Anda di halaman 1dari 37

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
PENYAJIAN DATA

Pada Bab II ini akan memberikan gambaran tentang kondisi sumber

daya manusia (SDM) di bidang keperawatan di Indonesia yang mengalami

surplus jumlah tenaga perawat dan prosedur pendidikan bagi perawat

Indonesia, selain itu mengenai syarat untuk melakukan praktik keperawatan di

Indonesia. Kemudian, di sub bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai politik

luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono

hingga pada keputusan kebijakan luar negerinya untuk melakukan kemitraan

strategis dengan Jepang dalam IJEPA. Terakhir, cikal bakal terbentuknya IJEPA

serta dasar hukum implementasi IJEPA di Indonesia dalam Program G to G ke

Jepang bagi perawat akan dijabarkan lebih lanjut.

A. Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Keperawatan di Indonesia

Dalam proses pembangunan suatu negara, kondisi perekonomian

adalah aspek penting yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan

negara dan menyejahterakan rakyatnya. Indonesia merupakan negara

berkembang dengan jumlah populasi penduduk mencapai 248.422.956

jiwa1 dan memiliki 5 pulau besar sebagai tempat tinggal penduduknya.

Posisi dan keadaan strategis Indonesia yang juga diapit 2 benua (Asia dan
2
Australia) dan 2 samudera (Hindia dan Pasifik) tersebut sangat

commit to user

40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berpengaruh pada pengembangan kebudayaan, kondisi politik, ekonomi

dan sosial di Indonesia.

Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia telah

mengalami pertumbuhan 6,1% dibanding tahun sebelumnya menurut data

dari Badan Pusat Statistik (BPS).3 Angka tersebut tak lepas dari adanya

pertambahan lapangan kerja dan menurunnya jumlah pengangguran

terbuka pada tahun 2008 tersebut jika dibandingkan dengan tahun 2007

yang tertera pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1
Perkembangan Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja
dan Pengangguran Terbuka Indonesia Tahun 2007-2008

Tahun
Agustus 2007 (juta orang) Agustus 2008 (juta orang)
Jumlah Angkatan Kerja 109,94 111,95
Jumlah Penduduk yang
99,93 102,55
bekerja
Pengangguran Terbuka 10,01 9,39
Presentase Pengangguran
9,11 8,39
Terbuka (%)
Sumber: BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional 2007-20084

Pada tabel tersebut, jumlah angkatan kerja yang meningkat dari

109.940.000 jiwa menjadi 111.950.000 jiwa tetapi tetap iimbangi dengan

peningkatan jumlah penduduk yang bekerja dan jumlah penggangguran

yang terbuka menurun menjadi 9.390.000 jiwa sehingga persentase

pengangguran terbuka Indonesia menurun menjadi 8,39%. Hal tersebut

tidak terlepas dari upaya pemerintah Indonesia yang berusaha

menyediakan lapangan kerjacommit to user


tak hanya didalam negeri tetapi juga di luar

41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

negeri. 5 Upaya penyediaan lapangan kerja bagi jumlah angkatan kerja

Indonesia tersebut juga tak bisa dipisahkan dari usaha pemerintah untuk

menyedikan lapangan kerja bagi tenaga medis khususnya perawat di


6
Indonesia ditahun 2007. Apalagi Indonesia menurut data dari

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) masih

mengalami kelebihan tenaga kerja medis (terutama bagi dokter dan

perawat) dibanding dengan permintaan pasar lapangan kerjanya, seperti

pada tabel berikut ini.

Tabel 2.2
Jumlah Tenaga Medis Indonesia Tahun 2007 Berdasarkan
Kebutuhan/Permintaan Lapangan Kerja di Indonesia dan Jumlah
Lulusan/Penawaran

Kebutuhan Jumlah Lulusan


No. Tenaga Medis
(Permintaan/Demand) (Penawaran/Supply)
1. Dokter Spesialis 2.258 615
2. Dokter Umum 6.765 7.576
3. Dokter Gigi 3.640 1.116
4. Perawat 18.731 25.200
5. Bidan 33.677 5.582
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 20077

Dari tabel 2.2 tersebut terlihat bahwa permintaan tenaga kerja

sebagai perawat sebesar 18.731 orang sedangkan lulusan tenaga medis di

bidang keperawatan Indonesia pada saat itu sebesar 25.200 orang di tahun

2007, sehingga terdapat kelebihan (surplus) jumlah perawat sebesar 6.469

pekerja.8 Perbandingan tersebut menunjukkan Indonesia telah mengalami

surplus tenaga keperawatan dan defisit pada permintaan pekerjaan di

commit to
Indonesia terutama mereka sebagai user sekolah/akademi keperawatan
lulusan

42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(akper) ataupun perguruan tinggi keperawatan. Keadaan tersebut juga

selaras dengan pernyataan Ferry Effendi yang menyatakan bahwa

sebenarnya jumlah perawat Indonesia berdasarkan data dari Kemenkes RI

adalah surplus, banyaknya lulusan perawat tersebut tetapi tidak diimbangi

dengan jumlah lapangan kerja yang mampu menyerap di Indonesia,

bahkan hampir di tiap kabupaten/kota didirikan sekolah keperawatan,

akibatnya kelebihan tenaga perawat di Indonesia harus dikirim ke pasar

luar negeri.9

Indonesia memiliki setidaknya 596 program studi keperawatan, hal

tersebut telah melahirkan produksi tinggi pada pekerja perawat dalam

negeri.10 Selain itu, walaupun terdapat 308 prodi S1 keperawatan dan 288

Prodi D3 keperawatan di seluruh Indonesia, belum semua prodi

terakreditasi baik oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-


11
PT) maupun oleh Kementerian Kesehatan RI. Akreditasi prodi

menentukan kualitas pendidikan yang diberikan yang pada akhirnya akan

mengarah kepada kualitas lulusan dalam menjalankan praktik sebagai

perawat di masyarakat maupun di rumah sakit.12 Terdapatnya prodi yang

belum terakreditasi baik oleh BAN PT maupun oleh Kementerian

Kesehatan RI juga menjadi suatu masalah yang penting Pemerintah

Indonesia dalam upaya peningkatan kualitas lulusan perawat dan

pelayanan keperawatan di Indonesia.

commit to user

43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Selanjutnya, jumlah lulusan gelar diploma dan sarjana jurusan

keperawatan tahun 2008 adalah 26.446 orang dan telah meningkat

menjadi 28.835 perawat pada tahun 2009.13 Kementerian Kesehatan RI

(Kemenkes) kemudian memproyeksikan bahwa dibandingkan dengan

jumlah perawat yang tersedia (lulusan) dari tahun ke tahun, diperkirakan

akan ada surplus tenaga perawat sekitar 57.172 orang ditahun 2014

nantinya. 14 Proyeksi ini sesuai dengan temuan Agus Suwandono, dan

kawan-kawan (dkk.) dalam penelitiannya yang berjudul “Human Resources

on Health (HRH) for Foreign Countries: A Case of Nurse ‘Surplus’ in

Indonesia”, bahwa ditemukan 15.000 perawat Indonesia per tahun tidak

mendapatkan penempatan kerja yang tepat.15

Kemudian, di Jawa Timur ditemukan data dari jumlah sekolah

keperawatan yang telah menghasilkan 200 lulusan per angkatan dan

setiap tahunnya, 12.000 perawat berstatus fresh graduate masih

menganggur di provinsi tersebut.16 Sejak 2008, sekolah keperawatan mulai

menjamur yang ternyata tidak diiringi dengan mutu output-nya. Sekolah

keperawatan baik S1 maupun D3 hanya 5 yang berstatus negeri dan sisanya

berstatus swasta di Jawa Timur dan hingga kini Jawa Timur memiliki 55

sekolah perawat program D3 dan 53 sekolah perawat program S1, tetapi

lulusan dari sekolah perawat tersebut nyatanya belum terserap semua.

Kasus di Jawa Timur tersebut merupakan satu dari kasus kurang

terserapnya lulusan perawat-perawat di Indonesia. Jika hal tersebut tidak


commit to user

44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

segera ditangani dilakukan upaya/langkah yang tepat dari pemerintah

Indonesia maka akan terjadi pengangguran yang lebih meningkat. Salah

satu pilihan penyediaan lapangan kerja adalah memberikan kesempatan

perawat-perawat tersebut untuk bekerja di luar negeri tetapi hal tersebut

harus disertai strategi peningkatan kualitas tenaga perawat Indonesia agar

bisa meningkat pula daya saing nya di pasar luar negeri. Apalagi jika

diketahui dari tahun ke tahun lulusan tenaga perawat Indonesia semakin

meningkat pula seperti yang tergambar dalam table berikut ini.

Tabel 2.3
Jumlah Lulusan Poltekkes dan Non-Poltekkes di Seluruh Indonesia
Tahun 2006-2010

Tahun Rerata
Total
Jenis Tenaga Lulusan per
2006 2007 2008 2009 2010 5 Tahun
Tahun
Keperawatan 23.811 25.200 26.446 28.835 37.055 141.347 26.928
Kebidanan 8.264 13.337 9.131 18.545 17.828 67.105 13.421
Kesehatan
742 857 1.166 1.085 1.468 5.318 1.064
Gigi
Kefarmasian 2.236 2.285 5.562 4.864 8.134 23.081 4.616
Kesehatan
1.557 1.396 1.870 1.685 2.177 8.685 1.737
Lingkungan
Gizi 1.415 1.693 2.039 1.812 2.063 9.022 1.804
Keterapian
858 965 998 781 1.653 5.255 1.051
Fisik
Keteknisian
3.473 3.644 5.131 4.764 7.160 24.172 4.834
Medis
Jumlah 42.356 49.377 52.343 62.371 77.538 283.985 56.797
Sumber: Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI17

Dari tabel 2.3 diatas terlihat bahwa selama lima tahun dari tahun

2006 sampai 2010, lulusan tenaga kesehatan D3 Politeknik Kesehatan

(Poltekkes) dan Non-Poltekkes adalah yang paling tinggi dan selalu


commit to user

45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

meningkat setiap tahunnya yaitu rata-rata sebesar 26.928 per tahun dari

hampir semua provinsi di Indonesia. Dalam hal ini, Poltekes yang dimaksud

adalah sekolah tinggi dalam ranah kesehatan yang menyelenggarakan

pendidikan vokasi dalam beberapa jurusan seperti keperawatan,

kebidanan, dll. Sedangkan, yang dimaksud dengan non-poltekkes adalah

lulusan keperawatan dari program sarjana (S1) dari universitas ataupun

Akademi Keperawatan (Akper) yang menyelenggarakan pendidikan vokasi

(D3) jurusan keperawatan saja.

Data mengenai jumlah lulusan perawat se-Indonesia yang tidak

seragam dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, juga disebabkan oleh

produksi lulusan sekolah keperawatan semakin meningkat seiring dengan

bertambahnya pendirian Poltekkes dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

(Stikes) maupun Akper di beberapa kota di Indonesia. Selain itu, sulitnya

memperoleh data keseluruhan perawat baru se-Indonesia juga

mempersulit dalam melakukan perencanaan yang tepat bagi Kemenkes

atau Badan Kesehatan lain untuk menambah lowongan pekerjaan. 18

Kurangnya fasilitas, sulitnya akses menuju daerah terpencil, gaji yang tidak

memadai dan tidak adanya jaminan karir merupakan faktor pendukung

terjadinya desentralisasi jumlah perawat di Indonesia masih belum merata.

Berdasarkan hasil penelitian Agus Suwandono, dkk., terdapat

empat faktor yang menyebabkan “surplus” jumlah perawat di Indonesia19,

antara lain:
commit to user

46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1. Rendahnya daya serap lulusan perawat Indonesia oleh rumah

sakit negeri dan rumah sakit swasta di Indonesia. Hal tersebut

disebabkan oleh alokasi anggaran pemerintah bagi penempatan

perawat dirumah-rumah sakit seluruh Indonesia masih rendah.

2. Kebijakan desentralisasi perawat Indonesia masih menimbulkan

kesalahpahaman antara pusat, provinsi dan daerah di Indonesia

terkait tanggung jawab penempatan tenaga medis di daerah.

3. Kondisi geografi wilayah Indonesia yang sulit diakses dan

kurangnya sarana transportasi di beberapa wilayah luar Pulau

Jawa, Sumatra dan Bali menyebabkan penolakan dari para

perawat Indonesia untuk ditempatkan di sana. Selain karena

termasuk alam wilayah terpencil, gaji yang rendah di pulau-

pulau kecil daerah timur Indonesia, serta tidak adanya

kompensasi membuat perawat enggan untuk ditempatkan

bekerja ke sana.

4. Ketidakpastian bagi masa depan karir para perawat Indonesia

juga termasuk faktor lain yang penting. Disebabkan oleh

anggaran pemerintah Indonesia yang terbatas dan pemerintah

juga belum bisa memberikan peningkatan karir masa depan

yang tetap untuk semua perawat. Desentralisasi perawat dari

area yang terpencil ke area yang dapat diakses dan sebaliknya

masih menjadi kesulitan untuk para perawat bermobilisasi

commit to user
karena anggaran pemerintah yang terbatas.

47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Hal tersebut juga selaras dengan apa yang disampakain oleh Drg.

Tritarayati selaku Kepala Pusat (Kapus) Pusat Perencanaan dan

Pendayagunaan SDM Kemenkes RI, bahwa Indonesia sedang mengalami

“surplus” sementara pada jumlah tenaga perawat. 20 Oleh sebab itu,

pemerintah akhirnya membuat kebijakan untuk mengirimkan tenaga

perawat ke Jepang yang tertuang dalam implementasi IJEPA. 21 Namun,

perawat yang dikirim ke Jepang juga harus mumpuni dan berstandar

kualitas yang sama sesuai dengan hasil perjanjian dengan Jepang.

Mengingat untuk menjadi perawat yang memiliki daya saing harus memiliki

kompetensi yang sama dengan perawat di Jepang dan harus mengikuti

ujian nasional serta wajib menguasai Bahasa Jepang. Jepang juga

membantu Indonesia mengembangkan capacity building perawat dan

pedoman untuk jenjang karir perawat.22

Jenjang karir dalam bidang keperawatan di Indonesia, secara umum

berdasarkan Pendidikan Keperawatan di Indonesia mengacu kepada

Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional yang mencakup tiga tahap23, yaitu:

1. Pendidikan Vokasional, yaitu jenis Pendidikan Diploma Tiga (D3)

Keperawatan yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi

keperawatan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki

kompetensi sebagai pelaksana asuhan keperawatan, jangka

waktu menempuh pendidikan keperawatan selama 3 tahun;


commit to user

48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Pendidikan Akademik, yaitu pendidikan tinggi program sarjana

dan pasca sarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan

disiplin ilmu pengetahuan tertentu, jangka waktu menempuh

pendidikan keperawatan selama 5 tahun (4 tahun masa

kuliah+pendidikan profesi/ners selama 1 tahun);

3. Pendidikan Profesi, yaitu pendidikan tinggi setelah program

sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki

pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus (program

spesialis dan doktor keperawatan).

Keperawatan sendiri diartikan sebagai kegiatan pemberian asuhan

kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam

keadaan sakit maupun sehat dan perawat adalah seseorang yang telah

lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri

yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan. 24 Pelayanan keperawatan haruslah suatu bentuk

pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan

kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan

kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun


25
sakit. Sehingga, praktik keperawatan adalah pelayanan yang

diselenggarakan oleh perawat dalam bentuk asuhan keperawatan yang

merupakan rangkaian interaksi perawat dengan klien (pasien) dan

lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan


commit to user
kemandirian pasien dalam merawat dirinya.26

49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pendidikan di bidang keperawatan di Indonesia diselenggarakan

berdasarkan kebutuhan akan pelayanan keperawatan, seperti yang tercantum

dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 1 Ayat (6),27 yang

menyebutkan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang

mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan

atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis

tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Adapun sebutan gelar untuk jenjang pendidikan tinggi keperawatan adalah:28

1. Pendidikan jenjang D3 keperawatan lulusannya mendapat

sebutan Ahli Madya Keperawatan (A.Md.Kep.);

2. Pendidikan jenjang Ners (Nurse) yaitu (level Sarjana plus

Profesi/S.Kep.), lulusannya mendapat sebutan Ners

(Nurse),sebutan gelarnya (Ns);

3. Pendidikan jenjang Magister Keperawatan, lulusannya

mendapat gelar (M.Kep);

4. Pendidikan jenjang spesialis keperawatan, terdiri dari: a.

Spesialis Keperawatan Medikal Bedah (Sp.KMB); b. Spesialis

Keperawatan Maternitas (Sp.Kep.Mat); c. Spesialis

Keperawatan Komunitas (Sp.Kep.Kom); d. Spesialis

Keperawatan Anak (Sp.Kep.Anak); e. Spesialis Keperawatan

Jiwa (Sp. Kep.Jiwa);

5. Pendidikan jenjang Doktor Keperawatan (Dr. Kep).

commit to user

50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kemudian, Pendidikan Keperawatan Profesional minimal harus

melalui dua tahapan, yaitu: tahap pendidikan akademik yang lulusannya

mendapat gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep.) dan dilanjutkan dengan

tahap pendidikan profesi yang lulusannya mendapat gelar Ners (Ns).29

Kedua tahapan tersebut wajib diikuti, karena merupakan tahap pendidikan

yang terintegrasi, sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan

lainnya. 30 Program Pendidikan Ners merupakan program pendidikan

akademik profesi yang bertujuan menghasilkan ners yang memiliki

kemampuan sebagai perawat professional jenjang pertama (first

professional degree).

Kemudian, berdasarkan UU Nomor 38 tahun 2014, perawat yang

ingin menjalankan praktik keperawatann di klinik, rumah sakit ataupun

tempat fasilitas kesehatan lainnya wajib memiliki STR. STR adalah

singkatan dari Surat Tanda Registrasi yang diberikan oleh Konsil

Keperawatan di Indonesia ditangani oleh Majelis Tenaga Kesehatan

Indonesia (MTKI) dibawah Kemenkes RI, dengan beberapa persyaratan31,

meliputi: a. memiliki ijazah pendidikan tinggi keperawatan; b. memiliki

Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi yaitu surat tanda pengakuan

terhadap kompetensi perawat yang telah lulus Uji Kompetensi (dilakukan

oleh perguruan tinggi keperawatan bersangkutan dengan panitia dari

Kemenristekdikti bekerjasama dengan Kemenkes RI) untuk melakukan

praktik keperawatan; c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;

d. memiliki surat pernyataancommit to user


telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan

51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

e. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika

profesi. STR tersebut berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi

ulang setiap 5 (lima) tahun.

Proses registrasi tersebut merupakan pencatatan resmi terhadap

perawat yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi

dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya sehingga telah diakui

secara hukum untuk menjalankan Praktik Keperawatan.32 Selanjutnya jika

perawat ingin melakukan praktek disuatu tempat, maka harus memiliki

SIPP yaitu Surat Izin Praktik Perawat berupa bukti tertulis yang diberikan

oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada perawat sebagai

pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik keperawatan di dalam

negeri.

Namun, menurut Prof. Setyowati yang merupakan salah satu

narasumber dalam penelitian skripsi ini, yang menjadi salah satu

persyaratan perawat yang ingin bekerja diluar negeri adalah hanya cukup

memiliki STR saja. 33 Tetapi untuk memenuhi persyaratan untuk dapat

bekerja di luar negeri harus memenuhi banyak persyaratan lainnya

misalnya: mempunyai pengalaman kerja di rumah sakit minimal 2-3 tahun,

lulus dalam ujian tes masuk keperawatan yg diselenggarakan oleh Badan

Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM)

Kemenkes. Kemudian, syarat kemampuan bahasa Jepang (jika mengikuti

Program G To G oleh BNP2TKI). 34

commit to user

52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurutnya, program pengiriman perawat Indonesia untuk bekerja

keluar negeri sebenarnya sudah banyak, seperti ke Timur Tengah termasuk

Arab Saudi (ini dilakukan oleh Pelaksana Penempatan TKI Swasta/PPTKIS),

ke Amerika Serikat, Australia, dll (merupakan usaha individu setelah

menempuh ujian kompetensi mereka sesuai standar negara penerima).

Sedangkan untuk ke Jepang yang diatur antarpemerintah (Goverment to

Goverment) baru setelah dicanangkan IJEPA. Standar pelayanan

keperawatan seluruh dunia itu sama atau minimal standar harus sama

karena itu sudah ditetapkan oleh International Council of Nursing35 yang

menegaskan kode etik keperawatan bersifat universal dan menjunjung

tinggi kehidupan, martabat dan hak asasi manusia, serta keperawatan

tidak dibatasi oleh perbedaan kebangsaan, ras, warna kulit, usia, jenis

kelamin, aliran politik, agama, dan status sosial.

B. Politik Luar Negeri Indonesia pada Era Pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono Tahun 2008-2013

Politik luar negeri Indonesia didasarkan pada tiga landasan utama,

yaitu Landasan Idiil, Konstitusional dan Operasional.36 Landasan Idiil politik

luar negeri Indonesia bersumber dari Pancasila. Nilai dari sila-sila tersebut

menjadi implementasikan dalam kebijakan dalam negeri hingga strategi

perpolitikan internasional. Landasan yang kedua adalah Konstitusional,

dimana UUD 1945 merupakan petunjuk pelaksanaan politik luar negeri


37
commit to user
Indonesia. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mencakup kepentingan nasional bangsa, maka politik luar negeri Indonesia

berupaya untuk mencapai kepentingan nasional. Misalnya, peraturan

perundang-undangan yang akan dibuat, khusus yang mengatur tentang

hubungan luar negeri harus merujuk pada penjabaran UUD 1945.

Sedangkan landasan operasional terkait dengan cara menjalankan Prinsip

Politik Bebas Aktif, dimana setiap masa pemerintahan menerapkan

landasan operasional yang berbeda sesuai dengan kepentingan nasional.

Prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif telah

diterapkan sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945.38 Namun, penerapan

politik luar negeri yang dijalankan lewat kebijakan luar negerinya berubah

sesuai dengan perubahan politik global yang berkaitan dengan agenda

internasional yang berlandaskan kebijakan dalam negeri dan kepentingan

nasional dalam negeri. Bahkan, setiap periode kepemimpinan presiden di

Indonesia memiliki ciri khas dan prinsip masing-masing dalam menjalankan

politik luar negeri yang tercermin dalam kebijakan luar negeri yang sedang

djalankan.

Hal tersebut dapat dilihat pula pada saat Indonesia dipimpin oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang biasa disebut SBY, yang dilantik

sebagai Presiden ke-6 Republik Indonesia. SBY juga merupakan Presiden

Indonesia yang pertama kali dipilih langsung oleh rakyat dalam proses

Pemilu. Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono atau yang terkenal dengan

sebutan SBY, telah membuat babak baru dalam perjalanan sejarah


commit to user

54
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Indonesia. Beliau dilantik sebagai presiden ke-6 Republik Indonesia pada

tanggal 20 Oktober 2004 bersama wakilnya Jusuf Kalla yang kemudian

kembali terpilih di Pemilu 2009 bersama wakilnya Boediono.39 Bersama

dengan pasangannya, SBY memiliki komitmen untuk tetap melaksanakan

agenda reformasi. Agenda tersebut bertujuan memperbaiki sistem

ekonomi yang sangat memberatkan rakyat Indonesia, memperbaiki kinerja

pemerintahan dari unsur KKN, serta mewujudkan keadilan dan

demokratisasi. Selanjutnya, pada masa pemerintahan SBY tersebut

terdapat beberapa kondisi dan kebijakan yang ditempuh baik dalam

bidang ideologi, politik, ketahanan dan keamanan, ekonomi, sosial,

maupun budaya.40

Pada masa kepemimpinannya, SBY juga berusaha memantapkan

politik luar negeri Indonesia dengan cara meningkatkan kerjasama

internasional dan meningkatkan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka


41
memperjuangkan kepentingan nasional. SBY juga telah berhasil

mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin

berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya,

antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikan

Pemerintahan SBY sebagai peluang.

Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY

diumpamakan dengan istilah “navigating in a turbulent ocean” yang berarti

“mengarungi samudera yang penuh gelombang”, bahkan Presiden SBY


commit to user

55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

juga menerapkan prinsip “million friends, zero enemy”. 42 Hal tersebut

dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjalin persahatan

dengan negara lain dengan mengutamakan perdamaian dan ikut

menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.

Kemudian, ciri-ciri kebijakan luar negeri Indonesia pada masa

pemerintahan SBY, antara lain:43

1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan

negara-negara lain, terutama: Jepang, Tiongkok, India, dan

Australia.

2. Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap

perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan

yang terjadi di luar negeri (internasional).

3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia

mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja (baik

negara, organisasi internasional, ataupun perusahaan

multinasional) yang bersedia membantu Indonesia dan

menguntungkan pihak Indonesia.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki dua

modal besar dalam penerapan kebijakan luar negerinya. Pertama,

kondisi politik dan ekonomi domestik yang cenderung telah stabil.

Kedua, pemerintahan SBY adalah pemerintahan yang dapat dikatakan

commit
terpilih secara demokratis. to user
Ini mengingat SBY dipilih secara langsung

56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oleh rakyat melalui pemilihan presiden langsung. Dengan modal

kekuatan domestik yang sudah mulai pulih ini mendorong Indonesia di

bawah pemerintahan SBY untuk aktif kembali dalam berbagai forum

internasional seperti ASEAN, APEC, OKI, dan beberapa isu-isu global

penting.44

Pembangunan ekonomi Indonesia selama masa pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) telah dirumuskan

dalam prinsip triple track strategy, yaitu: pro-growth (pertumbuhan

ekonomi), pro-job (kesempatan/lapangan kerja) dan pro-poor (rakyat


45
miskin). Track pertama dilakukan dengan meningkatkan

pertumbuhan yang mengutamakan ekspor dan investasi, track kedua

dengan menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja,

dan track ketiga dengan merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan,

dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan. Dalam strategi

tersebut jelas dinyatakan bahwa ketenagakerjaan merupakan salah

satu prioritas penting dalam pembangunan Indonesia karena tenaga

kerja merupakan modal penting dalam menggerakkan roda

pembangunan suatu negara. Namun demikian, permasalahan

ketenagakerjaan di Indonesia terus bergulir menjadi besar dan

kompleks. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang

besar dan cenderung terus meningkat sejalan dengan transisi

demografi yang menyebabkan komposisi penduduk usia produktif

meningkat lebih cepat commit to userpenambahan jumlah lapangan


dari pada

57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pekerjaan, kemudian rendahnya daya beli masyarakat sehingga tidak

dapat diandalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang

merupakan syarat bagi penciptaan lapangan kerja.

Kemudian, berkaitan dengan kepentingan pembangunan

nasional Indonesia dalam kebijakan luar negerinya, Indonesia pada

masa pemerintahan SBY juga berhasil melaksanakan kemitraan

strategis dengan beberapa negara menunjukkan perbaikan citra

Indonesia yang semakin positif di mata dunia. Bahkan dalam bingkai

politik luar negeri Indonesia yang mengedepankan pendekatan “million

friends zero enemy” tersebut, Indonesia dibawah kepemimpinan SBY

berhasil membangun berbagai kemitraan strategis dengan lebih dari 20

negara.46 Namun, dalam penelitian ini hanya akan menyoroti terkait

kemitraan strategis yang berhasil disepakati Indonesia dan Jepang

melalui adanya kerjasama Indonesia-Japan Economic Partnership

Agreement (IJEPA).

Kemitraan strategis antara Indonesia dan Jepang diwacanakan

pada saat pertemuan APEC pada November 2004, Presiden SBY dan

mitranya Perdana Menteri Shinzo Abe sepakat untuk membahas

kemungkinan pembentukan Economic Partnership Agreement (EPA). 47

Kemudian hasil pembicaraan tersebut ditindaklanjuti antara Menteri

Perdagangan kedua pihak pada bulan Desember 2004. Sebagai langkah

awal pembicaraan tersebut adalah diadakannya Joint Study, melalui

commit
Joint Study Group meeting (JSG)tosebanyak
user 3 kali pertemuan informal

58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48
dimulai pada Desember 2004 sampai Juli 2005. Hasil JSG

merekomendasikan manfaat perlunya EPA antara kedua negara berupa

Indonesian Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), yang

kemudian diikuti dengan seri perundingan atau negoisasi sebanyak 6

(enam) putaran sejak Juli 2005 sampai dengan November 2006.49

Dalam JSG tahun 2005 tersebut, pemerintah Indonesia nyatanya

telah mengutarakan permintaannya untuk adanya kerjasama

pengiriman perawat-perawat Indonesia ke Jepang mengingat kondisi

surplus tenaga perawat Indonesia yang terjadi saat itu. Dalam kerangka

IJEPA tersebut di poin Movement of Natural Persons, Pemerintah

Indonesia mengutarakan kebijakan luar negerinya melalui permintaan

adanya peluang pengiriman perawat Indonesia ke Jepang 50 dalam

pernyataan berikut ini:

“The Indonesian side expressed its interest in mutual


recognition of qualifications in tourism and hotel services, spa services,
food- and beverage-related services, caregivers, seafarers and nurses.
The Indonesian side requested: acceptance of skilled workers or
professional workers in areas such as nursing, caregiving, hotel and
tourism industries.”51

Kemudian, permintaan tersebut mendapat tanggapan dari

Pemerintah Jepang yang tertuang dalam Joint Study Group Report pada

Mei 2005, yaitu:

“In addition, the Japanese side pointed out that the scheme
under the Japan-Philippines EPA will be applied only to Filipino nurses
and certified careworkers and that, if another country has any request
for the acceptance of nurses and careworkers, it should be fully
examined on a country-by-country basis;…………”52
commit to user

59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Hal tersebut juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh

Ferry Efendi dalam wawancara dengan peneliti bahwa seringkali orang

awam berpendapat Jepang kekurangan perawat karena banyak kaum

lansia (lanjut usia) di sana sehingga harus meminta banyak perawat

dari Indonesia. Walaupun memang terjadi hal demikian, tetapi

pengiriman perawat Indonesia ke Jepang pada faktanya berdasarkan

permintaan pemerintah Indonesia dalam negosiasi EPA dan disetujui

oleh Jepang.53

Maka dari itu, setelah disepakatinya IJEPA oleh Indonesia dan

Jepang dan diimplementasikan di tahun 2008, permintaan Indonesia

mengenai pengiriman perawat ke Jepang dilaksanakan dengan adanya

Program G to G Jepang berdasarkan tanggapan pemerintah Jepang

pada saat JSG tersebut dan setelah menindaklanjuti Nota

Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara

Pemerintah Indonesia (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia/BNP2TKI), dengan Pemerintah Jepang (The

Japan International Corporation of Welfare Service/JICWELS) tentang

penempatan calon nurse (Kangoshi) dan calon careworker

(Kaigofukushishi) dari Indonesia ke Jepang (Program G to G Jepang).54

Selanjutnya, dalam menjalankan komitmen kebijakan luar negeri

Indonesia melalui IJEPA ini, Indonesia telah menunjuk lembaga

pemerintah untuk bekerja sesuai dengan persetujuan perjanjian yang

telah disepakati. Badancommit to user


Nasional Penempatan dan Perlindungan

60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) adalah suatu lembaga pemerintah

Indonesia non-departemen yang bertanggungjawab kepada presiden

dan berkedudukan di ibukota negara Indonesia,55 yang mempunyai

kewenangan untuk menempatkan TKI, salah satunya ke Jepang melalui

Program G to G, juga bekerja sama dengan instansi Pemerintah Jepang

yang dikenal dengan Japan International Corporation Welfare Service

(JICWELS).56

Dalam penempatan TKI (perawat) Program G to G Jepang

tersebut nantinya BNP2TKI akan bekerjasama dengan Pusrengun

(Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan) Pengembangan dan

Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes RI dalam

proses perekrutan perawat-perawat Indonesia yang ingin bekerja ke

Jepang lewat jalur IJEPA ini. Dalam menjalankan tugasnya, BNP2TKI

juga dibantu oleh BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) di level provinsi untuk

memberikan kemudahan pelayanan pemberkasan seluruh dokumen

penempatan, perlindungan dan penyelesaian masalah TKI secara

terkoordinasi dan terintegrasi serta melakukan sosialisasi dan publikasi

terkait program penempatan perawat Indonesia ke Jepang lewat

Program G to G.57

commit to user

61
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Kemitraan Strategis Indonesia-Jepang dalam Kerangka Indonesia-Japan

Economic Partnership Agreement (IJEPA)

Perjanjian kemitraan strategis di bidang ekonomi antara Indonesia

dan Jepang dimulai pada bulan November 2004 disela-sela pertemuan

APEC, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mitranya Perdana Menteri

(PM) Shinzo Abe sepakat untuk membahas kemungkinan pembentukan

Economic Partnership Agreement (EPA) dan hasil pembicaraan tersebut

ditindaklanjuti antara Menteri Perdagangan kedua pihak pada bulan

Desember 2004.58 Hubungan bilateral Indonesia dengan Jepang yang telah

berlangsung lebih dari 50 tahun semakin mantap setelah

ditandatanganinya Deklarasi Kemitraan Strategis oleh Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Shinzo Abe yang dituangkan

dalam Strategic Partnership for Peaceful and Prosperous Future ditahun

2006.59 Kemudian, pada tahun 2008 antara Indonesia dan Jepang juga

berhasil menyetujui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement

(IJEPA).60

Beberapa alasan yang mendasari Indonesia untuk menjalin

kerjasama melalui EPA dengan Jepang, diantaranya adalah:

1. Jepang merupakan mitra dagang dan investor utama untuk

Indonesia, dan Indonesia adalah penerima terbesar ODA

(Official Development Assistance) Jepang;61

commit to user

62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Akses pasar untuk produk Indonesia ke pasar ekspor Jepang

terbesar yang mewakili 20% dari ekspor yang ada, sedangkan

Jepang merupakan sumber impor terbesar kedua bagi

Indonesia (13%)62;

3. Adanya peluang untuk mengirim tenaga kerja Indonesia

kategori semi terampil dari Indonesia ke Jepang, termasuk

didalamnya pengiriman perawat Indonesia berdasarkan

permasalah kekurangan lapangan kerja di Indonesia;63

4. EPA memberi kepastian akses pasar yang lebih prefensial dan

luas dibandingkan dengan program seperti Generalized System

of Preferences (GSP) dan menempatkan Indonesia sejajar

dengan negara lain yang telah memiliki perjanjian dengan

Jepang seperti Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand di

ASEAN, sedangkan Brunei dan Vietnam menyusul.64

Setelah melalui proses perundingan yang sulit dan panjang, dari

semula pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

dengan Perdana Menteri Jepang Juniciro Koizumi dalam Joint

Announcement telah berunding mengenai adanya kemungkinan EPA

antara Indonesia dan Jepang. Selanjutnya, sebagai langkah untuk

mendorong kemajuan ekonomi masing‐masing negara, Pemerintah

Indonesia dan Jepang telah sepakat untuk melakukan perjanjian

kerjasama bilateral dalam bidang perekonomian melalui kemitraan


commit to user
strategis. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian kerjasama

63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bilateral di bidang ekonomi yang disebut Indonesia-Japan Economic

Partnership Agreement (IJEPA) yang kemudian ditandatangani oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Perdana Menteri

Shinzo Abe pada tanggal 20 Agustus 2007 di Jakarta, Indonesia, dan

sejak tanggal 1 Juli 2008 secara resmi mulai diimplementasikan di kedua

negara.65 Kemudian, untuk memperoleh keseimbangan manfaat bagi

kedua belah pihak, maka kerjasama IJEPA dilandasi dengan tiga pilar,

yaitu Liberalization (pembukaan akses pasar), Facilitation (pasar yang

terbuka/dipermudah) dan Cooperation (kerjasama untuk peningkatan

kapasitas).66 Berdasarkan pilar 3 tersebut terdapat 12 bidang kerjasama

yang telah disepakati Indonesia dan Jepang, terdiri dari: Trade in Goods;

Rules of Origin (ROO); Customs Procedures; Investment; Trade in

Services; Movement of Natural Persons, Energy and Mineral Resources,

Intellectual Property; Government Procurement; Competition Policy;

Improvement of Business Environment; dan Promotion of Business

Confidence and Cooperation.67

Berkaitan dengan pilar Movement of Natural Persons, kedua

negara menyediakan kerangka ini, karena untuk memudahkan

perpindahan manusia di berbagai kategori termasuk pengunjung

perusahaan jangka pendek, intra-bisnis transferees, penanaman modal

dan tenaga jasa profesional. Dalam pilar ini, berdasarkan hasil

perundingan JSG, Indonesia sebenarnya meminta penerimaan pekerja


commit to user
terampil atau tenaga profesional tidak hanya dibidang keperawatan

64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tetapi juga dibidang perhotelan dan industri pariwisata, tetapi sejauh

ini Jepang hanya menerima pekerja terampil atau tenaga kerja

profesional di bidang perawat dan pengasuh lansia dalam

implementasi IJEPA.

Berdasarkan permasalahan SDM perawat Indonesia yang telah

diuraikan pada sub-bab sebelumnya, maka salah satu faktor yang dituju

pemerintah Indonesia dalam kerjasama dengan Jepang melalui IJEPA

ini adalah peningkatan ekspor tenaga perawat Indonesia ke Jepang,

terutama bagi perawat di rumah sakit dan perawat lansia. Bagi negara

berkembang seperti Indonesia, sumber penerimaan devisa yang

berasal dari kegiatan pengiriman TKI ke luar negeri memegang peranan

penting dalam pembangunan nasional. 68 Lebih lanjut mengenai

peningkatkan daya saing Indonesia di bidang keperawatan melalui

implementasi Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA)

2008-2013, telah disepakati dengan Pemerintah Jepang bahwa tenaga

perawat dan perawat lanjut usia (lansia) Indonesia sejumlah 1.000

orang secara bertahap dalam 2 tahun akan diterima untuk bekerja di

Jepang. Pada tanggal 19 Mei 2008, MoU implementasi pengiriman

perawat dan perawat lansia telah ditandatangani oleh BNP2TKI dan

Japan International Cooperation Welfare Society (JICWELS) dengan

disaksikan para pejabat perwakilan kedua pemerintahan,

Kemnakertrans RI serta Kementerian Tenaga Kerja, Kesehatan dan


commit to user
Kesejahteraan Rakyat Jepang. 69 Selanjutnya, MoU tersebut

65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diimplementasikan dan dilaksanakan secara resmi di Indonesia dengan

dikeluarkannya Peraturan Presiden (PERPRES) No. 36 Tahun 2008

tentang Pengesahan Persetujuan antara Republik Indonesia dan

Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi (IJEPA).

Kemudian, selain beberapa alasan pelaksaan EPA yang telah

dikemukakan sebelumnya, ternyata pada saat yang sama Jepang juga

menghadapi masalah kekurangan pekerja di sektor kesehatan

terutama di bidang keperawatan akibat dari “super-aging society” yang

dialami Jepang. Populasi masyarakat lanjut usia, yaitu yang berumur 65

tahun keatas, di Jepang terhitung sebanyak 21% dari total penduduk

Jepang di tahun 2007.70 Proporsi jumlah penduduk lanjut usia tersebut

diprediksi bertambah hingga 32% di tahun 2030 dan 41% di tahun 2055

karena tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat rendah.71

Angka tersebut tentu merupakan jumlah yang besar dan para

penduduk lansia itu sendiri tentunya membutuhkan jasa perawat.

Hanya mengandalkan tenaga kerja domestik Jepang saja pastinya

tidaklah cukup.

Ditambah lagi dengan tren yang ada, yaitu kurang lebih

setengah dari perawat keluarga yang bekerja di Jepang berusia 60

tahun bahkan lebih, dan biasanya perawat berasal dari kalangan

wanita.72 Namun dengan berkurangnya jumlah wanita berusia paruh

baya dan dikombinasikan dengan laju peningkatan jumlah populasi


commit to user
lansia yang semakin cepat, tentunya menimbulkan masalah dalam

66
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

rekruitmen pekerja di bidang perawat ini. Masalah juga diperburuk

dimana sekitar 500.000 perawat Jepang yang sudah tersertifikasi

memilih meninggalkan pekerjaan ini karena merasa tidak sesuai dengan

keinginannya.73

Yuko Hirano menyebutkan bahwa iklim kerja yang ekstrim dan

menghabiskan banyak waktu menjadi alasan lain penyebab banyaknya

Japanese nurse dan careworkers memilih keluar dari pekerjaannya

karena tidak bisa menyeimbangkan waktu bekerja dan untuk keluarga,

juga untuk menjaga kesehatan mereka.74 Tentunya fenomena tersebut

menambah permasalahan pada sektor keperawatan di Jepang yang

sedang membutuhkan tenaga perawat yang lebih. Berdasarkan

pantauan dari Japanese Nursing Association (JNA) juga menyebutkan

bahwa alasan staf perawat dan pengasuh lansia banyak yang keluar

dari pekerjaannya di bidang keperawatan karena lingkungan kerja nya

yang ekstrim seperti: jam kerja yang panjang dan tidak teratur, harus

lembur dimalam hari dan ada alasan lain berupa faktor keluarga

seperti: menikah, melahirkan/mengasuh anak dirumah.75 Hal tersebut

menunjukkan bahwa sektor keperawatan di Jepang mengalami krisis

jumlah tenaga perawat karena beberapa faktor tersebut, serupa

dengan apa yang disampaikan Gabriel Vogt dalam artikel jurnalnya

yang berjudul “When the Leading Goose Gets Lost: Japan’s Demogrphic

Change and the Non-Reform of Its Migration Policy”, disebutkan bahwa


commit to user
jika dibandingkan negara industri lainnya hanya Jepang yang

67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengalami kekurangan pada perawat bersertifikasi (registered nurse)

hanya tersedia sejumlah 6,4 perawat per 1.000 pasien di Jepang

dibandingkan juga dengan Jerman yang sudah mencapai 9,7 dan

Swedia sudah 10,6 perawat per 1.000 pasien.76 Dengan perbandingan

tersebut menunjukkan bahwa Jepang masih termasuk dalam

presentase rendah dalam menyediakan kebutuhan perawat

dinegaranya.

Selanjutnya, masalah penyusutan populasi di Jepang telah

membawa banyak permasalahan di Jepang utamanya dalam bidang

ketersediaan tenaga kerja perawat. Semula, peneliti mengira bahwa

kekurangan tenaga perawat berkualifikasi di Jepang tersebut adalah

faktor pendorong adanya kerjasama pengiriman perawat Indonesia ke

Jepang, akan tetapi pernyataan Ministry of Health, Labour and Welfare

of Japan justru menguatkan sikap dan pernyataan bahwa pengiriman

perawat Indonesia ke Jepang lewat jalur IJEPA adalah murni dari

permintaan Pemerintah Indonesia bukan untuk mengatasi masalah

penyusutan tenaga kerja. Hal tersebut tercermin dalam kutipan

pernyataan Ministry of Health, Labour and Welfare of Japan, berikut ini:

“Approving potential nurses and care workers from Indonesia


and the Philippines is not a response to the labour shortages in the
health service; this training program has been agreed under the EPAs on
the basis of strong requests from the two countries.”77

Secara resmi, sebagaimana diatur dalam The Immigrant Control

and Refugee Recognition Act, Jepang berpegang pada prinsip untuk


commit to user

68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menolak unskilled workers. 78 Pada pemerintahan PM Shinzo Abe,

kebijakan imigrasi Jepang tersebut tetaplah tidak berubah dan sikap

tersebut jelas terlihat dari kebijakan PM Shinzo Abe yang memilih

untuk memberdayakan tenaga kerja wanita dan manula serta robot

dalam menghadapi krisis tenaga kerja yang dialami Jepang.79 Krisis

tenaga kerja yang menjadi masalah serius bagi Jepang tersebut dinilai

memberikan efek pada sikap pemerintah terhadap isu imigrasi

sehingga akhirnya pada permintaan Indonesia, Jepang bersedia untuk

menerima perawat Indonesia melalui skema IJEPA.

Pemerintah Jepang melalui EPA (Economic Partnership

Agreements) atau perjanjian kerjasama ekonomi yang dijalankan secara

bilateral dengan beberapa negara di Asia Tenggara termasuk dengan

Indonesia (IJEPA), akhirnya memberikan sedikit kelonggaran terhadap

penerimaan tenaga kerja asing yaitu perawat Indonesia dalam

kerangka Program G to G yang merupakan implementasi dari IJEPA.80

Melalui IJEPA inilah, Jepang menerima dari negara-negara tersebut

tenaga kerja Kangoshi (nurse) dan Kaigofukushishi (careworker). Pekerja

tersebut akan diberi waktu tinggal sementara di Jepang selama tiga

tahun (untuk kangoshi) dan empat tahun (untuk kaigofukushishi) dan

selama kurun waktu tersebut mereka akan menerima pelatihan dan

setelah itu mereka dapat ikut serta dalam ujian nasional untuk menjadi

perawat yang tersertifikasi dan dapat memperoleh ijin tinggal di


commit to user

69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Jepang lebih lama81, tetapi apabila mereka gagal mereka harus kembali

ke negara asal.

Kangoshi dan kaigofukushishi sendiri dapat dikategorikan

sebagai semi-skilled workers di Jepang dan status tinggal mereka

nantinya termasuk dalam “designated activities”,82 mengingat mereka

telah dibekali keterampilan terkait keperawatan sebelum

diberangkatkan ke Jepang dibawah program IJEPA. Namun, meskipun

telah dibekali keterampilan, di Jepang seolah keterampilan tersebut

tidak diakui karena pada praktik dilapangan mereka dilarang untuk

melakukan hal-hal yang sebenarnya mereka sudah biasa lakukan

seperti menyuntik ataupun memasang infus.83

Selanjutnya, berikut ini adalah dasar hukum pelaksanaan

program G to G Jepang yang diimplementasikan di Indonesia yang

berdasarkan data dari BP3TKI Yogyakarta84 (yang merupakan turunan

instansi daerah ditingkat provinsi dari BNP2TKI), antara lain:

1. UUD 1945 Pasal 27 ayat 2, UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dan UU No. 39 Tahun 2004 tentang

penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri

2. Inpres RI No.6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi

Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI

3. Perpres No. 81 Tahun 2006 tentang BNP2TKI


commit to user

70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Perpres No. 36 Tahun 2008 tentang Pengesahan

Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang

mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi (IJEPA)

Berdasarkan Undang-undang 39 Tahun 2004 Pelaksana

Penempatan TKI ke luar Negeri adalah : (1) Pemerintah melalui

mekanisme Government to Government dan Government to Private, (2)

Perusahaan untuk kepentingan sendiri, (3) Mandiri Perorangan, dan (4)

Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). 85 Dalam hal ini IJEPA

termasuk dari mekanisme Government to Government (G to G) dan telah

diwakilkan segala urusan Pemerintah Indonesia oleh BNP2TKI dan

implementasi kebijakannya melalui program penempatan calon nurse

(kangoshi) dan calon careworker (kaigofukushishi) dari Indonesia ke

Jepang berupa Program G to G Jepang yang diatur pula dalam

Peraturan Kepala (Perka) BNP2TKI No. 10 tahun 2010 di Lampiran II

tentang pedoman teknis TKI ke luar negeri oleh Pemerintah ke Jepang

berdasarkan MoU BNP2TKI dan JICWELS mengenai IJEPA (Program G

to G Jepang). 86 Selain itu, terdapat beberapa mekanisme/prosedur

penempatan bagi calon nurse dan calon careworker Indonesia yang

ingin bekerja di Jepang oleh BNP2TKI dalam lampiran penelitian ini. Di

Jepang, kangoshi adalah jabatan pekerjaan bagi perawat medis di

rumah sakit (nurse) sedangkan kaigofukushishi adalah jabatan

pekerjaan bagi perawat/pengasuh pasien orang tua/lansia di panti

commit
jompo (careworker). Dalam MoUto user
BNP2TKI dan JICWELS mengenai

71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

IJEPA (Program G to G Jepang), persyaratan pendidikan bagi calon

perawat Indonesia yang ingin melamar sebagai kangoshi adalah telah

lulus serendah-rendahnya D3 Keperawatan atau S1

Keperawatan+Profesi Ners dan memiliki pengalaman kerja sebagai

praktik keperawatan selama 2 dua tahun. Kemudian, untuk perawat

Indonesia yang ingin melamar kerja sebagai kaigofukushishi hanya perlu

telah lulus serendah-rendahnya D3 Keperawatan tanpa harus memiliki

pengalaman kerja.

Bekerja di Jepang baik sebagai calon Kangoshi ataupun calon

Kaigofukushishi tentu mempunyai hak dan kewajiban.87 Hak jabatan

Nurse (kangoshi) di Jepang, yaitu: mendapat kontrak kerja selama 3

tahun, mendapat gaji antara ¥ 100.000 s.d. ¥200.000 (sekitar 12-24 juta)

per bulan dan mendapat Fasilitas dari institusi pengguna, ditambah

dengan pemberian bonus lembur/tunjangan. Diberikan cuti dan libur

Hari Besar Nasional Jepang serta memperoleh perlindungan dan

asuransi. Sedangkan, kewajibannya adalah bekerja di rumah sakit

sesuai penempatan sebagai asisten nurse dan mengikuti Ujian Nasional

Jepang (Kokka Shiken) bagi perawat sebanyak 3 kali agar dapat

meneruskan bekerja selamanya di Jepang dan pelaksanaan ujian

tersebut setiap tahun sekali.

Kemudian, hak untuk jabatan Careworker/Perawat Lansia

(kaigofukushishi) di Jepang, yaitu: mendapat kontrak kerja selama 4

commit
tahun, mendapat gaji antara to users.d. ¥200.000 (sekitar 12-24 juta)
¥ 100.000

72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

per bulan dan mendapat fasilitas dari institusi pengguna, ditambah

dengan pemberian bonus lembur/tunjangan.88 Diberikan cuti dan libur

Hari Besar Nasional Jepang serta memperoleh perlindungan dan

asuransi. Sedangkan, kewajibannya adalah bekerja di rumah sakit

sesuai penempatan sebagai asisten careworker dan mengikuti Ujian

Nasional Jepang (Kokka Shiken) bagi perawat orang tua/lansia

sebanyak 1 kali agar dapat meneruskan bekerja selamanya di Jepang

dan ujian dilaksanakan di tahun akhir habis kontrak kerja.

commit to user

73
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Catatan Akhir

1
Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kemenkes RI 2013, “Profil Kesehatan Indonesia 2013”
Bab 1 Demografi Indonesia, hal. 3
2
Ibid.
3
Badan Pusat Statistik (BPS), “Survey Angkatan Kerja Nasional 2007-2008”, hal. 53
4
Ibid.
5
Kemenkes RI, “Laporan Kinerja Kemenkes RI”, hal. 12-15
6
Ibid.
7
BPPSDM Kesehatan dari Kemenkes RI Tahun 2007, “Profil Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Tahun 2007”, hal. 40
8
Ibid.
9
Ferry Efendi (Dosen di Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga), jawaban e-mail untuk
peneliti, 19 Maret 2017.
10
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, “Data Program Studi”
11
Ibid.
12
Ibid.
13
BPPSDM Kesehatan dari Kemenkes RI Tahun 2007, loc.cit.
14
BPPSDM Kesehatan dari Kemenkes RI Tahun 2007, loc.cit.
15
Agus Suwandono et. al., “Human Resources on Health (HRH) For Foreign Countries: A Case
of Nurse ‘Surplus’ in Indonesia”, hal.5-11
16
BAPPEDA Provinsi Jawa Timur, “12 Ribu Perawat Masih Menganggur”
17
BPPSDMKesehatan Kemenkes RI Tahun 2010, “Profil Kesehatan Indonesia 2010”, hal 42,
18
Agus Suwandono et. al., loc.cit.
19
Ibid.
20
BeritaSatu.com, “Surplus Sementara, Tenaga Perawat Indonesia Dikirimkan ke Jepang”
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Tri Rini Puji Lestari, “Pendidikan Keperawatan: Upaya Menghasilkan Tenaga Perawat
Berkualitas”, Jurnal Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR RI 2014, hal.3
24
Peraturan.go.id, “UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan”
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Peraturan.go.id, “UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan”
28
Tri Rini Puji Lestari, op.cit. hal.6
29
Dita Hanna Febriani (Perawat Indonesia yang sedang melanjutkan studi S2 di National Cheng
Khung University, Taiwan), jawaban pertanyaan untuk peneliti, 1 Juni 2017.
30
Ibid.
31
Peraturan.go.id, “UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan”, loc.cit.
32
Ibid.
33
Setyowati (Dosen dan Profesor di Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia),
jawaban e-mail untuk peneliti, 16 Maret 2017.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ganewati Wuryandari, Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik, hal. 2-
10
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Andhik Beni Saputra, “Politik Luar Negeri Indonesia Dibawah Susilo Bambang Yudhoyono
Tahun 2009-2010”, hal. 3
40
Ibid. hal. 3
commit to user

74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41
Ganewati Wuryandari, op.cit. hal. 194
42
Teuku Faizasyah, POLUGRI 101 Kutipan Presiden SBY: Mengenai Diplomasi RI dan Hubungan
Internasional, hal. 4-5
43
Ratna Shofi Inayati, “Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri
Indonesia”, hal. 9
44
Teuku Faizasyah, POLUGRI 101 Kutipan Presiden SBY: Mengenai Diplomasi RI dan Hubungan
Internasional, op.cit., hal. 68-72
45
Teuku Faizasyah, POLUGRI 101 Kutipan Presiden SBY: Mengenai Diplomasi RI dan Hubungan
Internasional, op.cit., hal. 156
46
Teuku Faizasyah, “SBY dan Para Pemimpin Dunia Sebuah Potret Kerjasama dan Kemitraan
Diplomasi Bilateral”, hal.93
47
Ibid.
48
Ministry of Foreign Affairs of Japan (MOFA), “JIEPA-Joint Study Group Report”, hal. 14
49
Ibid.
50
Michele Ford dan Kumiko Kawashima, “Regulatory Approaches to Managing Skilled
Migration: Indonesian Nurses in Japan”, hal. 237
51
Ministry of Foreign Affairs of Japan (MOFA), loc.cit.
52
Ibid.
53
Ferry Efendi (Dosen di Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga), jawaban e-mail untuk
peneliti, 19 Maret 2017.
54
“Memorandum of Understanding Between The National Board for the Placement and
Protection of Indonesian Overseas Workers And The Japan International Corporation of
Welfare Services”, salinan MoU dari BP3TKI Yogyakarta untuk Peneliti, 14 Februari 2017.
55
BNP2TKI, “Penempatan TKI melalui Program G to G ke Jepang”
56
Ibid.
57
Hasil wawancara langsung peneliti dengan BP3TKI Yogyakarta, dilaksanakan pada tanggal
14 Februari 2017.
58
Kementerian Perdagangan RI, “Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA)”
59
Teuku Faizasyah, SBY dan Para Pemimpin Dunia Sebuah Potret Kerjasama dan Kemitraan
Diplomasi Bilateral, op.cit., hal.92
60
Ibid. hal.93
61
David Adam Stott, “The Japan-Indonesia Economic Partnership: Agreement Between Equals?”,
hal. 4-6
62
Ibid.
63
Ibid.
64
Ibid.
65
Ministry of Foreign Affairs of Japan, “Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement
(Press Release)”
66
Ibid.
67
Kementerian Perdagangan RI, loc.cit.
68
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Analisis Dampak IJEPA”
69
“Memorandum of Understanding Between The National Board for the Placement and
Protection of Indonesian Overseas Workers And The Japan International Corporation of
Welfare Services”, salinan MoU dari BP3TKI Yogyakarta untuk Peneliti, 14 Februari 2017.
70
Shun Ohno, “Southeast Asian Nurses and Caregiving Workers Transcending the National
Boundaries: An Overview of Indonesian and Filipino Workers in Japan and Abroad”, hal. 541
71
Ibid.
72
Jeff Kingston, “Immigration Reform? Could this be Abe’s new growth strategy.”
73
Jeff Kingston, ibid.
74
Yuko Hirano, “Foreign Care Workers in Japan: A Policy Without a Vision”
75
Japanese Nursing Association, “Improvement of Work Environment”, hal.15
76
Gabriele Vogt, “When the Leading Goose Gets Lost: Japan’s Demogrphic Change and the
commit to user
Non-Reform of Its Migration Policy”, hal.23

75
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77
Ministry of Health, Labour and Welfare’s Statement dalam artikel “Migration of Health
Workers Under the Japan-Philippines and Japan-Indonesia Economic Partnership Agreements:
Challenges and Implications of the Japanese Training Framework” oleh Yoshiko Naiki.
78
Yoshiko Naiki, “Migration of Health Workers Under the Japan-Philippines and Japan-
Indonesia Economic Partnership Agreements: Challenges and Implications of the Japanese
Training Framework”, hal. 2
79
Jon Emont, Foreign Policy.com , “Japan Prefers Robot Bears to Foreign Nurse”
80
Yoshiko Naiki, op.cit., hal. 4
81
Gabriele Vogt, op.cit., hal.26
82
Yoshiko Naiki, op.cit., hal. 3
83
Anna Kurniati et.al., “A Deskilling and Challenging Journey: The Lived Experience of
Indonesian Nurses Returnees”, hal. 6
84
Hasil wawancara langsung peneliti dengan BP3TKI Yogyakarta, dilaksanakan pada tanggal
14 Februari 2017.
85
Ibid.
86
Ibid.
87
BNP2TKI, “Penempatan TKI melalui Program G to G ke Jepang”, loc.cit.
88
Ibid.

commit to user

76

Anda mungkin juga menyukai