Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Morowali Utara sebagai perangkat pemerintah
daerah mempunyai tugas menegakan peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah,menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman serta menyelenggarakan
perlindungan masyarakat. Dalam melaksanakan tugsnya satuan polisi pamong praja kabupaten
morowali utara perlu berpedoman pada aturan aturan yang berlaku
Buku ini disusun sebagai salah satu pedoman pelaksanaan tugas bagi anggota Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Morowali Utara dalam melaksanakan tugas terutama dalam
menegakan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah Kabupaten Morowali Utara.
Semoga buku ini bermanfaat bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang ingin
membekali diri dalam melaksanakan tugas. Tentunya masih ada kekurangan dalam buku ini.
Oleh karena itu, saran dan masukan untuk kelengkapan dan kesempurnaan buku ini sangat
diharapkan.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bagian 1 Peraturan Bupati Nomor 30 tahun 2019 Tentang Tugas,Fungsi Dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong
Praja Dan Pemadam Kebakaran Daerah
Bagian 2 Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati Yang selama ini di awasi oleh Satuan Polisi Pamong Praja
TENTANG
1
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3547) sebagaimana telah diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
2010 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5121);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4018) sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan
Struktur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4194);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887);
2
7. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 11
Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah Kabupaten Morowali Utara
(Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun
2018 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 25) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah
Kabupaten Morowali Utara (Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara Tahun 2018 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Morowali
Utara Nomor 37);
8. Peraturan Bupati Morowali Utara Nomor 38 Tahun
2018 tentang Kedudukan dan Susunan Organisasi
Kecamatan (Berita Daerah Kabupaten Morowali Utara
Tahun 2018 Nomor 38);
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
3
6. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi
bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja yang berkerja pada instansi pemerintah.
7. Dinas Daerah adalah Dinas Daerah Kabupaten Morowali Utara.
8. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Daerah Kabupaten Morowali Utara.
9. Sekretaris Dinas adalah Sekretaris Dinas Daerah Kabupaten Morowali
Utara.
10. Unit Pelaksana Teknis Dinas yang selanjutnya disebut UPT Dinas adalah
unsur pelaksana teknis dinas daerah yang melaksanakan kegiatan
teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu.
11. Kelompok Jabatan Fungsional adalah himpunan kedudukan yang
mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang
Pegawai Negeri Sipil dalam satuan organisasi yang dalam pelaksanaan
tugasnya didasarkan pada keahlian dan keterampilan.
12. Tata Kerja adalah suatu cara yang ditempuh untuk mengatur suatu
pekerjaan agar terlaksana dengan baik dan efisien.
BAB II
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 2
4
BAB III
TUGAS DAN FUNGSI
Bagian Kesatu
Kepala Satuan
Pasal 3
(1) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah
mempunyai tugas membantu Bupati serta memimpin, merencanakan,
merumuskan, mengendalikan, mengoordinasikan dan mengawasi
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, pada
Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Satuan mempunyai fungsi :
a. perumusan kebijakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
b. pelaksanaan kebijakan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
c. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat;
d. pelaksanaan administrasi pada urusan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat; dan
e. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Bupati terkait dengan
tugas dan fungsinya.
Bagian Kedua
Sekretaris
Pasal 4
5
d. penyiapan perumusan kebijakan monitoring, evaluasi dan pelaporan
pelaksanaan tugas-tugas kesekretariatan dan kepala bidang;
e. penyiapan pengoordinasian/kerja sama dan kemitraan dengan Unit
Kerja/Instansi/Lembaga atau pihak ke tiga dibidang pengelolaan
pelayanan masyarakat; dan
f. melaksanakan tugas dan fungsi lain yang diberikan oleh pimpinan.
Pasal 5
(1) Sub Bagian Program, Keuangan dan Aset Daerah mempunyai tugas
melaksanakan koordinasi, menyusun perumusan program kebijakan,
pengelolaan keuangan dan aset milik daerah, fasilitasi dan evaluasi
pelaporan pengelolaan keuangan dan barang milik daerah di lingkungan
Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Daerah.
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Sub Bagian Program, Keuangan dan Aset Daerah mempunyai fungsi :
a. melaksanakan penyusunan program, perumusan kebijakan teknis
administrasi, rencana kegiatan dan anggaran;
b. melaksanakan pengelolaan data dan informasi keuangan dan aset;
c. melaksanakan pengoordinasian penyusunan rencana dan program
kerja dengan sub unit kerja lain dilingkungan Dinas;
d. melaksanakan evaluasi dan pelaporan rencana anggaran,
perumusan kebijakan penyusunan kegiatan dan program kerja
dinas;
e. melaksanakan evaluasi pelaporan dan monitoring keuangan dan
aset;
f. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Pasal 6
6
d. melaksanakan pengumpulan data pegawai usulan kenaikan pangkat,
kenaikan gaji berkala, pembuatan kartu pegawai, asuransi kesehatan,
Kartu Suami/Istri, pemberian tanda penghargaan/tanda jasa,
pengisian pejabat struktural/fungsional, mutasi pegawai dan lain-
lain;
e. melaksanakan pembuatan Surat Keputusan Kepala Dinas dan Surat
Keputusan Bupati;
f. melaksanakan penyusunan rencana pengelolaan administrasi dan
optimalisasi usulan permintaan kepegawaian sesuai kebutuhan
formasi unit tugas;
g. melaksanakan evaluasi penyiapan bahan perlengkapan yang
dibutuhkan masing-masing bidang;
h. melaksanakan monitoring evaluasi dan pelaporan Sub Bagian Umum
dan Kepegawaian; dan
i. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Bagian Ketiga
Bidang Ketentraman dan Ketertiban Umum Daerah
Pasal 7
7
g. penyiapan pengamanan dan pengawalan pimpinan daerah dan
pejabat lainnya serta pengamanan gedung–gedung milik Pemerintah
Daerah;
h. penyiapan perumusan pemelihara ketenteraman dan ketertiban
umum di wilayah Kabupaten Morowali Utara;
i. penyiapan evaluasi dan pelaporan tugas Ketenteraman dan Ketertiban
umum masyarakat;
j. penyiapan pengoordinasi/kerjasama dan kemitraan dengan unit
kerja/instansi/lembaga atau pihak ketiga di bidang ketenteraman dan
ketertiban umum; dan
k. melaksanakan tugas kedinasan lain yang di berikan oleh pimpinan.
Pasal 8
Pasal 9
8
c. melaksanakan penyelenggaraan ketertiban umum serta kerja sama
operasional;
d. melaksanakan rumusan pengkajian bahan fasilitasi penyusunan
pedoman dan supervisi ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
e. melaksanakan koordinasi penetapan rumusan pembinaan
pengkajian bahan koordinasi penyelenggaraan ketertiban umum
serta kerja sama operasional;
f. melaksanakan penetapan rumusan pembinaan teknis pengendalian
operasional dan tugas fungsi Polisi Pamong Praja dan Pemadam
Kebakaran dalam pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban umum
di wilayah Kabupaten Morowali Utara;
g. melaksanakan penetapan rumusan pelaksanaan pengamanan dan
pengawalan pimpinan dan pejabat lainnya serta gedung-gedung milik
pemerintah daerah;
h. melaksanakan koordinasi/kerjasama dan kemitraan dengan unit
kerja/instansi/lembaga atau pihak ketiga dibidang ketenteraman
dan ketertiban umum;
i. melaksanakan kerja sama pengawasan dan pengendalian keamanan
dan ketertiban umum dengan pelaksana perlindungan masyarakat di
Daerah Kabupaten Morowali Utara;
j. melaksanakan evaluasi dan pelaporan tugas ketenteraman dan
ketertiban umum daerah; dan
k. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Pasal 10
9
e. melaksanakan konsultasikan tugas dengan atasan, baik lisan
maupun tertulis untuk beroleh petunjuk lebih lanjut;
f. melaksanakan pembuatan laporan hasil pelaksanaan tugas secara
berkala sebagai bahan evaluasi; dan
g. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Bagian Keempat
Bidang Penegakkan Peraturan Daerah,
Peraturan Bupati dan Sumber Daya Alam
Pasal 11
Pasal 12
10
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Penegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati mempunyai
fungsi :
a. melaksanakan kebijakan teknis rumusan penegakan Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati;
b. melaksanakan kajian, fasilitasi, penyusunan pedoman dan
penyelidikan serta supervisi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati;
c. melaksanakan koordinasi penyelenggaraan Peraturan Daerah dan
Peraturan Bupati;
d. melaksanakan fasilitasi operasional penyidikan dan pemeriksaan
pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati;
e. melaksanakan evaluasi dan pelaporan operasional penyidikan dan
pemeriksaan pelanggaran Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati;
f. melaksanakan pelaporan pelaksanaan tugas penegakan Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati; dan
g. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Pasal 13
Pasal 14
11
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai fungsi :
a. melaksanakan penyusunan rumusan kebijakan teknis, pelaksanaan
pembinaan, peningkatan dan pengembangan Seksi Pemberdayaan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
b. melaksanakan pengendalian kebijakan teknis operasional, fasilitasi
dan pembinaan pelaksanaan tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
c. melaksanakan penyelidikan dan penyidikan pelanggaraan peraturan
perundang-undangan daerah;
d. melaksanakan pengelolaan data hasil penyelidikan dan penyidikan
pelangaraan peraturan perundang-undangan daerah;
e. melaksanakan penyusunan bahan kebijakan teknis dan fasilitasi
Seksi Koordinasi dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
f. melaksanakan operasional penyidikan dan pemeriksaan pelanggaran
peraturan perundang-undangan daerah;
g. melaksanakan analisa, pelaporan dan evaluasi terhadap jenis dan
bentuk pelanggaran sebagai bahan masukan pengambilan kebijakan
pimpinan; dan
h. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Bagian Kelima
Bidang Pemadam Kebakaran
Pasal 15
12
g. penyiapan laporan dan evaluasi kegiatan di Bidang Pemadam
Kebakaran; dan
h. penyiapan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Pasal 16
Pasal 17
13
(2) Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Seksi Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pencegahan Kebakaran
mempunyai fungsi:
a. melaksanakan pembinaan dan petunjuk teknis kepada masyarakat
luas dan dinas atau instansi dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan bahaya kebakaran;
b. melaksanakan penghimpunan data sebagai bahan kajian
penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan peran serta masyarakat;
c. melaksanakan penghimpunan data sebagai bahan kajian
pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan pencegahan kebakaran dan
proteksi kebakaran dan instalasi gedung;
d. melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam wilayah
kerjanya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan bahaya
kebakaran;
e. melaksanakan koordinasi dengan instansi atau lembaga lainnya
terkait penyuluhan pencegahan bahaya kebakaran, pelatihan
personil dan kemitraan penanggulangan serta pencegahan
kebakaran;
f. melaksanakan monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan;
g. melaksanakan pembinaan dan memfasilitasi proses hukuman
disiplin kepada bawahannya (secara berjenjang) yang melakukan
pelanggaran disiplin dengan berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Disiplin Pegawai
Negeri; dan
h. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Pasal 18
14
d. melaksanakan pembinaan, pengoordinasian, pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan kegiatan pengendalian operasional
kebakaran;
e. melaksanakan pengawasan dan pengendalian hydrant kebakaran
dan sumber air lainnya;
f. melaksanakan penyusunan laporan dan evaluasi kegiatan
penyelenggaraan operasional, sarana dan prasarana;
g. melaksanakan penyusunan sistem komunikasi informasi dan
petakan wilayah kebakaran;
h. melaksanakan penyusunan rencana kerja sarana dan prasarana
kebakaran mengacuh pada rencana strategis kerja;
i. melaksanakan kajian perumusan kebijakan teknis dan
mengumpulkan data sebagai bahan kajian penyusunan kebijakan
perencanaan, pengendalian dan evaluasi sarana dan prasarana;
j. melaksanakan dan mengumpulkan data sebagai bahan kajian
penyusunan kebijakan perencanaan, pengendalian dan evaluasi
sarana dan prasarana;
k. melaksanakan pengoordinasian dan penyelenggaraan kegiatan
pembinaan, bimbingan teknis, pengawasan, dan pengendalian
penyelenggaraan pengadaan dan pemeliharaan sarana teknis
kebakaran;
l. melaksanakan penyusunan laporan dan evaluasi kegiatan
penyelenggaraan seksi operasional dan sarana prasarana, teknis
kebakaran; dan
m. melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan.
Bagian Keenam
Unit Pelaksana Teknis Dinas
Pasal 19
Bagian Ketujuh
Kelompok Jabatan Fungsional
Pasal 20
Uraian tugas, fungsi dan tata kerja kelompok jabatan fungional ditetapkan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan menurut jenis
dan jenjang jabatan fungsional.
15
BAB IV
TATA KERJA
Pasal 21
Pasal 22
16
(6) Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari
bawahannya wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk
penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk
kepada bawahannya.
(7) Dalam rangka pemberian bimbingan kepada bawahannya masing-
masing setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengadakan rapat
berkala
(8) Dalam hal pimpinan satuan organisasi dilingkungan dinas berhalangan
maka tugas pimpinan satuan organisasi dilaksanakan oleh pimpinan
satuan organisasi setingkat dibawahnya.
BAB V
KEPEGAWAIAN
Pasal 24
Pasal 25
BAB VI
KEUANGAN
Pasal 26
17
(3) Pengelola anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Bupati atas usul Kepala Dinas dari ASN yang
memenuhi persyaratan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(4) Masa kerja jabatan pengelola keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak
pengangkatannya.
BAB VII
PERLENGKAPAN KANTOR DAN ASET
Pasal 27
Pasal 28
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku, Peraturan Bupati Morowali
Utara Nomor 12 Tahun 2017 tentang Tugas dan Fungsi Masing-Masing
Jabatan pada Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam
Kebakaran Daerah (Berita Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun 2017
Nomor 12) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
18
Pasal 30
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal
TTD
APTRIPEL TUMIMOMOR
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,
TTD
MUSDA GUNTUR
BETSI A. POMBALAWO, SH
NIP. 19780121 200604 2 027
19
BAGIAN 2
( Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati Yang selama ini diawasi
oleh Satuan Polisi Pamong Praja )
SALINAN
TENTANG
1
Dengan Persetujuan Bersama
dan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
14. Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah
bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas
Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
15. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD,
adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok
retribusi yang terutang.
16. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat
SKRDLB adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar
daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
17. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD, adalah
surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif
berupa bunga dan/atau denda.
18. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.
19. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
20. Surat Izin Usaha Perdagangan yang selanjutnya disingkat SIUP adalah
surat izin untuk melaksanakan usaha perdagangan.
21. Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya
disingkat SIUPMB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan
usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan B dan/atau
golongan C.
22. Talam Kencana adalah golongan Restoran kelas tertinggi yang dinyatakan
dengan piagam bersimbol sendok garpu berwarna emas.
23. Talam Selaka adalah golongan Restoran kelas menengah yang dinyatakan
dengan piagam bersimbol sendok garpu berwarna perak.
24. Surat Pendaftaran Data Objek Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat
SpdORD adalah surat yang digunakan oleh wajib retribusi untuk
melaporkan data objek retribusi dan wajib retribusi sebagai dasar
perhitungan dan pembayaran retribusi yang terhutang menurut peraturan
perundang-undangan retribusi daerah.
25. Tempat Pelelangan Ikan yang selanjutnya disingkat TPI adalah pasar yang
biasanya terletak di dalam pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan dan
ditempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara
lelang maupun tidak.
26. Pangkalan Pendaratan Ikan yang selanjutnya disingkat PPI adalah tempat
berlabuh atau bertambatnya perahu/kapal perikanan guna mendaratkan
hasil tangkapannya, menurut perbekalan kapal serta sebagai basis
kegiatan produksi, pengolahan, pemasaran ikan, dan pembinaan
masyarakat perikanan (anonimous).
27. Taksi adalah sebuah transportasi angkutan umum atau non-pribadi yang
pada umumnya adalah mobil sedan.
28. Gross Tonage (GT) adalah perhitungan volume semua ruang yang terletak
di bawah geladak kapal ditambah dengan volume ruangan tertutup yang
terletak di atas geladak kapal ditambah dengan isi ruangan berserta semua
ruangan tertutup yang terletak di atas geladak paling atas.
3
29. Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB adalah
perizinan yang diberikan oleh Bupati kepada pemilik bangunan untuk
membangun baru, mengolah, memperluas, mengurangi dan/atau merawat
bangunan sesuai dengan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis
yang berlaku.
BAB II
JENIS DAN GOLONGAN RETRIBUSI
Pasal 2
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu yang diatur dalam Peraturan Daerah ini
meliputi :
a. retribusi izin mendirikan bangunan;
b. retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol;
c. retribusi izin gangguan;
d. retribusi izin trayek; dan
e. retribusi izin usaha perikanan.
Pasal 3
BAB III
RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Retribusi
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
(1) Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Izin
Mendirikan Bangunan.
4
(2) Wajib retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi izin
mendirikan bangunan.
Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 7
(1) Tingkat penggunaan jasa diukur dengan rumus yang didasarkan atas
faktor luas bangunan, ketinggian bangunan, fungsi bangunan, lokasi
bangunan, usia bangunan dan klasifikasi/spesifikasi bangunan.
(2) Faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bobot
(koefisien).
(3) Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni :
a. retribusi pembangunan baru :
Luas lantai bangunan (m²) kali Indeks terintegrasi kali 1,00 kali Harga
satuan bangunan.
b. retribusi rehabilitasi/renovasi bangunan :
Luas lantai bangunan (m²) kali Indeks terintegrasi kali Tingkat
kerusakan kali Harga satuan bangunan.
c. retribusi rehabilitasi prasarana bangunan :
Volume/besaran (m³) kali Indeks kerusakan kali Tingkat kerusakan kali
Harga satuan prasarana bangunan.
d. retribusi prasarana bangunan :
Volume/besaran (m³) kali Indeks kerusakan kali Tingkat kerusakan kali
Harga satuan bangunan.
(4) Besarnya koefisien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Bagian Ketiga
Struktur Dan Besarnya Tarif
Pasal 8
BAB IV
RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Retribusi
Pasal 9
5
Pasal 10
Pasal 11
(1) Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin
tempat penjualan minuman beralkohol.
(2) Wajib retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol adalah orang
pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi,
termasuk pemungut atau pemotong retribusi izin tempat penjualan
minuman beralkohol.
Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 12
Bagian Ketiga
Pengedaran dan Penjualan
Pasal 13
Pasal 14
6
b. penjualan langsung minuman beralkohol golongan A hanya dapat
diberikan kepada pemilik hotel, restoran, bar, pub/rumah musik, klub
malam, diskotik, karaoke, warung atau kios yang ditetapkan oleh Bupati
dengan jarak radius diatas 100 (seratus) meter dari tempat ibadah,
sekolah, rumah sakit, perkantoran serta harus mendapat persetujuan
tidak keberatan pada pemukiman rumah tangga terdekat dari kiri,
kanan, depan dan belakang serta diketahui Pemerintah setempat.
Sedangkan untuk minuman beralkohol golongan B dan golongan C
hanya dapat diberikan kepada pemilik hotel dan restoran dengan tanda
Talam Kencana dan Talam Selaka.
(2) Penjual langsung minuman beralkohol golongan A, golongan B dan
golongan C hanya diizinkan menjual minuman beralkohol untuk diminum
di tempat.
(3) Sub distributor minuman beralkohol hanya diizinkan mendistribusikan
minuman beralkohol kepada :
a. penjual langsung untuk minuman dengan jenis minuman beralkohol
golongan A, golongan B dan golongan C berdasarkan SIUPMB yang
dimiliki.
b. pengecer dengan jenis minuman beralkohol khusus Golongan A.
(4) Penjual minuman beralkohol hanya diizinkan menjual minuman
beralkohol secara eceran dalam kemasan minuman beralkohol golongan A.
(5) Dikecualikan dari ayat (1) adalah penjualan kepada masyarakat tertentu
untuk kepentingan prosesi adat.
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
7
Pasal 18
Bagian Keempat
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 19
BAB V
RETRIBUSI IZIN GANGGUAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 20
Dengan nama retribusi izin gangguan dipungut retribusi atas pemberian izin
tempat usaha/kegiatan yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan
gangguan.
Pasal 21
Pasal 22
(1) Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin
gangguan.
(2) Wajib retribusi izin gangguan adalah orang pribadi atau Badan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan
untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong retribusi izin gangguan.
Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 23
8
(2) Luas tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah luas
lantai bangunan atau luas ruang terbuka yang digunakan untuk tempat
usaha dan penunjang tempat usaha.
(3) Indeks lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada besar
kecilnya gangguan dengan klasifikasi sebagai berikut :
a. perusahaan dengan tingkat gangguan sangat kecil indeks 1.
b. perusahaan dengan tingkat gangguan kecil indeks 2.
c. perusahaan dengan tingkat gangguan sedang indeks 3.
d. perusahaan dengan tingkat gangguan besar indeks 4.
e. perusahaan dengan tingkat gangguan sangat besar indeks 5.
(4) Penetapan indeks lokasi didasarkan pada letak atau lokasi perusahaan
dengan klasifikasi sebagai berikut :
a. jalan kelas I dengan indeks 5.
b. jalan kelas II dengan indeks 4.
c. jalan kelas III dengan indeks 3.
d. jalan kelas IV dengan indeks 2.
Bagian Ketiga
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 24
(1) Tarif retribusi digolongkan berdasarkan luas ruang usaha, kelas jalan dan
tingkat gangguan.
(2) Besarnya retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikali dengan luas
ruang usaha dikalikan dengan indeks gangguan dikalikan dengan indeks
lokasi yang dijadikan dasar ukuran tingkat penggunaan jasa pelayanan,
pengendalian dan pengawasannya.
(3) Besarnya tarif retribusi pendaftaran ulang izin gangguan, selama usahanya
masih berjalan dengan ketentuan harus melakukan pendaftaran ulang
setiap 3 (tiga) tahun sekali yang harus diajukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sebelum batas waktu daftar ulang ditetapkan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari tarif retribusi yang berlaku.
(4) Besarnya tarif retribusi pengalihan izin dalam hal pendirian atau perluasan
tempat usaha dan atau perubahan jenis usaha, ditetapkan sebesar 100%
(seratus persen) dari tarif retribusi yang berlaku.
(5) Besarnya tarif perubahan jenis usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari tarif retribusi yang berlaku.
(6) Tarif sebagimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB VI
RETRIBUSI IZIN TRAYEK
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subyek dan Wajib Retribusi
Pasal 25
(1) Dengan nama retribusi izin trayek dipungut retribusi atas pemberian izin
trayek kepada orang pribadi atau Badan untuk menyediakan pelayanan
angkutan penumpang umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu
dalam daerah.
(2) Tata cara pemberian izin ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
9
Pasal 26
Objek retribusi izin trayek adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau
Badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang umum pada
suatu atau beberapa trayek tertentu.
Pasal 27
(1) Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin
trayek.
(2) Wajib retribusi izin trayek adalah orang pribadi atau Badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong
retribusi izin trayek.
Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Pengguna Jasa
Pasal 28
Tingkat pengguna jasa diukur berdasarkan jumlah izin yang diberikan dan
jenis angkutan umum penumpang.
Bagian Ketiga
Struktur dan Besarnya Tarif Izin Trayek
Pasal 29
Bagian Keempat
Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terutang
Pasal 30
BAB VII
RETRIBUSI IZIN USAHA PERIKANAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Retribusi
Pasal 31
(1) Dengan nama retribusi izin usaha perikanan dipungut retribusi atas
pelayanan izin usaha perikanan.
(2) Tata cara pemberian izin ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
10
(3) Nelayan dan pembudidaya kecil wajib untuk didaftarkan kegiatan
usahanya kepada Dinas yang membidangi urusan kelautan dan perikanan.
Pasal 32
Objek retribusi izin usaha perikanan adalah pemberian izin kepada orang
pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan pembudidayaan ikan.
Pasal 33
(1) Subjek retribusi izin usaha perikanan adalah orang pribadi atau Badan
yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah meliputi SIUP.
(2) Wajib retribusi izin usaha perikanan adalah orang pribadi atau Badan
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi
diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut
atau pemotong retribusi izin usaha perikanan.
Bagian Kedua
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 34
Bagian Ketiga
Struktur Dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 35
Pasal 36
(1) Orang pribadi atau Badan yang melakukan usaha perikanan berdasarkan
atau bukan berdasarkan SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
dikenakan pungutan produksi sebagai berikut :
a. hasil penangkapan ikan di laut atau perairan umum dan pengumpulan
ikan dikenakan pungutan bagi produsen sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari harga jual keseluruhan pada saat itu;
b. hasil pembudidayaan ikan di perairan laut, perairan tawar, dan
perairan payau masing-masing sebesar 2,5% (dua koma lima persen)
dari harga jual keseluruhan pada saat itu;
c. hasil pengolahan atau pengawetan ikan seperti sirip hiu, rumput laut,
ikan asin, teripang, minyak ikan hiu, ebi, terasi dan lain-lain sebesar
2,5% (dua koma lima persen) dari harga jual berdasarkan harga
pasaran setempat.
(2) Pemungutan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b dan huruf c, dilakukan di TPI dan/atau PPI atau di tempat
produksi.
11
BAB VIII
PRINSIP DALAM PENETAPAN TARIF RETRIBUSI
Pasal 37
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi perizinan tertentu
didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan
hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin
tersebut.
BAB IX
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 38
BAB X
PEMUNGUTAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan Retribusi
Pasal 39
Bagian Kedua
Surat Pendaftaran
Pasal 40
Bagian Ketiga
Penetapan Retribusi
Pasal 41
12
Bagian Keempat
Saat Retribusi Terutang
Pasal 42
Retribusi terutang terjadi pada saat ditetapkan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
Bagian Kelima
Tata Cara Pembayaran Retribusi
Pasal 43
Bagian Keenam
Penagihan
Pasal 44
(1) Pengeluaran surat teguran/peringatan surat lain yang sejenis sebagai awal
tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan segera setelah 7
(tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat
teguran/peringatan/surat lain yang sejenis wajib retribusi harus melunasi
retribusi yang terutang.
(3) Surat teguran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh
Pejabat yang ditunjuk.
Bagian Ketujuh
Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan Retribusi
Pasal 45
13
BAB XI
PENINJAUAN TARIF RETRIBUSI
Pasal 46
(1) Tarif retribusi dapat ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Bupati.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 47
Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang
membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen)
setiap bulan dari retribusi yang terutang atau kurang dibayar dan ditagih
dengan menggunakan STRD.
BAB XIII
KADALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 48
Pasal 49
(1) Piutang retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang retribusi yang sudah
kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang retribusi
yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
14
BAB XIV
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 50
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 51
15
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga
merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan
negara.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 28 Desember 2015.
TTD
YALBERT TULAKA
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 31 Desember 2015.
TTD
ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005
16
PENJELASAN ATAS
TENTANG
I. UMUM.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
ayat (1) Cukup jelas.
ayat (2) Cukup jelas.
ayat (3) Rumus yang digunakan dalam retribusi izin mendirikan
bangunan, yaitu :
- Retribusi bangunan baru :
L x It x 1,00 x HSbg
- Retribusi rehabilitasi/renovasi bangunan :
L x It x Tk x HSbg
17
- Retribusi rehabilitasi prasaranan bangunan :
V x I x Tk x HSpbg
- Retribusi prasarana bangunan :
V x I x Tk x HSbg
Keterangan :
L : Luas lantai bangunan (m²)
V : Volume/besaran bangunan (m³)
I : Indeks kerusakan
It : Indeks terintegrasi
Tk : Tingkat kerusakan
- 0,45 untuk tingkat kerusakan sedang
- 0,65 untuk tingkat kerusakan berat
HSbg : Harga satuan retribusi bangunan
HSpbg : Harga satuan retribusi prasarana bangunan
1,00 : Indeks pembangunan baru
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
18
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
19
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
20
LAMPIRAN I
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
21
d. Koefisien Lokasi Bangunan.
No Klasifikasi Koefisien
22
5 Bangunan Darurat 0,70
- Pondasi pasangan batu / kayu
- Dinding kayu / tripleks
- Rangka atap kayu
- Lantai beton / tanah
TTD
YALBERT TULAKA
23
LAMPIRAN II
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
a. Diskotik, karaoke, klub malam, warung atau kios Rp. 15.000.000,- /izin
b. Hotel, motel, losmen, toko dan supermaket Rp. 10.000.000,- /izin
TTD
YALBERT TULAKA
24
LAMPIRAN III
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
2. Indeks gangguan :
3. Indeks lokasi :
TTD
YALBERT TULAKA
25
LAMPIRAN IV
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
TTD
YALBERT TULAKA
26
LAMPIRAN V
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 17 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU
I. SIUP Budidaya untuk kegiatan pembesaran ikan di air tawar, air payau
dan air laut :
1. Budidaya kolam air tenang lebih dari 2 hektar, perhektar : Rp. 50.000,-
per tahun.
2. Budidaya sawah lebih dari 2 hektar, perhektar (mina padi) : Rp. 20.000,-
per tahun.
3. Budidaya ikan di kolam air deras lebih dari 500 m³ : Rp. 75.000,- per
tahun.
4. Budidaya ikan mas/nila di karamba lebih dari 50 (lima puluh) unit
dengan ketentuan 1 unit = 4 x 2 x 1,5 m³ : Rp. 20.000,-/unit/tahun.
5. Budidaya air payau tradisional dengan areal lahan Lebih dari 5 Hektar,
perhektar Rp. 40.000,- per tahun.
6. Budidaya air payau semi intensif dengan areal lahan lebih dari 5 Hektar,
perhektar : Rp. 50.000,- per tahun.
7. Budidaya air payau intensif dengan areal lahan lebih dari 5 Hektar,
perhektar : Rp. 100.000,- per tahun.
8. Budidaya rumput laut dengan menggunakan metode :
a) lepas dasar lebih dari 8 (delapan) unit dengan ketentuan 1 unit
berukuran 100 x 5 m² perhektar : Rp. 50.000,- per tahun.
b) rakit apung lebih dari 20 (dua puluh) unit dengan ketentuan 1 unit =
20 rakit, 1 rakit berukuran 5 x 2,5 m²; perhektar : Rp.50.000,- per
tahun.
c) long line lebih dari 2 (dua) unit dengan ketentuan 1 unit berukuran 1
(satu) ha; perhektar : Rp. 100.000,- per tahun.
9. Budidaya ikan kerapu, kakap, baronang dan lain-lain :
(Keramba jaring Apung) :
a) kerapu bebek/tikus dengan menggunakan dari 2 (dua) unit keramba
jaring apung, dengan ketentuan 1 unit = 4 kantong ukuran 3 x 3 x 3
m³/kantong, kepadatan antara 300-500 ekor per kantong : Rp.
150.000,-/unit/tahun.
b) kerapu lainnya dengan menggunakan lebih dari 4 (empat) unit
keramba jaring apung, dengan ketentuan 1 unit = 4 kantong ukuran
3 x 3 x 3 m³/kantong : Rp. 100.000,-/unit/tahun.
c) kakap putih dan baronang serta ikan lainnya lebih dari 10 (sepuluh)
unit karamba jaring apung, dengan ketentuan 1 unit 4 kantong
ukuran 3 x 3 x 3 m³/kantong, kepadatan antara 300-500 ekor per
kantong : Rp. 50.000,- per tahun.
10. Budidaya Mutiara perhektar Rp. 250.000,- per tahun.
1. Pembenihan ikan air tawar dengan areal lahan lebih dari 0,75 hektar,
Kapasitas 1 - 4 juta ekor Rp. Rp. 100.000,- per tahun.
2. Pembenihan ikan air tawar dengan areal lahan lebih dari 0,75 hektar,
Kapasitas 4 juta ekor ke atas Rp. 150.000,- per tahun.
27
3. Pembenihan Udang Galah dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar,
Kapasitas 1 - 4 juta ekor Rp. 150.000,- per tahun.
4. Pembenihan Udang Windu dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar,
Kapasitas 1 - 4 Juta ekor Rp. 100.000,- per tahun.
5. Pembenihan Udang Galah dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar,
Kapasitas 4 juta ekor ke atas Rp. 200.000,- per tahun.
6. Pembenihan Udang Windu dengan areal lahan lebih dari 0,5 hektar,
Kapasitas 4 Juta ekor ke atas Rp. 200.000,- per tahun.
TTD
YALBERT TULAKA
28
SALINAN
TENTANG
PAJAK DAERAH
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal
95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah;
1
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
dan
BUPATI MOROWALI UTARA
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
5. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang Perpajakan Daerah
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
6. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan
nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun,
Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi Sosial
Politik atau Organisasi lainnya, Lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk badan usaha tetap.
8. Pajak Hotel adalah Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh Hotel.
9. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristrahatan termasuk jasa
terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen,
gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan
sejenisnya, serta rumah kost dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
2
10. Kondominium adalah rumah yang dibangun secara bertingkat-tingkat dan
mempunyai keluasan yang lebih berbanding dengan rumah apartemen.
11. Pengusaha hotel adalah Perorangan atau badan yang menyelenggarakan
usaha untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain
yang menjadi tanggungannya.
12. Pajak Restoran adalah Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh Restoran.
13. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan
dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin,
warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
14. Pajak Hiburan adalah Pajak atas penyelenggaraan hiburan.
15. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan dan/atau
keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
16. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
17. Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang bentuk dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan,
menganjurkan, mempromosikan atau untuk menarik perhatian umum
terhadap barang, jasa, orang atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar,
dirasakan dan/atau dinikmati oleh umum.
18. Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan
umum yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.
19. Pajak Penerangan Jalan adalah Pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
20. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam
didalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
21. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud didalam Peraturan Perundang-undangan dibidang
mineral dan batubara.
22. Pajak Parkir adalah Pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan
jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor.
23. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara.
24. Pajak Air Tanah adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah.
25. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
26. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang burung walet.
27. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia
fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
28. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
3
29. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman
serta laut wilayah kabupaten/kota.
30. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
31. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan
bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru
atau NJOP pengganti.
32. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak atas perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan.
33. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau
Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
34. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang dibidang pertanahan dan bangunan.
35. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
Peraturan Perundang-undangan Perpajakan Daerah diwajibkan untuk
melakukan Pembayaran Pajak yang terutang, termasuk pemungutan atau
pemotongan Pajak tertentu.
36. Subjek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak.
37. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan
kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling
lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk
menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
38. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender,
kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender.
39. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada saat, dalam masa
pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
40. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data
objek atau subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai
kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan
penyetorannya.
41. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang dapat disingkat SPPD adalah surat
yang oleh wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
Pembayaran pajak, yang terutang menurut Peraturan Perundang-undangan
Perpajakan Daerah.
42. Surat Setoran Pajak Daerah yang dapat disingkat SSPD adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran
pajak ke Kas Daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh
Bupati.
43. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang dapat disingkat SKPD adalah Surat
Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak.
4
44. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang dapat disingkat SKPDKB
adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok
pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
45. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang dapat disingkat
SKPDKBT adalah Surat Ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
46. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang dapat disingkat SKPDLB
adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar dari pada Pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
47. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang dapat disingkat SKPDN adalah Surat
ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
48. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah
surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan
objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
49. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah
surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada wajib pajak.
50. Surat Tagihan Pajak Daerah yang dapat disingkat STPD adalah surat untuk
melakukan Tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda.
51. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan
dan mengolah data dan/atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan
kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
52. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dapat
disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan daerah yang
terjadi serta menemukan tersangkanya.
53. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak
berakhir.
5
BAB II
JENIS PAJAK
Pasal 2
BAB III
PAJAK HOTEL
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 3
Dengan nama pajak hotel dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
hotel.
Pasal 4
(1) Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang
sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas
olahraga dan hiburan.
(2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon,
facsimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi dan
fasilitas lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.
(3) Tidak termasuk objek pajak hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah;
b. jasa sewa apartemen, kondominium dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti
asuhan dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh
hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
6
Bagian Kedua
Subjek Dan Wajib Pajak
Pasal 5
(1) Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
(2) Wajib pajak hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 6
Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada hotel.
Paragraf 2
Tarif
Pasal 7
Paragraf 3
Cara Perhitungan Pajak
Pasal 8
(1) Besaran pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Pajak hotel yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat hotel berlokasi.
Bagian Keempat
Masa Pajak Dan Saat Pajak Terutang
Pasal 9
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 10
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pelayanan di hotel.
7
BAB IV
PAJAK RESTORAN
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 11
Dengan nama pajak restoran dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.
Pasal 12
(1) Objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran.
(2) Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi
oleh pembeli, baik dikonsumsi ditempat pelayanan maupun di tempat lain.
(3) Tidak temasuk objek pajak restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya
(omset) tidak melebihi Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per bulan.
Bagian Kedua
Subjek Dan Wajib Pajak
Pasal 13
(1) Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli
makanan dan/atau minuman dari restoran.
(2) Wajib pajak restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan
restoran.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif Dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 14
Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau
yang seharusnya diterima restoran.
Paragraf 2
Tarif
Pasal 15
Tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
8
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 16
(1) Besaran pokok pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(2) Pajak restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat restoran
berlokasi.
Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 17
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 18
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pelayanan yang disediakan
oleh restoran.
BAB V
PAJAK HIBURAN
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 19
Pasal 20
(1) Objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut
bayaran.
(2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, club malam dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat dan sulap;
g. permainan bilyard dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa dan pusat kebugaran (fitness center);
dan
j. pertandingan olahraga.
9
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 21
(1) Subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati
hiburan.
(2) Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan
hiburan.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 22
(1) Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.
(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk potongan harga dan tiket gratis diberikan kepada penerima jasa
hiburan.
Paragraf 2
Tarif
Pasal 23
10
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 24
(1) Besaran pokok pajak hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pajak hiburan yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat hiburan
diselenggarakan.
Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 25
Masa pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain
yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang
menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan
pajak yang terutang.
Pasal 26
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan hiburan.
BAB VI
PAJAK REKLAME
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 27
Pasal 28
11
b. label/merk produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan,
yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada
bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
dan
e. penyelenggaraan reklame lainnya termasuk Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Pemilihan Umum Anggota Legislatif.
Bagian Kedua
Subjek Dan Wajib Pajak
Pasal 29
(1) Subjek pajak reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
reklame.
(2) Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang
pribadi atau Badan, wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau Badan
tersebut.
(4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga
tersebut menjadi wajib pajak reklame.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 30
(1) Dasar pengenaan pajak reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak
reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan
yang digunakan, lokasi penempatan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah
dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan
dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan
menggunakan Rumus yaitu : Nilai Sewa Reklame sama dengan (Nilai
Kawasan tambah Nilai Sewa) kali Jangka Waktu Pemasangan.
(6) Hasil perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
12
Paragraf 2
Tarif
Pasal 31
Tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 32
(1) Besaran pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6).
(2) Pajak reklame yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat reklame
tersebut diselenggarakan.
Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 33
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga)
bulan kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor
dan melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 34
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan reklame.
BAB VII
PAJAK PENERANGAN JALAN
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 35
Dengan nama pajak penerangan jalan dipungut pajak atas penggunaan tenaga
listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
Pasal 36
(1) Objek pajak penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
seluruh pembangkit listrik.
(3) Dikecualikan dari objek pajak penerangan jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah :
a. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah;
b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh
kedutaan, konsulat, perwakilan asing dengan asas timbal balik; dan
13
c. penggunaan tenaga listik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas
tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 37
(1) Subjek pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau Badan yang
dapat menggunakan tenaga listrik.
(2) Wajib pajak penerangan jalan adalah orang pribadi atau Badan yang
menggunakan tenaga listrik.
(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, wajib pajak penerangan
jalan adalah penyedia tenaga listrik.
(4) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN)
maka pemungutan pajak penerangan jalan dilakukan oleh PLN.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 38
(1) Dasar pengenaan pajak penerangan jalan adalah nilai jual tenaga listrik.
(2) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran,
nilai jual tenaga listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap
ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam
rekening listrik; dan
b. dalam tenaga listrik dihasilkan sendiri, nilai jual tenaga listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu
pemakaian listrik dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah
yang bersangkutan.
Paragraf 2
Tarif
Pasal 39
(1) Tarif pajak penerangan jalan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam, tarif pajak penerangan jalan ditetapkan sebesar
3% (tiga persen).
(3) Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif pajak penerangan
jalan ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
14
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 40
(1) Besarnya pokok pajak penerangan jalan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pajak penerangan jalan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
penggunaan tenaga listrik.
(3) Hasil penerimaan pajak penerangan jalan sebagian dialokasikan untuk
penyediaan penerangan jalan.
Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 41
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 42
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penggunaan tenaga listrik.
BAB VIII
PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 43
Dengan nama pajak mineral bukan logam dan batuan dipungut pajak atas
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
Pasal 44
(1) Objek pajak mineral bukan logam dan batuan adalah kegiatan pengambilan
mineral mukan logam dan batuan yang meliputi :
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
15
k. grafit;
l. granit/Andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. traktit; dan
kk. mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dikecualikan dari objek pajak mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang secara
nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan
tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang
listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa
air/gas; dan
b. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang merupakan
ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan
secara komersial.
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 45
(1) Subjek pajak mineral bukan logam dan batuan adalah orang pribadi atau
Badan yang dapat mengambil mineral bukan logam dan batuan.
(2) Wajib pajak mineral bukan logam dan batuan adalah orang pribadi atau
Badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan.
16
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 46
(1) Dasar pengenaan pajak mineral bukan logam dan batuan adalah nilai jual
hasil pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar
masing-masing jenis mineral bukan logam dan batuan.
(3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang
berlaku di lokasi setempat dalam wilayah daerah yang ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.
(4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga
standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang
pertambangan mineral bukan logam dan batuan.
Paragraf 2
Tarif
Pasal 47
Tarif pajak mineral bukan logam dan batuan ditetapkan sebesar 20% (dua puluh
persen).
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 48
(1) Besaran pokok pajak mineral bukan logam dan batuan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 47 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46.
(2) Pajak mineral bukan logam dan batuan yang terutang dipungut diwilayah
daerah tempat pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 49
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.
17
Pasal 50
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan.
BAB IX
PAJAK PARKIR
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 51
Dengan nama pajak parkir dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di
luar badan jalan.
Pasal 52
(1) Objek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
bermotor.
(2) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan
untuk karyawannya sendiri;
c. penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan, konsulat dan perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik; dan
d. penyelenggaraan tempat parkir oleh rumah ibadah.
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 53
(1) Subjek pajak parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir
kendaraan bermotor.
(2) Wajib pajak parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan
tempat parkir.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 54
(1) Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk potongan harga parkir dan parkir gratis yang diberikan kepada
penerima jasa parkir.
18
Paragraf 2
Tarif
Pasal 55
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 56
(1) Besaran pokok pajak parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(2) Pajak parkir yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat parkir
berlokasi.
Bagian Keempat
Masa Pajak Saat Pajak Terutang
Pasal 57
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 58
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan tempat
parkir.
BAB X
PAJAK AIR TANAH
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 59
Dengan nama pajak air tanah dipungut pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah.
Pasal 60
(1) Objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Dikecualikan dari objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan
pertanian dan perikanan rakyat, peribadatan, sosial dan pendidikan.
19
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 61
(1) Subjek pajak air tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Wajib pajak air tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 62
(1) Dasar pengenaan pajak air tanah adalah nilai perolehan air tanah.
(2) Nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau
seluruh faktor berikut :
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan
dan/atau pemanfaatan air.
(3) Besaran nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 2
Tarif
Pasal 63
Tarif pajak air tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 64
(1) Besarnya pokok pajak air tanah yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3).
(2) Pajak air tanah yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air diambil.
20
Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 65
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kelender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 66
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah.
BAB XI
PAJAK SARANG BURUNG WALET
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 67
Dengan nama pajak sarang burung walet dipungut pajak atas kegiatan
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
Pasal 68
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 69
(1) Subjek pajak sarang burung walet adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
(2) Wajib pajak sarang burung walet adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 70
(1) Dasar pengenaan pajak sarang burung walet adalah nilai jual sarang burung
walet.
21
(2) Nilai jual sarang burung walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini
dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung
walet yang berlaku di daerah dengan volume sarang burung walet.
(3) Nilai pasar atau harga standar setiap jenis sarang burung walet untuk jangka
waktu tertentu ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 2
Tarif
Pasal 71
Tarif pajak sarang burung walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 72
(1) Besaran pokok pajak sarang burung walet yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 70.
(2) Pajak sarang burung walet yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
Bagian Keempat
Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 73
Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 74
Pajak terutang dalam masa Pajak terjadi pada saat kegiatan pengambilan dan/
atau pengusahaan sarang burung walet.
BAB XII
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 75
Dengan nama pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dipungut pajak
atas bumi dan/atau bangunan.
22
Pasal 76
(1) Objek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
(2) Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan
dengan kompleks bangunan tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. menara.
(3) Objek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan adalah objek pajak yang :
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan
pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 77
Subjek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi
atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.
23
Pasal 78
Wajib pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi
atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan.
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 79
(1) Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah
NJOP.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3
(tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh Bupati.
Paragraf 2
Tarif
Pasal 80
(1) Tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk NJOP yang
jumlahnya sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
(2) Tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan untuk NJOP yang
jumlahnya diatas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar
0,2% (nol koma dua persen).
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 81
(1) Besaran pokok pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79 ayat (3) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (4).
(2) Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang terutang dipungut di
wilayah daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan bangunan
perdesaan dan perkotaan.
24
Bagian Keempat
Saat Pajak Terutang
Pasal 82
(1) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek
pajak pada tanggal 1 Januari.
(2) Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak
objek pajak.
Pasal 83
Pasal 84
BAB XIII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Bagian Kesatu
Nama dan Objek Pajak
Pasal 85
Dengan nama pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dipungut pajak
atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pasal 86
(1) Objek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. pemindahan hak karena :
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
25
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13) hadiah.
b. pemberian hak baru karena :
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik;
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Bagian Kedua
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 87
Subjek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang pribadi
atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pasal 88
Wajib pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang pribadi
atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
26
Bagian Ketiga
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Paragraf 1
Dasar Pengenaan
Pasal 89
(1) Dasar pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah nilai
perolehan objek pajak.
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai
pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam risalah lelang.
(3) Jika nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP
yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP pajak bumi
dan bangunan.
Pasal 90
(1) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar
Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.
(2) Dalam hal NJOP hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah).
27
Paragraf 2
Tarif
Pasal 91
Tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 5% (lima persen).
Paragraf 3
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 92
(1) Besaran pokok bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (1) setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) atau ayat (2).
(2) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang dipungut di
wilayah daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan hak atas tanah
dan bangunan.
Bagian Keempat
Saat Pajak Terutang
Pasal 93
(1) Saat terutangnya pajak bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
ditetapkan untuk :
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
b. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke instansi dibidang pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatangani akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani
akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
28
(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 94
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat perolehan hak atas tanah dan
bangunan.
Bagian Kelima
Kewajiban dan Sanksi Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Instansi yang
Membidangi Pelayanan Lelang Negara dan Pertanahan Dalam Pemenuhan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pasal 95
Pasal 96
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala instansi yang membidangi
pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Bupati melalui pejabat yang
berwenang paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 97
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala instansi yang membidangi
pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk
setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala instansi yang membidangi
pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 96 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(3) Kepala instansi yang melaksanakan tugas dibidang pertanahan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3)
dikenakan sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
29
Bagian Keenam
Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pasal 98
(1) Atas Permohonan wajib pajak, Bupati dapat memberikan pengurangan Pajak
yang terutang kepada wajib pajak karena :
a. kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak,
atau
b. kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab akibat
tertentu, atau
c. tanah dan/atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau
pendidikan yang semata-mata tidak mencari keuntungan.
(2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Bagian Ketujuh
Gugatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pasal 99
(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Pajak.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan
pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal penagihan.
(3) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan lain selain
gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal diterima keputusan yang digugat.
(4) Jangka waktu dimaksud pada ayat dua (2) dan ayat (3) tidak mengikat apabila
jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaan penggugat.
(5) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 14
(empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan
penggugat.
(6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1
(satu) surat gugatan.
BAB XIV
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 100
30
BAB XV
PEMUNGUTAN PAJAK
Pasal 101
Pasal 102
Pasal 103
(1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan
menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar
dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
(3) Wajib pajak BPHTB wajib mengisi SSPD.
(4) Dokumen SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berfungsi sebagai
SPTPD.
Pasal 104
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati
dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
31
2. Jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka
waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; dan
3. Jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang
dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang;
dan.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika wajib
pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka 3 dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 105
(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPOP,
SPPT, SPTPD/SSPD, SKPDKB dan SKPDKBT diatur dengan Peraturan Bupati.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau
dokumen lain yang dipersamakan, SPOP, SPPT, SPTPD/SSPD, SKPDKB, dan
SKPDKBT diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XVI
SURAT TAGIHAN PAJAK
Pasal 106
BAB XVII
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Pasal 107
(1) Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya
pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh
wajib pajak.
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus
dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterbitkan.
(3) Bupati atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak dengan dikenakan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran,
angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 108
(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan
Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya
dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
BAB XVIII
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 109
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau Pejabat
atas suatu :
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB;
d. SKPDKBT;
e. SKPDLB;
f. SKPDN; dan
g. Pemotongan.
33
(2) Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampirkan secara tertulis dalam bahasa Indonesia paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN diterima oleh
wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
(3) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal surat permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(4) Apabila setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Bupati atau Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan
keberatan dianggap dikabulkan.
(5) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda
kewajiban membayar Pajak.
Pasal 110
(1) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat
keputusan keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding.
Pasal 111
34
BAB XIX
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN, DAN
PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 112
(1) Atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat
membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau
SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Bupati dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga,
denda dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau
STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan
atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan
sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XX
KADALUWARSA
Pasal 113
35
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 114
(1) Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan
penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang pajak Kabupaten yang
sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghapusan piutang pajak yang
sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XXI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 115
(1) Wajib pajak yang melakukan usaha dengan omset paling sedikit Rp.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan.
(2) Pembukuan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dilakukan secara tertib,
teratur dan benar sesuai dengan norma pembukuan yang berlaku.
(3) Pembukuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat dijadikan dasar untuk
menghitung besarnya pajak terutang.
Pasal 116
(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Wajib pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek
pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan mengenai pemeriksaan pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.
36
BAB XXII
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 117
BAB XXIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 118
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana dibidang pajak daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana, dibidang pajak daerah agar keterangan
laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
dengan tindak pidana perpajakan daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
pidana dibidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud
pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan
daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
37
j. menghentikan penyidikan; dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana dibidang perpajakan daerah menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
BAB XXIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 119
(1) Wajib pajak daerah yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD
atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
(2) Wajib pajak daerah yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan
yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(3) Tindak pidana sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) adalah pelanggaran.
(4) Denda pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
penerimaan Negara.
BAB XXV
SENGKETA PAJAK
Pasal 120
Dalam hal terjadi sengketa pajak, maka diselesaikan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
BAB XXVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 121
38
Pasal 122
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 28 Desember 2015.
Pj. BUPATI MOROWALI UTARA,
TTD
YALBERT TULAKA
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 31 Desember 2015.
TTD
ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005
39
PENJELASAN ATAS
TENTANG
PAJAK DAERAH
I. UMUM.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Daerah mempunyai hak dan
kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat untuk dapat menyelenggarakan
pemerintahan dengan baik diperlukan sumber-sumber pembiayaan yang
sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perpajakan
sebagai salah satu sumber pendapatan bagi Daerah perlu menyesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka semua Peraturan Daerah yang
mengatur Pajak Daerah harus menyesuaikan dengan Undang-Undang
tersebut. Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah ini akan menjadi pedoman
dalam upaya penanganan dan pengelolaan Pajak Daerah guna
meningkatkan penerimaan Daerah. Pajak Daerah mempunyai peranan
penting untuk mendorong pembangunan daerah, meningkatkan
pendapatan daerah dalam rangka untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Selain itu dengan Peraturan Daerah ini diharapkan ada peningkatan
kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintahan Daerah telah diberikan
kewenangan lebih luas dalam pengelolaan Pajak Daerah, diantaranya
kewenangan terhadap Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan
(PBB-P2) dari Pajak Pusat menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota.
Ketentuan Peralihan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pelaksanaan pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan ketentuan yang lama
yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan, diberikan batas waktu sampai dengan paling
lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau paling lama
sampai dengan 31 Desember 2010.
40
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya mewujudkan efisiensi dan
efektifitas pengelolaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan oleh
daerah, maka Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan perlu segera ditetapkan.
Peraturan Daerah ini mengatur berbagai hal yang terkait dengan
pengelolaan Pajak Daerah terutama Bea Perolahan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, kewajiban dan hak pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pemungutan pajak, serta sanksi administratif maupun sanksi pidana bagi
pihak-pihak yang tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini. Hal ini dimaksudkan agar dengan beralihnya
pengelolaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah, pengelolaannya lebih berdaya
guna dan berhasil guna, sehingga dapat mendukung visi Pemerintah
Kabupaten Morowali Utara.
41
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Nama pengenal usaha yang dipasang melekat adalah reklame yang
ditulis langsung atau dilekatkan pada bangunan tempat usaha dengan
tidak melebihi luas reklame 2 meter persegi.
Pasal 29
Cukupjelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
ayat (1) Cukup Jelas.
ayat (2) Cukup Jelas.
ayat (3) Cukup Jelas.
ayat (4) Cukup Jelas.
42
ayat (5)
Contoh: Cara menghitung Sewa Reklame (NSR) dengan
menggunakan Rumus yang dijadikan standar perhitungan,
yaitu:
NSR = (NK + NS) x JWP
NSR = Nilai Sewa Reklame
NK = Nilai Kawasan
NS = Nilai Sewa
JWP = Jangka Waktu Pemasangan
1. Penghitungan NSR untuk Baliho ukuran 4 x 6 m (satu sisi)
dipasang di wilayah Kecamatan Petasia selama 1 tahun :
NSR = [(4m x 6m) x (Rp. 78.400 + Rp.19.600)] x 1
= 24 m2 x Rp. 98.000,-
= Rp. 2.352.000,-
Jadi : Nilai Sewa Reklame (NSR) adalah sebesar :
Rp. 2.352.000,-
2. Penghitungan NSR untuk Bilboard ukuran 1 x 2 m (dua sisi)
dipasang di suatu tempat selama 1 tahun :
NSR = [(1 x 2 m x 2 sisi) x (Rp. 452.700 + Rp. 113.175)] x 1
= 4 m2 x Rp. 565.875,-
= Rp. 2.263.500,-
Jadi : Nilai Sewa Reklame (NSR) adalah sebesar : Rp.
2.263.500,-
ayat (6) Cukup Jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Contoh : Pajak Reklame Terutang sebagaimana contoh Penjelasan
Pasal 30 di atas didapatkan sebagai berikut :
1. Pajak Reklame = NSR x Tarif
= Rp. 2.352.000 x 25%
= Rp. 588.000,-
2. Pajak Rekame = Rp. 2.263.500 x 25%
= Rp. 565.875,-
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
43
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
44
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Bupati dalam menetapkan nilai pasar dengan melakukan
survey untuk masing-masing wilayah kecamatan dan/atau
kelurahan, dan nilai pasar dapat ditinjau/dilakukan
penyesuaian berdasarkan perkembangan setiap tahun.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Yang dimaksud dengan kawasan adalah semua tanah dan bangunan
yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah
yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah
usaha pertambangan.
Pasal 76
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
45
ayat (3)
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Yang dimaksudkan dengan “tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan“ adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani
kepentingan umum dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam
rumah ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan
nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik
Negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf f
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi
terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak paling rendah
sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah).
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa :
- Tanah seluas 800 m² dengan harga jual Rp. 300.000/m2
- Bangunan seluas 400 m² dengan nilai jual Rp. 350.000/m2
- Taman seluas 200 m² dengan nilai jual Rp. 50.000/m2
- Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata
pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 175.000/m2
46
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
1. NJOP Bumi : 800 X Rp. 300.000,- = Rp. 240.000.000,-
2. NJOP Bangunan
a. Rumah dan Garasi 400 X Rp.350.000 = Rp. 140.000.000,-
b. Taman 200 X Rp.50.000 = Rp. 10.000.000,-
c. Pagar (120 X 1,5) X Rp.175.000 = Rp. 31.500.000,- +
Total NJOP Bangunan Rp. 181.500.000,-
47
Contoh :
Wajib pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan :
Nilai perolehan obyek pajak : Rp. 100.000.000,-
Nilai perolehan obyek pajak tidak kena pajak : Rp. 60.000.000,- (-)
Nilai perolehan obyek pajak kena pajak : Rp. 40.000.000,-
Pajak yang terutang 5% x Rp.40.000.000 : Rp. 2.000.000,-
Dalam Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan SSPD
sekaligus berfungsi sebagai SPTPD. Hal ini dimaksudkan untuk
mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat, serta menegakkan
prinsip pajak dihitung dan dibayar sendiri oleh wajib pajak (self
assessment).
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Huruf a
Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek
pajak
Contoh :
1. Wajib pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh
hak baru melalui program pemerintah dibidang pertanahan.
2. Wajib pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang
mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah.
Huruf b.
Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab
tertentu
Contoh :
1. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian
dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya dibawah
Nilai Jual Objek Wajib Pajak.
2. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti
atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan
umum yang memerlukan persyaratan khusus.
3. Wajib pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter
yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional
sehingga wajib pajak harus melakukan restrukturisasi usaha
dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
48
Huruf c
Contoh :
Tanah dan/atau bangunan yang digunakan antara lain untuk panti
asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, rumah sakit swasta,
institusi pelayanan sosial masyarakat.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 99
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Dalam hal batas waktu tidak dapat dipenuhi oleh penggugat karena
keadaan diluar kekuasaannya (force majeur) maka jangka waktu
dimaksud dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang.
ayat (5)
Cukup jelas.
ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak
yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan
kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran
dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiscal tidak
dilaporkan oleh wajib pajak.
ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Bupati untuk dapat
menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap
kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap wajib
pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan
tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.
49
Contoh :
1. Seseorang wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun
pajak 2009. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum
menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun Bupati dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang
terutang.
2. Seorang wajib pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009.
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil
pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang
terutang yang kurang bayar tersebut, Bupati dapat menerbitkan
SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.
3. Wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah
diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru
dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan jumlah pajak yang terutang, Bupati dapat
menerbitkan SKPDKBT.
4. Wajib pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Bupati ternyata jumlah
pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, Bupati dapat menerbitkan
SPKDN.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah
penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Bupati
atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau
keterangan lain yang dimiliki oleh Bupati atau pejabat yang
ditunjuk.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
ayat (2)
Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap wajib pajak yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi
administrasif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari
pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau
terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak
saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
50
ayat (3)
Dalam hal wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, yaitu dengan
ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang
terutang bertambah, maka terhadap wajib pajak dikenakan sanksi
administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak. Sanksi administrasi ini tidak dikenakan apabila
wajib pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.
ayat (4)
Cukup jelas.
ayat (5)
Dalam hal wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, yaitu wajib
pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya,
dikenakan sanksi adminstratif berupa kenaikan pajak sebesar 25 %
(dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang.
Dalam kasus ini, Bupati menetapkan pajak yang terutang secara
jabatan melalui penerbitan SKPDKB.
Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh
lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebelum dihitung
dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administratif berupa
bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai sengan
diterbitkannya SKPDKB.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
51
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
ayat (1) Yang dimaksud dengan “Instansi yang melaksanakan
pungutan pajak” adalah Dinas/Badan/Lembaga yang tugas
pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan pajak dan
retribusi.
ayat (2) Cukup jelas.
ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
52
SALINAN
TENTANG
1
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara Di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
5. peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang
Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak Yang Berlaku Pada Kementrian Perhubungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5668);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 12
Tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Daerah
(Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun
2015 Nomor 12);
MEMUTUSKAN :
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 16
Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran
Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun 2015 Nomor 16,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara
Nomor 14), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 56 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 56
berbunyi sebagai berikut :
2
Pasal 56
(1) Subyek retribusi pelayanan kepelabuhanan adalah
orang pribadi atau badan yang memanfaatkan fasilitas
dermaga/pelabuhan penyerangan dan/atau pelabuhan
lokal di wilayah daerah.
(2) Wajib retribusi pelayanan kepelabuhanan adalah orang
pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut
atau pemotong retribusi pelayanan kepelabuhanan.
3
Per Tahun Rp. 30.000,-/Kendaraan
Truk Besar Rp.300.000,-/Kendaraan
Per Bulan
Per Tahun Rp. 50.000,-/Kemdaraan
Pick Up, Mobil, Bus, Sedan Rp.500.000,-/Kendaraan
dan Jeep
Per Bulan
Per Tahun Rp. 20.000,-/Kendaraan
Sepeda Motor Rp.200.000,-/Kendaraan
Per Bulan
Per Tahun Rp. 20.000,-/Kendaraan
Rp.175.000,-/Kendaraan
B. Pelabuhan Penyeberangan
No. JENIS PELAYANAN SATUAN TARIF
1. Jasa Sandar :
a. Dermaga beton; Per GT per call Rp. 50,00
b. Jembatan Kayu; Per GT per call Rp. 30,00
c. Pinggiran/pantai; Per GT per call Rp. 20,00
d. Kapal istrahat pada dermaga; Per GT per call Rp. 15,00
4
g. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.2.000,00
golongan IV; sekali masuk
h. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.3.000,00
golongan V; sekali masuk
i. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.4.000,00
golongan VI; sekali masuk
j. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.5.000,00
golongan VII; sekali masuk
k. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.6.000,00
golongan VIII; sekali masuk
l. Tanda masuk kendaraan Per unit per Rp.7.000,00
golongan IX; sekali masuk
5
Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 30 November 2016
TTD
APTRIPEL TUMIMOMOR
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 30 November 2016
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,
TTD
YALBERT TULAKA
ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005
6
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 9 TAHUN 2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
MOROWALI UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015
TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA
I. UMUM
Salah satu sumber pendapatan daerah adalah berasal dari pajak dan
retribusi. Pajak dan retribusi termasuk dalam kelompok pendapatan asli
daerah. Sumber pendapatan asli daerah yang berasal dari retribusi daerah
diantaranya adalah retribusi jasa usaha. Salah satu jenis dari retribusi
jasa usaha adalah retribusi pelayanan kepelabuhanan. Di Kabupaten
Morowali Utara telah dibangun pelabuhan penyeberangan untuk melayani
angkutan penyeberangan menggunakan kapal penyebrangan. Kegiatan
yang memanfaatkan fasilitas pada lingkungan pelabuhan penyeberangan
tersebut termasuk dalam obyek retribusi. Dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 16 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa
Usaha, belum mengatur Subyek dan Obyek Retribusi yang memanfaatkan
fasilitas dermaga/pelabuhan penyeberangan. Untuk memberikan
kepastian hukum atas pungutan retribusi atas pemanfaatan fasilitas
dermaga/pelabuhan penyeberangan perlu melakukan perubahan terhadap
Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 16 Tahun 2015
tentang Retribusi Jasa Usaha.
Pasal I
Angka 1
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 2
Pada kolom tabel bagian huruf B
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan I adalah
sepeda.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan II adalah
sepeda motor dibawah 500 cc dsn gerobak dorong.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan III adalah
sepeda motor besar (> 500 cc) dan kendaraan roda 3 (tiga).
7
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan IV adalah
kendaraan bermotor berupa mobil jeep, sedan, mini cab,
mini bus, mikrolet, pick up, combi station wagon, dengan
panjang sampai 5 (lima) meter dan sejenisnya.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan V adalah
kendaraan bermotor berupa mobil bus, mobil barang
(truck)/tangki, dengan panjang sampai 7 (tujuh) meter dan
sejenisnya.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan VI adalah
kendaraan bermotor berupa mobil bus, mobil barang
(truck)/tangki, dengan panjang dari 7 (tujuh) meter sampai
dengan 10 (sepuluh) meter dan sejenisnya dengan kereta
penarik tanpa gandengan.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan VII adalah
kendaraan bermotor berupa mobil barang (truck
tronton)/tangki, kereta penarik berikut gandengannya
serta kendaraan alat berat dengan panjang lebih dari 10
(sepuluh) meter sampai dengan 12 (dua belas) meter.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan VIII adalah
kendaraan bermotor berupa mobil barang (truck
tronton)/tangki, kendaraan alat berat dan kereta penarik
berikut gandengannya dengan panjang 12 (dua belas)
meter dan sejenisnya.
Yang dimaksud dengan kendaraan golongan IX adalah
kendaraan bermotor berupa alat berat dan kereta penarik
gandengan yang panjang lebih dari 12 (dua belas) meter.
Pasal II
Cukup jelas.
8
9
SALINAN
TENTANG
120
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
dan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
121
7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara
atau Daerah, dengan nama dan/atau bentuk apapun firma, kongsi,
koperasi, dan dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan
organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,
lembaga bentuk usaha tetap dan lembaga bentuk usaha lain.
8. Ternak adalah hewan peliharaan berupa ternak besar dan ternak kecil
yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku
industri, jasa dan hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.
9. Pemilik ternak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki ternak
dalam wilayah Kabupaten Morowali Utara.
10. Ternak Besar adalah sapi, kuda, kerbau dan sejenisnya.
11. Ternak Kecil adalah kambing, domba dan babi.
12. Kandang adalah bangunan yang dibuat untuk merawat ternak dan
melindunginya dari cuaca buruk.
13. Kandang Penampungan Khusus adalah bangunan yang dibuat untuk
penampungan sementara ternak yang ditangkap karena melanggar
peraturan yang berlaku.
Pasal 2
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 3
BAB IV
TATA CARA REGISTRASI TERNAK
Pasal 5
BAB V
KEWAJIBAN DAN LARANGAN PEMILIK TERNAK
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 6
(1) Setiap pemilik ternak wajib memelihara ternaknya dengan baik serta
mengamankannya dalam kandang atau mengikatnya sehingga tidak
terlepas/berkeliaran yang berakibat mengganggu ketertiban umum, dan
arus lalu lintas, keamanan, keindahan dan kebersihan.
(2) Setiap pemilik ternak harus bertanggungjawab atas kebersihan kandang
dan sekitarnya.
(3) Penempatan kandang tidak dibenarkan di halaman depan rumah dan
tempat lain yang dapat mengganggu ketertiban, keindahan,
kenyamanan, dan ketentraman masyarakat serta kelestarian
lingkungan.
123
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 7
BAB VI
KEWAJIBAN DAN LARANGAN PETUGAS
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 8
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 9
BAB VII
TATA CARA PENANGKAPAN
Pasal 10
124
Pasal 11
(1) Ternak yang ditangkap tetap dijaga kesehatan dan pemberian hijauan
pakan ternak atas tanggungan pemilik ternak.
(2) Dalam hal pemilik ternak tidak menyediakan hijauan pakan ternak akan
dikenakan biaya pengganti sebesar 30.000,-(tiga puluh ribu rupiah) per
hari per ekor.
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
(1) Ternak yang ditangkap harus sudah ditebus oleh pemiliknya paling lama
7 (tujuh) hari sesudah diberitahukan secara lisan/tertulis kepada
pemilik hewan.
(2) Pemilik ternak wajib menanggung ganti rugi sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh ternaknya kepada pihak yang dirugikan.
(3) Sesudah 7 (tujuh) hari setelah diberitahukan namun tidak ditebus oleh
pemiliknya, maka ternak tersebut dikuasai oleh Pemerintah Daerah.
(4) Ketentuan mengenai ganti rugi dan tata cara sebagaimana dimaksud
ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 15
(1) Apabila dalam proses penangkapan ternak yang ditangkap mati atau
hilang bukan karena kelalaian petugas, tidak akan menjadi tanggung
jawab Pemerintah Daerah dan petugas.
(2) Apabila terbukti kematian/hilangnya ternak tersebut akibat kelalaian
petugas, maka kepada petugas yang bersangkutan diberikan sanksi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
125
BAB VIII
BIAYA PENANGKAPAN, BIAYA PEMELIHARAAN
DAN BIAYA PETUGAS
Pasal 16
(1) Ternak yang ditangkap oleh petugas dapat diambil oleh pemiliknya
setelah membayar :
a. biaya penangkapan;
b. biaya pemeliharaan; dan
c. biaya pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyetoran, pengelolaan dan besarannya
sebagaimana maksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IX
KEBERATAN DAN GANTI RUGI
Bagian Kesatu
Keberatan
Pasal 17
Bagian Kedua
Ganti Rugi
Pasal 18
Pemilik ternak dapat menuntut ganti rugi kepada Pemerintah Daerah dalam
hal :
a. petugas karena sengaja atau lalai menyebabkan mati atau cacat pada
ternak yang ditangkap atau yang ada di kandang penampungan;
b. petugas karena sengaja atau lalai menyebabkan hilangnya ternak yang
ada di kandang penampungan; dan
c. petugas karena sengaja atau lalai menyebabkan ternak yang ditangkap
dijual atau lelang umum.
126
BAB X
PENGAWASAN
Pasal 19
BAB XI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 20
127
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang peternakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 21
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
128
Pasal 23
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 6 November 2018
TTD
APTRIPEL TUMIMOMOR
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 6 November 2018
TTD
JAMALUDIN SUDIN
HELTAN RANSA, SH
NIP. 19680602 199503 1 003
129
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 6 TAHUN 2018
TENTANG
I. UMUM.
Untuk mewujudkan Kabupaten Morowali Utara yang bersih, indah
dan tertib serta untuk menjaga keselarasan ekosistem lingkungan hidup
dan alam sekitarnya, perlu penataan pemeliharaan dan penerbitan di
semua aspek kehidupan masyarakat termasuk larangan melepas hewan
ternak yang dapat mengganggu atau mempengaruhi aktivitas alam yang
sudah rusak melalui upaya penghijauan, reboisasi, pengolahan pertanian
dan perkebunan, sehingga perlu diamankan dari gangguan/pengrusakan
ternak yang banyak berkeliaran.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah saatnya untuk
menerbitkan dan melarang bagi pemilik ternak melepas dan
mengembalakan ternak yang bukan pada tempatnya yang dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial baik
pemerintahan daerah maupun masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu menetapkan Peraturan
Daerah Kabupaten Morowali Utara tentang Penertiban Ternak.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
130
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
131
Pasal 23
Cukup jelas.
132
SALINAN
TENTANG
PENGENDALIAN, PENGAWASAN DAN PEREDARAN
MINUMAN BERALKOHOL
1
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesi Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679).
5. Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 190);
6. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/
4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap
Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman
Beralkohol sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
6/M-DAG/PER/1/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-
DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan
Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan
Penjualan Minuman Beralkohol.
2
Dengan Persetujuan Bersama
DAN
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
3
8. Sub Distributor adalah perusahaan penyalur yang ditunjuk oleh produsen
minuman beralkohol, IT-MB dan/atau Distributor untuk mengedarkan
minuman beralkohol produk dalam negeri dan/atau produk impor dalam
partai besar di wilayah pemasaran tertentu.
9. Penjual langsung minuman beralkohol yang selanjutnya disebut Penjual
langsung adalah perusahaan yang melakukan penjualan minuman
beralkohol kepada konsumen akhir untuk diminum langsung di tempat
yang telah ditentukan.
10. Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya
disingkat SIUP-MB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan
usaha perdagangan khusus minuman beralkohol golongan A, golongan B
dan/atau golongan C.
11. Dinas adalah Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
perdagangan.
12. Badan Usaha adalah Suatu kesatuan organisasi dan ekonomis yang
mempunyai tujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan dan
memberikan layanan kepada masyarakat.
13. Konsumsi adalah pemakaian/penggunaan minuman beralkohol.
14. Penyelidikan adalah tindakan Polisi Pamong Praja yang tidak menggunakan
upaya paksa dalam rangka mencari data dan informasi tentang adanya
dugaan pelanggaran Peraturan Daerah.
15. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindakan pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
16. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi tugas wewenang khusus oleh
Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
17. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Pemerintah Daerah
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah yang memuat
ketentuan pidana.
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
4
(2) Ruang lingkup materi muatan dalam Peraturan Daerah ini sebagai berikut :
a. Penggolongan;
b. Penjualan;
c. Perizinan;
d. Penyimpanan Minuman Beralkohol;
e. Hak, Kewajiban dan Larangan;
f. Pengawasan, Pengendalian dan Pelaporan;
g. Pengganggaran;
h. Sanksi Adminitratif;
i. Penyelidikan;
j. Penyidikan; dan
k. Sanksi Pidana.
BAB III
PENGGOLONGAN
Pasal 3
BAB IV
PENJUALAN
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
(1) Penjual Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) hanya
diizinkan menjual minuman beralkohol golongan A, golongan B dan/atau
golongan C untuk diminum langsung di tempat tertentu.
(2) Tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat
yang memiliki izin dan disiapkan oleh Badan Usaha yang memiliki SIUP-
MB.
(3) Penjualan minuman beralkohol golongan A, golongan B dan/atau golongan
C di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penjualan paling banyak 5 (lima) jenis sebagaimana tercantum dalam
SIUP-MB; dan
b. dapat diminum di tempat tertentu dengan ketentuan per kemasan
berisi paling banyak 187 ml (seratus delapan puluh tujuh mililiter).
BABA V
PERIZINAN
Pasal 7
6
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi perubahan data yang tercantum dalam SIUP-MB,
pemegang SIUP-MB wajib mengajukan perubahan SIUP-MB.
(2) Permohonan perubahan SIUP-MB diajukan kepada Bupati paling lambat 1
(satu) bulan setelah terjadi perubahan data yang tercantum dalam SIUP-
MB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan serta tata cara pengajuan dan
penerbitan perubahan SIUP-MB diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VI
PENYIMPANAN MINUMAN BERALKOHOL
Pasal 11
BAB VII
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 12
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 13
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
BAB VIII
PENGAWASAN, PENGENDALIAN DAN PELAPORAN
Pasal 17
9
(3) Tim Pengawasan dan Pengendalian Terpadu sebagaimana dimaksud ayat
(2) wajib melaporkan kegiatan pengawasan dan pengendalian kepada
Bupati.
(4) Pembiayaan kegiatan pengawasan dan pengendalian dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengawasan dan Pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta unsur Tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 18
BAB IX
PENGANGGARAN
Pasal 19
(1) Pemerintah Daerah dan DPRD wajib menyediakan dana di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, guna membiayai pengawasan dan
pengendalian terpadu.
BAB X
PENYELIDIKAN
Pasal 20
10
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 21
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 22
(1) Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan Pasal 15 dikenakan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).
(3) Terhadap minuman beralkohol yang disita dilakukan pemusnahan setelah
ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 23
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
11
(2) SIUP-MB yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan
Daerah ini dan belum sesuai dengan ketentuan Peraturan
Daerah ini wajib disesuaikan paling lama 6 (enam) bulan sejak
berlakunya Peraturan Daerah ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 2 Juni 2017
TTD
APTRIPEL TUMIMOMOR
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 2 Juni 2017
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,
TTD
YALBERT TULAKA
HELTAN RANSA, SH
NIP. 19680602 199503 1 003
12
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 5 TAHUN 2017
TENTANG
I. PENJELASAN UMUM
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
13
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Minuman beralkohol golongan D dapat berupa “cap
tikus” dan “saguer”.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Pengecualian untuk kegiatan keagamaan, jika minuman
beralkohol digunakan dalam ritual adat dan keagamaan serta
dapat dikonsumsi tidak sampai memabukkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Mabuk” adalah hilangnya kesadaran
seseorang sebagai akibat pengaruh minuman beralkohol.
Larangan mabuk juga ditujukan kepada seseorang yang
mabuk selain di tempat umum, termasuk seseorang yang
minum minuman beralkohol di daerah lain kemudian datang
dan mabuk di Daerah Kabupaten Morowali Utara.
14
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas
15
SALINAN
TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
dan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
11. Usaha Pengelolaan Sampah adalah kegiatan yang bersifat komersil
dilaksanakan dengan sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan
yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
12. Sumber Sampah adalah asal timbulan sampah.
13. Produsen adalah pelaku usaha yang memproduksi barang yang
menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan
kemasan dan berasal dari impor atau menjual barang dengan
menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses
alam.
14. Pengurangan Sampah adalah kegiatan pembatasan timbulan sampah,
pendaur ulang sampah dan/atau pemanfaatan kembali sampah.
15. Pemilahan Sampah adalah kegiatan mengelompokkan dan memisahkan
sampah sesuai dengan jenis sampah.
16. Pengumpulan Sampah adalah kegiatan mengambil dan memindahkan
sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau
tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle)
17. Pengangkutan Sampah adalah kegiatan membawa sampah dari sumber
atau tempat penampungan sementara menuju tempat pengolahan
sampah dengan prinsip 3R atau tempat pengelolaan sampah terpadu
atau tempat pemrosesan akhir dengan menggunakan kendaraan
bermotor atau tidak bermotor yang didesain untuk mengangkut
sampah.
18. Tempat Sampah yang selanjutnya disebut wadah sampah adalah tempat
penampungan sampah secara terpilah dan menentukan jenis sampah.
19. Tempat Penampungan Sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah
tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang,
pengolahan dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
20. Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip reduce, reuse dan recycle
yang selanjutnya disebut TPS 3R adalah tempat dilaksanakannya
kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang dan pendauran
ulang skala kawasan.
21. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu yang selanjutnya disingkat TPST
adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan,
penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan dan pemrosesan akhir.
22. Tempat Pemrosesan Akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah tempat
untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan.
23. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang dan/atau badan
hukum.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengelolaan sampah dalam Peraturan Daerah ini terdiri
atas :
a. sampah rumah tangga; dan
b. sampah sejenis sampah rumah tangga.
(2) Sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk
tinja dan sampah spesifik.
3
(3) Sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan
khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum dan/atau fasilitas lainnya.
(4) Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Daerah ini meliputi :
a. pengurangan dan penanganan;
b. lembaga pengelola;
c. hak dan kewajiban;
d. perizinan;
e. insentif dan disinsentif;
f. kerjasama dan kemitraan;
g. retribusi;
h. pembiayaan dan kompensasi;
i. peran masyarakat;
j. mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa;
k. pengawasan dan pengendalian; dan
l. larangan dan sanksi.
BAB III
SASARAN
Pasal 3
BAB IV
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
BAB V
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 7
5
Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 8
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 9
6
c. memperoleh informasi yang benar, akurat dan tepat waktu mengenai
penyelenggaraan pengelolaan sampah;
d. mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negatif
dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah; dan
e. memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan
sampah secara baik dan berwawasan lingkungan.
(2) Setiap orang dapat memperoleh hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara perorangan maupun secara kelompok.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 10
Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga wajib melakukan :
a. pengurangan sampah; dan
b. penanganan sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.
Pasal 11
Pasal 12
Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya
yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
BAB VII
PERIZINAN
Pasal 13
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah wajib
memiliki izin dari Bupati.
(2) Kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga yang memerlukan izin meliputi :
a. pengangkutan;
b. pengolahan; dan
c. pemrosesan akhir.
(3) Permohonan izin pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga harus memenuhi persyaratan administratif yang
memuat :
a. data akta pendirian perusahaan;
b. nama penanggung jawab kegiatan;
c. nama perusahaan;
7
d. alamat perusahaan, nomor telepon perusahaan, wakil perusahaan
yang dapat dihubungi;
e. bidang usaha dan/atau kegiatan;
f. sertifikat kompetensi dan/atau sertifikat pelatihan;
g. apabila kegiatan pengelolaan sampah merupakan wajib analisis
mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup
permohonan izin dilengkapi dengan izin lingkungan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin pengelolaan
sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Bupati.
Sanksi Administratif
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
(1) Izin pengangkutan sampah berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang.
(2) Izin pengolahan dan pemrosesan akhir sampah berlaku selama 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang, serta setiap tahun pemegang izin wajib
melakukan registrasi ulang.
(3) Izin pengelolaan sampah berakhir apabila masa berlakunya berakhir,
badan usaha pemegang izin pengelolaan sampah bubar dan/atau dicabut.
(4) Izin pengelolaan sampah dapat dicabut apabila pemegang izin melakukan
pelanggaran.
Pasal 17
8
BAB VIII
PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN SAMPAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
Bagian Kedua
Pengurangan Sampah
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
9
(2) Dalam melakukan pendauran ulang sampah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) produsen dapat menunjuk pihak lain.
(3) Pihak lain dalam melakukan pendauran ulang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib memiliki izin usaha dan/atau kegiatan.
(4) Dalam hal pendauran ulang sampah untuk menghasilkan kemasan
pangan, pelaksanaan pendauran ulang wajib mengikuti ketentuan
Peraturan Perundangan-undangan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
Pasal 22
Pasal 23
(1) Penggunaan bahan baku produksi dan kemasan yang dapat diurai oleh
proses alam, yang menimbulkan sesedikit mungkin sampah dan yang
dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 dilakukan secara bertahap persepuluh
tahun melalui peta jalan.
(2) Pentahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.
Bagian Ketiga
Penanganan Sampah
Pasal 24
Pasal 25
10
a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta
limbah bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mudah terurai;
c. sampah yang dapat digunakan kembali;
d. sampah yang dapat didaur ulang; dan
e. sampah lainnya.
(3) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya
dalam melakukan pemilahan sampah wajib menyediakan sarana
pemilahan sampah skala kawasan.
(4) Pemerintah Daerah menyediakan sarana pemilahan sampah skala
Kabupaten.
(5) Pemilahan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
harus menggunakan sarana yang memenuhi persyaratan:
a. jumlah sarana sesuai jenis pengelompokan sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2);
b. diberi label atau tanda; dan
c. bahan, bentuk dan warna wadah.
Pasal 26
Pasal 27
11
(2) Pemerintah Daerah dalam melakukan pengangkutan sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. menyediakan alat angkut sampah termasuk untuk sampah terpilah
yang tidak mencemari lingkungan; dan
b. melakukan pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA
atau TPST.
(3) Dalam pengangkutan sampah, Pemerintah Daerah dapat menyediakan
stasiun peralihan antara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan alat angkut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
(1) Pengoperasian TPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus
memenuhi persyaratan teknis pengoperasian TPA sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Dalam hal TPA tidak dioperasikan sesuai dengan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan penutupan
dan/atau rehabilitasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan dan/atau rehabilitasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
Bagian Keempat
Insentif dan Disinsentif
Pasal 36
(1) Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif pada setiap orang yang
melakukan pengurangan dan/atau pengolahan sampah berupa :
a. inovasi terbaik dalam pengelolaan sampah;
b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan;
c. pengurangan timbulan sampah; dan/atau
d. tertib penanganan sampah.
(2) Pemerintah Daerah dapat memberikan disinsentif kepada setiap orang
yang melakukan :
a. pelanggaran terhadap larangan; dan/atau
b. pelanggaran tertib penanganan sampah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif
dan/atau disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IX
PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI
Bagian Kesatu
Pembiayaan
Pasal 37
14
Pasal 38
Bagian Kedua
Kompensasi
Pasal 39
(1) Pemerintah Daerah secara sendiri atau secara bersama dapat memberikan
kompensasi sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kegiatan pemrosesan akhir sampah.
(2) Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pemrosesan akhir
sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakibatkan oleh :
a. pencemaran air;
b. pencemaran udara;
c. pencemaran tanah;
d. longsor;
e. kebakaran;
f. ledakan gas metan; dan/atau
g. hal lain yang menimbulkan dampak negatif.
(3) Bentuk kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. relokasi penduduk;
b. pemulihan lingkungan;
c. biaya kesehatan dan pengobatan;
d. penyediaan fasilitas sanitasi dan kesehatan; dan/atau
e. kompensasi dalam bentuk lain.
Pasal 40
BAB X
SISTEM INFORMASI
Pasal 41
BAB XI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 42
(1) Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan,
penyelenggaraan dan pengawasan dalam kegiatan pengelolaan sampah
rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa :
a. pemberian usul, pertimbangan dan/atau saran kepada Pemerintah
Daerah dalam kegiatan pengelolaan sampah;
b. pemberian saran dan pendapat dalam perumusan kebijakan dan
strategi pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga;
c. pelaksanaan kegiatan penanganan sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga yang dilakukan secara mandiri
dan/atau bermitra dengan Pemerintah Daerah; dan
d. pemberian pendidikan dan pelatihan, kampanye dan pendampingan
oleh kelompok masyarakat kepada anggota masyarakat dalam
pengelolaan sampah untuk mengubah perilaku anggota masyarakat.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b disampaikan melalui forum yang keanggotaannya terdiri atas
pihak-pihak terkait.
(4) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
meliputi kegiatan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh perorangan
atau kelompok masyarakat.
(5) Kegiatan pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berupa pengurangan, pemilahan, pemanfaatan kembali dan pengolahan
sampah yang dapat dilakukan sendiri dan/atau dikerjasamakan dengan
pengelola bank sampah.
(6) Masyarakat dapat melakukan pengaduan mengenai pengelolaan sampah
kepada Pemerintah Daerah.
(7) Pemerintah Daerah melakukan pengelolaan pengaduan masyarakat sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
16
BAB XII
PEMBINAAN
Pasal 43
BAB XIII
LARANGAN
Pasal 44
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 45
17
BAB XV
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
(1) Sengketa yang dapat timbul dari pengelolaan sampah terdiri atas :
a. sengketa antara pemerintah daerah dan pengelola sampah; dan
b. sengketa antara pengelola sampah dan masyarakat.
(2) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui penyelesaian di luar pengadilan ataupun melalui
pengadilan.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Pasal 47
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa di Dalam Pengadilan
Pasal 48
Bagian Keempat
Gugatan Perwakilan Kelompok
Pasal 49
18
Bagian Kelima
Hak Gugat Organisasi Persampahan
Pasal 50
(1) Organisasi persampahan berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pengelolaan sampah yang aman bagi kesehatan masyarakat dan
lingkungan.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas
pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu, kecuali biaya atau
pengeluaran riil.
(3) Organisasi persampahan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum;
b. mempunyai anggaran dasar di bidang pengelolaan sampah; dan
c. telah melakukan kegiatan nyata paling sedikit 1 (satu) tahun sesuai
dengan anggaran dasarnya.
BAB XVI
PENYIDIKAN
Pasal 51
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidikan atas
pelanggaran dalam Peraturan Daerah dapat dilaksanakan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidanaagar keterangan atau laporan
tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau badan tetang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana;
e. melakukan pengeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan;
g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana
dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
19
i. memanggil seseorang untuk didengar keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana menurut hukum yang berlaku.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XVII
SANKSI PIDANA
Pasal 52
Pasal 53
(1) Barang siapa secara melawan hukum dan dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 huruf a dan huruf d,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang mati dan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 54
Pasal 55
20
tangga dan/atau sampah sejenis sampah rumah tangga, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan)
tahun dan denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Barang siapa secara melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 43 huruf e dengan mengimpor sampah spesifik,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pasal 56
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55
adalah kejahatan.
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
(1) Penyediaan fasilitas pemilahan sampah yang terdiri atas sampah yang
mudah terurai, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya
oleh pemerintah daerah dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sejak
Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
(2) Penyediaan fasilitas pemilahan sampah yang terdiri atas sampah yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya
dan beracun, sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat digunakan
kembali, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah lainnya oleh
pemerintah daerah dilakukan paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan
Daerah ini mulai berlaku.
Pasal 58
21
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 24 Oktober 2016
BUPATI MOROWALI UTARA,
TTD
APTRIPEL TUMIMOMOR
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 24 Oktober 2016
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,
TTD
YALBERT TULAKA
ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005
22
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
I. UMUM.
23
Pasal 7.
Cukup jelas.
Pasal 8.
Cukup jelas.
Pasal 9.
Cukup jelas.
Pasal 10.
Cukup jelas.
Pasal 11.
Ayat (1)
Kawasan pemukiman meliputi kawasan permukiman dalam
bentuk klaster, apartemen, kondominium, asrama, dan
sejenisnya.
Kawasan komersial berupa antara lain hotel/penginapan/
losmen, restoran/rumah makan, supermarket/minimarket/
swalayan, toko, industri/pabrik/home industri, bengkel, ruang
pamer, perusahaan angkutan, gudang, perusahaan jasa/bank
dan perkantoran.
Kawasan industri merupakan kawasan tempat pemusatan
kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh
perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha
kawasan industri.
Kawasan khusus merupakan wilayah yang bersifat khusus
yang digunakan untuk kepentingan nasional/berskala
nasional, misalnya kawasan cagar budaya, taman nasional,
pengembangan industri strategi, dan pengembangan teknologi
tinggi.
Fasilitas umum berupa antara lain terminal angkutan umum,
stasiun kereta api, pelabuhan udara, tempat pemberhentian
kendaraan umum dan taman.
Fasilitas sosial berupa antara lain rumah ibadah, panti asuhan
dan panti sosial.
Fasilitas lain berupa antara lain rumah tahanan, lembaga
pemasyarakatan, rumah sakit, klinik, pusat kesehatan
masyarakat, kawasan pendidikan, kawasan pariwisata, tempat
hiburan dan pusat kegiatan olah raga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12.
Cukup jelas.
Pasal 13.
Cukup jelas.
24
Pasal 14.
Cukup jelas.
Pasal 15.
Cukup jelas.
Pasal 16.
Cukup jelas.
Pasal 17.
Cukup jelas.
Pasal 18.
Ayat (1)
huruf a.
Yang dimaksud dengan “pengurangan timbulan sampah”
adalah upaya meminimalisasi timbulan sampah yang
dilakukan sejak sebelum dihasilkannya suatu produk
dan/atau kemasan produk sampai dengan saat
berakhirnya kegunaan produk dan/atau kemasan
produk. Contoh implementasi pembatasan timbulan
sampah antara lain:
(1) penggunaan barang dan/atau kemasan yang dapat
di daur ulang dan mudah terurai oleh proses alam.
(2) membatasi penggunaan kantong plastik; dan/atau
(3) menghindari penggunaan barang dan/atau kemasan
sekali pakai.
huruf b.
Yang dimaksud dengan “pendauran ulang sampah”
adalah upaya memanfaatkan sampah menjadi barang
yang berguna setelah melalui suatu proses pengolahan
terlebih dahulu.
huruf c.
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan kembali sampah”
adalah upaya untuk mengguna ulang sampah sesuai
dengan fungsi yang sama atau fungsi yang berbeda
dan/atau mengguna ulang bagian dari sampah yang
masih bermanfaat tanpa melalui suatu proses
pengolahan terlebih dahulu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19.
Cukup jelas.
25
Pasal 20.
Cukup jelas.
Pasal 21.
Cukup jelas.
Pasal 22.
Cukup jelas.
Pasal 23.
huruf a.
Yang dimaksud dengan “pemilahan” adalah kegiatan
mengelompokkan dan memisahkan sampah sesuai dengan
jenis.
huruf b.
Yang dimaksud dengan “pengumpulan” adalah kegiatan
mengambil dan memindahkan sampah dari sumber sampah
ke TPS atau TPS 3R.
huruf c.
Yang dimaksud dengan “pengangkutan” adalah kegiatan
membawa sampah dari sumber atau TPS menuju TPST atau
TPA dengan menggunakan kendaraan bermotor atau tidak
bermotor yang didesain untuk mengangkut sampah.
huruf d.
Yang dimaksud dengan “pengolahan” adalah kegiatan
mengubah karakteristik, komposisi, dan/atau jumlah
sampah.
huruf e.
Yang dimaksud dengan “pemrosesan akhir sampah” adalah
kegiatan mengembalikan sampah dan/atau residu hasil
pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Pasal 24.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a.
Yang dimaksud dengan sampah yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya
dan beracun misalnya kemasan obat serangga, kemasan
oli, kemasan obat-obatan, obat-obatan kadaluarsa,
peralatan listrik, dan peralatan elektronik rumah tangga.
huruf b.
Yang dimaksud dengan sampah yang mudah terurai
antara lain sampah yang berasal dari tumbuhan, hewan,
dan/atau bagian-bagiannya yang dapat terurai oleh
26
makluk hidup lainnya dan/atau mikroorganisme,
misalnya sampah makanan dan serasah.
huruf c.
Cukup jelas.
huruf d.
Cukup jelas.
huruf e.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 25.
Cukup jelas.
Pasal 26.
Cukup jelas.
Pasal 27.
Cukup jelas.
Pasal 28.
Cukup jelas.
Pasal 29.
Ayat (1)
huruf a.
Metode lahan urug terkendali (controlled landfill) yaitu
metode pengurugan di areal pengurugan sampah, dengan
cara dipadatkan dan ditutup dengan tanah penutup
sekurang-kurangnya setiap tujuh hari. Metode ini
merupakan metode yang bersifat antara, sebelum
mampu menerapkan metode ahan urug saniter (sanitary
landfill).
huruf b.
Yang dimaksud dengan lahan urug saniter (sanitary
landfill) yaitu sarana pengurugan sampah ke lingkungan
yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis,
dengan penyebaran dan pemadatan sampah pada area
pengurugan, serta penutupan sampah setiap hari.
Huruf c
Cukup jelas.
27
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
huruf a.
Yang dimaksud dengan geologi adalah kondisi yang tidak
berada di daerah sesar atau patahan yang masih aktif,
tidak berada di zona bahaya geologi misalnya daerah
gunung berapi, tidak berada di daerah karst, tidak
berada di daerah berlahan gambut, dianjurkan berada di
daerah lapisan tanah kedap air atau lempung.
huruf b.
Yang dimaksud dengan hidrogeologi antara lain kondisi
muka air tanah yang tidak kurang dari tiga meter,
kondisi kelulusan tanah tidak lebih besar dari 10-6
cm/detik, dan jarak terhadap sumber air minum lebih
besar dari 100 m (seratus meter) di hilir aliran.
huruf c.
Yang dimaksud dengan kemiringan zona yaitu
kemiringan lokasi TPA berada pada kemiringan kurang
dari 20% (dua puluh perseratus.
huruf d.
Yang dimaksud dengan jarak dari lapangan terbang yaitu
lokasi TPA berjarak lebih dari 3000 m (tiga ribu meter)
untuk lapangan terbang yang didarati pesawat turbo jet
dan berjarak lebih dari 1500 m (seribu lima ratus meter)
untuk lapangan terbang yang didarati pesawat jenis lain.
huruf e.
Yang dimaksud dengan jarak dari permukiman yaitu
jarak lokasi TPA dari pemukiman lebih dari 1 km (satu
kilometer) dengan mempertimbangkan pencemaran lindi,
kebauan, penyebaran vektor penyakit dan aspek sosial.
huruf f.
Cukup jelas.
huruf g.
Cukup jelas.
28
Ayat (4)
huruf a.
Fasilitas dasar misalnya jalan masuk, listrik atau genset,
drainase, air bersih, pagar, dan kantor.
huruf b.
Fasilitas perlindungan lingkungan misalnya lapisan
kedap air, saluran pengumpul dan instalasi pengolahan
lindi, wilayah penyangga, sumur uji atau pantau, dan
penanganan gas.
huruf c.
Fasilitas operasi misalnya alat berat serta truk
pengangkut sampah dan tanah.
huruf d.
Fasilitas penunjang misalnya bengkel, garasi, tempat
pencucian alat angkut dan alat berat, alat pertolongan
pertama pada kecelakaan, jembatan timbang,
laboratorium, dan tempat parkir.
Pasal 31.
Cukup jelas.
Pasal 32.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a.
Yang dimaksud dengan konstruksi adalah kegiatan
pembangunan baru, rehabilitasi dan revitalisasi
prasarana penanganan sampah meliputi TPA dan/atau
TPST.
huruf b.
Yang dimaksud dengan supervisi adalah kegiatan
pengawasan pembangunan prasarana penanganan
sampah.
huruf c.
Yang dimaksud dengan uji coba adalah kegiatan
percobaan pengoperasian prasarana penanganan
sampah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33.
Cukup jelas.
29
Pasal 34.
Cukup jelas.
Pasal 35.
Cukup jelas.
Pasal 36.
Cukup jelas.
Pasal 37.
Cukup jelas.
Pasal 38.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a.
Cukup jelas.
huruf b.
Cukup jelas.
huruf c.
Cukup jelas.
huruf d.
Cukup jelas.
huruf e.
Cukup jelas.
huruf f.
Cukup jelas.
huruf g.
Yang dimaksud dengan hal lain yang menimbulkan
dampak negatif antara lain sumber penyebaran penyakit.
Ayat (3)
huruf a.
Yang dimaksud dengan relokasi penduduk adalah
memindahkan penduduk yang terkena dampak negatif ke
tempat yang lebih aman.
huruf b.
Yang dimaksud dengan pemulihan lingkungan adalah
kegiatan mengembalikan kondisi lingkungan hidup
sehingga lingkungan hidup tersebut dapat berfungsi
kembali sesuai peruntukannya.
30
huruf c.
Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dan pengobatan
berupa biaya perawatan dan pengobatan di rumah sakit
atau puskesmas.
huruf d.
Yang dimaksud dengan penyediaan fasilitas sanitasi dan
kesehatan antara lain penyediaan prasarana mandi, cuci,
dan kakus, sarana air bersih, dan prasarana pengolahan
air limbah.
huruf e.
Yang dimaksud dengan kompensasi dalam bentuk lain
antara lain biaya pendidikan, beasiswa, bantuan
rehabilitasi rumah tinggal, dan bantuan rehabilitasi
jalan.
Pasal 39.
Cukup jelas.
Pasal 40.
Cukup jelas.
Pasal 41.
Cukup jelas.
Pasal 42.
Cukup jelas.
Pasal 43.
Cukup jelas.
Pasal 44.
Cukup jelas.
Pasal 45.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a.
Paksaan pemerintahan merupakan suatu tindakan hukum
yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
memulihkan kualitas lingkungan dalam keadaan semula
dengan beban biaya yang ditanggung oleh pengelola
sampah yang tidak mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan.
huruf b.
Uang paksa merupakan uang yang harus dibayarkan
dalam jumlah tertentu oleh pengelola sampah yang
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
31
sebagai pengganti dari pelaksanaan sanksi paksaan
pemerintahan.
huruf c.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46.
Ayat (1)
Sengketa persampahan merupakan perselisihan antara dua
pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga
adanya gangguan dan/atau kerugian terhadap kesehatan
masyarakat dan/atau lingkungan akibat kegiatan pengelolaan
sampah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 47.
Ayat (1)
Penyelesaian sengketa persampahan di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan
tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau
terulangnya dampak negatif dari kegiatan pengelolaan sampah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu dalam ayat ini,
antara lain, perintah memasang atau memperbaiki prasarana
dan sarana pengelolaan sampah.
Pasal 49.
Gugatan perwakilan kelompok dilakukan melalui pengajuan
gugatan oleh satu orang atau lebih yang mewakili diri sendiri atau
mewakili kelompok.
32
Pasal 50.
Ayat (1)
Organisasi persampahan merupakan kelompok orang yang
terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah
masyarakat yang tujuan dan kegiatannya meliputi bidang
pengelolaan sampa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah
biaya yang secara nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan
oleh organisasi persampahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51.
Cukup jelas.
Pasal 52.
Cukup jelas.
Pasal 53.
Cukup jelas.
Pasal 54.
Cukup jelas.
Pasal 55.
Cukup jelas.
Pasal 56.
Cukup jelas.
Pasal 57.
Cukup jelas.
Pasal 58.
Cukup jelas.
Pasal 59.
Cukup jelas.
33
SALINAN
TENTANG
1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengadung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau Bagi Kesehatan;
7. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan Nomor
188/MENKES/PB/I/2011 dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kawasan Tanpa Rokok;
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 32);
dan
BUPATI MOROWALI UTARA
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistim dan prinsip negara
kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Bupati adalah Bupati Morowali Utara.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Morowali Utara.
6. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus untuk dibakar, dihisap
dan/atau dihirup termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari
tanaman nicotiana tobacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau
sintesisnya yang mengandung nikotin, tar dan zat adikitif dengan atau tanpa
bahan tambahan.
7. Merokok adalah kegiatan membakar dan/atau menghisap rokok.
2
8. Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau
area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan
memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk
tembakau.
9. Tempat khusus untuk merokok adalah ruangan yang diperuntukkan khusus
untuk kegiatan merokok yang berada didalam KTR.
10. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitas yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau masyarakat.
11. Tempat proses belajar mengajar adalah tempat berlangsungnya kegiatan
belajar mengajar atau pendidikan dan pelatihan seperti sekolah, madrasah,
perguruan tinggi, tempat kursus, TPA/TPSQ termasuk ruang perpustakaan,
ruang praktek atau laboratorium, museum dan sejenisnya.
12. Tempat ibadah adalah sarana untuk melaksanakan kegiatan keagamaan
seperti Mesjid, Musholah, Gereja, Kapel, Pura, Wihara, Klenteng dan tempat
ibadah lainnya.
13. Tempat anak bermain adalah tempat yang memperuntukan untuk kegiatan
anak-anak seperti tempat penitipan anak, tempat pengasuhan anak, tempat
bermain anak-anak dan lainnya.
14. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa
kendaraan darat, air dan udara.
15. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki
tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha.
16. Tempat umum adalah sarana yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan
masyarakat untuk berbagai kegiatan.
17. Pimpinan dan/atau penanggungjawab adalah seseorang yang mempunyai
tugas dan wewenang sebagai pimpinan dan/atau penanggungjawab atas
sebuah tempat atau kegiatan ruangan.
18. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah
Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Morowali Utara.
19. Setiap orang adalah orang perseorangan, badan usaha, perkumpulan dan
organisasi kemasyarakatan baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
3
BAB II
KAWASAN TANPA ROKOK
Pasal 2
KTR meliputi :
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja;
g. tempat umum atau tempat lain yang ditetapkan.
Pasal 3
(1) Kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf a sampai
dengan huruf e merupakan kawasan yang bebas dari asap rokok hingga batas
pagar terluar atau dengan batas lainnya yang ditentukan.
(2) Kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f dan
huruf g, merupakan kawasan yang bebas dari asap rokok hingga batas
kucuran air dari atap paling luar.
Pasal 4
BAB III
KEWAJIBAN
Pasal 5
4
d. memasang tanda-tanda dilarang merokok sesuai persyaratan disemua
pintu masuk utama dan ditempat-tempat yang dipandang perlu dan
mudah terbaca dan/atau di dengar baik.
(2) Bentuk dan besaran tanda dilarang merokok sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, diatur dalam Peraturan Bupati.
BAB IV
LARANGAN
Pasal 6
Pasal 7
(1) Larangan menjual dan membeli sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf
b, dikecualikan untuk tempat umum yang memiliki izin untuk menjual
rokok.
(2) Larangan kegiatan memproduksi produk tembakau tidak berlaku bagi tempat
yang digunakan untuk kegiatan produksi produk tembakau dilingkungan
kawasan tanpa rokok.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 9
5
(2) Bupati mendelegasikan pembinaan dan pengawasan KTR kepada Kepala
SKPD.
(3) Pembinaan dan pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai
tugas pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai KTR.
(4) SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan SKPD yang tugas dan
fungsinya terdiri dari :
a. bidang kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap KTR
fasilitas pelayanan kesehatan;
b. bidang pendidikan dan bidang sosial melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap KTR meliputi :
1. tempat proses belajar mengajar
2. tempat anak bermain; dan/atau
3. tempat berkumpulnya anak-anak;
c. bidang kesejahteraan rakyat melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap KTR tempat ibadah;
d. bidang perhubungan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
KTR angkutan umum;
e. bidang ketenaga kerjaan melakukan pembinaan dan pengawasan KTR
tempat kerja;
f. bidang pariwisata melakukan pembinaan dan pengawasan KTR di tempat
umum dan tempat lain yang ditetapkan; dan/atau
g. bidang ketertiban umum melakukan pembinaan dan pengawasan seluruh
KTR.
(5) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawah
koordinasi Dinas Kesehatan.
Pasal 10
Pasal 11
6
c. bupati dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah
berjasa dalam rangka memotifasi, membantu pelaksanaan KTR.
Pasal 12
Pasal 13
(1) Dinas Kesehatan dan Satuan Polisi Pamong Praja berkoordinasi dengan SKPD
lainnya dalam melakukan inspeksi dan pengawasan diseluruh gedung di
wilayah kerjanya.
(2) Dinas Kesehatan melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan kepada Bupati.
BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 14
(1) Penyidik pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah dapat
diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak
pidana pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugas
mempunyai wewenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya
pelanggaran Peraturan Daerah;
b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan ditempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal dari
tersangka;
d. melakukan penyitaan benda atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
penyidik Polisi Republik Indonesia bahwa tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya
melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum,
tersangka dan keluarganya;
7
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berwenang melakukan
penangkapan dan/atau penahanan.
(4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat
berita acara setiap tindakan dalam hal :
a. pemeriksaan tersangka;
b. memasuki rumah dan/atau tempat tertutup lainnya;
c. penyitaan barang;
d. pemeriksaan saksi;
e. pemeriksaan ditempat kejadian;
f. pengambilan sidik jari dan pemotretan.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 15
Setiap orang yang merokok ditempat atau area yang dinyatakan sebagai KTR
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2, dipidana kurungan paling lama 3 (tiga)
hari atau denda paling banyak Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah).
Pasal 16
Pasal 17
8
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 12 Januari 2016
ttd
YALBERT TULAKA
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 9 Februari 2016
ttd
ATRA T. TAMEHI, SH
NIP. 19701226 200212 1 005
9
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOROWALI UTARA
NOMOR 1 TAHUN 2016
TENTANG
I. UMUM
Pembangunan dibidang kesehatan merupakan salah satu upaya
pembangunan nasional yang diarahkan untuk tercapainya kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap individu agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan hal
tersebut dilingkungan masyarakat diselenggarakan berbagai upaya
kesehatan dimana salah satunya adalah upaya perlindungan terhadap
masyarakat dari bahaya rokok.
Rokok merupakan zat adiktif yang jika digunakan dapat mengakibatkan
bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, diantaranya dapat
menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit jantung, kanker, impotensi,
penyakit darah, bronkhitis kronik, gangguan kehamilan dan janin, oleh
karena didalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 (empat ribu) zat kimia
yaitu nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik.
Asap rokok tidak hanya membahayakan perokok, tetapi juga orang lain
disekitar perokok (perokok pasif) yang menghirup asap rokok yang dihisap
orang lain. Penghirup rokok pasif mengandung resiko sama tingginya dengan
orang yang merokok.
Selain dampak kesehatan akibat asap rokok, akan berdampak pula
terhadap ekonomi individu, keluarga dan masyarakat akibat hilangnya
pendapatan karena sakit dan tidak dapat bekerja, pengeluaran obat dan
biaya perawatan.
Oleh karena itu perokok aktif perlu disadarkan dari kebiasaan merokok
yang dapat merusak kesehatan diri dan orang lain disekitarnya, sehingga hak
generasi sekarang maupun yang akan datang atas kesehatan diri dan
lingkungan hidup sehat dapat terjamin.
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
10
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan (seperti : hotel, restoran,
rumah makan, jasa boga, terminal, pelabuhan, pasar, pusat
perbelanjaan, minimarket, supermarket, departemen store, hypermarket,
mall, plaza, pertokoan, bioskop, tempat wisata, stasiun, sarana olahraga
dan tempat umum lainnya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
11
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
12
SALINAN
TENTANG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
TUJUAN, FUNGSI DAN MANFAAT
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 5
(1) Lingkup pengaturan dalam Peraturan Bupati ini meliputi: Pembentukan dan
jenis RTH, penataan RTH, peranserta masyarakat, pelaporan, pembinaan dan
pengawasan, dan pendanaan;
(2) Penataan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian.
(3) Pengaturan pengelolaan RTH di kawasan perkotaan dalam bentuk
penyediaan dan pemanfaatan RTH mencakup seluruh wilayah ibu kota
kecamatan di Kabupaten Morowali Utara;
(4) Materi muatan tentang pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dimuat secara lengkap dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
BAB IV
PEMBENTUKAN DAN JENIS RTH
Pasal 6
Pasal 7
BAB V
PENATAAN RTH
Bagian Kesatu
Penataan
Pasal 8
(1) RTH merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang
wilayah kabupaten.
(2) RTH dituangkan dalam rencana detail tata ruang kawasan perkotaan dengan
skala peta minimal 1:5.000.
Pasal 10
Pasal 12
Bagian Ketiga
Pemanfaatan
Pasal 13
Pasal 14
(1) Pemanfaatan RTH privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan
ayat (5), dikembangkan dengan mengisi berbagai macam vegetasi/tanaman
yang disesuaikan dengan ekosistem dan tanaman khas daerah.
(2) Vegetasi/tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
bentuk dan sifat serta peruntukannya, yaitu:
a. botanis, merupakan campuran jenis pohon ukuran kecil, ukuran sedang,
ukuran besar, perdu setengah pohon, perdu, semak dan tanaman
penutup tanah/permukaan;
b. arsitektural, merupakan heterogenitas bentuk tajuk membulat,
menyebar, segitiga, bentuk kolom, bentuk tiang, memayung dan
menggeliat, serta mempunyai nilai eksotik dari sudut warna bunga,
warna daun, buah, tekstur batang, struktur percabangan; dan
c. tanaman yang dikembangkan tidak membahayakan manusia dan
memperhatikan nilai estetika.
Bagian Keempat
Pengendalian
Pasal 15
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 17
(1) Bupati melaporkan kegiatan penataan RTH kepada Gubernur paling sedikit 1
(satu) tahun sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(2) Gubernur melaporkan kegiatan penataan RTH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Menteri Dalam Negeri paling sedikit 1 (satu) tahun sekali dan
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
Pasal 19
(1) Bupati dapat memberikan insentif kepada penyelenggara RTH privat yang
berhasil meningkatkan kualitas dan kuantitas sesuai dengan tujuan RTH.
(2) Mekanisme, kriteria, bentuk, jenis, dan tatacara pemberian insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Kepala Daerah.
BAB IX
PENDANAAN
Pasal 20
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 28 Februari 2018
ttd
APTRIPEL TUMIMOMOR
Diundangkan di Kolonodale
pada tangal 28 Februari 2018
ttd
JAMALUDIN SUDIN
HELTAN RANSA, SH
NIP. 19680602 199503 1 003
LAMPIRAN : PERATURAN BUPATI MOROWALI UTARA
NOMOR : 9 TAHUN 2018
TANGGAL : 28 FEBRUARI 2018
TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN
PERKOTAAN KABUPATEN MOROWALI UTARA
Penduduk
Rawan Penduduk
No. Kecamatan Ibu kota Pantai Pegunungan jarang-
Bencana padat
sedang
1 Mori Atas Tomata-Pambarea - √ - √ -
2 Mori Utara Mayumba - √ - √ -
3 Lembo Beteleme - √ - √ -
4 Lembo Raya Petumbea - √ - √ -
5 Petasia Timur Bungintimbe √ - - √ -
6 Petasia Barat Tiu - √ - √ -
Kolonodale-
7 Petasia √ √ √ - √
Bahntula-Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara - √ - √ -
9 Bungku Utara Baturube √ - - √ -
10 Mamosalato Tanasumpu √ - - √ -
Keterangan: √ = ada tipologi; - tidak ada tipologi.
Pada Tabel 1 tampak bahwa terdapat sebanyak empat ibu kota kecamatan
di wilayah Kabupaten Morowali Utara merupakan tipologi pantai dan enam
ibu kota kecamatan merupakan tipologi pegunungan. Selanjutnya dari
sebanyak sepuluh ibu kota kecamatan, sembilan ibu kota kecamatan
termasuk dalam kategori penduduk jarang-sedang (25 – 475 jiwa/km2), dan
hanya ibu kota Kecamatan Petasia yang tidak lain merupakan ibu kota
kabupaten dengan jumlah penduduk padat (1.567 jiwa/km2). Dengan
demikian, arahan penyediaan RTH perkotaan berdasarkan fungsi dan
penerapannya disesuaikan dengan tipologi kawasan perkotaan seperti pada
Tabel 2 berikut.
Lanjutan Tabel 2.
RTH publik dan RTH privat memiliki beberapa fungsi utama seperti fungsi
ekologis serta fungsi tambahan, yaitu sosial budaya, ekonomi,
estetika/arsitektural. Khusus untuk RTH dengan fungsi sosial seperti
tempat istirahat, sarana olahraga dan atau area bermain, RTH ini harus
memiliki aksesibilitas yang baik untuk semua orang, termasuk aksesibilitas
bagi penyandang cacat.
Dari Tabel 4, lahan RTH pada ibu kota kecamatan dan ibu kota kabupaten
dalam lima tahun ke depan minimal dibutuhkan areal seluas 308,42 ha
untuk RTH publik dan seluas 154,21 ha untuk RTH privat, dan untuk
sepuluh tahun ke depan minimal dibutuhkan areal seluas 345,74 ha untuk
RTH publik dan seluas 172,87 ha untuk RTH privat. Khusus di ibu kota
kabupaten yaitu Kecamatan Petasia (Kelurahan Kolonodale-Bahontula-
Bahoue) dalam sepuluh tahun kedepan dibutuhkan minimal seluas 79 ha
untuk RTH publik, dan seluas 39,50 ha untuk RTH privat.
Sedangkan lahan RTH pada sembilan kecamatan lainnya, untuk RTH publik
minimal seluas 15,14 – 57,28 ha, dan RTH privat minimal seluas 7,57 –
28,64 ha.
4. Berdasarkan Jumlah Penduduk
Berdasarkan jumlah penduduk, kebutuhan lahan RTH di ibu kota
kecamatan/kabupaten di wilayah Kabupaten Morowali Utara disajikan pada
Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Proyeksi Jumlah Penduduk dan Kebutuhan Minimal Luas RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Dalam 10 Tahun
Di Setiap Ibu Kota Kecamatan Di Kabupaten Morowali Utara
Proyeksi
Penduduk Ibu Jumlah
Penduduk
Kota Penduduk Ibu Kebutuhan RTH Dalam 10 Tahun Ke depan
Kecamatan
Kecamatan Kota Untuk Luas Minimal atau Per kapita (m2)
(Jiwa)
Kecamata Ibu Kota (Jiwa) Kecamatan
No.
n Kecamatan (Jiwa)
Pema
Thn Thn Tama Taman Tama Fungsi
Tama Taman - Hutan Jumla
2017 t+10 2017 % t+5 t+10 n Kecamat n Terten
n RT RW kama Kota h
(t+0) (t+0) Lurah an Kota tu
n
Tomata- 18,1
1 Mori Atas 11.601 14.578 2.104 2.427 2.644 2.644 - - 2.916 3.173 793 10.576 33.049 53.151
Pambarea 4
26,4
2 Mori Utara Mayumba 7.404 9.304 1.958 2.195 2.460 2.460 - - 1.861 2.953 738 9.842 30.756 48.610
5
31,7 117.31
3 Lembo Beteleme 14.590 18.334 4.638 5.199 5.828 5.828 2.914 - 3.667 6.994 1.748 23.313 72.853
9 8
Lembo 16,0
4 Petumbea 8.078 10.151 1.297 1.454 1.630 1.630 815 - 2.030 1.956 489 6.519 20.373 33.812
Raya 6
Petasia Bungintimb 15,5
5 14.956 18.794 2.322 2.603 2.918 2.918 - - 3.759 3.501 875 11.672 36.474 59.199
Timur e 3
Petasia 16,6
6 Tiu 8.085 10.160 1.347 1.510 1.693 1.693 - - 2.032 2.031 508 6.771 21.159 34.193
Barat 6
Kolonodale
- 60,1 12.12 13.59 13.59 16.31 54.37 169.91 266.8
7 Petasia 17.982 22.597 10.817 - 4.078 4.519 4.078
Bahontula- 5 6 3 3 2 2 3 65
Bahoue
Lembah
8 Soyo Jaya 9.737 13.271 665 6,83 745 836 836 - - 2.654 1.003 251 3.343 10.446 18.532
Sumara
Bungku 10,2
9 Baturube 16.146 20.290 1.647 1.846 2.070 2.070 - - 4.058 2.484 621 8.279 25.871 43.382
Utara 0
Mamosalat 15,1
10 Tanasumpu 11.743 14.757 1.773 1.988 2.228 2.228 1.114 - 2.951 2.674 668 8.912 27.850 46.398
a 0
120.32 152.23 23,7 32.09 35.90 35.90 43.07 10.77 143.5 448.74 721.4
Jumlah 28.568 4.843 4.078 30.447
2 6 4 3 0 0 9 0 98 4 59
Keterangan: Khusus untuk luas minimal RTH Taman Kecamatan dihitung dari seluruh penduduk desa/kelurahan dalam kecamatan dalam 10 tahun ke depan.
Pada Tabel 5 tampak bahwa kebutuhan luas minimal RTH pada 10 ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali
Utara dalam 10 tahun kedepan seluruhnya mencapai luas 721.459 m 2 atau setara dengan luas 72,15 ha.
Selanjutnya penempatan RTH Taman RT di tengah lingkungan RT; Taman RW di pusat kegiatan RW; Taman
Kelurahan dikelompokan dengan sekolah/pusat kelurahan; Taman Kecamatan dikelompokan dengan
sekolah/pusat kecamatan; Pemakaman tersebar; Taman kota di pusat wilayah kota; Hutan kota di
dalam/kawasan pinggiran; dan untuk fungsi tertentu disesuaikan dengan kebutuhan seperti sempadan pantai,
sempadan sungai, sumber mata air, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, hutan mangrove/bakau, dsb.
Pada uraian berikut disajikan kondisi eksisting lahan untuk fungsi tertentu yang dapat diarahkan menjadi RTH
fungsi tertentu pada setiap desa/kelurahan ibu kota kecamatan/kabupaten.
Tabel 6. Ketersediaan Lahan Untuk Penyediaan RTH Fungsi Tertentu Di Setiap Ibu Kota Kecamatan Di Wilayah
Kabupaten Morowali Utara
Nama Keterangan
No. Nama Ilmiah (Latin)
Indonesia/Daerah
I. Pohon
1 Tanjung Mimusops elengi
2 Bunga Kupu-kupu Bauhinia purpurea Berbunga
3 Bunga Kupu-kupu ungu Bauhinia blakeana Berbunga
4 Beringin Ficus benjamina
5 Cemara laut Casuarina equisetifolia
6 Bungur Lagerstromia speciosa Berbunga
7 Kiara payung Filicium decipiens
8 Salam Syzygium polyanntum
Caesalpinia Berbunga
9 Kembang merak
pulcherrima
10 Loa Ficus glaberrima
11 Kiara Ficus spp.
II. Perdu/semak
1 Puring Codiaeum varigatum Daun berwarna
2 Lili pita Ophiopogon jaburan
3 Pedang-pedangan Sansiviera spp
4 Soka jepang Ixora spp
5 Canna Canna variegata
Catatan : Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH pekarangan rumah,
serta halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha.
Tabel 8. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH Pada Atap Bangunan dan
Tanaman Dalam Pot
36
3 Rumput kawat Cynodon dactylon Tesktur sedang
Catatan: Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH atap bangunan dan
tanaman dalam pot.
Tabel 10. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH Pada Hutan Kota
38
Jalak (Sturnidae) dan
beberapa jenis burung madu.
Gosampinus Burung ukut-ukut,
5 Dangdeur
heptaphylla Srigunting
6 Aren Arenga pinnata Bahan pembuat sarang
7 Buni Antidesma bunius Buah dapat dimakan
Antidesma -
8 Buni hutan
montanum
Caesalpinia Pengundang serangga
9 Kembang merak
pulcherrima
10 Serut Streblus asper Tahan pangkas
11 Jamlang Syzygium cumini Buah dapat dimakan
Syzygium Bumbu dapur dan obat.
12 Salam
polyanntum
13 Eboni Diospyros celebica Pohon endemik sulawesi
14 Cempaka Michelia champaca
15 Palapi Heriteria javnica
16 Nyatoh/Nantu Palaquium spp.
17 Agatis Agathis spp.
Catatan: Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH pada hutan kota.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.
Tabel 10. Jenis Vegetasi Tahan Genangan Air Untuk RTH Sabuk Hijau
Lama
No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin) Genangan
(hari)
1 Sungkai/Jati Seberang Peronema canescens
2 Jati Tectona grandis 0-10
3 Dahat Tectona hamiltoniana
4 Salam Eugeniu polyantha
5 Lantana merah/Tembelekan Lantana camara
6 Cendana Santalum album 10-20
7 Suren Toona sureni
8 Gopasa Vitex gofassus
9 Kesumba keeling/Pacar keling Bixa orellana
20-30
10 Kemlandingan Leucaena glauca
11 Kayu Palele Castanopsis javanica
12 Trengguli, Golden Shower Cassia fistula
30-40
Dalingsem, Kayu Batu, Kayu Homalium
13
Kerbau, Gia tomentosum
14 Kedondong Bulan Canarium littoralle
40-50
15 Johar Cassia siamea
39
16 Ampupu Eucalyptus alba
17 Pinus benquet Pinus insularis
18 Pinus/Tusam Pinus merkusii
Lama
No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin) Genangan
(hari)
19 Wedang Pterocarpus javanicus
20 Angsana Pterocarpus indicus
21 Laban/Biti Vitex pubescens
22 Weru, Kihiyang Albizia procera 50-60
23 Sonokeling Dalbergia sisso
Paraserianthes
24 Senon, Sengon Laut, Jeungjing
falcataria
25 Kosambi Schleichera oleosa
26 Tekik Albizzia lebbeck
27 Kopi Coffea spp. 60-70
28 Meranti tembaga Shorea leprosula
29 Sonokembang Dalbergia latifolia
30 Meranti merah Shorea ovalis
Swietenia 70-80
31 Mahoni macrophylla dan S.
mahagoni
Casuarina 90-100
32 Cemara laut
equisetifolia
33 Ipi/Bayam Intsia bijuga
100-200
34 Trembesi/Kihujan Samanea saman
Sumber : Soerianagara dan Indrawan (1988).
Catatan :Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH pada sabuk hijau.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.
40
mengarah ke hembusan angin, dapat melindungi daerah dari
hembusan angin yang membawa serta pasir.
Pola tanam sabuk hijau sebagai penahan angin sebagai berikut:
a) Sabuk hijau membentuk jalur hijau cembung ke arah
datangnya angin, akan menjadikan angin laminar dan
mencegah terbentuknya angina turbulen.
b) Sabuk hijau seyogyanya ditempatkan tepat pada arah
datangnya angin dan objek yang dilindungi harus berada di
bagian belakangnya.
c) Sabuk hijau yang dibangun harus cukup panjang agar dapat
melindungi objek dengan baik.
d) Sabuk hijau yang dibangun harus cukup tebal. Sabuk hijau
yang terlalu tipis kurang dapat melindungi karena masih dapat
diterobos angina.
e) Tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman yang cukup
tinggi, dengan dahan yang kuat namun cukup lentur.
f) Memiliki kerapatan daun berkisar antara 70–85%. Kerapatan
yang kurang, tidak dapat berfungsi sebagai penahan angin.
Sebaliknya kerapatan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan
terbentuknya angin turbulen.
g) Tanaman harus terdiri dari beberapa strata yaitu tanaman
tinggi sedang dan rendah, sehingga mampu menutup secara
baik.
Tabel 11. Arahan Jenis Vegetasi Untuk Peneduh Jalan dan Jalur Pejalan
Kaki
Tinggi Jarak
No. Nama Indonesia/Daerah Nama Ilmiah (Latin)
(m) Tanam (m)
I Pohon
1 Bunga Kupu-kupu Bauhinia purpurea 8 12
2 Bunga Kupu-kupu ungu Bauhinia blakeana 8 12
3 Trengguli Cassia fistula 15 12
4 Kayu manis Cinnamommum iners 12 12
5 Tanjung Mimosups elengi 15 12
6 Salam Euginia polyantha 12 6
7 Melinjo Gnetum gnemon 15 6
Lagerstroemia 18 12
8 Sejenis Bungur
floribunda
9 Cempaka Michelia champaca 18 12
10 Tanjung Mimosups elengi 12 12
II Perdu/Semak/Groundcover
1 Canna Canna variegata 0,6 0,2
2 Soka jepang Ixora spp. 0,3 0,2
3 Puring Codiaeum varigatum 0,7 0,3
4 Pedang-pedangan Sansiviera spp 0,5 0,2
5 Lili pita Ophiopogon jaburan 0,3 0,15
Catatan : Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH jalur hijau jalan.
Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim setempat.
42
Kriteria jenis vegetasi dan pola tanam untuk RTH jalur hijau
jaringan listrik tegangan tinggi sebagai berikut:
a) Jenis tanaman yang memiliki dahan yang kuat, tidak
mudah patah, dan perakaran tidak mengganggu pondasi.
b) Akarnya menghujam masuk ke dalam tanah. Jenis ini lebih
tahan terhadap hembusan angin yang besar daripada
tanaman yang akarnya bertebaran hanya di sekitar
permukaan tanah.
c) Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan
kecepatan sedang.
d) Bukan merupakan pohon yang memiliki bentuk tajuk
melebar.
e) Merupakan pohon dengan katagori kecil (small tree).
f) Fase anakan tumbuh cepat, tetapi tumbuh lambat pada fase
dewasa.
g) Ukuran dewasa sesuai ruang yang tersedia.
h) Pola penanaman pemilihan vegetasi memperhatikan
ketinggian yang diizinkan.
i) Buah tidak bisa dikonsumsi langsung oleh manusia.
j) Memiliki kerapatan yang cukup (50-60%).
k) Pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam
harus sesuai gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi
pekerjaan.
Pemilihan jenis dan ketinggian vegetasi dimaksudkan agar
penanaman vegetasi pada RTH jalur SUTT maupun SUTET,
tidak menimbulkan gangguan terhadap jaringan listrik serta
menghindari bahaya terhadap penduduk di sekitarnya. Lokasi
penanaman harus memperhatikan jarak bebas minimum yang
diizinkan.
Tabel 12. Arahan Jenis Vegetasi Untuk RTH SUTT dan SUTET
44
22 Jabon merah Antocephalus macrophyllus
23 Angsana Pterocarpus indicus
24 Palem raja Oerodoxa regia
25 Asam Tamarindus indica
26 Sawo kecik Manilkara kauki
27 Salam Eugenia polyantha
28 Kemiri Aleurites moluccana
29 Ketapang Terminalia catappa
30 Karet Hevea brasiliensis
31 Aren Arenga pinnata
32 Nyatoh/Nantu Palaqium spp.
33 Palapi Heriteira spp.
Bambusa blumeana Bl. ex Schul.
34 Bambu duri
f.
35 Bambu betung Dendrocalamus asper
36 Bambu wuluh Schizotachyum blunei Ness.
Schizotachyum brachycladum
27 Bambu wuluh besar
Kuez.
28 Kayu manis Cinnamomun burmanni
29 Dao/Dahu Dracotamelon dao/D. mangiferum
30 Dadap Erythrina cristagalli
Catatan : Jenis lain dapat dikembangkan selama memenuhi kriteria RTH Sempadan
sungai. Pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim
setempat.
Persyaratan pola tanam vegetasi pada RTH sempadan sungai
sebagai berikut:
a) Jalur hijau tanaman meliputi sempadan sungai selebar
50 m pada kiri-kanan sungai besar dan sungai kecil (anak
sungai).
b) Sampel jalur hijau sungai berupa petak-petak berukuran
20 m x 20 m diambil secara sistematis dengan intensitas
sampling 10% dari panjang sungai.
c) Sebelum di lapangan, penempatan petak sampel
dilakukan secara awalan acak (random start) pada peta.
Sampel jalur hijau sungai berupa jalur memanjang dari
garis sungai ke arah darat dengan lebar 20 m sampai
pohon terjauh.
d) Sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar
dan 50 m di kiri kanan anak sungai yang berada di luar
permukiman.
e) Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan
sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan
inspeksi antara 10-15 m.
f) Jarak maksimal dari pantai adalah 100 m.
g) Pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan
ditanam harus sesuai gambar rencana atau sesuai
petunjuk direksi pekerjaan.
45
a) Merupakan tanaman lokal yang sudah teruji ketahanan dan
kesesuaiannya tehadap kondisi pantai tersebut.
b) Sistem perakaran yang yang kuat sehingga mampu
mencegah abrasi pantai, tiupan angin dan hempasan
gelombang air pasang.
c) Batang dan sistem percabangan yang kuat.
d) Toleransi terhadap kondisi air payau.
e) Tahan terhadap hama dan penyakit tanaman.
f) Bakau merupakan tanaman yang khas sebagai pelindung
pantai.
Kriteria jenis vegetasi untuk RTH pada sumber air baku/mta air
sebagai berikut:
a) Relatif tahan terhadap penggenangan air.
b) Daya transpirasi rendah.
c) Memliki sistem perakaran yang kuat dan dalam, sehingga
dapat menahan erosi dan meningkatkan infiltasi (resapan)
air.
Vegetasi ideal yang ditanam pada RTH pengaman sumber
air merupakan vegetasi yang tidak mengkonsumsi banyak air
atau yang memiliki daya transpirasi yang rendah. Beberapa
tanaman yang memiliki daya transpirasi yang rendah antara
lain (Manan, 1976 dan Kurniawan, 1993): Cemara Laut
(Casuarina equisetifolia), Karet munding (Ficus elastica),
Manggis (Garcinia mangostana), Bungur (Lagerstroemia
speciosa), Kelapa (Cocos nucifera), Damar (Agathis loranthifolia),
Kiara Payung (Filicium decipiens).
46
h) Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang
burung.
2. Penanaman
Pada proses penanaman harus diperhatikan hal-hal berikut:
a) Bibit tanaman harus memiliki percabangan dan perakaran yang
sehat.
b) Besarnya diameter lubang tanam sama dengan lingkaran tajuk
terluar tanaman dengan kedalaman setebal bola akar ditambah
10 cm.
c) Masukkan tanah di sekeliling bola akar, kemudian tanah yang
berasal dari bagian bawah, dikembalikan ke bagian bawah lubang
tanam, dan tanah yang berasal dari bagian atas lubang tanam
diurugkan di bagian atas tanaman.
d) Agar pohon yang baru ditanam tidak bergoyang, diperlukan alat
penahan (kayu pemancang/ajir) yang ditancapkan di seputar
pohon, dengan ujung diikat pada batang pohon.
47
e) Tanaman disiram secukupnya.
3. Pemeliharaan Tanaman
a. Pemupukan
Prinsip dasar pemupukan adalah mensuplai hara tambahan yang
dibutuhkan sehingga tanaman tidak kekurangan makanan.
Pupuk yang diberikan pada tanaman dapat berupa pupuk organik
maupun pupuk anorganik (misalnya NPK atau urea). Pupuk yang
digunakan untuk pohon-pohon taman biasanya pupuk majemuk
NPK.
b. Penyiraman
Tujuan penyiraman tanaman, selain untuk menyeimbangkan laju
evapotranspirasi, juga berfungsi melarutkan garam-garam mineral
dan juga sebagai unsur utama pada proses fotosintesis. Waktu
penyiraman pada dasarnya dapat dilakukan kapan saja saat
dibutuhkan. Waktu penyiraman yang terbaik adalah pada pagi
atau sore hari. Penyiraman siang hari hendaknya dilakukan
langsung pada permukaan tanah, tidak pada permukaan daun
tanaman. Untuk daerah dengan kelembaban tinggi penyiraman
pada pagi hari lebih baik daripada sore hari, dalam upaya
menghindari penyakit yang disebabkan oleh cendawan.
Penetrasi air siraman sedalam 15-20 cm ke dalam tanah, dapat
menjadi indikasi bahwa siraman air sudah dinyatakan cukup.
c. Pemangkasan
Tujuan pemangkasan tanaman adalah untuk mengontrol
pertumbuhan tanaman sesuai yang diinginkan serta menjaga
keamanan dan kesehatan tanaman. Waktu pemangkasan yang
tepat adalah setelah masa pertumbuhan generatif tanaman
(setelah selesai masa pembungaan) dan sebelum pemberian
pupuk.
Pemangkasan tanaman dapat dilakukan dengan tujuan:
1) Pemangkasan untuk kesehatan pohon:
Pemangkasan untuk tujuan ini dilakukan pada cabang, dahan
dan ranting yang retak, patah, mati atau berpenyakit.
2) Pemangkasan untuk keamanan penggunaan taman:
Pemangkasan dengan tujuan ini dilakukan pada cabang,
dahan dan ranting, yang dapat mengancam keamanan
pengguna taman.
Di daerah pejalan kaki diperlukan ruang yang bebas dari
juntaian ranting dan dahan pohon sekitar 2,5 m dari
permukaan tanah.
Batang atau dahan yang menyentuh kabel telepon dan listrik
perlu dipangkas, kerena disamping dapat mengakibatkan
48
korsleting/ kebakaran, juga gesekan yang intensif dapat
mengganggu kesehatan pohon.
3) Pemangkasan untuk keamanan pengguna jalan:
Pemangkasan dengan tujuan ini dilakukan pada cabang,
dahan dan ranting, yang dapat menghalangi pandangan
pengguna jalan.
Untuk jalan yang dilalui kendaraan pada daerah
permukiman diperlukan ruang terbebas dari juntaian ranting
dan dahan pohon sekitar minimal 3,5 m dari permukaan
tanah.
Untuk jalan umum yang dilalui kendaraan diperlukan ruang
terbebas dari juntaian ranting dan dahan pohon sekitar 4,5-5
m dari permukaan tanah.
4) Pemangkasan untuk tujuan estetis:
Pemangkasan dengan tujuan ini adalah untuk menghasilkan
penampilan tanaman lebih baik atau lebih indah. Dengan
memperhatikan jenis dan kerapatan daun, maka pemangkasan
dapat menghasilkan tanaman dengan bentuk-bentuk tajuk
spiral, silindris, kubus, bulat, piramida, dan lain sebagainya.
49
RTH pada lahan terbangun di kawasan perkotaan meliputi RTH
hunian (perumahan) dan RTH non-hunian (perkantoran, pertokoan
dan tempat usaha berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka).
Kedua jenis RTH ini termasuk dalam kelompok RTH privat.
RTH hunian dikenal sebagai RTH pekarangan pada perumahan,
sedangkan RTH non-hunian dikenal sebagai RTH halaman pada
bangunan perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha.
RTH pada bangunan/perumahan berfungsi sebagai penghasil O 2,
peredam kebisingan, dan penambah estetika suatu bangunan
sehingga tampak asri, serta memberikan keseimbangan dan
keserasian antara bangunan dan lingkungan. Selain fungsi tersebut,
RTH dapat dioptimalkan melalui pemanfaatan sebagai berikut:
RTH Pekarangan
Dalam rangka mengoptimalkan lahan pekarangan, maka RTH
pekarangan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan atau kebutuhan
lainnya. RTH pada rumah dengan pekarangan luas dapat
dimanfaatkan sebagai tempat utilitas tertentu (sumur resapan) dan
dapat juga dipakai untuk tempat menanam tanaman hias dan
tanaman produktif (yang dapat menghasilkan buah-buahan, sayur,
dan bunga).
Untuk rumah dengan RTH pada lahan pekarangan yang tidak terlalu
luas atau sempit, RTH dapat dimanfaatkan pula untuk menanam
tanaman obat keluarga/apotik hidup, dan tanaman pot sehingga
dapat menambah nilai estetika sebuah rumah. Untuk efisiensi ruang,
tanaman pot dimaksud dapat diatur dalam susunan/bentuk vertikal.
50
RTH hunian berada pada lokasi perumahan penduduk yang dikenal
sebagai RTH pekarangan.
Berdasarkan klasifikasinya, terdiri atas: RTH pekarangan rumah
besar (luas lahan perumahan >500 m2); RTH pekarangan rumah
sedang (luas lahan perumahan 200-500 m2); dan RTH pekarangan
rumah kecil (luas lahan perumahan <200 m2). Meskipun demikian,
untuk Kabupaten Morowali Utara berdasarkan data BPS Kabupaten
Morowali tahun 2017 klasifikasi luas bangunan rumah terdiri atas:
<20 m2; 20-49 m2; 50 – 99 m2; 100 -149 m2 dan >150 m2. Dari hasil
analisis tersebut, luas bangunan rumah penduduk terbanyak berada
pada kelas rumah kecil (<150 m2) sebanyak 97,46% dan rumah
sedang-besar (≥150 m2) sebanyak 2,54%. Adapun kebutuhan arahan
pemanfaatan RTH pekarangan disajikan pada Tabel 15 berikut.
51
Pada Tabel 15, tidak semua rumah penduduk memiliki luas
pekarangan yang sama luasanya, bahkan ada yang sempit
pekarangannya. Untuk luas halaman dengan jalan lingkungan
yang sempit, dimungkinkan mewujudkan RTH melalui
penanaman menggunakan pot atau media tanam lainnya.
52
maka dalam rencana pemanfaatan RTH non-hunian di kawasan
perkotaan diuraikan sebagai berikut:
1) Untuk dengan tingkat KDB 70%-90% perlu menambahkan
tanaman dalam pot.
2) Perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB >70%,
memiliki minimal dua pohon kecil atau sedang yang ditanam
pada lahan atau pada pot berdiameter >60 cm.
3) Persyaratan penanaman pohon pada perkantoran, pertokoan dan
tempat usaha dengan KDB <70%, berlaku seperti persyaratan
pada RTH pekarangan rumah, dan ditanam pada area di luar
KDB yang telah ditentukan.
RTH halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha dapat
berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka. Pada area ini dapat
ditambahkan tanaman dalam pot, minimal dua pohon kecil atau
sedang, dan minimal tiga tanaman pohon besar pada area halaman
yang cukup luas (atau KDB <70%). Data alokasi RTH sebesar 2%
pada Tabel 16 merupakan RTH yang diharapkan dapat dicapai
dalam 10 tahun kedepan.
a. RTH Lingkungan/Permukiman
a) RTH Taman Rukun Tetangga
Taman Rukun Tetangga (RT) dapat dimanfaatkan penduduk
sebagai tempat melakukan berbagai kegiatan sosial di
lingkungan RT tersebut. Untuk mendukung aktivitas
penduduk di lingkungan tersebut, fasilitas yang harus
disediakan minimal bangku taman dan fasilitas mainan anak-
anak. Selain sebagai tempat untuk melakukan aktivitas sosial,
RTH Taman Rukun Tetangga dapat pula dimanfaatkan sebagai
suatu community garden dengan menanam tanaman obat
keluarga/apotik hidup, sayur, dan buah-buahan yang dapat
dimanfaatkan oleh warga. Lokasi RTH taman RT di tengah
lingkungan RT.
Dari hasil identifikasi lapangan tahun 2017 diketahui terdapat
sebanyak 104 RT yang tersebar pada sepuluh ibu kota
kecamatan. Adapun alokasi ruang untuk RTH taman RT
disajikan pada Tabel 17 berikut.
Jumlah
Luas Luas
Rukun 250 m2/
No. Kecamatan Kota Kecamatan RTH RTH
Tetangga unit
(m2) (m2)/RT
(RT)
1 Mori Atas Tomata-Pambarea 12 2.644 10 264
2 Mori Utara Mayumba 4 2.460 4 615
3 Lembo Beteleme 22 5.828 22 265
4 Lembo Raya Petumbea 5 1.630 5 326
5 Petasia Timur Bungintimbe 6 2.918 6 486
6 Petasia Barat Tiu 6 1.693 6 282
7 Petasia Kolonodale- 15 13.593 15 906
54
Bahontula-Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara 2 836 2 418
9 Bungku Utara Baturube 15 2.070 8 259
10 Mamosalata Tanasumpu 17 2.228 9 279
Jumlah 104 35.900 87 345
Keterangan: Ibu kota kecamatan yang tidak memiliki RT, digunakan satuan dusun.
55
berkomunikasi dan bersosialisasi antar warga, dan beberapa
jenis bangunan permainan anak yang tahan dan aman untuk
dipakai pula oleh anak remaja. Lokasi RTH taman RW di pusat
kegiatan RW.
Dari hasil identifikasi lapangan tahun 2017 diketahui terdapat
sebanyak 19 RW yang tersebar pada tiga ibu kota kecamatan.
Untuk jelasnya disajikan pada Tabel 18 berikut.
56
Gambar 2. Contoh Model RTH Taman Rukun Warga
57
Gbr (a)
Gbr (b)
58
tingkat pertumbuhan penduduk diperoleh hasil bahwa
kebutuhan RTH taman kecamatan masih berada pada luas
1.640 m2 s.d. 3.570 m2. Jumlah kebutuhan RTH taman
kecamatan per wilayah kecamatan tersebut masih jauh dari
kebutuhan standar minimal RTH kecamatan yakni seluas
24.000 m2/unit. Meskipun demikian, pada umumnya setiap
ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali Utara telah
memiliki lapangan olahraga (sepak bola) berupa lapangan
terbuka atau lapangan rumput dengan alokasi ruang yang
cukup luas, sehingga dimungkinkan membenahi lapangan
olahraganya agar memenuhi standar teknis RTH taman
kecamatan berupa taman aktif. Adapun lapangan
terbuka/rumput (sepak bola) di setiap ibu kota kecamatan dan
rencana menjadi RTH taman kecamatan disajikan pada Tabel
20 berikut.
59
Gambar 4. Contoh Model RTH Taman Kecamatan (Taman Aktif)
b. RTH Kota/Perkotaan
a) RTH Taman Kota
Klasifikasi kawasan perkotaan terdiri atas: a. perkotaan kecil
dengan kriteria jumlah penduduk 50.000 s.d. 100.000 jiwa; b.
perkotaan sedang dengan kriteria jumlah penduduk >100.000 s.d.
<500.000 jiwa; c. perkotaan besar dengan kriteria jumlah
penduduk ≥500.000 jiwa; d. metropolitan dengan kriteria jumlah
penduduk ≥1.000.000 jiwa; dan e. megapolitan dengan jumlah
penduduk ≥ 10.000.000 jiwa (Peraturan Menteri PU No.
12/PRT/M/2009). Mengacu pada batasan tersebut, kawasan
perkotaan ibu kota Kabupaten Morowali Utara di Kecamatan
Petasia pada tiga kelurahan (Kolonodale, Bahontula dan Bahoue)
dengan jumlah penduduk s.d. tahun 2017 sebanyak 10.817 jiwa
yang selanjutnya diproyeksi sepuluh tahun ke depan sebanyak
13.593 jiwa belum termasuk dalam kategori perkotaan kecil.
RTH Taman Kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani
penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini
melayani minimal 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3
m2 per penduduk kota, dengan luas taman minimal 144.000 m2.
Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan hijau), yang
dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks
olah raga dengan minimal RTH 80%-90%. Semua fasilitas tersebut
terbuka untuk umum. Mengacu pada ketentuan tersebut serta
memperhatikan hasil analisis kebutuhan RTH taman kota di ibu
kota kabupaten sesuai hasil proyeksi jumlah penduduk sepuluh
tahun ke depan sebanyak 13.593 jiwa yang masih berada pada
angka luasan 4.078 m2 menunjukan bahwa luas RTH tersebut
masih jauh dibawah standar minimal 144.000 m2.
Meskipun demikian, mengingat ibu kota Kabupaten Morowali
Utara dengan kegiatan utama bukan pertanian (sebagai tempat
60
pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi) serta
tingkat kepadatan penduduk 1.567 jiwa/km2, tentu penduduknya
membutuhkan sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan
lain pada tingkat kota. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut
diperlukan adanya RTH dalam bentuk Taman Kota.
RTH Taman Kota dapat dimanfaatkan penduduk untuk
melakukan berbagai kegiatan sosial pada satu kota atau bagian
wilayah kota. Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan
hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi, taman bermain
(anak/balita), taman bunga, taman khusus (untuk lansia),
fasilitas olah raga terbatas, dan kompleks olah raga dengan
minimal RTH 30%. Semua fasilitas tersebut terbuka untuk umum.
Selanjutnya lokasi RTH Taman Kota direncanakan di sekitar
kawasan perkantoran (sebelah barat kantor bupati) dalam wilayah
Kelurahan Bahoue dengan luas 144.793,47 m2 atau 14,48 ha.
Lokasi dimaksud masih berupa lahan semak belukar dan hutan.
Jenis vegetasi yang dipilih untuk RTH taman kota berupa pohon
tahunan, perdu, dan semak ditanam secara berkelompok atau
menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta iklim mikro atau
sebagai pembatas antar kegiatan. Adapun contoh kelengkapan
fasilitas RTH taman kota disajikan pada Tabel 21 berikut.
b) Hutan kota
Hutan kota dapat dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi dan
penyangga lingkungan kota (pelestarian, perlindungan dan
pemanfaatan plasma nutfah, keanekaragaman hayati). Hutan kota
dapat juga dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas sosial
masyarakat (secara terbatas, meliputi aktivitas pasif seperti duduk
dan beristirahat dan atau membaca, atau aktivitas yang aktif
seperti jogging, senam atau olahraga ringan lainnya), wisata alam,
61
rekreasi, penghasil produk hasil hutan, oksigen, ekonomi (buah-
buahan, daun, sayur), wahana pendidikan dan penelitian. Fasilitas
yang harus disediakan disesuaikan dengan aktivitas yang
dilakukan seperti kursi taman, sirkulasi pejalan kaki/jogging track.
Idealnya hutan kota merupakan ekosistem yang baik bagi ruang
hidup satwa misalnya burung, yang mempunyai peranan penting
antara lain mengontrol populasi serangga. Untuk itu diperlukan
introduksi tanaman pengundang burung pada hutan kota. Pada
Tabel 22 berikut disajikan kemampuan hutan dalam
mengendalikan gelombang pendek dan panjang.
62
yang dapat disediakan oleh PDAM; (3) potensi air tanah; dan (4)
kemampuan hutan kota menyimpan air. Khusus untuk potensi air
tanah diabaikan karena ibu kota kabupaten pada tiga kelurahan
tidak memiliki cekungan air tanah (CAT), dan umumnya air yang
dikonsumsi penduduk bersumber dari air permukaan.
63
Khusus kebutuhan oksigen bagi ternak (ternak besar maupun ternak
kecil) diabaikan dengan pertimbangan bahwa ibu kota kabupaten
merupakan tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi. Berikut ini diuraikan teknik hitungan kebutuhan RTH
hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen:
Kebutuhan oksigen bagi manusia per hari sebesar 600 liter atau
setara 840 gram/hari (Gerakis (1974) dalam Wisesa (1988)).
Untuk mengetahui kebutuhan luas RTH hutan kota, kebutuhan
oksigen manusia (gram/hari) dikali dengan jumlah penduduk,
untuk selanjutnya dibagi dengan angka tetapan (54 x 0,9375 x 2).
Angka tetapan diuraikan sebagai berikut:
54 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 m2 luas lahan
menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari.
0,9375 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 gram berat kering
tanaman adalah setara dengan produksi oksigen 0,9375 gram.
2 = jumlah musim di Indonesia.
Adapun parameter penentu kebutuhan RTH hutan kota
berdasarkan kebutuhan oksigen kendaraan bermotor disajikan pada
Tabel 24 s.d. Tabel 26 berikut.
64
Tabel 26. Hitungan Kebutuhan RTH Hutan Kota Berdasarkan
Kebutuhan Oksigen
Penduduk
Kebutuhan Konsumsi & total
(jiwa) &
Faktor penentu kebutuhan Oksigen kebutuhan oksigen
Kendaraan
RTH hutan kota (gram/hari (gram/hari)
(unit)
)
2017 t+10 2017 t+10
Hitungan Tiga Kelurahan:
Pt = jumlah kebutuhan oksigen
10.81 13.59 11.418.13
a bagi penduduk pada tahun ke –t 840 9.086.280
7 3 1
(jiwa)
b Kt = jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke-t (unit)
Motor 582 1.588 1.996 924.216 1.161.402
Mobil penumpang/bus 45.760 39 49 1.784.640 2.242.240
Mobil truk 29.085 43 54 1.250.655 1.570.590
Kapal motor 45.760 20 25 915.200 1.144.000
Perahu motor 582 1.791 2.251 1.042.362 1.310.082
Jumlah 121.769 3.481 4.375 5.917.073 7.428.314
Tt = jumlah kebutuhan oksigen
c diabaikan 0 0 0 0
bagi ternak pada tahun ke-t (ekor)
d Angka tetapan:
Tetapan luas lahan 54 54
Tetapan berat kering tanaman 0,3975 0,3975
Tetapan musim di Indonesia 2 2
Hasil perkalian angka tetapan 42,93 42,93
e Hasil hitungan luas RTH hutan kota:
211.653,3 265.970,9
Luas RTH hutan kota untuk
9 2
penduduk = a/d (m2) atau ha
21,17 ha 26,60 ha
137.830,7 173.033,1
Luas RTH hutan kota untuk
2 6
kendaraan = b/d (m2) atau ha
13,78 ha 17,30 ha
Total luas RTH hutan kota 34,95 ha 43,90 ha
Hitungan Per Kelurahan
Kelurahan Kolonodale:
Pt = jumlah kebutuhan oksigen
a bagi penduduk pada tahun ke –t 840 4.152 5.218 3.487.680 4.382.738
(jiwa)
b Angka tetapan 42,93 42,93
102.090,3
Luas RTH hutan kota untuk 81.241,09
c 4
penduduk = a/b (m2) atau ha
8,12 ha 10,21 ha
Kelurahan Bahontula
Pt = jumlah kebutuhan oksigen
a bagi penduduk pada tahun ke –t 840 4.673 5.872 3.925.320 4.932.692
(jiwa)
b Angka tetapan 42,93 42,93
114.900,8
Luas RTH hutan kota untuk 91.435,36
c 1
penduduk = a/b (m2) atau ha
9,14 ha 11,49 ha
Kelurahan Bahoue
Pt = jumlah kebutuhan oksigen
a bagi penduduk pada tahun ke –t 840 1.992 2.503 1.673.280 2.102.701
(jiwa)
b Angka tetapan 42,93 42,93
Luas RTH hutan kota untuk 38.976,94 48.979,76
c
penduduk = a/b (m2) atau ha 3,90 ha 4,90 ha
65
tidak kecil, serta resiko kegagalan dalam menghasilkan struktur
hutan dan keanekaragaman jenis, yang berfungsi dalam pengaturan
tata air, penyedia oksigen dan penyerap karbon dioksida maka dalam
sepuluh tahun ke depan direncanakan pembangunan RTH hutan
kota pada kawasan perkotaan yang masih tertutupi vegetasi
pepohonan alami.
Perlu dijelaskan bahwa kawasan perkotaan Kolonodale dan
sekitarnya tidak memiliki cekungan air tanah sehingga sumber air
andalan adalah air permukaan.
Pada Tabel 23 dialokasikan RTH hutan kota pada tiga kelurahan,
namun karena alokasi ruang di Kelurahan Bahontula tidak luas
maka lokasinya disatukan dengan Kelurahan Bahoue. Adapun
alokasi RTH hutan kota sbb.: (1) Seluas 16,85 ha di Kelurahan
Kolonodale; (2) Seluas 27,05 ha di Kelurahan Bahontula dan Bahoue
sehingga seluruhnya mencapai luas 43,90 ha.
Memperhatikan lokasi rencana pembangunan hutan kota di ibu kota
kabupaten yang masih didominasi vegetasi alami maka bentuk hutan
kota akan memenuhi dua bentuk yaitu bergerombol dan menyebar.
Bergerombol karena direncanakan pada satu lokasi yang kompak
dalam kelurahan, dan menyebar karena didistribusi kedalam tiga
kelurahan sesuai proporsi jumlah penduduk perkotaan. Berdasarkan
kondisi tutupan lahannya, lokasi rencana RTH hutan kota umumnya
masih didominasi pepohonan alami (>90%) sehingga fungsi utama
sebagai area konservasi tanah dan air serta keanekaragaman hayati
terpenuhi. Selain itu, hutan kota sebagai penyedia oksigen dan
penyerap karbon dioksida dapat langsung termanfaatkan tanpa harus
menunggu lama sebuah hutan kota berfungsi.
Berdasarkan struktur hutan kota, dengan kondisi lokasi rencana
pembangunan hutan kota sebagaimana disebutkan sebelumnya,
struktur hutan kota memiliki strata banyak. Hutan Kota berstrata
banyak dicirikan oleh komunitas tetumbuhan yang terdiri dari
pepohonan dan rumput, juga terdapat semak dan penutup tanah
dengan jarak tanam tidak beraturan. Program kegiatan pembangunan
hutan kota dengan kondisi seperti itu diuraikan sebagai berikut:
Tahapan pertama: Pengukuran, pemancangan pal-pal batas dan
pemetaan lokasi RTH hutan kota.
Tahapan kedua: Pembangunan fasilitas hutan kota yang
memenuhi standar minimal pemenuhan kebutuhan sosial budaya
seperti pembangunan sarana dan prasarana lokasi, pengkayaan
jenis, pemeliharaan dan pengamanan lokasi.
Tahapan ketiga: Pemanfaatan RTH hutan kota sebagai sarana
rekreasi (keluarga, pendidikan, dsb.), penyelenggaraan manajemen
66
hutan kota yang diikuti dengan pengawasan dan pengendalian
pengelolaan hutan kota.
67
Penahan angin: Untuk membangun sabuk hijau yang
berfungsi sebagai penahan angin perlu diperhitungkan
beberapa faktor yang meliputi panjang jalur, lebar jalur.
Mengatasi intrusi air laut: RTH hijau di dalam kota akan
meningkatkan resapan air, sehingga akan meningkatkan
jumlah air tanah yang akan menahan perembesan air laut ke
daratan.
Penyerap dan penepis bau.
Mengamankan pantai dan membentuk daratan.
Pada Tabel 27 berikut disajikan kondisi sabuk hijau di sepuluh ibu
kota kecamatan (termasuk ibu kota kabupaten).
Tabel 27. Kondisi Sabuk Hijau Pada Sepuluh Ibu Kota Kecamatan
Kota Sabuk hijau
No. Kecamatan Sabuk Hijau (eksisting)
Kecamatan (rencana)
Perkebunan sawit, kebun campuran,
Tomata-
1 Mori Atas sawah, vegetasi sempadan sungai, -
Pambarea
pepohonan penghijauan.
Perkebunan sawit, kebun campuran,
2 Mori Utara Mayumba -
vegetasi sempadan sungai.
Perkebunan karet, kebun campuran,
3 Lembo Beteleme sawah dan hutan alam (hutan -
lindung).
Perkebunan karet dan sawit, kebun
4 Lembo Raya Petumbea -
campuran, tegalan.
Petasia Perkebunan sawit, tambak, kebun
5 Bungintimbe -
Timur campuran dan hutan alam.
Petasia
6 Tiu Sawah, kebun campuran, hutan alam -
Barat
Hutan Pantai di Kelurahan
Kolonodale.
Kolonodale- Hutan Mangrove di Kelurahan
7 Petasia Bahontula- Bahoue. Hutan kota
Bahoue Hutan alam disepanjang batas
kawasan hutan produksi tetap (HP) di
tiga kelurahan.
Lembah Vegetasi sempadan sungai, sawah dan
8 Soyo Jaya -
Sumara tegalan
Bungku Penghijauan pantai, kebun, sawah,
9 Baturube -
Utara hutan alam.
Sawah, kebun sawit, vegetasi
10 Mamosalata Tanasumpu -
sempadan sungai
Sumber: Hasil analisis spasial citra satelit perekaman tahun 2015-2016; dan survei lapangan tahun 2017.
Pada Gambar 6 berikut disajikan contoh tata letak jalur hijau jalan.
68
Gambar 6. Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan
Pada Gambar 6 ditampilkan contoh jalur tata letak jalur hijau jalan
untuk tepi jalan dan median jalan.
Selanjutnya untuk mengetahui panjang jalur hijau jalan yang dapat
menjadi sasaran pembuatan RTH jalur hijau jalan di ibu kota
kecamatan di Kabupaten Morowali Utara, pada Tabel 28 disajikan
status dan panjang jalan dalam ibu kota kecamatan di wilayah
Kabupaten Morowali Utara.
Tabel 28. Status dan Panjang Jalan Di Ibu Kota Kecamatan Kabupaten
Morowali Utara
Panjang Jalan Menurut Status
(km) Jumlah
No. Kecamatan Kota Kecamatan
(km)
Nasional Provinsi Kabupaten
1 Mori Atas Tomata-Pambarea 5,03 - 13,66 18,69
2 Mori Utara Mayumba - - 10,23 10,23
3 Lembo Beteleme 3,87 2,51 19,37 25,75
4 Lembo Raya Petumbea - - 8,85 8,85
5 Petasia Timur Bungintimbe 4,24 - 2,87 7,11
6 Petasia Barat Tiu - - 8,45 8,45
Kolonodale-Bahontula-
7 Petasia 2,10 2,78 22,72 27,60
Bahoue
8 Soyo Jaya Lembah Sumara - 4,27 12,25 16,52
9 Bungku Utara Baturube - 1,86 9,55 11,41
10 Mamosalato Tanasumpu - 2,43 11,01 13,45
Jumlah 15,24 13,86 118,96 148,06
Sumber: Dianalisis secara spasial dari citra satelit perekaman tahun 2015-2016, dan cek lapangan tahun 2017.
69
taman. Dalam ini yang dibahas adalah pulau jalan dan median yang
berbentuk taman/RTH.
a. Pada jalur tanaman tepi jalan
1) Peneduh
a) Ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1,5 m dari tepi
median)
b) Percabangan 2 m di atas tanah
c) Bentuk percabangan batang tidak merunduk
d) Bermassa daun padat
e) Berasal dari perbanyakan biji
f) Ditanam secara berbaris
g) Tidak mudah tumbang.
Contoh jenis tanaman:
(1) Kiara Payung (Filicium decipiens)
(2) Tanjung (Mimusops elengi)
(3) Bungur (Lagerstroemia floribunda).
70
d) Bogenvil (Bougenvillea sp.)
e) Teh-tehan pangkas (Acalypha sp).
3) Peredam kebisingan
a) Terdiri dari pohon, perdu/semak
b) Membentuk massa
c) Bermassa daun rapat
d) Berbagai bentuk tajuk.
Contoh jenis tanaman:
a) Tanjung (Mimusops elengi)
b) Kiara payung (Filicium decipiens)
c) Teh-tehan pangkas (Acalypha sp)
d) Kembang Sepatu (Hibiscus rosasinensis)
e) Bougenvil (Bougenvillea sp)
f) Oleander (Nerium oleander).
Pada Gambar 9 berikut disajikan contoh model jalur tanaman tepi
penyerap kebisingan.
71
Gambar 9. Contoh Jalur Tanaman Tepi Penyerap Kebisingan
4) Pemecah angin
a) Tanaman tinggi, perdu/semak
b) Bermassa daun padat
c) Ditanam berbaris atau membentuk massa
d) Jarak tanam rapat < 3 m.
Contoh jenis tanaman:
a) Cemara (Cassuarina equisetifolia)
b) Mahoni (Swietania mahagoni)
c) Tanjung (Mimusops elengi)
d) Kiara Payung (Filicium decipiens)
e) Kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis).
Pada Gambar 10 berikut disajikan contoh model jalur tanaman tepi
pemecah angin.
5) Pembatas pandang
a) Tanaman tinggi, perdu/semak
b) Bermassa daun padat
72
c) Ditanam berbaris atau membentuk massa
d) Jarak tanam rapat.
Contoh jenis tanaman:
a) Bambu (Bambusa sp)
b) Cemara (Cassuarina equisetifolia)
c) Kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis)
d) Oleander (Nerium oleander).
b. Pada median
Penahan silau lampu kendaraan
a) Tanaman perdu/semak
b) Ditanam rapat
c) Ketinggian 1,5 m
d) Bermassa daun padat.
Contoh jenis tanaman:
a) Kembang Sepatu (Hibiscus rosasinensis)
b) Bogenvil (Bogenvillea sp)
c) Oleander (Nerium oleander)
d) Nusa indah (Mussaenda sp).
Pada Gambar 12 berikut disajikan model jalur tanaman pada median
penahan silau lampu kendaraan.
73
Gambar 12. Contoh Jalur Tanaman Tepi pada Median
Penahan Silau Lampu Kendaraan
74
Pada Gambar 13 berikut disajikan contoh jalur tanaman pada
daerah bebas pandang.
75
Kriteria dimensional, disesuaikan dengan kondisi sosial dan
budaya setempat, kebiasaan dan gaya hidup, kepadatan
penduduk, warisan dan nilai yang dianut terhadap lingkungan.
Kriteria pergerakan, jarak rata-rata orang berjalan di setiap
tempat umumnya berbeda dipengaruhi oleh tujuan perjalanan,
kondisi cuaca, kebiasaan dan budaya. Pada umumnya orang
tidak mau berjalan lebih dari 400 m.
76
a) Garis sempadan jaringan tenaga listrik adalah 64 m yang
ditetapkan dari titik tengah jaringan tenaga listrik.
b) Ketentuan jarak bebas minimum antara penghantar SUTT dan
SUTET dengan tanah dan benda lain ditetapkan seperti pada
Tabel 30 berikut:
Pelanggan Listrik
Ibu Kota Gardu Listrik
No. Kecamatan PLN
Kecamatan PLN (Bh)
(Rumah Tangga/RT)
Tomata 208 4
1 Mori Atas
Pambarea 200 2
2 Mori Utara Mayumba 176 1
3 Lembo Beteleme 870 8
4 Lembo Raya Petumbea 240 4
5 Petasia Timur Bungintimbe 189 5
6 Petasia Barat Tiu 328 1
Kolonodale 513 3
7 Petasia Bahontula 440 3
Bahoue 371 3
8 Soyo Jaya Lembah Sumara - -
9 Bungku Utara Baturube 346 2
10 Mamosalato Tanasumpu - -
Jumlah 3.881 36
Sumber: BPS Kabupaten Morowali Utara tahun 2015/2016.
77
kota kecamatan (Lembah Sumara dan Tanasumpu) masih
menggunakan listrik swasta.
Berdasarkan data BPS Morowali Utara tahun 2015, Unit PLN
Kolonodale memiliki produksi sebesar 24.100.280 kWh dengan
daya terpasang sebesar 10.946 kVA. Listrik tersebut
dimanfaatkan di seluruh kecamatan (kecuali Kecamatan
Mamosalato) di Kabupaten Morowali Utara oleh sebanyak 16.970
rumah tangga; sebanyak 196 buah industri, perdagangan, hotel
dan restoran; sebanyak 448 buah lembaga sosial, rumah sakit,
tempat ibadah, panti dan pendidikan; dan sebanyak 135 buah
dinas/instansi pemerintah.
Uraian mengenai pemanfaatan energi listrik (PLN dan Swasta) di
sepuluh ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali Utara hingga
tahun 2016 oleh kalangan rumah tangga, industri, perdagangan,
hotel dan restoran, instansi/dinas pemerintah daerah, dan
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan lembaga sosial
menunjukan bahwa jaringan listrik menyebar di seluruh kawasan
perkotaan. Dengan demikian, Pemerintah Daerah memerlukan
adanya jalur hijau (RTH) pada jaringan listrik sesuai ketentuan
yang berlaku (tersedia pada Tabel 30).
Sehingga dalam jangka pendek maupun jangka panjang perlu
dilakukan sosialisasi tentang manfaat penyelenggaraan RTH
jaringan listrik tegangan tinggi serta penyuluhan secara terus-
menerus tentang bahaya listrik tegakan tinggi kepada masyarakat.
Adapun kriteria jenis vegetasi dan pola tanam untuk RTH jaringan
listrik tegangan tinggi telah tersedia pada Tabel 12 (arahan jenis
vegetasi untuk RTH SUTT dan SUTET). Pemilihan jenis dan
ketinggian vegetasi sesuai ketentuan dimaksudkan agar
penanaman vegetasi pada RTH jalur SUTT maupun SUTET, tidak
menimbulkan gangguan terhadap jaringan listrik serta
menghindari bahaya terhadap penduduk di sekitarnya. Lokasi
penanaman harus memperhatikan jarak bebas minimum yang
diizinkan.
b) RTH Sempadan Sungai
Pemanfaatan RTH daerah sempadan sungai dilakukan untuk
kawasan konservasi, perlindungan tepi kiri-kanan bantaran
sungai yang rawan erosi, pelestarian, peningkatan fungsi sungai,
mencegah okupasi penduduk yang mudah menyebabkan erosi,
dan pengendalian daya rusak sungai melalui kegiatan
penatagunaan, perizinan, dan pemantauan.
Penatagunaan daerah sempadan sungai dilakukan dengan
penetapan zona-zona yang berfungsi sebagai fungsi lindung dan
78
budidaya. Pada zona sungai yang berfungsi lindung menjadi
kawasan lindung, pada zona sungai yang berfungsi budidaya
dapat dibudidayakan kecuali pemanfaatan tanggul hanya untuk
jalan. Sesuai peraturan yang ada, sungai di perkotaan terdiri dari
sungai bertanggul dan sungai tidak bertanggul.
Sungai bertanggul :
1) Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan
perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 m di sebelah luar
sepanjang kaki tanggul.
2) Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan
ditetapkan sekurang-kurangnya 5 m di sebelah luar sepanjang
kaki tanggul.
3) Dengan pertimbangan untuk peningkatan fungsinya, tanggul
dapat diperkuat, diperlebar dan ditinggikan yang dapat
berakibat bergesernya garis sempadan sungai.
4) Kecuali lahan yang berstatus tanah negara, maka lahan yang
diperlukan untuk tapak tanggul baru sebagai akibat
dilaksanakannya ketentuan sebagaimana dimaksud pada
butir 1) harus dibebaskan.
Sungai tidak bertanggul:
1) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan
perkotaan ditetapkan sebagai berikut:
a) Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 m,
garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 m
dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
b) Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 m sampai
dengan 20 m, garis sempadan ditetapkan sekurang-
kurangnya 15 m dihitung dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan.
c) Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 m, garis
sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 m dihitung
dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
2) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan
perkotaan ditetapkan sebagai berikut:
a) Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah
pengaliran sungai seluas 500 km2 atau lebih, penetapan
garis sempadannya sekurang-kurangnya 100 m.
b) Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah
pengaliran sungai kurang dari 500 km2, penetapan garis
sempadannya sekurang-kurangnya 50 m dihitung dari tepi
sungai pada waktu ditetapkan.
3) Garis sempadan sebagaimana dimaksud pada butir 1) dan 2)
diukur ruas per ruas dari tepi sungai dengan
79
mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada ruas
yang bersangkutan.
4) Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan
dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan,
dengan ketentuan konstruksi dan penggunaan harus
menjamin kelestarian dan keamanan sungai serta bangunan
sungai.
5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1)
tidak terpenuhi, maka segala perbaikan atas kerusakan yang
timbul pada sungai dan bangunan sungai menjadi
tanggungjawab pengelola jalan.
Untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, jalur hijau
terletak pada garis sempadan yang ditetapkan sekurang
kurangnya 100 (seratus) meter dari tepi sungai.
80
Baturube 741,24 <5 ≥ 15
Tanggul pengendalian
sungai
Sosialisasi
3.946,21 100 RTH; Pemeliharaan,
10 Mamosalata Tanasumpu Tanasumpu <10 Penghijauan pengawasan,
Tanggul pengendalian
1.617,10 ≥ 15 sungai
Keterangan: SS = Sempadan Sungai; *) sungai memiliki tanggul.
81
pertanian dan pinggiran kawasan perkotaan perlu segera
dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan bambu,
karena terdapat beberapa lokasi telah diolah menjadi lahan
pertanian (sawah dan tegalan) hingga dibibir sungai.
5. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Mori Utara
(Mayumba)
Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Mayumba) Sungai Laa dan Sungai Mayumba yang melintasi
kawasan lahan pertanian dan pinggiran kawasan perkotaan perlu
segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan
bambu, karena terdapat beberapa lokasi telah diolah menjadi
lahan pertanian (tegalan) dan berupa tutupan vegetasi semak
belukar hingga dibibir sungai.
6. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Lembo (Beteleme)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Beteleme) Sungai Laa yang melintasi pinggiran permukiman
(1.214,67 m) perlu segera dibangun tanggul karena tidak
sedikit bangunan berada hingga dibibir sungai. Dengan
tersedianya tanggul maka yang dibebaskan dari bibir sungai
hanya 3 m, namun apabila sungai tidak bertanggul maka yang
dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area terbangun.
c. Sempadan sungai di Desa Beteleme sebagian besar telah
terolah untuk lahan sawah dan tegalan.
d. Perlu segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-
kayuan dan bambu.
7. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Lembo Raya
(Petumbea)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Petumbea) Sungai Tambalako yang melintasi pinggiran
permukiman (449,30 m) perlu segera dibangun tanggul karena
terdapat bangunan di pusat desa berada hingga dibibir sungai.
Dengan tersedianya tanggul maka yang dibebaskan dari bibir
sungai hanya 3 m, namun apabila sungai tidak bertanggul
maka yang dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area terbangun.
c. Sempadan sungai di Desa Petumbea sebagian besar telah
terolah untuk lahan tegalan dan tutupan vegetasi semak
belukar.
82
d. Perlu segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-
kayuan dan bambu.
8. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Soyo Jaya (Lembah
Sumara)
Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Lembah Sumara) Sungai Tambayoli yang melintasi kawasan lahan
pertanian dan pinggiran kawasan permukiman perlu segera
dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan bambu,
karena sebgian besar daerah sempadan sungai berupa lahan
sawah dan tegalan serta tutupan lahan berupa vegetasi
rerumputan dan semak belukar hingga dibibir sungai.
9. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Bungku Utara
(Baturube)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Baturube) Sungai Baturube yang melintasi kawasan
permukiman (741,24 m) perlu segera dibangun tanggul karena
terdapat bangunan di pusat desa berada hingga dibibir sungai.
Dengan tersedianya tanggul maka yang dibebaskan dari bibir
sungai hanya 3 m, namun apabila sungai tidak bertanggul
maka yang dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area terbangun.
c. Sempadan sungai Tirongan (648,65 m) di Desa Baturube
sebagian besar masih berupa tutupan vegetasi pepohonan
hutan, namun terdapat lokasi dengan tutupan lahan berupa
semak belukar dan tanah terbuka. Karena itu, perlu segera
dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-kayuan dan
bambu.
10. RTH sempadan sungai di ibu kota Kecamatan Mamosolato
(Tanasumpu)
a. Untuk kawasan permukiman di ibu kota kecamatan (Desa
Tanasumpu) Sungai Tanasumpu yang melintasi pinggiran
permukiman (1.617,10 m) perlu segera dibangun tanggul
karena belokan-belokan sungai akan mengikis kawasan
permukiman. Dengan tersedianya tanggul maka yang
dibebaskan dari bibir sungai hanya 3 m, namun apabila
sungai tidak bertanggul maka yang dibebaskan minimal 15 m.
b. Pembangunan tanggul-tanggul sungai di kawasan perkotaan
dipriotaskan pada area rawan penggerusan lahan
permukiman.
c. Sempadan sungai di Desa Tanasumpu sebagian besar telah
terolah menjadi lahan sawit dan tegalan serta di beberapa
83
tempat dengan tutupan vegetasi semak belukar dan
rerumputan.
d. Perlu segera dilakukan pengkayaan tanaman seperti kayu-
kayuan dan bambu.
Pemanfaatan daerah sempadan sungai yang berfungsi budidaya
dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan:
a) Budidaya pertanian rakyat.
b) Kegiatan penimbunan sementara hasil galian tambang golongan
C.
c) Papan penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu
pekerjaan.
d) Pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telpon, dan pipa air
minum.
e) Pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan.
f) Penyelenggaraan kegiatan yang bersifat sosial, keolahragaan,
pariwisata dan kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak
merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik
sungai dan danau.
g) Pembangunan prasarana lalu lintas air, bangunan pengambilan
dan pembuangan air.
Untuk menghindari kerusakan dan gangguan terhadap kelestarian
dan keindahan sungai, maka aktivitas yang dapat dilakukan pada
RTH sempadan sungai sebagai berikut:
a) Memantau tutupan vegetasi dan kondisi wilayah DAS agar lahan
tidak mengalami penurunan.
b) Mengamankan kawasan sempadan sungai, serta tutupan vegetasi
di sempadan sungai, dipantau dengan menggunakan metode
pemeriksaaan langsung dan analisis deskriptif komparatif. Tolak
ukur 100 m di kanan kiri sungai dan 50 m kanan kiri anak
sungai.
c) Menjaga kelestarian konservasi dan aktivitas perambahan,
keanekaragaman vegetasi terutama jenis unggulan lokal dan
bernilai ekologi dipantau dengan metode kuadrat dengan jalur
masing-masing lokasi 2 km menggunakan analisis vegetasi yang
diarahkan pada jenis-jenis flora yang bernilai sebagai tumbuhan
obat.
d) Memantau fluktuasi debit sungai maksimum.
e) Aktivitas memantau, menghalau, menjaga dan mengamankan
harus diikuti dengan aktivitas melaporkan pada instansi
berwenang dan yang terkait sehingga pada akhirnya kawasan
sempadan sungai yang berfungsi sebagai RTH terpelihara dan
lestari selamanya.
84
c) RTH Sempadan Pantai
RTH sempadan pantai memiliki fungsi utama sebagai pembatas
pertumbuhan permukiman atau aktivitas lainnya agar tidak
menggangu kelestarian pantai. RTH sempadan pantai merupakan
area pengaman pantai dari kerusakan atau bencana yang
ditimbulkan oleh gelombang laut seperti intrusi air laut, erosi,
abrasi, tiupan angin kencang dan gelombang tsunami. Lebar RTH
sempadan pantai minimal 100 m dari batas air pasang tertinggi ke
arah darat. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas
90% - 100%.
Fasilitas dan kegiatan yang diizinkan harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a) Tidak bertentangan dengan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.
b) Tidak menyebabkan gangguan terhadap kelestarian ekosistem
pantai, termasuk gangguan terhadap kualitas visual.
c) Pola tanam vegetasi bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi,
erosi, melindungi dari ancaman gelombang pasang, wildlife
habitat dan meredam angin kencang.
d) Pemilihan vegetasi mengutamakan vegetasi yang berasal dari
daerah setempat.
Formasi Hutan Mangrove sangat baik sebagai peredam ombak dan
dapat membantu proses pengendapan lumpur. Beberapa jenis
tumbuhan di ekosistem mangrove antara lain: Avicenia spp,
Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Lumnitzera spp,
Excoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras sp, dan Nypa sp.
Khusus untuk RTH sempadan pantai yang telah mengalami intrusi
air laut atau merupakan daerah payau dan asin, pemilihan vegetasi
diutamakan dari daerah setempat yang telah mengalami
penyesuaian dengan kondisi tersebut. Asam Landi (Pichelebium
dulce) dan Mahoni (Switenia mahagoni) relatif lebih tahan jika
dibandingkan Kesumba, Tanjung, Kiputri, Angsana, Trengguli, dan
Kuku.
Pada Tabel 33 berikut disajikan daerah sempadan pantai (termasuk
mangrove) pada empat wilayah ibu kota kecamatan di Kabupaten
Morowali Utara.
Kondisi
Ibu Kota RTH Sempadan Pantai Program Kegiatan
No Kecamat Eksisting
Kecamata
. an Panjan Leba Luas Mang- Mang- Jangka Jangka
n Pantai
g (m) r (m) (ha) rove rove Pendek Panjang
85
(ha)
NGV 1 =
115,14 Hutan Sosialisasi Pemelihara
MGV 2 = pantai Tutupa RTH; an,
SP =
Petasia Bungintim 122,79 & n Penghijaua pengawasa
1 4.221,7 100 -
Timur be MGV 3 = Lahan jarang- n/ n,
7 Rehabilitas pengendali
24,74 terbuk sedang
MGV 4 = a i mangrove an
15,83
SP3
- - = - - Sosialisasi
Kolonodal 0,31 Hutan RTH;
e SP4 pantai Penghijaua
n Pemelihara
- - = - - an,
0,68 pengawasa
2 Petasia Bahontula - - - - - - - n,
SP1 = Sosialisasi pengendali
100 - RTH;
125,36 Lahan Tutupa an
MGV = Penghijaua
Bahoue terbuk n
SP2 = 4,85 n;
100 - a jarang Rehabilitas
384,69
i mangrove
SP1 = Pemelihara
Pepoho
1.054,0 100 - - - Sosialisasi an,
-nan &
Bungku 3 RTH; pengawasa
3 Baturube Lahan
Utara SP2 = Penghijaua n,
terbuk n pengendali
1.728,4 100 - - -
a an
5
SP1 = MGV 1 = Sosialisasi Pemelihara
100 - Tutupa RTH; an,
923,99 20,47 Lahan
Mamosal Tanasump n Penghijaua pengawasa
4 SP2 = terbuk
ata u MGV 2 = jarang- n; n,
1.627,6 100 - a Rehabilitas pengendali
69,09 sedang
4 i mangrove an
Keterangan: SP = Sempadan Pantai; MGV = Mangrove..
86
6) Khusus untuk kawasan pantai berhutan bakau harus
dipertahankan sesuai ketentuan dalam Keppres No. 32 Tahun
1990.
87
3) Pada lokasi RTH sempadan pantai di Kelurahan Kolonodale dan
Bahoue Kecamatan Petasia terdiri atas dua tipe ekosistem, yaitu
ekosistem mangrove dan ekosistem pantai.
a) Pada ekosistem mangrove yang masih ditumbuhi vegetasi
mangrove dengan tutupan jarang, dilakukan rehabilitasi hutan
mangrove dalam bentuk pengkayaan tanaman dengan jenis
dari kelompok Rhizophora sp, dan Bruguiera sp.
b) Pada ekosistem pantai dengan tutupan lahan terbuka dan
hutan pantai dapat dari jenis tanaman lokal yang banyak
tumbuh di sekitar lokasi seperti: Kelapa (Cocos nucifera),
Ketapang (Terminalia catappa), Waru (Hibiscus spp.), Cemara
laut (Casuarina spp.), Nangka (Artocarpus altilis), dll.
4) Pada lokasi RTH sempadan pantai di Desa Bungintimbe
Kecamatan Petasia Timur terdiri atas dua tipe ekosistem, yaitu
ekosistem mangrove dan ekosistem pantai.
a) Pada ekosistem mangrove yang masih ditumbuhi vegetasi
mangrove dengan tutupan jarang-sedang, dilakukan
rehabilitasi hutan mangrove dalam bentuk pengkayaan
tanaman dengan jenis dari kelompok Rhizophora sp, dan
Bruguiera sp.
b) Pada ekosistem pantai dengan tutupan lahan terbuka, hutan
pantai dan mangrove dapat dari jenis tanaman lokal yang
banyak tumbuh di sekitar lokasi seperti: Kelapa (Cocos
nucifera), Ketapang (Terminalia catappa), Waru (Hibiscus spp.),
Cemara laut (Casuarina spp.), Rhizophora spp, Avicennia spp,
dan Sonneratia spp., Asam Landi (Pichelebium dulce) dan
Mahoni (Switenia spp.), dll.
88
Tabel 34. RTH Sempadan Danau dan Mata Air
Dimensi
No. Jenis RTH Pemanfaatan
Sempadan
a) Jaringan utilitas
b) Budidaya pertanian rakyat
c) Kegiatan penimbunan sementara hasil galian
tambang golongan C.
d) Papan penyuluhan dan peringatan, serta
rambu-rambu pekerjaan.
e) Pemasangan rentangan kabel listrik, kabel
telpon, dan pipa air minum.
Minimal 50 m
f) Pemancangan tiang atau pondasi prasarana
dari
1. Danau/Waduk jalan/jembatan.
titik pasang
g) Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang
tertinggi
bersifat sosial, keolahragaan, pariwisata dan
kemasyarakatan yang tidak menimbulkan
dampak merugikan bagi kelestarian dan
keamanan fungsi serta fisik sungai dan
danau.
h) Pembangunan prasarana lalu lintas air,
bangunan pengambilan dan pembuangan
air.
a) Ruang terbuka hijau dengan aktivitas sosial
terbatas penekanan pada kelestarian
sumberdaya airnya.
2. Mata Air Radius 200 m
b) Luas ruang terbuka hijau minimal 90%
dengan dominasi pohon tahunan yang
diizinkan.
Sumber: Peraturan Menteri PU No.: 05/PRT/M/2008
Pada Tabel 35 tampak bahwa potensi sumber air baku/mata air pada
sepuluh ibu kota kecamatan di wilayah Kabupaten Morowali Utara
sebagian besar bersumber dari air permukaan dari sungai-sungai
yang ada di wilayah ibu kota kecamatan. Sumber air permukaan dari
danau hanya terdapat di ibu kota kecamatan (Desa Tiu) Kecamatan
Petasia Barat yaitu Danau Tiu. Sedangkan potensi air tanah karena
kawasannya merupakan Cekungan Air Tanah (CAT), hanya ada di
wilayah ibu kecamatan (Desa Tiu) Kecamatan Petasia Barat yaitu CAT
Tomori, dan ibu kota kecamatan (Desa Baturube) Bungku Utara yaitu
CAT Morowali.
Program kegiatan dalam rangka pembangunan RTH sumber air
baku/ mata air dalam sepuluh tahun ke depan dengan program
kegiatan jangka pendek berupa: Kegiatan sosialisasi RTH yang diikuti
dengan pengukuran, pemancangan pal batas dan pemetaan lokasi
RTH, serta pelaksanaan penghijauan di daerah sempadan sesuai
ketentuan yang berlaku. Selanjutnya pada program jangka panjang
diarahkan pada kegiatan pemeliharaan, pengawasan dan
pengendalian pengelolaan RTH sempadan sumber air baku/mata air.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyelenggaraan RTH sempadan sumber air baku/mata air,
khususnya pemilihan jenis tanaman penghijauan sebagai berikut:
a) Relatif tahan terhadap penggenangan air.
b) Daya transpirasi rendah.
c) Memliki sistem perakaran yang kuat dan dalam, sehingga dapat
menahan erosi dan meningkatkan infiltasi (resapan) air.
Vegetasi/tumbuhan ideal yang ditanam pada RTH pengaman sumber
air merupakan vegetasi yang tidak mengkonsumsi banyak air atau
yang memiliki daya transpirasi yang rendah. Beberapa tanaman yang
memiliki daya transpirasi yang rendah menurut Manan (1976) dan
Kurniawan (1993) diantarnya: Cemara Laut (Casuarina equisetifolia),
Karet munding (Ficus elastica), Manggis (Garcinia mangostana),
Bungur (Lagerstroemia speciosa), Kelapa (Cocos nucifera), Damar
(Agathis loranthifolia), dan Kiara Payung (Filicium decipiens).
e) RTH Pemakaman
Penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) pada areal pemakaman
disamping memiliki fungsi utama sebagai tempat penguburan
jenasah juga memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai daerah resapan
air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, pencipta iklim
mikro serta tempat hidup burung serta fungsi sosial masyarakat
disekitar seperti beristirahat dan sebagai sumber pendapatan.
90
Pada Tabel 36 berikut diuraikan kondisi eksisting pemakaman dan
rencana pembangunan RTH pemakaman dalam sepuluh tahun ke
depan pada sepuluh ibu kota kecamatan di Kabupaten Morowali
Utara.
91
Pada Gambar 16 berikut disajikan contoh model pola penanaman
pada RTH pemakaman.
a. Perencanaan RTH
Perencanaan RTH dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang
diawali dengan penyusunan dan analisis data/informasi
pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH). Dari hasil ini dilanjutkan
dengan proses pengadaan lahan dan perancangan teknik RTH.
Pada proses pengadaan lahan dilakukan kegiatan berupa
pengukuran, pemancangan batas dan pemetaan lokasi RTH.
Mengacu pada hasil tersebut, dilanjutkan dengan perancangan
teknik RTH yang meliputi pembuatan disain tapak (site plan),
perencanaan kegiatan dan anggaran biaya serta penjadwalan
pelaksanaan pembangunan RTH.
Peruntukan penyediaan RTH mengacu pada Rencana Tata Ruang
Kabupaten (RTRWK), serta produk perencanaan tata ruang lainnya
yang telah tersedia seperti RTR Kawasan Perkotaan, RTR Kawasan
Strategis Kota/Rencana Induk RTH yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah setempat.
92
b. Pelaksanaan Pembangunan RTH
Penyediaan dan pemanfaatan RTH yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah kabupaten adalah RTH publik yang dalam
implementasinya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku. RTH publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh
pemerintah daerah kabupaten yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum.
94
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
mewujudkan penghijauan antara lain: Dalam lingkup kegiatan
pembangunan RTH (yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian), hal ini ditujukan pada tahap pemanfaatan ruang
terbuka hijau, dimana rencana pembangunannya akan disusun dan
ditetapkan. Pada Gambar 17 berikut disajikan pelibatan masyarakat
pada pemanfaatan dan pengendalian RTH.
95
c) Mengisi seoptimal mungkin lahan pekarangan, berm dan lahan
kosong lainnya dengan berbagai jenis tanaman, baik ditanam
langsung maupun ditanam dalam pot.
d) Turut serta secara aktif dalam komunitas masyarakat pecinta
RTH.
Peran Individu/Kelompok
96
g) Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan
dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa
pengecualian.
Peran Swasta
Lembaga/Badan Hukum
97
Lembaga atau badan hukum yang dimaksud merupakan organisasi
non-pemerintah, atau organisasi lain yang serupa berperan utama
sebagai perantara, pendamping, menghubungkan masyarakat dengan
pemerintah dan swasta, dalam rangka mengatasi kesenjangan
komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat serta
akses masyarakat ke sumberdaya.
Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan organisasi non-pemerintah antara lain:
a) Membentuk sistem mediasi dan fasilitasi antara pemerintah,
masyarakat dan swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi
dan informasi pembangunan ruang terbuka hijau.
b) Menyelenggarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan
pendapat atau kepentingan antara pihak yang terlibat.
c) Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan
penjelasan mengenai proses kerjasama antara pemerintah,
masyarakat dan swasta serta mengenai proses pengajuan keluhan
dan penyelesaian konflik yang terjadi.
ttd
APTRIPEL TUMIMOMOR
99
SALINAN
TENTANG
1
4. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5380);
5. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan Nomor
188/MENKES/PB/I/2011 dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kawasan Tanpa Rokok (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 49);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor
1 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok
(Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara Tahun
2016 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 017);
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
5. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.
6. Tempat proses belajar mengajar adalah gedung yang digunakan untuk
kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan.
7. Tempat anak bermain adalah area tertutup maupun terbuka yang
digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.
8. Tempat ibadah adalah bangunan atau tempat tertutup yang memiliki
ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi
para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak
termasuk tempat ibadah keluarga.
9. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat
berupa kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi.
10. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau
terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang
dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha.
11. Tempat umum adalah sarana yang dapat digunakan oleh seluruh
lapisan masyarakat untuk berbagai kegiatan.
12. Pengelola, pimpinan dan/atau badan yang karena jabatannya
memimpin dan/atau bertanggungjawab atas kegiatan dan/atau usaha
di tempat atau kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa
rokok, baik milik pemerintah maupun swasta.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, komanditer, perseroan yang
lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, persekutuan, yayasan,
organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi yang sejenis,
lembaga dan pension, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan
lainnya.
14. Daerah adalah Kabupaten Morowali Utara.
15. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
16. Bupati adalah Bupati Morowali Utara
17. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Morowali
Utara
18. Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat PD adalah Perangkat
Daerah di Lingkungan Daerah Kabupaten Morowali Utara.
3
BAB II
KAWASAN TANPA ROKOK
Pasal 2
KTR meliputi:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lainnya yang ditetapkan.
Pasal 3
Pasal 4
4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
5
c. rumah makan;
d. jasa boga;
e. terminal;
f. pelabuhan;
g. pasar;
h. pusat perbelanjaan;
i. minimarket;
j. supermarket;
k. department store;
l. hypermarket;
m. mall;
n. plaza;
o. pertokoan;
p. bioskop;
q. tempat wisata;
r. stasiun;
s. sarana olahraga; dan
t. tempat umum lainnya.
Pasal 10
Pasal 11
BAB III
TEMPAT KHUSUS MEROKOK
Pasal 12
6
(2) Tempat khusus merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki persyaratan:
a. merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan
langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersikulasi
dengan baik;
b. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang
digunakan untuk beraktifitas;
c. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan
d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang.
Pasal 13
BAB IV
KEWAJIBAN DAN LARANGAN PENGELOLA, PIMPINAN,
DAN/ATAU PENANGGUNGJAWAB KAWASAN TANPA ROKOK
Pasal 14
BAB V
BENTUK DAN ISI TANDA LARANGAN MEROKOK
Pasal 15
(1) Bentuk dan besaran tanda larangan merokok yang dimaksud dalam
Pasal 14 huruf c adalah:
7
a. diluar gedung (baliho) ukuran 2 m x 4 m. Dipasang dipintu pagar
masuk (untuk KTR sarana kesehatan dan sarana pendidikan dan
tempat ibadah); dan
b. didalam gedung (stiker) ukuran 18 cm x 30 cm. Dipasang dipintu
gedung dan dalam ruangan didalam gedung.
(2) Bentuk dan besaran tanda larangan merokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 18
Pasal 19
(1) Setiap orang dapat ikut serta memberikan bimbingan dan penyuluhan
dampak rokok bagi kesehatan kepada keluarga dan/atau
lingkungannya.
(2) Setiap warga masyarakat dapat memberikan bantuan bantuan sarana
dan prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan KTR.
(3) Setiap warga masyarakat berkewajiban ikut serta memelihara dan
meningkatkan kualitas udara yang sehat dan bersih serta bebas dari
asap rokok.
(4) Setiap warga masyarakat wajib mengingatkan setiap orang yang
melanggar ketentuan Pasal 15.
(5) Setiap warga masyarakat wajib melaporkan setiap orang yang terbukti
melanggar Pasal 15 kepada pimpinan/penanggungjawab KTR.
8
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 06 Mei 2021
TTD
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 06 Mei 2021
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,
TTD
MUSDA GUNTUR
BETSI A POMBALAWO, SH
NIP. 19780121 200604 2 027
9
LAMPIRAN
PERATURAN BUPATI MOROWALI UTARA
NOMOR 10 TAHUN 2021
TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN
MOROWALI UTARA NOMOR 1 TAHUN
2016 TENTANG KAWASAN TANPA
ROKOK
A. BALIHO
KETENTUAN PIDANA
10
TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEROKOK
DI KAWASAN TANPA ROKOK
B. STIKER
Pasal (17) : Setiap pengelola KTR yang tidak melakukan pengawasan internal
membiarkan orang merokok, tidak menyingkirkan asbak atau sejenisnya, dan
tidak memasang tnda-tanda dilarang merokok ditempat area yang dinyatakan
sebagai KTR dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) hari
atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(ukuran 18 cm x 30 cm)
11
BUPATI MOROWALI UTARA,
TTD
12
SALINAN
TENTANG
1
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi
Sulawesi Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5414);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2013 tentang
Pemberdayaan Peternak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5391);
5. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Utara Nomor 6
Tahun 2018 tentang Penertiban Hewan Ternak
(Lembaran Daerah Kabupaten Morowali Utara
Tahun 2018 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Morowali Utara Nomor 39);
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
TATA CARA REGISTRASI TERNAK
Pasal 3
Pasal 4
Sasaran registrasi dan pengartuan ternak adalah ternak besar, ternak kecil
dan ternak unggas untuk semua jenis umur dan jenis kelamin.
Pasal 5
(1) Obyek registrasi dan pengartuan ternak adalah ternak besar, ternak
kecil dan ternak unggas.
(2) Subyek registrasi dan pengartuan ternak adalah orang dan/atau badan
hukum pemilik ternak besar.
(3) Registrasi dan pengartuan ternak dilaksanakan 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
Pasal 6
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memiliki ternak besar harus
melaksanakan registrasi dan pengartuan ternak.
4
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
5
(6) Pengesahan dan pemberian kartu ternak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf e, dilakukan oleh Kepala Desa/Lurah.
(7) Kartu ternak diberikan kepada pemilik ternak setelah pelaksanaan
registrasi dan pengartuan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), ayat (4) dan ayat (6) selesai dilakukan, dan dicatat dalam buku
bukti pengembalian kartu ternak.
(8) Seluruh kegiatan registrasi dan pengartuan ternak tidak dipungut biaya.
Pasal 10
(1) Agar ternak tidak berkeliaran maka setiap pemilik ternak wajib memiliki
kandang.
(2) Peternak diharuskan menanam hijauan pakan ternak bagi mereka yang
memiliki ternak besar dan ternak kecil.
(3) Peternak hanya diperbolehkan memelihara ternak sesuai kapasitas
kandang dan hijauan pakan yang tersedia.
(4) Bagi peternak atau kelompok peternak yang memiliki lahan yang luas,
maka lahan tersebut dapat dijadikan padang penggembalaan dengan
syarat lahan tersebut dipagar keliling.
(5) Bagi desa yang memiliki lahan milik desa, maka lahan tersebut dapat
dijadikan padang penggembalaan desa yang dapat digunakan oleh
masyarakat desa setempat.
BAB III
TATA CARA GANTI RUGI
Pasal 11
Pasal 12
6
(2) Penyelesaian biaya penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, Lembaga Adat ataupun
Aparat Kelurahan/Desa.
(3) Hasil kesepakatan biaya penggantian kerugian dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak, saksi serta 2 (dua) orang yang
terdiri dari komponen lembaga adat dan pemerintah setempat.
(4) Apabila musyawarah/mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, maka kedua belah pihak menyelesaikan sesuai dengan
prosedur hukum yang berlaku.
BAB IV
TATA CARA PENYETORAN, PENGELOLAAN DAN BESARANNYA TERHADAP
TERNAK YANG DITANGKAP OLEH PETUGAS
Pasal 13
Ternak yang ditangkap oleh petugas dapat diambil oleh pemiliknya setelah
membayar :
a. biaya penangkapan sebagai berikut :
1. ternak besar Rp. 35.000/ekor
2. ternak kecil Rp. 15.000/ekor
b. biaya pemeliharaan sebagai berikut :
1. ternak besar Rp. 15.000/ekor/hari
2. ternak kecil Rp. 5.000/ekor/hari
c. biaya pelayanan kesehatan sebagai berikut :
1. ternak besar Rp.150.000/ekor
2. ternak kecil Rp. 50.000/ekor
Pasal 14
7
c. biaya operasional pemeliharaan 50% (lima puluh per seratus).
3. biaya pelayanan kesehatan :
Untuk petugas 100% (seratus per seratus).
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Ditetapkan di Kolonodale
pada tanggal 18 Agustus 2021
BUPATI MOROWALI UTARA,
TTD
Diundangkan di Kolonodale
pada tanggal 18 Agustus 2021
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MOROWALI UTARA,
TTD
MUSDA GUNTUR
BETSI A POMBALAWO, SH
NIP. 19780121 200604 2 027
8
BAGIAN 3
( Standar Operasional Prosedur Penegakan Satuan Polisi Pamong
Praja )
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SATUAN POLISI PAMONG
BIDANG TRANTIBUM
2. Ketentuan Pelaksanaan:
a. Umum
Persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap petugas Pembina dalam operasi
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah:
1) Harus memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan tentang Peraturan
Daerah, Peraturan Bupati dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya;
2) Dapat menyampaikan maksud dan tujuan bahasa indonesia yang baik
dan benar, atau dapat juga dengan bahasa daerah;
3) Menguasai teknik penyampaian informasi dan presentasi yang baik;
4) Berwibawa, penuh percaya diri dan bertanggung jawab;
5) Harus dapat menarik simpati masyarakat;
6) Bersedia menerima saran dan kritik dari masyarakat serta mampu
mengidentifikasi masalah dan memberikan alternatif pemecahan
masalah tanpa mengurangi tugas pokok;
7) Petugas ketertiban umum dan ketentraman masyarakat harus memiliki
sifat:
a) Ulet dan tahan uji;
b) Dapat memberikan jawaban yang memuaskan kepada semua pihak
terutama yang menyangkut tugas pokok;
c) Mampu membaca situasi;
d) Memiliki suri tauladan dan dapat dicontoh oleh aparat pemerintah
daerah lainnya; dan
e) Ramah, sopan, santun dan menghargai pendapat orang lain.
b. Khusus
Pengetahuan dasar yang harus memiliki oleh petugas Satpol PP dalam
melaksanakan tugas menyelenggarakan Ketertiban Umum dan
Ketentraman Masyarakat adalah:
1) Pengetahuan tentang petugas pokok Polisi Pamong Praja khususnya dan
Pemerintahan Daerah umumnya;
2) Pengetahuan dasar hukum dan Peraturan Perundangan-Undangan;
3) Mengetahui dasar hukum pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong
Praja;
4) Memahami dan menguasai adat istiadat kebiasaan yang berlaku di
daerah; dan
5) Mengetahui dan memahami dasar pengetahuan dan dasar hukum
pembinaan Ketentraman dan Ketertiban Umum;
3. Perlengkapan dan peralatan:
a. Surat perintah tugas (dalam setiap kegiatan);
b. Kartu tanda anggota;
c. Kelengkapan pakaian dinas lapangan (PDL);
d. Kendaraan operasional yang terdiri dari kendaraan roda
empat atau lebih dan roda dua sesuai standar Satpol PP;
e. Perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K);
f. Alat pelindung diri seperti topi lapangan, helm, tameng; dan
g. Alat perlengkapan lainnya yang mendukung kelancaran
pembinaan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat;
Adapun bentuk dan metode dalam rangka pembinaan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu:
a. Formal
1) Sasaran perorangan:
a) Pembinaan dilakukan dengan cara mengunjungi anggota masyarakat
yang telah ditetapkan sebagai sasaran untuk memberikan arahan dan
himbauan tentang arti pentingnya ketaatan terhadap Peraturan Daerah
dan Peraturan Bupati; dan
b) Mengundang/memanggil anggota masyarakat yang telah melanggar
Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati untuk diberikan arahan dan
pembinaan bahwa perbuatan yang telah dilakukan mengganggu
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
2) Sasaran kelompok:
Pembinaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dilakukan
dengan dukungan fasilitas dari Pemerintah Daerah melalui koordinasi
dengan instasi terkait, serta menghadirkan masyarakat di suatu tempat
yang ditetapkan sebagai sasaran dan Narasumber membahas arti
pentingnya peningkatan ketaatan dan kepatuhan terhadap Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati guna memelihara ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat.
b. Informal
Seluruh anggota Polisi Pamong Praja mempunyai kewajiban moral untuk
menyampaikan informasi dan himbauan yang terkait dengan Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati kepada masyarakat. Metode pembinaan yang
dilakukan adalah dengan cara asah, asih dan asuh antara aparat
penertiban dengan masyarakat dalam rangka peningkatan ketaatan dan
kepatuhan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati.
9. Pembinaan:
a. Pembinaan tertib pemerintahan:
1) Melaksanakan piket secara bergiliran;
2) Memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap pengamanan kantor;
3) Memberikan/memfasilitasi bimbingan dan pengawasan serta
membentuk pelaksanaan siskamling bagi desa dan kelurahan;
4) Memberikan bimbingan dan pengawasan ketertiban wilayah;
5) Melaksanakan pengawasan dan pemantauan terhadap implementasi
peraturan perundang-undangan;
6) Memberikan pengamanan tehadap usaha/kegiatan yang dilakukan
secara massal, untuk mencegah timbulnya gangguan ketenteraman dan
ketertiban umum;
7) Mencegah timbulnya kriminalitas;
8) Mengadakan pemeriksaan dan penertiban terhadap bangunan dan
tempat usaha tanpa izin;
9) Menyelesaikan sengketa dalam masyarakat; dan
10) Melakukan berbagai usaha dan kegiatan sektoral lainnya yang
perlukan.
b. Pembinaan tertib lingkungan:
1) Memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap pelestarian
lingkungan;
2) Memberikan bimbingan dan pengawasan mengenai pengendalian dan
penanggulangan sampah, kebersihan lingkungan dengan sasaran pusat-
pusat kegiatan masyarakat seperti pasar;
3) Memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap usaha dan kegiatan
yang mengandalkan lingkungan untuk menghasilkan barang produksi; dan
4) Melakukan usaha dan kegiatan penanggulangan bencana alam.
c. Pembinaan tertib sosial:
1) Preventif melalui penyuluhan, bimbingan, latihan, pemeberian bantuan
pengawasan serta pembinaan kepada perorangan maupun kelompok
masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan,
pengemis dan wts;
2) Refresif melalui razia, penampungan sementara untuk mengurangi
gelandangan, pengemisdan wts baik kepada perorangan maupun
kelompok masyarakat yang disangka sebagai gelandangan, pengemis
dan wts;
3) Rehabilitasi meliputi penampungan, pengaturan, pendidikan, pemulihan
kemampuan dan penyaluran kembali kekampung halaman untuk
mengembalikan peran meraka sebagai warga masyarakat;
4) Mengadakan penertiban agar aktifitas pasar dapat berjalan lancar, aman,
bersih dan tertib;
5) Memonitor dan memberikan motivasi dan pengawasan terhadap
warung, toko dan rumah makan yang melakukan kegiatannya tanpa
dilengkapi dengan izin usaha;
6) Melakukan kerjasama dengan dinas/instansi terkait dan aparat
keamanan serta ketertiban kawasan parkir;
7) Melakukan pengawasan dan penertiban terhadap para pelanggar
peraturan daerah, peraturan bupati dan produk hukum lainnya;
dan
8) Melakukan pembinaan mengenai peningkatan kesadaran masyarakat
dalam membayar pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah
daerah.
10. Administrasi:
a. Persiapan:
1)Penetapan sasaran, waktu dan objek yang akan diberikan pembinaan;
2)Penetapan tempat, bentuk dan metode pembinaan;
3)Mengadakan survey lapangan;
4)Mengadakan koordinasi dengan dinas/instansi terkait;
5)Penyiapan administrasi pembinaan seperti daftar hadir, surat perintah,
surat teguran dan surat panggilan terhadap masyarakat yang
melakukan pelanggaran peraturan perundang- undangan; dan
6) Pimpinan kegiatan memberikan arahan dan menjelaskan maksud dan
tujuan kepada anggota tim yang bertugas melakukan pembinaan.
b. Pelaksanaan:
1) Sebelum menuju sasaran bagi anggota satpol pp yang bertugas
melakukan pembinaan terlebih dahulu memeriksa kelengkapan
administrasi, peralatan dan perlengkapan yang akan dibawa;
2) Pelaksanaan pembinaan ketertiban umum dan ketenteramanmasyarakat
yang berhubungan dengan lingkup tugas, perlu dikoordinasikan dengan
dinas/instansi terkait;
3) Bentuk koordinasi ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
di daerah dilakukan sesuai dengan keperluan:
a) Melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait;
b) Koordinasi pelaksanaan; dan
c) Penerapan sanksi kepada pelanggar sesuai dengan kewenangan.
4) Pembinaan yang dilakukan melalui panggilan resmi maupun surat
teguran, setelah ditandatangani oleh penerima, maka petugas segera
menjelaskan maksud dan tujuan panggilan. Pemberian teguran
tersebut satu diserahkan kepada si penerima dan satu lagi sebagai arsip
untuk memudahkan pengecekan;
5) Pembinaan yang dilakukan secara tatap muka atau wawancara, bagi
petugas pembina harus mempedomani teknik-teknik berkomunikasi
dengan memperhatikan sikap dan sopan santun dalam berbicara; dan
6) Pembinaan yang dilakukan melalui forum disesuaikan dengan maksud
dan tujuan pertemuan tersebut dengan dibuatkan notulen.
c. Evaluasi :
1) Setelah pelaksanaan kegiatan pembinaan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat, baik yang dilakukan secara rutin, insidentil
maupun operasi gabungan segera melaporkannya kepada kepala
satpol pp dan dari kepala satpol pp meneruskan kepada bupati;
2) Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan operasi dan menjelaskan tentang
hambatan yang ada kepada kepala satpol pp dan atau yang
memerintahkannya; dan
3) Menyusun laporan hasil pelaksanaan kegiatan sekaligus dengan hasil
evaluasinya.
B. Penanganan Unjuk Rasa Dan Kerusuhan Massa
1. Ruang lingkup:
a. Unjuk rasa dalam keadaan damai:
Unjuk rasa dapat berupa demonstrasi, pawai, rapat umum, ataupun
mimbar bebas. Unjuk rasa umumnya telah diberitahukan terlebih dahulu
kepada pihak kepolisian. Selanjutnya dari pihak kepolisian
memberitahukan kepada kepala satpol pp setempat.
b. Kerusuhan massa:
Keadaan yang dikategorikan kerusuhan massa adalah:
1) Massa perusuh telah dinilai melakukan tindakan yang sangat
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta
melakukan kekerasan yang membahayakan keselamatan jiwa, harta dan
benda antara lain:
a) Merusak fasilitas umum dan instalasi pemerintah;
b) Melakukan pembakaran benda-benda yang mengakibatkan
terganggunya arus lalu lintas; dan
c) Melakukan kekerasan terhadap orang/masyarakat lain.
2) Massa perusuh menunjukan sikap dan tindakan yang melawan perintah
petugas/aparat pengamanan antara lain:
a) Melewati garis batas yang telah diberikan petugas; dan
b) Melakukan tindakan kekerasan/anarkis kepada petugaspengamanan.
2. Pelaksanaan:
a. Penanganan unjuk rasa dalam keadaan damai:
1) Persiapan
a) Memakai pakaian dinas lapangan (pdl);
b) Menyiapkan perlengkapan yang diperlukan :
(1) Perlengkapan perorangan: helm, pentungan, borgol, tameng dan
dapat diperlengkapi dengan senjata api (sesuai peraturan yang
berlaku) bagi yang mempunyai izin;dan
(2) Kendaraan khusus dilengkapi dengan perlengkapan yang
diperlukan.
c) Menyiapkan daftar tim yang bertugas dan surat perintah pengamanan;
d) Komandan operasi memberikan arahan singkat perihal:
(1) Lokasi;
(2) Rute yang ditempuh;
(3) Situasi yang mungkin dihadapi; dan
(4) Tindakan yang dibenarkan untuk dilakukan.
2) Pelaksanaan
a) Koordinasi
Kepala satpol pp melaporkan/memberitahukan kepada bupati dan
komandan operasi melakukan koordinasi dengan aparat pengamanan
lainnya dilapangan seperti dengan pihak kepolisian atau aparat
lainnya tentang:
(1) Jumlah massa yang melakukan unjuk rasa;
(2) Rute yang akan dilalui;
(3) Kegiatan yang dibenarkan dilakukan pengunjuk rasa;
(4) Waktu yang disediakan; dan
(5) Lokasi unjuk rasa.
b. Isolasi:
(1) Anggota operasi satpol pp bersama pihak kepolisian untuk
memisahkan pengunjuk rasa dengan massa penonton;
(2) Tidak dibenarkan melakukan tindakan paksa atau cara
kekerasan; dan
(3) Anggota satpol pp tetap dalam formasi yang telah ditetapkan.
c. Negoisasi dan penanganan:
(1) Kepolisian dan anggota satpol pp melakukan negoisasi dengan
pengunjuk rasa;
(2) Tidak dibenarkan melakukan melakukan upaya paksa; dan
(3) Bersikap simpatik dan tetap berwibawa;
3. Laporan hasil kegiatan:
a. Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang tersedia;
dan
b. Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan tindak
segera.
1) Pelaksanaan:
a) Komandan operasi melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian
tentang langkah-langkah tindakan yang akan dilakukan;
b) Anggota satpol pp yang sifatnya sebagai tenaga pendukung (bantuan)
hanya melakukan tindakan sesuai koordinasi pihak kepolisian; dan
c) Tidak dibenarkan melakukan tindakan diluar kendali pimpinan
lapangan.
2) Pelaksanaan:
a) Dua sepeda motor dalam keadaan siap bergerak pada posisi berjajar
dan pengawal berdiri disamping sepeda motor;
b) Pejabat/tamu vip sudah berada didalam kendaraan dan siap
menerima laporan kesiapan dari pengawal;
c) Komandan operasi menuju keajudan menyampaikan laporan siap
melakukan pengawalan;
d) Sepeda motor berjajar dengan sepeda motor lainnya berangkat
menuju tujuan;
e) Selama perjalanan lampu dinyalakan dan sirine hidup;
f) Tiba di tujuan:
(1) Sebelum berhenti berikan tanda /isyarat pelan; dan
(2) Berhenti dan parkir ditempat yang aman.
g) Selesai acara:
(1) Sepeda motor telah siap; dan
(2) Komandan operasi laporan ke ajudan siap pengawalan, selanjutnya
pengawalan sama dengan waktu perjalanan menujutujuan.
h) Tiba dikantor:
Setelah sepeda motor diparkir, komandan operasi laporan kepada
ajudan bahwa pengawalan telah selesai dilaksanakan.
3) Laporan hasil kegiatan:
a) Membuat laporan tertulis serta dokumentasi sesuai format yang
tersedia; dan
b) Membuat laporan langsung terhadap kejadian yang memerlukan
tindak segera.
4) Administrasi:
a) Surat perintah patroli
Setiap akan melaksanakan patroli harus membawa surat perintah
patroli yang dikeluarkan oleh kepala satpol pp;
b) Daftar petugas patroli
Dalam surat perintah patroli harus dicantumkan nama-nama anggota
yang ditunjuk melaksanakan patroli;
c) Laporan hasil tugas patroli
Apabila telah selesai atau kembali dari tugas segera membuat laporan
tugas patroli yang diserahkan kepada kepala satpol pp.
5. Mengelola peternakan
a. Memelihara ternak di lingkungan aman rumah tangga dan/atau
masyarakat
b. Menetapkan sistem pengelolaan keselamatan ternak oleh masyarakat pada
saat banjir, khususnya tempat mencari makan
c. Mengelola sumber-sumber pakan ternak.
2. Tahap pelaksanaan
a. Pemberangkatan anggota satpol pp
Anggota satpol pp berangkat menuju lokasi bencana dengan sarana
transportasi yang telah ditentukan.
b. Tiba di daerah lokasi bencana
1) Mengadakan pertemuan awal dengan kepala wilayah yang ditunjuk untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Memperkenalkan anggota tim
b) Menyampaikan maksud, tujuan dan tugas tim untuk melaksanakan
tugas di daerah bencana.
c) Menghimpun informasi mutahir tentang kejadian bencana, korban,
kerusakan, dampak bencana dan upaya yang telah dilakukan serta
kebutuhan yang mendesak.
d) Menyampaikan permintaan personil pendamping dari daerah bencana.
d. Evaluasi
1) Melanjutkan peninjauan lapangan pada daerah yang belum sempat
ditinjau.
2) Anggota tim setiap sore hari membantu sektor terkait untuk
melaksanakan rapat evaluasi dan tindak lanjut :
a) Melanjutkan peninjauan lapangan.
b) Pelaksanaan harian penanganan bencana.
c) Perkembangan dampak bencana.
d) sumber daya yang masih tersedia, dukungan yang masih dalam
perjalanan dan kebutuhan yang mendesak.
e) Kendala yang dihadapi dan upaya mengatasi.
f) Analisa kebutuhan sampai dengan berakhirnya masa tanggap darurat
bencana.
g) Rencana kegiatan penanganan bencana dan pengerahan sumber daya
untuk hari berikutnya.
3) Setelah selesai pelaksanaan rapat, anggota tim memberikan press realesse
kepada mass media cetak/elektronika.
4) Mengirimkan laporan tim tentang perkembangan bencana dan upaya yang
telah dilakukan serta kebutuhan yang mendesak kepada kepala satpol pp
dengan tembusan atasan langsung masing-masing anggota tim.
3. Tahap Pengakhiran
a. Pengakhiran tugas anggota tim berdasarkan perintah dari kepala satpol pp.
b. Persiapan meninggalkan lokasi bencana.
1) Melaksanakan pengecekan kelengkapan peralatan tim dan
perlengkapan perorangan.
2) Menyusun laporan lengkap pelaksanaan tugas anggota tim.
3) Menyerahterimakan tugas dan dokumen pendukung bencana kepada
kepala wilayah.
4) Menghadap pejabat yang berwenang untuk mohon pamit untuk
meninggalkan daerah bencana kembali ke kantor satpol pp, karena
pelaksanaan tugas tim telah selesai dan menyerahkan laporan
sementara hasil pelaksanaan tugas tim.
5) Anggota tim meninggalkan daerah bencana dengan sarana transportasi
yang telah ditentukan menuju kantor satpol pp.
c. Tiba di kantor satpol pp
1) Mengembalikan peralatan inventaris.
2) Menghadap kepala satpol pp untuk laporan selesai melaksanakan tugas
dan menyerahkan laporan pelaksanaan tugas tim.
3) Menyerahkan bukti-bukti pertanggungjawaban administrasi keuangan
kepada pejabat yang berwenang.
4) Masing-masing anggota tim dari sektor terkait membawa laporan
pelaksanaan tugas tim untuk disampaikan kepada atasan langsungnya.