnya koefisien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

Bagian Ketiga
Struktur Dan Besarnya Tarif

Pasal 8

(1) Struktur dan besarnya tarif retribusi didapat dari perhitungan


sebagaimana Pasal 7 ayat (3) dengan memperhatikan koefisien
sebagaimana Pasal 7 ayat (2).
(2) Besarnya koefisien dimaksud tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

BAB IV
RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Retribusi

Pasal 9

(1) Dengan nama retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol


dipungut retribusi sebagai pembayaran atas pemberian izin tempat
penjualan minuman beralkohol.
(2) Tata cara pemberian izin ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

5
Pasal 10

Objek retribusi adalah pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman


beralkohol di suatu tempat tertentu.

Pasal 11

(1) Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin
tempat penjualan minuman beralkohol.
(2) Wajib retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol adalah orang
pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi,
termasuk pemungut atau pemotong retribusi izin tempat penjualan
minuman beralkohol.

Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa

Pasal 12

(1) Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan jenis tempat penjualan


minuman beralkohol.
(2) Minuman beralkohol terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu :
a. minuman beralkohol golongan A adalah minumam beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) 1% (satu persen) sampai dengan 5% (lima
persen).
b. minuman beralkohol golongan B adalah minumam beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua
puluh persen).
c. minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50%
(lima puluh persen).
d. minuman beralkohol golongan B dan golongan C adalah kelompok
minuman keras yang produksi, pengedaran dan penjualan sebagai
barang dalam pengawasan.

Bagian Ketiga
Pengedaran dan Penjualan

Pasal 13

Minuman beralkohol yang beredar di Kabupaten harus berlabel.

Pasal 14

(1) a. penjualan langsung minuman beralkohol golongan A hanya dapat


diberikan kepada pemilik hotel, restoran, bar, pub/rumah musik, klub
malam, diskotik, karaoke, warung atau kios yang ditetapkan oleh Bupati
dengan meminta persetujuan tertulis tidak keberatan pada pemukiman
rumah tangga terdekat dari kiri, kanan, depan dan belakang serta
diketahui Pemerintah setempat.

6
b. penjualan langsung minuman beralkohol golongan A hanya dapat
diberikan kepada pemilik hotel, restoran, bar, pub/rumah musik, klub
malam, diskotik, karaoke, warung atau kios yang ditetapkan oleh Bupati
dengan jarak radius diatas 100 (seratus) meter dari tempat ibadah,
sekolah, rumah sakit, perkantoran serta harus mendapat persetujuan
tidak keberatan pada pemukiman rumah tangga terdekat dari kiri,
kanan, depan dan belakang serta diketahui Pemerintah setempat.
Sedangkan untuk minuman beralkohol golongan B dan golongan C
hanya dapat diberikan kepada pemilik hotel dan restoran dengan tanda
Talam Kencana dan Talam Selaka.
(2) Penjual langsung minuman beralkohol golongan A, golongan B dan
golongan C hanya diizinkan menjual minuman beralkohol untuk diminum
di tempat.
(3) Sub distributor minuman beralkohol hanya diizinkan mendistribusikan
minuman beralkohol kepada :
a. penjual langsung untuk minuman dengan jenis minuman beralkohol
golongan A, golongan B dan golongan C berdasarkan SIUPMB yang
dimiliki.
b. pengecer dengan jenis minuman beralkohol khusus Golongan A.
(4) Penjual minuman beralkohol hanya diizinkan menjual minuman
beralkohol secara eceran dalam kemasan minuman beralkohol golongan A.
(5) Dikecualikan dari ayat (1) adalah penjualan kepada masyarakat tertentu
untuk kepentingan prosesi adat.

Pasal 15

Siapapun dilarang menjadi penjual langsung untuk diminum di tempat


minuman beralkohol golongan A, golongan B, dan golongan C kecuali :
a. hotel berbintang 1, hotel berbintang 2 dan hotel berbintang 3, dst.
b. restoran dengan tanda Talam Kencana dan Talam Selaka.
c. bar, klub malam, diskotik dan tempat tertentu lainnya sesuai peraturan
perundang-undangan dibidang kepariwisataan.

Pasal 16

Dilarang mengecer dan atau menjual langsung untuk diminum di tempat


minuman beralkohol golongan A, golongan B dan golongan C di :
a. warung/kios minuman, gelanggang olahraga, gelanggang remaja, kantin,
rumah bilyar, gelanggang permainan dan ketangkasan, panti pijat,
pedagang kaki lima, terminal, stasiun, kios-kios kecil, penginapan remaja
dan bumi perkemahan.
b. daerah pemukiman penduduk.
c. daerah yang berjarak kurang dari 500 m dari rumah ibadah, rumah
sakit/puskesmas/klinik kesehatan, sekolah dan kantor-kantor
Pemerintah.

Pasal 17

(1) Pengecer atau penjual langsung untuk diminum dilarang menjual


minuman beralkohol golongan A, golongan B dan golongan C kecuali
kepada warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu)
tahun keatas dan warga negara asing yang telah dewasa.
(2) Pengecer atau penjual langsung untuk diminum, minuman beralkohol
golongan A, golongan B dan golongan C dilarang menjual kepada anak-
anak, remaja dan warga negara yang masih berstatus pelajar.

7
Pasal 18

Untuk kepentingan wisatawan mancanegara dan tempat-tempat yang bersifat


khusus, tempat penjualan minuman beralkohol untuk diminum di tempat
diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi

Pasal 19

Struktur dan besarnya tarif retribusi tercantum dalam Lampiran II yang


merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

BAB V
RETRIBUSI IZIN GANGGUAN

Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak

Pasal 20

Dengan nama retribusi izin gangguan dipungut retribusi atas pemberian izin
tempat usaha/kegiatan yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan
gangguan.
Pasal 21

(1) Objek retribusi izin gangguan adalah pemberian izin tempat


usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat
menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk
pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus
untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau
kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi
norma keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Tidak termasuk objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.

Pasal 22

(1) Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin
gangguan.
(2) Wajib retribusi izin gangguan adalah orang pribadi atau Badan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan
untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong retribusi izin gangguan.

Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa

Pasal 23

(1) Tingkat penggunaan jasa ditetapkan berdasarkan perhitungan tarif yang


dihitung dari luas tempat usaha dikalikan indeks lokasi dikalikan indeks
gangguan.

8
(2) Luas tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah luas
lantai bangunan atau luas ruang terbuka yang digunakan untuk tempat
usaha dan penunjang tempat usaha.
(3) Indeks lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada besar
kecilnya gangguan dengan klasifikasi sebagai berikut :
a. perusahaan dengan tingkat gangguan sangat kecil indeks 1.
b. perusahaan dengan tingkat gangguan kecil indeks 2.
c. perusahaan dengan tingkat gangguan sedang indeks 3.
d. perusahaan dengan tingkat gangguan besar indeks 4.
e. perusahaan dengan tingkat gangguan sangat besar indeks 5.
(4) Penetapan indeks lokasi didasarkan pada letak atau lokasi perusahaan
dengan klasifikasi sebagai berikut :
a. jalan kelas I dengan indeks 5.
b. jalan kelas II dengan indeks 4.
c. jalan kelas III dengan indeks 3.
d. jalan kelas IV dengan indeks 2.

Bagian Ketiga
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi

Pasal 24

(1) Tarif retribusi digolongkan berdasarkan luas ruang usaha, kelas jalan dan
tingkat gangguan.
(2) Besarnya retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikali dengan luas
ruang usaha dikalikan dengan indeks gangguan dikalikan dengan indeks
lokasi yang dijadikan dasar ukuran tingkat penggunaan jasa pelayanan,
pengendalian dan pengawasannya.
(3) Besarnya tarif retribusi pendaftaran ulang izin gangguan, selama usahanya
masih berjalan dengan ketentuan harus melakukan pendaftaran ulang
setiap 3 (tiga) tahun sekali yang harus diajukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sebelum batas waktu daftar ulang ditetapkan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari tarif retribusi yang berlaku.
(4) Besarnya tarif retribusi pengalihan izin dalam hal pendirian atau perluasan
tempat usaha dan atau perubahan jenis usaha, ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari tarif retribusi yang berlaku.
(5) Besarnya tarif perubahan jenis usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari tarif retribusi yang berlaku.
(6) Tarif sebagimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

BAB VI
RETRIBUSI IZIN TRAYEK

Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subyek dan Wajib Retribusi

Pasal 25

(1) Dengan nama retribusi izin trayek dipungut retribusi atas pemberian izin
trayek kepada orang pribadi atau Badan untuk menyediakan pelayanan
angkutan penumpang umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu
dalam daerah.
(2) Tata cara pemberian izin ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

9
Pasal 26

Objek retribusi izin trayek adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau
Badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang umum pada
suatu atau beberapa trayek tertentu.

Pasal 27

(1) Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin
trayek.
(2) Wajib retribusi izin trayek adalah orang pribadi atau Badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong
retribusi izin trayek.

Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Pengguna Jasa

Pasal 28

Tingkat pengguna jasa diukur berdasarkan jumlah izin yang diberikan dan
jenis angkutan umum penumpang.

Bagian Ketiga
Struktur dan Besarnya Tarif Izin Trayek

Pasal 29

(1) Struktur tarif digolongkan berdasarkan jenis angkutan penumpang umum


dan daya angkut.
(2) Besarnya tarif retribusi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Paraturan Daerah ini.

Bagian Keempat
Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terutang

Pasal 30

(1) Masa berlaku Retribusi Izin Trayek 5 (lima) tahun.


(2) Setiap izin trayek wajib daftar ulang setiap 6 (enam) bulan sekali, dengan
dikenakan tarif retribusi sesuai dengan Pasal 29 ayat (2).
(3) Saat terutangnya retribusi adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau
dokumen lain yang dipersamakan.

BAB VII
RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN

Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Retribusi

Pasal 31

(1) Dengan nama retribusi izin usaha perikanan dipungut retribusi atas
pelayanan izin usaha perikanan.
(2) Tata cara pemberian izin ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

10
(3) Nelayan dan pembudidaya kecil wajib untuk didaftarkan kegiatan
usahanya kepada Dinas yang membidangi urusan kelautan dan perikanan.

Pasal 32

Objek retribusi izin usaha perikanan adalah pemberian izin kepada orang
pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan pembudidayaan ikan.

Pasal 33

(1) Subjek retribusi izin usaha perikanan adalah orang pribadi atau Badan
yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah meliputi SIUP.
(2) Wajib retribusi izin usaha perikanan adalah orang pribadi atau Badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi
diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut
atau pemotong retribusi izin usaha perikanan.

Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa

Pasal 34

(1) Tingkat penggunaan jasa diukur terhadap usaha perikanan berdasarkan


rumusan Gross Tonnage (GT) kapal yang digunakan, jenis sarana dan
prasarana dalam kegiatan usaha budidaya perikanan.
(2) Usaha budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan sarana dan prasarana sesuai dengan peraturan perundang-
undangan disektor perikanan.

Bagian Ketiga
Struktur Dan Besarnya Tarif Retribusi

Pasal 35

Struktur dan besarnya tarif retribusi izin usaha perikanan ditetapkan


sebagaimana tercantum pada Lampiran V yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 36

(1) Orang pribadi atau Badan yang melakukan usaha perikanan berdasarkan
atau bukan berdasarkan SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
dikenakan pungutan produksi sebagai berikut :
a. hasil penangkapan ikan di laut atau perairan umum dan pengumpulan
ikan dikenakan pungutan bagi produsen sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari harga jual keseluruhan pada saat itu;
b. hasil pembudidayaan ikan di perairan laut, perairan tawar, dan
perairan payau masing-masing sebesar 2,5% (dua koma lima persen)
dari harga jual keseluruhan pada saat itu;
c. hasil pengolahan atau pengawetan ikan seperti sirip hiu, rumput laut,
ikan asin, teripang, minyak ikan hiu, ebi, terasi dan lain-lain sebesar
2,5% (dua koma lima persen) dari harga jual berdasarkan harga
pasaran setempat.
(2) Pemungutan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b dan huruf c, dilakukan di TPI dan/atau PPI atau di tempat
produksi.

11
BAB VIII
PRINSIP DALAM PENETAPAN TARIF RETRIBUSI

Pasal 37

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi perizinan tertentu
didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan
hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin
tersebut.

BAB IX
WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 38

Retribusi perizinan tertentu dipungut di Daerah.

BAB X
PEMUNGUTAN RETRIBUSI

Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan Retribusi

Pasal 39

(1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan.


(2) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(3) Bentuk dan isi SKRD dan dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kedua
Surat Pendaftaran

Pasal 40

(1) Wajib retribusi diwajibkan mengisi SpdORD.


(2) SpdORD sebagaimana dimaksud ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar
dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib retribusi atau kuasanya.
(3) Bentuk, isi serta tata cara pengisian dan penyampaian SpdoRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga
Penetapan Retribusi

Pasal 41

(1) Berdasarkan SpdORD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1),


ditetapkan retribusi terutang dengan menerbitkan SKRD atau dokumen
lain yang dipersamakan.
2) Bentuk, isi serta tata cara penerbitan dan penyampaian SKRD atau
dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.

12
Bagian Keempat
Saat Retribusi Terutang

Pasal 42

Retribusi terutang terjadi pada saat ditetapkan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.

Bagian Kelima
Tata Cara Pembayaran Retribusi

Pasal 43

(1) Pembayaran retribusi dilunasi sekaligus.


(2) Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibayarkan pada
Bendahara Penerimaan Dinas.
(3) Bendahara Penerimaan Dinas menyetor ke kas daerah seluruh retribusi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan paling lambat 1 hari
kerja.

Bagian Keenam
Penagihan

Pasal 44

(1) Pengeluaran surat teguran/peringatan surat lain yang sejenis sebagai awal
tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan segera setelah 7
(tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat
teguran/peringatan/surat lain yang sejenis wajib retribusi harus melunasi
retribusi yang terutang.
(3) Surat teguran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh
Pejabat yang ditunjuk.

Bagian Ketujuh
Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan Retribusi

Pasal 45

(1) Bupati dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan


retribusi.
(2) Pemberian pengurangan atau keringanan retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan memperhatikan kemampuan wajib retribusi, antara
lain untuk mengangsur.
(3) Pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain
diberikan kepada wajib retribusi dalam rangka pengangkutan khusus
korban bencana alam dan/atau kerusuhan.
(4) Tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan
oleh Bupati.

13
BAB XI
PENINJAUAN TARIF RETRIBUSI

Pasal 46

(1) Tarif retribusi dapat ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Bupati.

BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 47

Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang
membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen)
setiap bulan dari retribusi yang terutang atau kurang dibayar dan ditagih
dengan menggunakan STRD.

BAB XIII
KADALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 48

(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kadaluwarsa setelah


melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya
retribusi, kecuali jika wajib retribusi melakukan tindak pidana dibidang
retribusi.
(2) Kadaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tertangguh apabila :
a. diterbitkan surat teguran; atau
b. ada pengakuan utang retribusi dari wajib retribusi langsung maupun
tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, kadaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya surat
teguran tersebut.
(4) Pengakuan utang retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b adalah wajib retribusi dengan kesadarannya menyatakan
masih mempunyai utang retribusi dan belum melunasinya kepada
Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan
angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh
wajib retribusi.

Pasal 49

(1) Piutang retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang retribusi yang sudah
kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang retribusi
yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.

14
BAB XIV
INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal 50

(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan retribusi dapat diberi insentif


atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 51

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah


diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana dibidang retribusi daerah, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang retribusi agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana retribusi;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan
sehubungan dengan tindak pidana dibidang retribusi;
d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana dibidang retribusi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana dibidang retribusi;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana dibidang retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut
umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.

15
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga
merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan
negara.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 28 Desember 2015.

Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 31 Desember 2015.

Plh. SEKRETARIS DAERAH


KABUPATEN MOROWALI UTARA,

TTD

MOCH. AMIRULLAH SIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2015 NOMOR


017.

NOMOR REGISTER 116 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI


UTARA, PROVINSI SULAWESI TENGAH : (17/2015)

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005

16
PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


NOMOR 17 TAHUN 2015

TENTANG

RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU

I. UMUM.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat.
Berkaitan dengan kewenangan tersebut, maka Pemerintah
Kabupaten/Kota berhak mengadakan pengaturan yang berupa perizinan
tertentu kepada masyarakat. Pengaturan tersebut dituangkan kedalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, hal tersebut juga
ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah diberi
kewenangan untuk melakukan Pungutan Retribusi yang terkait dengan
Retribusi Perizinan Tertentu guna mendukung pelaksanaan Otonomi
Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL.


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
ayat (1) Cukup jelas.
ayat (2) Cukup jelas.
ayat (3) Rumus yang digunakan dalam retribusi izin mendirikan
bangunan, yaitu :
- Retribusi bangunan baru :
L x It x 1,00 x HSbg
- Retribusi rehabilitasi/renovasi bangunan :
L x It x Tk x HSbg

17
- Retribusi rehabilitasi prasaranan bangunan :
V x I x Tk x HSpbg
- Retribusi prasarana bangunan :
V x I x Tk x HSbg
Keterangan :
L : Luas lantai bangunan (m²)
V : Volume/besaran bangunan (m³)
I : Indeks kerusakan
It : Indeks terintegrasi
Tk : Tingkat kerusakan
- 0,45 untuk tingkat kerusakan sedang
- 0,65 untuk tingkat kerusakan berat
HSbg : Harga satuan retribusi bangunan
HSpbg : Harga satuan retribusi prasarana bangunan
1,00 : Indeks pembangunan baru

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

18
Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

19
Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR


015.

20
LAMPIRAN I
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU

KOEFISIEN-KOEFISIEN YANG MEMPENGARUHI


BESARNYA TARIF RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

a. Koefisien Luas Bangunan.

No Luas Bangunan Koefisien

1 Luas Lantai Bangunan s/d 100 m² 0,25


2 Luas Lantai Bangunan s/d 250 m² 0,50
3 Luas Lantai Bangunan s/d 500 m² 0,75
4 Luas Lantai Bangunan s/d 1.000 m² 1,00
5 Luas Lantai Bangunan s/d 2.000 m² 1,25
6 Luas Lantai Bangunan s/d 3.000 m² 1,50
7 Luas Lantai Bangunan s/d 4.000 m² 1,75
8 Luas Lantai Bangunan diatas 4.000 m² 2,00

b. Koefisien Ketinggian Bangunan.

No Tinggi Bangunan Koefisien

1 Bangunan 1 Lantai (Lantai Dasar) 1,00


2 Bangunan 2 Lantai (Lantai Tingkat Dua) 0,90
3 Bangunan 3 Lantai (Lantai Tingkat Tiga) 0,80
4 Bangunan 4 Lantai (Lantai Tingkat Empat) 0,70
5 Bangunan 5 Lantai (Lantai Tingkat Lima) 0,60

c. Koefisien Fungsi Bangunan.

No Kegunaan Bangunan Koefisien

1 Bangunan Peribadatan 0,00


2 Bangunan Sosial 0,50
3 Bangunan Perumahan 1,00
4 Bangunan Fasilitas Umum 1,00
5 Bangunan Pendidikan 1,00
6 Bangunan Kelembagaan / Kantor 1,50
7 Bangunan Perdagangan dan Jasa 2,00
8 Bangunan Industri :
a. industri besar 5,00
b. industri menengah 3,00
c. industri kecil 1,00
9 Bangunan Khusus 2,50
10 Bangunan Campuran 2,75

21
d. Koefisien Lokasi Bangunan.

No Posisi Letak Bangunan Koefisien

1 Jalan Desa/Lingkungan 0,75


2 Jalan Kabupaten 1,00
3 Jalan Provinsi 1,25
4 Jalan Nasional 1,50
5 Jalan Khusus/Kawasan Khusus 1,75

e. Koefisien Tahun Bangunan.

No Usia/Umur Bangunan Koefisien

1 Tahun 2000 ke bawah 0,25


2 Tahun 2001 – 2005 0,50
3 Tahun 2006 – 2010 0,75
4 Tahun 2011 – 2014 1,00
5 Tahun 2015 ke atas 1,25

f. Koefisien Klasifikasi / Spesifikasi Bangunan.

No Klasifikasi Koefisien

1 Permanen Kelas A 2,50


- Pondasi pasangan batu/beton bertulang
- Dinding pasangan batu bata/batako diplester
- Kolom / besi / beton bertulang
- Rangka atap beton/baja
- Atap beton
- Lantai beton cor / keramik / tegel

2 Permanen Kelas B 2,00


- Pondasi pasangan batu/beton bertulang
- Dinding pasangan batu bata/batako diplester
- Kolom / balok beton bertulang
- Rangka atap kayu
- Atap seng, genteng , sirap, dll
- Lantai beton cor / keramik / tegel

3 Semi Permanen Kelas A 1,75


- Pondasi pasangan batu
- Dinding pasangan batu bata/batako diplester
- Kolom / balok kayu
- Rangka atap kayu
- Atap seng, genteng, sirap, dll
- Lantai beton cor / keramik / tegel

4 Semi Permanen Kelas B 1,50


- Podasi pasangan batu / kayu
- Dinding kayu / tripleks
- Kolom / balok kayu
- Rangka atap kayu
- Atap seng, dll
- Lantai beton cor / keramik / tegel

22
5 Bangunan Darurat 0,70
- Pondasi pasangan batu / kayu
- Dinding kayu / tripleks
- Rangka atap kayu
- Lantai beton / tanah

6 Bangunan Los / Terbuka


- Permanen 1,50
- Semi Permanen 1,00
- Darurat 0,50

Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

23
LAMPIRAN II
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU

STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF IZIN TEMPAT PENJUALAN


MINUMAN BERALKOHOL

Berdasarkan jenis tempat penjualan minuman beralkohol :

a. Diskotik, karaoke, klub malam, warung atau kios Rp. 15.000.000,- /izin
b. Hotel, motel, losmen, toko dan supermaket Rp. 10.000.000,- /izin

Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

24
LAMPIRAN III
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU

STRUKTUR DAN TARIF RETRIBUSI IZIN GANGGUAN

1. Luas ruangan tempat usaha :

Luas 1 m² s/d 10 m² = Rp. 6.000,- / 3 Tahun


Luas 11 m² s/d 20 m² = Rp. 9.000,- / 3 Tahun
Luas 21 m² s/d 30 m² = Rp. 12.000,- / 3 Tahun
Luas 31 m² s/d 45 m² = Rp. 18.000,- / 3 Tahun
Luas 46 m² s/d 60 m² = Rp. 24.000,- / 3 Tahun
Luas 61 m² s/d 80 m² = Rp. 30.000,- / 3 Tahun
Luas 81 m² s/d 100 m² = Rp. 36.000,- / 3 Tahun
Luas 101m² s/d 150 m² = Rp. 42.000,- / 3 Tahun
Luas 151m² s/d 200 m² = Rp. 48.000,- / 3 Tahun
Luas 201m² s/d 250 m² = Rp. 60.000,- / 3 Tahun
Luas 251m² s/d 300 m² = Rp. 72.000,- / 3 Tahun
Luas 301m² s/d 400 m² = Rp. 84.000,- / 3 Tahun
Luas 401m² s/d 500 m² = Rp. 96.000,- / 3 Tahun
Luas 501m² s/d 750 m² = Rp. 120.000,- / 3 Tahun
Luas 751m² s/d 1000 m² = Rp. 144.000,- / 3 Tahun

2. Indeks gangguan :

Indeks gangguannya besar/tinggi Rp. 400/Meter


Indeks gangguannya sedang Rp. 250/Meter
Indeks gangguannya rendah Rp. 150/Meter

3. Indeks lokasi :

Indeks lokasinya besar/tinggi Rp. 400/Meter


Indeks lokasinya sedang Rp. 250/Meter
Indeks lokasinya rendah Rp. 150/Meter

Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

25
LAMPIRAN IV
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU

STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI IZIN TRAYEK

1. Retribusi Izin Trayek ditetapkan :


 Mobil Bus besar (26 tempat duduk keatas) sebesar Rp. 150.000,-/ 6 Bulan
 Mobil Bus sedang (16 – 25 tempat duduk) sebesar Rp. 135.000,-/ 6 Bulan
 Mobil Bus kecil (10 – 15 tempat duduk) sebesar Rp. 120.000,-/ 6 Bulan
 Mobil Penumpang (1 – 9 tempat duduk) sebesar Rp. 100.000,-/ 6 Bulan

2. Retribusi untuk daftar ulang ditetapkan :


 Mobil Bus (26 tempat duduk keatas) sebesar Rp. 55.000,- / 6 Bulan
 Mobil Bus (16 – 25 tempat duduk) sebesar Rp. 50.000,- / 6 Bulan
 Mobil Bus (10 – 15 tempat duduk) sebesar Rp. 40.000,- / 6 Bulan
 Mobil Penumpang (1 – 9 tempat duduk) sebesar Rp. 35.000,- / 6 Bulan

3. Untuk Izin Operasional ditetapkan :


 Izin Operasional Taksi Argo sebesar Rp. 100.000,-/ 6 Bulan
 Daftar Ulang sebesar Rp. 50.000,-/ 1 Tahun

Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

26
LAMPIRAN V
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU

STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN

I. SIUP Budidaya untuk kegiatan pembesaran ikan di air tawar, air payau
dan air laut :

1. Budidaya kolam air tenang lebih dari 2 hektar, perhektar : Rp. 50.000,-
per tahun.
2. Budidaya sawah lebih dari 2 hektar, perhektar (mina padi) : Rp. 20.000,-
per tahun.
3. Budidaya ikan di kolam air deras lebih dari 500 m³ : Rp. 75.000,- per
tahun.
4. Budidaya ikan mas/nila di karamba lebih dari 50 (lima puluh) unit
dengan ketentuan 1 unit = 4 x 2 x 1,5 m³ : Rp. 20.000,-/unit/tahun.
5. Budidaya air payau tradisional dengan areal lahan Lebih dari 5 Hektar,
perhektar Rp. 40.000,- per tahun.
6. Budidaya air payau semi intensif dengan areal lahan lebih dari 5 Hektar,
perhektar : Rp. 50.000,- per tahun.
7. Budidaya air payau intensif dengan areal lahan lebih dari 5 Hektar,
perhektar : Rp. 100.000,- per tahun.
8. Budidaya rumput laut dengan menggunakan metode :
a) lepas dasar lebih dari 8 (delapan) unit dengan ketentuan 1 unit
berukuran 100 x 5 m² perhektar : Rp. 50.000,- per tahun.
b) rakit apung lebih dari 20 (dua puluh) unit dengan ketentuan 1 unit =
20 rakit, 1 rakit berukuran 5 x 2,5 m²; perhektar : Rp.50.000,- per
tahun.
c) long line lebih dari 2 (dua) unit dengan ketentuan 1 unit berukuran 1
(satu) ha; perhektar : Rp. 100.000,- per tahun.
9. Budidaya ikan kerapu, kakap, baronang dan lain-lain :
(Keramba jaring Apung) :
a) kerapu bebek/tikus dengan menggunakan dari 2 (dua) unit keramba
jaring apung, dengan ketentuan 1 unit = 4 kantong ukuran 3 x 3 x 3
m³/kantong, kepadatan antara 300-500 ekor per kantong : Rp.
150.000,-/unit/tahun.
b) kerapu lainnya dengan menggunakan lebih dari 4 (empat) unit
keramba jaring apung, dengan ketentuan 1 unit = 4 kantong ukuran
3 x 3 x 3 m³/kantong : Rp. 100.000,-/unit/tahun.
c) kakap putih dan baronang serta ikan lainnya lebih dari 10 (sepuluh)
unit karamba jaring apung, dengan ketentuan 1 unit 4 kantong
ukuran 3 x 3 x 3 m³/kantong, kepadatan antara 300-500 ekor per
kantong : Rp. 50.000,- per tahun.
10. Budidaya Mutiara perhektar Rp. 250.000,- per tahun.

II. SIUP untuk kegiatan Pembenihan adalah sebagai berikut :

1. Pembenihan ikan air tawar dengan areal lahan lebih dari 0,75 hektar,
Kapasitas 1 - 4 juta ekor Rp. Rp. 100.000,- per tahun.
2. Pembenihan ikan air tawar dengan areal lahan lebih dari 0,75 hektar,
Kapasitas 4 juta ekor ke atas Rp. 150.000,- per tahun.

27
3. Pembenihan Udang Galah dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar,
Kapasitas 1 - 4 juta ekor Rp. 150.000,- per tahun.
4. Pembenihan Udang Windu dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar,
Kapasitas 1 - 4 Juta ekor Rp. 100.000,- per tahun.
5. Pembenihan Udang Galah dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar,
Kapasitas 4 juta ekor ke atas Rp. 200.000,- per tahun.
6. Pembenihan Udang Windu dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar,
Kapasitas 4 Juta ekor ke atas Rp. 200.000,- per tahun.

Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

28
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


NOMOR 14 TAHUN 2015

TENTANG

PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal
95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5049);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara Di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

1
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
dan
BUPATI MOROWALI UTARA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
5. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang Perpajakan Daerah
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
6. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan
nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun,
Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi Sosial
Politik atau Organisasi lainnya, Lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk badan usaha tetap.
8. Pajak Hotel adalah Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh Hotel.
9. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristrahatan termasuk jasa
terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen,
gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan
sejenisnya, serta rumah kost dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.

2
10. Kondominium adalah rumah yang dibangun secara bertingkat-tingkat dan
mempunyai keluasan yang lebih berbanding dengan rumah apartemen.
11. Pengusaha hotel adalah Perorangan atau badan yang menyelenggarakan
usaha untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain
yang menjadi tanggungannya.
12. Pajak Restoran adalah Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh Restoran.
13. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan
dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin,
warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
14. Pajak Hiburan adalah Pajak atas penyelenggaraan hiburan.
15. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan dan/atau
keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
16. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
17. Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang bentuk dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan,
menganjurkan, mempromosikan atau untuk menarik perhatian umum
terhadap barang, jasa, orang atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar,
dirasakan dan/atau dinikmati oleh umum.
18. Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan
umum yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.
19. Pajak Penerangan Jalan adalah Pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
20. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam
didalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
21. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud didalam Peraturan Perundang-undangan dibidang
mineral dan batubara.
22. Pajak Parkir adalah Pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan
jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor.
23. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara.
24. Pajak Air Tanah adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah.
25. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
26. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang burung walet.
27. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia
fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
28. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.

3
29. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman
serta laut wilayah kabupaten/kota.
30. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
31. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan
bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru
atau NJOP pengganti.
32. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak atas perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan.
33. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau
Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
34. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang dibidang pertanahan dan bangunan.
35. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
Peraturan Perundang-undangan Perpajakan Daerah diwajibkan untuk
melakukan Pembayaran Pajak yang terutang, termasuk pemungutan atau
pemotongan Pajak tertentu.
36. Subjek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak.
37. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan
kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling
lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk
menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
38. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender,
kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender.
39. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada saat, dalam masa
pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
40. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data
objek atau subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai
kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan
penyetorannya.
41. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang dapat disingkat SPPD adalah surat
yang oleh wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
Pembayaran pajak, yang terutang menurut Peraturan Perundang-undangan
Perpajakan Daerah.
42. Surat Setoran Pajak Daerah yang dapat disingkat SSPD adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran
pajak ke Kas Daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh
Bupati.
43. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang dapat disingkat SKPD adalah Surat
Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak.

4
44. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang dapat disingkat SKPDKB
adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok
pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
45. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang dapat disingkat
SKPDKBT adalah Surat Ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
46. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang dapat disingkat SKPDLB
adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar dari pada Pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
47. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang dapat disingkat SKPDN adalah Surat
ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
48. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah
surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan
objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
49. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah
surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada wajib pajak.
50. Surat Tagihan Pajak Daerah yang dapat disingkat STPD adalah surat untuk
melakukan Tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda.
51. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan
dan mengolah data dan/atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan
kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
52. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dapat
disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan daerah yang
terjadi serta menemukan tersangkanya.
53. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak
berakhir.

5
BAB II
JENIS PAJAK

Pasal 2

Jenis Pajak Daerah dalam Peraturan Daerah ini meliputi :


a. pajak hotel;
b. pajak restoran;
c. pajak hiburan;
d. pajak reklame;
e. pajak penerangan jalan;
f. pajak mineral bukan logam dan batuan;
g. pajak parkir;
h. pajak air tanah;
i. pajak sarang burung walet;
j. pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan; dan
k. bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

BAB III
PAJAK HOTEL

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 3

Dengan nama pajak hotel dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
hotel.

Pasal 4

(1) Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang
sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas
olahraga dan hiburan.
(2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon,
facsimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi dan
fasilitas lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.
(3) Tidak termasuk objek pajak hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah;
b. jasa sewa apartemen, kondominium dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti
asuhan dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh
hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.

6
Bagian Kedua
Subjek Dan Wajib Pajak
Pasal 5

(1) Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
(2) Wajib pajak hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Cara Penghitungan Pajak

Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 6

Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada hotel.

Paragraf 2
Tarif
Pasal 7

Tarif pajak hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

Paragraf 3
Cara Perhitungan Pajak
Pasal 8

(1) Besaran pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Pajak hotel yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat hotel berlokasi.

Bagian Keempat
Masa Pajak Dan Saat Pajak Terutang
Pasal 9
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.

Pasal 10

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pelayanan di hotel.

7
BAB IV
PAJAK RESTORAN

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 11

Dengan nama pajak restoran dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.

Pasal 12

(1) Objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran.
(2) Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi
oleh pembeli, baik dikonsumsi ditempat pelayanan maupun di tempat lain.
(3) Tidak temasuk objek pajak restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya
(omset) tidak melebihi Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per bulan.

Bagian Kedua
Subjek Dan Wajib Pajak
Pasal 13

(1) Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli
makanan dan/atau minuman dari restoran.
(2) Wajib pajak restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan
restoran.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 14
Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau
yang seharusnya diterima restoran.

Paragraf 2
Tarif
Pasal 15
Tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

8
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 16

(1) Besaran pokok pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(2) Pajak restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat restoran
berlokasi.

Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 17

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.

Pasal 18

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pelayanan yang disediakan
oleh restoran.

BAB V
PAJAK HIBURAN

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 19

Dengan nama pajak hiburan dipungut pajak atas penyelenggaraan hiburan.

Pasal 20

(1) Objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut
bayaran.
(2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, club malam dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat dan sulap;
g. permainan bilyard dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa dan pusat kebugaran (fitness center);
dan
j. pertandingan olahraga.

9
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 21

(1) Subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati
hiburan.
(2) Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan
hiburan.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 22

(1) Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.
(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk potongan harga dan tiket gratis diberikan kepada penerima jasa
hiburan.

Paragraf 2
Tarif
Pasal 23

Besarnya tarif pajak untuk setiap jenis hiburan adalah :


a. tontonan film ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
b. pagelaran kesenian rakyat/tradisional ditetapkan sebesar 10% (sepuluh
persen);
c. musik, tari dan/atau busana ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen);
d. kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya ditetapkan sebesar 10% (sepuluh
persen);
e. pameran ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen);
f. diskotik, karaoke, klub malam dan sejenisnya ditetapkan sebesar 25% (dua
puluh lima persen);
g. sirkus, akrobat dan sulap ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen);
h. permainan bilyar dan boling ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
i. pacuan kuda dan permainan ketangkasan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh
persen);
j. kendaraan bermotor ditetapkan 20% (dua puluh persen);
k. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, pusat kebugaran (fitness center)
ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen); dan
l. pertandingan olahraga ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

10
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 24

(1) Besaran pokok pajak hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pajak hiburan yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat hiburan
diselenggarakan.

Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 25

Masa pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain
yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang
menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan
pajak yang terutang.

Pasal 26

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan hiburan.

BAB VI
PAJAK REKLAME

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 27

Dengan nama pajak reklame dipungut pajak atas penyelenggaraan reklame.

Pasal 28

(1) Objek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.


(2) Objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. reklame papan/billboard/videotron/megatronn dan sejenisnya;
b. reklame kain;
c. reklame melekat, stiker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame suara;
i. reklame film/slide; dan
j. reklame peragaan.
(3) Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah :
a. penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian,
warta mingguan, warta bulanan dan sejenisnya;

11
b. label/merk produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan,
yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada
bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
dan
e. penyelenggaraan reklame lainnya termasuk Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Pemilihan Umum Anggota Legislatif.

Bagian Kedua
Subjek Dan Wajib Pajak
Pasal 29

(1) Subjek pajak reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
reklame.
(2) Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang
pribadi atau Badan, wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau Badan
tersebut.
(4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga
tersebut menjadi wajib pajak reklame.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 30
(1) Dasar pengenaan pajak reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak
reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan
yang digunakan, lokasi penempatan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah
dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan
dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan
menggunakan Rumus yaitu : Nilai Sewa Reklame sama dengan (Nilai
Kawasan tambah Nilai Sewa) kali Jangka Waktu Pemasangan.
(6) Hasil perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

12
Paragraf 2
Tarif
Pasal 31

Tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).

Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 32

(1) Besaran pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6).
(2) Pajak reklame yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat reklame
tersebut diselenggarakan.

Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 33

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga)
bulan kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor
dan melaporkan pajak yang terutang.

Pasal 34

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan reklame.

BAB VII
PAJAK PENERANGAN JALAN

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 35
Dengan nama pajak penerangan jalan dipungut pajak atas penggunaan tenaga
listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
Pasal 36
(1) Objek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
seluruh pembangkit listrik.
(3) Dikecualikan dari objek pajak penerangan jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah :
a. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah;
b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh
kedutaan, konsulat, perwakilan asing dengan asas timbal balik; dan

13
c. penggunaan tenaga listik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas
tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.

Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 37

(1) Subjek pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau Badan yang
dapat menggunakan tenaga listrik.
(2) Wajib pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau Badan yang
menggunakan tenaga listrik.
(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, wajib pajak penerangan
jalan adalah penyedia tenaga listrik.
(4) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN)
maka pemungutan pajak penerangan jalan dilakukan oleh PLN.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 38

(1) Dasar pengenaan pajak penerangan jalan adalah nilai jual tenaga listrik.
(2) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran,
nilai jual tenaga listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap
ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam
rekening listrik; dan
b. dalam tenaga listrik dihasilkan sendiri, nilai jual tenaga listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu
pemakaian listrik dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah
yang bersangkutan.

Paragraf 2
Tarif
Pasal 39

(1) Tarif pajak penerangan jalan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam, tarif pajak penerangan jalan ditetapkan sebesar
3% (tiga persen).
(3) Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif pajak penerangan
jalan ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).

14
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 40

(1) Besarnya pokok pajak penerangan jalan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pajak penerangan jalan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
penggunaan tenaga listrik.
(3) Hasil penerimaan pajak penerangan jalan sebagian dialokasikan untuk
penyediaan penerangan jalan.

Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 41

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.

Pasal 42

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penggunaan tenaga listrik.

BAB VIII
PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 43

Dengan nama pajak mineral bukan logam dan batuan dipungut pajak atas
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan.

Pasal 44

(1) Objek pajak mineral bukan logam dan batuan adalah kegiatan pengambilan
mineral mukan logam dan batuan yang meliputi :
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);

15
k. grafit;
l. granit/Andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. traktit; dan
kk. mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dikecualikan dari objek pajak mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang secara
nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan
tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang
listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa
air/gas; dan
b. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang merupakan
ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan
secara komersial.

Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 45

(1) Subjek pajak mineral bukan logam dan batuan adalah orang pribadi atau
Badan yang dapat mengambil mineral bukan logam dan batuan.
(2) Wajib pajak mineral bukan logam dan batuan adalah orang pribadi atau
Badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan.

16
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 46

(1) Dasar pengenaan pajak mineral bukan logam dan batuan adalah nilai jual
hasil pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar
masing-masing jenis mineral bukan logam dan batuan.
(3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang
berlaku di lokasi setempat dalam wilayah daerah yang ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.
(4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga
standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang
pertambangan mineral bukan logam dan batuan.

Paragraf 2
Tarif
Pasal 47

Tarif pajak mineral bukan logam dan batuan ditetapkan sebesar 20% (dua puluh
persen).

Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 48

(1) Besaran pokok pajak mineral bukan logam dan batuan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 47 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46.
(2) Pajak mineral bukan logam dan batuan yang terutang dipungut diwilayah
daerah tempat pengambilan mineral bukan logam dan batuan.

Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 49
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.

17
Pasal 50
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan.

BAB IX
PAJAK PARKIR

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 51

Dengan nama pajak parkir dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di
luar badan jalan.

Pasal 52

(1) Objek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
bermotor.
(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan
untuk karyawannya sendiri;
c. penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan, konsulat dan perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik; dan
d. penyelenggaraan tempat parkir oleh rumah ibadah.

Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 53

(1) Subjek pajak parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir
kendaraan bermotor.
(2) Wajib pajak parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan
tempat parkir.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 54

(1) Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk potongan harga parkir dan parkir gratis yang diberikan kepada
penerima jasa parkir.

18
Paragraf 2
Tarif
Pasal 55

Tarif pajak parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen).

Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 56

(1) Besaran pokok pajak parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(2) Pajak parkir yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat parkir
berlokasi.

Bagian Keempat
Masa Pajak Saat Pajak Terutang
Pasal 57

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.

Pasal 58

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan tempat
parkir.

BAB X
PAJAK AIR TANAH

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 59

Dengan nama pajak air tanah dipungut pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah.

Pasal 60

(1) Objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Dikecualikan dari objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan
pertanian dan perikanan rakyat, peribadatan, sosial dan pendidikan.

19
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 61

(1) Subjek pajak air tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Wajib pajak air tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 62

(1) Dasar pengenaan pajak air tanah adalah nilai perolehan air tanah.
(2) Nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau
seluruh faktor berikut :
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan
dan/atau pemanfaatan air.
(3) Besaran nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 2
Tarif
Pasal 63

Tarif pajak air tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).

Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 64

(1) Besarnya pokok pajak air tanah yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3).
(2) Pajak air tanah yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air diambil.

20
Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 65

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kelender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.

Pasal 66

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah.

BAB XI
PAJAK SARANG BURUNG WALET

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 67

Dengan nama pajak sarang burung walet dipungut pajak atas kegiatan
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.

Pasal 68

(1) Objek pajak sarang burung walet adalah pengambilan dan/atau


pengusahaan sarang burung walet.
(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP).

Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 69

(1) Subjek pajak sarang burung walet adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
(2) Wajib pajak sarang burung walet adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 70

(1) Dasar pengenaan pajak sarang burung walet adalah nilai jual sarang burung
walet.
21
(2) Nilai jual sarang burung walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini
dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung
walet yang berlaku di daerah dengan volume sarang burung walet.
(3) Nilai pasar atau harga standar setiap jenis sarang burung walet untuk jangka
waktu tertentu ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 2
Tarif
Pasal 71

Tarif pajak sarang burung walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 72

(1) Besaran pokok pajak sarang burung walet yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 70.
(2) Pajak sarang burung walet yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.

Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 73

Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.

Pasal 74

Pajak terutang dalam masa Pajak terjadi pada saat kegiatan pengambilan dan/
atau pengusahaan sarang burung walet.

BAB XII
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 75

Dengan nama pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dipungut pajak
atas bumi dan/atau bangunan.

22
Pasal 76

(1) Objek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
(2) Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan
dengan kompleks bangunan tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. menara.
(3) Objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan adalah objek pajak yang :
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan
pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.

Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 77

Subjek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi
atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.

23
Pasal 78

Wajib pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi
atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.

Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 79

(1) Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah
NJOP.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3
(tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh Bupati.

Paragraf 2
Tarif
Pasal 80

(1) Tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk NJOP yang
jumlahnya sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
(2) Tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk NJOP yang
jumlahnya diatas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar
0,2% (nol koma dua persen).

Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 81

(1) Besaran pokok pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79 ayat (3) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (4).
(2) Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang terutang dipungut di
wilayah daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan bangunan
perdesaan dan perkotaan.

24
Bagian Keempat
Saat Pajak Terutang
Pasal 82

(1) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek
pajak pada tanggal 1 Januari.
(2) Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak
objek pajak.

Pasal 83

(1) Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.


(2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar
dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Bupati yang
wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.

Pasal 84

(1) Berdasarkan SPOP, Bupati menerbitkan SPPT.


(2) Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut:
a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) tidak disampaikan
dan setelah wajib pajak ditegur secara tertulis oleh Bupati sebagaimana
ditentukan dalam surat teguran; dan
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.

BAB XIII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 85

Dengan nama pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dipungut pajak
atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Pasal 86

(1) Objek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. pemindahan hak karena :
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;

25
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13) hadiah.
b. pemberian hak baru karena :
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 87

Subjek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang pribadi
atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

Pasal 88

Wajib pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang pribadi
atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

26
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak

Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 89

(1) Dasar pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah nilai
perolehan objek pajak.
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai
pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam risalah lelang.
(3) Jika nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP
yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP pajak bumi
dan bangunan.

Pasal 90

(1) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar
Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.
(2) Dalam hal NJOP hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah).

27
Paragraf 2
Tarif
Pasal 91

Tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 5% (lima persen).

Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 92

(1) Besaran pokok bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (1) setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) atau ayat (2).
(2) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang dipungut di
wilayah daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan hak atas tanah
dan bangunan.

Bagian Keempat
Saat Pajak Terutang
Pasal 93

(1) Saat terutangnya pajak bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
ditetapkan untuk :
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
b. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke instansi dibidang pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatangani akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani
akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

28
(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 94

Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat perolehan hak atas tanah dan
bangunan.

Bagian Kelima
Kewajiban dan Sanksi Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Instansi yang
Membidangi Pelayanan Lelang Negara dan Pertanahan Dalam Pemenuhan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pasal 95

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta


pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah wajib pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak.
(2) Kepala instansi yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat
menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
(3) Kepala instansi yang melaksanakan tugas di bidang pertanahan hanya dapat
melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas
tanah setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Pasal 96

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala instansi yang membidangi
pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Bupati melalui pejabat yang
berwenang paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 97

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala instansi yang membidangi
pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk
setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala instansi yang membidangi
pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 96 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(3) Kepala instansi yang melaksanakan tugas dibidang pertanahan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3)
dikenakan sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

29
Bagian Keenam
Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pasal 98

(1) Atas Permohonan wajib pajak, Bupati dapat memberikan pengurangan Pajak
yang terutang kepada wajib pajak karena :
a. kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak,
atau
b. kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab akibat
tertentu, atau
c. tanah dan/atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau
pendidikan yang semata-mata tidak mencari keuntungan.
(2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketujuh
Gugatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pasal 99

(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Pajak.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan
pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal penagihan.
(3) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan lain selain
gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal diterima keputusan yang digugat.
(4) Jangka waktu dimaksud pada ayat dua (2) dan ayat (3) tidak mengikat apabila
jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaan penggugat.
(5) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 14
(empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan
penggugat.
(6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1
(satu) surat gugatan.

BAB XIV
WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 100

Pajak yang terutang dipungut di wilayah Daerah.

30
BAB XV
PEMUNGUTAN PAJAK

Pasal 101

(1) Pemungutan pajak dilarang diborongkan.


(2) Jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas :
a. pajak reklame;
b. pajak air tanah; dan
c. pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan.
(3) Jenis pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak terdiri atas :
a. pajak hotel;
b. pajak restoran;
c. pajak hiburan;
d. pajak penerangan jalan;
e. pajak mineral bukan logam dan batuan;
f. pajak parkir;
g. pajak sarang burung walet; dan
h. bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Pasal 102

(1) Wajib pajak yang memenuhi kewajiban berdasarkan penetapan Bupati


dibayar dengan menggunakan SKPD, SPPT atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(2) SPPT sebagaimana pada ayat (1) digunakan untuk menetapkan pajak bumi
dan bangunan perdesaan dan perkotaan terutang.
(3) SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai SKPD.
(4) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa karcis dan nota perhitungan.

Pasal 103

(1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan
menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar
dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
(3) Wajib pajak BPHTB wajib mengisi SSPD.
(4) Dokumen SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berfungsi sebagai
SPTPD.

Pasal 104

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati
dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;

31
2. Jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka
waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; dan
3. Jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang
dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang;
dan.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika wajib
pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka 3 dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Pasal 105

(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPOP,
SPPT, SPTPD/SSPD, SKPDKB dan SKPDKBT diatur dengan Peraturan Bupati.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau
dokumen lain yang dipersamakan, SPOP, SPPT, SPTPD/SSPD, SKPDKB, dan
SKPDKBT diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB XVI
SURAT TAGIHAN PAJAK

Pasal 106

(1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika:


a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung; dan
c. wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15
(lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
32
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan dan ditagih melalui STPD.

BAB XVII
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN

Pasal 107

(1) Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya
pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh
wajib pajak.
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus
dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterbitkan.
(3) Bupati atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak dengan dikenakan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran,
angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan
Bupati.

Pasal 108

(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan
Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya
dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

BAB XVIII
KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 109

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau Pejabat
atas suatu :
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB;
d. SKPDKBT;
e. SKPDLB;
f. SKPDN; dan
g. Pemotongan.

33
(2) Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampirkan secara tertulis dalam bahasa Indonesia paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN diterima oleh
wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
(3) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal surat permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(4) Apabila setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Bupati atau Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan
keberatan dianggap dikabulkan.
(5) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda
kewajiban membayar Pajak.

Pasal 110

(1) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat
keputusan keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding.

Pasal 111

(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian


atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan
pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib
pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi
dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan atau dikabulkan sebagian,
wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah pajak berdasarkan putusan banding, dikurangi dengan pembayaran
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

34
BAB XIX
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN, DAN
PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 112

(1) Atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat
membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau
SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Bupati dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga,
denda dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau
STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan
atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan
sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB XX
KADALUWARSA

Pasal 113

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, menjadi kadaluwarsa setelah


melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya
pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak pidana dibidang
perpajakan daerah.
(2) Kadaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tertangguh apabila :
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak
langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud
ayat (2) huruf a kadaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian
Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b adalah wajib pajak dengan kesadarannya menyatakan masih
mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.

35
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

Pasal 114

(1) Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan
penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang pajak Kabupaten yang
sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghapusan piutang pajak yang
sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB XXI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 115

(1) Wajib pajak yang melakukan usaha dengan omset paling sedikit Rp.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan.
(2) Pembukuan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dilakukan secara tertib,
teratur dan benar sesuai dengan norma pembukuan yang berlaku.
(3) Pembukuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat dijadikan dasar untuk
menghitung besarnya pajak terutang.

Pasal 116
(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Wajib pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek
pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan mengenai pemeriksaan pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.

36
BAB XXII
INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal 117

(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak diberi insentif sebesar 5%


(lima persen) atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XXIII
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 118

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana dibidang pajak daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana, dibidang pajak daerah agar keterangan
laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
dengan tindak pidana perpajakan daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
pidana dibidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud
pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan
daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;

37
j. menghentikan penyidikan; dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana dibidang perpajakan daerah menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.

BAB XXIV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 119

(1) Wajib pajak daerah yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD
atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
(2) Wajib pajak daerah yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan
yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(3) Tindak pidana sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) adalah pelanggaran.
(4) Denda pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
penerimaan Negara.

BAB XXV
SENGKETA PAJAK

Pasal 120

Dalam hal terjadi sengketa pajak, maka diselesaikan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

BAB XXVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 121

Ketentuan mengenai pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan


sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2016.

38
Pasal 122

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Morowali
Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 28 Desember 2015.
Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 31 Desember 2015.

Plh. SEKRETARIS DAERAH


KABUPATEN MOROWALI UTARA,

TTD

MOCH. AMIRULLAH SIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2015 NOMOR 014.

NOMOR REGISTER 113 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA,


PROVINSI SULAWESI TENGAH : (14/2015)

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005

39
PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


NOMOR 14 TAHUN 2015

TENTANG

PAJAK DAERAH

I. UMUM.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Daerah mempunyai hak dan
kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat untuk dapat menyelenggarakan
pemerintahan dengan baik diperlukan sumber-sumber pembiayaan yang
sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perpajakan
sebagai salah satu sumber pendapatan bagi Daerah perlu menyesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka semua Peraturan Daerah yang
mengatur Pajak Daerah harus menyesuaikan dengan Undang-Undang
tersebut. Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah ini akan menjadi pedoman
dalam upaya penanganan dan pengelolaan Pajak Daerah guna
meningkatkan penerimaan Daerah. Pajak Daerah mempunyai peranan
penting untuk mendorong pembangunan daerah, meningkatkan
pendapatan daerah dalam rangka untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Selain itu dengan Peraturan Daerah ini diharapkan ada peningkatan
kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintahan Daerah telah diberikan
kewenangan lebih luas dalam pengelolaan Pajak Daerah, diantaranya
kewenangan terhadap Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan
(PBB-P2) dari Pajak Pusat menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota.
Ketentuan Peralihan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pelaksanaan pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan ketentuan yang lama
yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan, diberikan batas waktu sampai dengan paling
lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau paling lama
sampai dengan 31 Desember 2010.

40
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya mewujudkan efisiensi dan
efektifitas pengelolaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan oleh
daerah, maka Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan perlu segera ditetapkan.
Peraturan Daerah ini mengatur berbagai hal yang terkait dengan
pengelolaan Pajak Daerah terutama Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, kewajiban dan hak pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pemungutan pajak, serta sanksi administratif maupun sanksi pidana bagi
pihak-pihak yang tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini. Hal ini dimaksudkan agar dengan beralihnya
pengelolaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah, pengelolaannya lebih berdaya
guna dan berhasil guna, sehingga dapat mendukung visi Pemerintah
Kabupaten Morowali Utara.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Fasilitas sejenis lainnya adalah fasilitas yang dapat digunakan untuk
masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.
ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
PasaI11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.

41
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Nama pengenal usaha yang dipasang melekat adalah reklame yang
ditulis langsung atau dilekatkan pada bangunan tempat usaha dengan
tidak melebihi luas reklame 2 meter persegi.
Pasal 29
Cukupjelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
ayat (1) Cukup Jelas.
ayat (2) Cukup Jelas.
ayat (3) Cukup Jelas.
ayat (4) Cukup Jelas.

42
ayat (5)
Contoh: Cara menghitung Sewa Reklame (NSR) dengan
menggunakan Rumus yang dijadikan standar perhitungan,
yaitu:
NSR = (NK + NS) x JWP
NSR = Nilai Sewa Reklame
NK = Nilai Kawasan
NS = Nilai Sewa
JWP = Jangka Waktu Pemasangan
1. Penghitungan NSR untuk Baliho ukuran 4 x 6 m (satu sisi)
dipasang di wilayah Kecamatan Petasia selama 1 tahun :
NSR = [(4m x 6m) x (Rp. 78.400 + Rp.19.600)] x 1
= 24 m2 x Rp. 98.000,-
= Rp. 2.352.000,-
Jadi : Nilai Sewa Reklame (NSR) adalah sebesar :
Rp. 2.352.000,-
2. Penghitungan NSR untuk Bilboard ukuran 1 x 2 m (dua sisi)
dipasang di suatu tempat selama 1 tahun :
NSR = [(1 x 2 m x 2 sisi) x (Rp. 452.700 + Rp. 113.175)] x 1
= 4 m2 x Rp. 565.875,-
= Rp. 2.263.500,-
Jadi : Nilai Sewa Reklame (NSR) adalah sebesar : Rp.
2.263.500,-
ayat (6) Cukup Jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Contoh : Pajak Reklame Terutang sebagaimana contoh Penjelasan
Pasal 30 di atas didapatkan sebagai berikut :
1. Pajak Reklame = NSR x Tarif
= Rp. 2.352.000 x 25%
= Rp. 588.000,-
2. Pajak Rekame = Rp. 2.263.500 x 25%
= Rp. 565.875,-
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.

43
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.

44
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Bupati dalam menetapkan nilai pasar dengan melakukan
survey untuk masing-masing wilayah kecamatan dan/atau
kelurahan, dan nilai pasar dapat ditinjau/dilakukan
penyesuaian berdasarkan perkembangan setiap tahun.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Yang dimaksud dengan kawasan adalah semua tanah dan bangunan
yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah
yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah
usaha pertambangan.
Pasal 76
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.

45
ayat (3)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Yang dimaksudkan dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan“ adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani
kepentingan umum dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam
rumah ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan
nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik
Negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf f
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi
terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak paling rendah
sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah).
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa :
- Tanah seluas 800 m² dengan harga jual Rp. 300.000/m2
- Bangunan seluas 400 m² dengan nilai jual Rp. 350.000/m2
- Taman seluas 200 m² dengan nilai jual Rp. 50.000/m2
- Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata
pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 175.000/m2

46
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
1. NJOP Bumi : 800 X Rp. 300.000,- = Rp. 240.000.000,-
2. NJOP Bangunan
a. Rumah dan Garasi 400 X Rp.350.000 = Rp. 140.000.000,-
b. Taman 200 X Rp.50.000 = Rp. 10.000.000,-
c. Pagar (120 X 1,5) X Rp.175.000 = Rp. 31.500.000,- +
Total NJOP Bangunan Rp. 181.500.000,-

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000,- –

Nilai Jual Bangunan Kena Pajak = Rp 170.500.000,- +

3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp 410.500.000,-


4. Tarif Pajak Efektif Yang Ditetapkan Dalam
Peraturan Daerah 0,1%
5. PBB Terutang : 0,1% X Rp 410.500.000,- = Rp 410.500,-
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Contoh penghitungan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan:

47
Contoh :
Wajib pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan :
Nilai perolehan obyek pajak : Rp. 100.000.000,-
Nilai perolehan obyek pajak tidak kena pajak : Rp. 60.000.000,- (-)
Nilai perolehan obyek pajak kena pajak : Rp. 40.000.000,-
Pajak yang terutang 5% x Rp.40.000.000 : Rp. 2.000.000,-

Dalam Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan SSPD
sekaligus berfungsi sebagai SPTPD. Hal ini dimaksudkan untuk
mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat, serta menegakkan
prinsip pajak dihitung dan dibayar sendiri oleh wajib pajak (self
assessment).
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Huruf a
Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek
pajak
Contoh :
1. Wajib pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh
hak baru melalui program pemerintah dibidang pertanahan.
2. Wajib pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang
mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah.
Huruf b.
Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab
tertentu
Contoh :
1. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian
dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya dibawah
Nilai Jual Objek Wajib Pajak.
2. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti
atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan
umum yang memerlukan persyaratan khusus.
3. Wajib pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter
yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional
sehingga wajib pajak harus melakukan restrukturisasi usaha
dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

48
Huruf c
Contoh :
Tanah dan/atau bangunan yang digunakan antara lain untuk panti
asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, rumah sakit swasta,
institusi pelayanan sosial masyarakat.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 99
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Dalam hal batas waktu tidak dapat dipenuhi oleh penggugat karena
keadaan diluar kekuasaannya (force majeur) maka jangka waktu
dimaksud dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang.
ayat (5)
Cukup jelas.
ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak
yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan
kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran
dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiscal tidak
dilaporkan oleh wajib pajak.
ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Bupati untuk dapat
menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap
kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap wajib
pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan
tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.

49
Contoh :
1. Seseorang wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun
pajak 2009. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum
menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun Bupati dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang
terutang.
2. Seorang wajib pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009.
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil
pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang
terutang yang kurang bayar tersebut, Bupati dapat menerbitkan
SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.
3. Wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah
diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru
dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan jumlah pajak yang terutang, Bupati dapat
menerbitkan SKPDKBT.
4. Wajib pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Bupati ternyata jumlah
pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, Bupati dapat menerbitkan
SPKDN.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah
penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Bupati
atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau
keterangan lain yang dimiliki oleh Bupati atau pejabat yang
ditunjuk.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
ayat (2)
Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap wajib pajak yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi
administrasif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari
pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau
terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak
saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.

50
ayat (3)
Dalam hal wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, yaitu dengan
ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang
terutang bertambah, maka terhadap wajib pajak dikenakan sanksi
administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak. Sanksi administrasi ini tidak dikenakan apabila
wajib pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Dalam hal wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, yaitu wajib
pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya,
dikenakan sanksi adminstratif berupa kenaikan pajak sebesar 25 %
(dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang.
Dalam kasus ini, Bupati menetapkan pajak yang terutang secara
jabatan melalui penerbitan SKPDKB.
Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh
lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebelum dihitung
dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administratif berupa
bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai sengan
diterbitkannya SKPDKB.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.

51
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
ayat (1) Yang dimaksud dengan “Instansi yang melaksanakan
pungutan pajak” adalah Dinas/Badan/Lembaga yang tugas
pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan pajak dan
retribusi.
ayat (2) Cukup jelas.
ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR 012.

52
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROPINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


NOMOR 9 TAHUN 2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN


MOROWALI UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : a. bahwa retribusi jasa usaha merupakan salah satu


sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
b. bahwa pelabuhan Penyeberangan di Kabupaten Morowali
Utara telah beroperasi, berpotensi menambah sumber
pendapatan daerah dari retribusi pelayanan
kepelabuhanan;
c. bahwa Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Retribusi Jasa Usaha belum memasukkan subyek
retribusi pelayanan jasa kepelabuhanan pada angkutan
penyeberangan kapal ferry, maka dipandang perlu
melakukan penambahan subyek retribusi guna menjamin
adanya kepastian hukum atas pungutan retribusi
dimaksud;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Retribusi Jasa Usaha;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

1
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara Di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
5. peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang
Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak Yang Berlaku Pada Kementrian Perhubungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5668);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 12
Tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Daerah
(Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun
2015 Nomor 12);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


dan
BUPATI MOROWALI UTARA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN ATAS


PERATURAN DAERAH NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG
RETRIBUSI JASA USAHA.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 16
Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran
Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun 2015 Nomor 16,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara
Nomor 14), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 56 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 56
berbunyi sebagai berikut :

2
Pasal 56
(1) Subyek retribusi pelayanan kepelabuhanan adalah
orang pribadi atau badan yang memanfaatkan fasilitas
dermaga/pelabuhan penyerangan dan/atau pelabuhan
lokal di wilayah daerah.
(2) Wajib retribusi pelayanan kepelabuhanan adalah orang
pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut
atau pemotong retribusi pelayanan kepelabuhanan.

2. Pada Lampiran X ditambahkan Struktur dan Besarnya tarif


Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan pada Pelabuhan
Penyeberangan, sehingga Lampiran X berbunyi sebagai
berikut:
Struktur dan besarnya tarif retribusi Pelayanan Kepelabuhanan, sebagai
berikut:
A. Pelabuhan Lokal
No. JENIS PELAYANAN BESARAN TARIF KET.
1. Pelayanan Kapal :
- Labuh Rp. 500,-/GT/Etmal
- Tambat Rp. 750,-/GT/Etmal
2. a. Jasa Dermaga :
- Barang antar Pulau (barang, Rp. 2.500,-/Ton/m3
pupuk dan barang bulog lainnya)
- Barang lainnya Rp. 3.500,-/Ton/m3
b. Jasa Penumpukan :
- Gudang Tertutup Rp. 2.500,-/Ton/m3/hari
- Lapangan Penumpukan Rp. 1.000,-/Ton/m3/hari
3. Tanda Masuk Orang dan Kendaraan di
areal Pelabuhan :
a. Tanda Masuk Orang :
- Tanda Masuk Harian Rp. 1.000,-/Orang
- Tanda Masuk Tetap :
 Per Bulan Rp. 25.000,-/Orang
 Per Tahun Rp. 300.000,-/Orang
b. Tanda Masuk Kendaraan Sekali
Masuk :
- Tanda Masuk Harian :
 Trailler, Truk Gandeng Rp. 3.000,-/Kendaraan
 Truk Besar Rp. 2.000,-/Kendaraan
 Sepeda Motor Rp. 1.000,-/Kendaraan
- Tanda Masuk Tetap :
 Trailler, Truk Gandeng
 Per Bulan

3
 Per Tahun Rp. 30.000,-/Kendaraan
 Truk Besar Rp.300.000,-/Kendaraan
 Per Bulan
 Per Tahun Rp. 50.000,-/Kemdaraan
 Pick Up, Mobil, Bus, Sedan Rp.500.000,-/Kendaraan
dan Jeep
 Per Bulan
 Per Tahun Rp. 20.000,-/Kendaraan
 Sepeda Motor Rp.200.000,-/Kendaraan
 Per Bulan
 Per Tahun Rp. 20.000,-/Kendaraan
Rp.175.000,-/Kendaraan

B. Pelabuhan Penyeberangan
No. JENIS PELAYANAN SATUAN TARIF
1. Jasa Sandar :
a. Dermaga beton; Per GT per call Rp. 50,00
b. Jembatan Kayu; Per GT per call Rp. 30,00
c. Pinggiran/pantai; Per GT per call Rp. 20,00
d. Kapal istrahat pada dermaga; Per GT per call Rp. 15,00

2. Jasa Tanda Masuk pelabuhan :


a. Tanda masuk pelabuhan/ Per orang per Rp. 1.000,00
terminal (penumpang, sekali masuk
pengantar, dan penjemput);
b. Tanda masuk bulanan Per orang per Rp. 5.000,00
karyawan perusahaan di bulan
pelabuhan;
c. Pas bulanan kendaraan
bermotor karyawan
perusahaan yang beroperasi
di pelabuhan:
1. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp. 1.000,00
golongan I; bulan
2. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp. 2.000,00
golongan II; bulan
3. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp. 3.000,00
golongan III; bulan
4. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp. 4.000,00
golongan IV; bulan
d. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp. 500,00
golongan I; sekali masuk
e. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.1.000,00
golongan II; sekali masuk
f. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.1.500,00
golongan III; sekali masuk

4
g. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.2.000,00
golongan IV; sekali masuk
h. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.3.000,00
golongan V; sekali masuk
i. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.4.000,00
golongan VI; sekali masuk
j. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.5.000,00
golongan VII; sekali masuk
k. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.6.000,00
golongan VIII; sekali masuk
l. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.7.000,00
golongan IX; sekali masuk

Jasa Pemeliharaan Dermaga :


a. Kendaraan golongan II; Per unit Rp. 500,00
b. Kendaraan golongan III; Per unit Rp. 750,00
c. Kendaraan golongan IV; Per unit Rp. 1.000,00
d. Kendaraan golongan V; Per unit Rp. 1.500,00
e. Kendaraan golongan VI; Per unit Rp. 2.000,00
f. Kendaraan golongan VII; Per unit Rp. 25.000,00
g. Kendaraan golongan VIII; Per unit Rp. 35.000,00
h. Kendaraan golongan IX; Per unit Rp. 50.000,00

3. Sewa Tanah dan Bangunan:


a. Sewa Tanah : Per m3 per Rp. 3.000,00
bulan
b. Sewa Bangunan/ruang 6 m3 – 12 m3 Rp. 350.000,00
kantor/loket: per bulan;
24 m3 – 35 m3 Rp. 500.000,00
per bulan;
56 m3 – 70 m3 Rp.1.000.000,00
per bulan;

4. c. Sewa Petak Kios/Warung 12 m3 – 24 m3 Rp. 350.000,00


per bulan;
5. Jasa Penggunaan Air Tawar Per ton Rp. 25.000,00
dalam ton.
6. Jasa Kapling Barang/Muatan Per kolli/M3 Rp. 3.000,00
Curah

5
Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 30 November 2016

BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

APTRIPEL TUMIMOMOR

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 30 November 2016

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2016 NOMOR


8.

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005

6
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 9 TAHUN 2016

TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
MOROWALI UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA

I. UMUM
Salah satu sumber pendapatan daerah adalah berasal dari pajak dan
retribusi. Pajak dan retribusi termasuk dalam kelompok pendapatan asli
daerah. Sumber pendapatan asli daerah yang berasal dari retribusi daerah
diantaranya adalah retribusi jasa usaha. Salah satu jenis dari retribusi
jasa usaha adalah retribusi pelayanan kepelabuhanan. Di Kabupaten
Morowali Utara telah dibangun pelabuhan penyeberangan untuk melayani
angkutan penyeberangan menggunakan kapal penyebrangan. Kegiatan
yang memanfaatkan fasilitas pada lingkungan pelabuhan penyeberangan
tersebut termasuk dalam obyek retribusi. Dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 16 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa
Usaha, belum mengatur Subyek dan Obyek Retribusi yang memanfaatkan
fasilitas dermaga/pelabuhan penyeberangan. Untuk memberikan
kepastian hukum atas pungutan retribusi atas pemanfaatan fasilitas
dermaga/pelabuhan penyeberangan perlu melakukan perubahan terhadap
Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 16 Tahun 2015
tentang Retribusi Jasa Usaha.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 2
Pada kolom tabel bagian huruf B
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan I adalah
sepeda.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan II adalah
sepeda motor dibawah 500 cc dsn gerobak dorong.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan III adalah
sepeda motor besar (> 500 cc) dan kendaraan roda 3 (tiga).

7
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan IV adalah
kendaraan bermotor berupa mobil jeep, sedan, mini cab,
mini bus, mikrolet, pick up, combi station wagon, dengan
panjang sampai 5 (lima) meter dan sejenisnya.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan V adalah
kendaraan bermotor berupa mobil bus, mobil barang
(truck)/tangki, dengan panjang sampai 7 (tujuh) meter dan
sejenisnya.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan VI adalah
kendaraan bermotor berupa mobil bus, mobil barang
(truck)/tangki, dengan panjang dari 7 (tujuh) meter sampai
dengan 10 (sepuluh) meter dan sejenisnya dengan kereta
penarik tanpa gandengan.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan VII adalah
kendaraan bermotor berupa mobil barang (truck
tronton)/tangki, kereta penarik berikut gandengannya
serta kendaraan alat berat dengan panjang lebih dari 10
(sepuluh) meter sampai dengan 12 (dua belas) meter.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan VIII adalah
kendaraan bermotor berupa mobil barang (truck
tronton)/tangki, kendaraan alat berat dan kereta penarik
berikut gandengannya dengan panjang 12 (dua belas)
meter dan sejenisnya.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan IX adalah
kendaraan bermotor berupa alat berat dan kereta penarik
gandengan yang panjang lebih dari 12 (dua belas) meter.

Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR


23.

8
9
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


NOMOR 6 TAHUN 2018

TENTANG

PENERTIBAN HEWAN TERNAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat yang


mempunyai peranan penting dalam penyediaan pangan
dan hasil lainnya, serta jasa bagi manusia yang
permanfaatannya perlu diarahkan untuk kesejahteraan
masyarakat;
b. bahwa ternak merupakan hewan peliharaan yang
kehidupannya sebagian atau seluruhnya bergantung
kepada manusia yang jika pemeliharaannya dapat
menimbulkan kerugian, mengganggu keamanan dan
ketertiban umum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b diatas, perlu
menetapakan Peraturan Daerah tentang Penertiban
Hewan Ternak;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);

120
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);

Dengan Persetujuan Bersama,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA

dan

BUPATI MOROWALI UTARA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENERTIBAN HEWAN


TERNAK.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintah Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
4. Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat PD adalah unsur
pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
5. Satuan Polisi Pamong Praja yang selanjutnya disebut Satpol PP adalah
Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Morowali Utara.
6. Petugas adalah mereka yang karena tugas atau jabatannya ditugaskan
untuk melaksanakan/mengamankan pelaksanaan Peraturan Daerah ini.

121
7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara
atau Daerah, dengan nama dan/atau bentuk apapun firma, kongsi,
koperasi, dan dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan
organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,
lembaga bentuk usaha tetap dan lembaga bentuk usaha lain.
8. Ternak adalah hewan peliharaan berupa ternak besar dan ternak kecil
yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku
industri, jasa dan hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.
9. Pemilik ternak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki ternak
dalam wilayah Kabupaten Morowali Utara.
10. Ternak Besar adalah sapi, kuda, kerbau dan sejenisnya.
11. Ternak Kecil adalah kambing, domba dan babi.
12. Kandang adalah bangunan yang dibuat untuk merawat ternak dan
melindunginya dari cuaca buruk.
13. Kandang Penampungan Khusus adalah bangunan yang dibuat untuk
penampungan sementara ternak yang ditangkap karena melanggar
peraturan yang berlaku.

Pasal 2

Penertiban ternak bertujuan untuk :


a. menjaga ketentraman dan ketertiban umum;
b. menjaga ketertiban arus lalu lintas di jalan umum guna mencegah
terjadinya kecelakaan pengguna jalan; dan
c. menjaga kebersihan dan keindahan daerah dari adanya ternak yang
berkeliaran dan mengotori lingkungan Daerah.

BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 3

Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi :


a. kewenangan penertiban;
b. tata cara registrasi ternak;
c. kewajiban dan larangan pemilik ternak;
d. kewajiban dan larangan petugas;
e. tata cara penangkapan, biaya pemeliharaan dan biaya petugas
f. keberatan dan ganti rugi;
g. pengawasan;
h. ketentuan penyidikan;
i. ketentuan pidana.
122
BAB III
KEWENANGAN PENERTIBAN
Pasal 4

(1) Bupati mempunyai kewenangan dalam penertiban hewan ternak.


(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
perangkat daerah yang membidangi urusan ketertiban umum dan yang
membidangi urusan peternakan.

BAB IV
TATA CARA REGISTRASI TERNAK
Pasal 5

(1) Setiap pemilik ternak wajib memiliki kartu registrasi ternak.


(2) Kartu registrasi ternak berisi sebagai berikut :
a. identitas pemilik ternak;
b. identitas ternak;
(3) Registrasi ternak dilakukan oleh petugas peternakan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi ternak diatur
dengan Peraturan Bupati.

BAB V
KEWAJIBAN DAN LARANGAN PEMILIK TERNAK
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 6

(1) Setiap pemilik ternak wajib memelihara ternaknya dengan baik serta
mengamankannya dalam kandang atau mengikatnya sehingga tidak
terlepas/berkeliaran yang berakibat mengganggu ketertiban umum, dan
arus lalu lintas, keamanan, keindahan dan kebersihan.
(2) Setiap pemilik ternak harus bertanggungjawab atas kebersihan kandang
dan sekitarnya.
(3) Penempatan kandang tidak dibenarkan di halaman depan rumah dan
tempat lain yang dapat mengganggu ketertiban, keindahan,
kenyamanan, dan ketentraman masyarakat serta kelestarian
lingkungan.

123
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 7

(1) Dilarang melepas atau menggembalakan ternak pada lokasi penghijauan


dan reboisasi baik yang dikelola oleh pemerintah, perusahaan swasta
maupun oleh masyarakat, sehingga dapat merusak atau menggagalkan
usaha penghijauan dan reboisasi.
(2) Dilarang melepas atau menggembalakan ternak pada lokasi taman kota,
lokasi perkantoran, lokasi pariwisata, lapangan olahraga, pekarangan
rumah, pemukiman penduduk, tempat ibadah dan tempat lain yang
dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, mengganggu
keselamatan dan kelancaran pemakai jalan raya.

BAB VI
KEWAJIBAN DAN LARANGAN PETUGAS
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 8

Petugas dalam melakukan penertiban ternak wajib :


a. menjaga keselamatan ternak sejak saat penangkapan sampai ditebus
/dilelang;
b. menjaga keamanan dan kesehatan ternak yang ditangkap; dan
c. menyampaikan tindakan penangkapan kepada pemilik ternak paling
lambat dalam jangka waktu 1 x 24 jam melalui Kepala Desa setempat.

Bagian Kedua
Larangan
Pasal 9

(1) Petugas dalam melakukan penangkapan dilarang bertindak diskriminasi


terhadap pemilik ternak.
(2) Petugas dilarang sebagai pembeli atas ternak yang dilelang.

BAB VII
TATA CARA PENANGKAPAN
Pasal 10

Apabila terdapat ternak yang digembalakan/dilepas pada tempat


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, maka petugas wajib menangkap dan
menahannya dalam kandang penampungan khusus yang ditentukan
dengan menerapkan prinsip kesejahtraan hewan.

124
Pasal 11

(1) Ternak yang ditangkap tetap dijaga kesehatan dan pemberian hijauan
pakan ternak atas tanggungan pemilik ternak.
(2) Dalam hal pemilik ternak tidak menyediakan hijauan pakan ternak akan
dikenakan biaya pengganti sebesar 30.000,-(tiga puluh ribu rupiah) per
hari per ekor.

Pasal 12

Ternak yang ditangkap harus diamankan dalam kandang penampungan


khusus dan pengamanannya menjadi tanggung jawab petugas yang
dikoordinasikan dengan Kepala Desa.

Pasal 13

Ternak yang ditangkap dapat dikeluarkan dari kandang penampungan


khusus jika pemiliknya telah membayar uang tebusan.

Pasal 14

(1) Ternak yang ditangkap harus sudah ditebus oleh pemiliknya paling lama
7 (tujuh) hari sesudah diberitahukan secara lisan/tertulis kepada
pemilik hewan.
(2) Pemilik ternak wajib menanggung ganti rugi sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh ternaknya kepada pihak yang dirugikan.
(3) Sesudah 7 (tujuh) hari setelah diberitahukan namun tidak ditebus oleh
pemiliknya, maka ternak tersebut dikuasai oleh Pemerintah Daerah.
(4) Ketentuan mengenai ganti rugi dan tata cara sebagaimana dimaksud
ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 15

(1) Apabila dalam proses penangkapan ternak yang ditangkap mati atau
hilang bukan karena kelalaian petugas, tidak akan menjadi tanggung
jawab Pemerintah Daerah dan petugas.
(2) Apabila terbukti kematian/hilangnya ternak tersebut akibat kelalaian
petugas, maka kepada petugas yang bersangkutan diberikan sanksi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

125
BAB VIII
BIAYA PENANGKAPAN, BIAYA PEMELIHARAAN
DAN BIAYA PETUGAS
Pasal 16

(1) Ternak yang ditangkap oleh petugas dapat diambil oleh pemiliknya
setelah membayar :
a. biaya penangkapan;
b. biaya pemeliharaan; dan
c. biaya pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyetoran, pengelolaan dan besarannya
sebagaimana maksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX
KEBERATAN DAN GANTI RUGI
Bagian Kesatu
Keberatan
Pasal 17

(1) Pemilik ternak dapat mengajukan keberatan dalam hal penangkapan


yang dilakukan oleh petugas karena melanggar ketentuan dalam Pasal 9
ayat (1) dan ayat (2).
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Camat
melalui Kepala Desa paling lambat 2 (dua) hari setelah pemberitahuan
adanya penangkapan.
(3) Keputusan atas keberatan diberikan paling lambat 3 (tiga) hari sejak
keberatan diterima.
(4) Dalam hal keberatan diterima sebagaimana dimaksud ayat (1), maka
pemilik ternak dibebaskan dari semua biaya.

Bagian Kedua
Ganti Rugi
Pasal 18

Pemilik ternak dapat menuntut ganti rugi kepada Pemerintah Daerah dalam
hal :
a. petugas karena sengaja atau lalai menyebabkan mati atau cacat pada
ternak yang ditangkap atau yang ada di kandang penampungan;
b. petugas karena sengaja atau lalai menyebabkan hilangnya ternak yang
ada di kandang penampungan; dan
c. petugas karena sengaja atau lalai menyebabkan ternak yang ditangkap
dijual atau lelang umum.

126
BAB X
PENGAWASAN
Pasal 19

(1) Pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Satpol


PP.
(2) Satpol PP dalam melaksanakan pengawasan dibantu oleh Camat dan
Kepala Desa.

BAB XI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 20

(1) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia penyidikan atas


pelanggaran dalam Peraturan Daerah ini dapat dilaksanakan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau
laporan berkenan dengan tindak pidana agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung
dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang
dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau

127
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang peternakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 21

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9, diancam pidana kurungan paling lama
3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22

Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling


lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.

128
Pasal 23

Peraturan Daerah ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan menempatkan dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 6 November 2018

BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

APTRIPEL TUMIMOMOR

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 6 November 2018

Plt. SEKRETARIS DAERAH,


KABUPATEN MOROWALI UTARA

TTD

JAMALUDIN SUDIN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2018 NOMOR 6.

NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA,


PROVINSI SULAWESI TENGAH : 96,06/2018.

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

HELTAN RANSA, SH
NIP. 19680602 199503 1 003

129
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 6 TAHUN 2018

TENTANG

PENERTIBAN HEWAN TERNAK

I. UMUM.
Untuk mewujudkan Kabupaten Morowali Utara yang bersih, indah
dan tertib serta untuk menjaga keselarasan ekosistem lingkungan hidup
dan alam sekitarnya, perlu penataan pemeliharaan dan penerbitan di
semua aspek kehidupan masyarakat termasuk larangan melepas hewan
ternak yang dapat mengganggu atau mempengaruhi aktivitas alam yang
sudah rusak melalui upaya penghijauan, reboisasi, pengolahan pertanian
dan perkebunan, sehingga perlu diamankan dari gangguan/pengrusakan
ternak yang banyak berkeliaran.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah saatnya untuk
menerbitkan dan melarang bagi pemilik ternak melepas dan
mengembalakan ternak yang bukan pada tempatnya yang dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial baik
pemerintahan daerah maupun masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu menetapkan Peraturan
Daerah Kabupaten Morowali Utara tentang Penertiban Ternak.

II. PASAL DEMI PASAL.


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

130
Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

131
Pasal 23
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR 39.

132
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


NOMOR 5 TAHUN 2017

TENTANG
PENGENDALIAN, PENGAWASAN DAN PEREDARAN
MINUMAN BERALKOHOL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi kesehatan,


ketenteraman dan ketertiban serta kehidupan moral
masyarakat dari akibat buruk konsumsi minuman
beralkohol;
b. bahwa minuman beralkohol dapat membahayakan
kesehatan jasmani dan rohani, mengancam kehidupan
masa depan generasi bangsa, memicu timbulnya
gangguan keamanan, ketentraman dan ketertiban
umum, serta menjadi salah satu faktor pendorong
terjadinya tindak kekerasan dan kriminalitas serta
tindakan tidak terpuji lainnya;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Peraturan
Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian
dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan ketentuan
Pasal 20 ayat (4) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan
Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan
Penjualan Minuman Beralkohol sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 6/M-DAG/PER/1/2015 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian
dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan
Penjualan Minuman Beralkohol, Pemerintah Daerah
memiliki kewenangan dalam melakukan pengendalian,
pengawasan dan peredaran minuman beralkohol melalui
Peraturan Daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c di atas,
maka perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Pengendalian, Pengawasan, dan Peredaran Minuman
Beralkohol;

1
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesi Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679).
5. Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 190);
6. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/
4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap
Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman
Beralkohol sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
6/M-DAG/PER/1/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-
DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan
Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan
Penjualan Minuman Beralkohol.

2
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA

DAN

BUPATI MOROWALI UTARA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGENDALIAN,


PENGAWASAN DAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Minuman Beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol atau etil
alkohol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung
karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa
destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau
tidak, menambahkan bahan lain atau tidak maupun yang diproses dengan
cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran
minuman mengandung ethanol yang berasal dari fermentasi.
4. Oplosan adalah minuman beralkohol yang dibuat dengan cara mencampur,
meramu atau dengan cara tertentu dari bahan yang mengandung alkohol
atau bahan lain sehingga menjadi jenis minuman baru yang beralkohol dan
memabukkan.
5. Penjualan minuman beralkohol adalah kegiatan usaha menjual minuman
beralkohol untuk dikonsumsi.
6. Importir Terdaftar Minuman Beralkohol yang selanjutnya disingkat IT-MB
adalah perusahaan yang mendapatkan penetapan untuk melakukan
kegiatan impor minuman beralkohol.
7. Distributor adalah perusahaan penyalur yang ditunjuk oleh produsen
minuman beralkohol dan/atau IT-MB untuk mengedarkan minuman
beralkohol produk dalam Negeri dan/atau produk impor dalam partai besar
di wilayah pemasaran tertentu.

3
8. Sub Distributor adalah perusahaan penyalur yang ditunjuk oleh produsen
minuman beralkohol, IT-MB dan/atau Distributor untuk mengedarkan
minuman beralkohol produk dalam negeri dan/atau produk impor dalam
partai besar di wilayah pemasaran tertentu.
9. Penjual langsung minuman beralkohol yang selanjutnya disebut Penjual
langsung adalah perusahaan yang melakukan penjualan minuman
beralkohol kepada konsumen akhir untuk diminum langsung di tempat
yang telah ditentukan.
10. Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya
disingkat SIUP-MB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan
usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan A, golongan B
dan/atau golongan C.
11. Dinas adalah Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
perdagangan.
12. Badan Usaha adalah Suatu kesatuan organisasi dan ekonomis yang
mempunyai tujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan dan
memberikan layanan kepada masyarakat.
13. Konsumsi adalah pemakaian/penggunaan minuman beralkohol.
14. Penyelidikan adalah tindakan Polisi Pamong Praja yang tidak menggunakan
upaya paksa dalam rangka mencari data dan informasi tentang adanya
dugaan pelanggaran Peraturan Daerah.
15. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindakan pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
16. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi tugas wewenang khusus oleh
Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
17. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Pemerintah Daerah
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah yang memuat
ketentuan pidana.

BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2

(1) Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan


kepastian hukum sebagai upaya untuk pengendalian, pengawasan dan
peredaran minuman beralkohol yang dapat menimbulkan gangguan
keamanan, ketentraman, ketertiban umum dan kesejahteraan masyarakat.

4
(2) Ruang lingkup materi muatan dalam Peraturan Daerah ini sebagai berikut :
a. Penggolongan;
b. Penjualan;
c. Perizinan;
d. Penyimpanan Minuman Beralkohol;
e. Hak, Kewajiban dan Larangan;
f. Pengawasan, Pengendalian dan Pelaporan;
g. Pengganggaran;
h. Sanksi Adminitratif;
i. Penyelidikan;
j. Penyidikan; dan
k. Sanksi Pidana.

BAB III
PENGGOLONGAN
Pasal 3

(1) Minuman Beralkohol dikelompokkan dalam golongan sebagai


berikut:
a. minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) diatas 0% (nol perseratus) sampai dengan 5%
(lima perseratus);
b. minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima perseratus) sampai dengan
20% (dua puluh perseratus); dan
c. minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan
kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai
dengan 55% (lima puluh lima perseratus).
d. minuman beralkohol golongan D adalah minuman yang dapat
memabukkan yang kadar alkoholnya tidak atau belum terdeteksi.
(2) Minuman beralkohol selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah minuman beralkohol jenis oplosan.

BAB IV
PENJUALAN
Pasal 4

(1) Penjualan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


dilakukan dengan cara penjualan langsung untuk diminum.
(2) Penjualan minuman beralkohol dengan cara penjualan langsung untuk
diminum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penjual
Langsung.
(3) Penjual langsung untuk diminum di tempat untuk minuman beralkohol
golongan A, B dan C hanya diizinkan melakukan penjualan sebagai
berikut:
5
a. Pada siang hari mulai Pukul 12.00 s/d 15.00 Wita.
b. Pada malam hari mulai Pukul 19.00 s/d 22.00 Wita.
(4) Bupati dapat melakukan penutupan untuk sementara waktu, penjualan
minuman beralkohol pada hari-hari tertentu.

Pasal 5

(1) Penjualan minumal beralkohol golongan D sebagaimana dimaksud Pasal 3


ayat (1) huruf d diperdagangkan oleh Badan Usaha yang memiliki SIUP-
MB.
(2) Produk minuman beralkohol golongan D sebagaimana dimaksud ayat (1)
dapat diedarkan setelah memiliki izin edar dari lembaga yang
menyelenggarakan pengawasan di bidang obat dan makanan.
(3) Terhadap minuman beralkohol golongan D yang akan diedarkan atau dijual
wajib dicantumkan label sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang perdagangan minuman beralkohol golongan
D dan tata cara memiliki izin layak edar sebagaimana dimaksud ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 6

(1) Penjual Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) hanya
diizinkan menjual minuman beralkohol golongan A, golongan B dan/atau
golongan C untuk diminum langsung di tempat tertentu.
(2) Tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat
yang memiliki izin dan disiapkan oleh Badan Usaha yang memiliki SIUP-
MB.
(3) Penjualan minuman beralkohol golongan A, golongan B dan/atau golongan
C di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penjualan paling banyak 5 (lima) jenis sebagaimana tercantum dalam
SIUP-MB; dan
b. dapat diminum di tempat tertentu dengan ketentuan per kemasan
berisi paling banyak 187 ml (seratus delapan puluh tujuh mililiter).

BABA V
PERIZINAN
Pasal 7

Setiap orang atau badan usaha yang melakukan penjualan minuman


beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memiliki
SIUP-MB dari Bupati.

6
Pasal 8

(1) Untuk memperoleh SIUP-MB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Penjual


Langsung mengajukan permohonan tertulis kepada Bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan, persyaratan dan
penerbitan SIUP-MB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 9

(1) SIUP-MB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 berlaku selama 1 (satu)


tahun sejak tanggal ditetapkan dan dapat diperpanjang.
(2) Permohonan perpanjangan SIUP-MB diajukan kepada Bupati paling lambat
1 (satu) bulan sebelum masa berlaku SIUP-MB berakhir.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan persyaratan
penerbitan perpanjangan SIUP-MB sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 10

(1) Dalam hal terjadi perubahan data yang tercantum dalam SIUP-MB,
pemegang SIUP-MB wajib mengajukan perubahan SIUP-MB.
(2) Permohonan perubahan SIUP-MB diajukan kepada Bupati paling lambat 1
(satu) bulan setelah terjadi perubahan data yang tercantum dalam SIUP-
MB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan serta tata cara pengajuan dan
penerbitan perubahan SIUP-MB diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VI
PENYIMPANAN MINUMAN BERALKOHOL
Pasal 11

(1) Penjual langsung wajib menyimpan minuman beralkohol di


gudang tempat penyimpanan minuman beralkohol.
(2) Penjual langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencatat
setiap pemasukan dan pengeluaran minuman beralkohol golongan A,
golongan B maupun golongan C dari gudang penyimpanan dalam kartu
data penyimpanan.
(3) Kartu data penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit memuat:
a. jumlah;
b. jenis;
c. merk;
d. tanggal pemasukan barang ke gudang;
e. tanggal pengeluaran barang dari gudang; dan
7
f. asal barang.
(4) Kartu data penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
diperlihatkan kepada petugas pengawas yang melakukan pemeriksaan.

BAB VII
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 12

Pemegang SIUP-MB berhak melakukan penjualan minuman beralkohol sesuai


dengan ketentuan izin yang diberikan.

Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 13

Pemegang SIUP-MB wajib:


a. menyimpan minuman beralkohol sesuai dengan ketentuan Pasal 11;
b. mengajukan perpanjangan SIUP-MB sesuai dengan ketentuan Pasal 9;
c. mengajukan perubahan SIUP-MB sesuai dengan ketentuan Pasal 10 jika
terjadi perubahan data yang tercantum dalam SIUP-MB; dan
d. memberikan laporan realisasi penjualan minuman beralkohol kepada
Bupati cq. Kepala Dinas setiap 3 (tiga) bulan.

Bagian Kedua
Larangan
Pasal 14

Pemegang SIUP-MB dilarang:


a. menjual minuman beralkohol selain yang tercantum dalam SIUP-MB;
b. menjual minuman beralkohol di lokasi selain yang tercantum dalam SIUP-
MB;
c. menjual minuman beralkohol kepada pembeli dibawah usia 21 (dua puluh
satu) tahun yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk;
d. mengiklankan minuman beralkohol; dan
e. memindahtangankan SIUP-MB tanpa izin.

Pasal 15

(1) Setiap orang dilarang membawa, menguasai, memiliki, menyimpan dan


mengkonsumsi minuman beralkohol di luar tempat tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) kecuali untuk kegiatan budaya dan
keagamaan.
8
(2) Setiap orang dilarang menjual, menyediakan, dan/atau mengoplos
minuman beralkohol tanpa izin.

Pasal 16

(1) Pemegang SIUP-MB yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 dan Pasal 15, dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan SIUP-MB; dan/atau
c. pencabutan SIUP-MB.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan tahapan:
a. teguran tertulis diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan;
b. apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a,
pemegang SIUP-MB tidak mengindahkan teguran tertulis dilakukan
pembekuan SIUP-MB paling lama 1 (satu) bulan;
c. apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada huruf b,
pemegang tetap tidak mengindahkan teguran tertulis atau melakukan
kewajiban dilakukan pencabutan SIUP-MB.
(3) Pembekuan SIUP-MB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
dicabut jika penjual langsung telah melakukan perbaikan dan
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan.
(4) Selain sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
pidana tambahan berupa penyitaan minuman beralkohol dan/atau
penutupan usaha.
(5) Pembekuan SIUP-MB dan pencabutan SIUP-MB sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dan huruf c serta pencabutan pembekuan SIUP-MB
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Bupati

BAB VIII
PENGAWASAN, PENGENDALIAN DAN PELAPORAN
Pasal 17

(1) Pengawasan dan pengendalian dilakukan terhadap:


a. perizinan terhadap importir minuman beralkohol, produsen, distributor,
sub distributor, dan/atau penjual langsung minuman beralkohol
golongan A, golongan B dan golongan C; dan
b. tempat dan/atau lokasi penyimpanan dan penjualan minuman
beralkohol golongan A, golongan B dan golongan C.
(2) Dalam rangka pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk Tim Pengawasan dan Pengendalian Terpadu.

9
(3) Tim Pengawasan dan Pengendalian Terpadu sebagaimana dimaksud ayat
(2) wajib melaporkan kegiatan pengawasan dan pengendalian kepada
Bupati.
(4) Pembiayaan kegiatan pengawasan dan pengendalian dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengawasan dan Pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta unsur Tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 18

(1) Penjual langsung minuman beralkohol wajib menyampaikan laporan


realisasi penjualan minuman beralkohol golongan A, golongan B dan
golongan C kepada Bupati.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setiap triwulan tahun kalender berjalan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. triwulan I disampaikan pada tanggal 31 Maret;
b. triwulan II disampaikan pada tanggal 30 Juni;
c. triwulan III disampaikan pada tanggal 30 September; dan
d. triwulan IV disampaikan pada tanggal 31 Desember.
(3) Penjual langsung wajib memberikan informasi mengenai kegiatan
usahanya apabila sewaktu-waktu diminta oleh Pejabat penerbit SIUP-MB.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX
PENGANGGARAN
Pasal 19

(1) Pemerintah Daerah dan DPRD wajib menyediakan dana di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, guna membiayai pengawasan dan
pengendalian terpadu.

BAB X
PENYELIDIKAN
Pasal 20

Satuan Polisi Pamong Praja berwenang melakukan tindakan penyelidikan


terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga
melakukan pelanggaran atas peraturan daerah ini sesuai ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.

10
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 21

(1) PPNS di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus untuk


melakukan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah
ini.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan atas
pelanggaran Peraturan Daerah ini sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 22

(1) Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan Pasal 15 dikenakan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).
(3) Terhadap minuman beralkohol yang disita dilakukan pemusnahan setelah
ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

Pasal 23

Dalam hal pelaku tindak pidana pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 22 adalah anak-anak, berlaku ketentuan yang mengatur tentang
Pengadilan Anak.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24

(1) SIUP-MB yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan


Daerah ini dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah
ini tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlakunya
SIUP MB.

11
(2) SIUP-MB yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan
Daerah ini dan belum sesuai dengan ketentuan Peraturan
Daerah ini wajib disesuaikan paling lama 6 (enam) bulan sejak
berlakunya Peraturan Daerah ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 2 Juni 2017

BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

APTRIPEL TUMIMOMOR

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 2 Juni 2017

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2017 NOMOR 5.

NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA,


PROVINSI SULAWESI TENGAH : 30,05/2017.

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

HELTAN RANSA, SH
NIP. 19680602 199503 1 003

12
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 5 TAHUN 2017

TENTANG

PENGENDALIAN, PENGAWASAN, DAN PEREDARAN


MINUMAN BERALKOHOL

I. PENJELASAN UMUM

Pada hakekatnya minuman beralkohol dapat mengganggu kesehatan


manusia baik secara jasmani maupun rohani, untuk itu diperlukan
pengaturan tentang pengendalian, pengawasan dan peredaran minuman
beralkohol mengingat kesehatan merupakan hak asasi manusia dan
merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Pengedaran dan penjualan minuman beralkohol merupakan
permasalahan sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius semua
pihak, baik aparat pemerintah, tokoh masyarakat maupun masyarakat
pada umumnya, karena bertentangan dengan nilai-nilai sosial, keagamaan,
ketertiban dan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sampai saat ini
penegakan hukum terhadap pengedaran dan penjualan minuman
beralkohol masih mengalami kendala dalam setiap penegakan hukum
terutama dalam melakukan pelarangan peredaran dan penjualan minuman
beralkohol. Untuk mengatur hal tersebut memungkinkan Pemerintah
Daerah untuk mengambil langkah sesuai kondisi daerah masing-masing
dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Daerah ini dibuat sebagai wujud keseriusan Pemerintah
Daerah dalam rangka melindungi masyarakatnya dari bahaya pengaruh
minuman beralkohol, hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan
konsumsi minuman beralkohol yang semakin meningkat dengan korban
yang semakin meluas terutama di kalangan anak-anak, remaja dan
generasi muda pada umumnya, sekaligus memberikan kepastian hukum
terhadap seseorang atau badan usaha yang ingin berinvestasi dalam
perdagangan minuman beralkohol.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, sebagai tindak
lanjutnya, maka perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Morowali
Utara tentang Pengendalian, Pengawasan, dan Peredaran Minuman
Beralkohol.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.

13
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Minuman beralkohol golongan D dapat berupa “cap
tikus” dan “saguer”.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup Jelas

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Pengecualian untuk kegiatan keagamaan, jika minuman
beralkohol digunakan dalam ritual adat dan keagamaan serta
dapat dikonsumsi tidak sampai memabukkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Mabuk” adalah hilangnya kesadaran
seseorang sebagai akibat pengaruh minuman beralkohol.
Larangan mabuk juga ditujukan kepada seseorang yang
mabuk selain di tempat umum, termasuk seseorang yang
minum minuman beralkohol di daerah lain kemudian datang
dan mabuk di Daerah Kabupaten Morowali Utara.

14
Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR 30.

15
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


NOMOR 5 TAHUN 2016

TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (2),


Pasal 12 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 22
ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3),
Pasal 29 ayat (3), Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 32 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Republik Indonesia Negara Nomor 4851);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara Di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 188, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5347);
1
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010
tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 274);
7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun
2011 tentang Pedoman Materi Muatan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA

dan

BUPATI MOROWALI UTARA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:


1. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
2. Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat PD adalah unsur pembantu
Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
3. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
4. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
5. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses
alam yang berbentuk padat.
6. Sampah Rumah Tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan
sehari-hari dalam rumah tangga yang tidak termasuk tinja dan
sampah spesifik.
7. Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga adalah sampah yang
berasal dari rumah tangga dan berasal dari kawasan permukiman,
kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas
umum, fasilitas sosial dan/atau fasilitas lainnya.
8. Sampah Spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi
dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.
9. Pengelolaan Sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
10. Pengelola Sampah adalah orang atau badan yang bertanggung jawab
mengelola sampah pada tempat-tempat tertentu.

2
11. Usaha Pengelolaan Sampah adalah kegiatan yang bersifat komersil
dilaksanakan dengan sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan
yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
12. Sumber Sampah adalah asal timbulan sampah.
13. Produsen adalah pelaku usaha yang memproduksi barang yang
menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan
kemasan dan berasal dari impor atau menjual barang dengan
menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses
alam.
14. Pengurangan Sampah adalah kegiatan pembatasan timbulan sampah,
pendaur ulang sampah dan/atau pemanfaatan kembali sampah.
15. Pemilahan Sampah adalah kegiatan mengelompokkan dan memisahkan
sampah sesuai dengan jenis sampah.
16. Pengumpulan Sampah adalah kegiatan mengambil dan memindahkan
sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau
tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle)
17. Pengangkutan Sampah adalah kegiatan membawa sampah dari sumber
atau tempat penampungan sementara menuju tempat pengolahan
sampah dengan prinsip 3R atau tempat pengelolaan sampah terpadu
atau tempat pemrosesan akhir dengan menggunakan kendaraan
bermotor atau tidak bermotor yang didesain untuk mengangkut
sampah.
18. Tempat Sampah yang selanjutnya disebut wadah sampah adalah tempat
penampungan sampah secara terpilah dan menentukan jenis sampah.
19. Tempat Penampungan Sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah
tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang,
pengolahan dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
20. Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip reduce, reuse dan recycle
yang selanjutnya disebut TPS 3R adalah tempat dilaksanakannya
kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang dan pendauran
ulang skala kawasan.
21. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu yang selanjutnya disingkat TPST
adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan,
penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan dan pemrosesan akhir.
22. Tempat Pemrosesan Akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah tempat
untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan.
23. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang dan/atau badan
hukum.
BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Ruang lingkup pengelolaan sampah dalam Peraturan Daerah ini terdiri
atas :
a. sampah rumah tangga; dan
b. sampah sejenis sampah rumah tangga.
(2) Sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk
tinja dan sampah spesifik.

3
(3) Sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan
khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum dan/atau fasilitas lainnya.
(4) Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Daerah ini meliputi :
a. pengurangan dan penanganan;
b. lembaga pengelola;
c. hak dan kewajiban;
d. perizinan;
e. insentif dan disinsentif;
f. kerjasama dan kemitraan;
g. retribusi;
h. pembiayaan dan kompensasi;
i. peran masyarakat;
j. mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa;
k. pengawasan dan pengendalian; dan
l. larangan dan sanksi.

BAB III
SASARAN

Pasal 3

Sasaran pengaturan pengelolaan sampah adalah :


a. peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan
sampah;
b. peningkatan pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan;
c. peningkatan peran Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Swasta dalam
pengelolaan sampah; dan
d. pengurangan dampak sosial dan dampak lingkungan dari pengelolaan
sampah.

BAB IV
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH

Pasal 4

(1) Pemerintah Daerah menyusun dan menetapkan kebijakan dan strategi


pengelolaan sampah.
(2) Kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) paling sedikit memuat :
a. arah kebijakan pengurangan dan penanganan sampah; dan
b. program pengurangan dan penanganan sampah.
(3) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus memuat :
a. target pengurangan timbulan sampah dan prioritas jenis sampah
secara bertahap; dan
b. target penanganan sampah untuk setiap kurun waktu tertentu.

Pasal 5

(1) Kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
4
(2) Dalam menyusun kebijakan strategi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus berpedoman pada kebijakan dan strategi Nasional serta kebijakan
dan strategi Provinsi dalam pengelolaan sampah.

Pasal 6

a. Pemerintah Daerah selain menetapkan kebijakan dan strategi


sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) juga menyusun dokumen
rencana induk dan studi kelayakan pengelolaan sampah rumah tangga
dan sampah sejenis sampah rumah tangga.
b. Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat :
a. pembatasan timbulan sampah;
b. pendauran ulang sampah;
c. pemanfaatan kembali sampah;
d. pemilahan sampah;
e. pengumpulan sampah;
f. pengangkutan sampah;
g. pengolahan sampah;
h. pemrosesan akhir sampah; dan
i. pendanaan
c. Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk
jangka waktu paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

BAB V
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Tugas

Pasal 7

Pemerintah Daerah mempunyai tugas menjamin terselenggaranya pengelolaan


sampah skala Kabupaten yang baik dan berwawasan lingkungan meliputi :
a. menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
pengelolaan sampah;
b. melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan dan
penanganan sampah;
c. memfasilitasi, mengembangkan dan melaksanakan upaya pengurangan,
penanganan dan pemanfaatan sampah;
d. melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan
prasarana dan sarana pengelolaan sampah;
e. mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan
sampah;
f. memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada
masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan
g. melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

5
Bagian Kedua
Wewenang

Pasal 8

Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah Pemerintah Daerah mempunyai


kewenangan :
a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan
kebijakan Nasional dan Provinsi;
b. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala Kabupaten sesuai dengan
norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang
dilaksanakan oleh pihak lain;
d. menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan
sampah terpadu dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
e. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap tempat
pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka yang telah
ditutup;
f. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan
sampah sesuai dengan kewenangannya;
g. menetapkan lembaga tingkat Kabupaten penyelenggara pengelolaan
persampahan di wilayah kabupaten;
h. melaksanakan pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala
Kabupaten;
i. meningkatkan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan prasarana dan
sarana persampahan Kabupaten;
j. memberikan bantuan teknis kepada Kecamatan, Pemerintah
Kelurahan/Desa serta kelompok masyarakat di Kabupaten;
k. menyusun rencana induk pengembangan prasarana dan sarana
persampahan Kabupaten;
l. pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di
wilayah Kabupaten;
m. evaluasi kinerja penyelenggaraan sampah di wilayah Kabupaten; dan
n. pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak

Pasal 9

(1) Dalam pengelolaan sampah setiap orang berhak :


a. mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan
berwawasan lingkungan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau pihak lain yang diberi tanggungjawab untuk itu;
b. berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan
dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah;

6
c. memperoleh informasi yang benar, akurat dan tepat waktu mengenai
penyelenggaraan pengelolaan sampah;
d. mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negatif
dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah; dan
e. memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan
sampah secara baik dan berwawasan lingkungan.
(2) Setiap orang dapat memperoleh hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara perorangan maupun secara kelompok.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 10

Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga wajib melakukan :
a. pengurangan sampah; dan
b. penanganan sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.

Pasal 11

(1) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,


kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya
wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan sampah di kawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 12
Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya
yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.

BAB VII
PERIZINAN

Pasal 13

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib
memiliki izin dari Bupati.
(2) Kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga yang memerlukan izin meliputi :
a. pengangkutan;
b. pengolahan; dan
c. pemrosesan akhir.
(3) Permohonan izin pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga harus memenuhi persyaratan administratif yang
memuat :
a. data akta pendirian perusahaan;
b. nama penanggung jawab kegiatan;
c. nama perusahaan;

7
d. alamat perusahaan, nomor telepon perusahaan, wakil perusahaan
yang dapat dihubungi;
e. bidang usaha dan/atau kegiatan;
f. sertifikat kompetensi dan/atau sertifikat pelatihan;
g. apabila kegiatan pengelolaan sampah merupakan wajib analisis
mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup
permohonan izin dilengkapi dengan izin lingkungan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin pengelolaan
sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Bupati.

Sanksi Administratif
Pasal 14

(1) Bupati dapat menerapkan sanksi administratif kepada pengelola sampah


yang melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (3).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. paksaan pemerintahan;
b. uang paksa; dan/atau
c. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme penerapan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 15

(1) Keputusan mengenai pemberian izin pengelolaan sampah harus


diumumkan kepada masyarakat.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di papan
pengumuman, media cetak dan/atau media elektronik.

Pasal 16

(1) Izin pengangkutan sampah berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang.
(2) Izin pengolahan dan pemrosesan akhir sampah berlaku selama 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang, serta setiap tahun pemegang izin wajib
melakukan registrasi ulang.
(3) Izin pengelolaan sampah berakhir apabila masa berlakunya berakhir,
badan usaha pemegang izin pengelolaan sampah bubar dan/atau dicabut.
(4) Izin pengelolaan sampah dapat dicabut apabila pemegang izin melakukan
pelanggaran.

Pasal 17

Kegiatan pengelolaan sampah yang dikelola oleh masyarakat atau kelompok


masyarakat dan tidak termasuk usaha pengelolaan sampah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 10 tidak memerlukan izin tetapi terdaftar dan
memiliki rekomendasi dari SKPD yang menangani pengelolaan sampah.

8
BAB VIII
PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN SAMPAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 18

(1) Penyelenggaraan pengelolaan sampah meliputi :


a. pengurangan sampah; dan
b. penanganan sampah.
(2) Setiap orang wajib melakukan pengurangan sampah dan penanganan
sampah.

Bagian Kedua
Pengurangan Sampah

Pasal 19

(1) Pengurangan sampah meliputi :


a. pengurangan timbulan sampah;
b. pendauran ulang sampah; dan/atau
c. pemanfaatan kembali sampah.
(2) Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara :
a. Menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, bahan yang dapat
didaur ulang dan/atau bahan yang mudah diurai oleh proses alam;
dan/atau
b. mengumpulkan dan menyerahkan kembali sampah dari produk
dan/atau kemasan yang sudah digunakan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengumpulkan dan
menyerahkan kembali sampah diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 20

Produsen wajib melakukan pembatasan timbulan sampah dengan :


a. menyusun rencana dan/atau program pembatasan timbulan sampah
sebagai bagian dari usaha dan/atau kegiatannya; dan/atau
b. menghasilkan produk dengan menggunakan kemasan yang mudah diurai
oleh proses alam dan yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin.

Pasal 21

(1) Produsen wajib melakukan pendauran ulang sampah dengan :


a. menyusun program pendauran ulang sampah sebagai bagian dari
usaha dan/atau kegiatannya;
b. menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang;
dan/atau
c. menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk
didaur ulang.

9
(2) Dalam melakukan pendauran ulang sampah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) produsen dapat menunjuk pihak lain.
(3) Pihak lain dalam melakukan pendauran ulang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib memiliki izin usaha dan/atau kegiatan.
(4) Dalam hal pendauran ulang sampah untuk menghasilkan kemasan
pangan, pelaksanaan pendauran ulang wajib mengikuti ketentuan
Peraturan Perundangan-undangan di bidang pengawasan obat dan
makanan.

Pasal 22

Produsen wajib melakukan pemanfaatan kembali sampah dengan :


a. menyusun rencana dan/atau program pemanfaatan kembali sampah
sebagai bagian dari usaha dan/atau kegiatannya sesuai dengan kebijakan
dan strategi pengelolaan sampah;
b. menggunakan bahan baku produksi yang dapat diguna ulang; dan/atau
c. menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk diguna
ulang.

Pasal 23

(1) Penggunaan bahan baku produksi dan kemasan yang dapat diurai oleh
proses alam, yang menimbulkan sesedikit mungkin sampah dan yang
dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 dilakukan secara bertahap persepuluh
tahun melalui peta jalan.
(2) Pentahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga
Penanganan Sampah

Pasal 24

Penanganan sampah meliputi kegiatan :


a. pemilahan;
b. pengumpulan;
c. pengangkutan;
d. pengolahan; dan
e. pemrosesan akhir sampah.

Pasal 25

(1) Pemilahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a


dilakukan oleh:
a. setiap orang pada sumbernya;
b. pengelola kawasan pemukiman, kawasan komersial, kawasan
industry, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas
lainnya; dan
c. Pemerintah Daerah.
(2) Pemilahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan pengelompokan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis
sampah yang terdiri atas :

10
a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta
limbah bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mudah terurai;
c. sampah yang dapat digunakan kembali;
d. sampah yang dapat didaur ulang; dan
e. sampah lainnya.
(3) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya
dalam melakukan pemilahan sampah wajib menyediakan sarana
pemilahan sampah skala kawasan.
(4) Pemerintah Daerah menyediakan sarana pemilahan sampah skala
Kabupaten.
(5) Pemilahan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
harus menggunakan sarana yang memenuhi persyaratan:
a. jumlah sarana sesuai jenis pengelompokan sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2);
b. diberi label atau tanda; dan
c. bahan, bentuk dan warna wadah.

Pasal 26

(1) Pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b


dilakukan oleh :
a. pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas
lainnya; dan
b. Pemerintah Daerah.
(2) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya
dalam melakukan pengumpulan sampah wajib menyediakan :
a. TPS;
b. TPS 3R; dan/atau
c. alat pengumpul untuk sampah terpilah.
(3) Pemerintah Daerah menyediakan TPS dan/atau TPS 3R pada wilayah
permukiman.
(4) TPS dan/atau TPS 3R sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
harus memenuhi persyaratan :
a. tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling
sedikit 5 (lima) jenis sampah;
b. luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan;
c. lokasinya mudah diakses;
d. tidak mencemari lingkungan; dan
e. memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengumpulan dan
penyediaan TPS dan/atau TPS 3R diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 27

(1) Pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c


dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

11
(2) Pemerintah Daerah dalam melakukan pengangkutan sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. menyediakan alat angkut sampah termasuk untuk sampah terpilah
yang tidak mencemari lingkungan; dan
b. melakukan pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA
atau TPST.
(3) Dalam pengangkutan sampah, Pemerintah Daerah dapat menyediakan
stasiun peralihan antara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan alat angkut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 28

Dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pengolahan sampah bersama


dengan dua atau lebih Kabupaten/Kota, dan memerlukan pengangkutan
sampah lintas kabupaten, Pemerintah Daerah dapat mengusulkan kepada
Pemerintah Provinsi untuk menyediakan stasiun peralihan antara dan alat
angkut.

Pasal 29

(1) Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d


meliputi kegiatan :
a. pemadatan;
b. pengomposan;
c. daur ulang materi; dan/atau
d. daur ulang energi.
(2) Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan oleh :
a. setiap orang pada sumbernya;
b. pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas
lainnya; dan
c. Pemerintah Daerah.
(3) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya
wajib menyediakan fasilitas pengolahan sampah skala kawasan yang
berupa TPS 3R.
(4) Pemerintah Daerah menyediakan fasilitas pengolahan sampah pada
wilayah permukiman yang berupa :
a. TPS 3R;
b. stasiun peralihan antara;
c. TPA; dan/atau
d. TPST.

Pasal 30

(1) Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


huruf e, dilakukan dengan menggunakan :
a. metode lahan urug terkendali;
b. metode lahan urug saniter; dan/atau
c. teknologi ramah lingkungan.
12
(2) Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 31

(1) Dalam melakukan pemrosesan akhir sampah, Pemerintah Daerah wajib


menyediakan dan mengoperasikan TPA.
(2) Dalam menyediakan TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah Daerah :
a. melakukan pemilihan lokasi sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah;
b. menyusun analisis biaya dan teknologi; dan
c. menyusun rancangan teknis.
(3) Lokasi TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling sedikit
memenuhi aspek :
a. geologi;
b. hidrogeologi;
c. kemiringan zona;
d. jarak dari lapangan terbang;
e. jarak dari permukiman;
f. tidak berada di kawasan lindung/cagar alam; dan/atau
g. bukan merupakan daerah banjir periode ulang 25 (dua puluh lima)
tahun.
(4) TPA yang disediakan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dilengkapi :
a. fasilitas dasar;
b. fasilitas perlindungan lingkungan;
c. fasilitas operasi; dan
d. fasilitas penunjang.

Pasal 32

(1) Pengoperasian TPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus
memenuhi persyaratan teknis pengoperasian TPA sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Dalam hal TPA tidak dioperasikan sesuai dengan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan penutupan
dan/atau rehabilitasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan dan/atau rehabilitasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 33

(1) Kegiatan penyediaan fasilitas pengolahan dan pemrosesan akhir sampah


dilakukan melalui tahapan :
a. perencanaan;
b. pembangunan; dan
c. pengoperasian dan pemeliharaan.
(2) Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
kegiatan :
a. konstruksi;
13
b. supervisi; dan
c. uji coba.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas pengolahan
dan pemrosesan akhir sampah diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 34

(1) Dalam melakukan kegiatan pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan


akhir sampah, Pemerintah Daerah dapat :
a. membentuk kelembagaan pengelola sampah;
b. bermitra dengan badan usaha atau masyarakat; dan/atau
c. bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota lain.
(2) Kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundangan-
undangan.

Pasal 35

Sampah yang tidak dapat diolah melalui kegiatan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 28 ayat (1) ditimbun di TPA.

Bagian Keempat
Insentif dan Disinsentif

Pasal 36

(1) Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif pada setiap orang yang
melakukan pengurangan dan/atau pengolahan sampah berupa :
a. inovasi terbaik dalam pengelolaan sampah;
b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan;
c. pengurangan timbulan sampah; dan/atau
d. tertib penanganan sampah.
(2) Pemerintah Daerah dapat memberikan disinsentif kepada setiap orang
yang melakukan :
a. pelanggaran terhadap larangan; dan/atau
b. pelanggaran tertib penanganan sampah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif
dan/atau disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX
PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI
Bagian Kesatu
Pembiayaan

Pasal 37

(1) Pembiayaan penyelenggaraan pengelolaan sampah rumah tangga dan


sampah sejenis sampah rumah tangga bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
retribusi dan/atau penerimaan dari badan layanan umum daerah.

14
Pasal 38

(1) Dalam penyelenggaraan penanganan sampah, Pemerintah Daerah


memungut retribusi kepada setiap orang atas jasa pelayanan yang
diberikan.
(2) Tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah yang mengatur retribusi jasa umum.

Bagian Kedua
Kompensasi

Pasal 39

(1) Pemerintah Daerah secara sendiri atau secara bersama dapat memberikan
kompensasi sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kegiatan pemrosesan akhir sampah.
(2) Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pemrosesan akhir
sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakibatkan oleh :
a. pencemaran air;
b. pencemaran udara;
c. pencemaran tanah;
d. longsor;
e. kebakaran;
f. ledakan gas metan; dan/atau
g. hal lain yang menimbulkan dampak negatif.
(3) Bentuk kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. relokasi penduduk;
b. pemulihan lingkungan;
c. biaya kesehatan dan pengobatan;
d. penyediaan fasilitas sanitasi dan kesehatan; dan/atau
e. kompensasi dalam bentuk lain.

Pasal 40

(1) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dapat


dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian kompensasi oleh
Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB X
SISTEM INFORMASI

Pasal 41

(1) Pemerintah Daerah menyediakan informasi mengenai pengelolaan sampah


rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.
(2) Informasi pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memberikan informasi mengenai :
a. sumber sampah;
b. timbulan sampah;
c. komposisi sampah;
d. karakteristik sampah;
15
e. fasilitas pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga; dan
f. informasi lain terkait pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga yang diperlukan dalam rangka
pengelolaan sampah.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhubung sebagai satu
jejaring sistem informasi pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dapat diakses oleh
setiap orang.

BAB XI
PERAN MASYARAKAT

Pasal 42
(1) Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan,
penyelenggaraan dan pengawasan dalam kegiatan pengelolaan sampah
rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa :
a. pemberian usul, pertimbangan dan/atau saran kepada Pemerintah
Daerah dalam kegiatan pengelolaan sampah;
b. pemberian saran dan pendapat dalam perumusan kebijakan dan
strategi pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga;
c. pelaksanaan kegiatan penanganan sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga yang dilakukan secara mandiri
dan/atau bermitra dengan Pemerintah Daerah; dan
d. pemberian pendidikan dan pelatihan, kampanye dan pendampingan
oleh kelompok masyarakat kepada anggota masyarakat dalam
pengelolaan sampah untuk mengubah perilaku anggota masyarakat.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b disampaikan melalui forum yang keanggotaannya terdiri atas
pihak-pihak terkait.
(4) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
meliputi kegiatan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh perorangan
atau kelompok masyarakat.
(5) Kegiatan pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berupa pengurangan, pemilahan, pemanfaatan kembali dan pengolahan
sampah yang dapat dilakukan sendiri dan/atau dikerjasamakan dengan
pengelola bank sampah.
(6) Masyarakat dapat melakukan pengaduan mengenai pengelolaan sampah
kepada Pemerintah Daerah.
(7) Pemerintah Daerah melakukan pengelolaan pengaduan masyarakat sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

16
BAB XII
PEMBINAAN

Pasal 43

Pemerintah Daerah dapat melakukan pembinaan kepada masyarakat dalam


pengelolaan sampah melalui :
a. bantuan teknis;
b. bimbingan teknis;
c. diseminasi Peraturan Perundang-undangan dan pedoman di bidang
pengelolaan sampah; dan/atau
d. pendidikan dan pelatihan di bidang pengelolaan sampah.

BAB XIII
LARANGAN

Pasal 44

Setiap orang dilarang :


a. mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan;
b. membuang sampah ke media lingkungan atau tidak pada tempat yang
telah ditentukan dan/atau disediakan;
c. melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di TPAS;
d. mencampur limbah bahan berbahaya dan beracun industri dan rumah
sakit dengan sampah;
e. mengimpor sampah; dan/atau
f. membakar sampah di ruang terbuka yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis pengelolaan sampah.

BAB XIV
PENGAWASAN

Pasal 45

(1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pengelola sampah


dalam kegiatan penanganan sampah, pelaksanaan penanggulangan
kecelakaan dan pencemaran lingkungan hidup akibat kegiatan
penanganan sampah, dan pelaksanaan pemulihan fungsi lingkungan
hidup akibat kecelakaan dan pencemaran lingkungan dari kegiatan
penanganan sampah.
(2) Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada norma, standar, prosedur dan
kriteria pengawasan yang diatur oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan pengelolaan sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

17
BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 46
(1) Sengketa yang dapat timbul dari pengelolaan sampah terdiri atas :
a. sengketa antara pemerintah daerah dan pengelola sampah; dan
b. sengketa antara pengelola sampah dan masyarakat.
(2) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui penyelesaian di luar pengadilan ataupun melalui
pengadilan.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pasal 47

(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan dengan mediasi,


negosiasi, arbitrase atau pilihan lain dari para pihak yang bersengketa.
(2) Apabila dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, para pihak yang
bersengketa dapat mengajukannya ke pengadilan.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa di Dalam Pengadilan

Pasal 48

(1) Penyelesaian sengketa persampahan di dalam pengadilan dilakukan


melalui gugatan perbuatan melawan hukum.
(2) Gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mensyaratkan penggugat membuktikan unsur-unsur kesalahan, kerugian
dan hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian yang
ditimbulkan.
(3) Tuntutan dalam gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berwujud ganti kerugian dan/atau tindakan
tertentu.

Bagian Keempat
Gugatan Perwakilan Kelompok

Pasal 49

Masyarakat yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum di bidang


pengelolaan sampah berhak mengajukan gugatan melalui perwakilan
kelompok.

18
Bagian Kelima
Hak Gugat Organisasi Persampahan

Pasal 50
(1) Organisasi persampahan berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pengelolaan sampah yang aman bagi kesehatan masyarakat dan
lingkungan.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas
pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu, kecuali biaya atau
pengeluaran riil.
(3) Organisasi persampahan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum;
b. mempunyai anggaran dasar di bidang pengelolaan sampah; dan
c. telah melakukan kegiatan nyata paling sedikit 1 (satu) tahun sesuai
dengan anggaran dasarnya.

BAB XVI
PENYIDIKAN

Pasal 51

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidikan atas
pelanggaran dalam Peraturan Daerah dapat dilaksanakan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidanaagar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau badan tetang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana;
e. melakukan pengeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan;
g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana
dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;

19
i. memanggil seseorang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana menurut hukum yang berlaku.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XVII
SANKSI PIDANA

Pasal 52

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 43


huruf b, huruf c, dan huruf f diancam pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

Pasal 53

(1) Barang siapa secara melawan hukum dan dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 huruf a dan huruf d,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang mati dan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 54

(1) Barang siapa karena kealpaannya melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud pada Pasal 43 huruf a dan huruf d, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang mati dan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

Pasal 55

(1) Barang siapa secara melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud pada Pasal 43 huruf e dengan mengimpor sampah rumah

20
tangga dan/atau sampah sejenis sampah rumah tangga, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan)
tahun dan denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Barang siapa secara melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 43 huruf e dengan mengimpor sampah spesifik,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).

Pasal 56
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55
adalah kejahatan.

BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 57

(1) Penyediaan fasilitas pemilahan sampah yang terdiri atas sampah yang
mudah terurai, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya
oleh pemerintah daerah dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sejak
Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
(2) Penyediaan fasilitas pemilahan sampah yang terdiri atas sampah yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya
dan beracun, sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat digunakan
kembali, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya oleh
pemerintah daerah dilakukan paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan
Daerah ini mulai berlaku.

Pasal 58

Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,


kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya yang
belum memiliki fasilitas pemilahan sampah pada saat diundangkannya
Peraturan Daerah ini wajib membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan
sampah paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.

21
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 59

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 24 Oktober 2016
BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

APTRIPEL TUMIMOMOR

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 24 Oktober 2016
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,

TTD

YALBERT TULAKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2016 NOMOR

NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA,


PROVINSI SULAWESI TENGAH :51, 05/2016.

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005

22
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA

NOMOR 5 TAHUN 2016

TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH

I. UMUM.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal


28 huruf h ayat (1) menandaskan bahwa “setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjamin pemenuhan atas hak
konstitusional tersebut, negara, pemerintah, pemerintah daerah dan
seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk mewujudkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
menegaskan bahwa Pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas
menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, dalam rangka
menyelenggarakan pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif,
pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta tugas dan wewenang
pemerintahan daerah untuk melaksanakan pelayanan publik dalam
pengelolaan sampah, serta untuk menjamin kepastian hukum
pengelolaan sampah di Kabupaten Morowali Utara, perlu adanya dasar
hukum pengelolaan sampah yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1.
Cukup jelas.
Pasal 2.
Cukup jelas.
Pasal 3.
Cukup jelas.
Pasal 4.
Cukup jelas.
Pasal 5.
Cukup jelas.
Pasal 6.
Cukup jelas.

23
Pasal 7.
Cukup jelas.
Pasal 8.
Cukup jelas.
Pasal 9.
Cukup jelas.
Pasal 10.
Cukup jelas.
Pasal 11.
Ayat (1)
Kawasan pemukiman meliputi kawasan permukiman dalam
bentuk klaster, apartemen, kondominium, asrama, dan
sejenisnya.
Kawasan komersial berupa antara lain hotel/penginapan/
losmen, restoran/rumah makan, supermarket/minimarket/
swalayan, toko, industri/pabrik/home industri, bengkel, ruang
pamer, perusahaan angkutan, gudang, perusahaan jasa/bank
dan perkantoran.
Kawasan industri merupakan kawasan tempat pemusatan
kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh
perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha
kawasan industri.
Kawasan khusus merupakan wilayah yang bersifat khusus
yang digunakan untuk kepentingan nasional/berskala
nasional, misalnya kawasan cagar budaya, taman nasional,
pengembangan industri strategi, dan pengembangan teknologi
tinggi.
Fasilitas umum berupa antara lain terminal angkutan umum,
stasiun kereta api, pelabuhan udara, tempat pemberhentian
kendaraan umum dan taman.
Fasilitas sosial berupa antara lain rumah ibadah, panti asuhan
dan panti sosial.
Fasilitas lain berupa antara lain rumah tahanan, lembaga
pemasyarakatan, rumah sakit, klinik, pusat kesehatan
masyarakat, kawasan pendidikan, kawasan pariwisata, tempat
hiburan dan pusat kegiatan olah raga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12.
Cukup jelas.
Pasal 13.
Cukup jelas.

24
Pasal 14.
Cukup jelas.
Pasal 15.
Cukup jelas.
Pasal 16.
Cukup jelas.
Pasal 17.
Cukup jelas.
Pasal 18.
Ayat (1)
huruf a.
Yang dimaksud dengan “pengurangan timbulan sampah”
adalah upaya meminimalisasi timbulan sampah yang
dilakukan sejak sebelum dihasilkannya suatu produk
dan/atau kemasan produk sampai dengan saat
berakhirnya kegunaan produk dan/atau kemasan
produk. Contoh implementasi pembatasan timbulan
sampah antara lain:
(1) penggunaan barang dan/atau kemasan yang dapat
di daur ulang dan mudah terurai oleh proses alam.
(2) membatasi penggunaan kantong plastik; dan/atau
(3) menghindari penggunaan barang dan/atau kemasan
sekali pakai.
huruf b.
Yang dimaksud dengan “pendauran ulang sampah”
adalah upaya memanfaatkan sampah menjadi barang
yang berguna setelah melalui suatu proses pengolahan
terlebih dahulu.
huruf c.
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan kembali sampah”
adalah upaya untuk mengguna ulang sampah sesuai
dengan fungsi yang sama atau fungsi yang berbeda
dan/atau mengguna ulang bagian dari sampah yang
masih bermanfaat tanpa melalui suatu proses
pengolahan terlebih dahulu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19.
Cukup jelas.

25
Pasal 20.
Cukup jelas.
Pasal 21.
Cukup jelas.
Pasal 22.
Cukup jelas.
Pasal 23.
huruf a.
Yang dimaksud dengan “pemilahan” adalah kegiatan
mengelompokkan dan memisahkan sampah sesuai dengan
jenis.
huruf b.
Yang dimaksud dengan “pengumpulan” adalah kegiatan
mengambil dan memindahkan sampah dari sumber sampah
ke TPS atau TPS 3R.
huruf c.
Yang dimaksud dengan “pengangkutan” adalah kegiatan
membawa sampah dari sumber atau TPS menuju TPST atau
TPA dengan menggunakan kendaraan bermotor atau tidak
bermotor yang didesain untuk mengangkut sampah.
huruf d.
Yang dimaksud dengan “pengolahan” adalah kegiatan
mengubah karakteristik, komposisi, dan/atau jumlah
sampah.
huruf e.
Yang dimaksud dengan “pemrosesan akhir sampah” adalah
kegiatan mengembalikan sampah dan/atau residu hasil
pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Pasal 24.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a.
Yang dimaksud dengan sampah yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya
dan beracun misalnya kemasan obat serangga, kemasan
oli, kemasan obat-obatan, obat-obatan kadaluarsa,
peralatan listrik, dan peralatan elektronik rumah tangga.
huruf b.
Yang dimaksud dengan sampah yang mudah terurai
antara lain sampah yang berasal dari tumbuhan, hewan,
dan/atau bagian-bagiannya yang dapat terurai oleh

26
makluk hidup lainnya dan/atau mikroorganisme,
misalnya sampah makanan dan serasah.
huruf c.
Cukup jelas.
huruf d.
Cukup jelas.
huruf e.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 25.
Cukup jelas.
Pasal 26.
Cukup jelas.
Pasal 27.
Cukup jelas.
Pasal 28.
Cukup jelas.
Pasal 29.
Ayat (1)
huruf a.
Metode lahan urug terkendali (controlled landfill) yaitu
metode pengurugan di areal pengurugan sampah, dengan
cara dipadatkan dan ditutup dengan tanah penutup
sekurang-kurangnya setiap tujuh hari. Metode ini
merupakan metode yang bersifat antara, sebelum
mampu menerapkan metode ahan urug saniter (sanitary
landfill).
huruf b.
Yang dimaksud dengan lahan urug saniter (sanitary
landfill) yaitu sarana pengurugan sampah ke lingkungan
yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis,
dengan penyebaran dan pemadatan sampah pada area
pengurugan, serta penutupan sampah setiap hari.
Huruf c
Cukup jelas.

27
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
huruf a.
Yang dimaksud dengan geologi adalah kondisi yang tidak
berada di daerah sesar atau patahan yang masih aktif,
tidak berada di zona bahaya geologi misalnya daerah
gunung berapi, tidak berada di daerah karst, tidak
berada di daerah berlahan gambut, dianjurkan berada di
daerah lapisan tanah kedap air atau lempung.
huruf b.
Yang dimaksud dengan hidrogeologi antara lain kondisi
muka air tanah yang tidak kurang dari tiga meter,
kondisi kelulusan tanah tidak lebih besar dari 10-6
cm/detik, dan jarak terhadap sumber air minum lebih
besar dari 100 m (seratus meter) di hilir aliran.
huruf c.
Yang dimaksud dengan kemiringan zona yaitu
kemiringan lokasi TPA berada pada kemiringan kurang
dari 20% (dua puluh perseratus.
huruf d.
Yang dimaksud dengan jarak dari lapangan terbang yaitu
lokasi TPA berjarak lebih dari 3000 m (tiga ribu meter)
untuk lapangan terbang yang didarati pesawat turbo jet
dan berjarak lebih dari 1500 m (seribu lima ratus meter)
untuk lapangan terbang yang didarati pesawat jenis lain.
huruf e.
Yang dimaksud dengan jarak dari permukiman yaitu
jarak lokasi TPA dari pemukiman lebih dari 1 km (satu
kilometer) dengan mempertimbangkan pencemaran lindi,
kebauan, penyebaran vektor penyakit dan aspek sosial.

huruf f.
Cukup jelas.

huruf g.

Cukup jelas.

28
Ayat (4)
huruf a.
Fasilitas dasar misalnya jalan masuk, listrik atau genset,
drainase, air bersih, pagar, dan kantor.
huruf b.
Fasilitas perlindungan lingkungan misalnya lapisan
kedap air, saluran pengumpul dan instalasi pengolahan
lindi, wilayah penyangga, sumur uji atau pantau, dan
penanganan gas.
huruf c.
Fasilitas operasi misalnya alat berat serta truk
pengangkut sampah dan tanah.
huruf d.
Fasilitas penunjang misalnya bengkel, garasi, tempat
pencucian alat angkut dan alat berat, alat pertolongan
pertama pada kecelakaan, jembatan timbang,
laboratorium, dan tempat parkir.
Pasal 31.
Cukup jelas.
Pasal 32.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a.
Yang dimaksud dengan konstruksi adalah kegiatan
pembangunan baru, rehabilitasi dan revitalisasi
prasarana penanganan sampah meliputi TPA dan/atau
TPST.
huruf b.
Yang dimaksud dengan supervisi adalah kegiatan
pengawasan pembangunan prasarana penanganan
sampah.
huruf c.
Yang dimaksud dengan uji coba adalah kegiatan
percobaan pengoperasian prasarana penanganan
sampah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33.
Cukup jelas.

29
Pasal 34.
Cukup jelas.
Pasal 35.
Cukup jelas.
Pasal 36.
Cukup jelas.
Pasal 37.
Cukup jelas.
Pasal 38.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a.
Cukup jelas.
huruf b.
Cukup jelas.
huruf c.
Cukup jelas.
huruf d.
Cukup jelas.
huruf e.
Cukup jelas.
huruf f.
Cukup jelas.
huruf g.
Yang dimaksud dengan hal lain yang menimbulkan
dampak negatif antara lain sumber penyebaran penyakit.
Ayat (3)
huruf a.
Yang dimaksud dengan relokasi penduduk adalah
memindahkan penduduk yang terkena dampak negatif ke
tempat yang lebih aman.
huruf b.
Yang dimaksud dengan pemulihan lingkungan adalah
kegiatan mengembalikan kondisi lingkungan hidup
sehingga lingkungan hidup tersebut dapat berfungsi
kembali sesuai peruntukannya.

30
huruf c.
Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dan pengobatan
berupa biaya perawatan dan pengobatan di rumah sakit
atau puskesmas.
huruf d.
Yang dimaksud dengan penyediaan fasilitas sanitasi dan
kesehatan antara lain penyediaan prasarana mandi, cuci,
dan kakus, sarana air bersih, dan prasarana pengolahan
air limbah.
huruf e.
Yang dimaksud dengan kompensasi dalam bentuk lain
antara lain biaya pendidikan, beasiswa, bantuan
rehabilitasi rumah tinggal, dan bantuan rehabilitasi
jalan.
Pasal 39.
Cukup jelas.
Pasal 40.
Cukup jelas.
Pasal 41.
Cukup jelas.
Pasal 42.
Cukup jelas.
Pasal 43.
Cukup jelas.
Pasal 44.
Cukup jelas.
Pasal 45.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a.
Paksaan pemerintahan merupakan suatu tindakan hukum
yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
memulihkan kualitas lingkungan dalam keadaan semula
dengan beban biaya yang ditanggung oleh pengelola
sampah yang tidak mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan.
huruf b.
Uang paksa merupakan uang yang harus dibayarkan
dalam jumlah tertentu oleh pengelola sampah yang
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan

31
sebagai pengganti dari pelaksanaan sanksi paksaan
pemerintahan.
huruf c.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46.
Ayat (1)
Sengketa persampahan merupakan perselisihan antara dua
pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga
adanya gangguan dan/atau kerugian terhadap kesehatan
masyarakat dan/atau lingkungan akibat kegiatan pengelolaan
sampah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 47.
Ayat (1)
Penyelesaian sengketa persampahan di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan
tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau
terulangnya dampak negatif dari kegiatan pengelolaan sampah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48.
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu dalam ayat ini,
antara lain, perintah memasang atau memperbaiki prasarana
dan sarana pengelolaan sampah.
Pasal 49.
Gugatan perwakilan kelompok dilakukan melalui pengajuan
gugatan oleh satu orang atau lebih yang mewakili diri sendiri atau
mewakili kelompok.

32
Pasal 50.
Ayat (1)
Organisasi persampahan merupakan kelompok orang yang
terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah
masyarakat yang tujuan dan kegiatannya meliputi bidang
pengelolaan sampa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah
biaya yang secara nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan
oleh organisasi persampahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51.
Cukup jelas.
Pasal 52.
Cukup jelas.
Pasal 53.
Cukup jelas.
Pasal 54.
Cukup jelas.
Pasal 55.
Cukup jelas.
Pasal 56.
Cukup jelas.
Pasal 57.
Cukup jelas.
Pasal 58.
Cukup jelas.
Pasal 59.
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR


20.

33
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 1 TAHUN 2016

TENTANG

KAWASAN TANPA ROKOK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,


Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 Peraturan
Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);

1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengadung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau Bagi Kesehatan;
7. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan Nomor
188/MENKES/PB/I/2011 dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kawasan Tanpa Rokok;
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 32);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA

dan
BUPATI MOROWALI UTARA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistim dan prinsip negara
kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Morowali Utara.
6. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus untuk dibakar, dihisap
dan/atau dihirup termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari
tanaman nicotiana tobacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau
sintesisnya yang mengandung nikotin, tar dan zat adikitif dengan atau tanpa
bahan tambahan.
7. Merokok adalah kegiatan membakar dan/atau menghisap rokok.

2
8. Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau
area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan
memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk
tembakau.
9. Tempat khusus untuk merokok adalah ruangan yang diperuntukkan khusus
untuk kegiatan merokok yang berada didalam KTR.
10. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitas yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau masyarakat.
11. Tempat proses belajar mengajar adalah tempat berlangsungnya kegiatan
belajar mengajar atau pendidikan dan pelatihan seperti sekolah, madrasah,
perguruan tinggi, tempat kursus, TPA/TPSQ termasuk ruang perpustakaan,
ruang praktek atau laboratorium, museum dan sejenisnya.
12. Tempat ibadah adalah sarana untuk melaksanakan kegiatan keagamaan
seperti Mesjid, Musholah, Gereja, Kapel, Pura, Wihara, Klenteng dan tempat
ibadah lainnya.
13. Tempat anak bermain adalah tempat yang memperuntukan untuk kegiatan
anak-anak seperti tempat penitipan anak, tempat pengasuhan anak, tempat
bermain anak-anak dan lainnya.
14. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa
kendaraan darat, air dan udara.
15. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki
tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha.
16. Tempat umum adalah sarana yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan
masyarakat untuk berbagai kegiatan.
17. Pimpinan dan/atau penanggungjawab adalah seseorang yang mempunyai
tugas dan wewenang sebagai pimpinan dan/atau penanggungjawab atas
sebuah tempat atau kegiatan ruangan.
18. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah
Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Morowali Utara.
19. Setiap orang adalah orang perseorangan, badan usaha, perkumpulan dan
organisasi kemasyarakatan baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.

3
BAB II
KAWASAN TANPA ROKOK
Pasal 2
KTR meliputi :
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja;
g. tempat umum atau tempat lain yang ditetapkan.

Pasal 3

(1) Kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf a sampai
dengan huruf e merupakan kawasan yang bebas dari asap rokok hingga batas
pagar terluar atau dengan batas lainnya yang ditentukan.
(2) Kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f dan
huruf g, merupakan kawasan yang bebas dari asap rokok hingga batas
kucuran air dari atap paling luar.

Pasal 4

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikecualikan


apabila pengelola, pimpinan, dan/atau penanggungjawab menyediakan
tempat khusus merokok.
(2) Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
memenuhi persyaratan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan
langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik.

BAB III
KEWAJIBAN
Pasal 5

(1) Setiap pimpinan dan/atau penanggung jawab KTR sebagaimana dimaksud


pada Pasal 4 ayat (1) wajib :
a. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang
menjadi tanggung jawabnya;
b. melarang setiap perokok di KTR di wilayah yang menjadi tanggung
jawabnya;
c. meniadakan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau lokasi yang
menjadi tanggung jawabnya.

4
d. memasang tanda-tanda dilarang merokok sesuai persyaratan disemua
pintu masuk utama dan ditempat-tempat yang dipandang perlu dan
mudah terbaca dan/atau di dengar baik.
(2) Bentuk dan besaran tanda dilarang merokok sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, diatur dalam Peraturan Bupati.

BAB IV
LARANGAN
Pasal 6

Setiap orang dilarang :


a. merokok di KTR; dan/atau
b. setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual
dan/atau membeli rokok di KTR.

Pasal 7

(1) Larangan menjual dan membeli sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf
b, dikecualikan untuk tempat umum yang memiliki izin untuk menjual
rokok.
(2) Larangan kegiatan memproduksi produk tembakau tidak berlaku bagi tempat
yang digunakan untuk kegiatan produksi produk tembakau dilingkungan
kawasan tanpa rokok.

BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8

(1) Masyarakat dapat berperan serta aktif dalam mewujudkan KTR.


(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk :
a. pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah ini;
b. keikutsertaan dalam pemberian bimbingan dan penyuluhan serta
penyebarluasan dan/atau informasi dampak rokok bagi kesehatan;
dan/atau
c. memelihara dan meningkatkan kualitas udara sehat dan bersih serta
bebas dari asap rokok.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 9

(1) Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan pada seluruh KTR di


wilayahnya.

5
(2) Bupati mendelegasikan pembinaan dan pengawasan KTR kepada Kepala
SKPD.
(3) Pembinaan dan pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai
tugas pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai KTR.
(4) SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan SKPD yang tugas dan
fungsinya terdiri dari :
a. bidang kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap KTR
fasilitas pelayanan kesehatan;
b. bidang pendidikan dan bidang sosial melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap KTR meliputi :
1. tempat proses belajar mengajar
2. tempat anak bermain; dan/atau
3. tempat berkumpulnya anak-anak;
c. bidang kesejahteraan rakyat melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap KTR tempat ibadah;
d. bidang perhubungan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
KTR angkutan umum;
e. bidang ketenaga kerjaan melakukan pembinaan dan pengawasan KTR
tempat kerja;
f. bidang pariwisata melakukan pembinaan dan pengawasan KTR di tempat
umum dan tempat lain yang ditetapkan; dan/atau
g. bidang ketertiban umum melakukan pembinaan dan pengawasan seluruh
KTR.
(5) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawah
koordinasi Dinas Kesehatan.

Pasal 10

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 dilakukan


melalui:
a. sosialisasi dan koordinasi;
b. pemberian pedoman;
c. konsultasi;
d. monitoring dan evaluasi; dan/atau
e. pemberian penghargaan.

Pasal 11

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10, dapat dilakukan :


a. setiap SKPD dengan melaksanakan berbagai kegiatan pembinaan dalam
rangka pembinaan KTR;
b. bekerjasama dengan masyarakat, badan atau lembaga dan/atau organisasi
kemasyarakatan;

6
c. bupati dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah
berjasa dalam rangka memotifasi, membantu pelaksanaan KTR.

Pasal 12

(1) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab KTR melakukan inspeksi


dan pengawasan di KTR yang menjadi tanggung jawabnya.
(2) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab KTR harus melakukan hasil
inspeksi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada SKPD
terkait setiap 1 (satu) bulan sekali.

Pasal 13

(1) Dinas Kesehatan dan Satuan Polisi Pamong Praja berkoordinasi dengan SKPD
lainnya dalam melakukan inspeksi dan pengawasan diseluruh gedung di
wilayah kerjanya.
(2) Dinas Kesehatan melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan kepada Bupati.

BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 14

(1) Penyidik pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah dapat
diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak
pidana pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugas
mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya
pelanggaran Peraturan Daerah;
b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan ditempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal dari
tersangka;
d. melakukan penyitaan benda atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
penyidik Polisi Republik Indonesia bahwa tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya
melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum,
tersangka dan keluarganya;

7
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berwenang melakukan
penangkapan dan/atau penahanan.
(4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat
berita acara setiap tindakan dalam hal :
a. pemeriksaan tersangka;
b. memasuki rumah dan/atau tempat tertutup lainnya;
c. penyitaan barang;
d. pemeriksaan saksi;
e. pemeriksaan ditempat kejadian;
f. pengambilan sidik jari dan pemotretan.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 15

Setiap orang yang merokok ditempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2, dipidana kurungan paling lama 3 (tiga)
hari atau denda paling banyak Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah).

Pasal 16

Setiap orang/badan yang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau


membeli rokok ditempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) hari atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Pasal 17

Setiap pengelola KTR yang tidak melakukan pengawasan internal membiarkan


orang merokok, tidak menyingkirkan asbak atau sejenisnya, dan tidak
memasang tanda-tanda dilarang merokok ditempat area yang dinyatakan sebagai
KTR sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) hari atau denda
paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

8
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 12 Januari 2016

Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,

ttd

YALBERT TULAKA

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 9 Februari 2016

Plh. SEKRETARIS DAERAH


KABUPATEN MOROWALI UTARA,

ttd

MOCH. AMIRULLAH SIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2016 NOMOR 01.

NOMOR REGISTER 01 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA,


PROVINSI SULAWESI TENGAH : (01/2016).

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005

9
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 1 TAHUN 2016

TENTANG

KAWASAN TANPA ROKOK

I. UMUM
Pembangunan dibidang kesehatan merupakan salah satu upaya
pembangunan nasional yang diarahkan untuk tercapainya kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap individu agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan hal
tersebut dilingkungan masyarakat diselenggarakan berbagai upaya
kesehatan dimana salah satunya adalah upaya perlindungan terhadap
masyarakat dari bahaya rokok.
Rokok merupakan zat adiktif yang jika digunakan dapat mengakibatkan
bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, diantaranya dapat
menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit jantung, kanker, impotensi,
penyakit darah, bronkhitis kronik, gangguan kehamilan dan janin, oleh
karena didalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 (empat ribu) zat kimia
yaitu nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik.
Asap rokok tidak hanya membahayakan perokok, tetapi juga orang lain
disekitar perokok (perokok pasif) yang menghirup asap rokok yang dihisap
orang lain. Penghirup rokok pasif mengandung resiko sama tingginya dengan
orang yang merokok.
Selain dampak kesehatan akibat asap rokok, akan berdampak pula
terhadap ekonomi individu, keluarga dan masyarakat akibat hilangnya
pendapatan karena sakit dan tidak dapat bekerja, pengeluaran obat dan
biaya perawatan.
Oleh karena itu perokok aktif perlu disadarkan dari kebiasaan merokok
yang dapat merusak kesehatan diri dan orang lain disekitarnya, sehingga hak
generasi sekarang maupun yang akan datang atas kesehatan diri dan
lingkungan hidup sehat dapat terjamin.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a

Cukup jelas

10
Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g
Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan (seperti : hotel, restoran,
rumah makan, jasa boga, terminal, pelabuhan, pasar, pusat
perbelanjaan, minimarket, supermarket, departemen store, hypermarket,
mall, plaza, pertokoan, bioskop, tempat wisata, stasiun, sarana olahraga
dan tempat umum lainnya.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

11
Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR 017.

12
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN BUPATI MOROWALI UTARA


NOMOR 9 TAHUN 2018

TENTANG

PEDOMAN PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU


DI KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN MOROWALI UTARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan kota/perkotaan


disertai dengan alih fungsi lahan yang pesat, telah
menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat
menurunkan daya dukung lahan dalam menopang
kehidupan masyarakat di kawasan perkotaan, sehingga
perlu dilakukan upaya untuk menjaga dan
meningkatkan kualitas lingkungan melalui penyediaan
ruang terbuka hijau yang memadai;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang memberikan landasan untuk
pengaturan ruang terbuka hijau dalam rangka
mewujudkan ruang kawasan perkotaan yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
c. bahwa dalam rangka implementasi Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
diperlukan adanya Pedoman Pengelolaan Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Perkotaan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c di atas,
perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Pedoman
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
Kabupaten Morowali Utara;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang


Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang
Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4242);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan;
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan
Perkotaan;
8. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 3
Tahun 2016 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Morowali Utara Lembaran Daerah Kabupaten
Morowali Utara Tahun 2016 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 18);
9. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2016 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Kabupaten Morowali Utara Tahun 2016-2021 (Lembaran
Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun 2016 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara
Nomor 19);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN


RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN
KABUPATEN MOROWALI UTARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan:


1. Ruang Terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas
baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area
memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang
pada dasarnya tanpa bangunan.
2. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggaran Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
4. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
5. Dinas Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Morowali Utara adalah instansi
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
6. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH di Kawasan Perkotaan
adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya,
ekonomi dan estetika.
7. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
8. Ruang Terbuka Non-Hijau yang selajutnya disingkat RTHN adalah ruang
terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH,
berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.
9. Wilayah adalah kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya,
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan kondisi geografi.
10. Kawasan adalah kesatuan geografis yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsional serta mempunyai fungsi utama tertentu.
11. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
12. Ruang Terbuka Hijau Privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang
perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain
berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang
ditanami tumbuhan.
13. Ruang Terbuka Hijau Publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh
pemerintah daerah kabupaten yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum.
14. Biogeografi adalah keadaan lapisan muka bumi atau aspek relief permukaan
bumi berupa karakteristik material permukaan bumi baik batuan/tanah
maupun strukturnya, proses geomorfik dan tatanan keruangannya dan
aspek kehidupan di dalamnya.
15. Struktur ruang kota adalah susunan pusat-pusat permukiman sistem
jaringan prasarana dan sarana di kota yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan
fungsional.
16. Elemen Lansekap adalah segala sesuatu yang berwujud benda, suara, warna
dan suasana yang merupakan pembentuk lansekap, baik yang bersifat
alamiah maupun buatan manusia. Elemen lansekap yang berupa benda
terdiri dari dua unsur yaitu benda hidup dan benda mati; sedangkan yang
dimaksud dengan benda hidup ialah tanaman, dan yang dimaksud dengan
benda mati adalah tanah, pasir, batu, dan elemen-elemen lainnya yang
berbentuk padat maupun cair.
17. Iklim mikro adalah keberadaan ekosistem setempat yang mempengaruhi
kelembaban dan tingkat curah hujan setempat sehingga temperatur menjadi
terkendali, termasuk radiasi matahari dan kecepatan angin.
18. Kearifan lokal adalah kecerdasan, kreativitas, inovasi dan pengetahuan
tradisional masyarakat lokal berupa kearifan ekologis dalam pengelolaan dan
pelestarian ekosistem/sumber daya lingkungan alam sekitar atau berupa
kearifan sosial dalam bentuk tatanan sosial yang menciptakan keharmonisan
dan kedinamisan hidup bermasyarakat yang telah dijalani turun temurun
dan telah menunjukan adanya manfaat yang diterima masyarakat dalam
membangun peradabannya.
19. Penataan RTH adalah proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
RTH.
20. Rekreasi aktif adalah bentuk pengisian waktu senggang yang didominasi
kegiatan fisik dan partisipasi langsung dalam kegiatan tersebut, seperti olah
raga dan bentuk-bentuk permainan lain yang banyak memerlukan
pergerakan fisik.
21. Rekreasi pasif adalah bentuk kegiatan waktu senggang yang lebih kepada
hal-hal yang bersifat tenang dan relaksasi untuk stimulasi mental dan
emosional, tidak didominasi pergerakan fisik atau partisipasi langsung pada
bentuk-bentuk permainan atau olah raga.
22. Sempadan pantai/sungai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai atau kiri
kanan sungai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai/sungai.
23. Garis sempadan adalah garis batas luar pengaman untuk mendirikan
bangunan dan atau pagar yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as
jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi saluran, kaki tanggul, tepi
situ/rawa, tepi waduk, tepi mata air, jaringan tenaga listrik, pipa gas.
24. Median jalan adalah ruang yang disediakan pada bagian tengah dari jalan
untuk membagi jalan dalam masing-masing arah serta untuk mengamankan
ruang bebas samping jalur lalu lintas.
25. Pedestrian adalah areal yang diperuntukan bagi pejalan kaki.
26. Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon
yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang
berwenang.
27. Jalur hijau adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya
yang terletak di dalam ruang milik jalan maupun di dalam ruang pengawasan
jalan.
28. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung
dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
29. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan
luas tanah perpetakan/daerah perencanan yang dikuasai sesuai rencana tata
ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
30. Lansekap jalan adalah wajah dari karakter lahan atau tapak yang terbentuk
pada lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lansekap alamiah
seperti bentuk topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah,
maupun yang terbentuk dari elemen lansekap buatan manusia yang
disesuaikan dengan kondisi lahannya.
31. Penutup tanah adalah semua jenis tumbuhan yang difungsikan sebagai
penutup tanah.
32. Perdu adalah tumbuhan berkayu dengan percabangan mulai dari pangkal
batang dan memiliki lebih dari satu batang utama.
33. Pohon adalah semua tumbuhan berbatang pokok tunggal berkayu keras.
34. Pohon kecil adalah pohon yang memiliki ketinggian sampai dengan 7 meter.
35. Pohon sedang adalah pohon yang memiliki ketinggian dewasa 7-12 meter.
36. Pohon besar adalah pohon yang memiliki ketinggian dewasa lebih dari 12
meter.
37. Sabuk hijau /greenbelt adalah RTH yang memiliki tujuan utama untuk
membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas
satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu.
38. Semak adalah tumbuhan berbatang hijau serta tidak berkayu disebut
sebagai herbaseus.
39. Tajuk adalah bentuk alami dari struktur percabangan dan diameter tajuk.
40. Taman kota adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai
sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat kota.
41. Taman lingkungan adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik
sebagai sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat
lingkungan.
42. Tanaman penutup tanah adalah jenis tanaman penutup permukaan tanah
yang bersifat selain mencegah erosi tanah juga dapat menyuburkan tanah
yang kekurangan unsur hara. Biasanya merupakan tanaman antara bagi
tanah yang kurang subur sebelum penanaman tanaman yang
tetap/permanen.
43. Tanggul adalah bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan
persyaratan teknis tertentu untuk melindungi daerah sekitar sungai terhadap
limpasan air sungai.
44. Vegetasi/tumbuhan adalah keseluruhan tetumbuhan dari suatu kawasan
baik yang berasal dari kawasan itu atau didatangkan dari luar, meliputi
pohon, perdu, semak, dan rumput.
45. Tanaman khas daerah adalah jenis tumbuhan atau tanaman yang khas
tumbuh dan menjadi identitas daerah.
46. Peran masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas
kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat sesuai dengan hak
dan kewajiban dalam penyelenggaraan penataan ruang.
47. Insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada lembaga pemerintahan,
organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, pihak/lembaga
swasta ataupun perseorangan atas keberhasilan dalam penataan RTH.

BAB II
TUJUAN, FUNGSI DAN MANFAAT
Pasal 2

RTH memiliki tujuan sebagai berikut:


a. menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air.
b. menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara
lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan
masyarakat.
c. meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman
lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

Pasal 3

RTH memiliki fungsi sebagai berikut:


a. Fungsi utama /intrinsik yaitu fungsi ekologis:
1) Memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi
udara/paru-paru kota;
2) Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami
dapat berlangsung lancar;
3) Sebagai peneduh;
4) Produsen oksigen;
5) Penyerap air hujan;
6) Penyedia habitat satwa;
7) Penyerap polutan media udara, air dan tanah; dan
8) Penahan angin.
b. Fungsi tambahan/ekstrinsik yaitu :
1) Fungsi sosial dan budaya;
2) Menggambarkan ekspresi budaya lokal;
3) Merupakan media komunikasi warga kota;
4) Tempat rekreasi;
5) Wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari
alam;
6) Fungsi ekonomi :
a) Sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun,
sayur-mayur;
b) Bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan
lain-lain.
7) Fungsi estetika :
a) Meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari
skala.
b) Mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro:
lansekap kota secara keseluruhan.
c) Menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota.
d) Pembentuk faktor keindahan arsitektural.
e) Menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan
tidak terbangun.
c. Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi RTH sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan,
kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air,
keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.

Pasal 4

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas:


a. Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu
membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan
mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah).
b. Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu
pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan
persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora
dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).

BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 5

(1) Lingkup pengaturan dalam Peraturan Bupati ini meliputi: Pembentukan dan
jenis RTH, penataan RTH, peranserta masyarakat, pelaporan, pembinaan dan
pengawasan, dan pendanaan;
(2) Penataan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian.
(3) Pengaturan pengelolaan RTH di kawasan perkotaan dalam bentuk
penyediaan dan pemanfaatan RTH mencakup seluruh wilayah ibu kota
kecamatan di Kabupaten Morowali Utara;
(4) Materi muatan tentang pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dimuat secara lengkap dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

BAB IV
PEMBENTUKAN DAN JENIS RTH
Pasal 6

(1) Pembentukan RTH disesuaikan dengan bentang alam berdasar aspek


biogeografis dan struktur ruang kota serta estetika.
(2) Pembentukan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencerminkan
karakter alam dan/atau budaya setempat yang bernilai ekologis, planologis,
historik, panorama yang khas dengan tingkat penerapan teknologi.

Pasal 7

Jenis RTH meliputi:


a. RTH Pekarangan:
1) Pekarangan Rumah Tinggal
2) Halaman Perkantoran, Pertokoan dan Tempat Usaha;
3) Taman Atap Bangunan (Roof Garden).
b. RTH Taman dan Hutan Kota:
1) Taman Rukun Tetangga (RT);
2) Taman Rukun Warga (RW);
3) Taman Kelurahan;
4) Taman Kecamatan;
5) Taman Kota;
6) Hutan Kota;
7) Sabuk Hijau (Green Belt).
c. RTH Jalur Hijau Jalan:
1) Pulau Jalan dan Median Jalan;
2) Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian).
d. RTH Fungsi Tertentu:
1) Jalur Hijau Jaringan Listrik Tegangan Tinggi;
2) RTH Sempadan Sungai;
3) RTH Sempadan Pantai;
4) Pengamanan Sumber Air Baku/Mata Air;
5) Pemakaman.

BAB V
PENATAAN RTH
Bagian Kesatu
Penataan
Pasal 8

Penataan RTH meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian


RTH.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 9

(1) RTH merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang
wilayah kabupaten.
(2) RTH dituangkan dalam rencana detail tata ruang kawasan perkotaan dengan
skala peta minimal 1:5.000.

Pasal 10

(1) Luas RTH minimal 30% dari luas kawasan perkotaan.


(2) Luas RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup RTH publik
minimal 20% dan RTH privat minimal 10%.
(3) Luas RTH publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyediaannya
menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten yang dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kemampuan daerah.
(4) RTH privat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyediaannya menjadi
tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang
dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kabupaten.
Pasal 11

(1) Perencanaan pembangunan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat


(1) dan ayat (2) melibatkan para pelaku pembangunan.
(2) Perencanaan pembangunan RTH memuat jenis, lokasi, luas, target
pencapaian luas, kebutuhan biaya, target waktu pelaksanaan, dan disain
teknis.

Pasal 12

Perencanaan pembangunan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10


berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

Bagian Ketiga
Pemanfaatan
Pasal 13

(1) Pemanfaatan RTH mencakup kegiatan pembangunan baru, pemeliharaan dan


pengamanan ruang terbuka hijau.
(2) Pemanfaatan RTH publik dikelola oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan
para pelaku pembangunan.
(3) RTH publik tidak dapat dialihfungsikan.
(4) Pemanfaatan RTH publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dikerjasamakan dengan pihak ketiga ataupun antar pemerintah daerah.
(5) Pemanfaatan RTH privat dikelola oleh perseorangan atau lembaga/badan
hukum sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
(6) Pemanfaatan RTH diperkaya dengan memasukkan berbagai kearifan lokal
dalam penataan ruang dan konstruksi bangunan taman yang mencerminkan
budaya setempat.

Pasal 14

(1) Pemanfaatan RTH privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan
ayat (5), dikembangkan dengan mengisi berbagai macam vegetasi/tanaman
yang disesuaikan dengan ekosistem dan tanaman khas daerah.
(2) Vegetasi/tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
bentuk dan sifat serta peruntukannya, yaitu:
a. botanis, merupakan campuran jenis pohon ukuran kecil, ukuran sedang,
ukuran besar, perdu setengah pohon, perdu, semak dan tanaman
penutup tanah/permukaan;
b. arsitektural, merupakan heterogenitas bentuk tajuk membulat,
menyebar, segitiga, bentuk kolom, bentuk tiang, memayung dan
menggeliat, serta mempunyai nilai eksotik dari sudut warna bunga,
warna daun, buah, tekstur batang, struktur percabangan; dan
c. tanaman yang dikembangkan tidak membahayakan manusia dan
memperhatikan nilai estetika.

Bagian Keempat
Pengendalian
Pasal 15

(1) Lingkup pengendalian RTH meliputi:


a. target pencapaian luas minimal;
b. fungsi dan manfaat;
c. luas dan lokasi; dan
d. kesesuaian spesifikasi konstruksi dengan desain teknis.
(2) Pengendalian RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
perizinan, pemantauan, pelaporan dan penertiban.
(3) Penebangan pohon di areal RTH publik dibatasi secara ketat dan harus seizin
Bupati.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 16

(1) Penataan RTH melibatkan peranserta masyarakat, swasta, lembaga/badan


hukum dan/atau perseorangan.
(2) Peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari
pembangunan visi dan misi, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan dalam proses pengambilan keputusan mengenai penataan RTH,
kerjasama dalam pengelolaan, kontribusi dalam pemikiran, pembiayaan
maupun tenaga fisik untuk pelaksanaan pekerjaan.

BAB VII
PELAPORAN
Pasal 17

(1) Bupati melaporkan kegiatan penataan RTH kepada Gubernur paling sedikit 1
(satu) tahun sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(2) Gubernur melaporkan kegiatan penataan RTH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Menteri Dalam Negeri paling sedikit 1 (satu) tahun sekali dan
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18

Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penataan RTH.

Pasal 19

(1) Bupati dapat memberikan insentif kepada penyelenggara RTH privat yang
berhasil meningkatkan kualitas dan kuantitas sesuai dengan tujuan RTH.
(2) Mekanisme, kriteria, bentuk, jenis, dan tatacara pemberian insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Kepala Daerah.

BAB IX
PENDANAAN
Pasal 20

Pendanaan penataan RTH Kabupaten bersumber dari Anggaran Pendapatan dan


Belanja Daerah Kabupaten, partisipasi swadaya masyarakat dan/atau swasta,
serta sumber pendanaan lainnya yang sah dan tidak mengikat.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21

Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Morowali
Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 28 Februari 2018

BUPATI MOROWALI UTARA,

ttd

APTRIPEL TUMIMOMOR

Diundangkan di Kolonodale
pada tangal 28 Februari 2018

Plt. SEKRETARIS DAERAH


KABUPATEN MOROWALI UTARA,

ttd

JAMALUDIN SUDIN

BERITA DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2018 NOMOR 9.

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

HELTAN RANSA, SH
NIP. 19680602 199503 1 003
LAMPIRAN : PERATURAN BUPATI MOROWALI UTARA
NOMOR : 9 TAHUN 2018
TANGGAL : 28 FEBRUARI 2018
TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN
PERKOTAAN KABUPATEN MOROWALI UTARA

A. Arahan Penyediaan RTH Perkotaan

1. Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan


Dari hasil analisis eksisting kondisi biogeofisik dan sosekbud kawasan
perkotaan dalam wilayah kecamatan di Kabupaten Morowali Utara, arahan
penyediaan RTH perkotaan berdasarkan fungsi dan penerapannya
disesuaikan dengan tipologi kawasan perkotaan seperti pada Tabel 1
berikut.

Tabel 1. Tipologi Kawasan Perkotaan Di Kabupaten Morowali Utara

Penduduk
Rawan Penduduk
No. Kecamatan Ibu kota Pantai Pegunungan jarang-
Bencana padat
sedang
1 Mori Atas Tomata-Pambarea - √ - √ -
2 Mori Utara Mayumba - √ - √ -
3 Lembo Beteleme - √ - √ -
4 Lembo Raya Petumbea - √ - √ -
5 Petasia Timur Bungintimbe √ - - √ -
6 Petasia Barat Tiu - √ - √ -
Kolonodale-
7 Petasia √ √ √ - √
Bahntula-Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara - √ - √ -
9 Bungku Utara Baturube √ - - √ -
10 Mamosalato Tanasumpu √ - - √ -
Keterangan: √ = ada tipologi; - tidak ada tipologi.

Pada Tabel 1 tampak bahwa terdapat sebanyak empat ibu kota kecamatan
di wilayah Kabupaten Morowali Utara merupakan tipologi pantai dan enam
ibu kota kecamatan merupakan tipologi pegunungan. Selanjutnya dari
sebanyak sepuluh ibu kota kecamatan, sembilan ibu kota kecamatan
termasuk dalam kategori penduduk jarang-sedang (25 – 475 jiwa/km2), dan
hanya ibu kota Kecamatan Petasia yang tidak lain merupakan ibu kota
kabupaten dengan jumlah penduduk padat (1.567 jiwa/km2). Dengan
demikian, arahan penyediaan RTH perkotaan berdasarkan fungsi dan
penerapannya disesuaikan dengan tipologi kawasan perkotaan seperti pada
Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Fungsi dan Penerapan RTH Sesuai Tipologi Kawasan Perkotaan


Tipologi Karakteristik RTH
Kawasan Ibu Kota Kecamatan Penerapan
Fungsi Utama
Perkotaan Kebutuhan RTH
 Petasia (Kolonodale-Bahontula-
Bahoue)  Pengamanan  Berdasarkan luas
wilayah pantai wilayah
Pantai  Petasia Timur (Bungintimbe)
 Sosial budaya  Berdasarkan
 Bungku Utara (Baturube)
 Mitigasi bencana fungsi tertentu
 Mamasolato (Tanasumpu)
 Petasia Barat (Tiu)
 Lembo (Beteleme)  Konservasi
 Berdasarkan luas
tanah
 Lembo Raya (Petumbea) wilayah
Pegunungan  Konservasi air
 Soyo Jaya (Lembah Sumara)  Berdasarkan
 Keanekaragama
 Mori Atas (Tomata-Pambarea) fungsi tertentu
n hayati
 Mori Utara (Mayumba)

Lanjutan Tabel 2.

Tipologi Karakteristik RTH


Kawasan Ibu Kota Kecamatan Penerapan
Fungsi Utama
Perkotaan Kebutuhan RTH
 Petasia (Kolonodale-Bahontula-  Mitigasi/evakuas  Berdasarkan
Rawan bencana
Bahoue) i bencana fungsi tertentu
 Petasia Timur (Bungintimbe)
 Soyo Jaya (Lembah Sumara)
 Bungku Utara (Baturube)
 Mamasolato (Tanasumpu)  Dasar  Berdasarkan
Berpenduduk
perencanaan fungsi tertentu
jarang s.d.  Petasia Barat (Tiu)
kawasan  Berdasarkan
sedang  Lembo (Beteleme)
 Sosial jumlah penduduk
 Lembo Raya (Petumbea)
 Mori Atas (Tomata-Pambarea)
 Mori Utara (Mayumba)
 Berdasarkan
 Ekologis
Berpenduduk  Petasia (Kolonodale-Bahontula- fungsi tertentu
 Sosial
padat Bahoue)  Berdasarkan
 Hidrologis
jumlah penduduk

2. Berdasarkan Jenis RTH Kawasan Perkotaan


Mengacu pada Tabel 2, arahan penyediaan RTH kawasan perkotaan di
Kabupaten Morowali Utara berdasarkan jenis RTH seperti pada Tabel 3
berikut.

Tabel 3. Arahan Penyediaan RTH Kawasan Perkotaan di Kabupaten Morowali Utara

RTH RTH Ibu Kota Kecamatan


No. Jenis RTH
Publik Privat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. RTH Pekarangan
a. Pekarangan rumah
- √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
tinggal
b. Halaman perkantoran,
pertokoan dan tempat - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
usaha
c. Taman atap bangunan - √ √ - - - - - - - - -
2. RTH Taman dan Hutan
Kota
a. Taman RT √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
b. Taman RW √ √ - - - - √ - √ √ - -
c. Taman Kelurahan √ √ √ - - - - - - - - -
d. Taman Kecamatan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
e. Taman Kota √ - √ - - - - - - - - -
f. Hutan Kota √ - √ - - - - - - - - -
g. Sabuk hijau (green belt) √ - √ - - - - - - - - -
3. RTH Jalur Hijau Jalan
a. Pulau jalan dan median √ √ √ - - - - - - - - -
jalan
b. Jalur pejalan kaki √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4. RTH Fungsi Tertentu
a. RTH Jalur hijau jaringan
√ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
listrik tegangan tinggi
b. RTH sempadan sungai √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
c. RTH sempadan pantai √ - √ √ - √ √ - - - - -
d. RTH pengamanan
sumber air baku/mata √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
air
e. RTH Pemakaman √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Keterangan : (1) Petasia (Kolonodale-Bahontula-Bahoue); (2) Petasia Timur (Bungintimbe); (3) Soyo Jaya (Lembah
Sumara); (4) Bungku Utara (Baturube); (5) Mamasolato (Tanasumpu); (6) Petasia Barat (Tiu); (7) Lembo
(Beteleme); (8) Lembo Raya (Petumbea); (9) Mori Atas (Tomata-Pambarea); (10) Mori Utara (Mayumba).
Tanda √ = ada RTH.
Catatan :Taman lingkungan yang merupakan RTH privat adalah taman lingkungan yang dimiliki oleh orang
perseorangan/ masyarakat/swasta yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas.

RTH publik dan RTH privat memiliki beberapa fungsi utama seperti fungsi
ekologis serta fungsi tambahan, yaitu sosial budaya, ekonomi,
estetika/arsitektural. Khusus untuk RTH dengan fungsi sosial seperti
tempat istirahat, sarana olahraga dan atau area bermain, RTH ini harus
memiliki aksesibilitas yang baik untuk semua orang, termasuk aksesibilitas
bagi penyandang cacat.

3. Berdasarkan Luas Wilayah


Berdasarkan luas wilayah, kebutuhan RTH secara eksisting (t+0, mulai
tahun 2017) di kawasan perkotaan di Kabupaten Morowali Utara minimal
seluas 412,70 ha yang terdiri dari: Seluas 275,13 ha untuk RTH publik, dan
seluas 137,57 ha untuk RTH privat. Selanjutnya kebutuhan lahan
permukiman perkotaan dan RTH minimal 30% mulai tahun kelima hingga
tahun kesepuluh (t+5; t+10) yang diproyeksi berdasarkan tingkat
pertumbuhan penduduk Kabupaten Morowali Utara disajikan pada Tabel.4
berikut.

Tabel 4. Proyeksi Kebutuhan Lahan Permukiman dan RTH Perkotaan Untuk 10


Tahun Pada Setiap Ibu Kota Kecamatan Di Kabupaten Morowali Utara

T+0 s.d. T+4 T+5 s.d. T+9 T+10


RTH Minimal RTH Minimal RTH Minimal
Luas Luas Luas
No Ibu Kota 30% (ha) 30% (ha) 30% (ha)
Kecamatan Permu- Permu- Permu-
. Kecamatan RTH RTH RTH RTH RTH RTH
kiman kiman kiman
publik privat publik privat publik privat
(ha) (ha) (ha)
≥ 20% ≥ 10% ≥ 20% ≥ 10% ≥ 20% ≥ 10%
Tomata-
1 Mori Atas 148,64 29,73 14,86 166,62 33,32 16,66 186,79 37,36 18,68
Pambarea
2 Mori Utara Mayumba 102,48 20,50 10,25 114,88 22,98 11,49 128,78 25,76 12,88
3 Lembo Beteleme 227,90 45,58 22,79 255,48 51,10 25,55 286,39 57,28 28,64
4 Lembo Raya Petumbea 93,82 18,76 9,38 105,17 21,03 10,52 117,90 23,58 11,79
Petasia
5 Bungintimbe 75,10 15,02 7,51 84,19 16,84 8,42 94,37 18,87 9,44
Timur
6 Petasia Barat Tiu 60,26 12,05 6,03 67,55 13,51 6,76 75,72 15,14 7,57
Kolonodale-
7 Petasia Bahontula- 314,34 62,87 31,43 352,37 70,47 35,24 395,01 79,00 39,50
Bahoue
Lembah
8 Soyo Jaya 89,27 17,85 8,93 100,07 20,01 10,01 112,18 22,44 11,22
Sumara
Bungku
9 Baturube 109,99 22,00 11,00 123,30 24,66 12,33 138,22 27,64 13,82
Utara
10 Mamosalata Tanasumpu 153,87 30,77 15,39 172,49 34,50 17,25 193,36 38,67 19,34
1.375,6 137,5 1.542,1 308,4 1.728,7 172,8
Jumlah 275,13 154,21 345,74
7 7 2 2 1 7

Dari Tabel 4, lahan RTH pada ibu kota kecamatan dan ibu kota kabupaten
dalam lima tahun ke depan minimal dibutuhkan areal seluas 308,42 ha
untuk RTH publik dan seluas 154,21 ha untuk RTH privat, dan untuk
sepuluh tahun ke depan minimal dibutuhkan areal seluas 345,74 ha untuk
RTH publik dan seluas 172,87 ha untuk RTH privat. Khusus di ibu kota
kabupaten yaitu Kecamatan Petasia (Kelurahan Kolonodale-Bahontula-
Bahoue) dalam sepuluh tahun kedepan dibutuhkan minimal seluas 79 ha
untuk RTH publik, dan seluas 39,50 ha untuk RTH privat.
Sedangkan lahan RTH pada sembilan kecamatan lainnya, untuk RTH publik
minimal seluas 15,14 – 57,28 ha, dan RTH privat minimal seluas 7,57 –
28,64 ha.
4. Berdasarkan Jumlah Penduduk
Berdasarkan jumlah penduduk, kebutuhan lahan RTH di ibu kota
kecamatan/kabupaten di wilayah Kabupaten Morowali Utara disajikan pada
Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Proyeksi Jumlah Penduduk dan Kebutuhan Minimal Luas RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dalam 10 Tahun
Di Setiap Ibu Kota Kecamatan Di Kabupaten Morowali Utara
Proyeksi
Penduduk Ibu Jumlah
Penduduk
Kota Penduduk Ibu Kebutuhan RTH Dalam 10 Tahun Ke depan
Kecamatan
Kecamatan Kota Untuk Luas Minimal atau Per kapita (m2)
(Jiwa)
Kecamata Ibu Kota (Jiwa) Kecamatan
No.
n Kecamatan (Jiwa)
Pema
Thn Thn Tama Taman Tama Fungsi
Tama Taman - Hutan Jumla
2017 t+10 2017 % t+5 t+10 n Kecamat n Terten
n RT RW kama Kota h
(t+0) (t+0) Lurah an Kota tu
n
Tomata- 18,1
1 Mori Atas 11.601 14.578 2.104 2.427 2.644 2.644 - - 2.916 3.173 793 10.576 33.049 53.151
Pambarea 4
26,4
2 Mori Utara Mayumba 7.404 9.304 1.958 2.195 2.460 2.460 - - 1.861 2.953 738 9.842 30.756 48.610
5
31,7 117.31
3 Lembo Beteleme 14.590 18.334 4.638 5.199 5.828 5.828 2.914 - 3.667 6.994 1.748 23.313 72.853
9 8
Lembo 16,0
4 Petumbea 8.078 10.151 1.297 1.454 1.630 1.630 815 - 2.030 1.956 489 6.519 20.373 33.812
Raya 6
Petasia Bungintimb 15,5
5 14.956 18.794 2.322 2.603 2.918 2.918 - - 3.759 3.501 875 11.672 36.474 59.199
Timur e 3
Petasia 16,6
6 Tiu 8.085 10.160 1.347 1.510 1.693 1.693 - - 2.032 2.031 508 6.771 21.159 34.193
Barat 6
Kolonodale
- 60,1 12.12 13.59 13.59 16.31 54.37 169.91 266.8
7 Petasia 17.982 22.597 10.817 - 4.078 4.519 4.078
Bahontula- 5 6 3 3 2 2 3 65
Bahoue
Lembah
8 Soyo Jaya 9.737 13.271 665 6,83 745 836 836 - - 2.654 1.003 251 3.343 10.446 18.532
Sumara
Bungku 10,2
9 Baturube 16.146 20.290 1.647 1.846 2.070 2.070 - - 4.058 2.484 621 8.279 25.871 43.382
Utara 0
Mamosalat 15,1
10 Tanasumpu 11.743 14.757 1.773 1.988 2.228 2.228 1.114 - 2.951 2.674 668 8.912 27.850 46.398
a 0
120.32 152.23 23,7 32.09 35.90 35.90 43.07 10.77 143.5 448.74 721.4
Jumlah 28.568 4.843 4.078 30.447
2 6 4 3 0 0 9 0 98 4 59
Keterangan: Khusus untuk luas minimal RTH Taman Kecamatan dihitung dari seluruh penduduk desa/kelurahan dalam kecamatan dalam 10 tahun ke depan.

Pada Tabel 5 tampak bahwa kebutuhan luas minimal RTH pada 10 ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali
Utara dalam 10 tahun kedepan seluruhnya mencapai luas 721.459 m 2 atau setara dengan luas 72,15 ha.
Selanjutnya penempatan RTH Taman RT di tengah lingkungan RT; Taman RW di pusat kegiatan RW; Taman
Kelurahan dikelompokan dengan sekolah/pusat kelurahan; Taman Kecamatan dikelompokan dengan
sekolah/pusat kecamatan; Pemakaman tersebar; Taman kota di pusat wilayah kota; Hutan kota di
dalam/kawasan pinggiran; dan untuk fungsi tertentu disesuaikan dengan kebutuhan seperti sempadan pantai,
sempadan sungai, sumber mata air, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, hutan mangrove/bakau, dsb.
Pada uraian berikut disajikan kondisi eksisting lahan untuk fungsi tertentu yang dapat diarahkan menjadi RTH
fungsi tertentu pada setiap desa/kelurahan ibu kota kecamatan/kabupaten.

5. Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu


Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya
melindungi kelestarian sumberdaya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan
lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini yang terdapat di kawasan perkotaan Kabupaten
Morowali Utara meliputi: RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan
pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.
Adapun hasil analisis ketersediaan lahan untuk penyediaan RTH fungsi terentu di ibu kota
kecamatan/kabupaten di wilayah Kabupaten Morowali Utara disajikan pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Ketersediaan Lahan Untuk Penyediaan RTH Fungsi Tertentu Di Setiap Ibu Kota Kecamatan Di Wilayah
Kabupaten Morowali Utara

Ibu Kota Sempadan Sumber air baku/mata air


No. Kecamatan Sempadan Sungai Hutan Mangrove
Kecamatan Pantai Sungai Danau/Waduk Mata Air
Tomata-
1 Mori Atas SS. Laa = 8.737,31 m - - S. Laa - -
Pambarea
SS. Laa – Mayumba = S.
2 Mori Utara Mayumba - - - -
4.079,26 m Mayumba
3 Lembo Beteleme SS. Laa = 9.928,29 m - - S. Laa - -
SS. Tambalako = 8.795,92 S.
4 Lembo Raya Petumbea - - - -
m Tambalako
Mangrove 1 =
115,14 ha
SS. Tambalako 1 =
Mangrove 2 =
Petasia 13.047,14 m SP = 4.221,77 S.
5 Bungintimbe 122,79 ha - -
Timur SS. Tambalako 2 = m Tambalako
Mangrove 3 = 24,74
3.539,26 m
ha
Mangrove 4 = 15,83
ha
Petasia CAT
6 Tiu SS. Laa = 5.312,19 m - - S. Laa Danau Tiu
Barat Tomori
SS. Bahontula = 1.941,30 SP 1 = 125,36
m; m S.
Kolonodale-
SS. Kolonodale = 1.185,45 SP 2 = 384,69 Kolonodale-
7 Petasia Bahontula- Mangrove = 4,85 ha - -
m m S.
Bahoue
SS. Bahoue = 2.775,39 m SP 3 = 0,31 ha Bahontula
SS. Bahoue 1 = 484,11 m SP 4 = 0,68 ha.
S. Sumara-
SS. Tambayoli = 4.039,75
8 Soyo Jaya Lembah Sumara - - S. - -
m
Tambayoli
SP 1 = 1.054,03
Bungku SS. Tirongan = 648,65 m; m CAT
9 Baturube - S. Tirongan -
Utara SS. Baturube = 741,24 m. SP 2 = 1.728,45 Morowali
m
SP 1 = 923,99 Mangrove 1 = 20,47
SS. Tanasumpu = 5.563,31 m ha S.
10 Mamosalata Tanasumpu - -
m SP 2 = 1.627,64 Mangrove 2 = 69,09 Tanasumpu
m ha

Keterangan: SS = Sempadan Sungai; SP = Sempadan Pantai; CAT = Cekungan Air Tanah.


Pada Tabel 6 tampak lokasi-lokasi sasaran kawasan perlindungan
setempat yang dapat diarahkan menjadi RTH fungsi-fungsi tertentu di
setiap ibu kota kecamatan Kabupaten Morowali Utara terdiri atas:
Sempadan sungai, hutan mangrove, sempadan pantai, dan sumber air
baku/mata air. Berikut ini diuraikan lokasi sasaran kawasan
perlindungan setempa di masing-masing wilayah desa/kelurahan ibu
kota kecamatan:
 Sempadan pantai terdapat pada empat wilayah ibu kota
kecamatan/kabupaten yaitu: Kecamatan Petasia (Kolonodale,
Bahontula, Bahoue), Kecamatan Mamosalato (Tanasumpu), Bungku
Utara (Baturube) dan Petasia Timur (Bungintimbe).
 Sempadan sungai terdapat di seluruh wilayah ibu kota
kecamatan/kabupaten.
 Hutan mangrove terdapat di tiga ibu kecamatan/kabupaten yaitu:
Bungintimbe Kecamatan Petasia Timur; Bahoue Kecamatan Petasia,
dan Tanasumpu Kecamatan Mamosalato.
 Sungai-sungai sebagai sumber air baku terdapat di seluruh ibu kota
kecamatan/ kabupaten.
 Danau/waduk sebagai sumber air baku terdapat di ibu kota
Kecamatan Petasia Barat yaitu Danau Tiu.
 CAT (Cekungan Air Tanah) sebagai air tanah potensial untuk sumber
air baku terdapat di ibu kota Kecamatan Petasia Barat (Tiu) yaitu
CAT Tomori, dan ibu kota Kecamatan Bungku Utara (Baturube)
yaitu CAT Morowali.

B. Arahan Jenis Vegetasi RTH Perkotaan

a. Jenis Vegetasi Untuk RTH Pada Bangunan/Perumahan


Kriteria jenis vegetasi untuk RTH pekarangan rumah dan halaman
perkantoran, pertokoan dan tempat usaha sebagai berikut:
a) Memiliki nilai estetika yang menonjol.
b) Sistem perakaran masuk ke dalam tanah, tidak merusak
konstruksi dan bangunan.
c) Tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah,
perakaran tidak mengganggu pondasi.
d) Ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi
warna lain seimbang.
e) Jenis tanaman tahunan atau musiman.
f) Tahan terhadap hama penyakit tanaman.
g) Mampu menjerap dan menyerap cemaran udara.
h) Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang
kehadiran burung.
35
Tabel 7. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH Pada
Bangunan/Perumahan

Nama Keterangan
No. Nama Ilmiah (Latin)
Indonesia/Daerah
I. Pohon
1 Tanjung Mimusops elengi
2 Bunga Kupu-kupu Bauhinia purpurea Berbunga
3 Bunga Kupu-kupu ungu Bauhinia blakeana Berbunga
4 Beringin Ficus benjamina
5 Cemara laut Casuarina equisetifolia
6 Bungur Lagerstromia speciosa Berbunga
7 Kiara payung Filicium decipiens
8 Salam Syzygium polyanntum
Caesalpinia Berbunga
9 Kembang merak
pulcherrima
10 Loa Ficus glaberrima
11 Kiara Ficus spp.
II. Perdu/semak
1 Puring Codiaeum varigatum Daun berwarna
2 Lili pita Ophiopogon jaburan
3 Pedang-pedangan Sansiviera spp
4 Soka jepang Ixora spp
5 Canna Canna variegata
Catatan : Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH pekarangan rumah,
serta halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha.

Selanjutnya kriteria vegetasi untuk RTH untuk taman atap bangunan


dan tanaman dalam pot sebagai berikut:
a) Tanaman tidak berakar dalam sehingga mampu tumbuh baik
dalam pot atau bak tanaman.
b) Relatif tahan terhadap kekurangan air.
c) Perakaran dan pertumbuhan batang yang tidak mengganggu
struktur bangunan.
d) Tahan dan tumbuh baik pada temperatur lingkungan yang tinggi.
e) Mudah dalam pemeliharaan.

Tabel 8. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH Pada Atap Bangunan dan
Tanaman Dalam Pot

No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin) Keterangan


I. Perdu/Semak
1 Kembang merak Caesalphinia pulcherima Berbunga
2 Puring Codiaeum varigatum Daun berwarna
3 Alamanda Alamanda cartatica Merambat berbunga
4 Akalipa merah Acalypha wilkesiana Daun berwarna
5 Nusa indah merah Musaenda erytthrophylla Berbunga
6 Daun mangkokan Notophanax scutelarium Berdaun unik
7 Bogenvil merah Bougenvillea glabra Berbunga
8 Azalea Rhododendron indicum Berbunga
9 Soka daun besar Ixora javonica Berbunga
10 Bakung Crinum asiaticum Berbunga
11 Oleander Nerium oleander Berbunga
12 Palem kuning Chrysalidocaus lutescens Daun berwarna
13 Sikas Cycas revolata Bentuk unik
14 Alamanda Aalamanda cartatica Menjalar berbunga
II. Ground Cover
1 Rumput gajah Axonophus compressus Tekstur kasar
2 Lantana ungu Lantana camara Berbunga

36
3 Rumput kawat Cynodon dactylon Tesktur sedang
Catatan: Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH atap bangunan dan
tanaman dalam pot.

b. Jenis Vegetasi Untuk RTH Lingkungan/Permukiman


Kriteria jenis vegetasi untuk taman lingkungan/permukiman
sebagai berikut:
a) Tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah,
perakaran tidak mengganggu pondasi.
b) Tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap.
c) Ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi
warna lain seimbang.
d) Perawakan dan bentuk tajuk cukup indah.
e) Kecepatan tumbuh sedang.
f) Berupa habitat tanaman lokal dan tanaman budidaya.
g) Jenis tanaman tahunan atau musiman.
h) Jarak tanam setengah rapat sehingga menghasilkan keteduhan
yang optimal.
i) Tahan terhadap hama penyakit tanaman.
j) Mampu menjerap dan menyerap cemaran udara.
k) Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang
burung.

Tabel 9. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH Pada Taman Lingkungan/


Permukiman

No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin) Keterangan


1 Bunga Kupu-kupu Bauhinia purpurea Berbunga
2 Kemboja merah Plumeria rubra Berbunga
3 Sikat botol Calistemon lanceolatus Berbunga
4 Kersen Muntingia calabura Berbunga
5 Kendal Cordia sebestena Berbunga
6 Kesumba Bixa orellana Berbunga
7 Jambu batu Psidium guajava Berbuah
8 Bungur sakura Lagerstroemia loudonii Berbunga
9 Bunga saputangan Amherstia nobilis Berbunga
10 Lengkeng Ephorbia longan Berbuah
11 Bunga lampion Brownea ariza Berbunga
12 Bungur Lagerstroemea speciosa Berbunga
13 Tanjung Mimosups elengi Berbunga
14 Kenanga Cananga odorata Berbunga
15 Sawo kecik Manilkara kauki Berbuah
16 Mangium Accacia mangium Berbunga
17 Jambu air Eugenia aquea Berbuah
18 Kenari Canarium commune Berbuah
29 Eboni Diospyros celebica Berbuah/Berbunga
Catatan: Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH lingkungan/permukiman.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.

c. Jenis Vegetasi Untuk RTH Taman dan Hutan Kota


Kriteria jenis vegetasi untuk taman kota sebagai berikut:
a) Tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah,
perakaran tidak mengganggu pondasi.
37
b) Tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap.
c) Ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi
warna lain seimbang.
d) Perawakan dan bentuk tajuk cukup indah.
e) Kecepatan tumbuh sedang.
f) Berupa habitat tanaman lokal dan tanaman budidaya.
g) Jenis tanaman tahunan atau musiman.
h) Jarak tanam setengah rapat sehingga menghasilkan keteduhan
yang optimal.
i) Tahan terhadap hama penyakit tanaman.
j) Mampu menjerap dan menyerap cemaran udara.
k) Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang
burung.
Jenis vegetasi yang diarahkan seperti pada Tabel 9.
Kriteria jenis vegetasi untuk hutan kota sebagai berikut:
a) Memiliki ketinggian yang bervariasi.
b) Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang
kehadiran burung.
c) Tajuk cukup rindang dan kompak.
d) Mampu menjerap dan menyerap cemaran udara.
e) Tahan terhadap hama penyakit.
f) Berumur panjang.
g) Toleran terhadap keterbatasan sinar matahari dan air.
h) Tahan terhadap pencemaran kendaraan bermotor dan industri.
i) Batang dan sistem percabangan kuat.
j) Batang tegak kuat, tidak mudah patah.
k) Sistem perakaran yang kuat dan mampu mencegah terjadinya
longsor.
l) Seresah yang dihasilkan cukup banyak dan tidak bersifat
alelopati, agar tumbuhan lain dapat tumbuh baik sebagai
penutup tanah.
m) Jenis tanaman yang ditanam termasuk golongan evergreen
bukan dari golongan tanaman yang menggugurkan daun
(decidous).
n) Memiliki perakaran yang dalam.

Tabel 10. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH Pada Hutan Kota

Nama Nama Ilmiah Jenis Burung/Potensi


No.
Indonesia/Daerah (Latin)
1 Loa Ficus glaberrima
2 Kiara Ficus spp. Punai (Treron sp)
3 Beringin Ficus benjamina
Betet (Psittacula alexandri),
4 Dadap Erythrina varigata
Srindit (Loriculus pusillus),

38
Jalak (Sturnidae) dan
beberapa jenis burung madu.
Gosampinus Burung ukut-ukut,
5 Dangdeur
heptaphylla Srigunting
6 Aren Arenga pinnata Bahan pembuat sarang
7 Buni Antidesma bunius Buah dapat dimakan
Antidesma -
8 Buni hutan
montanum
Caesalpinia Pengundang serangga
9 Kembang merak
pulcherrima
10 Serut Streblus asper Tahan pangkas
11 Jamlang Syzygium cumini Buah dapat dimakan
Syzygium Bumbu dapur dan obat.
12 Salam
polyanntum
13 Eboni Diospyros celebica Pohon endemik sulawesi
14 Cempaka Michelia champaca
15 Palapi Heriteria javnica
16 Nyatoh/Nantu Palaquium spp.
17 Agatis Agathis spp.
Catatan: Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH pada hutan kota.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.

Kriteria jenis vegetasi untuk RTH sabuk hijau sebagai berikut:


a) Peredam kebisingan; untuk fungsi ini dipilih penanaman
dengan vegetasi berdaun rapat. Pemilihan vegetasi berdaun
rapat berukuran relatif besar dan tebal dapat meredam
kebisingan lebih baik.
b) Ameliorasi iklim mikro; tumbuhan berukuran tinggi dengan
luasan area yang cukup dapat mengurangi efek pemanasan
yang diakibatkan oleh radiasi energi matahari.
c) Penapis cahaya silau; peletakan tanaman yang diatur
sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi dan menyerap
cahaya.
d) Mengatasi penggenangan.

Pada Tabel 10 disajikan beberapa contoh tanaman untuk sabuk


hijau yang tahan terhadap penggenangan air.

Tabel 10. Jenis Vegetasi Tahan Genangan Air Untuk RTH Sabuk Hijau

Lama
No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin) Genangan
(hari)
1 Sungkai/Jati Seberang Peronema canescens
2 Jati Tectona grandis 0-10
3 Dahat Tectona hamiltoniana
4 Salam Eugeniu polyantha
5 Lantana merah/Tembelekan Lantana camara
6 Cendana Santalum album 10-20
7 Suren Toona sureni
8 Gopasa Vitex gofassus
9 Kesumba keeling/Pacar keling Bixa orellana
20-30
10 Kemlandingan Leucaena glauca
11 Kayu Palele Castanopsis javanica
12 Trengguli, Golden Shower Cassia fistula
30-40
Dalingsem, Kayu Batu, Kayu Homalium
13
Kerbau, Gia tomentosum
14 Kedondong Bulan Canarium littoralle
40-50
15 Johar Cassia siamea

39
16 Ampupu Eucalyptus alba
17 Pinus benquet Pinus insularis
18 Pinus/Tusam Pinus merkusii

Lanjutan Tabel 10.

Lama
No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin) Genangan
(hari)
19 Wedang Pterocarpus javanicus
20 Angsana Pterocarpus indicus
21 Laban/Biti Vitex pubescens
22 Weru, Kihiyang Albizia procera 50-60
23 Sonokeling Dalbergia sisso
Paraserianthes
24 Senon, Sengon Laut, Jeungjing
falcataria
25 Kosambi Schleichera oleosa
26 Tekik Albizzia lebbeck
27 Kopi Coffea spp. 60-70
28 Meranti tembaga Shorea leprosula
29 Sonokembang Dalbergia latifolia
30 Meranti merah Shorea ovalis
Swietenia 70-80
31 Mahoni macrophylla dan S.
mahagoni
Casuarina 90-100
32 Cemara laut
equisetifolia
33 Ipi/Bayam Intsia bijuga
100-200
34 Trembesi/Kihujan Samanea saman
Sumber : Soerianagara dan Indrawan (1988).
Catatan :Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH pada sabuk hijau.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.

e) Penahan angin; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi


sebagai penahan angin perlu diperhitungkan beberapa faktor
yang meliputi panjang jalur, lebar jalur.
f) Mengatasi intrusi air laut; tanaman yang dipilih adalah yang
daya evapotranspirasinya rendah. Pada daerah payau dapat
dipilih pohon Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Asam Landi
(Pichecolobium dulce).
g) Penyerap dan penepis bau; jalur pepohonan yang rapat dan
tinggi dapat melokalisir bau dan menyerap bau. Beberapa
spesies tanaman seperti Cempaka (Michelia champaca),
Kenanga (Cananga odorata), dan Tanjung (Mimosups elengi)
adalah tanaman yang dapat mengeluarkan bau harum.
h) Mengamankan pantai dan membentuk daratan; sabuk hijau ini
dapat berupa formasi hutan mangrove, yang telah terbukti
dapat meredam ombak dan membantu proses pengendapan
lumpur di pantai.
i) Mengatasi penggurunan; sabuk hijau berupa jalur pepohonan
yang tinggi lebar dan panjang, yang terletak di bagian yang

40
mengarah ke hembusan angin, dapat melindungi daerah dari
hembusan angin yang membawa serta pasir.
Pola tanam sabuk hijau sebagai penahan angin sebagai berikut:
a) Sabuk hijau membentuk jalur hijau cembung ke arah
datangnya angin, akan menjadikan angin laminar dan
mencegah terbentuknya angina turbulen.
b) Sabuk hijau seyogyanya ditempatkan tepat pada arah
datangnya angin dan objek yang dilindungi harus berada di
bagian belakangnya.
c) Sabuk hijau yang dibangun harus cukup panjang agar dapat
melindungi objek dengan baik.
d) Sabuk hijau yang dibangun harus cukup tebal. Sabuk hijau
yang terlalu tipis kurang dapat melindungi karena masih dapat
diterobos angina.
e) Tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman yang cukup
tinggi, dengan dahan yang kuat namun cukup lentur.
f) Memiliki kerapatan daun berkisar antara 70–85%. Kerapatan
yang kurang, tidak dapat berfungsi sebagai penahan angin.
Sebaliknya kerapatan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan
terbentuknya angin turbulen.
g) Tanaman harus terdiri dari beberapa strata yaitu tanaman
tinggi sedang dan rendah, sehingga mampu menutup secara
baik.

d. Jenis Vegetasi Untuk RTH Jalur Hijau Jalan


Kriteria jenis vegetasi untuk taman jalur hijau jalan (taman pulau
jalan dan median jalan, serta RTH jalur pejalan kaki) sebagai
berikut:
1) Aspek silvikultur:
a) Berasal dari biji terseleksi sehat dan bebas penyakit.
b) Memiliki pertumbuhan sempurna baik batang maupun
akar.
c) Perbandingan bagian pucuk dan akar seimbang.
d) Batang tegak dan keras pada bagian pangkal.
e) Tajuk simetris dan padat.
f) Sistim perakaran padat.
2) Sifat biologi:
a) Tumbuh baik pada tanah padat.
b) Sistem perakaran masuk kedalam tanah, tidak merusak
konstruksi dan bangunan.
c) Fase anakan tumbuh cepat, tetapi tumbuh lambat pada fase
dewasa.
d) Ukuran dewasa sesuai ruang yang tersedia.
41
e) Batang dan sistem percabangan kuat.
f) Batang tegak kuat, tidak mudah patah dan tidak berbanir.
g) Perawakan dan bentuk tajuk cukup indah.
h) Tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap.
i) Ukuran dan bentuk tajuk seimbang dengan tinggi pohon.
j) Daun sebaiknya berukuran sempit (nanofill).
k) Tidak menggugurkan daun.
l) Daun tidak mudah rontok karena terpaan angin kencang.
m) Saat berbunga/berbuah tidak mengotori jalan.
n) Buah berukuran kecil dan tidak bisa dimakan oleh manusia
secara langsung.
o) Sebaiknya tidak berduri atau beracun.
p) Mudah sembuh bila mengalami luka akibat benturan dan
akibat lain.
q) Tahan terhadap hama penyakit.
r) Tahan terhadap pencemaran kendaraan bermotor dan
industri.
s) Mampu menjerap dan menyerap cemaran udara.
t) Sedapat mungkin mempunyai nilai ekonomi.
u) Berumur panjang.

Tabel 11. Arahan Jenis Vegetasi Untuk Peneduh Jalan dan Jalur Pejalan
Kaki

Tinggi Jarak
No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin)
(m) Tanam (m)
I Pohon
1 Bunga Kupu-kupu Bauhinia purpurea 8 12
2 Bunga Kupu-kupu ungu Bauhinia blakeana 8 12
3 Trengguli Cassia fistula 15 12
4 Kayu manis Cinnamommum iners 12 12
5 Tanjung Mimosups elengi 15 12
6 Salam Euginia polyantha 12 6
7 Melinjo Gnetum gnemon 15 6
Lagerstroemia 18 12
8 Sejenis Bungur
floribunda
9 Cempaka Michelia champaca 18 12
10 Tanjung Mimosups elengi 12 12
II Perdu/Semak/Groundcover
1 Canna Canna variegata 0,6 0,2
2 Soka jepang Ixora spp. 0,3 0,2
3 Puring Codiaeum varigatum 0,7 0,3
4 Pedang-pedangan Sansiviera spp 0,5 0,2
5 Lili pita Ophiopogon jaburan 0,3 0,15
Catatan : Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH jalur hijau jalan.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.

e. Jenis Vegetasi Untuk RTH Fungsi Tertentu

a. Kriteria Jenis Vegetasi untuk Jalur Hijau Jaringan Listrik


Tegangan Tinggi.

42
Kriteria jenis vegetasi dan pola tanam untuk RTH jalur hijau
jaringan listrik tegangan tinggi sebagai berikut:
a) Jenis tanaman yang memiliki dahan yang kuat, tidak
mudah patah, dan perakaran tidak mengganggu pondasi.
b) Akarnya menghujam masuk ke dalam tanah. Jenis ini lebih
tahan terhadap hembusan angin yang besar daripada
tanaman yang akarnya bertebaran hanya di sekitar
permukaan tanah.
c) Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan
kecepatan sedang.
d) Bukan merupakan pohon yang memiliki bentuk tajuk
melebar.
e) Merupakan pohon dengan katagori kecil (small tree).
f) Fase anakan tumbuh cepat, tetapi tumbuh lambat pada fase
dewasa.
g) Ukuran dewasa sesuai ruang yang tersedia.
h) Pola penanaman pemilihan vegetasi memperhatikan
ketinggian yang diizinkan.
i) Buah tidak bisa dikonsumsi langsung oleh manusia.
j) Memiliki kerapatan yang cukup (50-60%).
k) Pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam
harus sesuai gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi
pekerjaan.
Pemilihan jenis dan ketinggian vegetasi dimaksudkan agar
penanaman vegetasi pada RTH jalur SUTT maupun SUTET,
tidak menimbulkan gangguan terhadap jaringan listrik serta
menghindari bahaya terhadap penduduk di sekitarnya. Lokasi
penanaman harus memperhatikan jarak bebas minimum yang
diizinkan.

Tabel 12. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH SUTT dan SUTET

Nama Diameter Batang


No. Nama Ilmiah (Latin) Perawakan
Indonesia/Daerah (cm)/ Tinggi (m)
Nothopanax scutellarium
1 Mangkokan Semak /5
Merr.
2 Sarai raja Caryota mitis Lour. Pohon sedang 10/5-25
3 Palem kobis Licuala grandis L. Pohon kecil 5/3-4
4 Kesumba Bixa orellana L. Pohon kecil 10/2-8
5 Jarak kosta Jatropha gossypifolia L. Semak /2
6 Bunga kupu-kupu Bauhinia purpurea L. Pohon kecil 10/2-6
Cassia surattensis Burm.
7 Kembang kuning Semak 20/2-6
F.
Caesalpinia pulcherrima
8 Kembang merak (L.) Semak /3-5
Swartz.
Kembang sepatu
9 Malvaviscus arbpreus Cav. Semak /2
kecil
10 Serut Streblus asper Lour. Pohon kecil 10/2-5
43
Muraya paniculata (L.) Pohon kecil 10/2-7
11 Kemuning
Jack.
12 Kecubung gunung Brugmansia candida Pers. Semak /5
Catatan : Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH SUTT dan SUTET.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.

b. Kriteria Jenis Vegetasi Untuk RTH Sempadan Sungai

Kriteria jenis vegetasi untuk RTH sempadan sungai sebagai


berikut:
a) Sistem perakaran yang kuat, sehingga mampu menahan
pergeseran tanah.
b) Tumbuh baik pada tanah padat.
c) Sistem perakaran masuk kedalam tanah, tidak merusak
konstruksi dan bangunan.
d) Kecepatan tumbuh bervariasi.
e) Tahan terhadap hama dan penyakit tanaman.
f) Jarak tanam setengah rapat sampai rapat 90% dari luas
area, harus dihijaukan.
g) Tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap.
h) Berupa tanaman lokal dan tanaman budidaya.
i) Dominasi tanaman tahunan.
j) Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang
burung.
Pada Tabel 13 berikut sebagai alternatif jenis vegetasi yang
dapat digunakan pada RTH sempadan sungai, namun karena
adanya perbedaan biogeofisik maka pemilihan vegetasi untuk
RTH sempadan sungai disesuaikan dengan potensi dan
kesesuaian lahan pada daerah masing-masing.

Tabel 13. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH Sempadan Sungai

No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin)


1 Bungur Lagerstromia speciosa
2 Puspa Schima wallichii
3 Matoa Pometia pinnata
4 Kenanga Canangium adoratum
5 Kiseriuem Eugenia cymosa
6 Manglid Michelia velutina
7 Flamboyan Delonix regia
8 Eboni Diospyros celebica
9 Agatis Agathis spp.
10 Jening Pithecolobium lobatum
11 Lamtorogung Leucaena lecocephala
12 Tanjung Mimusops elengi
13 Trembesi Samanea saman
14 Beringin Ficus benjamina
15 Kepuh Sterculia foetida
16 Bintangur/Nyamplung Callophylum inophyllum
17 Leda Eucalyptus deglupta
18 Johar Cassia siamea
19 Bayam/Ipi/Merbau Intsia bijuga
20 Blabag Terminalia citrina
21 Pala hutan Myristica fatua

44
22 Jabon merah Antocephalus macrophyllus
23 Angsana Pterocarpus indicus
24 Palem raja Oerodoxa regia
25 Asam Tamarindus indica
26 Sawo kecik Manilkara kauki
27 Salam Eugenia polyantha
28 Kemiri Aleurites moluccana
29 Ketapang Terminalia catappa
30 Karet Hevea brasiliensis
31 Aren Arenga pinnata
32 Nyatoh/Nantu Palaqium spp.
33 Palapi Heriteira spp.
Bambusa blumeana Bl. ex Schul.
34 Bambu duri
f.
35 Bambu betung Dendrocalamus asper
36 Bambu wuluh Schizotachyum blunei Ness.
Schizotachyum brachycladum
27 Bambu wuluh besar
Kuez.
28 Kayu manis Cinnamomun burmanni
29 Dao/Dahu Dracotamelon dao/D. mangiferum
30 Dadap Erythrina cristagalli
Catatan : Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH Sempadan
sungai. Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim
setempat.
Persyaratan pola tanam vegetasi pada RTH sempadan sungai
sebagai berikut:
a) Jalur hijau tanaman meliputi sempadan sungai selebar
50 m pada kiri-kanan sungai besar dan sungai kecil (anak
sungai).
b) Sampel jalur hijau sungai berupa petak-petak berukuran
20 m x 20 m diambil secara sistematis dengan intensitas
sampling 10% dari panjang sungai.
c) Sebelum di lapangan, penempatan petak sampel
dilakukan secara awalan acak (random start) pada peta.
Sampel jalur hijau sungai berupa jalur memanjang dari
garis sungai ke arah darat dengan lebar 20 m sampai
pohon terjauh.
d) Sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar
dan 50 m di kiri kanan anak sungai yang berada di luar
permukiman.
e) Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan
sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan
inspeksi antara 10-15 m.
f) Jarak maksimal dari pantai adalah 100 m.
g) Pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan
ditanam harus sesuai gambar rencana atau sesuai
petunjuk direksi pekerjaan.

c. Kriteria Jenis Vegetasi Untuk RTH Sempadan Pantai

Kriteria jenis vegetasi untuk RTH sempadan pantai sebagai


berikut:

45
a) Merupakan tanaman lokal yang sudah teruji ketahanan dan
kesesuaiannya tehadap kondisi pantai tersebut.
b) Sistem perakaran yang yang kuat sehingga mampu
mencegah abrasi pantai, tiupan angin dan hempasan
gelombang air pasang.
c) Batang dan sistem percabangan yang kuat.
d) Toleransi terhadap kondisi air payau.
e) Tahan terhadap hama dan penyakit tanaman.
f) Bakau merupakan tanaman yang khas sebagai pelindung
pantai.

d. Kriteria Jenis Vegetasi untuk RTH pada Sumber Air


Baku/Mata Air

Kriteria jenis vegetasi untuk RTH pada sumber air baku/mta air
sebagai berikut:
a) Relatif tahan terhadap penggenangan air.
b) Daya transpirasi rendah.
c) Memliki sistem perakaran yang kuat dan dalam, sehingga
dapat menahan erosi dan meningkatkan infiltasi (resapan)
air.
Vegetasi ideal yang ditanam pada RTH pengaman sumber
air merupakan vegetasi yang tidak mengkonsumsi banyak air
atau yang memiliki daya transpirasi yang rendah. Beberapa
tanaman yang memiliki daya transpirasi yang rendah antara
lain (Manan, 1976 dan Kurniawan, 1993): Cemara Laut
(Casuarina equisetifolia), Karet munding (Ficus elastica),
Manggis (Garcinia mangostana), Bungur (Lagerstroemia
speciosa), Kelapa (Cocos nucifera), Damar (Agathis loranthifolia),
Kiara Payung (Filicium decipiens).

e. Kriteria Jenis Vegetasi Untuk RTH Pemakaman

Kriteria jenis vegetasi untuk RTH pemakaman sebagai berikut:


a) Sistem perakaran masuk kedalam tanah, tidak merusak
konstruksi dan bangunan.
b) Batang tegak kuat, tidak mudah patah dan tidak berbanir.
c) Sedapat mungkin mempunyai nilai ekonomi, atau
menghasilkan buah yang dapat dikonsumsi langsung.
d) Tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap.
e) Tahan terhadap hama penyakit.
f) Berumur panjang.
g) Dapat berupa pohon besar, sedang atau kecil disesuaikan
dengan ketersediaan ruang.

46
h) Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang
burung.

Tabel 14. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH Pemakaman

No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin) Potensi


1 Bougenvil Bougenvilia sp Berbunga
2 Kemboja putih Plumeria alba Berbunga
3 Puring Codiaeum varigatum Daun berwarna
4 Lili pita Ophiopogon jaburan
5 Tanjung Mimusops elengi Berbunga
Pengundang
6 Dadap Erythrina cristagalli
burung
Pengundang
7 Kembang merak Caesalpinia pulcherrima
serangga
Buah dapat
8 Jamblang Syzygium cumin
dimakan
Pengundang
9 Salam Syzygium polyanntum
burung
Catatan : Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH pemakaman.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.

C. Arahan Teknik Penanaman

1. Persiapan Tanah Untuk Media Tanam


Lokasi tanah yang akan dijadikan media tanam harus diolah terlebih
dahulu. Tanah yang baik sebagai media tanam adalah tanah yang
gembur mengandung cukup unsur hara. Untuk menghasilkan media
tanam yang baik maka tanah harus digemburkan dengan
menggunakan cangkul hingga kedalaman pertumbuhan akar dan
ditambahkan pupuk organik/kompos secukupnya. Penanaman dapat
dilakukan setelah tanah dibiarkan selama 3–5 hari.

2. Penanaman
Pada proses penanaman harus diperhatikan hal-hal berikut:
a) Bibit tanaman harus memiliki percabangan dan perakaran yang
sehat.
b) Besarnya diameter lubang tanam sama dengan lingkaran tajuk
terluar tanaman dengan kedalaman setebal bola akar ditambah
10 cm.
c) Masukkan tanah di sekeliling bola akar, kemudian tanah yang
berasal dari bagian bawah, dikembalikan ke bagian bawah lubang
tanam, dan tanah yang berasal dari bagian atas lubang tanam
diurugkan di bagian atas tanaman.
d) Agar pohon yang baru ditanam tidak bergoyang, diperlukan alat
penahan (kayu pemancang/ajir) yang ditancapkan di seputar
pohon, dengan ujung diikat pada batang pohon.
47
e) Tanaman disiram secukupnya.

3. Pemeliharaan Tanaman
a. Pemupukan
Prinsip dasar pemupukan adalah mensuplai hara tambahan yang
dibutuhkan sehingga tanaman tidak kekurangan makanan.
Pupuk yang diberikan pada tanaman dapat berupa pupuk organik
maupun pupuk anorganik (misalnya NPK atau urea). Pupuk yang
digunakan untuk pohon-pohon taman biasanya pupuk majemuk
NPK.

b. Penyiraman
Tujuan penyiraman tanaman, selain untuk menyeimbangkan laju
evapotranspirasi, juga berfungsi melarutkan garam-garam mineral
dan juga sebagai unsur utama pada proses fotosintesis. Waktu
penyiraman pada dasarnya dapat dilakukan kapan saja saat
dibutuhkan. Waktu penyiraman yang terbaik adalah pada pagi
atau sore hari. Penyiraman siang hari hendaknya dilakukan
langsung pada permukaan tanah, tidak pada permukaan daun
tanaman. Untuk daerah dengan kelembaban tinggi penyiraman
pada pagi hari lebih baik daripada sore hari, dalam upaya
menghindari penyakit yang disebabkan oleh cendawan.
Penetrasi air siraman sedalam 15-20 cm ke dalam tanah, dapat
menjadi indikasi bahwa siraman air sudah dinyatakan cukup.

c. Pemangkasan
Tujuan pemangkasan tanaman adalah untuk mengontrol
pertumbuhan tanaman sesuai yang diinginkan serta menjaga
keamanan dan kesehatan tanaman. Waktu pemangkasan yang
tepat adalah setelah masa pertumbuhan generatif tanaman
(setelah selesai masa pembungaan) dan sebelum pemberian
pupuk.
Pemangkasan tanaman dapat dilakukan dengan tujuan:
1) Pemangkasan untuk kesehatan pohon:
Pemangkasan untuk tujuan ini dilakukan pada cabang, dahan
dan ranting yang retak, patah, mati atau berpenyakit.
2) Pemangkasan untuk keamanan penggunaan taman:
 Pemangkasan dengan tujuan ini dilakukan pada cabang,
dahan dan ranting, yang dapat mengancam keamanan
pengguna taman.
 Di daerah pejalan kaki diperlukan ruang yang bebas dari
juntaian ranting dan dahan pohon sekitar 2,5 m dari
permukaan tanah.
 Batang atau dahan yang menyentuh kabel telepon dan listrik
perlu dipangkas, kerena disamping dapat mengakibatkan

48
korsleting/ kebakaran, juga gesekan yang intensif dapat
mengganggu kesehatan pohon.
3) Pemangkasan untuk keamanan pengguna jalan:
 Pemangkasan dengan tujuan ini dilakukan pada cabang,
dahan dan ranting, yang dapat menghalangi pandangan
pengguna jalan.
 Untuk jalan yang dilalui kendaraan pada daerah
permukiman diperlukan ruang terbebas dari juntaian ranting
dan dahan pohon sekitar minimal 3,5 m dari permukaan
tanah.
 Untuk jalan umum yang dilalui kendaraan diperlukan ruang
terbebas dari juntaian ranting dan dahan pohon sekitar 4,5-5
m dari permukaan tanah.
4) Pemangkasan untuk tujuan estetis:
Pemangkasan dengan tujuan ini adalah untuk menghasilkan
penampilan tanaman lebih baik atau lebih indah. Dengan
memperhatikan jenis dan kerapatan daun, maka pemangkasan
dapat menghasilkan tanaman dengan bentuk-bentuk tajuk
spiral, silindris, kubus, bulat, piramida, dan lain sebagainya.

4. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman


Hama tanaman dapat disebabkan oleh hewan, baik berupa serangga,
molusca maupun hewan lainnya seperti burung, kambing, kelinci dan
sebagainya. Sedangkan penyakit tanaman disebabkan oleh jamur,
bakteri, virus, nematode dan penyakit fisiologis.
a. Gejala Serangan
Gejala serangan hama pada umumnya langsung dapat terlihat
dari kerusakan bagian tanaman, seperti bentuk daun, bunga
maupun buah yang tidak sempurna. Dapat juga terjadi bagian
tanaman yang terkikis, berlubang, berubah warna dan
penampilan tidak menarik. Secara kasat mata seringkali terlihat
populasi binatang berupa larva, ulat, maupun imagonya.
Gejala serangan penyakit terlihat adanya akar, layu, bercak daun,
karat, mozaik dan sebagainya. Beberapa diantaranya tidak terlihat
dengan mata telanjang sehingga perlu di teliti di laboratorium.
b. Cara Pengendalian
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dapat dilakukan
dengan cara karantina, mekanis, fisik, teknik budidaya, biologi
dan kimiawi.

D. Arahan Pemanfaatan RTH

1. Pemanfaatan RTH Pada Lahan Terbangun

49
RTH pada lahan terbangun di kawasan perkotaan meliputi RTH
hunian (perumahan) dan RTH non-hunian (perkantoran, pertokoan
dan tempat usaha berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka).
Kedua jenis RTH ini termasuk dalam kelompok RTH privat.
RTH hunian dikenal sebagai RTH pekarangan pada perumahan,
sedangkan RTH non-hunian dikenal sebagai RTH halaman pada
bangunan perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha.
RTH pada bangunan/perumahan berfungsi sebagai penghasil O 2,
peredam kebisingan, dan penambah estetika suatu bangunan
sehingga tampak asri, serta memberikan keseimbangan dan
keserasian antara bangunan dan lingkungan. Selain fungsi tersebut,
RTH dapat dioptimalkan melalui pemanfaatan sebagai berikut:

RTH Pekarangan
Dalam rangka mengoptimalkan lahan pekarangan, maka RTH
pekarangan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan atau kebutuhan
lainnya. RTH pada rumah dengan pekarangan luas dapat
dimanfaatkan sebagai tempat utilitas tertentu (sumur resapan) dan
dapat juga dipakai untuk tempat menanam tanaman hias dan
tanaman produktif (yang dapat menghasilkan buah-buahan, sayur,
dan bunga).
Untuk rumah dengan RTH pada lahan pekarangan yang tidak terlalu
luas atau sempit, RTH dapat dimanfaatkan pula untuk menanam
tanaman obat keluarga/apotik hidup, dan tanaman pot sehingga
dapat menambah nilai estetika sebuah rumah. Untuk efisiensi ruang,
tanaman pot dimaksud dapat diatur dalam susunan/bentuk vertikal.

RTH Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha


RTH pada halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha, selain
tempat utilitas tertentu, dapat dimanfaatkan pula sebagai area parkir
terbuka, carport, dan tempat untuk menyelenggarakan berbagai
aktivitas di luar ruangan seperti upacara, bazar, olah raga, dan lain-
lain.
Dalam 10 tahun ke depan di kawasan perkotaan Kabupaten Morowali
Utara, direncanakan proporsi alokasi ruang hunian sebesar 40% dan
alokasi ruang non-hunian sebesar 20% sehingga seluruhnya
mencapai luas 60% dari luas kawasan perkotaan. Selanjutnya alokasi
ruang untuk hunian dan untuk non-hunian masing-masing dengan
koefisien dasar bangunan (KDB) sebesar 80% dan 90%. Dengan
demikian, alokasi ruang RTH masing-masing sebesar 8% dan 2%
sehingga seluruhnya minimal mencapai 10% sebagai RTH privat.

a. RTH Hunian (Pekarangan Perumahan)

50
RTH hunian berada pada lokasi perumahan penduduk yang dikenal
sebagai RTH pekarangan.
Berdasarkan klasifikasinya, terdiri atas: RTH pekarangan rumah
besar (luas lahan perumahan >500 m2); RTH pekarangan rumah
sedang (luas lahan perumahan 200-500 m2); dan RTH pekarangan
rumah kecil (luas lahan perumahan <200 m2). Meskipun demikian,
untuk Kabupaten Morowali Utara berdasarkan data BPS Kabupaten
Morowali tahun 2017 klasifikasi luas bangunan rumah terdiri atas:
<20 m2; 20-49 m2; 50 – 99 m2; 100 -149 m2 dan >150 m2. Dari hasil
analisis tersebut, luas bangunan rumah penduduk terbanyak berada
pada kelas rumah kecil (<150 m2) sebanyak 97,46% dan rumah
sedang-besar (≥150 m2) sebanyak 2,54%. Adapun kebutuhan arahan
pemanfaatan RTH pekarangan disajikan pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15. Arahan Pemanfaatan RTH Pekarangan


Jumlah Rumah Tangga Proyeksi Luas RTH 10
(RT) tahun ke depan (m2)
No. Kecamatan Kota Kecamatan
Luas Lahan Luas Lahan
t+0 t+5 t+10
≤150 m2 >150 m2
1 Mori Atas Tomata-Pambarea 552 619 694 4.629,58 211,43
2 Mori Utara Mayumba 170 191 214 1.425,78 65,11
3 Lembo Beteleme 1.162 1.303 1.460 9.745,60 445,07
4 Lembo Raya Petumbea 354 397 445 2.968,97 135,59
Petasia
5 Bungintimbe 531 595 667 203,38
Timur 4.453,45
Petasia
6 Tiu 294 330 369 112,61
Barat 2.465,75
Kolonodale-
7 Petasia 2.336 2.619 2.935 19.591,84 894,74
Bahontula-Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara 157 176 197 1.316,75 60,13
Bungku
9 Baturube 429 481 539 164,32
Utara 3.597,99
10 Mamosalata Tanasumpu 387 434 486 3.245,74 148,23
Jumlah 6.372 7.143 8.007 53.441,44 2.440,62

Pada tabel 15 tampak bahwa arahan pemanfaatan RTH pekarangan


sesuai proyeksi kebutuhan alokasi RTH pekarangan 10 tahun ke
depan yang didasarkan hasil proyeksi pertumbuhan penduduk,
hanya terdapat dua kelas yaitu kelas RTH pekarangan rumah kecil,
dan kelas RTH pekarangan rumah sedang-besar. Adapun arahan
pemanfaatan RTH pekarangan tersebut diuraikan sebagai berikut:
a) Pekarangan Rumah Sedang - Besar
Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2-3
pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta
penutup tanah dan atau rumput.
b) Pekarangan Rumah Kecil
Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu)
pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta
penutup tanah dan atau rumput.

51
Pada Tabel 15, tidak semua rumah penduduk memiliki luas
pekarangan yang sama luasanya, bahkan ada yang sempit
pekarangannya. Untuk luas halaman dengan jalan lingkungan
yang sempit, dimungkinkan mewujudkan RTH melalui
penanaman menggunakan pot atau media tanam lainnya.

b. RTH Non-Hunian (Halaman Bangunan)


RTH non-hunian terdiri atas halaman perkantoran, pertokoan dan
tempat usaha berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka. Jenis
bangunan perkantoran seperti Gedung DPRD, Kantor Bupati, Kantor
OPD, Kantor Camat, Kantor/Balai Desa/Kelurahan, Rumah Sakit,
Puskesmas, Bank, dan perkantoran lainnya. Jenis bangunan
pertokoan seperti supermarket, minimarket, pasar, dan sejenisnya.
Jenis tempat usaha seperti hotel/motel/penginapan, restoran, dan
sejenisnya. Adapun rencana pemanfaatan RTH halam bangunan
perkantoran, pertokoan dan tempat usaha disajikan pada Tabel 16
berikut.

Tabel 16. Arahan Pemanfaatan RTH Halaman Bangunan

Luas Bangunan Eksisting (m2) Luas RTH (m2)


No. Kecamatan Kota Kecamatan Perkan- Perto- Tempat T+0
Jumlah T+5 T+10
toran Koan Usaha (2017)
1 Mori Atas Tomata-Pambarea 24.159 7.860 1.309 33.329 667 747 838
2 Mori Utara Mayumba 10.972 - 7.165 18.138 363 407 456
3 Lembo Beteleme 34.655 8.919 7.291 50.860 1.017 1.140 1.278
Lembo
4 Petumbea 45.087 - - 45.087 902 1,011 1,133
Raya
Petasia
5 Bungintimbe 18.644 3.433 682 22.759 455 510 572
Timur
Petasia
6 Tiu 7.675 2.234 - 9.909 198 222 249
Barat
Kolonodale-
7 Petasia Bahontula- 156.025 20.224 34.632 210.881 4.218 4.728 5.300
Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara 12.181 - - 12.181 244 273 306
Bungku
9 Baturube 46.881 18.222 7.042 72.145 1.443 1.617 1.813
Utara
10 Mamosalata Tanasumpu 36.228 6.924 6.103 49.253 985 1.104 1.238
Jumlah 392.507 67.812 64.225 524.544 10.491 11.760 13.183

Dari hasil identfikasi lapangan di kawasan perkotaan pada sepuluh


ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali Utara diketahui bahwa
pada umumnya lahan untuk bangunan perkantoran, pertokoan dan
tempat usaha memiliki luas yang cukup bervariasi mulai dari luas
50 m2 hingga >500 m2. Pada bangunan lama atau bangunan tua
(pertokoan, pasar tradisional, pasar modern, penginapan) umumnya
memiliki KDB ≥70%, sedangkan pada bangunan perkantoran baru
dan tempat usaha (seperti hotel/motel, restoran, pompa bensin)
umumnya memiliki KDB <70%. Mengacu pada kondisi tersebut

52
maka dalam rencana pemanfaatan RTH non-hunian di kawasan
perkotaan diuraikan sebagai berikut:
1) Untuk dengan tingkat KDB 70%-90% perlu menambahkan
tanaman dalam pot.
2) Perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB >70%,
memiliki minimal dua pohon kecil atau sedang yang ditanam
pada lahan atau pada pot berdiameter >60 cm.
3) Persyaratan penanaman pohon pada perkantoran, pertokoan dan
tempat usaha dengan KDB <70%, berlaku seperti persyaratan
pada RTH pekarangan rumah, dan ditanam pada area di luar
KDB yang telah ditentukan.
RTH halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha dapat
berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka. Pada area ini dapat
ditambahkan tanaman dalam pot, minimal dua pohon kecil atau
sedang, dan minimal tiga tanaman pohon besar pada area halaman
yang cukup luas (atau KDB <70%). Data alokasi RTH sebesar 2%
pada Tabel 16 merupakan RTH yang diharapkan dapat dicapai
dalam 10 tahun kedepan.

c. RTH dalam Bentuk Taman Atap Bangunan (Roof Garden)


Pada kondisi luas lahan terbuka terbatas, maka untuk RTH dapat
memanfaatkan ruang terbuka non-hijau, seperti atap gedung, teras
rumah, teras-teras bangunan bertingkat dan disamping bangunan,
dan lain-lain dengan memakai media tambahan, seperti pot dengan
berbagai ukuran sesuai lahan yang tersedia.
Lahan dengan KDB >90% seperti pada kawasan pertokoan di pusat
kota, atau pada kawasan-kawasan dengan kepadatan tinggi dengan
lahan yang sangat terbatas, RTH dapat disediakan pada atap
bangunan. Untuk itu bangunan harus memiliki struktur atap yang
secara teknis memungkinkan.
Aspek yang harus diperhatikan dalam pembuatan taman atap
bangunan adalah: (1) struktur bangunan; (2) lapisan kedap air
(waterproofing); (3) sistem utilitas bangunan; (4) media tanam; (5)
pemilihan material; (6) aspek keselamatan dan keamanan; (7) aspek
pemeliharaan: peralatan dan tanaman.
Tanaman untuk RTH dalam bentuk taman atap bangunan adalah
tanaman yang tidak terlalu besar, dengan perakaran yang mampu
tumbuh dengan baik pada media tanam yang terbatas, tahan
terhadap hembusan angin serta relatif tidak memerlukan banyak
air.

2. Pemanfaatan RTH Pada Lahan Terbuka


53
RTH pada lahan terbuka meliputi: Taman perkotaan, jalan, dan
lainnya. Jenis RTH ini termasuk dalam kelompok RTH publik. Dalam
10 tahun ke depan direncanakan proporsi alokasi ruang untuk taman
sebesar 12,5%, alokasi ruang untuk jalan raya sebesar 20% dan
alokasi ruang untuk lainnya sebesar 7,5% sehingga seluruhnya
mencapai luas 40% dari luas wilayah perkotaan. Selanjutnya alokasi
ruang untuk taman, jalan dan lainnya masing-masing dengan
koefisien dasar bangunan (KDB) sebesar 0%; 70%; dan 80%. Dengan
demikian, alokasi ruang RTH masing-masing sebesar 12,5%; 6% dan
1,5% sehingga seluruhnya minimal mencapai 20% sebagai RTH
publik.

a. RTH Lingkungan/Permukiman
a) RTH Taman Rukun Tetangga
Taman Rukun Tetangga (RT) dapat dimanfaatkan penduduk
sebagai tempat melakukan berbagai kegiatan sosial di
lingkungan RT tersebut. Untuk mendukung aktivitas
penduduk di lingkungan tersebut, fasilitas yang harus
disediakan minimal bangku taman dan fasilitas mainan anak-
anak. Selain sebagai tempat untuk melakukan aktivitas sosial,
RTH Taman Rukun Tetangga dapat pula dimanfaatkan sebagai
suatu community garden dengan menanam tanaman obat
keluarga/apotik hidup, sayur, dan buah-buahan yang dapat
dimanfaatkan oleh warga. Lokasi RTH taman RT di tengah
lingkungan RT.
Dari hasil identifikasi lapangan tahun 2017 diketahui terdapat
sebanyak 104 RT yang tersebar pada sepuluh ibu kota
kecamatan. Adapun alokasi ruang untuk RTH taman RT
disajikan pada Tabel 17 berikut.

Tabel 17. Arahan Pemanfaatan RTH Taman Rukun Tetangga

Jumlah
Luas Luas
Rukun 250 m2/
No. Kecamatan Kota Kecamatan RTH RTH
Tetangga unit
(m2) (m2)/RT
(RT)
1 Mori Atas Tomata-Pambarea 12 2.644 10 264
2 Mori Utara Mayumba 4 2.460 4 615
3 Lembo Beteleme 22 5.828 22 265
4 Lembo Raya Petumbea 5 1.630 5 326
5 Petasia Timur Bungintimbe 6 2.918 6 486
6 Petasia Barat Tiu 6 1.693 6 282
7 Petasia Kolonodale- 15 13.593 15 906
54
Bahontula-Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara 2 836 2 418
9 Bungku Utara Baturube 15 2.070 8 259
10 Mamosalata Tanasumpu 17 2.228 9 279
Jumlah 104 35.900 87 345
Keterangan: Ibu kota kecamatan yang tidak memiliki RT, digunakan satuan dusun.

Penerapan alokasi ruang RTH per RT dalam ibu kota


kecamatan dimungkinkan apabila RT yang bersangkutan
dapat menyediakan lahan untuk pembangunan RTH. Namun
apabila terdapat RT yang tidak dapat menyediakan alokasi
RTH, maka jatah RTH-nya dapat dialihkan ke RT yang
memiliki lahan lebih luas. Pada Gambar 1 berikut disajikan
contoh dua model RTH yang dapat dipilih salah satunya oleh
setiap RT sesuai ketersediaan luas lahan di wilayah RT.

Gambar 1. Contoh Model RTH Taman Rukun Tetangga

b) RTH Taman Rukun Warga


RTH Rukun Warga (RW) dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kegiatan remaja, kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan
sosial lainnya di lingkungan RW tersebut. Fasilitas yang
disediakan berupa lapangan untuk berbagai kegiatan, baik
olahraga maupun aktivitas lainnya, beberapa unit bangku
taman yang dipasang secara berkelompok sebagai sarana

55
berkomunikasi dan bersosialisasi antar warga, dan beberapa
jenis bangunan permainan anak yang tahan dan aman untuk
dipakai pula oleh anak remaja. Lokasi RTH taman RW di pusat
kegiatan RW.
Dari hasil identifikasi lapangan tahun 2017 diketahui terdapat
sebanyak 19 RW yang tersebar pada tiga ibu kota kecamatan.
Untuk jelasnya disajikan pada Tabel 18 berikut.

Tabel 18. Rencana Pemanfaatan RTH Taman Rukun Warga

Jumlah Luas 1.250 Luas


No. Kecamatan Kota Kecamatan Rukun Warga RTH m2/ RTH
(RW) (m2) unit (m2)/RW
1 Mori Atas Tomata-Pambarea - - - -
2 Mori Utara Mayumba - - - -
3 Lembo Beteleme 11 2.914 2 1.457
4 Lembo Raya Petumbea 3 815 - -
5 Petasia Timur Bungintimbe - - - -
6 Petasia Barat Tiu - - - -
Kolonodale-Bahontula-
7 Petasia - - - -
Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara - - - -
9 Bungku Utara Baturube - - - -
10 Mamosalata Tanasumpu 5 1.114 1 1.114
Jumlah 19 4.843 3 1.614
Keterangan: Ibu kota kecamatan yang tidak ada alokasi ruang RTH Rukun Warga karena tidak
memiliki RW (Sumber BPS Kabupaten Morowali Utara, 2017).

Pada Tabel 18 tampak bahwa dari tiga ibu kota kecamatan


yang memiliki RW hanya satu ibu kota kecamatan yaitu Kota
Beteleme yang dapat dibangun sebanyak 2 unit RTH taman
RW dalam sepuluh tahun ke depan karena memiliki luas RTH
>1.250 m2/unit. Khusus untuk ibu kota Kecamatan
Mamosalato (Tanasumpu) dapat dipertimbangkan untuk
membangun 1 unit RTH Taman RW karena luasannya hanya
selisih 136 ha dari standar luas minimal. Selanjutnya
penerapan alokasi ruang RTH per RW dalam ibu kota
kecamatan dimungkinkan apabila RW yang bersangkutan
dapat menyediakan lahan untuk pembangunan RTH. Namun
apabila terdapat RW yang tidak dapat menyediakan alokasi
RTH, maka jatah RTH-nya dapat dialihkan ke RW yang
memiliki lahan untuk RTH. Pada Gambar 2 berikut disajikan
contoh model RTH taman RW.

56
Gambar 2. Contoh Model RTH Taman Rukun Warga

c) RTH Taman Kelurahan


RTH taman kelurahan dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kegiatan penduduk dalam satu kelurahan. Taman ini dapat
berupa taman aktif, dengan fasilitas utama lapangan olahraga
(serbaguna), dengan jalur trek lari di seputarnya, atau dapat
berupa taman pasif, dimana aktivitas utamanya adalah
kegiatan yang lebih bersifat pasif, misalnya duduk atau
bersantai, sehingga lebih didominasi oleh ruang hijau dengan
pepohonan tahunan. Lokasi RTH taman kelurahan dapat
dikelompokan dengan sekolah atau di pusat kelurahan.
Dari hasil identifikasi lapangan tahun 2017 diketahui terdapat
sebanyak tiga kelurahan di ibu kota kabupaten yaitu
Kolonodale, Bahontula dan Bahoue Kecamatan Petasia dengan
RTH seluas 4.078 m2. Mengacu pada standar luas minimal
RTH taman kelurahan (9.000 m2/unit), tampaknya luas RTH
yang ada masih jauh dibawah standar minimal. Meskipun
demikian, di Kelurahan Kolonodale telah tersedia lapangan
Morokoa seluas 12.439,84 m2 sehingga ruang RTH ini dapat
ditingkatkan fungsinya menjadi RTH Taman Kelurahan. Pada
Tabel 19 disajikan kelengkapan fasilitas pada RTH taman
kelurahan.

Tabel 19. Kelengkapan Fasilitas Pada RTH Taman Kelurahan


Jenis Koefisien Dasar
Fasilitas Vegetasi
Taman Hijau (KDH)
 Minimal 25 pohon
 Lapangan terbuka
(pohon sedang dan
 Trek lari, lebar 5 m panjang 325 m
kecil)
Aktif 70-80%  WC umum
 Semak
 1 unit kios (jika diperlukan)
 Perdu
 Kursi-kursi taman.
 Penutup tanah.
 Minimal 50 pohon
 Sirkulasi jalur pejalan kaki, lebar
(pohon sedang dan
1,5–2 m
kecil)
Pasif 80-90%  WC umum
 Semak
 1 unit kios (jika diperlukan)
 Perdu
 Kursi-kursi taman.
 Penutup tanah.
Sumber: Peraturan Menteri PU No.: 05/PRT/M/2008.

Pada Gambar 3 disajikan contoh dua model RTH taman kelurahan


(taman rekreasi aktif dan rekreasi pasif).

57
Gbr (a)

Gbr (b)

Gambar 3. Contoh Model RTH Taman Kelurahan


(Gbr (a) model taman rekreasi aktif; Gbr (b) model taman rekreasi pasif)

d) RTH Taman Kecamatan


RTH taman kecamatan dapat dimanfaatkan oleh penduduk
untuk melakukan berbagai aktivitas di dalam satu kecamatan.
Taman ini dapat berupa taman aktif dengan fasilitas utama
lapangan olahraga, dengan jalur trek lari di seputarnya, atau
dapat berupa taman pasif untuk kegiatan yang lebih bersifat
pasif, sehingga lebih didominasi oleh ruang hijau. Lokasi RTH
taman kecamatan dapat dikelompokan dengan sekolah atau di
pusat kecamatan.
Dari hasil identifikasi lapangan tahun 2017 diketahui terdapat
sebanyak sembilan kecamatan di wilayah Kabupaten Morowali
Utara dengan sasaran lokasi pembangunan RTH taman
kecamatan pada ibu kota kecamatan.
Khusus untuk ibu kota kabupaten (Kecamatan Petasia) untuk
pembangunan taman kota. Dari hasil analisis kebutuhan RTH
taman kecamatan sepuluh tahun ke depan sesuai dengan

58
tingkat pertumbuhan penduduk diperoleh hasil bahwa
kebutuhan RTH taman kecamatan masih berada pada luas
1.640 m2 s.d. 3.570 m2. Jumlah kebutuhan RTH taman
kecamatan per wilayah kecamatan tersebut masih jauh dari
kebutuhan standar minimal RTH kecamatan yakni seluas
24.000 m2/unit. Meskipun demikian, pada umumnya setiap
ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali Utara telah
memiliki lapangan olahraga (sepak bola) berupa lapangan
terbuka atau lapangan rumput dengan alokasi ruang yang
cukup luas, sehingga dimungkinkan membenahi lapangan
olahraganya agar memenuhi standar teknis RTH taman
kecamatan berupa taman aktif. Adapun lapangan
terbuka/rumput (sepak bola) di setiap ibu kota kecamatan dan
rencana menjadi RTH taman kecamatan disajikan pada Tabel
20 berikut.

Tabel 20. Rencana Pemanfaatan RTH Taman Kecamatan

Lapangan terbuka/ Arahan Penambahan kelengkapan


Kota sepak bola menjadi RTH fasilitas
No. Kecamatan
Kecamatan Taman
Jumlah Luas (m2) Fasilitas Vegetasi
Kecamatan
1 Mori Atas Tomata 1 22.003,74  Lapangan
terbuka
2 Mori Utara Mayumba 1 15.416,83  Lapangan
3 Lembo Beteleme 1 18.917,40 basket
 Minimal 50
 Lapangan volly
4 Lembo Raya Petumbea 1 18.216,79 pohon
 Trek lari, lebar
(pohon
Petasia RTH taman 5 m panjang
5 Bungintimbe 1 17.783,30 sedang dan
Timur aktif 325 m
kecil)
Petasia dengan KDH  WC umum
6 Tiu 1 19.712,62  Semak
Barat = 80-90%  Parkir
 Perdu
Lembah kendaraan
7 Soyo Jaya 1 12.873,88  Penutup
Sumara  Sarana kios
tanah.
Bungku (jika
8 Baturube 1 12.645.99 diperlukan)
Utara
 Kursi-kursi
9 Mamosalata Tanasumpu 2 20,691.57 taman.
Jumlah 10 158.262,12
Sumber: Hasil analisis spasial dan survei lapangan tahun 2017.

Pada Gambar 4 berikut disajikan contoh model RTH taman


kecamatan untuk taman aktif.

59
Gambar 4. Contoh Model RTH Taman Kecamatan (Taman Aktif)

b. RTH Kota/Perkotaan
a) RTH Taman Kota
Klasifikasi kawasan perkotaan terdiri atas: a. perkotaan kecil
dengan kriteria jumlah penduduk 50.000 s.d. 100.000 jiwa; b.
perkotaan sedang dengan kriteria jumlah penduduk >100.000 s.d.
<500.000 jiwa; c. perkotaan besar dengan kriteria jumlah
penduduk ≥500.000 jiwa; d. metropolitan dengan kriteria jumlah
penduduk ≥1.000.000 jiwa; dan e. megapolitan dengan jumlah
penduduk ≥ 10.000.000 jiwa (Peraturan Menteri PU No.
12/PRT/M/2009). Mengacu pada batasan tersebut, kawasan
perkotaan ibu kota Kabupaten Morowali Utara di Kecamatan
Petasia pada tiga kelurahan (Kolonodale, Bahontula dan Bahoue)
dengan jumlah penduduk s.d. tahun 2017 sebanyak 10.817 jiwa
yang selanjutnya diproyeksi sepuluh tahun ke depan sebanyak
13.593 jiwa belum termasuk dalam kategori perkotaan kecil.
RTH Taman Kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani
penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini
melayani minimal 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3
m2 per penduduk kota, dengan luas taman minimal 144.000 m2.
Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan hijau), yang
dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks
olah raga dengan minimal RTH 80%-90%. Semua fasilitas tersebut
terbuka untuk umum. Mengacu pada ketentuan tersebut serta
memperhatikan hasil analisis kebutuhan RTH taman kota di ibu
kota kabupaten sesuai hasil proyeksi jumlah penduduk sepuluh
tahun ke depan sebanyak 13.593 jiwa yang masih berada pada
angka luasan 4.078 m2 menunjukan bahwa luas RTH tersebut
masih jauh dibawah standar minimal 144.000 m2.
Meskipun demikian, mengingat ibu kota Kabupaten Morowali
Utara dengan kegiatan utama bukan pertanian (sebagai tempat
60
pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi) serta
tingkat kepadatan penduduk 1.567 jiwa/km2, tentu penduduknya
membutuhkan sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan
lain pada tingkat kota. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut
diperlukan adanya RTH dalam bentuk Taman Kota.
RTH Taman Kota dapat dimanfaatkan penduduk untuk
melakukan berbagai kegiatan sosial pada satu kota atau bagian
wilayah kota. Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan
hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi, taman bermain
(anak/balita), taman bunga, taman khusus (untuk lansia),
fasilitas olah raga terbatas, dan kompleks olah raga dengan
minimal RTH 30%. Semua fasilitas tersebut terbuka untuk umum.
Selanjutnya lokasi RTH Taman Kota direncanakan di sekitar
kawasan perkantoran (sebelah barat kantor bupati) dalam wilayah
Kelurahan Bahoue dengan luas 144.793,47 m2 atau 14,48 ha.
Lokasi dimaksud masih berupa lahan semak belukar dan hutan.
Jenis vegetasi yang dipilih untuk RTH taman kota berupa pohon
tahunan, perdu, dan semak ditanam secara berkelompok atau
menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta iklim mikro atau
sebagai pembatas antar kegiatan. Adapun contoh kelengkapan
fasilitas RTH taman kota disajikan pada Tabel 21 berikut.

Tabel 21. Kelengkapan Fasilitas Pada RTH Taman Kota

Koefisien Penambahan kelengkapan fasilitas


Daerah Hijau
Fasilitas Vegetasi
(KDH)
 Lapangan terbuka
 Unit lapangan basket (14x26 m)
 Unit lapangan volley (15 x 24 m)
 Trek lari, lebar 7 m panjang 400 m  Minimal 150
 WC umum pohon (pohon
 Parkir kendaraan termasuk sarana kios (jika sedang dan kecil)
70-80%
diperlukan)  Semak
 Panggung terbuka  Perdu
 Area bermain anak  Penutup tanah.
 Prasarana tertentu: kolam retensi untuk
pengendali air larian
 Kursi.

b) Hutan kota
Hutan kota dapat dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi dan
penyangga lingkungan kota (pelestarian, perlindungan dan
pemanfaatan plasma nutfah, keanekaragaman hayati). Hutan kota
dapat juga dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas sosial
masyarakat (secara terbatas, meliputi aktivitas pasif seperti duduk
dan beristirahat dan atau membaca, atau aktivitas yang aktif
seperti jogging, senam atau olahraga ringan lainnya), wisata alam,
61
rekreasi, penghasil produk hasil hutan, oksigen, ekonomi (buah-
buahan, daun, sayur), wahana pendidikan dan penelitian. Fasilitas
yang harus disediakan disesuaikan dengan aktivitas yang
dilakukan seperti kursi taman, sirkulasi pejalan kaki/jogging track.
Idealnya hutan kota merupakan ekosistem yang baik bagi ruang
hidup satwa misalnya burung, yang mempunyai peranan penting
antara lain mengontrol populasi serangga. Untuk itu diperlukan
introduksi tanaman pengundang burung pada hutan kota. Pada
Tabel 22 berikut disajikan kemampuan hutan dalam
mengendalikan gelombang pendek dan panjang.

Tabel 22. Kemampuan Hutan Kota dalam Mengendalikan Gelombang


Pendek dan Panjang

Respon daun Gelombang pendek (%) Gelombang panjang (%)


Dipantulkan 10 -
Diserap 80 100
Dibiaskan - 10
Diteruskan 10 90

Dari hasil analisis kebutuhan luas RTH hutan kota berdasarkan


jumlah penduduk, kebutuhan RTH hutan kota dalam sepuluh tahun
kedepan di ibu kota kabupaten yang tersebar pada tiga kelurahan
(Kolonodale, Bahontula, Bahoue) seluas 54.372,05 m2 atau 5,44 ha.
Selanjutnya kebutuhan luas RTH hutan kota berdasarkan kebutuhan
air adalah seluas 4,74 ha, dan berdasarkan kebutuhan oksigen
seluas 43,90 ha. Adapun kebutuhan RTH hutan kota secara rinci
disajikan pada Tabel 23 berikut.

Tabel 23. Kebutuhan RTH Hutan Kota Di Ibu Kota Kabupaten


Kecamatan Petasia

Kebutuhan RTH Hutan Kota (ha) Dalam 10 Tahun


Penduduk (jiwa) Berdasarkan:
No
Kelurahan Jumlah Kebutuhan Oksigen
. Kebutuha
Pendudu
2017 t+10 n Air Kendaraa
k Manusia Jumlah
n
1 Kolonodale 4.152 5.218 2,09 1,82 10,21 6,64 16,85
2 Bahontula 4.673 5.872 2,35 2,05 11,49 7,48 18,97
3 Bahoue 1.992 2.503 1,00 0,87 4,90 3,19 8,08
Ibu Kota 13.59
10.817 5,44 4,74 26,60 17,30 43,90
Kabupaten 3

Pada Tabel 23 tampak bahwa kebutuhan luas RTH hutan kota


berdasarkan jumlah penduduk dan kebutuhan air jauh lebih kecil
dibandingkan dengan kebutuhan RTH hutan kota berdasarkan
kebutuhan oksigen. Perhitungan kebutuhan jumlah RTH hutan kota
berdasarkan jumlah penduduk didasarkan pada kebutuhan minimal
yaitu 4 m2/kapita; berdasarkan kebutuhan air didasarkan pada
empat faktor yaitu: (1) kebutuhan air bersih per tahun; (2) jumlah air

62
yang dapat disediakan oleh PDAM; (3) potensi air tanah; dan (4)
kemampuan hutan kota menyimpan air. Khusus untuk potensi air
tanah diabaikan karena ibu kota kabupaten pada tiga kelurahan
tidak memiliki cekungan air tanah (CAT), dan umumnya air yang
dikonsumsi penduduk bersumber dari air permukaan.

Tabel 23. Hitungan Kebutuhan RTH Hutan Kota Berdasarkan


Kebutuhan Air

Faktor penentu kebutuhan RTH hutan


Kondisi eksisting (2017) Kondisi (t+10)
kota
Hitungan Tiga Kelurahan:
a Luas APL ibu kota kabupaten 690,47 ha 690,47 ha
b Jumlah penduduk 10.817 jiwa 13.593 jiwa
c Konsumsi air per kapita 65 m3/thn 65 m3/thn
d Kapasitas air PDAM terpasang 537.583 m3/thn 537.583 m3/thn
e Potensi air tanah 0 m3/thn (diabaikan) 0 m3/thn (diabaikan)
Kemampuan Hutan Kota Menyimpan
f 73.000 m3/ha/thn 73.000 m3/ha/thn
air
g Hitung 1: b x c 703.105 883.546
h Hitung 2: g – d 165.522 345.963
i Hasil (luas hutan kota): h/f 2,27 ha 4,74 ha
Hitungan Per Kelurahan
Kelurahan Kolonodale:
a Luas APL ibu kota kabupaten 163,11 ha 163,11 ha
b Jumlah penduduk 4.152 jiwa 5.218 jiwa
c Konsumsi air per kapita 65 m3/thn 65 m3/thn
d Kapasitas air PDAM terpasang 206.364 m3/thn 206.364 m3/thn
e Potensi air tanah 0 m3/thn (diabaikan) 0 m3/thn (diabaikan)
Kemampuan Hutan Kota Menyimpan
f 73.000 m3/ha/thn 73.000 m3/ha/thn
air
g Hitung 1: b x c 269.880 339.140
h Hitung 2: g – d 63.534 132.794
i Hasil (luas hutan kota): h/f 0,87 ha 1,82 ha
Kelurahan Bahontula
a Luas APL ibu kota kabupaten 432,19 ha 432,17 ha
b Jumlah penduduk 1.992 jiwa 2.502 jiwa
c Konsumsi air per kapita 65 m3/thn 65 m3/thn
d Kapasitas air PDAM terpasang 98.998 m3/thn 98.998 m3/thn
e Potensi air tanah 0 m3/thn (diabaikan) 0 m3/thn (diabaikan)
Kemampuan Hutan Kota Menyimpan
f 73.000 m3/ha/thn 73.000 m3/ha/thn
air
g Hitung 1: b x c 303.745 381.696
h Hitung 2: g – d 71.506 149.458
i Hasil (luas hutan kota): h/f 0,89 ha 2,05 ha

Lanjutan Tabel 23.

Faktor penentu kebutuhan RTH hutan


Kondisi eksisting (2017) Kondisi (t+10)
kota
Kelurahan Bahoue
a Luas APL ibu kota kabupaten 95,19 ha 95,19 ha
b Jumlah penduduk 4.673 jiwa 5.872 jiwa
c Konsumsi air per kapita 65 m3/thn 65 m3/thn
d Kapasitas air PDAM terpasang 232.239 m3/thn 232.239 m3/thn
e Potensi air tanah 0 m3/thn (diabaikan) 0 m3/thn (diabaikan)
Kemampuan Hutan Kota Menyimpan
f 73.000 m3/ha/thn 73.000 m3/ha/thn
air
g Hitung 1: b x c 129.480 162.709
h Hitung 2: g – d 30.482 63.711
i Hasil (luas hutan kota): h/f 0,42 ha 0,87 ha

Perhitungan kebutuhan RTH hutan kota berdasarkan kebutuhan


oksigen didasarkan pada kebutuhan oksigen bagi penduduk,
kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor, dan kebutuhan oksigen
bagi ternak.

63
Khusus kebutuhan oksigen bagi ternak (ternak besar maupun ternak
kecil) diabaikan dengan pertimbangan bahwa ibu kota kabupaten
merupakan tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi. Berikut ini diuraikan teknik hitungan kebutuhan RTH
hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen:
 Kebutuhan oksigen bagi manusia per hari sebesar 600 liter atau
setara 840 gram/hari (Gerakis (1974) dalam Wisesa (1988)).
 Untuk mengetahui kebutuhan luas RTH hutan kota, kebutuhan
oksigen manusia (gram/hari) dikali dengan jumlah penduduk,
untuk selanjutnya dibagi dengan angka tetapan (54 x 0,9375 x 2).
 Angka tetapan diuraikan sebagai berikut:
 54 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 m2 luas lahan
menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari.
 0,9375 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 gram berat kering
tanaman adalah setara dengan produksi oksigen 0,9375 gram.
 2 = jumlah musim di Indonesia.
Adapun parameter penentu kebutuhan RTH hutan kota
berdasarkan kebutuhan oksigen kendaraan bermotor disajikan pada
Tabel 24 s.d. Tabel 26 berikut.

Tabel 24. Kebutuhan Oksigen Bagi Kendaraan Bermotor

Rata-rata Pemakaian Bahan Kebutuhan Oksigen Tiap 1


Jenis Bahan Bakar
Bakar (kg/PS jam) kg Bahan Bakar
Bensin 0,21 2,77
Solar 0,16 2,86
Sumber: Peraturan Menteri PU No.: 05/PRT/M/2008

Tabel 25. Kebutuhan Oksigen Menurut Klasifikasi Jenis Kendaraan


Bermotor
Kebutuhan
Daya Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan
Oksigen
Klasifikasi Minimal Bahan Bakar Oksigen Oksigen
Tiap 1 Liter
(PS) (kg/PS) (kg/hari) (gram/hari)
BB (kg)
Sepeda motor 1 0,21 2,77 0,5817 581,7
Kendaraan
20 0,21 2,77 11,634 11.634
penumpang
Kendaraan truk 50 0,21 2,77 29,085 29.085
Kendaraan bus 100 016 2,86 45,760 45.760
Jumlah 87,0607 87.061
Rata-rata 21,7652 21.765,18
Sumber: Peraturan Menteri PU No.: 05/PRT/M/2008

64
Tabel 26. Hitungan Kebutuhan RTH Hutan Kota Berdasarkan
Kebutuhan Oksigen

Penduduk
Kebutuhan Konsumsi & total
(jiwa) &
Faktor penentu kebutuhan Oksigen kebutuhan oksigen
Kendaraan
RTH hutan kota (gram/hari (gram/hari)
(unit)
)
2017 t+10 2017 t+10
Hitungan Tiga Kelurahan:
Pt = jumlah kebutuhan oksigen
10.81 13.59 11.418.13
a bagi penduduk pada tahun ke –t 840 9.086.280
7 3 1
(jiwa)
b Kt = jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke-t (unit)
Motor 582 1.588 1.996 924.216 1.161.402
Mobil penumpang/bus 45.760 39 49 1.784.640 2.242.240
Mobil truk 29.085 43 54 1.250.655 1.570.590
Kapal motor 45.760 20 25 915.200 1.144.000
Perahu motor 582 1.791 2.251 1.042.362 1.310.082
Jumlah 121.769 3.481 4.375 5.917.073 7.428.314
Tt = jumlah kebutuhan oksigen
c diabaikan 0 0 0 0
bagi ternak pada tahun ke-t (ekor)
d Angka tetapan:
Tetapan luas lahan 54 54
Tetapan berat kering tanaman 0,3975 0,3975
Tetapan musim di Indonesia 2 2
Hasil perkalian angka tetapan 42,93 42,93
e Hasil hitungan luas RTH hutan kota:
211.653,3 265.970,9
Luas RTH hutan kota untuk
9 2
penduduk = a/d (m2) atau ha
21,17 ha 26,60 ha
137.830,7 173.033,1
Luas RTH hutan kota untuk
2 6
kendaraan = b/d (m2) atau ha
13,78 ha 17,30 ha
Total luas RTH hutan kota 34,95 ha 43,90 ha
Hitungan Per Kelurahan
Kelurahan Kolonodale:
Pt = jumlah kebutuhan oksigen
a bagi penduduk pada tahun ke –t 840 4.152 5.218 3.487.680 4.382.738
(jiwa)
b Angka tetapan 42,93 42,93
102.090,3
Luas RTH hutan kota untuk 81.241,09
c 4
penduduk = a/b (m2) atau ha
8,12 ha 10,21 ha
Kelurahan Bahontula
Pt = jumlah kebutuhan oksigen
a bagi penduduk pada tahun ke –t 840 4.673 5.872 3.925.320 4.932.692
(jiwa)
b Angka tetapan 42,93 42,93
114.900,8
Luas RTH hutan kota untuk 91.435,36
c 1
penduduk = a/b (m2) atau ha
9,14 ha 11,49 ha
Kelurahan Bahoue
Pt = jumlah kebutuhan oksigen
a bagi penduduk pada tahun ke –t 840 1.992 2.503 1.673.280 2.102.701
(jiwa)
b Angka tetapan 42,93 42,93
Luas RTH hutan kota untuk 38.976,94 48.979,76
c
penduduk = a/b (m2) atau ha 3,90 ha 4,90 ha

Bentuk dan Luas Pembangunan Hutan Kota:


Sampai dengan tahun 2017, kawasan perkotaan di ibu kota
kabupaten (Kota Kolonodale dan sekitarnya) yang memadukan
tipologi pantai dan pegunungan umumnya masih banyak ditumbuhi
pepohonan hutan (alami) di kawasan perbukitan dengan kelas lereng
yang cukup variatif mulai dari kelas lereng agak curam hingga curam.
Kondisi ini mengharuskan tipologi RTH kepada fungsi ekologi dan
sosial budaya sehingga strukturnya berada dalam pola-pola ekologis.
Dengan pertimbangan biaya pembangunan sebuah hutan kota yang

65
tidak kecil, serta resiko kegagalan dalam menghasilkan struktur
hutan dan keanekaragaman jenis, yang berfungsi dalam pengaturan
tata air, penyedia oksigen dan penyerap karbon dioksida maka dalam
sepuluh tahun ke depan direncanakan pembangunan RTH hutan
kota pada kawasan perkotaan yang masih tertutupi vegetasi
pepohonan alami.
Perlu dijelaskan bahwa kawasan perkotaan Kolonodale dan
sekitarnya tidak memiliki cekungan air tanah sehingga sumber air
andalan adalah air permukaan.
Pada Tabel 23 dialokasikan RTH hutan kota pada tiga kelurahan,
namun karena alokasi ruang di Kelurahan Bahontula tidak luas
maka lokasinya disatukan dengan Kelurahan Bahoue. Adapun
alokasi RTH hutan kota sbb.: (1) Seluas 16,85 ha di Kelurahan
Kolonodale; (2) Seluas 27,05 ha di Kelurahan Bahontula dan Bahoue
sehingga seluruhnya mencapai luas 43,90 ha.
Memperhatikan lokasi rencana pembangunan hutan kota di ibu kota
kabupaten yang masih didominasi vegetasi alami maka bentuk hutan
kota akan memenuhi dua bentuk yaitu bergerombol dan menyebar.
Bergerombol karena direncanakan pada satu lokasi yang kompak
dalam kelurahan, dan menyebar karena didistribusi kedalam tiga
kelurahan sesuai proporsi jumlah penduduk perkotaan. Berdasarkan
kondisi tutupan lahannya, lokasi rencana RTH hutan kota umumnya
masih didominasi pepohonan alami (>90%) sehingga fungsi utama
sebagai area konservasi tanah dan air serta keanekaragaman hayati
terpenuhi. Selain itu, hutan kota sebagai penyedia oksigen dan
penyerap karbon dioksida dapat langsung termanfaatkan tanpa harus
menunggu lama sebuah hutan kota berfungsi.
Berdasarkan struktur hutan kota, dengan kondisi lokasi rencana
pembangunan hutan kota sebagaimana disebutkan sebelumnya,
struktur hutan kota memiliki strata banyak. Hutan Kota berstrata
banyak dicirikan oleh komunitas tetumbuhan yang terdiri dari
pepohonan dan rumput, juga terdapat semak dan penutup tanah
dengan jarak tanam tidak beraturan. Program kegiatan pembangunan
hutan kota dengan kondisi seperti itu diuraikan sebagai berikut:
 Tahapan pertama: Pengukuran, pemancangan pal-pal batas dan
pemetaan lokasi RTH hutan kota.
 Tahapan kedua: Pembangunan fasilitas hutan kota yang
memenuhi standar minimal pemenuhan kebutuhan sosial budaya
seperti pembangunan sarana dan prasarana lokasi, pengkayaan
jenis, pemeliharaan dan pengamanan lokasi.
 Tahapan ketiga: Pemanfaatan RTH hutan kota sebagai sarana
rekreasi (keluarga, pendidikan, dsb.), penyelenggaraan manajemen

66
hutan kota yang diikuti dengan pengawasan dan pengendalian
pengelolaan hutan kota.

Pada Gambar 5 berikut disajikan contoh pola tanam hutan kota


strata banyak dalam bentuk program kegiatan pengkayaan tanaman.

Gambar 5. Contoh Pola Tanam RTH Hutan Kota Strata Banyak


c) Sabuk Hijau
Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah
penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu
penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain)
atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak
saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan
sekitarnya. Sabuk hijau dapat berbentuk: (a) Memanjang
mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan tertentu,
dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau
pemisah; (b) Hutan kota; (c) Kebun campuran, perkebunan,
pesawahan, yang telah ada sebelumnya (eksisting) dan melalui
peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan
keberadaannya.
Adapun fungsi lingkungan sabuk hijau sebagai berikut:
 Peredam kebisingan.
 Mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi
energy matahari.
 Penapis cahaya silau.
 Mengatasi penggenangan: Daerah rendah dengan drainase
yang kurang baik sering tergenang air hujan yang dapat
mengganggu aktivitas kota serta menjadi sarang nyamuk.

67

Penahan angin: Untuk membangun sabuk hijau yang
berfungsi sebagai penahan angin perlu diperhitungkan
beberapa faktor yang meliputi panjang jalur, lebar jalur.
 Mengatasi intrusi air laut: RTH hijau di dalam kota akan
meningkatkan resapan air, sehingga akan meningkatkan
jumlah air tanah yang akan menahan perembesan air laut ke
daratan.
 Penyerap dan penepis bau.
 Mengamankan pantai dan membentuk daratan.
Pada Tabel 27 berikut disajikan kondisi sabuk hijau di sepuluh ibu
kota kecamatan (termasuk ibu kota kabupaten).

Tabel 27. Kondisi Sabuk Hijau Pada Sepuluh Ibu Kota Kecamatan
Kota Sabuk hijau
No. Kecamatan Sabuk Hijau (eksisting)
Kecamatan (rencana)
 Perkebunan sawit, kebun campuran,
Tomata-
1 Mori Atas sawah, vegetasi sempadan sungai, -
Pambarea
pepohonan penghijauan.
 Perkebunan sawit, kebun campuran,
2 Mori Utara Mayumba -
vegetasi sempadan sungai.
 Perkebunan karet, kebun campuran,
3 Lembo Beteleme sawah dan hutan alam (hutan -
lindung).
 Perkebunan karet dan sawit, kebun
4 Lembo Raya Petumbea -
campuran, tegalan.
Petasia  Perkebunan sawit, tambak, kebun
5 Bungintimbe -
Timur campuran dan hutan alam.
Petasia
6 Tiu  Sawah, kebun campuran, hutan alam -
Barat
 Hutan Pantai di Kelurahan
Kolonodale.
Kolonodale-  Hutan Mangrove di Kelurahan
7 Petasia Bahontula- Bahoue.  Hutan kota
Bahoue  Hutan alam disepanjang batas
kawasan hutan produksi tetap (HP) di
tiga kelurahan.
Lembah  Vegetasi sempadan sungai, sawah dan
8 Soyo Jaya -
Sumara tegalan
Bungku  Penghijauan pantai, kebun, sawah,
9 Baturube -
Utara hutan alam.
 Sawah, kebun sawit, vegetasi
10 Mamosalata Tanasumpu -
sempadan sungai
Sumber: Hasil analisis spasial citra satelit perekaman tahun 2015-2016; dan survei lapangan tahun 2017.

d) RTH Jalur Hijau Jalan


Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan
penempatan tanaman antara 20–30% dari ruang milik jalan
(RUMIJA) sesuai dengan kelas jalan. Untuk menentukan
pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu
fungsi tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan
agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat, yang disukai
oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.

Pada Gambar 6 berikut disajikan contoh tata letak jalur hijau jalan.

68
Gambar 6. Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan

Pada Gambar 6 ditampilkan contoh jalur tata letak jalur hijau jalan
untuk tepi jalan dan median jalan.
Selanjutnya untuk mengetahui panjang jalur hijau jalan yang dapat
menjadi sasaran pembuatan RTH jalur hijau jalan di ibu kota
kecamatan di Kabupaten Morowali Utara, pada Tabel 28 disajikan
status dan panjang jalan dalam ibu kota kecamatan di wilayah
Kabupaten Morowali Utara.

Tabel 28. Status dan Panjang Jalan Di Ibu Kota Kecamatan Kabupaten
Morowali Utara
Panjang Jalan Menurut Status
(km) Jumlah
No. Kecamatan Kota Kecamatan
(km)
Nasional Provinsi Kabupaten
1 Mori Atas Tomata-Pambarea 5,03 - 13,66 18,69
2 Mori Utara Mayumba - - 10,23 10,23
3 Lembo Beteleme 3,87 2,51 19,37 25,75
4 Lembo Raya Petumbea - - 8,85 8,85
5 Petasia Timur Bungintimbe 4,24 - 2,87 7,11
6 Petasia Barat Tiu - - 8,45 8,45
Kolonodale-Bahontula-
7 Petasia 2,10 2,78 22,72 27,60
Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara - 4,27 12,25 16,52
9 Bungku Utara Baturube - 1,86 9,55 11,41
10 Mamosalato Tanasumpu - 2,43 11,01 13,45
Jumlah 15,24 13,86 118,96 148,06
Sumber: Dianalisis secara spasial dari citra satelit perekaman tahun 2015-2016, dan cek lapangan tahun 2017.

Pada Tabel 28 tampak bahwa panjang jalan di ibu kota kecamatan


(termasuk ibu kota kabupaten) seluruhnya berjumlah 148,06 km
yang terdiri atas: Panjang jalan nasional 15,24 km, jalan provinsi
13,86 km, dan jalan kabupaten 118,96 km. Jalan tersebut
direncanakan menjadi sasaran pembuatan RTH jalur hijau jalan.
Kecuali di ibu kota kabupaten, seluruh jalan di ibu kota kecamatan
(sembilan kecamatan) masih berupa jalan satu jalur, sedangkan di
ibu kota kabupaten (kota kolonodale dan sekitarnya) terdapat jalan
lingkar luar dibagian barat kawasan perkotaan yang dalam
penyelesaiannya berupa jalan dua jalur.

Pulau Jalan dan Median Jalan


Taman pulau jalan adalah RTH yang terbentuk oleh geometris jalan
seperti pada persimpangan tiga atau bundaran jalan. Sedangkan
median berupa jalur pemisah yang membagi jalan menjadi dua lajur
atau lebih. Median atau pulau jalan dapat berupa taman atau non-

69
taman. Dalam ini yang dibahas adalah pulau jalan dan median yang
berbentuk taman/RTH.
a. Pada jalur tanaman tepi jalan
1) Peneduh
a) Ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1,5 m dari tepi
median)
b) Percabangan 2 m di atas tanah
c) Bentuk percabangan batang tidak merunduk
d) Bermassa daun padat
e) Berasal dari perbanyakan biji
f) Ditanam secara berbaris
g) Tidak mudah tumbang.
Contoh jenis tanaman:
(1) Kiara Payung (Filicium decipiens)
(2) Tanjung (Mimusops elengi)
(3) Bungur (Lagerstroemia floribunda).

Pada Gambar 7 berikut disajikan contoh model jalur tanaman tepi


peneduh jalan.

Gambar 7. Contoh Model Jalur Tanaman Tepi Peneduh Jalan

2) Penyerap polusi udara


a) terdiri dari pohon, perdu/semak;
b) memiliki kegunaan untuk menyerap udara;
c) jarak tanam rapat;
d) bermassa daun padat.
Contoh jenis tanaman:
a) Angsana (Ptherocarphus indicus)
b) Akasia daun besar (Accasia mangium)
c) Oleander (Nerium oleander)

70
d) Bogenvil (Bougenvillea sp.)
e) Teh-tehan pangkas (Acalypha sp).

Pada Gambar 8 berikut disajikan contoh model jalur tanaman tepi


penyerap polusi udara.

Gambar 8. Contoh Jalur Tanaman Tepi Penyerap Polusi Udara

3) Peredam kebisingan
a) Terdiri dari pohon, perdu/semak
b) Membentuk massa
c) Bermassa daun rapat
d) Berbagai bentuk tajuk.
Contoh jenis tanaman:
a) Tanjung (Mimusops elengi)
b) Kiara payung (Filicium decipiens)
c) Teh-tehan pangkas (Acalypha sp)
d) Kembang Sepatu (Hibiscus rosasinensis)
e) Bougenvil (Bougenvillea sp)
f) Oleander (Nerium oleander).
Pada Gambar 9 berikut disajikan contoh model jalur tanaman tepi
penyerap kebisingan.

71
Gambar 9. Contoh Jalur Tanaman Tepi Penyerap Kebisingan

4) Pemecah angin
a) Tanaman tinggi, perdu/semak
b) Bermassa daun padat
c) Ditanam berbaris atau membentuk massa
d) Jarak tanam rapat < 3 m.
Contoh jenis tanaman:
a) Cemara (Cassuarina equisetifolia)
b) Mahoni (Swietania mahagoni)
c) Tanjung (Mimusops elengi)
d) Kiara Payung (Filicium decipiens)
e) Kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis).
Pada Gambar 10 berikut disajikan contoh model jalur tanaman tepi
pemecah angin.

Gambar 10. Contoh Jalur Tanaman Tepi Pemecah Angin

5) Pembatas pandang
a) Tanaman tinggi, perdu/semak
b) Bermassa daun padat

72
c) Ditanam berbaris atau membentuk massa
d) Jarak tanam rapat.
Contoh jenis tanaman:
a) Bambu (Bambusa sp)
b) Cemara (Cassuarina equisetifolia)
c) Kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis)
d) Oleander (Nerium oleander).

Pada Gambar 11 berikut disajikan contoh model jalur tanaman tepi


pembatas pandang.

Gambar 11. Conoh Jalur Tanaman Tepi Pembatas Pandang

b. Pada median
Penahan silau lampu kendaraan
a) Tanaman perdu/semak
b) Ditanam rapat
c) Ketinggian 1,5 m
d) Bermassa daun padat.
Contoh jenis tanaman:
a) Kembang Sepatu (Hibiscus rosasinensis)
b) Bogenvil (Bogenvillea sp)
c) Oleander (Nerium oleander)
d) Nusa indah (Mussaenda sp).
Pada Gambar 12 berikut disajikan model jalur tanaman pada median
penahan silau lampu kendaraan.

73
Gambar 12. Contoh Jalur Tanaman Tepi pada Median
Penahan Silau Lampu Kendaraan

c. Pada Persimpangan Jalan


Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam
penyelesaian lansekap jalan pada persimpangan, antara lain:
1) Daerah bebas pandang di mulut persimpangan
Pada mulut persimpangan diperlukan daerah terbuka agar tidak
menghalangi pandangan pemakai jalan.
Untuk daerah bebas pandang ini ada ketentuan mengenai letak
tanaman yang disesuaikan dengan kecepatan kendaraan dan
bentuk persimpangannya (tersedia pada Buku "Spesifikasi
Perencanaan Lansekap Jalan Pada Persimpangan” No.
02/T/BNKT/1992).

Tabel 29. Kriteria Pemilihan Tanaman pada Persimpangan Jalan

Jarak dan Jenis Tanaman


Bentuk Letak
Kecepatan 40 Kecepatan 60
Persimpangan Tanaman
km/jam km/jam
Pada ujung 20 m 40 m
1. Persimpangan kaki
persimpangan Tanaman rendah Tanaman rendah
empat tegak lurus
Mendekati 80 m 100 m
tanpa kanal
persimpangan Tanaman tinggi Tanaman tinggi
30 m 50 m
2. Persimpangan kaki
Pada ujung Tanaman rendah Tanaman rendah
empat tidak tegak
persimpangan 80 m 80 m
lurus
Tanaman tinggi Tanaman tinggi
Catatan: - Tanaman rendah, berbentuk tanaman perdu dengan ketinggian < 0.8 m
- Tanaman tinggi, berbentuk pohon dengan percabangan di atas 2 meter.

2) Pemilihan jenis tanaman pada persimpangan


Penataan lansekap pada persimpangan akan merupakan ciri dari
persimpangan itu atau lokasi setempat. Penempatan dan
pemilihan tanaman dan ornamen hiasan harus disesuaikan
dengan ketentuan geometrik persimpangan jalan dan harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Daerah bebas pandang tidak diperkenankan ditanami
tanaman yang menghalangi pandangan pengemudi. Sebaiknya
digunakan tanaman rendah berbentuk tanaman perdu dengan
ketinggian <0.80 m, dan jenisnya merupakan berbunga atau
berstruktur indah, seperti:
- Soka berwarna-warni (Ixora stricata)
- Lantana (Lantana camara)
- Pangkas Kuning (Duranta sp.).

74
Pada Gambar 13 berikut disajikan contoh jalur tanaman pada
daerah bebas pandang.

Gambar 13. Contoh Jalur Tanaman pada Daerah Bebas Pandang

b) Bila pada persimpangan terdapat pulau lalu lintas atau kanal


yang dimungkinkan untuk ditanami, sebaiknya digunakan
tanaman perdu rendah dengan pertimbangan agar tidak
mengganggu penyeberang jalan dan tidak menghalangi
pandangan pengemudi kendaraan.
c) Penggunaan tanaman tinggi berbentuk tanaman pohon sebagai
tanaman pengarah, seperti:
1) Tanaman berbatang tunggal seperti jenis palem antara lain:
- Palem raja (Oreodoxa regia)
- Pinang jambe (Areca catechu)
- Lontar (siwalan) (Borassus flabellifer).
2) Tanaman pohon bercabang >2 m antara lain:
- Khaya (Khaya sinegalensis)
- Bungur (Lagerstromea loudonii)
- Tanjung (Mimosups elengi).
e) RTH Ruang Pejalan Kaki
Ruang pejalan kaki adalah ruang yang disediakan bagi pejalan kaki
pada kiri-kanan jalan atau di dalam taman. Ruang pejalan kaki yang
dilengkapi dengan RTH harus memenuhi hal-hal sebagai berkut:
1) Kenyamanan, adalah cara mengukur kualitas fungsional yang
ditawarkan oleh sistem pedestrian yaitu:
 Orientasi, berupa tanda visual (landmark, marka jalan) pada
lansekap untuk membantu dalam menemukan jalan pada
konteks lingkungan yang lebih besar.
 Kemudahan berpindah dari satu arah ke arah lainnya yang
dipengaruhi oleh kepadatan pedestrian, kehadiran penghambat
fisik, kondisi permukaan jalan dan kondisi iklim. Jalur pejalan
kaki harus aksesibel untuk semua orang termasuk penyandang
cacat.
2) Karakter fisik, meliputi:

75
 Kriteria dimensional, disesuaikan dengan kondisi sosial dan
budaya setempat, kebiasaan dan gaya hidup, kepadatan
penduduk, warisan dan nilai yang dianut terhadap lingkungan.
 Kriteria pergerakan, jarak rata-rata orang berjalan di setiap
tempat umumnya berbeda dipengaruhi oleh tujuan perjalanan,
kondisi cuaca, kebiasaan dan budaya. Pada umumnya orang
tidak mau berjalan lebih dari 400 m.

Gambar 14. Contoh Pola Tanam RTH Jalur Pejalan Kaki

3) Pedoman teknis lebih rinci untuk jalur pejalan kaki dapat


mengacu pada Kepmen PU No. 468/KPTS/1998 tanggal 1
Desember 1998, tentang Persyaratan Teknis Aksesiblitas pada
Bangunan Umum dan Lingkungan dan Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki.

c. RTH Fungsi Tertentu


Jenis RTH fungsi tertentu yang dapat diselenggarakan di ibu kota
kecamatan (termasuk ibu kota kabupaten) Kabupaten Morowali
Utara dalam sepuluh tahun ke depan telah diuraikan secara rinci
pada Tabel 5 dan Tabel 6, yang terdiri atas: Jaringan Listrik
Tegangan Tinggi, Sempadan pantai dan mangrove, sempadan sungai,
sumber air baku/mata air, dan pemakaman.
a) Jalur Hijau (RTH) Pada Jaringan Listrik Tegangan Tinggi
Jaringan listrik tegangan tinggi sangat berbahaya bagi manusia,
sehingga RTH pada kawasan ini dimanfaatkan sebagai pengaman
listrik tegangan tinggi dan kawasan jalur hijau dibebaskan dari
berbagai kegiatan masyarakat. Karena itu, jalur jaringan listrik
tegangan tinggi perlu dilengkapi tanda/peringatan untuk
masyarakat agar tidak beraktifitas di kawasan tersebut.
Ketentuan lebar sempadan jaringan tenaga listrik yang dapat
digunakan sebagai RTH:

76
a) Garis sempadan jaringan tenaga listrik adalah 64 m yang
ditetapkan dari titik tengah jaringan tenaga listrik.
b) Ketentuan jarak bebas minimum antara penghantar SUTT dan
SUTET dengan tanah dan benda lain ditetapkan seperti pada
Tabel 30 berikut:

Tabel 30. Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET

SUTT SUTET Saluran Kabel


No. Lokasi 150 500 SUTM SUTR
66 KV SKTM SKTR
KV KV
1. Bangunan beton 20 m 20 m 20 m 2,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m
2. Pompa bensin 20 m 20 m 20 m 2,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m
3. Penimbunan bahan bakar 50 m 50 m 50 m 2,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m
4. Pagar 3m 20 m 3m 2,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m
5. Lapangan terbuka 6,5 m 20 m 15 m 2,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m
6. Jalan raya 8m 20 m 15 m 2,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m
7. Pepohonan 3,5 m 20 m 8,5 m2,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m
8. Bangunan tahan api 3,5 m 20 m 8,5 m20 m 20 m 20 m 20 m
Jembatan besi/tangga
9. 3m 20 m 8,5 m 20 m 20 m 20 m 20 m
Besi
Dari titik tertinggi
10. 3m 20 m 8,5 m 20 m 20 m 20 m 20 m
tiang kapal
11. Lapangan olah raga 2,5 m 20 m 14 m 20 m 20 m 20 m 20 m
SUTT lainnya
pengahantar udara
tegangan rendah,
12. 3m 20 m 8,5 m 20 m 20 m 20 m 20 m
jaringan telekomunikasi,
televisi dan kereta
gantung
Sumber: Peraturan Menteri PU No.: 05/PRT/M/2008
Keterangan: SUTR = Saluran Udara Tegangan Rendah; SUTM = Saluran Udara Tegangan Menengah;
SUTT = Saluran Udara Tegangan Tinggi; SUTET = Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi;
SKTR = Saluran Kabel Tegangan Rendah; SKTM = Saluran Kabel Tegangan Menengah.
Berdasarkan data BPS Morowali Utara tahun 2015-2016, Jumlah
rumah tangga pelanggan listrik PLN di ibu kota kecamatan diuraikan
pada Tabel 31 berikut.

Tabel 31. Jumlah Pelanggan Listrik PLN di Ibu Kota Kecamatan

Pelanggan Listrik
Ibu Kota Gardu Listrik
No. Kecamatan PLN
Kecamatan PLN (Bh)
(Rumah Tangga/RT)
Tomata 208 4
1 Mori Atas
Pambarea 200 2
2 Mori Utara Mayumba 176 1
3 Lembo Beteleme 870 8
4 Lembo Raya Petumbea 240 4
5 Petasia Timur Bungintimbe 189 5
6 Petasia Barat Tiu 328 1
Kolonodale 513 3
7 Petasia Bahontula 440 3
Bahoue 371 3
8 Soyo Jaya Lembah Sumara - -
9 Bungku Utara Baturube 346 2
10 Mamosalato Tanasumpu - -
Jumlah 3.881 36
Sumber: BPS Kabupaten Morowali Utara tahun 2015/2016.

Pada Tabel 31 tampak bahwa pelanggan listrik PLN oleh rumah


tangga di delapan ibu kota kecamatan sebanyak 3.881 RT dengan
jumlah gardu listrik sebanyak 36 buah. Khusus untuk dua ibu

77
kota kecamatan (Lembah Sumara dan Tanasumpu) masih
menggunakan listrik swasta.
Berdasarkan data BPS Morowali Utara tahun 2015, Unit PLN
Kolonodale memiliki produksi sebesar 24.100.280 kWh dengan
daya terpasang sebesar 10.946 kVA. Listrik tersebut
dimanfaatkan di seluruh kecamatan (kecuali Kecamatan
Mamosalato) di Kabupaten Morowali Utara oleh sebanyak 16.970
rumah tangga; sebanyak 196 buah industri, perdagangan, hotel
dan restoran; sebanyak 448 buah lembaga sosial, rumah sakit,
tempat ibadah, panti dan pendidikan; dan sebanyak 135 buah
dinas/instansi pemerintah.
Uraian mengenai pemanfaatan energi listrik (PLN dan Swasta) di
sepuluh ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali Utara hingga
tahun 2016 oleh kalangan rumah tangga, industri, perdagangan,
hotel dan restoran, instansi/dinas pemerintah daerah, dan
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan lembaga sosial
menunjukan bahwa jaringan listrik menyebar di seluruh kawasan
perkotaan. Dengan demikian, Pemerintah Daerah memerlukan
adanya jalur hijau (RTH) pada jaringan listrik sesuai ketentuan
yang berlaku (tersedia pada Tabel 30).
Sehingga dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu
dilakukan sosialisasi tentang manfaat penyelenggaraan RTH
jaringan listrik tegangan tinggi serta penyuluhan secara terus-
menerus tentang bahaya listrik tegakan tinggi kepada masyarakat.
Adapun kriteria jenis vegetasi dan pola tanam untuk RTH jaringan
listrik tegangan tinggi telah tersedia pada Tabel 12 (arahan jenis
vegetasi untuk RTH SUTT dan SUTET). Pemilihan jenis dan
ketinggian vegetasi sesuai ketentuan dimaksudkan agar
penanaman vegetasi pada RTH jalur SUTT maupun SUTET, tidak
menimbulkan gangguan terhadap jaringan listrik serta
menghindari bahaya terhadap penduduk di sekitarnya. Lokasi
penanaman harus memperhatikan jarak bebas minimum yang
diizinkan.
b) RTH Sempadan Sungai
Pemanfaatan RTH daerah sempadan sungai dilakukan untuk
kawasan konservasi, perlindungan tepi kiri-kanan bantaran
sungai yang rawan erosi, pelestarian, peningkatan fungsi sungai,
mencegah okupasi penduduk yang mudah menyebabkan erosi,
dan pengendalian daya rusak sungai melalui kegiatan
penatagunaan, perizinan, dan pemantauan.
Penatagunaan daerah sempadan sungai dilakukan dengan
penetapan zona-zona yang berfungsi sebagai fungsi lindung dan
78
budidaya. Pada zona sungai yang berfungsi lindung menjadi
kawasan lindung, pada zona sungai yang berfungsi budidaya
dapat dibudidayakan kecuali pemanfaatan tanggul hanya untuk
jalan. Sesuai peraturan yang ada, sungai di perkotaan terdiri dari
sungai bertanggul dan sungai tidak bertanggul.

Sungai bertanggul :
1) Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan
perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 m di sebelah luar
sepanjang kaki tanggul.
2) Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan
ditetapkan sekurang-kurangnya 5 m di sebelah luar sepanjang
kaki tanggul.
3) Dengan pertimbangan untuk peningkatan fungsinya, tanggul
dapat diperkuat, diperlebar dan ditinggikan yang dapat
berakibat bergesernya garis sempadan sungai.
4) Kecuali lahan yang berstatus tanah negara, maka lahan yang
diperlukan untuk tapak tanggul baru sebagai akibat
dilaksanakannya ketentuan sebagaimana dimaksud pada
butir 1) harus dibebaskan.
Sungai tidak bertanggul:
1) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan
perkotaan ditetapkan sebagai berikut:
a) Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 m,
garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 m
dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
b) Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 m sampai
dengan 20 m, garis sempadan ditetapkan sekurang-
kurangnya 15 m dihitung dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan.
c) Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 m, garis
sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 m dihitung
dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
2) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan
perkotaan ditetapkan sebagai berikut:
a) Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah
pengaliran sungai seluas 500 km2 atau lebih, penetapan
garis sempadannya sekurang-kurangnya 100 m.
b) Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah
pengaliran sungai kurang dari 500 km2, penetapan garis
sempadannya sekurang-kurangnya 50 m dihitung dari tepi
sungai pada waktu ditetapkan.
3) Garis sempadan sebagaimana dimaksud pada butir 1) dan 2)
diukur ruas per ruas dari tepi sungai dengan

79
mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada ruas
yang bersangkutan.
4) Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan
dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan,
dengan ketentuan konstruksi dan penggunaan harus
menjamin kelestarian dan keamanan sungai serta bangunan
sungai.
5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1)
tidak terpenuhi, maka segala perbaikan atas kerusakan yang
timbul pada sungai dan bangunan sungai menjadi
tanggungjawab pengelola jalan.
Untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, jalur hijau
terletak pada garis sempadan yang ditetapkan sekurang
kurangnya 100 (seratus) meter dari tepi sungai.

Pada Tabel 32 berikut disajikan arahan pemanfaatan RTH


sempadan sungai pada sepuluh wilayah ibu kota kecamatan di
Kabupaten Morowali Utara.

Tabel 32. Arahan Pemanfaataan RTH Sempadan Sungai

Lebar SS: Program Kegiatan


Kedal Kanan-
Ibu Kota Nama Panjang
No. Kecamatan a-man Kiri Jangka Jangka
Kecamatan Sungai SS (m)
(m) Sungai Pendek Panjang
(m)
Sosialisasi Pemeliharaan,
Tomata-
1 Mori Atas Laa 8.737,31 <10 100 RTH; pengawasan,
Pambarea Penghijauan pengendalian
Sosialisasi Pemeliharaan,
Laa-
2 Mori Utara Mayumba 4.079,26 <10 100 RTH; pengawasan,
Mayumba Penghijauan pengendalian
Sosialisasi
8.713,62 100 RTH; Pemeliharaan,
3 Lembo Beteleme Laa <10 Penghijauan pengawasan,
Tanggul pengendalian
1.214,67 ≥ 15 sungai
Sosialisasi
8.795,92 100 RTH; Pemeliharaan,
4 Lembo Raya Petumbea Tambalako <10 Penghijauan pengawasan,
Tanggul pengendalian
449,30 ≥ 15 sungai
Sosialisasi
11.357,3
100 RTH;
Tambalako 1 5 <10 Penghijauan
Pemeliharaan,
Tanggul
5 Petasia Timur Bungintimbe 1.689,79 ≥ 15 pengawasan,
sungai
Sosialisasi pengendalian
Tambaloko 2 3.539,26 <10 100 RTH;
Penghijauan
Sosialisasi Pemeliharaan,
6 Petasia Barat Tiu Laa 5.312,19 <10 100 RTH; pengawasan,
Penghijauan pengendalian
Bahontula 1.941,30 ±3 10-15
Kolonodale- 1.003,15 ±3 10-15 Sosialisasi Pemeliharaan,
Kolonodale RTH; Tanggul
7 Petasia Bahontula- 182,30* <3 ≥3 pengawasan,
sungai, dan
Bahoue Bahoue 1 2.775,39 ±3 10-15 Penghijauan pengendalian
Bahoue 2 484,11 ±3 10-15
Sosialisasi Pemeliharaan,
Lembah
8 Soyo Jaya Tambayoli 4.039,75 <10 100 RTH; pengawasan,
Sumara Penghijauan pengendalian
Sosialisasi
Pemeliharaan,
9 Bungku Utara Baturube Tirongan 648,65 <10 100 RTH;
Penghijauan pengawasan,

80
Baturube 741,24 <5 ≥ 15
Tanggul pengendalian
sungai
Sosialisasi
3.946,21 100 RTH; Pemeliharaan,
10 Mamosalata Tanasumpu Tanasumpu <10 Penghijauan pengawasan,
Tanggul pengendalian
1.617,10 ≥ 15 sungai
Keterangan: SS = Sempadan Sungai; *) sungai memiliki tanggul.

Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:


1. RTH sempadan sungai di ibu kota kabupaten (Kecamatan Petasia)
a. Untuk kawasan permukiman padat di ibu kota kabupaten
(Kelurahan Kolonodale, Bahontula, Bahoue) sungai-sungai
yang melintasi permukiman perlu segera dibangun tanggul
karena tidak sedikit bangunan berada hingga dibibir sungai.
Dengan tersedianya tanggul maka yang dibebaskan dari bibir
sungai hanya 3 m, namun apabila sungai tidak bertanggul
maka yang dibebaskan antara 10 m hingga 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area terbangun.
c. Kententuan RTH sempadan sungai di dalam dan di luar
kawasan perkotaan, baik sungai bertanggul dan sungai tidak
bertanggul mengacu pada ketentuan.
2. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Petasia Timur
(Bungintimbe)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Bungintimbe) Sungai Tambalako yang melintasi pinggiran
permukiman (1.689,79 m) perlu segera dibangun tanggul
karena tidak sedikit bangunan berada hingga dibibir sungai.
Dengan tersedianya tanggul maka yang dibebaskan dari bibir
sungai hanya 3 m, namun apabila sungai tidak bertanggul
maka yang dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area terbangun.
c. Sempadan sungai di Desa Bungintimbe sebagian besar telah
terolah untuk lahan tambak dan tegalan.
d. Perlu segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-
kayuan dan bambu serta vegetasi mangrove.
3. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Petasia Barat (Tiu)
Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa Tiu)
Sungai Laa yang melintasi kawasan lahan pertanian perlu segera
dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan bambu,
karena tidak sedikit telah diolah menjadi lahan pertanian
(tegalan) hingga dibibir sungai.
4. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Mori Atas (Tomata-
Pambarea)
Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa Tomata
dan Pambarea) Sungai Laa yang melintasi kawasan lahan

81
pertanian dan pinggiran kawasan perkotaan perlu segera
dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan bambu,
karena terdapat beberapa lokasi telah diolah menjadi lahan
pertanian (sawah dan tegalan) hingga dibibir sungai.
5. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Mori Utara
(Mayumba)
Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Mayumba) Sungai Laa dan Sungai Mayumba yang melintasi
kawasan lahan pertanian dan pinggiran kawasan perkotaan perlu
segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan
bambu, karena terdapat beberapa lokasi telah diolah menjadi
lahan pertanian (tegalan) dan berupa tutupan vegetasi semak
belukar hingga dibibir sungai.
6. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Lembo (Beteleme)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Beteleme) Sungai Laa yang melintasi pinggiran permukiman
(1.214,67 m) perlu segera dibangun tanggul karena tidak
sedikit bangunan berada hingga dibibir sungai. Dengan
tersedianya tanggul maka yang dibebaskan dari bibir sungai
hanya 3 m, namun apabila sungai tidak bertanggul maka yang
dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area terbangun.
c. Sempadan sungai di Desa Beteleme sebagian besar telah
terolah untuk lahan sawah dan tegalan.
d. Perlu segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-
kayuan dan bambu.
7. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Lembo Raya
(Petumbea)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Petumbea) Sungai Tambalako yang melintasi pinggiran
permukiman (449,30 m) perlu segera dibangun tanggul karena
terdapat bangunan di pusat desa berada hingga dibibir sungai.
Dengan tersedianya tanggul maka yang dibebaskan dari bibir
sungai hanya 3 m, namun apabila sungai tidak bertanggul
maka yang dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area terbangun.
c. Sempadan sungai di Desa Petumbea sebagian besar telah
terolah untuk lahan tegalan dan tutupan vegetasi semak
belukar.

82
d. Perlu segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-
kayuan dan bambu.
8. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Soyo Jaya (Lembah
Sumara)
Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Lembah Sumara) Sungai Tambayoli yang melintasi kawasan lahan
pertanian dan pinggiran kawasan permukiman perlu segera
dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan bambu,
karena sebgian besar daerah sempadan sungai berupa lahan
sawah dan tegalan serta tutupan lahan berupa vegetasi
rerumputan dan semak belukar hingga dibibir sungai.
9. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Bungku Utara
(Baturube)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Baturube) Sungai Baturube yang melintasi kawasan
permukiman (741,24 m) perlu segera dibangun tanggul karena
terdapat bangunan di pusat desa berada hingga dibibir sungai.
Dengan tersedianya tanggul maka yang dibebaskan dari bibir
sungai hanya 3 m, namun apabila sungai tidak bertanggul
maka yang dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area terbangun.
c. Sempadan sungai Tirongan (648,65 m) di Desa Baturube
sebagian besar masih berupa tutupan vegetasi pepohonan
hutan, namun terdapat lokasi dengan tutupan lahan berupa
semak belukar dan tanah terbuka. Karena itu, perlu segera
dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan
bambu.
10. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Mamosolato
(Tanasumpu)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Tanasumpu) Sungai Tanasumpu yang melintasi pinggiran
permukiman (1.617,10 m) perlu segera dibangun tanggul
karena belokan-belokan sungai akan mengikis kawasan
permukiman. Dengan tersedianya tanggul maka yang
dibebaskan dari bibir sungai hanya 3 m, namun apabila
sungai tidak bertanggul maka yang dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area rawan penggerusan lahan
permukiman.
c. Sempadan sungai di Desa Tanasumpu sebagian besar telah
terolah menjadi lahan sawit dan tegalan serta di beberapa

83
tempat dengan tutupan vegetasi semak belukar dan
rerumputan.
d. Perlu segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-
kayuan dan bambu.
Pemanfaatan daerah sempadan sungai yang berfungsi budidaya
dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan:
a) Budidaya pertanian rakyat.
b) Kegiatan penimbunan sementara hasil galian tambang golongan
C.
c) Papan penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu
pekerjaan.
d) Pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telpon, dan pipa air
minum.
e) Pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan.
f) Penyelenggaraan kegiatan yang bersifat sosial, keolahragaan,
pariwisata dan kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak
merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik
sungai dan danau.
g) Pembangunan prasarana lalu lintas air, bangunan pengambilan
dan pembuangan air.
Untuk menghindari kerusakan dan gangguan terhadap kelestarian
dan keindahan sungai, maka aktivitas yang dapat dilakukan pada
RTH sempadan sungai sebagai berikut:
a) Memantau tutupan vegetasi dan kondisi wilayah DAS agar lahan
tidak mengalami penurunan.
b) Mengamankan kawasan sempadan sungai, serta tutupan vegetasi
di sempadan sungai, dipantau dengan menggunakan metode
pemeriksaaan langsung dan analisis deskriptif komparatif. Tolak
ukur 100 m di kanan kiri sungai dan 50 m kanan kiri anak
sungai.
c) Menjaga kelestarian konservasi dan aktivitas perambahan,
keanekaragaman vegetasi terutama jenis unggulan lokal dan
bernilai ekologi dipantau dengan metode kuadrat dengan jalur
masing-masing lokasi 2 km menggunakan analisis vegetasi yang
diarahkan pada jenis-jenis flora yang bernilai sebagai tumbuhan
obat.
d) Memantau fluktuasi debit sungai maksimum.
e) Aktivitas memantau, menghalau, menjaga dan mengamankan
harus diikuti dengan aktivitas melaporkan pada instansi
berwenang dan yang terkait sehingga pada akhirnya kawasan
sempadan sungai yang berfungsi sebagai RTH terpelihara dan
lestari selamanya.

84
c) RTH Sempadan Pantai
RTH sempadan pantai memiliki fungsi utama sebagai pembatas
pertumbuhan permukiman atau aktivitas lainnya agar tidak
menggangu kelestarian pantai. RTH sempadan pantai merupakan
area pengaman pantai dari kerusakan atau bencana yang
ditimbulkan oleh gelombang laut seperti intrusi air laut, erosi,
abrasi, tiupan angin kencang dan gelombang tsunami. Lebar RTH
sempadan pantai minimal 100 m dari batas air pasang tertinggi ke
arah darat. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas
90% - 100%.
Fasilitas dan kegiatan yang diizinkan harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a) Tidak bertentangan dengan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.
b) Tidak menyebabkan gangguan terhadap kelestarian ekosistem
pantai, termasuk gangguan terhadap kualitas visual.
c) Pola tanam vegetasi bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi,
erosi, melindungi dari ancaman gelombang pasang, wildlife
habitat dan meredam angin kencang.
d) Pemilihan vegetasi mengutamakan vegetasi yang berasal dari
daerah setempat.
Formasi Hutan Mangrove sangat baik sebagai peredam ombak dan
dapat membantu proses pengendapan lumpur. Beberapa jenis
tumbuhan di ekosistem mangrove antara lain: Avicenia spp,
Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Lumnitzera spp,
Excoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras sp, dan Nypa sp.
Khusus untuk RTH sempadan pantai yang telah mengalami intrusi
air laut atau merupakan daerah payau dan asin, pemilihan vegetasi
diutamakan dari daerah setempat yang telah mengalami
penyesuaian dengan kondisi tersebut. Asam Landi (Pichelebium
dulce) dan Mahoni (Switenia mahagoni) relatif lebih tahan jika
dibandingkan Kesumba, Tanjung, Kiputri, Angsana, Trengguli, dan
Kuku.
Pada Tabel 33 berikut disajikan daerah sempadan pantai (termasuk
mangrove) pada empat wilayah ibu kota kecamatan di Kabupaten
Morowali Utara.

Tabel 33. Arahan Pemanfaataan RTH Sempadan Pantai

Kondisi
Ibu Kota RTH Sempadan Pantai Program Kegiatan
No Kecamat Eksisting
Kecamata
. an Panjan Leba Luas Mang- Mang- Jangka Jangka
n Pantai
g (m) r (m) (ha) rove rove Pendek Panjang

85
(ha)
NGV 1 =
115,14 Hutan Sosialisasi Pemelihara
MGV 2 = pantai Tutupa RTH; an,
SP =
Petasia Bungintim 122,79 & n Penghijaua pengawasa
1 4.221,7 100 -
Timur be MGV 3 = Lahan jarang- n/ n,
7 Rehabilitas pengendali
24,74 terbuk sedang
MGV 4 = a i mangrove an
15,83
SP3
- - = - - Sosialisasi
Kolonodal 0,31 Hutan RTH;
e SP4 pantai Penghijaua
n Pemelihara
- - = - - an,
0,68 pengawasa
2 Petasia Bahontula - - - - - - - n,
SP1 = Sosialisasi pengendali
100 - RTH;
125,36 Lahan Tutupa an
MGV = Penghijaua
Bahoue terbuk n
SP2 = 4,85 n;
100 - a jarang Rehabilitas
384,69
i mangrove
SP1 = Pemelihara
Pepoho
1.054,0 100 - - - Sosialisasi an,
-nan &
Bungku 3 RTH; pengawasa
3 Baturube Lahan
Utara SP2 = Penghijaua n,
terbuk n pengendali
1.728,4 100 - - -
a an
5
SP1 = MGV 1 = Sosialisasi Pemelihara
100 - Tutupa RTH; an,
923,99 20,47 Lahan
Mamosal Tanasump n Penghijaua pengawasa
4 SP2 = terbuk
ata u MGV 2 = jarang- n; n,
1.627,6 100 - a Rehabilitas pengendali
69,09 sedang
4 i mangrove an
Keterangan: SP = Sempadan Pantai; MGV = Mangrove..

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pembangunan RTH


sempadan pantai:
1) Pola tanam vegetasi bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi,
erosi, melindungi dari ancaman gelombang pasang, wildlife
habitat dan meredam angin kencang.
2) Pemilihan vegetasi mengutamakan vegetasi yang berasal dari
daerah setempat.
3) Untuk RTH sempadan pantai yang telah mengalami intrusi air
laut atau merupakan daerah payau dan asin, pemilihan vegetasi
diutamakan dari daerah setempat yang telah mengalami
penyesuaian dengan kondisi tersebut. Jenis-jenis dimaksud
diantaranya: Asam Landi (Pichelebium dulce) dan Mahoni
(Switenia mahagoni).
4) Hutan Mangrove sangat baik sebagai peredam ombak dan dapat
membantu proses pengendapan lumpur.
Beberapa jenis tumbuhan di ekosistem mangrove yang sesuai
dengan tujuan tersebut dan merupakan jenis lokal diantaranya:
Avicenia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp,
Lumnitzera spp, Excoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras sp,
dan Nypa sp.
5) Fasilitas dan kegiatan yang diizinkan harus memperhatikan tidak
bertentangan dengan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.

86
6) Khusus untuk kawasan pantai berhutan bakau harus
dipertahankan sesuai ketentuan dalam Keppres No. 32 Tahun
1990.

Pada Gambar 15 berikut disajikan contoh model penanaman vegetasi


pada RTH sempadan pantai.

Gambar 15. Contoh Model Penanaman Vegetasi Pada RTH Sempadan


Pantai

Pada Gambar 15 dapat diterapkan di setiap lokasi sasaran


pembangunan RTH sempadan pantai dengan penjelasan sebagai
berikut:
1) Pada lokasi RTH sempadan pantai di Desa Tanasumpu
Kecamatan Mamosalato terdiri atas dua tipe ekosistem, yaitu
ekosistem mangrove dan ekosistem pantai.
a. Pada ekosistem mangrove yang masih ditumbuhi vegetasi
mangrove dengan tutupan jarang-sedang, dilakukan
rehabilitasi hutan mangrove dalam bentuk pengkayaan
tanaman dengan jenis dari kelompok Rhizophora sp, dan
Bruguiera sp.
b. Pada ekosistem pantai dengan tutupan lahan terbuka dapat
dari jenis tanaman lokal yang banyak tumbuh di sekitar lokasi
seperti: Kelapa (Cocos nucifera), Ketapang (Terminalia catappa),
Waru (Hibiscus spp.), Cemara laut (Casuarina spp.), Nangka
(Artocarpus altilis), dll.

2) Pada lokasi RTH sempadan pantai di Desa Baturube dengan


tutupan lahan berupa pepohonan dan lahan terbuka dapat
diperkaya dengan jenis seperti: Kelapa, Cemara laut, Waru,
Ketapang, dan Nangka, serta Asam Landi (Pichelebium dulce) dan
Mahoni (Switenia spp.).

87
3) Pada lokasi RTH sempadan pantai di Kelurahan Kolonodale dan
Bahoue Kecamatan Petasia terdiri atas dua tipe ekosistem, yaitu
ekosistem mangrove dan ekosistem pantai.
a) Pada ekosistem mangrove yang masih ditumbuhi vegetasi
mangrove dengan tutupan jarang, dilakukan rehabilitasi hutan
mangrove dalam bentuk pengkayaan tanaman dengan jenis
dari kelompok Rhizophora sp, dan Bruguiera sp.
b) Pada ekosistem pantai dengan tutupan lahan terbuka dan
hutan pantai dapat dari jenis tanaman lokal yang banyak
tumbuh di sekitar lokasi seperti: Kelapa (Cocos nucifera),
Ketapang (Terminalia catappa), Waru (Hibiscus spp.), Cemara
laut (Casuarina spp.), Nangka (Artocarpus altilis), dll.
4) Pada lokasi RTH sempadan pantai di Desa Bungintimbe
Kecamatan Petasia Timur terdiri atas dua tipe ekosistem, yaitu
ekosistem mangrove dan ekosistem pantai.
a) Pada ekosistem mangrove yang masih ditumbuhi vegetasi
mangrove dengan tutupan jarang-sedang, dilakukan
rehabilitasi hutan mangrove dalam bentuk pengkayaan
tanaman dengan jenis dari kelompok Rhizophora sp, dan
Bruguiera sp.
b) Pada ekosistem pantai dengan tutupan lahan terbuka, hutan
pantai dan mangrove dapat dari jenis tanaman lokal yang
banyak tumbuh di sekitar lokasi seperti: Kelapa (Cocos
nucifera), Ketapang (Terminalia catappa), Waru (Hibiscus spp.),
Cemara laut (Casuarina spp.), Rhizophora spp, Avicennia spp,
dan Sonneratia spp., Asam Landi (Pichelebium dulce) dan
Mahoni (Switenia spp.), dll.

d) RTH Sumber Air Baku/Mata Air


RTH sumber air meliputi sungai, danau/waduk, dan mata air. Untuk
danau dan waduk, RTH terletak pada garis sempadan yang
ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat. Untuk mata air, RTH terletak pada
garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua
ratus) meter di sekitar mata air. Pemanfaatan RTH sumber air
baku/mata air dilakukan untuk perlindungan, pelestarian,
peningkatan fungsi sumber air baku/mata air, dan pengendalian
daya rusak sumber air baku/mata air/danau melalui kegiatan
penatagunaan, perizinan, dan pemantauan.
Pada Tabel 34 berikut diberikan gambaran mengenai dimensi
sempadan serta pemanfaatannya pada masing-masing jenis RTH
sumber air baku/mata air.

88
Tabel 34. RTH Sempadan Danau dan Mata Air

Dimensi
No. Jenis RTH Pemanfaatan
Sempadan
a) Jaringan utilitas
b) Budidaya pertanian rakyat
c) Kegiatan penimbunan sementara hasil galian
tambang golongan C.
d) Papan penyuluhan dan peringatan, serta
rambu-rambu pekerjaan.
e) Pemasangan rentangan kabel listrik, kabel
telpon, dan pipa air minum.
Minimal 50 m
f) Pemancangan tiang atau pondasi prasarana
dari
1. Danau/Waduk jalan/jembatan.
titik pasang
g) Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang
tertinggi
bersifat sosial, keolahragaan, pariwisata dan
kemasyarakatan yang tidak menimbulkan
dampak merugikan bagi kelestarian dan
keamanan fungsi serta fisik sungai dan
danau.
h) Pembangunan prasarana lalu lintas air,
bangunan pengambilan dan pembuangan
air.
a) Ruang terbuka hijau dengan aktivitas sosial
terbatas penekanan pada kelestarian
sumberdaya airnya.
2. Mata Air Radius 200 m
b) Luas ruang terbuka hijau minimal 90%
dengan dominasi pohon tahunan yang
diizinkan.
Sumber: Peraturan Menteri PU No.: 05/PRT/M/2008

Pada Tabel 35 berikut diberikan gambaran mengenai arahan RTH


sumber air baku/mata air serta pemanfaatannya pada masing-
masing ibu kota kecamatan di wilayah Kabupaten Morowali Utara.

Tabel 35. Arahan Pemanfaatan RTH Sumber Air Baku/Mata Air

Sumber air baku/mata air Program Kegiatan


Ibu Kota
No. Kecamatan Danau/ Mata Jangka Jangka
Kecamatan Sungai
Waduk Air Pendek Panjang
Sosialisasi Pemeliharaan,
Tomata-
1 Mori Atas S. Laa - - RTH; pengawasan,
Pambarea
Penghijauan pengendalian
Sosialisasi Pemeliharaan,
S.
2 Mori Utara Mayumba - - RTH; pengawasan,
Mayumba
Penghijauan pengendalian
Sosialisasi Pemeliharaan,
3 Lembo Beteleme S. Laa - - RTH; pengawasan,
Penghijauan pengendalian
Sosialisasi Pemeliharaan,
S.
4 Lembo Raya Petumbea - - RTH; pengawasan,
Tambalako
Penghijauan pengendalian
Sosialisasi Pemeliharaan,
Petasia S.
5 Bungintimbe - - RTH; pengawasan,
Timur Tambalako
Penghijauan pengendalian
CAT Sosialisasi Pemeliharaan,
Petasia Danau
6 Tiu S. Laa Tomor RTH; pengawasan,
Barat Tiu
i Penghijauan pengendalian
S.
Kolonodale- Sosialisasi Pemeliharaan,
Kolonodale-
7 Petasia Bahontula- - - RTH; pengawasan,
S.
Bahoue Penghijauan pengendalian
Bahontula
S. Sumara- Sosialisasi Pemeliharaan,
Lembah
8 Soyo Jaya S. - - RTH; pengawasan,
Sumara
Tambayoli Penghijauan pengendalian
CAT Sosialisasi Pemeliharaan,
Bungku
9 Baturube S. Tirongan - Moro RTH; pengawasan,
Utara
wali Penghijauan pengendalian
10 Mamosalata Tanasumpu S. - - Sosialisasi Pemeliharaan,
89
Tanasumpu RTH; pengawasan,
Penghijauan pengendalian
Keterangan: CAT = Cekungan Air Tanah.

Pada Tabel 35 tampak bahwa potensi sumber air baku/mata air pada
sepuluh ibu kota kecamatan di wilayah Kabupaten Morowali Utara
sebagian besar bersumber dari air permukaan dari sungai-sungai
yang ada di wilayah ibu kota kecamatan. Sumber air permukaan dari
danau hanya terdapat di ibu kota kecamatan (Desa Tiu) Kecamatan
Petasia Barat yaitu Danau Tiu. Sedangkan potensi air tanah karena
kawasannya merupakan Cekungan Air Tanah (CAT), hanya ada di
wilayah ibu kecamatan (Desa Tiu) Kecamatan Petasia Barat yaitu CAT
Tomori, dan ibu kota kecamatan (Desa Baturube) Bungku Utara yaitu
CAT Morowali.
Program kegiatan dalam rangka pembangunan RTH sumber air
baku/ mata air dalam sepuluh tahun ke depan dengan program
kegiatan jangka pendek berupa: Kegiatan sosialisasi RTH yang diikuti
dengan pengukuran, pemancangan pal batas dan pemetaan lokasi
RTH, serta pelaksanaan penghijauan di daerah sempadan sesuai
ketentuan yang berlaku. Selanjutnya pada program jangka panjang
diarahkan pada kegiatan pemeliharaan, pengawasan dan
pengendalian pengelolaan RTH sempadan sumber air baku/mata air.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyelenggaraan RTH sempadan sumber air baku/mata air,
khususnya pemilihan jenis tanaman penghijauan sebagai berikut:
a) Relatif tahan terhadap penggenangan air.
b) Daya transpirasi rendah.
c) Memliki sistem perakaran yang kuat dan dalam, sehingga dapat
menahan erosi dan meningkatkan infiltasi (resapan) air.
Vegetasi/tumbuhan ideal yang ditanam pada RTH pengaman sumber
air merupakan vegetasi yang tidak mengkonsumsi banyak air atau
yang memiliki daya transpirasi yang rendah. Beberapa tanaman yang
memiliki daya transpirasi yang rendah menurut Manan (1976) dan
Kurniawan (1993) diantarnya: Cemara Laut (Casuarina equisetifolia),
Karet munding (Ficus elastica), Manggis (Garcinia mangostana),
Bungur (Lagerstroemia speciosa), Kelapa (Cocos nucifera), Damar
(Agathis loranthifolia), dan Kiara Payung (Filicium decipiens).

e) RTH Pemakaman
Penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) pada areal pemakaman
disamping memiliki fungsi utama sebagai tempat penguburan
jenasah juga memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai daerah resapan
air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, pencipta iklim
mikro serta tempat hidup burung serta fungsi sosial masyarakat
disekitar seperti beristirahat dan sebagai sumber pendapatan.

90
Pada Tabel 36 berikut diuraikan kondisi eksisting pemakaman dan
rencana pembangunan RTH pemakaman dalam sepuluh tahun ke
depan pada sepuluh ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali
Utara.

Tabel 36. Arahan Pemamfaatan RTH Pemakaman Di Ibu Kota


Kecamatan

Pemakaman Kebutuhan Program Kegiatan


No Ibu Kota eksisting Lahan RTH
Kecamatan Jangka Jangka
. Kecamatan Pemakaman
Bh m2 Pendek Panjang
10 thn (m2)
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
Tomata-
1 Mori Atas 1 15.127 3.173 Pemakaman pengawasan,
Pambarea umm pengendalian
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
2 Mori Utara Mayumba 1 7.471 2.953 Pemakaman pengawasan,
umm pengendalian
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
3 Lembo Beteleme 2 24.481 6.994 Pemakaman pengawasan,
umm pengendalian
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
4 Lembo Raya Petumbea 2 10.429 1.956 Pemakaman pengawasan,
umm pengendalian
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
Petasia
5 Bungintimbe 2 6.152 3.501 Pemakaman pengawasan,
Timur umm pengendalian
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
Petasia
6 Tiu 2 10.565 2.031 Pemakaman pengawasan,
Barat umm pengendalian
Sosialisssi RTH
Kolonodale- Pemeliharaan,
Taman Makam
7 Petasia Bahontula- 4 98.129 16.312 pengawasan,
Pahlawan &
Bahoue pengendalian
Umum
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
Lembah
8 Soyo Jaya 1 3.851 1.003 Pemakaman pengawasan,
Sumara umm pengendalian
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
Bungku
9 Baturube 1 8.356 2.484 Pemakaman pengawasan,
Utara umm pengendalian
Sosialisasi RTH Pemeliharaan,
10 Mamosalata Tanasumpu 1 9.340 2.674 Pemakaman pengawasan,
umm pengendalian
193,90
Jumlah 17 43.079
1
Sumber: Hasil analisis spasial citra satelit perekaman tahun 2015-2016; Cek lapangan, 2017.

Jenis vegetasi untuk pembuatan tanaman pada RTH pemakaman


telah tersedia pada Tabel 14 (Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH
Pemakaman). Selanjutnya terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pemelihan jenis tanaman pada RTH pemakaman
sbb.:
a) Sistem perakaran masuk kedalam tanah, tidak merusak
konstruksi dan bangunan.
b) Batang tegak kuat, tidak mudah patah dan tidak berbanir.
c) Sedapat mungkin mempunyai nilai ekonomi, atau menghasilkan
buah yang dapat dikonsumsi langsung.
d) Tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap.
e) Tahan terhadap hama penyakit.
f) Berumur panjang.
g) Dapat berupa pohon besar, sedang atau kecil disesuaikan dengan
ketersediaan ruang.
h) Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang burung.

91
Pada Gambar 16 berikut disajikan contoh model pola penanaman
pada RTH pemakaman.

Gambar 16. Contoh Model Pola Penanaman Pada RTH Pemakaman


E. Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan RTH

1. Peran Pemerintah Dalam Penyelenggaraan RTH


Penyelenggaraan RTH oleh pemerintah/pemerintah daerah meliputi
penyediaan dan pemanfaatan RTH dengan tahapan sbb.: (a)
Perencanaan; (b) Pengadaan lahan; (c) Perancangan teknik; (d)
Pelaksanaan pembangunan RTH; dan (e) Pemanfaatan dan
pemeliharaan.

a. Perencanaan RTH
Perencanaan RTH dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang
diawali dengan penyusunan dan analisis data/informasi
pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH). Dari hasil ini dilanjutkan
dengan proses pengadaan lahan dan perancangan teknik RTH.
Pada proses pengadaan lahan dilakukan kegiatan berupa
pengukuran, pemancangan batas dan pemetaan lokasi RTH.
Mengacu pada hasil tersebut, dilanjutkan dengan perancangan
teknik RTH yang meliputi pembuatan disain tapak (site plan),
perencanaan kegiatan dan anggaran biaya serta penjadwalan
pelaksanaan pembangunan RTH.
Peruntukan penyediaan RTH mengacu pada Rencana Tata Ruang
Kabupaten (RTRWK), serta produk perencanaan tata ruang lainnya
yang telah tersedia seperti RTR Kawasan Perkotaan, RTR Kawasan
Strategis Kota/Rencana Induk RTH yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah setempat.

92
b. Pelaksanaan Pembangunan RTH
Penyediaan dan pemanfaatan RTH yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah kabupaten adalah RTH publik yang dalam
implementasinya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku. RTH publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh
pemerintah daerah kabupaten yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum.

c. Pemanfaatan dan Pemeliharaan RTH


Pemanfaatan dan pemeliharaan RTH oleh pemerintah dan
pemerintah daerah (provinsi/kabupaten) meliputi RTH publik dan
RTH privat milik pemerintah. RTH publik meliputi: RTH taman dan
hutan kota, RTH jalur hijau jalan, dan RTH fungsi tertentu.
RTH publik berupa RTH taman dan hutan kota milik pemerintah
daerah terdiri atas: (1) RTH taman RT/RW/Kelurahan/Kecamatan
milik pemerintah daerah; (2) RTH taman kota; (3) RTH hutan; dan
(4) Sabuk hijau (green belt). RTH publik berupa RTH jalur hijau
jalan milik pemerintah/pemerintah daerah terdiri atas: (2) Pulau
jalan dan median jalan; (2) Jalur pejalan kaki milik
pemerintah/pemerintah daerah. RTH publik untuk fungsi tertentu
terdiri atas: (1) RTH jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi; (2)
RTH sempadan sungai; RTH sempadan pantai; RTH pengamanan
sumber air baku/mata air; RTH pemakaman.
RTH privat milik pemerintah/pemerintah daerah meliputi: RTH
pekarangan kantor instansi/dinas pemerintah, badan usaha milik
negara/ daerah, dan rumah dinas/rumah jabatan.
Disamping tugas pemerintah/pemerintah daerah dalam penyediaan
dan pemanfaatan RTH publik, juga bertugas dalam pembinaan,
pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan RTH privat oleh
masyarakat.

2. Peran Masyarakat Dalam Penyelenggaraan RTH

Penyelenggaraan RTH oleh masyarakat meliputi penyediaan dan


pemanfaatan RTH privat dengan tahapan sbb.: (a) Perencanaan; (b)
Pengadaan lahan; (c) Perancangan teknik; (d) Pelaksanaan
pembangunan RTH; dan (e) Pemanfaatan dan pemeliharaan. Dalam
proses perencanaan penyediaan dan pemanfaatan RTH privat oleh
masyarakat, dilaksanakan sesuai dengan tahapan proses
perencanaan RTH yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
93
Penyediaan dan pemanfaatan RTH privat yang dilaksanakan oleh
masyarakat termasuk pengembang disesuaikan dengan ketentuan
perizinan pembangunan daerah. RTH privat yang diselenggarakan
oleh masyarakat meliputi:
1. RTH pekarangan: Pekarangan rumah tinggal; Halaman kantor
milik swasta/non-pemerintah; halaman pertokoan dan badan
usaha milik swasta serta taman atap bangunan.
2. RTH taman: Taman RT/RW/Kelurahan/Kecamatan milik
masyarakat atau yang dikelola oleh badan usaha/pengembang
atau lembaga non-pemerintah.
3. RTH jalur hijau jalan: Pulau jalan dan median jalan serta jalur
pejalan kaki milik masyarakat (badan usaha/pengembang atau
lembaga non-pemerintah).
Pemanfaatan RTH untuk penggunaan lain seperti pemasangan
reklame (billboard) atau reklame tiga dimensi oleh masyarakat, harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Mengikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku di daerah.
 Tidak menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan tanaman
misalnya menghalangi penyinaran matahari atau pemangkasan
tanaman yang dapat merusak keutuhan bentuk tajuknya.
 Tidak mengganggu kualitas visual dari dan ke RTH.
 Memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan pengguna
RTH.
 Tidak mengganggu fungsi utama RTH yaitu fungsi sosial, ekologis
dan estetis.
Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH
merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan
hukum dan atau perseorangan, baik pada tahap perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk
menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memberikan
kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan
pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan
melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh
masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH, dengan prinsip:
a) Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat
menentukan dalam proses pembangunan ruang ruang terbuka
hijau.
b) Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses
pembangunan ruang terbuka hijau.
c) Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai
kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya.
d) Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap
menegakkan etika.
e) Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesional.

94
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
mewujudkan penghijauan antara lain: Dalam lingkup kegiatan
pembangunan RTH (yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian), hal ini ditujukan pada tahap pemanfaatan ruang
terbuka hijau, dimana rencana pembangunannya akan disusun dan
ditetapkan. Pada Gambar 17 berikut disajikan pelibatan masyarakat
pada pemanfaatan dan pengendalian RTH.

Gambar 17. Pelibatan Masyarakat Pada Pemanfaatan dan


Pengendalian RTH

Peran masyarakat, swasta dan badan hukum dalam penyediaan RTH


publik meliputi penyediaan lahan, pembangunan dan pemeliharaan
RTH. Peran dalam penyediaan RTH ini dapat berupa:
a) Pengalihan hak kepemilikan lahan dari lahan privat menjadi RTH
publik (hibah).
b) Menyerahkan penggunaan lahan privat untuk digunakan sebagai
RTH publik.
c) Membiayai pembangunan RTH publik.
d) Membiayai pemeliharaan RTH publik.
e) Mengawasi pemanfaatan RTH publik.
f) Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH publik dalam
peningkatan kualitas dan keamanan lingkungan, sarana interaksi
sosial serta mitigasi bencana.
Peran masyarakat pada RTH privat meliputi:
a) Memberikan penyuluhan tentang peranan RTH dalam peningkatan
kualitas lingkungan.
b) Turut serta dalam meningkatkan kualitas lingkungan di
perumahan dalam hal penanaman tanaman, pembuatan sumur
resapan (bagi daerah yang memungkinkan) dan pengelolaan
sampah.

95
c) Mengisi seoptimal mungkin lahan pekarangan, berm dan lahan
kosong lainnya dengan berbagai jenis tanaman, baik ditanam
langsung maupun ditanam dalam pot.
d) Turut serta secara aktif dalam komunitas masyarakat pecinta
RTH.

Peran Individu/Kelompok

Masyarakat dapat berperan secara individu atau kelompok dalam


penyediaan dan pemanfaatan RTH.
Pada kondisi yang lebih berkembang, masyarakat dapat membentuk
suatu forum atau komunitas tertentu untuk menghimpun anggota
masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap RTH, membahas
permasalahan, mengembangkan konsep serta upaya-upaya untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan masyarakat:
a) Anggota masyarakat baik individu maupun kelompok yang
memiliki keahlian dan/atau pengetahuan mengenai penataan
ruang serta ruang terbuka hijau dapat membentuk suatu
komunitas ruang terbuka hijau. Misalnya: membentuk forum
masyarakat peduli ruang terbuka hijau atau komunitas
masyarakat ruang terbuka hijau di setiap daerah.
b) Mengembangkan dan memperkuat kerjasama proses mediasi
antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pembangunan
ruang terbuka hijau.
c) Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menyikapi
perencanaan, pembangunan serta pemanfaatan ruang terbuka
hijau melalui sosialisasi, pelatihan dan diskusi di kelompok-
kelompok masyarakat.
d) Meningkatkan kemampuan masyarakat (forum, komunitas, dan
sebagainya) dalam mengelola permasalahan, konflik yang muncul
sehubungan dengan pembangunan ruang terbuka hijau.
e) Menggalang dan mencari dana kegiatan dari pihak tertentu untuk
proses sosialisasi.
f) Bekerjasama dengan pemerintah dalam menyusun mekanisme
pengaduan, penyelesaian konflik serta respon dari pemerintah
melalui jalur yang telah disepakati bersama;

96
g) Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan
dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa
pengecualian.

Peran Swasta

Swasta merupakan pelaku pembangunan penting dalam pemanfaatan


ruang perkotaan dan ruang terbuka hijau. Terutama karena
kemampuan kewirausahaan yang mereka miliki. Peran swasta yang
diharapkan dalam pemanfaatan ruang perkotaan sama seperti peran
yang diharapkan dari masyarakat. Namun, karena swasta memiliki
karakteristik yang berbeda dengan masyarakat umum, maka terdapat
peran lain yang dapat dilakukan oleh swasta, yaitu untuk tidak saja
menekankan pada tujuan ekonomi, namun juga sosial dan
lingkungan dalam memanfaatkan ruang perkotaan.
Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh pihak swasta:
a) Pihak swasta yang akan membangun lokasi usaha (mall, plaza,
dan sebagainya) dengan areal yang luas perlu menyertakan konsep
pembangunan ruang terbuka hijau.
b) Bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat dalam
membangun dan memelihara ruang terbuka hijau.
c) Menfasilitasi proses pembelajaran kerjasama pemerintah, swasta
dan masyarakat untuk memecahkan masalah yang berhubungan
dengan penyusunan RTH perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa
pemberian pelatihan pembangunan ruang terbuka hijau maupun
dengan proses diskusi dan seminar.
d) Berperan aktif dalam diskusi dan proses pembangunan
sehubungan dengan pembentukan kebijakan publik dan proses
pelibatan masyarakat dan swasta yang terkait dengan
pembangunan ruang terbuka hijau.
e) Mengupayakan bantuan pendanaan bagi masyarakat dalam
realisasi pelibatan dalam pemanfaatan dan pemeliharaan ruang
terbuka hijau.
f) Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan
dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa
pengecualian.

Lembaga/Badan Hukum

97
Lembaga atau badan hukum yang dimaksud merupakan organisasi
non-pemerintah, atau organisasi lain yang serupa berperan utama
sebagai perantara, pendamping, menghubungkan masyarakat dengan
pemerintah dan swasta, dalam rangka mengatasi kesenjangan
komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat serta
akses masyarakat ke sumberdaya.
Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan organisasi non-pemerintah antara lain:
a) Membentuk sistem mediasi dan fasilitasi antara pemerintah,
masyarakat dan swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi
dan informasi pembangunan ruang terbuka hijau.
b) Menyelenggarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan
pendapat atau kepentingan antara pihak yang terlibat.
c) Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan
penjelasan mengenai proses kerjasama antara pemerintah,
masyarakat dan swasta serta mengenai proses pengajuan keluhan
dan penyelesaian konflik yang terjadi.

Mendorong dan/atau menfasilitasi proses pembelajaran


masyarakat untuk memecahkan masalah yang berhubungan
dengan penyusunan RTH perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa
pemberian pelatihan kepada masyarakat dan/atau yang terkait
dalam pembangunan ruang terbuka hijau, maupun dengan proses
diskusi dan seminar.
d) Menciptakan lingkungan dan kondisi yang kondusif yang
memungkinkan masyarakat dan swasta terlibat aktif dalam proses
pemanfaatan ruang secara proporsional, adil dan bertanggung
jawab. Dengan membentuk badan atau lembaga bersama antara
pemerintah, perwakilan masyarakat dan swasta untuk aktif
melakukan mediasi.
e) Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan
dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa
pengecualian.
f) Organisasi lain yang memiliki peran dan posisi penting dalam
mempengaruhi, menyusun, melaksanakan, mengawasi kebijakan
pemanfaatan ruang perkotaan, antara lain: DPRD, Asosiasi profesi,
Perguruan tinggi, Lembaga donor, Partai politik, dan sebagainya.
Adapun peran dari masing-masing organisasi tersebut di atas dapat
disesuaikan dengan posisi dan keahlian yang dimiliki organisasi
98
dalam membantu atau terlibat proses pembangunan ruang terbuka
hijau.

Penghargaan dan Kompensasi

Penghargaan dan kompensasi terhadap masyarakat/perseorangan,


swasta, dan badan hukum dalam penyediaan, pembangunan,
pemeliharaan maupun peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
RTH dapat berupa:
a) Piagam penghargaan yang dikeluarkan oleh lembaga swadaya
masyarakat pemerhati RTH/lingkungan hidup, perguruan tinggi,
unsur kewilayahan seperti RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan.
Instansi yang terkait dengan pengeloaan RTH/ lingkungan hidup,
pemerintah daerah atau pemerintah pusat.
b) Pencantuman nama, baik perorangan, lembaga atau perusahaan
dalam ukuran yang wajar dan tidak mengganggu keindahan,
sebagai kontributor dalam penyediaan RTH tersebut, dengan
persetujuan tertulis dari instansi pengelolanya, sesuai dengan
peraturan yang berlaku di wilayah tersebut.

BUPATI MOROWALI UTARA,

ttd

APTRIPEL TUMIMOMOR

99
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN BUPATI MOROWALI UTARA


NOMOR 10 TAHUN 2021

TENTANG

PERATURAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH


KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016
TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2)


Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 1
Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok, perlu
menetapkan Peraturan Bupati tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Morowali
Utara Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa
Rokok;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5414);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573);

1
4. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5380);
5. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan Nomor
188/MENKES/PB/I/2011 dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kawasan Tanpa Rokok (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 49);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor
1 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok
(Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun
2016 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 017);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PERATURAN


PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 1 TAHUN
2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini, yang dimaksud dengan :


1. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu
atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana
tabacum, nocotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
2. Merokok adalah kegiatan membakar dan/atau menghisap rokok.
3. Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR adalah
ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok
atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau
mempromosikan produk tembakau.
4. Iklan rokok selanjutnya disebut iklan adalah kegiatan untuk
memperkenalkan, memasyarakatkan dan/atau mempromosikan
rokok dengan atau tanpa imbalan kepada masyarakat dengan tujuan
mempengaruhi konsumen agar menggunakan rokok yang ditawarkan.

2
5. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.
6. Tempat proses belajar mengajar adalah gedung yang digunakan untuk
kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan.
7. Tempat anak bermain adalah area tertutup maupun terbuka yang
digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.
8. Tempat ibadah adalah bangunan atau tempat tertutup yang memiliki
ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi
para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak
termasuk tempat ibadah keluarga.
9. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat
berupa kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi.
10. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau
terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang
dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha.
11. Tempat umum adalah sarana yang dapat digunakan oleh seluruh
lapisan masyarakat untuk berbagai kegiatan.
12. Pengelola, pimpinan dan/atau badan yang karena jabatannya
memimpin dan/atau bertanggungjawab atas kegiatan dan/atau usaha
di tempat atau kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa
rokok, baik milik pemerintah maupun swasta.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, komanditer, perseroan yang
lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, persekutuan, yayasan,
organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi yang sejenis,
lembaga dan pension, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan
lainnya.
14. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
15. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
16. Bupati adalah Bupati Morowali Utara
17. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Morowali
Utara
18. Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat PD adalah Perangkat
Daerah di Lingkungan Daerah Kabupaten Morowali Utara.

3
BAB II
KAWASAN TANPA ROKOK
Pasal 2

KTR meliputi:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lainnya yang ditetapkan.

Pasal 3

Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


huruf a meliputi:
a. rumah sakit;
b. rumah bersalin;
c. poliklinik;
d. puskesmas;
e. balai pengobatan;
f. laboratorium;
g. posyandu, Posbindu; dan
h. tempat praktek kesehatan swasta.

Pasal 4

Tempat proses belajar mengajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


huruf b:
a. sekolah;
b. perguruan tinggi;
c. pendidikan dan pelatihan;
d. balai latihan kerja;
e. bimbingan belajar; dan
f. tempat kursus.

4
Pasal 5

Tempat anak bermain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c


meliputi:
a. kelompok bermain;
b. penitipan anak;
c. pendidikan Anak Usia Dini (PAUD;) dan
d. taman kanak-kanak.

Pasal 6

Tempat Ibadah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi:


a. masjid/mushola;
b. gereja;
c. pura;
d. wihara; dan
e. klenteng.

Pasal 7

Angkutan umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf e meliputi:


a. bus umum;
b. taksi;
c. angkutan kota termasuk kendaraan wisata, bus angkutan anak,
sekolah dan bus angkutan karyawan;
d. angkutan antar kota;
e. angkutan air; dan
f. angkutan BBM.

Pasal 8

Tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f meliputi:


a. perkantoran pemerintah baik sipil maupun TNI dan Polri;
b. perkantoran swasta;
c. industri; dan
d. bengkel.

Pasal 9

Tempat umum dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi :
a. hotel;
b. restoran;

5
c. rumah makan;
d. jasa boga;
e. terminal;
f. pelabuhan;
g. pasar;
h. pusat perbelanjaan;
i. minimarket;
j. supermarket;
k. department store;
l. hypermarket;
m. mall;
n. plaza;
o. pertokoan;
p. bioskop;
q. tempat wisata;
r. stasiun;
s. sarana olahraga; dan
t. tempat umum lainnya.

Pasal 10

(1) Pimpinan atau penanggung jawab tempat sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 wajib menetapkan KTR.
(2) Penetapan KTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), secara teknis
diterapkan oleh pimpinan dan/atau penanggungjawab tempat yang
bersangkutan.

Pasal 11

KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b, huruf c,


huruf d dan huruf e dilarang menyediakan tempat khusus untuk
merokok dan merupakan KTR yang bebas dari asap rokok hingga batas
pagar terluar atau dengan batas lainnya yang ditentukan.

BAB III
TEMPAT KHUSUS MEROKOK
Pasal 12

(1) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 huruf f dan huruf g wajib menyediakan
tempat khusus merokok.

6
(2) Tempat khusus merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki persyaratan:
a. merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan
langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersikulasi
dengan baik;
b. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang
digunakan untuk beraktifitas;
c. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan
d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang.

Pasal 13

Tempat khusus merokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 harus


memenuhi ketentuan berupa ruangan dengan ukuran sesuai ketentuan
dengan dilengkapi alat penghisap udara, asap atau tempat pembuangan
puntung rokok dan dilengkapi dengan data dan informasi bahaya
merokok bagi kesehatan.

BAB IV
KEWAJIBAN DAN LARANGAN PENGELOLA, PIMPINAN,
DAN/ATAU PENANGGUNGJAWAB KAWASAN TANPA ROKOK
Pasal 14

(1) Setiap pengelola, pimpinan dan/atau penanggungjawab KTR wajib


untuk:
a. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi
yang menjadi tanggungjawabnya;
b. menyingkirkan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau
lokasi yang menjadi tanggungjawabnya; dan
c. memasang tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai
persyaratan disemua pintu masuk utama dan ditempat yang
dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik.

BAB V
BENTUK DAN ISI TANDA LARANGAN MEROKOK
Pasal 15

(1) Bentuk dan besaran tanda larangan merokok yang dimaksud dalam
Pasal 14 huruf c adalah:

7
a. diluar gedung (baliho) ukuran 2 m x 4 m. Dipasang dipintu pagar
masuk (untuk KTR sarana kesehatan dan sarana pendidikan dan
tempat ibadah); dan
b. didalam gedung (stiker) ukuran 18 cm x 30 cm. Dipasang dipintu
gedung dan dalam ruangan didalam gedung.
(2) Bentuk dan besaran tanda larangan merokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 18

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan KTR.


(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk;
a. pengawasan pelaksanaan Peraturan Bupati ini; dan
b. pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebar luasan data
dan/atau informasi dampak rokok bagi kesehatan.

Pasal 19

(1) Setiap orang dapat ikut serta memberikan bimbingan dan penyuluhan
dampak rokok bagi kesehatan kepada keluarga dan/atau
lingkungannya.
(2) Setiap warga masyarakat dapat memberikan bantuan bantuan sarana
dan prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan KTR.
(3) Setiap warga masyarakat berkewajiban ikut serta memelihara dan
meningkatkan kualitas udara yang sehat dan bersih serta bebas dari
asap rokok.
(4) Setiap warga masyarakat wajib mengingatkan setiap orang yang
melanggar ketentuan Pasal 15.
(5) Setiap warga masyarakat wajib melaporkan setiap orang yang terbukti
melanggar Pasal 15 kepada pimpinan/penanggungjawab KTR.

8
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20

Peraturan Bupati ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bupati ini dengan penetapannya dalam Berita Daerah
Kabupaten Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 06 Mei 2021

BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

DELIS JULKARSON HEHI

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 06 Mei 2021

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,

TTD

MUSDA GUNTUR

BERITA DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2021 NOMOR 10.

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

BETSI A POMBALAWO, SH
NIP. 19780121 200604 2 027

9
LAMPIRAN
PERATURAN BUPATI MOROWALI UTARA
NOMOR 10 TAHUN 2021
TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN
MOROWALI UTARA NOMOR 1 TAHUN
2016 TENTANG KAWASAN TANPA
ROKOK
A. BALIHO

ANDA MEMASUKI NO SMOKING


KAWASAN TANPA ROKOK
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NO. 1 TAHUN 2016 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

KETENTUAN PIDANA

Pasal 6 : setiap orang dilarang


a. Merokok di kawasan tanpa rokok (KTR) dan/atau
b. Setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual dan
atau membeli rokok di kawasan tanpa rokok
Pasal (15) :Setiap orang yang merokok ditempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR
dipidana kurungan paling lama 3 (tiga) hari atau denda paling banyak Rp.
50.000 (lima puluh ribu rupiah).
Pasal (16) : Setiap orang/badan yang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau
membeli rokok ditempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) hari atau denda paling banyak
Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah).
Pasal (17) : Setiap pengelola KTR yang tidak melakukan pengawasan internal
membiarkan orang merokok, tidak menyingkirkan asbak atau sejenisnya, dan
tidak memasang tnda-tanda dilarang merokok ditempat area yang dinyatakan
sebagai KTR dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) hari
atau denda paling banyak Rp. 10.00.000,- (sepuluh juta rupiah).

10
TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEROKOK
DI KAWASAN TANPA ROKOK

(ukuran: 2 meter x 4 meter)

B. STIKER

(Perda No. 1 Tahun 2016)


Pasal (15) : Setiap orang yang merokok ditempat atau area yang dinyatakan
sebagai KTR dipidana kurungan paling lama 3 (tiga) hari atau denda paling
banyak Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah).

Pasal (16) : Setiap orang/badan yang mempromosikan, mengiklankan, menjual,


dan/atau membeli rokok ditempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) hari atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah).

Pasal (17) : Setiap pengelola KTR yang tidak melakukan pengawasan internal
membiarkan orang merokok, tidak menyingkirkan asbak atau sejenisnya, dan
tidak memasang tnda-tanda dilarang merokok ditempat area yang dinyatakan
sebagai KTR dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) hari
atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

(ukuran 18 cm x 30 cm)

11
BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

DELIS JULKARSON HEHI

12
SALINAN

BUPATI MOROWALI UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN BUPATI MOROWALI UTARA


NOMOR 20 TAHUN 2021

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH


KABUPATEN MOROWALI UTARA NOMOR 6 TAHUN 2018
TENTANG PENERTIBAN HEWAN TERNAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MOROWALI UTARA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4),


Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (2) Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Penertiban Hewan Ternak, maka tata cara registrasi ternak,
ganti rugi oleh pemilik ternak, penyetoran, pengelolaan dan
besarannya terhadap ternak yang ditangkap oleh petugas,
perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Morowali
Utara Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penertiban Hewan
Ternak;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang


Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6573);

1
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2013 tentang
Pemberdayaan Peternak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5391);
5. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 6
Tahun 2018 tentang Penertiban Hewan Ternak
(Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara
Tahun 2018 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 39);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PETUNJUK TEKNIS


PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
MOROWALI UTARA NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG
PENERTIBAN HEWAN TERNAK.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan :


1. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya
fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan,
budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan
pengusahaannya.
2
2. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan
sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil
ikutannya yang terkait dengan pertanian.
3. Ternak Besar adalah jenis ternak berupa sapi, kuda, kerbau dan
sejenisnya.
4. Ternak Kecil adalah jenis ternak berupa kambing, domba, babi dan
sejenisnya.
5. Ternak Unggas adalah jenis ternak berupa ayam, kalkun, bebek, angsa
dan sejenisnya.
6. Pemilik Ternak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki ternak
dalam Wilayah Kabupaten Morowali Utara.
7. Registrasi adalah kegiatan pendaftaran pemilikan ternak dengan
pembacaan dan pencatatan sidik ternak dalam buku induk dan kartu
ternak.
8. Pengartuan ternak adalah pemberian kartu kepada pemilik ternak yang
memuat keterangan dan/atau identitas ternak.
9. Kartu Ternak adalah kartu yang diterbitkan oleh Bupati atau pejabat
yang ditunjuk, yang digunakan dalam Registrasi.
10. Penertiban Hewan Ternak adalah tindakan yang dilakukan oleh petugas
untuk melakukan penangkapan dan mengamankan ternak yang
berkeliaran di jalan umum dan di ruang publik dalam wilayah Daerah.
11. Petugas adalah mereka yang karena tugas, fungsi atau jabatannya
ditugaskan untuk melaksanakan/mengamankan pelaksanaan Peraturan
Bupati ini.
12. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
13. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
14. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
15. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah.
16. Desa/Kelurahan adalah wilayah desa/kelurahan pelaksanaan
penertiban hewan ternak yang dipimpin oleh Kepala Desa/Lurah.
3
Pasal 2

Ruang lingkup Peraturan Bupati ini meliputi :


a. tata cara registrasi ternak;
b. tata cara ganti rugi oleh pemilik ternak; dan
c. tata cara penyetoran, pengelolaan dan besarannya terhadap ternak yang
ditangkap oleh petugas.

BAB II
TATA CARA REGISTRASI TERNAK
Pasal 3

(1) Registrasi dan pengartuan ternak dimaksud untuk mengetahui data


populasi dan struktur populasi ternak sebagai dasar penetapan
keputusan dan kebijakan dalam bidang peternakan dan kesehatan
hewan.
(2) Registrasi dan pengartuan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk :
a. menjamin kepastian hukum kepemilikan ternak; dan
b. mendapatkan data populasi ternak yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal 4

Sasaran registrasi dan pengartuan ternak adalah ternak besar, ternak kecil
dan ternak unggas untuk semua jenis umur dan jenis kelamin.

Pasal 5

(1) Obyek registrasi dan pengartuan ternak adalah ternak besar, ternak
kecil dan ternak unggas.
(2) Subyek registrasi dan pengartuan ternak adalah orang dan/atau badan
hukum pemilik ternak besar.
(3) Registrasi dan pengartuan ternak dilaksanakan 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
Pasal 6

Setiap orang dan/atau badan hukum yang memiliki ternak besar harus
melaksanakan registrasi dan pengartuan ternak.

4
Pasal 7

Persiapan registrasi dan pengartuan ternak dilakukan di tingkat Daerah dan


tingkat Kecamatan.

Pasal 8

Pelaksanaan registrasi dan pengartuan ternak terdiri atas kegiatan :


a. pendataan dan pencatatan ternak pada buku induk;
b. pembacaan dan pencatatan sidik ternak;
c. pengobatan ternak jika dibutuhkan;
d. pemberian cap bakar nomor wilayah; dan
e. pengesahan dan pemberian kartu ternak baru kepada pemilik.

Pasal 9

(1) Pada saat pelaksanaan registrasi dan pengartuan ternak sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8, ternak harus dihadirkan di lokasi
pelaksanaan.
(2) Pendataan dan Pencatatan ternak pada buku induk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dilakukan dengan cara :
a. mencatat identitas pemilik ternak; dan
b. mencatat identitas ternak (jenis ternak, jenis kelamin ternak dan
umur ternak).
(3) Pembacaan dan pencatatan sidik ternak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf b, dicatat dalam buku induk registrasi yang memuat :
a. tanda istimewa alami ternak seperti pusar-pusar, bentuk tanduk,
lampe, warna bulu, sumbing, ekor bengkok, ekor terpotong, warna
rambut ekor, dan warna khusus;
b. tanda istimewa buatan seperti cap bakar di tubuh, irisan telinga, dan
tanduk terpotong pada ternak; dan/atau
c. bentuk cacat fisik lainnya pada Ternak.
(4) Pemberian cap bakar nomor wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf d, dilakukan pada punggung sebelah kiri ternak.
(5) Pembacaan sidik ternak, pengobatan ternak jika dibutuhkan dan
pemberian cap bakar nomor wilayah, dilakukan di dalam kandang jepit
yang disediakan dan dibuat secara gotong royong oleh masyarakat
Desa/Kelurahan dan/atau Pemerintah Desa/Kelurahan.

5
(6) Pengesahan dan pemberian kartu ternak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf e, dilakukan oleh Kepala Desa/Lurah.
(7) Kartu ternak diberikan kepada pemilik ternak setelah pelaksanaan
registrasi dan pengartuan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), ayat (4) dan ayat (6) selesai dilakukan, dan dicatat dalam buku
bukti pengembalian kartu ternak.
(8) Seluruh kegiatan registrasi dan pengartuan ternak tidak dipungut biaya.

Pasal 10

(1) Agar ternak tidak berkeliaran maka setiap pemilik ternak wajib memiliki
kandang.
(2) Peternak diharuskan menanam hijauan pakan ternak bagi mereka yang
memiliki ternak besar dan ternak kecil.
(3) Peternak hanya diperbolehkan memelihara ternak sesuai kapasitas
kandang dan hijauan pakan yang tersedia.
(4) Bagi peternak atau kelompok peternak yang memiliki lahan yang luas,
maka lahan tersebut dapat dijadikan padang penggembalaan dengan
syarat lahan tersebut dipagar keliling.
(5) Bagi desa yang memiliki lahan milik desa, maka lahan tersebut dapat
dijadikan padang penggembalaan desa yang dapat digunakan oleh
masyarakat desa setempat.

BAB III
TATA CARA GANTI RUGI
Pasal 11

Pemilik ternak menanggung biaya penggantian atas kerugian yang dialami


oleh pemerintah, badan hukum, swasta, atau perorangan sebagai akibat
yang ditimbulkan dari ternak yang berkeliaran di jalan umum atau
diberbagai ruang publik.

Pasal 12

(1) Penyelesaian biaya penggantian atas kerugian sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 11 dilaksanakan melalui musyawarah/mufakat.

6
(2) Penyelesaian biaya penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, Lembaga Adat ataupun
Aparat Kelurahan/Desa.
(3) Hasil kesepakatan biaya penggantian kerugian dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak, saksi serta 2 (dua) orang yang
terdiri dari komponen lembaga adat dan pemerintah setempat.
(4) Apabila musyawarah/mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, maka kedua belah pihak menyelesaikan sesuai dengan
prosedur hukum yang berlaku.

BAB IV
TATA CARA PENYETORAN, PENGELOLAAN DAN BESARANNYA TERHADAP
TERNAK YANG DITANGKAP OLEH PETUGAS
Pasal 13

Ternak yang ditangkap oleh petugas dapat diambil oleh pemiliknya setelah
membayar :
a. biaya penangkapan sebagai berikut :
1. ternak besar Rp. 35.000/ekor
2. ternak kecil Rp. 15.000/ekor
b. biaya pemeliharaan sebagai berikut :
1. ternak besar Rp. 15.000/ekor/hari
2. ternak kecil Rp. 5.000/ekor/hari
c. biaya pelayanan kesehatan sebagai berikut :
1. ternak besar Rp.150.000/ekor
2. ternak kecil Rp. 50.000/ekor

Pasal 14

Pendapatan dari biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diberikan


kepada :
1. biaya penangkapan :
a. untuk petugas 60% (enam puluh per seratus);
b. untuk kas Desa/Kelurahan 40% (empat puluh per seratus).
2. biaya pemeliharaan :
a. untuk Petugas 25% (dua puluh lima per seratus);
b. untuk kas Desa/Kelurahan 25% (dua puluh lima per seratus);

7
c. biaya operasional pemeliharaan 50% (lima puluh per seratus).
3. biaya pelayanan kesehatan :
Untuk petugas 100% (seratus per seratus).

BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15

Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten
Morowali Utara.

Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 18 Agustus 2021
BUPATI MOROWALI UTARA,

TTD

DELIS JULKARSON HEHI

Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 18 Agustus 2021
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,

TTD

MUSDA GUNTUR

BERITA DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA TAHUN 2021 NOMOR 20.

Salinan sesuai dengan aslinya :


Kepala Bagian Hukum,

BETSI A POMBALAWO, SH
NIP. 19780121 200604 2 027

8
BAGIAN 3
( Standar Operasional Prosedur Penegakan Satuan Polisi Pamong
Praja )
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SATUAN POLISI PAMONG
BIDANG TRANTIBUM

A. Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat


1. Ruang lingkup penyelenggaran ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
terdiri dari pembinaan dan operasi penertiban umum dan ketentraman
masyarakat yang menjadi kewenangan Satpol PP meliputi:
a. Tertib tata ruang;
b. Tertib jalan;
c. Tertib angkutan jalan
d. Tertib jalur hijau, taman dan tempat umum;
e. Tertib sungai, saluran, kolam dan pinggir pantai;
f. Tertib lingkungan;
g.
h. Tertib tempat usaha tertentu;
i. Tertib bangunan;
j. Tertib sosial;
k. Tertib kesehatan;
l. Tertib tempat hiburan dan keramaian;
m. Tertib peran serta masyarakat; dan
n. Ketentuan lain sepanjang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

2. Ketentuan Pelaksanaan:
a. Umum
Persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap petugas Pembina dalam operasi
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah:
1) Harus memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan tentang Peraturan
Daerah, Peraturan Bupati dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya;
2) Dapat menyampaikan maksud dan tujuan bahasa indonesia yang baik
dan benar, atau dapat juga dengan bahasa daerah;
3) Menguasai teknik penyampaian informasi dan presentasi yang baik;
4) Berwibawa, penuh percaya diri dan bertanggung jawab;
5) Harus dapat menarik simpati masyarakat;
6) Bersedia menerima saran dan kritik dari masyarakat serta mampu
mengidentifikasi masalah dan memberikan alternatif pemecahan
masalah tanpa mengurangi tugas pokok;
7) Petugas ketertiban umum dan ketentraman masyarakat harus memiliki
sifat:
a) Ulet dan tahan uji;
b) Dapat memberikan jawaban yang memuaskan kepada semua pihak
terutama yang menyangkut tugas pokok;
c) Mampu membaca situasi;
d) Memiliki suri tauladan dan dapat dicontoh oleh aparat pemerintah
daerah lainnya; dan
e) Ramah, sopan, santun dan menghargai pendapat orang lain.
b. Khusus
Pengetahuan dasar yang harus memiliki oleh petugas Satpol PP dalam
melaksanakan tugas menyelenggarakan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat adalah:
1) Pengetahuan tentang petugas pokok Polisi Pamong Praja khususnya dan
Pemerintahan Daerah umumnya;
2) Pengetahuan dasar hukum dan Peraturan Perundangan-Undangan;
3) Mengetahui dasar hukum pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong
Praja;
4) Memahami dan menguasai adat istiadat kebiasaan yang berlaku di
daerah; dan
5) Mengetahui dan memahami dasar pengetahuan dan dasar hukum
pembinaan Ketentraman dan Ketertiban Umum;
3. Perlengkapan dan peralatan:
a. Surat perintah tugas (dalam setiap kegiatan);
b. Kartu tanda anggota;
c. Kelengkapan pakaian dinas lapangan (PDL);
d. Kendaraan operasional yang terdiri dari kendaraan roda
empat atau lebih dan roda dua sesuai standar Satpol PP;
e. Perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K);
f. Alat pelindung diri seperti topi lapangan, helm, tameng; dan
g. Alat perlengkapan lainnya yang mendukung kelancaran
pembinaan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat;

4. Tahap, Bentuk Dan Cara Pelaksanaan Pembinaan:


Bentuk pembinaan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat berupa
materi peraturan perundang-undangan yang tidak ditaati masyarakat,
terutama Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati, yang dilaksanakan secara
bertahap dan berkesinambungan.

Dalam pembinaan harus memenuhi:


a. Penentuan sasaran pembinaan dalam bentuk perorangan,
kelompok atau badan usaha;
b. Penetapan waktu pelaksanaan pembinaan seperti bulanan,
triwulan, semesteran dan/atau tahunan. Perencanaan
dengan batas waktu tersebut dimaksudkan agar setiap
kegiatan yang dilakukan memiliki batasan waktu yang jelas
dan mempermudah penilaian keberhasilan;
c. Penetapan materi pembinaan dilakukan agar maksud dan
tujuan pembinaan dapat tercapai secara terarah, sesuai
dengan subjek, objek dan sasaran; dan
d. Penetapan tempat pembinaan dapat bersifat formal
atau informal disesuaikan dengan kondisi di lapangan.

Adapun bentuk dan metode dalam rangka pembinaan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu:
a. Formal
1) Sasaran perorangan:
a) Pembinaan dilakukan dengan cara mengunjungi anggota masyarakat
yang telah ditetapkan sebagai sasaran untuk memberikan arahan dan
himbauan tentang arti pentingnya ketaatan terhadap Peraturan Daerah
dan Peraturan Bupati; dan
b) Mengundang/memanggil anggota masyarakat yang telah melanggar
Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati untuk diberikan arahan dan
pembinaan bahwa perbuatan yang telah dilakukan mengganggu
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
2) Sasaran kelompok:
Pembinaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dilakukan
dengan dukungan fasilitas dari Pemerintah Daerah melalui koordinasi
dengan instasi terkait, serta menghadirkan masyarakat di suatu tempat
yang ditetapkan sebagai sasaran dan Narasumber membahas arti
pentingnya peningkatan ketaatan dan kepatuhan terhadap Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati guna memelihara ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat.
b. Informal
Seluruh anggota Polisi Pamong Praja mempunyai kewajiban moral untuk
menyampaikan informasi dan himbauan yang terkait dengan Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati kepada masyarakat. Metode pembinaan yang
dilakukan adalah dengan cara asah, asih dan asuh antara aparat
penertiban dengan masyarakat dalam rangka peningkatan ketaatan dan
kepatuhan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati.

Selain itu, pembinaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat juga


dapat dilakukan melalui:
1) Media massa dan media elektronik seperti surat kabar, radio dan televisi;
2) Pembinaan pada tingkat RT, RW, Desa/Kelurahan dan Kecamatan;
3) Tatap muka; dan
4) Pembinaan oleh tim yang khusus dibentuk untuk memberikan arahan dan
informasi kepada masyarakat dalam rangka memelihara ketenteraman dan
ketertiban umum.

5. Teknis persiapan operasional ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat:


a. Memberikan teguran pertama kepada orang atau badan
hukum yang melanggar ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat;
b. Memberikan teguran kedua apabila dalam waktu 3 (tiga)
hari setelah teguran pertama belum diindahkan;
c. Memberikan teguran ketiga apabila dalam waktu 3 (tiga)
hari setelah teguran kedua belum diindahkan;
d. Memberikan surat peringatan pertama dalam waktu 7
(tujuh) hari agar orang atau badan hukum tersebut
menertibkan sendiri apabila dalam waktu 3 (tiga) hari
setelah teguran ketiga belum juga diindahkan;
e. Memberikansurat peringatan kedua dalam waktu 3 (tiga)
hari;
f. Memberikan surat peringatan ketiga dalam waktu 1 (satu)
hari; dan
g. Apabila setelah surat peringatan ketiga tidak diindahkan,
maka dapat dilakukan tindakan penertiban secara paksa.
6. Teknis Operasional Ketetiban Umum Dan Ketenteraman Masyarakat Dalam
Menjalankan Tugas:
a. Melaksanakan deteksi dini dan mengevaluasi hasil deteksi
dini;
b. Melakukan pemetaan terhadap obyek atau lokasi sasaran;
c. Pimpinan operasi menentukan jumlah kekuatan anggota
yang diperlukandalam pelaksanaan operasi;
d. Apabila pelaksanaan operasi membutuhkan bantuan dari
instansi terkait lainnya, perlu segera mengadakan
koordinasi;
e. Sebelum menuju lokasi operasi, pimpinan operasi
memberikan pengarahan kepada para anggota tentang
maksud dan tujuan operasi termasuk kemungkinan
ancaman yang dihadapi oleh petugas dalam operasi;
f. Mempersiapkan segala kebutuhan dan perlengkapan serta
peralatan yang harus dibawa; dan
g. Memberikan surat teguran atau surat peringatan.

7. Melakukan pra operasional penertiban:


a. Merencanakan operasi penertiban dengan berkoordinasi
dengan kepolisian, kecamatan, kelurahan, rt/rw dan
masyarakat setempat;
b. Melakukan kegiatan pemantauan (kegiatan intelijen yang
dilakukan oleh aparat satpol pp atau berkoordinasi dengan
kelurahan, kecamatan, polres dan kodim);
c. Menentukan jadwal kegiatan penertiban, jumlah pasukan,
sarana prasarana pendukung, instansi yang terlibat, dan
pola operasi penertiban;
d. Pimpinan pasukan memberikan arahan kepada anggota
pasukan yang akan melakukan penertiban agar:
1) Bertindak tegas;
2) Tidak bersikap arogan;
3) Tidak melakukan pemukulan/kekerasan;
4) Menjunjung tinggi ham;
5) Mematuhi perintah pimpinan;
6) Mempersiapkan kelengkapan sarana operasi berupa kendaraan, pakaian
seragam dan pelindungnya, pertolongan pertama pada kecelakaan (p3k),
dan mobil ambulan;
7) Mempersiapkan pasukan pendukung dari instansi terkait apabila terjadi
upaya penolakan dari masyarakat yang berpotensi menimbulkan
konflik dan kekerasan.

8. Melakukan operasi penertiban:


a. Membacakan/menyampaikan surat perintah penertiban;
b. Melakukan penutupan/penyegelan;
c. Apabila ada penolakan/perlawanan terhadap petugas,
maka dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1) Melakukan negosiasi dan memberikan pemahaman kepada yang
bersangkutan;
2) Dapat menggunakan mediator (pihak ketiga) untuk menjembatani;
3) Apabila upaya negosiasi dan mediasi mengalami jalan buntu,
4) Maka petugas melukan tindakan pertiban secara paksa; dan
5) Apabila penolakan/perlawanan bersifat anarkis, maka segera melakukan
konsolidasi sambil memperhatikan perintah pimpinan lebih lanjut,
mengamankan pihak yang memprovokasi, melakukan tindakan bela diri
untuk mencegah jatuhnya korban kedua belah pihak, melanjutkan atau
Menghentikan operasi penertiban, melakukan advokasi dan bantuan
hukum, serta mengevakuasi kegiatan yang telah dilakukan dan rencana
lebih lanjut.

9. Pembinaan:
a. Pembinaan tertib pemerintahan:
1) Melaksanakan piket secara bergiliran;
2) Memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap pengamanan kantor;
3) Memberikan/memfasilitasi bimbingan dan pengawasan serta
membentuk pelaksanaan siskamling bagi desa dan kelurahan;
4) Memberikan bimbingan dan pengawasan ketertiban wilayah;
5) Melaksanakan pengawasan dan pemantauan terhadap implementasi
peraturan perundang-undangan;
6) Memberikan pengamanan tehadap usaha/kegiatan yang dilakukan
secara massal, untuk mencegah timbulnya gangguan ketenteraman dan
ketertiban umum;
7) Mencegah timbulnya kriminalitas;
8) Mengadakan pemeriksaan dan penertiban terhadap bangunan dan
tempat usaha tanpa izin;
9) Menyelesaikan sengketa dalam masyarakat; dan
10) Melakukan berbagai usaha dan kegiatan sektoral lainnya yang
perlukan.
b. Pembinaan tertib lingkungan:
1) Memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap pelestarian
lingkungan;
2) Memberikan bimbingan dan pengawasan mengenai pengendalian dan
penanggulangan sampah, kebersihan lingkungan dengan sasaran pusat-
pusat kegiatan masyarakat seperti pasar;
3) Memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap usaha dan kegiatan
yang mengandalkan lingkungan untuk menghasilkan barang produksi; dan
4) Melakukan usaha dan kegiatan penanggulangan bencana alam.
c. Pembinaan tertib sosial:
1) Preventif melalui penyuluhan, bimbingan, latihan, pemeberian bantuan
pengawasan serta pembinaan kepada perorangan maupun kelompok
masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan,
pengemis dan wts;
2) Refresif melalui razia, penampungan sementara untuk mengurangi
gelandangan, pengemisdan wts baik kepada perorangan maupun
kelompok masyarakat yang disangka sebagai gelandangan, pengemis
dan wts;
3) Rehabilitasi meliputi penampungan, pengaturan, pendidikan, pemulihan
kemampuan dan penyaluran kembali kekampung halaman untuk
mengembalikan peran meraka sebagai warga masyarakat;
4) Mengadakan penertiban agar aktifitas pasar dapat berjalan lancar, aman,
bersih dan tertib;
5) Memonitor dan memberikan motivasi dan pengawasan terhadap
warung, toko dan rumah makan yang melakukan kegiatannya tanpa
dilengkapi dengan izin usaha;
6) Melakukan kerjasama dengan dinas/instansi terkait dan aparat
keamanan serta ketertiban kawasan parkir;
7) Melakukan pengawasan dan penertiban terhadap para pelanggar
peraturan daerah, peraturan bupati dan produk hukum lainnya;
dan
8) Melakukan pembinaan mengenai peningkatan kesadaran masyarakat
dalam membayar pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah
daerah.
10. Administrasi:
a. Persiapan:
1)Penetapan sasaran, waktu dan objek yang akan diberikan pembinaan;
2)Penetapan tempat, bentuk dan metode pembinaan;
3)Mengadakan survey lapangan;
4)Mengadakan koordinasi dengan dinas/instansi terkait;
5)Penyiapan administrasi pembinaan seperti daftar hadir, surat perintah,
surat teguran dan surat panggilan terhadap masyarakat yang
melakukan pelanggaran peraturan perundang- undangan; dan
6) Pimpinan kegiatan memberikan arahan dan menjelaskan maksud dan
tujuan kepada anggota tim yang bertugas melakukan pembinaan.
b. Pelaksanaan:
1) Sebelum menuju sasaran bagi anggota satpol pp yang bertugas
melakukan pembinaan terlebih dahulu memeriksa kelengkapan
administrasi, peralatan dan perlengkapan yang akan dibawa;
2) Pelaksanaan pembinaan ketertiban umum dan ketenteramanmasyarakat
yang berhubungan dengan lingkup tugas, perlu dikoordinasikan dengan
dinas/instansi terkait;
3) Bentuk koordinasi ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
di daerah dilakukan sesuai dengan keperluan:
a) Melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait;
b) Koordinasi pelaksanaan; dan
c) Penerapan sanksi kepada pelanggar sesuai dengan kewenangan.
4) Pembinaan yang dilakukan melalui panggilan resmi maupun surat
teguran, setelah ditandatangani oleh penerima, maka petugas segera
menjelaskan maksud dan tujuan panggilan. Pemberian teguran
tersebut satu diserahkan kepada si penerima dan satu lagi sebagai arsip
untuk memudahkan pengecekan;
5) Pembinaan yang dilakukan secara tatap muka atau wawancara, bagi
petugas pembina harus mempedomani teknik-teknik berkomunikasi
dengan memperhatikan sikap dan sopan santun dalam berbicara; dan
6) Pembinaan yang dilakukan melalui forum disesuaikan dengan maksud
dan tujuan pertemuan tersebut dengan dibuatkan notulen.
c. Evaluasi :
1) Setelah pelaksanaan kegiatan pembinaan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat, baik yang dilakukan secara rutin, insidentil
maupun operasi gabungan segera melaporkannya kepada kepala
satpol pp dan dari kepala satpol pp meneruskan kepada bupati;
2) Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan operasi dan menjelaskan tentang
hambatan yang ada kepada kepala satpol pp dan atau yang
memerintahkannya; dan
3) Menyusun laporan hasil pelaksanaan kegiatan sekaligus dengan hasil
evaluasinya.
B. Penanganan Unjuk Rasa Dan Kerusuhan Massa
1. Ruang lingkup:
a. Unjuk rasa dalam keadaan damai:
Unjuk rasa dapat berupa demonstrasi, pawai, rapat umum, ataupun
mimbar bebas. Unjuk rasa umumnya telah diberitahukan terlebih dahulu
kepada pihak kepolisian. Selanjutnya dari pihak kepolisian
memberitahukan kepada kepala satpol pp setempat.
b. Kerusuhan massa:
Keadaan yang dikategorikan kerusuhan massa adalah:
1) Massa perusuh telah dinilai melakukan tindakan yang sangat
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta
melakukan kekerasan yang membahayakan keselamatan jiwa, harta dan
benda antara lain:
a) Merusak fasilitas umum dan instalasi pemerintah;
b) Melakukan pembakaran benda-benda yang mengakibatkan
terganggunya arus lalu lintas; dan
c) Melakukan kekerasan terhadap orang/masyarakat lain.
2) Massa perusuh menunjukan sikap dan tindakan yang melawan perintah
petugas/aparat pengamanan antara lain:
a) Melewati garis batas yang telah diberikan petugas; dan
b) Melakukan tindakan kekerasan/anarkis kepada petugaspengamanan.
2. Pelaksanaan:
a. Penanganan unjuk rasa dalam keadaan damai:
1) Persiapan
a) Memakai pakaian dinas lapangan (pdl);
b) Menyiapkan perlengkapan yang diperlukan :
(1) Perlengkapan perorangan: helm, pentungan, borgol, tameng dan
dapat diperlengkapi dengan senjata api (sesuai peraturan yang
berlaku) bagi yang mempunyai izin;dan
(2) Kendaraan khusus dilengkapi dengan perlengkapan yang
diperlukan.
c) Menyiapkan daftar tim yang bertugas dan surat perintah pengamanan;
d) Komandan operasi memberikan arahan singkat perihal:
(1) Lokasi;
(2) Rute yang ditempuh;
(3) Situasi yang mungkin dihadapi; dan
(4) Tindakan yang dibenarkan untuk dilakukan.
2) Pelaksanaan
a) Koordinasi
Kepala satpol pp melaporkan/memberitahukan kepada bupati dan
komandan operasi melakukan koordinasi dengan aparat pengamanan
lainnya dilapangan seperti dengan pihak kepolisian atau aparat
lainnya tentang:
(1) Jumlah massa yang melakukan unjuk rasa;
(2) Rute yang akan dilalui;
(3) Kegiatan yang dibenarkan dilakukan pengunjuk rasa;
(4) Waktu yang disediakan; dan
(5) Lokasi unjuk rasa.
b. Isolasi:
(1) Anggota operasi satpol pp bersama pihak kepolisian untuk
memisahkan pengunjuk rasa dengan massa penonton;
(2) Tidak dibenarkan melakukan tindakan paksa atau cara
kekerasan; dan
(3) Anggota satpol pp tetap dalam formasi yang telah ditetapkan.
c. Negoisasi dan penanganan:
(1) Kepolisian dan anggota satpol pp melakukan negoisasi dengan
pengunjuk rasa;
(2) Tidak dibenarkan melakukan melakukan upaya paksa; dan
(3) Bersikap simpatik dan tetap berwibawa;
3. Laporan hasil kegiatan:
a. Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang tersedia;
dan
b. Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan tindak
segera.
1) Pelaksanaan:
a) Komandan operasi melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian
tentang langkah-langkah tindakan yang akan dilakukan;
b) Anggota satpol pp yang sifatnya sebagai tenaga pendukung (bantuan)
hanya melakukan tindakan sesuai koordinasi pihak kepolisian; dan
c) Tidak dibenarkan melakukan tindakan diluar kendali pimpinan
lapangan.

2) Laporan hasil kegiatan:


a) Membuat laporan tertulis sesuai format yang tersedia; dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera.

C. Pengawalan pejabat dan orang-orang penting


1. Ruang lingkup:
Pengawalan terhadap para pejabat dan orang–orang penting dilakukandengan
cara:
a. Pengawalan dengan sepeda motor; dan
b. Pengawalan dengan kendaraan mobil.
2. Pelaksanaan:
a. Pengawalan dengan sepeda motor:
1) Persiapan:
a) Memakai pakaian dinas lapangan( pdl);
b) Menyiapkan perlengkapan yang diperlukan:
(1) Perlengkapan perorangan: helm. Pentungan, borgol dan dapat
diperlengkapi dengan senjata api (bagi yang mempunyai izin);
(2) Kendaraan khusus yang dilengkapi peralatan yang dibutuhkan;dan
(3) Pengemudi diutamakan memiliki kompetensi pendidikan
pengemudi (memiliki sim).
c) Menyusun jadwal, daftar petugas dan surat perintah pengawalan.

2) Pelaksanaan:
a) Dua sepeda motor dalam keadaan siap bergerak pada posisi berjajar
dan pengawal berdiri disamping sepeda motor;
b) Pejabat/tamu vip sudah berada didalam kendaraan dan siap
menerima laporan kesiapan dari pengawal;
c) Komandan operasi menuju keajudan menyampaikan laporan siap
melakukan pengawalan;
d) Sepeda motor berjajar dengan sepeda motor lainnya berangkat
menuju tujuan;
e) Selama perjalanan lampu dinyalakan dan sirine hidup;
f) Tiba di tujuan:
(1) Sebelum berhenti berikan tanda /isyarat pelan; dan
(2) Berhenti dan parkir ditempat yang aman.
g) Selesai acara:
(1) Sepeda motor telah siap; dan
(2) Komandan operasi laporan ke ajudan siap pengawalan, selanjutnya
pengawalan sama dengan waktu perjalanan menujutujuan.
h) Tiba dikantor:
Setelah sepeda motor diparkir, komandan operasi laporan kepada
ajudan bahwa pengawalan telah selesai dilaksanakan.
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang
tersedia; dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera.

b. Pengawalan dengan kendaraan mobil:


1) Persiapan:
a) Memakai pakaian dinas lapangan (pdl);
b) Menyiapkan perlengkapan yang diperlukan:
(1) Perlengkapan perorangan: helm, pentungan, borgol tameng dan
dapat diperlengkapi dengan senjata api(bagi yang mempunyai izin);
(2) Kendaraan khusus yang dilengkapi peralatan yang dibutuhkan;
c) Menyusun jadwal daftar petugas dan surat perintah pengawalan;
2) Pelaksanaan:
a) Pengemudi lapor kepada komandan operasi tentang kesiapan
kendaraan;
b) Komandan operasi menyiapkan regunya paling banyak 6 (enam) orang
untuk naik ke kendaraan dan siap melakukan pengawalan;
c) Komandan operasi menuju ke ajudan dan melaporkan kesiapannya
untuk melakukan pengawalan;
d) Komandan operasi naik ke kendaraan duduk bersebelahan dengan
pengemudi dan memerintahkan pengemudi untuk menjalankan
kendaraan;
e) Selama perjalanan lampu dinyalakan dan sirine hidup;
f) Tiba ditujuan:
(1) Sebelum berhenti berikan tanda/isyarat pelan;
(2) Berhenti dan parker ditempat yang aman;dan
(3) Anggota operasi turun dan menyebar melakukan pengawalan.
g) Selesai cara:
(1) Kendaraan dan anggota operasi telah siap;
(2) Komandan operasi laporan ke ajudan siap pengawalan; dan
(3) Selanjutnya pengawalan sama dengan waktu perjalanan menuju
tujuan.
h) Tiba di kantor:
Setelah kendaraan berhenti, seluruh anggota operasi turun, komandan
operasi laporan kepada ajudan bahwa pengawalan telah selesai
dilaksanakan.
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang
tersedia; dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera.
D. Pengamanan Tempat-Tempat Penting
1. Ruang lingkup:
Penjagaan tempat-tempat penting yang perlu dilakukan oleh satpol pp antara
lain:
a. Rumah dinas bupati, wakil bupati, ketua dprd, wakil ketua dprd dan
sekretaris daerah:
1) Persiapan:
a) Memakai pakaian dinas lapangan(pdl); dan
b) Melakukan kerjasama dengan dinas/instansi terkait
2) Pelaksanaan:
a) Merencanakan penyusunan jadwal dan petugas yang akan
melaksanakan tugas di rumah dinas;
b) Membuat berita acara pelimpahan tugas dengan petugas jaga
pengganti yang ditandatangani oleh yang melimpahkan dan yang
menerima pelimpahan tugas;
c) Mencatat dan mengenali identitas setiap tamu yang berkunjung;
d) Melakukan pengaturan lalu lintas disekitar pintu gerbang pada saat
pejabat/tamu keluar masuk lingkungan rumah dinas;
e) Mencatat identitas, logat bicara/dialek,suara-suara lain yang
terdengar, serta pesan yang disampaikan oleh penelpon;
f) Mencatat kejadian-kejadian penting/menonjol selama melakukan
tugas jaga;
g) Melakukan pengawasan dan pengecekan terhadap petugas pelayanan
seperti petugas telpon, pam, listrik dan lainnya;
h) Melakukan pengawasan dan pengecekan secara intensif disetiap
tempat tersembunyi dan kurang mendapat perhatian; dan
i) Menjaga dan menertibkan para pedagang penjaja barang atau
sejenisnya serta para pencari sumbangan (perorangan, yayasan dan
lain-lain).
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang
tersedia; dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera.
b. Sekitar ruangan kerja pejabat pemerintah daerah, ketua dprd dan wakil
ketua dprd:
1) Persiapan:
a) Memakai pakaian dinas lapangan (pdl); dan
b) Melakukan kerjasama dengan dinas/instansi terkait.
2) Pelaksanaan:
a) Melakukan pemeriksaan dilingkungan ruang kerja pejabat sebelum
bersangkutan tiba;
b) Melakukan koordinasi dengan tata usaha dan ajudan pejabat yang
bersangkutan;
c) Melakukan pencatatan jadwal kegiatan pejabat pada hari yang
bersangkutan dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam waktu 1
(satu) minggu yang akan datang;
d) Memberikan pelayanan penunjang lainnya kepada pejabat tersebut
bilamana diperlukan;
e) Mengawasi dan mengenali identitas setiap tamu yang berkunjung;
f) Melakukan pengawasan dan pengecekan secara intensif setiap
tempat tersembunyi dan kurang mendapat perhatian;
g) Menjaga dan menertibkan para pedagang, penjaja barang atau
sejenisnya dan para pencari sumbangan (perorangan, yayasan dan lain-
lain);
h) Mengingatkan kepada tata usaha untuk melakukan pengecekan
kembali terhadap instalsi listrik, air, pemadam kebakaran, ac tempat
penyimpanan dokumen, arsip dan lain-lain, setelah pejabat yang
bersangkutan meninggalkan tempat;dan
i) Melakukan penjagaan sesuai dengan jam kerja kantor atau sampai
dengan batas waktu pejabat meninggalkan tempat.
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang
tersedia; dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera.
c. Lokasi kunjungan kerja pejabat:
1) Persiapan:
a) Memakai pakaian dinas lapangan (pdl); dan
b) Melakukan kerjasama dengan dinas /instansi terkait;
2) Pelaksanaan:
a) Melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap objek dan benda-
benda yang terdapat di sekitar lokasi kunjungan kerja pejabat
b) Melakukan pengamatan dan penganalisaan terhadap situasi dan
kondisi disekitar lokasi kunjungan kerja pejabat;
c) Melakukan pengawasan dan pengecekan secara intensif setiap tempat
yang tersembunyi dan kurang mendapat perhatian di lingkungan lokasi
kunjungan pejabat;
d) Mengawasi dan mencermati kejadian-kejadian yang penting/menonjol
disekitar lokasi kunjungan kerja pejabat;
e) Melaporkan kepada aparat keamanan/polisi terdekat,bila menemukan
barang yang dicurigai dan diperkirakan;
f) Berupa bom, bahan peledak dan jangan sekali-kali dipegang/disentuh
serta melokalisir dan memberi tanda pada tempat yang dicurigai
tersebut;
g) Mengawasi dan mengenali setiap orang yang berada di lokasi
kunjungan kerja pejabat;
h) Melakukan koordinasi dengan pihak protokoler berkenaan dengan
jenis dan sifat kegiatan serta susunan acara yang akan dilaksanakan;
i) Melakukan koordinasidengan panitia penyelenggara atau pihak yang
bertanggung jawab melaksanakan kegiatan tersebut berkenaan
dengan jumlah dan daftar tamu/ undangan yang akan diundang;
j) Melakukan koordinasi dengan/ antar unsur pengamanan lainnya;
k) Saling memberikan informasi dalam melakukan tugas penjagaan di
lapangan;
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang
tersedia; dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera;
d. Tempat kedatangan dan tempat tujuan tamu/delegasi vip:
1) Persiapan:
a) Memakai pakaian dinas lapangan (pdl); dan
b) Melakukan kerjasama dengan dinas/instansi terkait.
2) Pelaksanaan:
a) Melakukan penjagaan di lingkungan tempat kedatangan dan tempat
tujuan tamu/delegasi;
b) Melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap objek dan benda-
benda di lingkungan tempat kedatangan dan tempat tujuan, sebelum
para tamu/ delegasi tiba dilokasi;
c) Melakukan pengamatan dan penganalisaan terhadap situasi dan
kondisi di lingkungan tempat kedatangan dan tempat tujuan;
d) Melakukan pengawasan dan pengecekan serta intensif setiap tempat
yang tersembunyi dan kurang mendapat perhatian;
e) mengawasi dan mencermati kejadian yang penting/menonjol di
tempat kedatangan dan tempat tujuan;
f) Melaporkan kepada aparat keamanan/polisi terdekat, bila menemukan
barang yang dicurigai dan diperkirakan berupa bom, bahan peledak
dan jangan sekali-kali dipegang/disentuh serta melokalisir dan
memberi tanda pada tempat yang dicurigai;
g) Mengawasi dan mengenali setiap tamu undangan dan
Orang-orang yang berada di lingkungan tempat kedatangan dan tempat
tujuan;
h) Melakukan koordinasi dengan pihak protokoler berkenaan dengan jenis
dan sifat kegiatan serta susunan acara yang akan dilaksanakan;
i) Melakukan koordinasi dengan panitia penyelenggara atau pihak yang
bertanggung jawab melaksanakan kegiatan tersebut berkenaan
dengan jumlah dan daftar tamu undangan yang akan diundang
menghadiri acara dimaksud;
j) Melakukan koordinasi dengan/antar unsur pengamanan lainnya
dengan menggunakan alat komunikasi yang ada; dan
k) Saling memberikan informasi dalam melakukan tugas penjagaan di
lapangan.
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis format yang tersedia;
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera.
e. Penjagaan gedung dan aset penting:
1) Persiapan:
a) Memakai pakaian dinas lapangan (pdl); dan
b) Melakukan kerjasama dengan dinas/ instansi terkait.
2) Pelaksanaan:
a) Menyusun rencana jadwal pengawasan serta jenis gedung/aset
beserta lokasinya;
b) Merencanakan dan menyiapkan petugas jaga;
c) Melakukan koordinasi dengan dinas/instansi pengelola gedung/aset;
d) Melakukan pendataan bukti kepemilikan gedung/aset, gambar
situasi/denah, dan proposal sebagai bahan pengecekan di lapangan;
e) Melakukan komunikasi secara teratur dan berkesinambungan
dengan petugas jaga dinas, instansi, pengelola gedung/aset; dan
f) Merencanakan dan menyiapkan sarana dan fasilitas perlengkapan
yang digunakan untuk memonitor gedung/aset.
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang
tersedia;dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera.
f. Upacara dan acara penting:
1) Persiapan:
a) Memakai pakaian dinas lapangan (pdh); dan
b) Melakukan kerjasama dengan dinas/ instansi terkait.
2) Pelaksanaan:
a) Merencanakan dan menyiapkan petugas yang akan menjaga di
lingkungan tempat upacara/acara penting;
b) Melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap objek dan benda-
benda disekitar lokasi sebelum acara dimulai;
c) Melakukan koordinasi pengaturan lalu lintas disekitar lokasi;
d) Mengarahkan pengemudi kendaraan bermotor peserta upacara
menuju tempat parker yang di sediakan;
e) Melakukan penertiban terhadap para pedagang penjaja barang atau
sejenisnya di lokasi;
f) Melakukan pengamatan dan penganalisaan terhadap situasi dan
kondisi disekitar lokasi sebelum acara dimulai;
g) Melakukan pengawasan dan pengecekan serta intensif setiap tempat
yang tersembunyi dan kurang mendapat perhatian di lingkungan
lokasi;
h) Mengawasi dan mencermati kejadian yang penting/menonjol disekitar
lokasi;
i) Melaporkan kepada aparat keamanan/polisi terdekat, bila menemukan
barang yang dicurigai dan diperkirakan berupa bom, bahan peledak,
dan jangan sekali-kali dipegang/ disentuh serta melokalisir dan
member tanda pada tempat yang dicurigai;
j) Mengawasi dan mengenali terhadap setiap para tamu undangan dan
orang-orang yang berada dilokasi;
k) Melakukan koordinasi dengan panitia penyelenggara atau pihak yang
bertanggung jawab, melaksanakan kegiatan tersebut berkenaan
dengan jumlah dan daftar tamu undangan yang akan diundang
menghadiri acara dimaksud;
l) Melakukan koordinasi dengan/antar unsur pengamanan lainnya
dengan menggunakan alat komunikasi yang ada;
m) Saling memberikan informasi dalam melakukan tugas penjagaan
dilapangan.
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang
tersedia;dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindakan segera;
E. Patroli
1. Ruang lingkup:
a. Tempat atau lokasi yang dianggap rawan;
b. Antar batas wilayah; dan
c. Tempat keramaian/hiburan.
2. Ketentuan dalam pelaksanaan:
a. Umum:
Beberapa persyaratan penting yang harus dimiliki oleh setiap petugas
patroli: setiap petugas harus memiliki kewibawaan yang tercermin dalam
jiwa pengabdian yang penuh etika degan rasa tanggung jawab;
1) Dalam melaksanakan tugas harus dapat menarik rasa simpati
masyarakat;
2) Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat tanpa
mengenyampingkan tugas pokok yang dilaksanakan;
3) Setiap petugas harus memahami tugas pokoknya, peka terhadap situasi
lingkungan dan arif dalam menangani suatu peristiwa serta
melaporkannya dengar benar;
4) Petugas patroli harus memiliki sifat tertentu antara lain:
a) Ulet dan tahan uji;
b) Memiliki sifat ingin tahu;
c) Memiliki pengetahuan tentang tugasnya dan diharapkan dapat dapat
menjawab semua pertanyaan dari masyarakat;
d) Menyadari bahwa tugas dari pemerintah;
e) Mampu memahami serta manampung apa yang merupakan
keinginan/aspirasi masyarakat; dan
f) Ramah, sopan dan santun serta menghargai setiap orang.
5) Perlunya dibuat pos satpol pp ditempat keramaian seperti pasar dan
pertokoan.
b. Khusus:
Beberapa pengetahuan dasar yang harus dimiliki setiap petugas patroli:
1) Pengetahuan tugas pokok satpol pp;
2) Pengetahuan dasar hukum dari suatu tindakan atau kegiatan;
3) Pengetahuan dan penguasaan tentang suatu daerah/wilayah, misalnya:
a) Letak dan wilayah tersebut;
b) Gedung pemerintah dan instansi vital;
c) Jalan dan gang;
d) Jenis usaha masyarakat, pekerjaan dan keadaan ekonomi
masyarakat;
e) Pejabat pemerintah dan orang penting;
f) Keadaan lingkungan; dan
g) Pengetahuan tentang sumber penyebab dari segala macam bentuk
gangguan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat antara lain:
(1) Segala bentuk yang terkait dengan penyakit masyarakat;
(2) Lokasi yang dijadikan sebagai tempat pelacuran (wts):
(3) Tempat hiburan (bar, cafe, diskotik dan lain-lain); dan
(4) Tempat usaha yang mempunyai dampak negatif terhadap
lingkungan;
c. Petunjuk dalam patroli:
1) Sebelum petugas berangkat patroli wajib memeriksa semua kelengkapan
sesuai ketentuan petunjuk yang diberikan pimpinan;
2) Untuk patroli berjalan kaki:
a) Tugas patroli dimulai sejak keluar dari kantor;
b) Dilakukan minimal 2 (dua) orang;
c) Patroli pada siang hari didaerah pasar dan pertokoan yang dianggap
rawan;
d) Usahakan untuk mengenal patroli;
e) Dalam melaksanakan patroli, perhatian harus ditujukan kepada
pelanggar peraturan perundang-undangan serta dicatat untuk
dilaporkan kepada pimpinan;
f) Dalam hal tertentu diwajibkan untuk bertindak segera, yaitu:
(1) Dalam hal k3 (ketertiban, kebersihan dan keindahan);
(2) Terjadinya kebakaran; dan
(3) Bencana alam.
g) Setiap patroli dalam melaksanakan tugasnya harus didasarkan
kepada norma dan peraturan yang berlaku.

3) Untuk patroli dengan kendaraan bermotor :


a) Ketentuan dan petunjuk untuk patrol berjalan kaki berlaku pulabagi
patroli dengan kendaraan bermotor;
b) Patroli kendaraan bermotor dilakukan dengan :
(1) Berkendaraan sepeda motor;dan
(2) Berkendaraan mobil.
c) Persiapan sebelum berangkat patroli wajib memeriksa kelengkapan
kendaraan sebagai berikut:
(1) Bensin, oli;
(2) Ban, roda;
(3) Perkakas kendaraan termasuk dongkrak dan kunci roda;
(4) Rem,air, aki; dan
(5) Perlengkapan perorangan sesuai dengan ketentuan.
4) Beberapa ketentuan tentang patrol dengan kendaraan bermotor
terhadap peraturan lalu lintas:
a) Beri contoh yang baik kepada pemakai jalan yang lainnya;
b) Taati peraturan lalu lintas;
c) Jalankan kendaraan dengan kecepatan yang semestinya;
d) Jangan membunyikan klakson/sirine jika tidak sangat perlu sekali;
dan
e) Jangan menggunakan sorotan lampu yang berlebihan pada malam
hari.
5) Jika ditemui suatu kejadian atau penyimpangan terhadap peraturan
daerah (seperti bangunan liar, padagang berjualan tidak pada
tempatnya, tempat usaha yang mengganggu lingkungan/ketertban
umum maupun tidak mempunyai surat izin usaha, dan lainnya yang
bersifat mengganggu ketertiban umum):
a) Ambil langkah-langgkah atau tindakan pertama berupa penyuluhan,
teguran dan peringatan;
b) Catat dan laporkan pada pimpinan;
c) Memperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit
masyarakat:
(1) Apakah ada gelandangan, pengemis jalanan yang beroperasi
dijalan;
(2) Apakah ada wanita tuna susila (wts);dan
(3) Apakah ada tempat/orang yang menjual minuman keras secara
terbuka dan lainnya.
6) Komunikasi sosial dapat dilaksanakan dalam bentuk tatap muka
perorangan/kelompok atau dengan massa. Komunikasi sosial yang
dilaksanakan bersifat:
a) Penerangan, artinya memberikan penerangan agar lawan bicara
mengetahui dan mengerti tentang suatu hal, misalnya penerangan
tentang tugas pokok satpol pp;
b) Penyuluhan dan bimbingan tentang peraturan perudang- undangan
yang menyangkut kewajiban sebagai warganegara yang baik
misalnya:
(1) Bagi pedagang kaki lima tidak dibenarkan berjualan di atas
trotoar dan badan jalan;
(2) Setiap pengusahaan harus memiliki surat izin tempat usaha yamg
dikeluarkan pemerintah daerah;
(3) Setiap orang yang mendirikan bangunan harus mempunyai surat
izin mendirikan bangunan;
(4) Memberikan penyuluhan tentang segala sesuatu yang
menyangkut dengan k3 (ketertiban kebersihan dan keindahan);
dan
(5) Memberikan penyuluhan tentang hal lain yang sifanya untuk
menegakkan peraturan perundang-undangan dan menjaga
ketertiban umum.
c) Penggalangan:
Petugas menghimbau masyarakat agar mau menaati peraturan
perundang-undangan, sadar untuk membayar pajak serta menjaga
dan mencipatakan ketertiban, kebersihan dan keindahan kota.
7) Petunjuk khusus tentang teknik berkomunikasi:
a) Jadilah pembicara yang baik;
b) Tegurlah seseorang, atau ucapkan salam menurut adat kebiasaan
yang berlaku dengan suara yang wajar, sikap yang ramah;
c) Mengenalkan diri secara lengkap;
d) Kemukakan apa yang diharapkan dari orang yang dihadapi;
e) Beri kesempatan orang untuk berbicara;
f) Jadilah pendengar yang bijaksana;
g) Jangan memotong pembicaraan;
h) Hadapi dengan singkat pembicaraan mereka; dan
i) Tunjukan contoh tauladan dari sikap dan prilaku yang baik.
3. Bentuk dan cara patroli:
a. Bentuk-bentuk patroli:
Tugas patroli dapat dilaksanakan dalam bentuk sebagai berikut:
1) Patrol pengawasan yaitu melakukan pengawasan dan pengamatan
suatu daerah tertentu dalam jangka waktu 24 jam; dan
2) Patrol khusus dalam rangka pelaksanaan tugas yang bersifat represif;
b. Cara patroli
Sesuai dengan situasi dan kondisi daerah, sasaran yang ada serta tugas
dan tujuan, maka cara-cara yang dapat digunakan untuk melaksanakantugas
patroli adalah:
1) Patroli berjalan kaki
Patroli ini dilaksanakan pada tempat-tempat yang tidak dimungkinkan
untuk dilalui oleh kendaraan bermotor. Patroli berjalan kaki ini lebih
memungkinkan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat dalam
rangka sosialisai dan pelayanan masyarakat.
2) Patroli bersepeda motor;
Patrol ini diperlukan untuk mengamati dan mengawasi suatu wilayah
serta member bantuan kepada patroli bersepeda motor dalam wilayah
yang lebih luas dan perlu tenaga operasional yang lebih banyak.
4. Perlengkapan dan/atau peralatan:
a. Perlengkapan dan/atau peralatan perorangan terdiri dari:
1) Pakaian dinas lapangan (pdl);
2) Kartu tanda anggota;
3) Kartu tanda penduduk;
4) Pluit;
5) Pentungan;
6) Senter;
7) Buku saku dan alattulis;
8) Topi/helm;
9) Kopel rim;
10)jaket;
11)borgol; dan
12)senjata api (bagi yang mempunyai izin).
b. Perlengkapan atau peralatan patroli berjalan kaki terdiri dari:
1) Perlengkapan perorangan;
2) Pentungan;
3) Borgol; dan
4) Senjata api (bagi yang mempunyai izin).
c. Perlengkapan atau peralatan patroli bersepeda motor terdiri dari:
1) Surat izin mengemudi;
2) Stnk;
3) Peralatan kunci;
4) Perlengkapan atau peralatan patroli bersepeda motor terdiri dari:
a) Perlengkapan perorangan;
b) Pentungan;
c) Borgol;
d) Senjata api (bagi yang mempunyai izin);
e) Kendaraan dengan perlengkapan:
(1) Sim (bagi pengemudinya);
(2) Stnk
(3) Lampu patroli;
(4) Lampu sorot;
(5) Sirine;
(6) Kotak p3k;
(7) Kunci dan dongkrak; dan
(8) Alat pemadam kebakaran.
5. Pelaksanaan:
a. Perencanaan tugas patroli harus dibuat dengan memperhatikan:
1) Keseimbangan antara cara dan saran dengan sasarannya:
2) Terlaksananya kerjasama satpol pp dengan masyarakat sehingga
pelaksanaannya dapat mencapai daya guna dan hasil guna;
3) Sebab dan akibat yang timbul, yang memungkinkan satpol pp harus
bertindak sebaiknya dapat diketahui terlebih dahulu;
4) Perencanaan tugas patroli harus disesuaikan dengan tugas pokok
satpol pp dan peraturan yang berlaku;
5) Hal-hal mendasar lainnya yang harus diperhatikan dalam perencanaan
patroli adalah sebagai berikut:
a) Untuk setiap tugas patroli harus dibuat surat perintah yang
ditandatangani oleh kepala satuan, serta dicantumkan jumlah,
nama serta pangkat dan nip personil yang akan diberangkatkan;
b) Untuk tugas khusus diberikan ketentuan tentang tugas pokok yang
harus dilakukan;
c) Setelah kembali dari patroli, kepala patroli yang ditunjuk harus
melapor kepada kepala satuan dalam waktu 24 jam dan menyerahkan
laporan; dan
d) Ketentuan perlengkapan dan alat komunikasi harus disesuaikan
dengan situasi dan kondisi daerah.
b. Pelaksanaan bentuk-bentuk patroli:
1) Patroli:
a) Patroli biasanya dilaksanakan dalam kota;
b) Penugasan patroli dicantumkan dalam jadwal patroli pada buku
mutasi;
c) Tugas patrol harus dilakukan dengan seksama dan teliti, supaya dapat
mengambil kesimpulan apa yang harus dilakukan dan dilaporkan
kepada pimpinan;
d) Setiap kejadian harus dicatat di buku; dan
e) Tugas patroli dapat dilakukan dengan sistem sebagai berikut:
(1) Patroli blok yaitu patroli yang dilakukan dengan berjalan kaki
terhadap suatu tempat yang dianggap rawan terhadap ketertiban
umum;
(2) Patroli kawasan yaitu patroli yang dilakukan dengan kendaraan
bermotor karena daerahnya lebih luas, misalnya satu kecamatan;
dan
(3) Patroli kabupaten yaitu pengawasan terhadap kabupaten yang
menyangkut ketertiban umum dan ketentraman masayarakat
Serta penegakan peraturan perundang-undangan yang ada
diseluruh wilayah kabupaten;
2) Patroli pengawasan:
a) Patroli pengawasan adalah penugasan patroli yang bersifat inspeksi dan
diselenggarakan menurut kebutuhan untuk memantau ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat serta upaya penegakan peraturan
daerah yang ada;
b) Tugas dari patroli adalah:
(1) Pemeliharaan, pengawasan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat serta penegakan peraturan daerah dan peraturan
bupati;
(2) Melaksanakan pembinaan masyarakat;
(3) Penerangan pada masyarakat tentang tugas dan fungsi satpol pp;
dan
(4) Mensosialisasikan kebijakan pemerintah yang terkait dengan
tugas polisi pamong praja serta menampung saran dan aspirasi
masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.
3) Patroli khusus:
a) Patroli khusus adalah penugasan patroli yang diperintahkan secara
khusus oleh kepala satuan yang bersifat represif atau penindakan
dilapangan sesuai tuntutan atau kebutuhan dalam upaya penegakan
ketertiban umum; dan
b) Tugas dari patroli adalah:
(1) Melakukan penindakan terhadap semua pelanggar ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat serta peraturan daerah; dan
(2) Menindaklanjuti semua laporan, pengaduan dan perintah khusus
dari pimpinan untuk melakukan penindakan terhadap masyarakat
yang melanggar ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
dan peraturan daerah.

4) Administrasi:
a) Surat perintah patroli
Setiap akan melaksanakan patroli harus membawa surat perintah
patroli yang dikeluarkan oleh kepala satpol pp;
b) Daftar petugas patroli
Dalam surat perintah patroli harus dicantumkan nama-nama anggota
yang ditunjuk melaksanakan patroli;
c) Laporan hasil tugas patroli
Apabila telah selesai atau kembali dari tugas segera membuat laporan
tugas patroli yang diserahkan kepada kepala satpol pp.

F. Pembinaan dan pemberdayaan satuan perlindungan masyarakat


1. Ruang lingkup
kabupaten sukamara
2. Ketentuan dalam pelaksanaan
a. Umum:
Dilaksanakan oleh anggota satuan polisi pamong praja yang membidangi
pembinaan satuan perlindungan masyarakat.
b. Khusus:
Beberapa pengetahuan dasar yang harus dimiliki setiap aparatur satuan
polisi pamong praja dalam pelaksanaan pembinaan anggota satuan
perlindungan masyarakat:
1) Pengetahuan tugas pokok anggota satlinmas
2) Pengetahuan dasar hukum produk pembinaan satlinmas
3. Cara pembinaan satlinmas
Cara pembinaan satlinmas yang dilaksanakan satpol pp meliputi:
a. Pembinaan umum penyelenggaraan perlindungan masyarakat secara
nasional yang dilaksanakan oleh menteri; dan
b. Pembinaan teknis operasional penyelenggaraan perlindungan
masyarakat dalam hal ini yang dilaksanakan oleh bupati (satpol pp
kabupaten sukamara).
4. Cara pemberdayaan satlinmas
Cara pemberdayaan satlinmas yang dilaksanakan satpol pp meliputi:
a. Peningkatan kapasitas anggota satlinmas dalam pelaksanaan tugas
pemberdayaan melalui kegiatan:
1) Pendidikan dan pelatihan;
2) Peningkatan peranserta dan prakarsa;
3) Peningkatan kesiapsiagaan;
4) Penangan tanggap darurat;
5) Pengendalian dan operasi; dan
6) Pembekalan.
b. Pemberdayaan anggota satlinmas dapat dilakukan disetiap
desa/kelurahan.
5. Perlengkapan dan/atau peralatan
a. Perlengkapan dan/atau peralatan satpol pp terdiri:
1) Pakaian dinas satpol pp;
2) Kartu tanda anggota; dan
3) Sarana transportasi;
b. Perlengkapan dan/atau peralatan satlinmas:
1) Pakaian dinas lapangan satlinmas;
2) Kartu tanda anggota satlinmas; dan
3) Peralatan operasional satlinmas.
6. Pelaksanaan pembinaan dan pemberdayaan satlinmas:
a. Perencanaan meliputi:
(1) Pengumpulan data;
2) Pengolahan data; dan
3) Tindaklanjut.
b. Rapat koordinasi internal;
c. Rapat koordinasi lintas sektoral;
d. Pelaksanaan pembinaan dan pemberdayaan anggota satlinmas; dan
e. Evaluasi, dokumentasi dan pelaporan.
7. Administrasi
Dalam pelaksanaan pembinaan dan pemberdayaan satlinmas, administrasi
yang harus dimiliki meliputi:
a. Surat perintah tugas;
b. Daftar pelaksana tugas; dan
c. Laporan hasil pelaksanaan tugas.

G. Pelayanan Informasi Rawan Bencana


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
1. Kegiatan/informasi tentang rawan bencana
Upaya atau kegiatan dalam rangka menginformasikan tentang rawan
bencana dilakukan bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta
mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana.
Kegiatan yang dilakukan dalam menginformasikan rawan bencana
a. Penyusunan peraturan daerah dan peraturan bupati
b. Pembuatan peta rawan bencana
c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d. Pembuatan brosur/leaflet/poster
e. Penelitian/pengkajian karakteristik bencana
f. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
g. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb
h. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat
i. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
H. Pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana
1. Tugas dan tanggung jawab tim tanggap darurat bencana
a. Bersama masyarakat melakukan pemetaan desa/kelurahan tentang tingkat
kerentanan/kerawanan
b. Memberikan pelatihan atau penyuluhan kepada masyarakat di
lingkungannya tentang upaya kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana
maupun sistem peringatan dini dan upaya-upaya mitigasi
c. Menggerakkan masyarakat dalam melaksanakan rencana kegiatan
d. Mengorganisir masyarakat dalam melaksanakan berbagai program terkait,
seperti pelestarian lingkungan hidup, perawatan keluarga, dan lain-lain.
2. Kurikulum serta materi pendidikan dan pelatihan tim tanggap darurat
bencana
3. Kbbm efektif untuk semua jenis bencana
Kbbm memusatkan perhatian pada jenis-jenis bahaya bencana yang
berskala relatif kecil. Dalam hal ini masyarakat dapat mengidentifikasi
secara nyata dan melakukan sejumlah upaya mitigasi untuk
meningkatkan keamanan dan keselamatannya. Komponen utamanya
adalah bagaimana tim tanggap darurat bencana mampu membedakan
tingkat ancaman dan jenis bencana yang terjadi di daerah masing-masing,
misalnya melalui :
a. Pembuatan sistem peringatan dini untuk masyarakat
b. Pelatihan masyarakat dalam hal kebutuhan respon dan prosedur
evakuasi
c. Meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait, khususnya tentang
kegiatan-kegiatan respon bila terjadi ancaman bencana
d. Di daerah yang padat permukiman misalnya, tim tanggap darurat
bencana dapat membantu mitigasi jangka panjang terhadap sosialisasi
tata penyelamatan kebakaran, banjir dan tanah longsor

Mengidentifikasi strategi dan aktivitas yang dapat merespon masalah yang


diprioritaskan. Misalnya :
a. Rencana evakuasi
b. Sistem pengenalan dini
c. Pembangunan sistem air bersih
d. Memindahkan sekolah ke tempat yang lebih aman
e. Mengidentifikasi area perumahan yang aman untuk permukiman
masyarakat yang wilayahnya paling berisiko
f. Pembuatan tanggul sungai
g. Reboisasi
h. Penanaman bakau, dan lain-lain.

4. Tindakan Pengurangan Risiko Tingkat Desa


a. Persediaan air rumah tangga, sanitasi dan kesehatan
1) Alat penampungan air minum (jerigen plastik/tong)
2) Penyediaan tawas (untuk pengendapan dikelola oleh masyarakat
3) mempertinggi letak mck agar tidak terendam banjir
4) Sarana mck masyarakat dibangun di lingkungan aman
5) Mck untuk masing-masing keluarga
6) Promosi dan pendidikan kesadaran hidup sehat
7) Pendidikan dan peningkatan kesadaran bahaya malaria dan demam
berdarah (dengue)
8) Perahu untuk mengevakuasi anggota masyarakat dilengkapi mesin
9) Perahu ukuran kecil untuk para petugas kesehatan, relawan pmi, bidan
atau dukun beranak
10) Penyediaan bahan bakar kayu kering untuk masa darurat.

5. Mengelola peternakan
a. Memelihara ternak di lingkungan aman rumah tangga dan/atau
masyarakat
b. Menetapkan sistem pengelolaan keselamatan ternak oleh masyarakat pada
saat banjir, khususnya tempat mencari makan
c. Mengelola sumber-sumber pakan ternak.

6. Peningkatan pendapatan dan penghidupan lainnya


a. Penghidupan keluarga atau perahu untuk evakuasi
b. Peralatan nelayan (jaring, senar dan kail)
c. Meningkatkan pendapatan keluarga/kesempatan kerja di lingkungan
pedesaan

7. Peningkatan kesadaran akan sistem peringatan dini (spd), informasi


bencana, rencana evakuasi dan ancaman bahaya lainnya
a. Meningkatan pemahaman masyarakat tentang bahaya banjir; kesadaran
akan risiko banjir dan langkah-langkah kesiapsiagaan dasar
b. Mendukung akses terhadap prakiraan 3 hari sebelum bencana banjir dan
sistem peringatan dini
c. Mendukung penyebarluasan prakiraan banjir 3 hari sebelum kejadian dan
peringatan dini di lingkungan (dan antara) pedesaan
d. Kesadaran terhadap tanah longsor
e. Secara rutin tim tanggap darurat bencana melakukan patroli, mengamati
tanda-tanda awal terjadinya tanah longsor
f. Evakuasi keluarga/perahu penyelamat
g. Perahu evakuasi masyarakat dengan atau tanpa mesin
h. Jaket penyelamat/ban dalam mobil/peluit, sirine atau lonceng) untuk
penyelamatan darurat
i. Rencana evakuasi banjir desa termasuk persiapan evakuasi medis darurat
j. Rencana pertolongan korban banjir

8. Permasalahan lintas sektor, penyelamatan dan strategi pengentasan masalah


lainnya
a. Secara rutin memperbarui daftar ancaman bahaya tertentu bagi keluarga
dan perorangan yang rentan (memperbarui peta risiko setahun sekali)
b. Kelompok swadaya masyarakat untuk dukungan terhadap anak-anak
c. Pelajaran berenang untuk anak-anak (khususnya perempuan)
d. Penyimpanan beras oleh masyarakat (untuk pangan) dibeli sebelum musim
banjir (pada kondisi harga yang lebih rendah)
e. Memastikan kecukupan bahan bakar untuk memasak selama terjadinya
banjir
f. Mengorganisir pencarian ikan secara kelompok (atau berpasangan)
g. Advokasi kepada penguasa untuk menyediakan lahan kosong bagi para
keluarga yang kehilangan rumah atau lahan pertanian karena mengalami
erosi bantaran sungai
h. Peningkatan kesadaran tentang persoalan yang terkait dengan musim dan
migrasi akibat bencana dalam rangka kesempatan kerja
i. Peningkatan kesadaran tentang berbagai permasalah sosial di lingkungan
pedesaan.
I. Pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban bencana
Satuan polisi pamong praja melaksanakan tugas dengan tahapan meliputi tahap
persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengakhiran sebagai berikut :
1. Tahap persiapan
a. Informasi awal darurat bencana
Kepala satpol pp akan mengirimkan informasi kepada seluruh personil
satpol pp sesaat setelah terjadinya bencana dengan eskalasi tertentu melalui
sarana komunikasi telepon/hp/faksimile/sms/email.
b. Penugasan tim reaksi cepat
1) Konfirmasi kesediaan perorangan
a) Anggota satpol pp pada kesempatan pertama melaporkan kepada
atasan masing-masing tentang kesiapan untuk melaksanakan tugas.
b) Kepala bidang yang ditunjuk oleh kepala satpol pp memberikan
jawaban atas kesiapan anggota satpol pp untuk melaksanakan tugas
dalam tim.
2) Penetapan penugasan
a) Memilih dan menyusun komposisi anggota satpol pp yang disesuaikan
dengan macam/jenis bencana dan keahliannya yang dituangkan
dalam surat perintah kepala satpol pp terdiri dari :
(1) Ketua tim : anggota satpol pp
(2) Anggota : anggota satpol pp
(3) Petugas administrasi : anggota satpol pp
b) Memberikan informasi dan ucapan terima kasih kepada anggota yang
siap untuk melaksanakan tugas, tetapi tidak ditunjuk dalam tim.
c. Mobilisasi awal
1) Anggota satpol pp menyelesaikan kelengkapan administrasi, keuangan
dan perlengkapan yang diperlukan tim
2) Anggota satpol pp menyampaikan informasi penugasan tim kepada
pejabat yang berwenang.
3) Segera setelah penetapan tim dilakukan pembagian sebagai berikut:
a) Ketua tim
(1) Membuat konsep awal rencana kedatangan dan rencana aksi.
(2) Melaksanakan pengecekan kesiapan anggota tim melalui sarana
komunikasi telepon/hp.
b) Anggota satpol pp yang bertugas sebagai petugas administrasi tim
menyelesaikan administrasi keuangan, tiket transportasi, peralatan dan
dukungan sarana pendukung tim.
c) Anggota tim dari sektor terkait berangkat dari kantor/rumah masing-
masing dengan membawa perlengkapan pribadi dan sarana pendukung
tugas menuju ke tempat bencana atau tempat yang telah ditentukan.
d) Setelah seluruh anggota tim berkumpul di kantor satpol pp atau tempat
yang telah ditentukan :
(1) Menyempurnakan rencana kedatangan dan rencana aksi
(2) Pembagian tugas anggota tim.
(3) Menyelesaikan administrasi dan pengecekan kesiapan personil,
perlengkapan dan sarana pendukung lainnya.
(4) Penyerahan dan penerimaan peralatan, dokumen lainnya dari satpol
pp

2. Tahap pelaksanaan
a. Pemberangkatan anggota satpol pp
Anggota satpol pp berangkat menuju lokasi bencana dengan sarana
transportasi yang telah ditentukan.
b. Tiba di daerah lokasi bencana
1) Mengadakan pertemuan awal dengan kepala wilayah yang ditunjuk untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Memperkenalkan anggota tim
b) Menyampaikan maksud, tujuan dan tugas tim untuk melaksanakan
tugas di daerah bencana.
c) Menghimpun informasi mutahir tentang kejadian bencana, korban,
kerusakan, dampak bencana dan upaya yang telah dilakukan serta
kebutuhan yang mendesak.
d) Menyampaikan permintaan personil pendamping dari daerah bencana.

2) Membantu satpol pp untuk :


a) Mengaktivasi posko bencana dengan melakukan kegiatan antara lain :
(1) Penyiapan tempat, alat komunikasi dan sarana pendukunglainnya.
(2) Penataan peta bencana, deskripsi bencana, data-data korban,
pengungsi, sumber daya (stock, telah disalurkan dan masih
tersedia), jadwal piket posko, upaya yang telah dilakukan dan
kebutuhan yang mendesak.
(3) Memberikan asistensi teknis bidang posko dan arus informasi
penanganan bencana.
(4) Ketua tim menyerahkan bantuan dukungan satpol pp untuk
penguatan posko.
b) Menyelenggarakan rapat guna memperlancar koordinasi dengan
seluruh sektor yang terlibat dalam penaggulangan bencana.
(1) Memberikan saran yang tepat untuk upaya penanganan darurat
bencana.
(2) Melaksanakan koordinasi dengan sektor terkait untuk melengkapi
data/informasi bencana).
(3) Menyempurnakan rencana aksi tim
(4) Melaksanakan pembagian tugas dalam sub tim sesuai kebutuhan.
(5) Mengirimkan laporan awal kepada kepala satpol pp dengan
tembusan atasan masing-masing anggota tim melalui
telepon/faksimile/hp/sms/email.

c. Peninjauan Lapangan di Lokasi Bencana


1) Masing-masing sub tim melaksanakan peninjauan lapangan untuk
melakukan :
a) Identifikasi terhadap cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan
prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum
serta pemerintahan.
b) Identifikasi kebutuhan yang mendesak untuk :
(1) Pencarian dan penyelamatan korban bencana dan evakuasi korban
bencana.
(2) Pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, air bersi/minum
dan sanitasi, pelayanan kesehatan).
(3) Penampungan sementara (tenda, tikar, genset, mck, dapur umum).
(4) Perlindungan terhadap kelompok rentan (balita, ibu hamil, lansia,
cacat).
(5) Pemulihan darurat sarana dan prasarana, antara lain pembersihan
puing/lumpur/tanah longsor, jalan/jembatan/tanggul, fasilitas
pelayanan kesehatan, transportasi, telekomunikasi dan energi.

2) Anggota tim membantu melalui pola pendampingan untuk melaksanakan


rapat evaluasi dan tindak lanjut yang diselenggarakan pada sore hari
untuk membahas :
a) Hasil peninjauan di lapangan.
b) Pelaksanaan harian penanganan darurat bencana.
c) Perkembangan dampak bencana.
d) Sumber daya yang masih tersedia, dukungan yang masih dalam
perjalanan dan kebutuhan yang mendesak.
e) Kendala/hambatan yang dihadapi dan upaya mengatasi.
f) Analisa kebutuhan sampai dengan berakhirnya masa tanggap darurat
bencana.
g) Rencana kegiatan penanganan darurat bencana dan pengerahansumber
daya untuk hari berikutnya.
3) Setelah selesai pelaksanaan rapat, anggota tim membantu untuk
memberikan press release kepada mass media cetak/elektronika.
4) Mengirimkan laporan tim tentang perkembangan bencana dan upaya yang
telah dilakukan serta kebutuhan yang mendesak kepada kepala satpol pp.

d. Evaluasi
1) Melanjutkan peninjauan lapangan pada daerah yang belum sempat
ditinjau.
2) Anggota tim setiap sore hari membantu sektor terkait untuk
melaksanakan rapat evaluasi dan tindak lanjut :
a) Melanjutkan peninjauan lapangan.
b) Pelaksanaan harian penanganan bencana.
c) Perkembangan dampak bencana.
d) sumber daya yang masih tersedia, dukungan yang masih dalam
perjalanan dan kebutuhan yang mendesak.
e) Kendala yang dihadapi dan upaya mengatasi.
f) Analisa kebutuhan sampai dengan berakhirnya masa tanggap darurat
bencana.
g) Rencana kegiatan penanganan bencana dan pengerahan sumber daya
untuk hari berikutnya.
3) Setelah selesai pelaksanaan rapat, anggota tim memberikan press realesse
kepada mass media cetak/elektronika.
4) Mengirimkan laporan tim tentang perkembangan bencana dan upaya yang
telah dilakukan serta kebutuhan yang mendesak kepada kepala satpol pp
dengan tembusan atasan langsung masing-masing anggota tim.

3. Tahap Pengakhiran
a. Pengakhiran tugas anggota tim berdasarkan perintah dari kepala satpol pp.
b. Persiapan meninggalkan lokasi bencana.
1) Melaksanakan pengecekan kelengkapan peralatan tim dan
perlengkapan perorangan.
2) Menyusun laporan lengkap pelaksanaan tugas anggota tim.
3) Menyerahterimakan tugas dan dokumen pendukung bencana kepada
kepala wilayah.
4) Menghadap pejabat yang berwenang untuk mohon pamit untuk
meninggalkan daerah bencana kembali ke kantor satpol pp, karena
pelaksanaan tugas tim telah selesai dan menyerahkan laporan
sementara hasil pelaksanaan tugas tim.
5) Anggota tim meninggalkan daerah bencana dengan sarana transportasi
yang telah ditentukan menuju kantor satpol pp.
c. Tiba di kantor satpol pp
1) Mengembalikan peralatan inventaris.
2) Menghadap kepala satpol pp untuk laporan selesai melaksanakan tugas
dan menyerahkan laporan pelaksanaan tugas tim.
3) Menyerahkan bukti-bukti pertanggungjawaban administrasi keuangan
kepada pejabat yang berwenang.
4) Masing-masing anggota tim dari sektor terkait membawa laporan
pelaksanaan tugas tim untuk disampaikan kepada atasan langsungnya.

J. Pelayanan penyelamatan dan evakuasi korban kebakaran


Evakuasi adalah perpindahan penduduk karena gangguan bencana alam atau
keamanan.
Evakuasi darurat adalah perpindahan langsung dan cepat dari orang-orang yang
menjauh dari ancaman atau kejadian yang sebenarnya dari bahaya. Contoh
berkisar dari evakuasi skala kecil sebuah bangunan karena ancaman kebakaran
sampai pada evakuasi skala besar pada pemukiman padat penduduk.
1. Prosedur evakuasi
a. Segera tinggalkan gedung atau rumah sesuai dengan petunjuk team
evakuasi tanggap darurat atau ikuti jalur evakuasi/arah tanda keluar, jangan
kembali untuk alasan apapun.
b. Turun atau berlarilah ikuti panduan petugas, jangan panik, saling
membantu untuk memastikan evakuasi selamat.
c. Wanita tidak boleh menggunakan sepatu hak tinggi dan stoking pada saat
evakuasi.
d. Beri bantuan terhadap orang yang cacat atau wanita sedang hamil.
e. Berkumpul di daerah aman yang telah ditentukan, tetap berkumpul sambil
menunggu instruksi selanjutnya, anggota team tanggap darurat mendata
jumlah warga yang dievakuasi, termasuk yang hilang dan terluka lalu
melaporkan kepada koordinator team tanggap darurat.
2. Saat evakuasi
a. Tetap tenang, jangan panik !
b. Segera menuju jalan atau jalur evakuasi yang sudah ditentukan
c. Berjalanlah biasa dengan cepat, jangan lari
d. Lepaskan sepatu dengan hak tinggi
e. Janganlah membawa barang yang lebih besar dari tas kantor/tas tangan
f. Beritahu anggota keluarga di rumah atau tetangga yang kebetulan berada
untuk berevakuasi bersama yang lain.
 Bila terjebak kepulan asap kebakaran, maka tetap menuju jalan
evakuasi yang ditentukan dengan ambil napas pendek-pendek, upayakan
merayap atau merangkak untuk menghindari asap, jangan berbalik arah
karena akan bertabrakan dengan orang-orang dibelakang anda
 Bila terpaksa harus menerobos kepulan asap maka tahanlah napas anda
dan cepat menuju pintu evakuasi.

3. Saat diluar gedung


a. Pusat berkumpulnya para pengungsi ditentukan di tempat yang sudah
ditentukan
b. Setiap pengungsi diminta agar senantiasa tertib dan teratur
c. Petugas evakuasi dari satpol pp mencatat pengungsi yang menjadi tangung
jawabnya
d. Apabila ada masyarakat/korban yang terluka, harap segera melapor
kepada petugas medis untuk mendapatkan pengobatan
e. Jangan kembali kedalam gedung sebelum tanda aman diumumkan

4. Prosedur bagi petugas evakuasi


a. Mencari penghuni atau siapa saja, dimana pada saat terjadi kebakaran ada di
gedung/rumah, terutama diruang-ruang tertutup dan memberitahu agar
segera menyelamatkan diri.
b. Melacak jalan, meyakinkan jalan aman, tidak ada bahaya, hambatan
ataupun jebakan pintu tertutup.
c. Memimpin para penghuni meninggalkan, ruangan, mengatur dan memberi
petunjuk tentang rute dan arus evakuasi menuju ke tempat berkumpul
(daerah berkumpul) melalui jalan yang sudah ditentukan.
d. Melaksanakan tugas evakuasi dengan berpegang pada prosedur evakuasi,
antara lain :
1) Melarang berlari kencang, berjalan cepat dan tidak saling mendahului
2) Mengingatkan agar tidak membawa barang besar dan berat
3) Berkumpul ditempat yang ditentukan
4) Melarang kembali masuk ke dalam bangunan sebelum diumumkan
melalui alat komunikasi, bahwa keadaan telah aman.
e. Mengadakan apel checking jumlah penghuni guna meyakinkan bahwa
tidak ada yang tertinggal di gedung/rumah
f. Menghitung dan mengevaluasi jumlah korban (sakit/luka, pingsan,
meninggal).

5. Prosedur bagi teknisi (teknisi kelistrikan)


a. Matikan peralatan pengendali listrik dan aliran gas yang bisa dikenaiakibat
kebakaran
b. Periksa daerah terbakar dan tentukan tindakan yang harus dilakukan
c. Upayakan kelancaran sarana agar prosedur pengendalian keadaan
darurat dan evakuasi berjalan baik.

6. Prosedur bagi petugas satpol pp bagian keamanan


a. Mengatur lalu lintas kendaraan yang keluar masuk
b. Dan menyediakan lokasi parkir untuk mobil pemadam kebakaran
c. Lakukan langkah pengamanan selama petugas pemadaman bekerja
memadamkan kebakaran dengan cara :
1) Mengatur lingkungan sekitar lokasi untuk memberikan ruang yang
cukup untuk mengendalikan kebakaran,
2) Mengamankan masyarakat/warga yang tidak bertugas dalam kebakaran
d. Mengamankan daerah kebakaran tersebut dari kemungkinan tindakan
seseorang misalnya mencuri barang-barang yang sedang diselamatkan,
mencopet penghuni yang sedang panik, dll
e. Menangkap orang yang jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan dan
membawanya ke pos komando tanggap darurat.

Anda mungkin juga menyukai