Anda di halaman 1dari 119

BERKAS PERKARA SIDANG PRAKTIK PERADILAN MAHKAMAH

KONSTITUSI
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG PUTUSAN
NOMOR 85/PUU-VI/2023

ANGGOTA KELOMPOK 1 (KELAS I )


1 Agnezsa Mulia Winawati 20210610009 10 Wildan Fajri Khomeini 20210610171
Mohamad Adam Putra Rakha Adhwa Sani
2 20210610013 11 20210610181
Hidayat Wijaya
3 Mirza Putri Arnesia 20210610075 12 Melia Putri Maharani 20210610186
4 Aulia Surya Fariza 20210610076 13 Danny Prima Arlida 20210610192
R.M Hafizh Swardana
5 Candela Raksi Salsabila 20210610102 14 20210610222
Suryo Bintoro
6 Eka Wahyu Widiarti 20210610111 15 Damar Pratiwi 20210610239
Inggrid Janainah
7 20210610112 16 Salsabila Zain 20210610275
Salsabilah
Pingkan Kusuma
8 Vio Kusuma Pertiwi 20210610117 17 20210610482
Wisudananda
9 Nayzalika Dzikra Haura 20210610143

Dosen Pengampu :
Dr. Anna Triningsih, S.H., M.Hum.

Instruktur :
Sri Ratu Nurulnisa A.

Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2023
0
PEMBAGIAN PERAN

NAMA NIM PERAN


R.M Hafizh Swardana Suryo Hakim Ketua
1 20210610222
B
Hakim Anggota 1
2 Salsabila Zain 20210610275
Hakim Anggota 2
3 Pingkan Kusuma W. 20210610482
Hakim Anggota 3
4 Eka Wahyu widiarti 20210610111
Hakim Anggota 4
5 Aulia Surya Fariza 20210610077
Hakim Anggota 5
6 Danny Prima Arlida 20210610192
Hakim Anggota 6
7 Melia Putri Maharani 20210610186
Hakim Anggota 7
8 Mirza Putri Arnesia 20210610075
Hakim Anggota 8
9 Damar Pratiwi 20210610239
Panitera
10 Vio Kusuma Pertiwi 20210610117
Pemohon 1
11 Agnezsa Mulia Winawati 20210610009
Pemohon 2
12 Inggrid Janainah Salsabilah 20210610112
Termohon
13 Candela Raksi Salsabila 20210610102
Termohon
14 Nayzalika Dzikra Haura 20210610143
Mohamad Adam Putra Ahli Pemohon
15 202106100013
Hidayat (Pemerintah)
Ahli Pemohon
16 Wildan Fajri Khomeini 20210610171
Ahli Termohon
17 Rakha Adhwa Sani Wijaya 20210610181
(DPR)

1
DAFTAR ISI

PEMBAGIAN PERAN ...................................................................................................... 1

KASUS POSISI .................................................................................................................. 3

SURAT KUASA PEMOHON ........................................................................................... 6

SURAT KUASA TERMOHON (PEMERINTAH)......................................................... 9

SURAT KUASA TERMOHON (DPR) .......................................................................... 12

SURAT PERMOHONAN ............................................................................................... 15

SURAT KETERANGAN (PEMERINTAH) .................................................................. 22

SURAT KETERANGAN (DPR)...................................................................................... 26

PENGANTAR ALAT BUKTI PEMOHON .................................................................. 37

PENGANTAR ALAT BUKTI TERMOHON (PEMERINTAH) ................................ 40

PENGANTAR ALAT BUKTI TERMOHON (DPR) ................................................... 43

PUTUSAN......................................................................................................................... 46

LAMPIRAN ..................................................................................................................... 92

2
KASUS POSISI

3
POSISI KASUS

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Allam (UU
SDA) ditolak oleh Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (APAMDK). APAMDK
menyatakan bahwa UU SDA menghambat investasi di bidang penggunaan sumber dan air
untuk kepentingan usaha, padahal investasi di bidang penggunaan sumber daya air untuk air
minum dalam kemasan merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan air minum bagi
kepentingan umum. Nyatanya, UU SDA menghambat peran masyarakat (dunia usaha) untuk
berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan air minum yang baik bagi masyarakat.
Ketentuan dalam UU SDA yang dianggap oleh APAMDK memiliki masalah konstitusional
yaitu Pasal 46 UU SDA. Dimana dalam Pasal 46 UU SDA mengatur:
Pasal 46
(1) Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha diselenggarakan dengan
memperhatikan prinsip:
a. Tidak mengganggu, tidak mengenyampingkan, dan tidak meniadakan hak rakyat
atas Air;
b. Perlindungan negara terhadap hak rakyat atas Air;
c. Kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia;
d. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas Air bersifat mutlak;
e. Prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha diberikan
kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha
milik desa; dan
f. Pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada
pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih
terdapat kesediaan Air.
(2) Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha ditujukan untuk meningkatkan
kemanfaatan Sumber Daya Air bagi kesejahteraan rakyat.
(3) Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan mengutamakan kepentingan umum.
Menurut APMKD, ketentuan Pasal 46 UU ayat (1) huruf e dan huruf f yang mengatur:

4
a. Prioritas utama penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha diberikan kepada
badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau badan
usaha milik desa (BUMDes); dan
b. Pemberian izin penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha kepada pihak
swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih
terdapat kesediaan air,
Membuat pelaku usaha swasta yang berkeinginan ingin terlibat dalam upaya-upaya
pemenuhan kebutuhan air minum bagi masyarakat dengan memperoleh keuntungan yang
tetap dalam koridor keekonomian tidak terpenuhi, karena:
a. Pelaku usaha swasta menempati prioritas terakhir dalam pengusahaan penggunaan
sumber daya air, setelah BUMN, BUMD, dan BUMDes yang hal ini bersifat
diskriminatif;
b. Pelaku usaha swasta dipersyaratkan persyaratan yang berat dan berbeda (Pasal 46
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d) yang hal ini bersifat diskriminatif.

Berdasarkan hal tersebut, APAMDK mengajukan permohonan uji materiil Pasal 46 ayat (1)
huruf e dan huruf f ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

5
SURAT KUASA
PEMOHON

6
SURAT KUASA KHUSUS
(Bijzondere Schriftelijke Machtiging)
Nomor: 20 /SKK.MK/I/2023

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Dr. Muhammad Razka S.E M.M


Pekerjaan : Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan
(APAMDK)
Alamat : Jalan Garuda No. 01 RT07/02, Parakancanggah, Kelapa Gading, Kota
Jakarta Utara, DKI Jakarta

untuk selanjutnya disebut PEMOHON;


Dalam hal ini, memilih domisili di kantor kuasanya serta menerangkan bahwa dengan surat
kuasa ini pemberi kuasa memberikan Kuasa Penuh kepada:
1. Agnezsa Mulia Winawati ,S.H.,M.H.
2. Inggrid Janainah Salsabillah ,S.H.,M.H.
Kesemuanya adalah Advokat/Penasihat Hukum pada Kantor “Victory law Office” yang
beralamat di Jalan Jendral sudirman Nomor 70, Jakarta Pusat, Telp/Fax. (0214) 874589,
email: victorylawoffice@gmail.com baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang
selanjutnya disebut sebagai PENERIMA KUASA;
………………………………………….KHUSUS………………………………………..
● Untuk mewakili, mendampingi serta membela seluruh kepentingan Pemberi Kuasa;
● Menghadiri seluruh persidangan di Mahkamah Konstitusi dan membuat serta
menyusun keterangan-keterangan; mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi; ahli;
menandatangani surat-menyurat yang terkait dalam perkara ini;
Untuk keperluan tersebut diatas Penerima Kuasa dikuasakan untuk menghadap
pejabat- pejabat, Hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi, dan Jawaban-jawaban, serta
memberikan segala keterangan-keterangan yang diperlukan sehubungan dengan
masalah tersebut diatas;

7
● Membuat, menandatangani, mengajukan, menerima surat-surat lain, sehubungan
dengan masalah tersebut diatas. Singkatnya, Penerima Kuasa diberi kuasa untuk
mengambil segala tindakan guna membela kepentingan Pemberi Kuasa sebagaimana
layaknya seorang Penerima Kuasa yang baik.

Demikian surat kuasa ini diberikan dengan hak substitusi, hak retensi dan melakukan segala
upaya dan tindakan hukum guna kepentingan PEMBERI KUASA.

Jakarta, 1 Januari 2023

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Agnezsa Mulia Winawati , S.H., M.H. Dr. Muhammad Razka, S.E M.M.

Inggrid Janainah , S.H., M.H.

8
SURAT KUASA
TERMOHON
(PEMERINTAH)

9
SURAT KUASA KHUSUS
(Bijzondere Schriftelijke Machtiging)
Nomor: 039/SKK.MK/VI/2023

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Joko widodo
Pekerjaan : Presiden Republik Indonesia
Alamat : Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat
Selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa,
Dengan ini memberi kuasa kepada :
Nama : Naydzalika Dzikra Haura S.H.,M.H.,LL.M
Pekerjaan : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Alamat : Jalan Veteran No. 10, RT.12/RW.15, Kecamatan Ciliwung,
Jakarta Timur
Merupakan wakil dari pemerintah untuk hadir dan memberikan keterangan pada persidangan
tanggal 11 Januari 2023. Selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.
----------------------------------------------KHUSUS---------------------------------------------------
Bertindak dan atas nama Pemberi Kuasa untuk memberikan keterangan dalam perkara Permohonan
Pengujian Undang-Undang Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17 tahun
2019 terhadap pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap dan dimuka Mahkamah Konstitusi serta badan-badan
kehakiman lain, pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan permohonan tersebut mengajukan
permohonan yang perlu, mengajukan dan menandatangani permohonan, mengajukan permohonan
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut permohonan, menjalankan
perbuatan perbuatan, kesimpulan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum
harus dijalankan atau di berikan oleh seorang kuasa dan membuat segala sesuatu yang dianggap
perlu oleh Penerima Kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak subtitusi.

10
Jakarta, 8 Januari 2023

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Naydzalika Dzikra Haura S.H.,M.H.,LL.M Ir. H. Joko Widodo

11
SURAT KUASA
TERMOHON (DPR)

12
SURAT TUGAS

NOMOR: 300/A.3-VII/XII/2023

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Puan Maharani

NIP : 19660317199008153009

Jabatan: Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Dengan ini memberikan tugas kepada

Nama : Candela Raksi Salsabila, S.H., M.Hum

NIP : 19888020312312546768

Pangkat : Pembina Tingkat I (IV/b)

Jabatan: Direktur Tata Negara Dewan Perwakilan Rakyat RI

Merupakan wakil dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk hadir dan memberikan keterangan pada
persidangan tanggal 11 Januari2023. Selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

...............................................................................KHUSUS.............................................................................

Bertindak dan atas nama Pemberi Kuasa untuk memberikan keterangan dalam perkara Permohonan
Pengujian Undang-Undang Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019
terhadap pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Demikian surat tugas ini dibuat untuk dipergunakan sebagai mana mestinya.

13
Jakarta, 8 Januari 2023

Peneima Kuasa Ketua DPR RI/Pemberi Kuasa

Candela Raksi Salsabila, S.H., M.Hum Puan Maharani

14
SURAT
PERMOHONAN

15
Jakarta, 4 Januari 2023

Hal : Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber


Daya Air Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Terhadap Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945

Kepada Yth.
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Di Jakarta Pusat 10110

Kami yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Dr. Muhammad Razka S.E M.M


Pekerjaan : Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (APAMDK) (P-1)
Alamat : Jalan Garuda No. 01 RT07/02, Parakancanggah , Kelapa Gading, Kota Jakarta Utara,
DKI Jakarta.
Dalam hal ini, memilih domisili di kantor kuasanya yang akan disebut dibawah ini, menerangkan
bahwa dengan surat kuasa ini pemberi kuasa memberikan Kuasa Penuh kepada:
1. Agnezsa Mulia Winawati ,S.H.,M.H.
2. Inggrid Janainah Salsabillah ,S.H.,M.H.
Kesemuanya adalah Advokat/Penasihat Hukum pada Kantor “Victory law Office” yang beralamat di
Jalan Jendral sudirman Nomor 70, JakartaPusat, Telp/Fax. (0214) 874589, email:
victorylawoffice@gmail.com baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas
nama Pemohon.
Untuk selanjutnya disebut sebagai “PEMOHON”

Pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian Materiil Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf
f Undang-undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air pada huruf e yang berbunyi
“prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha
16
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa” dan huruf f yang berbunyi
“pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat
dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan Air” terhadap Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN

1. Bahwa menurut ayat 2 Pasal 28C, "Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya".
2. Bahwa berdasarkan Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum”.
3. Bahwa berdasarkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan memutus permohonan yang diajukan oleh Pemohon.

II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN PEMOHON


1. Pasal 51 (1) UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa "Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang", dengan kata lain:
a. Perorangan Warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik dan privat atau;
d. Lembaga negara.
2. Bahwa Karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air,
khususnya Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f, para pemohon adalah warga negara
Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan.
3. Bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan pendahuluan
pada tanggal 13 Desember 2019, dan memutuskan, Agar identitas pemohon dan
17
status hukum mereka jelas, yaitu mereka yang hak konstitusionalnya langsung
dilanggar oleh undang-undang
4. Berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber
Daya Air, ayat (1) huruf e dan huruf f menunjukkan bahwa pelaku usaha swasta
menempati prioritas terakhir dalam pengusahaan penggunaan sumber daya air,
setelah BUMN, BUMD, dan BUMDes.
5. Bahwa mereka adalah pengusaha dan masyarakat yang tergabung dalam Asosiasi
Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (APAMDK), yang terdampak secara
langsung dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air,
kami memutuskan untuk mempertahankan para pemohon yang telah mengajukan
permohonan pengujian undang-undang.

Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum (kedudukan hukum) yang


diperlukan untuk menjadi Pemohon dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN


1. Bahwa yang menjadi permasalahan pokok dalam permohonan ini adalah dimuatnya
ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2019 tentang Sumber Daya Air, yang berisi mengenai prioritas utama penggunaan
Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa dan pemberian izin
penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat
dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan Air;
2. Bahwa air telah diakui oleh pembuat undang-undang (in casu UU SDA)
sebagaimana tertera jelas dalam konsideran Menimbang huruf a yang menyatakan
"bahwa air merupakan kebutuhan dasar hidup manusia yang dikaruniakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa Indonesia" dan huruf b yang
menyatakan "bahwa air sebagai bagian dari sumber daya yang merupakan cabang
produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh
negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan
amanat undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945";
3. Bahwa hal ini sesungguhnya sama dengan penjelasan umum undang-undang SDA
yang menyatakan "bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan

18
untuk sebesar - besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, Negara menjamin hak rakyat
atas air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang
sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik aman, dan jaga
keberlangsungannya dan terjangkau";
4. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas seharusnya UU SDA lebih memberikan
perlindungan terhadap kepentingan kelompok masyarakat ekonomi lemah dengan
menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu menyelaraskan
fungsi sosial, pelestarian lingkungan hidup, dan ekonomi;
5. Bahwa dengan pelaku usaha swasta yang menjadi prioritas terakhir dalam
pemberian izin pengusahaan sumber daya air, hal ini tentu bertentangan dengan
hak– hak sebagai warga negaranya. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap
warganegara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah.
Hal ini justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi,
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pelaku usaha swasta
pastinya akan menuntut dan berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum, namun apabila pelaku usaha swasta ini tetap menjadi prioritas
terakhir dalam pemberian izin pengusahaan sumber daya air, maka hal tersebut
justru melanggar hak pelaku usaha swasta;
6. Bahwa pelaku usaha swasta yang berkeinginan ingin terlibat dalam upaya-upaya
pemenuhan kebutuhan air minum bagi masyarakat dengan memperoleh keuntungan
yang tetap dalam koridor keekonomian tidak terpenuhi. Tentu hal ini disebabkan
pelaku usaha menempati prioritas terakhir dalam pengusahaan sumber daya air serta
pemberian izin dipersulit dan persyaratan yang berat, dalam hal ini justru berbeda
dengan isi Pasal 33 ayat (4), yang berbunyi, “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Sesuai
dengan bunyi pasal tersebut, pelaku usaha swasta tidak mendapatkan kesempatan
yang semestinya yang dimana terdapat dalam isi pasal tersebut;
7. Bahwa terdapat kata “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan” di Pasal 33 ayat 4 UUD 1945,
tentu hal ini tidak selaras dengan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU SDA, karena
pelaku usaha swasta tidak merasa bahwa dalam pengusahaan sumber daya air
menerapkan dan/atau diselenggarakan secara berdasar atas demokrasi ekonomi

19
dengan prinsip kebersamaan, tetapi malah sebaliknya;
8. Bahwa selanjutnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menegaskan perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional;
9. Bahwa keberadaan pelaku usaha swasta dalam pengusahaan sumber daya air
seharusnya tidak ditempatkan dalam prioritas terakhir, melihat pembangunan
infrastruktur penyediaan dan pengelolaan air membutuhkan modal hingga triliunan
rupiah, sehingga pemerintah belum sanggup untuk memenuhinya. Swasta harus
benar-benar terlibat dalam pengusahaan penggunaan air supaya anggaran
pemerintah bisa dialokasikan untuk penyediaan air bagi daerah yang tidak
terjangkau. Syaratnya bahwa SDA tetap dikuasai dan dikelola oleh negara tetapi
tetap melibatkan pihak swasta sebagai prioritas;
10. Bahwa “diskriminasi” dapat diartikan sebagai setiap perlakuan yang berbeda yang
dilakukan terhadap satu pihak tertentu. Sebagai contoh dalam dunia usaha, pelaku
usaha melakukan praktik diskriminasi hal tersebut dikarenakan adanya preferensi
terhadap pelaku usaha tertentu yang lahir dari pengalaman bertahun-tahun atas
tujuan efisiensi. Praktik diskriminasi lain dapat terjadi karena alasan untuk
mengeluarkan perusahaan pesaing dari pasar atau menghambat pesaing potensial
untuk masuk pasar. Praktik diskriminasi jenis ini tentunya akan melanggar prinsip
persaingan usaha yang sehat. Mengingat hal tersebut, berdasarkan Pasal 46 ayat (1)
huruf f pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha
kepada pihak swasta dilakukan dengan syarat tertentu sesuai dengan Pasal 46 ayat
(1) huruf a sampai d. Adanya persyaratan yang berat dan berbeda antara pelaku
usaha swasta dengan BUMN, BUMD, dan BUMDes mengakibatkan adanya
tindakan diskriminasi yang diterima oleh pihak swasta tersebut.

IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1) Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan;
2) Menyatakan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945;
3) Menyatakan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17
20
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.

Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (Ex Aequo et Bono).

Hormat Kami,

Penerima Kuasa

Agnezsa Mulia Winawati , S.H.,M.H. Inggrid Janainah , S.H.,M.H.

21
SURAT
KETERANGAN
(PEMERINTAH) )

22
KETERANGAN PRESIDEN
ATAS
PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2019 TENTANG SUMBER DAYA AIR
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DALAM PERKARA NOMOR: 85/PUU-I/2023

Kepada:
Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Di
J A K A R TA

Dengan Hormat
yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Nayzalika Dzikra Haura S.H., M.H., LL.M., Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM)

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia (yang
selanjutnya disebut PEMERINTAH). Perkenankanlah kami menyampaikan
keterangan presiden baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang
utuh dan tak terpisahkan atas permohonan pengujian (constitutional review)
ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf e sampai f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019
tentang Sumber Daya Air atau (selanjutnya disebut UU SDA) terhadap pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan pasal 33 ayat (4) Udang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yang dimohonkan
oleh Dr. Muhammad Razka S.E M.M untuk selanjutnya disebut sebagai
PEMOHON, sesuai Registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor:

23
85/PUU-I/2023 tanggal 4 Januari 2023.

Selanjutnya perkenankanlah PEMERINTAH menyampaikan keterangan atas


permohonan pengujian UU SDA sebagai berikut

I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON


Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang dalam hal ini
menjabat selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum
Kemasan, dalam perkara ini merasa hak konstitusionalnya secara spesifik dan aktual
melanggar atau setidak-tidaknya berpotensi terlanggar dengan keberadaan Pasal 46
ayat (1) huruf e sampai dengan f tentang Izin Penggunaan Sumber Daya Air untuk
Kebutuhan Usaha yang dimana dalam perumusannya PEMOHON merasa tidak
tercapainya hak PEMOHON atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum di dalam kegiatannya
dalam pemanfaatan sumber daya air atau yang selanjutnya dapat disebut pelaku usaha
pengguna sumber daya air sesuai dengan ketentuan pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Bahwa PEMOHON merasa dalam ketentuan daripada pembatasan penggunaan


sumber daya air sebagai kegiatan usaha dibatasi dengan ketentuan pasal 46 ayat (1)
Undang-Undang Sumber Daya Air (selanjutnya disebut UU SDA), sehingga
PEMOHON berpendapat hak kolektifnya sebagai warga negara tidak dapat diterima
secara utuh terhadap atau yang dalam hal ini terhadap kegiatan PEMOHON sebagai
pelaku usaha pengguna sumber daya air.

Bahwa menurut PEMOHON selanjutnya merasa hak konstitusionalnya dirugikan


berdasarkan ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf e, sebagaimana berlakunya ketentuan
tersebut tidak memberikan keadilan dalam pemanfaatan penggunaan sumber daya air
kepada seluruh warga negara atau yang dalam hal ini bertindak sebagai pelaku usaha
dibidang penyedia air minum yang selanjutnya disebut sebagai pelaku usaha
pengguna sumber daya air milik Non Pemerintah atau Swasta. PEMOHON merasa
terjadi ketimpangan hak dan kewajiban selaku warga negara dalam pemanfaatan
sumber daya air sebagai pihak swasta yang di dalam pernyataan huruf e ditempatkan
sebagai prioritas terakhir penggunaan sumber daya air dalam kegiatan usaha setelah
Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
24
(selanjutnya disebut BUMD), dan Badan Usaha milik Desa (selanjutnya disebut
BUMDes).

Bahwa menurut PEMOHON selanjutnya merasa keberatan atas tindaklanjut daripada


ketentuan mengenai pasal 46 ayat (1) huruf f dimana PEMOHON merasa dirugikan
dengan adanya pembebanan syarat dalam penggunaan sumber daya air yang berbeda
dengan pihak pengguna sumber daya air yang lain atau dalam hal ini pelaku usaha
milik pemerintah, selanjutnya menurut PEMOHON syarat-syarat penggunaan
sumber daya air untuk kegiatan usaha sebagaiman telah dijelaskan di dalam huruf a
sampai dengan d adalah syarat yang mutlak atau dapat diterima semua pihak pelaku
usaha pengguna sumber daya air dalam kegiatan usaha, namun atas ketentuan lebih
lanjut yang dijelaskan pada huruf f mengenai izin penggunaan sumber daya air
kepada pihak swasta diberlakukan syarat tertentu dan ketat setelah semua prinsip
terpenuhi dan masih terdapat kesediaan air, sehingga PEMOHON tidak terciptanya
penyelenggaraan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efiensi
berkeadilan, dan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan pada pasal 33 ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Bahwa menurut PEMOHON ketentuan dalam perumusan pasal 46 ayat (1) huruf e
sampai dengan f tentang Izin Penggunaan Sumber Daya air untuk Kebutuhan Usaha
telah menghalangi hak konstitusional PEMOHON selaku pelaku usaha yang dalam
hal ini bertindak sebagai penyedia air minum dalam kemasan non pemerintah atau
swasta dalam mengembangkan usahanya dikarenakan terdapat ketentuan pembatasan
pihak pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan huruf e
pasal 46 ayat (1), sehingga PEMOHON merasa dalam pemenuhan haknya sebagai
warga negara yang selanjutnya disebut pelaku usaha, telah terjadi tindak
diskriminatif terhadap kedudukannya sebagai pihak swasta yang ditempatkan sebagai
prioritas terakhir dalam penggunaan sumber daya air sebagai objek usaha.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK (BUKTI PEMERINTAH-1)
menyatakan yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh
berlakunya suatu Undang-Undang yaitu:
25
“PEMOHON adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan Warga Negara Indonesia;


b. Kesatuan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum public dan privat, atau;
d. Lembaga negara”.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan


“hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945;. Dengan
demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai PEMOHON yang
memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) dalam permohonan pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu PEMOHON harus menjelaskan
dan membuktikan:
a. Kualifikasi dalam permohomam a quo sebagaimana yang disebut dalam Pasal
51 ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang
dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON sebagai akibat
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
tanggal 31 Mei 2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal
20 September 2007 (BUKTI PEMERINTAH-2), dan putusan-putusan selanjutnya,
Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima)
syarat sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan actual,
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
26
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh PEMOHON dalam perkara pengujian
undang-undang a quo, maka PEMOHON tidak memiliki kualifikasi kedudukan
hukum (legal standing) sebagai PEMOHON.

III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG


DIMOHONKAN UNTUK DIUJI
Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan-alasan/argumentasi yang
diajukan oleh Pemohon yang menyatakan bahwa:
1. Ketentuan Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2019 ((BUKTI PEMERINTAH-3) tentang Sumber Daya Air bertentangan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa dalam penjelasan selanjutnya juga keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam Pasal 28C Ayat (2) Undang-Undang 1945 berbunyi, “Setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Hal ini menegaskan
bahwasanya dalam Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan huruf f tidak berkaitan dengan
Pasal 28C Ayat (2) Undang-Undang 1945 (BUKTI PEMERINTAH-4), karena
konteksnya beda. Sebab dalam Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan huruf f berkaitan
dengan prioritas penggunaan sumber daya air dan pemberian izin penggunaan
sumber daya air, sedangkan dalam Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945 tidak
menjelaskan secara eksplisit tentang bagaimana ketentuan prioritas penggunaan
sumber daya air dan pemberian izin sumber daya air;
2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) menyatakan bahwa “setiap warga
masyarakat dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan
maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi ketentuan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis” (BUKTI PEMERINTAH-5). Dari
rumusan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) tersebut, maka hak-hak warga negara
27
dapat dibatasi dengan undang-undang. Bahwa Pemerintah berpendapat, Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkandung 6 (enam) prinsip dasar
pembatasan Pengelolaan Sumber Daya Air yang antara lain menyatakan “…
pemberian izin Pengusahaan Sumber Daya Air kepada usaha swasta dapat
dilakukan dengan syarat-syarat tertentu dan ketat ...”. Prinsip tersebut
mengandung arti bahwa di dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, kegiatan
Pengusahaan Sumber Daya Air oleh badan usaha swasta merupakan prioritas
terakhir, sehingga persyaratan tertentu dan ketat dapat dilaksanakan
Pengusahaan Sumber Daya Air tidak sekedar merupakan syarat dalam
permohonan izin tetapi merupakan bagian dari seluruh aspek dalam
penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air. Dengan demikian pengaturan
mengenai persyaratan tertentu dan ketat harus diatur mulai dari pengaturan
penyusunan rencana penyediaan Sumber Daya Air yang merupakan bagian dari
rencana Pengelolaan Sumber Daya Air, prioritas pemberian izin, prioritas
alokasi Air, dan pengawasan pelaksanaan kegiatan Pengusahaan Sumber Daya
Air serta pemberian sanksi dalam rangka penegakan hukum;
3. Sesuai dengan peran dari BUMN, BUMD, BUMDes itu sendiri salah satunya,
yaitu sebagai pelaksana pelayanan umum seperti penyediaan fasilitas sekolah
atau kesehatan, pembangunan jalan, dan penyediaan air bersih bagi masyarakat.
Kebijakan ini bertujuan melindungi hak asasi rakyat guna mengakses air,
terutama air bersih. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan
secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (SDA) (BUKTI PEMERINTAH-6) karena tidak memenuhi enam prinsip
dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian putusan dengan
Nomor 85/PUU-XII/2013 (BUKTI PEMERINTAH-7) dibacakan oleh ketua
MK R.M Hafizh Swardana di Ruang Sidang Pleno MK. Keputusan Mahkamah
Konstitusi yang harus dijalankan setelah putusan yang membatalkan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dinilai bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945. Penggunaan sumber daya air termasuk air
tanah diawasi dan dikendalikan secara mutlak oleh Pemerintah. Oleh karena itu,
pengusahaan air diprioritaskan bagi BUMN, BUMD, BUMDes;
4. Bahwa pengaturan terhadap perizinan dan alokasi Air diperlukan karena
ketersediaan Air secara alamiah tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang
semakin berkembang. Sehubungan dengan hal tersebut, persaingan antara
28
kebutuhan Air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dengan kebutuhan
Air untuk penggunaan lainnya, termasuk kegiatan pengusahaan yang
memerlukan sumber daya Air, di masa yang akan datang akan semakin
meningkat. Untuk menjamin pemanfaatan dan pemakaian Air yang adil dan
merata diperlukan pengaturan perizinan dan alokasi Air, baik untuk pemenuhan
kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat serta Pengusahaan Sumber
Daya Air. Perizinan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air diselenggarakan
dengan maksud untuk memberikan perlindungan terhadap hak rakyat atas Air,
pemenuhan kebutuhan para pengguna Sumber Daya Air dan perlindungan
terhadap Sumber Daya Air;
5. Bahwa Tidak dapat dipungkiri bahwa pemenuhan kebutuhan manusia pada saat
ini dan terutama pada masa-masa mendatang tidak terbatas pada pemenuhan
kebutuhan primer, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian
rakyat, tetapi juga mencakup keperluan untuk memenuhi kebutuhan sekunder,
misalnya energi, transportasi, olah raga, pariwisata, dan lain-lain. Upaya untuk
memenuhi kebutuhan sekunder tersebut seringkali memerlukan dukungan
Sumber Daya Air melalui kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air. Untuk
melindungi hak rakyat atas Air dan prioritas pemenuhan kebutuhan Air bagi
kegiatan usaha maka kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air harus dilakukan
berdasarkan Izin Pengusahaan Sumber Daya Air atau Izin Pengusahaan Air
Tanah;
6. Dengan memperhatikan, dalam rangka memprioritaskan hak-hak masyarakat
atas Air, mengatur penggunaan Sumber Daya Air dan mencegah terjadinya
konflik antar pengguna Sumber Daya Air maka perlu diatur prioritas pemberian
izin dan alokasi Air. Air merupakan kebutuhan mendasar yang tidak tergantikan
bagi kehidupan manusia, oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pokok sehari-
hari merupakan prioritas yang utama di atas semua kebutuhan. Pemerintah wajib
menjamin kebutuhan pokok minimal sehari-hari masyarakat. Hal ini tidak lain
untuk menjamin hak setiap orang untuk memperoleh Air bagi kehidupan yang
bersih, sehat, dan produktif;
7. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang ditetapkan bukan merupakan izin
untuk memiliki atau menguasai Air dan/atau Sumber Air, tetapi hanya terbatas
pada pemberian izin oleh pemerintah kepada pemegang izin untuk memperoleh
dan mengusahakan sejumlah (kuota) Air, daya Air dan/atau Sumber Air sesuai
29
dengan alokasi yang ditetapkan Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada
pengguna Air.Izin Pengusahaan Sumber Daya Air tidak dapat disewakan atau
dipindahtangankan baik sebagian atau seluruhnya;
8. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diberikan apabila Air untuk pemenuhan
kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat telah terpenuhi, serta
sepanjang ketersediaan Air masih mencukupi. Izin Pengusahaan Sumber Daya
Air atau Izin Pengusahaan Air Tanah diberikan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Jumlah kuota Air yang
ditetapkan dalam Izin Pengusahaan Sumber Daya Air tidak bersifat mutlak dan
tidak harus dipenuhi sebagaimana tercantum dalam izin. Alokasi Air diberikan
berdasarkan ketersediaan Air serta prioritas alokasi Air. Di samping itu, kuota
Air yang ditetapkan dalam izin dapat ditinjau kembali apabila persyaratan atau
keadaan yang dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi ketersediaan Air pada
Sumber Air yang bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti;
9. Perizinan merupakan instrumen pengendali untuk mewujudkan ketertiban dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air, melindungi hak masyarakat dalam pemenuhan
kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang telah
ada serta menjamin hak ulayat masyarakat hukum adat setempat atas Air dan hak
yang serupa dengan itu;

Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Demikian keterangan tertulis dari
PEMERINTAH sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk mengambil keputusan.

IV. PETITUM

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohin


kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review)
ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e sampai f Undang-Undang tentang Sumber Daya
Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat
memberikan putusan sebagai berikut:
1) Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);

30
2) Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet
onvankelijke verklaard);
3) Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
4) Menyatakan ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e sampai dengan f Undang-
Undang No 17 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan ketentuan
pasal 28 C ayat (2), pasal 28 D ayat (1), dan pasal 33 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
5) Menyatakan ketentuan pasal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat

Atau
Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono)
Atas perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia, kami
ucapkan terima kasih.

Jakarta, 9 Januari 2023

Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Nayzalika Dzikra Haura S.H., M.H., LL.M.,

25
SURAT
KETERANGAN
(DPR)

26
KETERANGAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ATAS
PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIIL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2019 TENTANG SUMBER DAYA AIR
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DALAM PERKARA NOMOR 85/PUU-I/2023

Jakarta, 9 Januari 2023

Kepada Yth:
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Di Jakarta Pusat

Dengan hormat,
Berdasarkan Keputusan Pimpinan DPR RI NOMOR: 200/A.3-VII/VI/2022 tanggal 9
Januari 2023 telah menugaskan kepada Pembina Tingkat I (IV/b) Direktur Tata Negara DPR
yaitu :

Candela Raksi Salsabila, S.H., M.Hum

Dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas
nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk selanjutnya disebut ---- DPR
RI.

Sehubungan dengan surat nomor 61.66/PUU/6.MK-4/PS/05/2022 tanggal 16 Januari 2023


dari Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) Republik Indonesia, perihal kepada
DPR RI untuk menghadiri dan menyampaikan keterangan di persidangan MK terkait dengan

27
permohonan pengujian materiil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019
tentang Sumber Daya Air (selanjutnya disebut UU SDA) terhadap Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh:
PEMOHON:
Nama : Dr. Muhammad Razka S.E., M.M
Pekerjaan : Ketua Umum Asosiasi Penguaha Air Minum dalam Kemasan (APAMDK)
Alamat : Jalan Garuda No. 01 RT 07/02 Parakancanggah, Kelapa Gading, Kota
Jakarta Utara, DKI Jakarta
Bahwa Pemohon, diwakili oleh kuasa hukumnya, Agnezsa Mulia Winawati, S.H.,
M.H. dan Inggrid Janainah Salsabilah, S.H., M.H. Kesemuanya adalah Advokat/Penasihat
Hukum pada Kantor “Victory Law Offce” yang beralamat di Jalan Jendral Sudirman Nomor
70, Jakarta Pusat, Telp/Fax. (0214) 874589, email: victorylawoffice@gmail.com,
berdasarkan surat kuasa khusus bertindak untuk kepentingan dan atas nama Pemohon
Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian
materiil Pasal 46 ayat (1) hurf e dan huruf f UU SDA terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam
perkara Nomor 85/PUU-I/2023 sebagai berikut:
A. KETENTUAN UU SUMBER DAYA AIR YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN
TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945
Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 46 ayat (1) huruf e
dan huruf f UU SDA yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) (BUKTI
DPR-1), Pasal 28D ayat (1) (BUKTI DPR-2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun
1945 (BUKTI DPR-3) . Bahwa isi ketentuan Pasal 60 huruf g UU SDA adalah sebagai
berikut:
“prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha diberikan kepada
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa;
dan pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada pihak
swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat
ketersediaan Air”.
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP
PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 46
AYAT (1) HURUF E DAN HURUF F UU SUMBER DAYA AIR
Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah
dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f UU SDA

28
yang pada intinya menghambat investasi dibidang penggunaan sumber daya air untuk
kepentingan usaha, padahal investasi dibidang penggunaan sumber daya air untuk air
minum dalam kemasan merupakan bagian dari pemenuhan kepentingan umum.
Kerugian konstitusional Pemohon akibat pasal a quo karena Pemohon selaku pelaku
usaha swasta yang berkeinginan ingin terlibat dalam upaya-upaya pemenuhan
kebutuhan air minum bagi masyarakat dengan memperoleh keuntungan yang tetap
dalam koridor perekonomian tidak terpenuhi.
Bahwa pasal a quo dianggap bertentangan dengan:
i. Pasal 28 C ayat (2) UUD NRI 1945:
“Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”
ii. Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.”
iii. Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Pemohon dalam petitumnya
memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
1) Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan;
2) Menyatakan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 (BUKTI DPR-3) tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945;
3) Menyatakan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex-aequo et bono)
C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan, DPR
RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai
kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:

29
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur
dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK (BUKTI DPR-4) yang menyatakan bahwa
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:
a. Perorangan Warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51
ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini
menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD NRI
Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat
diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka
terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-
undang a quo.
Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan
batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat Vide Putusan Perkara Nomor
006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU/V/2007 (BUKTI DPR-5) yaitu
sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945;

30
b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap
oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara
pengujian undang-undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi
kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan
Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan
terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian
terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari
diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Dalam permohonan ini, Pemohon merupakan perorangan Warga Negara
Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pembentukan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan berlakunya
Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f tentang Sumber Daya Air. Pemohon yang
berinvestasi di bidang sumber daya air untuk kepentingan usaha, serta penggunaan
sumber daya air untuk air minum dalam kemasan beranggapan bahwa kegiatannya
merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan air minum bagi kepentingan umum.
Para pemohon beranggapan dengan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f
menghambat peran masyarakat dunia usaha untuk berpartisipasi dalam pemenuhan
kebutuhan air minum yang baik bagi masyarakat. Dalam legal standing pemohon,
para pemohon menyatakan bahwa pelaku usaha yang berkeinginan dalam upaya-
upaya pemenuhan kebutuhan air minum bagi masyarakat dengan memperoleh
keuntungan yang tetap dalam koridor keekonomian tidak terpenuhi, karena pelaku
usaha swasta menempati prioritas terakhir dalam pengusahaan penggunaan sumber

31
daya air, setelah BUMN, BUMD, dan BUMDes yang hal ini bersifat diskriminatif.
Pemohon yang merupakan masyarakat dan pengusaha yang tergabung dalam
Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (APAMDK) merasa terdampak
secara langsung dari adanya Undang-Undang no 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya
Air.
Terhadap dali-dalil yang yang dikemukakan Pemohon, DPR RI
berpandangan bahwa Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusinal apapun dari
pasal a quo, sebagaimana pemohon dalilkan bahwa pemohon masih sebatas ingin
berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan air minum yang baik bagi masyarakat.
DPR RI berpandangan setidaknya Pemohon perlu membuktikan terlebih dahulu
berdasarkan penalaran yang wajar bahwa niat Pemohon untuk berpartisipasi dalam
pemenuhan kebutuhan air minum yang baik bagi masyarakat terpenuhi supaya unsur
kerugian terbukti.
a. Ketentuan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air menjamin digunakan menjamin hak konstitusional Termohon
dan tidak menghilangkan hak konstitusional Pemohon. Menurut DPR RI Pasal
46 ayat (1) huruf a sampai huruf d tidak bersifat diskriminatif dan Pemohon
masih dapat menjalankan kegiatannya.
b. Pemohon tidak menjelaskan adanya keterkaitan sebab akibat (Causal Verband)
bahwasanya hak konstitusional mereka dirugikan akibat berlakunya Pasal 46
ayat (1) huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber
Daya Air. Oleh karena itu mereka tidak memenuhi persyaratan kedudukan
hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 (BUKTI DPR-4) tentang Mahkamah Konstitusi,
sehingga permohonannya tidak dipertimbangkan.
Dengan demikian, dalil-dalil permohonan tidak jelas dan tidak fokus
(obscuur libels), karena Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara
jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal
a quo yang bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Oleh karena itu, terhadap legal standing
Pemohon yang tidak memiliki keterkaitan dengan pasal a quo dan tidak mengalami
kerugian konstitusi.
DPR RI melalui Majelis memohon kiranya Pemohon dapat membuktikan
terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau

32
kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang
dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya
kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan
menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 61.66/PUU/6.MK-4/PS/05/2022
dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian
konstitusional.
2. Pengujian Materiil Atas UU Pemilu Terhadap UUD NRI Tahun 1945
a. Pandangan Umum
1) Bahwa dalam pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD NRI Tahun 1945
menegaskan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik
Indonesia antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum. Pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD NRI Tahun 1945 juga
menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan Negara Republik Indonesia
harus berdasarkan Pancasila yang merupakan falsafah Bangsa Indonesia,
dimana 2 (dua) sila di antaranya menjelaskan mengenai ‘adil’ dan
‘keadilan’. Sila ke-2 (kedua) Pancasila menyatakan, “Kemanusiaan yang
adil dan beradab.” Sementara itu, sila ke-5 (kelima) Pancasila
menyatakan, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2) Bahwa dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (BUKTI DPR-6)
menegaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” harus dipahami secara utuh serta memiliki
pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam
konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan
konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat
yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai
sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam
kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat” Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup

33
pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah
hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara
kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran Bersama.
3) Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) menyatakan bahwa “setiap
warga masyarakat dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
ketentuan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.”
4) Bahwa berdasarkan argumentasi tersebut di atas, DPR RI berpandangan
bahwa Izin Pengusahaan Sumber Daya Air dalam Pasal 46 huruf e dan f
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air sudah
sejalan dengan amanat UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut dengan
maksud untuk memberikan perlindungan terhadap hak rakyat atas Air,
pemenuhan kebutuhan para pengguna Sumber Daya Air dan
perlindungan terhadap Sumber Daya Air.
b. Pandangan DPR RI terhadap Dalil-Dalil Permohonan
Bahwa terhadap pokok permohonan pengujian Pasal 46 ayat (1) huruf e dan
f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, DPR RI
memberikan keterangan sebagai berikut:
1) Bahwa yang menjadi pokok permasalahan di dalam permohonan ini adalah
mengenai dimuatnya ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f, yang berisi
mengenai prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha
diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau
badan usaha milik desa dan pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk
kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu
dan ketat. Bahwa ketentuan tersebut merupakan pelanggaran dengan 28C Ayat
(1), 28D Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.
2) Bahwa dalam proses pembahasannya di DPR, telah dilakukan putusan yang
memperhatikan aspirasi dan pertimbangan secara maksimal terhadap

34
kemungkinan-kemungkinan yang terburuk atas dicantumkan atau tidaknya
ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f, yang tercermin melalui mekanisme
voting. Bahwa DPR dalam menyusun ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f
telah mempertimbangkan aspek nilai-nilai keadilan dan prinsip – prinsip dasar
pembatasan Pengelolaan Sumber Daya Air sehingga sudah sesuai dengan
ketentuan amanat dari UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi; “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis”.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar
kiranya, Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai
berikut:
1) Menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijkverklaard);
2) Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
3) Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
4) Menyatakan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5) Menyatakan Pasal Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air tetap memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Demikian keterangan tertulis dari DPR RI kami sampaikan sebagai bahan
pertimbangan bagi Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan.

35
Hormat Kami
Pemberi Keterangan
Pembina Tingkat I (IV/b) Direktur Tata Negara DPR

Candela Raksi Salsabila, S.H., M.Hum

36
PENGANTAR
ALAT BUKTI
PEMOHON

37
Jakarta, 08 Februari 2023

Kepada Yang Terhormat


Majelis Hakim yang Memeriksa dan Mengadili
Perkara Nomor 85/PUU-I/2023
Di –
Mahkamah Konstitusi
Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, RT. 2/ RW. 3,
Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, DKI
Jakarta 10110

PENGANTAR BUKTI PEMOHON


DALAM PERKARA MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR: 85/PUU-I/2023

Dengan hormat,
Untuk dan atas nama Pemohon pada persidangan hari ini kami mengajukan bukti-
bukti sebagai berikut:

KODE
BUKTI KETERANGAN
BUKTI
Fotokopi Surat Keterangan tanda jabatan Ketua Umum Fotokopi dari
P-1
APAMDK Fotokopi
Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Fotokopi dari
P-2
berserta penjelasannya Asli
Fotokopi Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Fotokopi dari Bukti
P-3
Negara Republik Indonesia Asli
Fotokopi Piagam Pengukuhan tanggal 16 November Fotokopi dari Bukti
P-4
1991 tentang Pembentukan Asosiasi Pengusaha Air Asli
Dalam Kemasan
Fotokopi tanda anggota APAMDK Fotokopi dari Bukti
P-5
Asli

38
Demikian bukti-bukti yang dapat kami ajukan pada persidangan hari ini.
Atas perkenaan dan perhatian Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi/Majelis Hakim
yang memeriksa dan memutus perkara ini kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,
Kuasa Hukum Pemohon

Agnezsa Mulia Winawati, S.H., M.H.

Inggrid Janainah Salsabilla, S.H., M.H.

39
PENGANTAR
ALAT BUKTI
TERMOHON
(PEMERINTAH)

40
PENGANTAR ALAT BUKTI PEMERINTAH
ATAS
PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2019 TENTANG SUMBER DAYA AIR
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DALAM PERKARA NOMOR: 85/PUU-I/2023

Jakarta, 08 Februari 2023


Kepada Yang Terhormat
Majelis Hakim yang Memeriksa dan Mengadili
Perkara Nomor 85/PUU-I/2023
Di –
Mahkamah Konstitusi
Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, RT. 2/ RW. 3,
Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, DKI
Jakarta 10110

PENGANTAR BUKTI TERMOHON PEMERINTAH


DALAM PERKARA MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR : 85/PUU-I/2023
Dengan hormat,
Untuk dan atas nama Termohon pada persidangan hari ini kami mengajukan bukti-bukti
sebagai berikut:

KODE
BUKTI KETERANGAN
BUKTI
Fotokopi dari
T-1 Fotokopi Pasal 51 ayat (1) UU MK
Fotokopi
Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
T-2 Fotokopi dari asli
11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007
Fotokopi Ketentuan Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan f Fotokopi dari
T-3
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Fotokopi

41
Fotokopi dari
T-4 Fotokopi Pasal 28C Ayat (2) Undang-Undang 1945
Fotokopi
Fotokopi dari
T-5 Fotokopi Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Fotokopi
Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Fotokopi dari
T-6
Fotokopi
Sumber Daya Air (SDA)
Fotokopi dari
T-7 Fotokopi Putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013
Fotokopi
Demikian bukti-bukti yang dapat kami ajukan pada persidangan hari ini.
Atas perkenaan dan perhatian Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi/Majelis Hakim
yang memeriksa dan memutus perkara ini kami ucapkan terima kasih.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia


(HAM)

Nayzalika Dzikra Haura, S.H., M.H. LL.M

42
PENGANTAR
ALAT BUKTI
TERMOHON (DPR)

43
PENGANTAR ALAT BUKTI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBIK INDONESIA
ATAS
PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIIL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2019
TENTANG SUMBER DAYA AIR
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
DALAM PERKARA NOMOR 85/PUU-I/2023

Jakarta, 08 Februari 2023

Kepada Yang Terhormat


Majelis Hakim yang Memeriksa dan Mengadili
Perkara Nomor 85/PUU-I/2023
Di –
Mahkamah Konstitusi
Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, RT. 2/ RW. 3,
Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, DKI
Jakarta 10110

PENGANTAR BUKTI TERMOHON DPR


DALAM PERKARA MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR : 85/PUU-I/2023

Dengan hormat,
Untuk dan atas nama Para Termohon pada persidangan hari ini kami mengajukan
bukti-bukti sebagai berikut:

KODE
BUKTI KETERANGAN
BUKTI
Fotokopi dari
T-1 Fotokopi Pasal 28 C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Fotokopi

44
Fotokopi dari
T-2 Fotokopi Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Fotokopi
Fotokopi Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang- Fotokopi dari
T-3
Undang Nomor 17 Tahun 2019 Fotokopi
Fotokopi dari
T-4 Fotokopi Pasal 51 ayat (1) UU MK
Fotokopi
Fotokopi/Salinan Putusan Perkara Nomor 011/PUU- Fotokopi dari
T-5
V/2007 Fotokopi
Fotokopi dari
T-6 Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
Fotokopi

Demikian bukti-bukti yang dapat kami ajukan pada persidangan hari ini.
Atas perkenaan dan perhatian Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi.
Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini kami ucapkan terima kasih.

KOMISI III DPR RI

Candela Raksi Salsabila, S.H., M.Hum

45
PUTUSAN

46
PUTUSAN

PUTUSAN

Nomor 85/PUU-I/2023

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber
Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diajukan oleh:

1) Nama : Dr. Muhammad Razka S.E M.M


Pekerjaan : Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan
Alamat : Jalan Garuda No. 01 RT07/02, Parakancanggah , Kelapa Gading,
Kota Jakarta Utara, DKI Jakarta

Sebagai................................................................................................................PEMOHON

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 20/SKK.MK/I/2023 bertanggal 1
Januari 2023, memberi kuasa kepada Agnezsa Mulia Winawati, S.H., M.H., dan Inggrid
Janainah Salsabilla, S.H., M.H. para advokat yang tergabung pada Kantor Advokat
Victory Law Office, beralamat di Jalan Jendral Sudirman No. 70, Jakarta Pusat, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

[1.2] Membaca permohonan Pemohon;

Mendengar keterangan Pemohon;

Membaca dan mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;

Membaca dan mendengar keterangan Presiden;

Membaca dan mendengar keterangan ahli Pemohon;

47
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;

Membaca kesimpulan Pemohon;

2.DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 4 Januari
2023 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Rabu, tanggal 4 Januari 2023 berdasarkan Akta
Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 231-876/PUU-I/2023 dan telah dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 4 Januari 2023 dengan Nomor 231-
876/PUU-I/2023, yang telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 5 Januari
2023, dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 5 Januari 2023, yang pada pokoknya
menguraikan hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang–Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.”
2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK)
berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945”;
3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945”;
4. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan berbunyi: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga

48
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”.
5. Bahwa dalam hal ini, Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian konstitusionalitas terhadap Undang-Undang Nomor 17 pasal 46 ayat
(1) huruf e dan f tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Pasal 46 ayat (1)
e. Prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha
diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau
badan usaha milik desa; dan
f. Pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha
kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertebtu dan ketat
setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi
dan masih terdapat kesediaan Air.
6. Bahwa Pemohon menilai Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU Nomor 17/2019
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi:
1) Pasal 28C ayat (2):
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya;
2) Pasal 28D ayat (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan
hukum;
3) Pasal 33 ayat (4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
7. Bahwa permohonan Pemohon ini adalah permohonan pengujian konstitusionalitas
UU 17/2019 terhadap UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
8. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun2019 tentang

49
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur apabila terdapat
dugaan suatu Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945, maka
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
9. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka Pemohon berpendapat
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan
Pengujian Undang-Undang ini.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


1. Bahwa ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 mengatur
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan WNI;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik dan privat, atau;
d. Lembaga Negara.
Bahwa adapun pengertian hak konstitusional, Penjelasan Pasal 51 ayat
(1) UU Nomor 24 Tahun 2003 menegaskan, “yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
2. Bahwa terhadap syarat kedudukan Pemohon juga diatur dalam Pasal 4
ayat (1) PMK 2/2021, yang menyatakan: Pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah Pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau
d. Lembaga negara.
3. Bahwa selanjutnya terhadap kedudukan hukum Pemohon yang

50
menganggap hak dan/atau kewenangan Konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, menurut Pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 yang
mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005
dan Nomor 11/PUU-V/2007 apabila sebagai berikut:
a. Ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
4. Bahwa permohonan pengujian ini diajukan untuk menguji konstitusionalitas
berlakunya Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU Nomor 17 Tahun 2019 yang
tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap para Pemohon dan
keadilan dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Syarat
penggunaan sumber daya air dalam kegiatan usaha sebagaimana diatur
dalam Pasal 46 ayat (1) telah mengakibatkan terhalangnya hak kolektif
setiap warga negara secara langsung dalam penyelenggaraan ekonomi yang
dianggap cacat yuridis.
5. Bahwa pada tanggal 4 Januari 2023 telah dilaksanakan pemeriksaan
pendahuluan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang telah
memberikan nasihat, sebagai berikut:
a. Agar identitas para pemohon dan kedudukan hukumnya diperjelas, yaitu
mereka yang langsung terlanggar hak dan atau kewenangan
konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang;
b. Agar prosedur dan materi permohonan pengujian sedapat mungkin
mengacu kepada ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.

51
6. Bahwa kepentingan dan kerugian konstitusional Pemohon tergambar dari
kedudukan hukumnya sebagai pelaku usaha pengguna sumber daya air,
yaitu sebagai berikut:
a. Bahwa dalam permohonan ini, kedudukan hukum Pemohon adalah
perorangan warga negara Indonesia yang saat ini menjalankan tugas
sebagai Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan
(APAMDK);
b. Bahwa kedudukan hukum Pemohon sebagai pelaku usaha penyedia air
minum dalam kemasan yang memiliki kepentingan untuk
mengembangkan kegiatan usaha dalam penyediaan air minum dalam
kemasan untuk dijual belikan kepada masyarakat luas yang dilindungi
undang-undang dalam kegiatannya selaku pelaku usaha;
c. Bahwa pelanggaran atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan persamaan
kedudukan di dalam Hukum telah dilakukan oleh yang dalam hal ini
berwenang membuat undang-undang kepada diri Pemohon dalam
statusnya sebagai pelaku usaha penyedia air minum. Pemerintah atau
yang dalam hal ini pembuat undang-undang telah membuat ketentuan
pengelolaan dan penggunaan sumber daya air yang cacat yuridis dalam
pemberlakuannya;
d. Bahwa dalam status Pemohon sebagai pelaku usaha pengguna sumber
daya air, Pemohon menemukan permasalahan terhadap keberlakuan
norma Pasal 46 ayat (1) lebih lanjut pada huruf e dan f UU Nomor 17
Tahun 2019;
e. Bahwa norma yang bermasalah tersebut juga dapat menyebabkan
terganggunya hak konstitusional Pemohon dan penyelenggaraan
perekonomian nasional yang berlandaskan prinsip demokrasi dan
keadilan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
7. Bahwa terhadap kelima syarat hak konstitusi yang mengacu pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-
V/2007, Pemohon dapat memenuhi persyaratan tersebut, yaitu sebagai
berikut:
a. Syarat Pertama:

52
Pemohon adalah Warga Negara Republik Indonesia yang dibuktikan
dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP), saat ini Pemohon
berkedudukan sebagai Ketua dan Sekretaris Umum Asosiasi Perusahaan
Air Minum Dalam Kemasan atau yang dalam hal ini Pemohon memiliki
kekuatan hukum sebagai warga negara yang diakui dan dijamin haknya
dalam pemenuhan hak asasinya untuk turut serta dalam penyelenggaraan
ekonomi nasional. Oleh karenanya, Pemohon mempunyai hak
konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 untuk bertindak sebagai Pemohon
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) huruf d UU Nomor 24
Tahun 2003.
b. Syarat Kedua:
● Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU Nomor 17 Tahun 2019 yang
mengatur bahwa ketentuan pembatasan penggunaan sumber daya air
bagi kegiatan usaha tidak menyeluruh dapat dikelola seluruh warga
negara sebagaimana ketentuan penggunaan hanya diberlakukan bagi
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik
desa, selanjutnya pihak swasta. Ketentuan undang-undang mengikat
telah mengakibatkan pembatasan kegiatan ekonomi nasional dengan
didiskriminasikannya pihak swasta atau yang dalam hal ini pengguna
sumber daya air dengan tidak disamaratakannya kedudukan badan
usaha milik pemerintah dan swasta terhadap penggunaan sumber daya
dalam kegiatan usaha, sehingga menimbulkan pelanggaran atas hak
konstitusional para Pemohon dalam hal mencari keadilan atas
pembatasan penggunaan air atas diterbitkannya UU Nomor 17 Tahun
2019 tentang Sumber Daya Air lebih lanjut mengenai ketentuan pada
Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f yang cacat yuridis yang dalam hal ini
menimbulkan kerugian atau potensi kerugian yang dialami Pemohon.
● Pada praktiknya, pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air
yang bersifat mutlak dapat diartikan sebagai bentuk tindakan
diskriminatif dengan pembatasan subjek pengguna sumber daya air,
terlebih dalam hal ini pengelompokan sebagaimana yang tertuang
dalam ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf e lebih jelas dipersulit dengan
ketentuan pada huruf f tentang penggunaan sumber daya air yang dapat

53
dikelola pihak swasta hanya dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan
ketat sebagaimana prinsip dari ketentuan huruf e serta hanya dapat
digunakan apabila ketersediaan air masih ada. Oleh karenanya
ketentuan ini membuat hak konstitusional sebagai warga negara yang
memiliki kedudukan serta kemerdekaan yang sama dimata hukum telah
dicederai akibat telah ditetapkannya undang-undang yang cacat yuridis
apabila diuji secara materiil maupun formil;
● Dalam hal ini pemerintah dalam pernyataannya bersikukuh bahwasanya
akibat diundangkannya ketentuan pasal 46 ayat (1) lebih lanjut huruf e
dan f tidak bersifat diskriminatif serta membatasi hak pemohon atas
penggunaan sumber daya air sebagai kegiatan usaha, melainkan
menurut dalil yang disampaikan pemerintah terhadap kekuatan
berlakunya undang-undang pembatasan yang subjek pengguna sumber
daya air dalam kegiatan usaha merupakan salah satu bentuk daripada
perencanaan pengelolaan sumber daya air berupa prioritas pemberian
izin, prioritas alokasi air, dan pengawasan pelaksanaan kegiatan
pengusaha sumber daya air, serta pemberian sanksi dalam rangka
penegakan hukum.
● Adanya frasa Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU Nomor 17 Tahun 2019
yang menyatakan “…….dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat
setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan
huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan air” telah merugikan
hak konstitusional para Pemohon yang kepadanya melekat hak untuk
mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana
diamanatkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus melanggar Pasal 27 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan
Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
c. Syarat Ketiga

54
Kerugian hak konstitusional bersifat spesifik dan aktual atau
setidaknya-tidaknya potensial, yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi yaitu:
1) Bahwa terkait pengujian materiil Para Pemohon merasa dirugikan
hak konstitusionalnya dengan pembentukan UU Nomor 17 Tahun
2019 tentang Sumber Daya Air Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f
telah merugikan hak konstitusional Para Pemohon berinvestasi di
bidang penggunaan sumber daya air untuk kepentingan usaha, serta
penggunaan sumber daya air untuk air minum dalam kemasan
merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan air minum bagi
kepentingan umum. Para pemohon beranggapan dengan proses
pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f menghambat peran masyarakat
dunia usaha untuk berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan air
minum yang baik bagi masyarakat;
2) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU Nomor 17 Tahun 2019
tentang Sumber Daya Air Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f membuat
pelaku usaha swasta yang berkeinginan ingin terlibat dalam upaya-
upaya pemenuhan kebutuhan air minum bagi masyarakat dengan
memperoleh keuntungan yang tetap dalam koridor keekonomian tidak
terpenuhi, karena pelaku usaha swasta menempati prioritas terakhir
dalam pengusahaan penggunaan sumber daya air, setelah BUMN,
BUMD, dan BUMDes yang hal ini bersifat diskriminatif serta pelaku
usaha swasta dipersyaratkan persyaratan yang berat dan berbeda (Pasal
46 ayat (1) huruf a sampai huruf d) yang hal ini bersifat diskriminatif;
3) Bahwa berdasarkan pertimbangan demi kepastian hukum permohonan
pengujian undang-undang yang telah diajukan, serta kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon, maka tetap mempertahankan Pemohon yang
sudah mengajukan permohonan, dengan alasan bahwa mereka adalah
masyarakat dan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha
Air Minum Dalam Kemasan (APAMDK) yang terdampak secara
langsung dari adanya UU Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya
Air. Dengan demikian jelas Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk menjadi Pemohon dalam Permohonan Pengujian

55
Undang-Undang Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f UU Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian jelas Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk menjadi Pemohon dalam Permohonan Pengujian Undang-
Undang Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f UU Nomor 17 Tahun 2019
tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

1. Bahwa yang menjadi permasalahan pokok dalam permohonan ini adalah


dimuatnya ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang berisi mengenai
prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha
diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau
badan usaha milik desa dan pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air
untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat
tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan Air;
2. Bahwa air telah diakui oleh pembuat undang-undang (in casu UU SDA)
sebagaimana tertera jelas dalam konsideran Menimbang huruf a yang
menyatakan "bahwa air merupakan kebutuhan dasar hidup manusia yang
dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa Indonesia"
dan huruf b yang menyatakan "bahwa air sebagai bagian dari sumber daya
yang merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak yang dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat undang-undang dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945";
3. Bahwa hal ini sesungguhnya selaras dengan penjelasan umum undang-
undang SDA yang menyatakan" bahwa sumber daya air dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar - besar kemakmuran rakyat. Untuk
itu, Negara menjamin hak rakyat atas air guna memenuhi kebutuhan pokok
minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah

56
yang cukup, kualitas yang baik aman, dan jaga keberlangsungannya dan
terjangkau";
4. Bahwa keberadaan pelaku usaha swasta dalam pengusahaan sumber daya
air seharusnya tidak ditempatkan dalam prioritas terakhir, dikarenakan
pelaku usaha swasta juga mempunyai kreatifitas dan ide yang tidak kalah
bagus dengan BUMN, BUMD, dan BUMDes dalam rangka untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Tentu hal ini selaras
dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”
5. Bahwa dengan pelaku usaha swasta yang menjadi prioritas terakhir dalam
pemberian izin pengusahaan sumber daya air, hal ini tentu bertentangan
dengan hak – hak sebagai warga negaranya. Kesamaan di hadapan hukum
berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak
hukum dan pemerintah. Tentu hal ini justru bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum”. Pelaku usaha swasta pastinya menuntut dan
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum,
namun apabila pelaku usaha swasta ini tetap menjadi prioritas terakhir
dalam pemberian izin pengusahaan sumber daya air, maka hal tersebut justru
melanggar hak si pelaku usaha swasta;
6. Bahwa pelaku usaha swasta yang berkeinginan ingin terlibat dalam upaya –
upaya pemenuhan kebutuhan air minum bagi masyarakat dengan
memperoleh keuntungan yang tetap dalam koridor keekonomian tidak
terpenuhi. Tentu hal ini disebabkan pelaku usaha menempati prioritas
terakhir dalam pengusahaan sumber daya air serta pemberian izin dipersulit
dan persyaratan yang berat, dalam hal ini justru berbeda dengan isi Pasal 33
ayat (4), yang berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Sesuai dengan
bunyi pasal tersebut, pelaku usaha swasta tidak mendapatkan kesempatan
yang semestinya dalam isi pasal tersebut;

57
7. Terdapat kata “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan” di Pasal 33 ayat 4 UUD
1945, tentu hal ini tidak selaras dengan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU
SDA, karena pelaku usaha swasta tidak merasa bahwa dalam pengusahaan
sumber daya air menerapkan dan/atau diselenggarakan secara berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, malah sebaliknya;
8. Bahwa dalam pengusahaan sumber daya air, pelaku usaha swasta dapat
melakukan penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha dengan
melewati tahap pemberian izin dengan syarat tertentu, ketat dan terdapat
kesediaan air. Tentu hal ini memberatkan pelaku usaha swasta, sebab air
juga dibutuhkan oleh manusia tidak hanya sebagai bahan baku tetapi juga
dibutuhkan sebagai media produksi, sebagai air irigasi untuk keperluan
budidaya pertanian, sebagai media produksi industri dan tenaga listrik. Dan
pelaku usaha swasta air minum apabila dipermudah dalam pengusahaan
sumber daya air akan menangani, antara lain, sambungan rumah, sehingga
pelayanan tersebut bakal menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka;
9. Bahwa keberadaan pelaku usaha swasta dalam pengusahaan sumber daya
air seharusnya tidak ditempatkan dalam prioritas terakhir, melihat
pembangunan infrastruktur penyediaan dan pengelolaan air membutuhkan
modal hingga triliunan rupiah, sehingga pemerintah belum sanggup untuk
memenuhinya. Swasta harus benar-benar terlibat dalam pengusahaan
penggunaan air supaya anggaran pemerintah bisa dialokasikan untuk
penyediaan air bagi daerah yang tidak terjangkau. Syaratnya bahwa SDA
tetap dikuasai dan dikelola oleh negara tetapi tetap melibatkan pihak swasta
sebagai prioritas;
10. Bahwa “diskriminasi” dapat diartikan sebagai setiap perlakuan yang
berbeda yang dilakukan terhadap satu pihak tertentu. Sebagai contoh dalam
dunia usaha, pelaku usaha melakukan praktik diskriminasi hal tersebut
dikarenakan adanya preferensi terhadap pelaku usaha tertentu yang lahir
dari pengalaman bertahun - tahun, atas tujuan efisiensi. Praktik diskriminasi
lain dapat terjadi karena alasan untuk mengeluarkan perusahaan pesaing dari
pasar atau menghambat pesaing potensial untuk masuk pasar. Praktik
diskriminasi jenis ini tentunya akan melanggar prinsip persaingan usaha

58
yang sehat. Mengingat hal tersebut, berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf f
pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha
kepada pihak swasta dilakukan dengan syarat tertentu sesuai dengan Pasal
46 ayat (1) huruf a sampai d. Adanya persyaratan yang berat dan berbeda
antara pelaku usaha swasta dengan BUMN, BUMD, dan BUMDes
mengakibatkan adanya tindakan diskriminasi yang diterima oleh pihak
swasta tersebut.

IV. PETITUM

Bahwa selanjutnya berdasarkan alasan-alasan hukum diatas, maka mohon


kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan:

Dalam Pokok Perkara:

1) Mengabulkan seluruh permohonan Pemohon;

2) Menyatakan ketentuan dalam Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan f Undang-


Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3) Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah


mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti
P-6 sebagai berikut:

P-1 Fotokopi Surat Keterangan tanda jabatan Ketua Umum APAMDK

P-2 Fotokopi Surat Keterangan tanda jabatan Sekretaris Umum APAMDK

P-3 Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 berserta penjelasannya

P-4 Fotokopi Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

P-5 Fotokopi Piagam Pengukuhan tanggal 16 November 1991 tentang Pembentukan


Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan

59
P-6 Fotokopi tanda anggota APAMDK

Untuk membuktikan dalil permohonan selain mengajukan bukti, Pemohon


mengajukan dua orang ahli yaitu; yang didengarkan keterangannya pada persidangan
Mahkamah Konstitusi tanggal 18 Januari 2023, sebagai berikut:

1. Dr. Muhammad Adam, S.H., M.Hum. (Ahli Hukum Agraria, Dosen


FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

1) Bahwa Pemberlakuan Undang undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber


Daya Air, yang berisi "Hak rakyat atas Air bukan merupakan hak kepemilikan
atas Air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan menggunakan
sejumlah kuota Air sesuai dengan alokasi yang penetapannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah." Undang-undang tersebut mengatur bahwa Sumber Daya
Air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Rakyat juga memiliki hak rakyat atas air dengan adanya priortias
penggunaan sumber daya air, yaitu prioritas I untuk kebutuhan pokok sehari hari
kemudian prioritas II untuk pertanian rakyat, serta prioritas III untuk kebutuhan
usaha.

2) Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan f yang berbunyi “Prioritas utama penggunaan
Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa”, dan “Pemberian
izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta
dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e dipenuhi dan masih terdapat
kesediaan Air”. Pasal ini dibuat oleh pemerintah diharapkan agar masyarakat di
sekitarnya yang membutuhkan air dapat mendapatkannya dengan mudah karena
dikelola langsung oleh perusahaan negara. kemudian bunyi pada huruf f dibuat
agar pengelolaan air tidak dikuasai oleh usaha-usaha swasta dan tidak dijalankan
demi kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan maupun demi
kepentingan pribadi.

3) UU SDA ini di satu sisi memang ingin mewujudkan pemanfaatan air


seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun di sisi lain justru merusak investasi
pengelolaan air, yang telah digelontorkan pengusaha di beberapa industri. Padahal
dalam industri, air adalah bahan pelengkap yang juga dipakai oleh hampir semua

60
jenis usaha. Badan usaha swasta mengelola air minum dengan pembatasan yang
sangat tegas yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri pada kawasan yang
belum terjangkau pelayanan air minum oleh BUMN, BUMD, UPT, UPTD.
Swasta dibatasi dalam menggunakan air sebagai bahan baku, ini akan mematikan
ratusan pelaku usaha dan ribuan tenaga kerja serta menghilangkan kepercayaan
investor dan kepastian berusaha di Indonesia. Sementara itu, data Aspadin
menunjukan saat ini bisnis air minum kemasan mampu menyerap 50.000 tenaga
kerja langsung di 900 perusahaan. Industri ini menyumbang 3,3 persen produk
domestik bruto (PDB) serta melibatkan 250.000 tenaga kerja tidak langsung
melalui rantai pasoknya (distribusi).

4) Seharusnya walaupun mata air harus dikuasai negara, namun pengusahaan


air minum oleh pengusaha swasta juga tidak dibatasi/ didiskriminasi. Pemerintah
beranggapan bahwa pengusahaan air minum dinilai merupakan jenis usaha yang
menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu pengelolaan nya harus
dilakukan oleh pemerintah. Padahal bentuk fungsi sosial atas air yang merupakan
kewajiban pemerintah dalam memenuhi kebutuhan air untuk minum, memasak,
dan mandi yang diselenggarakan melalui sistem penyediaan air minum
(SPAM).Berbeda dengan air minum dalam kemasan (AMDK) yang merupakan
produk industri. Sehingga antara air minum dalam kemasan (AMDK) dan sistem
penyediaan air minum (SPAM) air perpipaan tidak dapat disamakan.

2. Dr. Wildan Fajri Khomeini, S.H., M.H. (Ahli Hukum Tata Negara,
Dosen FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

1) Sumber daya air adalah salah satu sumber daya alam yang berguna atau
potensial bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari di berbagai sektor
kehidupan. Mengenai pengelolaan sumber daya air ini merupakan upaya
merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian
daya rusak air.

2) Dari konstruksi norma kedua ayat dalam Pasal tersebut, menurut


sepemahaman saya bahwa Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f UU SDA ini dapat
menimbulkan ketidak pastian hukum, dan perlakuan yang sama dihadapan
hukum, serta dapat menimbulkan diskriminasi. Ketentuan pasal tersebut

61
mengesampingkan pelaku usaha swasta yang berkeinginan terlibat dalam upaya-
upaya pemenuhan kebutuhan air minum bagi masyarakat dengan memperoleh
keuntungan yang tetap dalam koridor keekonomian, hal tersebut dibuktikan
dengan menempatkan pelaku usaha swasta dalam prioritas terakhir dalam
pengusahaan penggunaan sumber daya air, setelah BUMN, BUMD, dan BUMDes
yang hal inilah bersifat diskriminatif.

3) Dalam pemberian izin penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha
kepada pihak swasta dilakukan dengan syarat tertentu yang ketat dan diberikan
kepada pelaku usaha pihak swasta apabila masih terdapat kesediaan air. Jadi
menurut sepemahaman saya, bahwa pasal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hal tersebut melanggar hak si
pelaku usaha swasta karena pelaku usaha swasta menjadi prioritas terakhir dalam
pemberian izin pengusahaan sumber daya air.

[2.3] Menimbang bahwa pada pemeriksaan persidangan hari Rabu, 4 Januari 2023
Pemohon telah didengar keterangannya yang pada pokoknya menerangkan tetap pada
isi permohonan;

Menimbang bahwa pada pemeriksaan persidangan 11 Januari 2023, telah didengar


keterangan dari pihak Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM RI
dan pada hari Senin, tanggal 9 Januari 2023, Mahkamah Konstitusi telah pula
menerima keterangan tertulis dari pemerintah yang pada pokoknya sebagai berikut:

B. KETERANGAN PEMERINTAH

I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON

Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang dalam hal ini
menjabat selaku Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Kemasan, dalam
perkara ini merasa hak konstitusionalnya secara spesifik dan aktual melanggar
atau setidak-tidaknya berpotensi terlanggar dengan keberadaan Pasal 46 ayat (1)
huruf e sampai dengan f tentang Izin Penggunaan Sumber Daya Air untuk
Kebutuhan Usaha yang dimana dalam perumusannya PEMOHON merasa tidak
tercapainya hak PEMOHON atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

62
kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum di dalam
kegiatannya dalam pemanfaatan sumber daya air atau yang selanjutnya dapat
disebut pelaku usaha pengguna sumber daya air sesuai dengan ketentuan pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Bahwa PEMOHON merasa dalam ketentuan daripada pembatasan penggunaan


sumber daya air sebagai kegiatan usaha dibatasi dengan ketentuan pasal 46 ayat
(1) Undang-Undang Sumber Daya Air (selanjutnya disebut UU SDA), sehingga
PEMOHON berpendapat hak kolektifnya sebagai warga negara tidak dapat
diterima secara utuh terhadap atau yang dalam hal ini terhadap kegiatan
PEMOHON sebagai pelaku usaha pengguna sumber daya air.

Bahwa menurut PEMOHON selanjutnya merasa hak konstitusionalnya dirugikan


berdasarkan ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf e, sebagaimana berlakunya
ketentuan tersebut tidak memberikan keadilan dalam pemanfaatan penggunaan
sumber daya air kepada seluruh warga negara atau yang dalam hal ini bertindak
sebagai pelaku usaha dibidang penyedia air minum yang selanjutnya disebut
sebagai pelaku usaha pengguna sumber daya air milik Non Pemerintah atau
Swasta. PEMOHON merasa terjadi ketimpangan hak dan kewajiban selaku warga
negara dalam pemanfaatan sumber daya air sebagai pihak swasta yang di dalam
pernyataan huruf e ditempatkan sebagai prioritas terakhir penggunaan sumber
daya air dalam kegiatan usaha setelah Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya
disebut BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (selanjutnya disebut BUMD), dan
Badan Usaha milik Desa (selanjutnya disebut BUMDes).

Bahwa menurut PEMOHON selanjutnya merasa keberatan atas tindaklanjut


daripada ketentuan mengenai pasal 46 ayat (1) huruf f dimana PEMOHON merasa
dirugikan dengan adanya pembebanan syarat dalam penggunaan sumber daya air
yang berbeda dengan pihak pengguna sumber daya air yang lain atau dalam hal
ini pelaku usaha milik pemerintah, selanjutnya menurut PEMOHON syarat-syarat
penggunaan sumber daya air untuk kegiatan usaha sebagaiman telah dijelaskan di
dalam huruf a sampai dengan d adalah syarat yang mutlak atau dapat diterima
semua pihak pelaku usaha pengguna sumber daya air dalam kegiatan usaha,
namun atas ketentuan lebih lanjut yang dijelaskan pada huruf f mengenai izin
penggunaan sumber daya air kepada pihak swasta diberlakukan syarat tertentu dan
ketat setelah semua prinsip terpenuhi dan masih terdapat kesediaan air, sehingga

63
PEMOHON tidak terciptanya penyelenggaraan demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efiensi berkeadilan, dan berkelanjutan sesuai dengan
ketentuan pada pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945).

Bahwa menurut PEMOHON ketentuan dalam perumusan pasal 46 ayat (1) huruf
e sampai dengan f tentang Izin Penggunaan Sumber Daya air untuk Kebutuhan
Usaha telah menghalangi hak konstitusional PEMOHON selaku pelaku usaha
yang dalam hal ini bertindak sebagai penyedia air minum dalam kemasan non
pemerintah atau swasta dalam mengembangkan usahanya dikarenakan terdapat
ketenetuan pembatasan pihak pengguna sumber daya air sebagaimana
dimaksudkan dalam ketentuan huruf e pasal 46 ayat (1), sehingga PEMOHON
merasa dalam pemenuhan haknya sebagai warga negara yang selanjutnya disebut
pelaku usaha, telah terjadi tindak diskriminatif terhadap kedudukannya sebagai
pihak swasta yang ditempatkan sebagai prioritas terakhir dalam penggunaan
sumber daya air sebagai objek usaha.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK (BUKTI PEMERINTAH-1)


menyatakan yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah mereka yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan
oleh berlakunya suatu Undang-Undang yaitu:

“ PEMOHON adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan


konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan Warga Negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik


Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum public dan privat, atau;

d. Lembaga negara

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan


“hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945; Dengan

64
demikian, agar seseorangan atau suatu pihak dapat diterima sebagai PEMOHON
yang memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) dalam permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu PEMOHON harus
menhelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasi dalam permohonan quo sebagaimana yang disebut dalam


Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi


dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang diuji;

c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON sebagai


akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-


III/2005 tanggal 31 Mei 2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-
V/2007 tanggal 20 September 2007 (BUKTI PEMERINTAH-2), dan putusan-
putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana diaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK
harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang


diberikan oleh UUD 1945;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon


dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang
dimohonkan pengujian;

c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan


actual, atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian


dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,


maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi

65
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh PEMOHON dalam perkara pengujian
undang-undang a quo, maka PEMOHON tidak memiliki keualifikasi kedudukan
hukum (legal standing) sebagai PEMOHON.

III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN


YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI

Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan-alasan/argumentasi yang


diajukan oleh Pemohon yang menyatakan bahwa:

1. Ketentuan Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019
(BUKTI PEMERINTAH-3) tentang Sumber Daya Air bertentangan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa dalam penjelasan selanjutnya juga keterangan sebagai berikut:

1. Bahwa dalam Pasal 28C Ayat (2) Undang-Undang 1945 berbunyi, “Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Hal ini
menegaskan bahwasanya dalam Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan huruf f tidak
berkaitan dengan Pasal 28C Ayat (2) Undang-Undang 1945 (BUKTI
PEMERINTAH-4), karena konteksnya beda. Sebab dalam Pasal 46 Ayat (1)
huruf e dan huruf f berkaitan dengan prioritas penggunaan sumber daya air dan
pemberian izin penggunaan sumber daya air, sedangkan dalam Pasal 28C Ayat
(2) UUD 1945 tidak menjelaskan secara eksplisit tentang bagaimana ketentuan
prioritas penggunaan sumber daya air dan pemberian izin sumber daya air;

2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) menyatakan bahwa “setiap


warga masyarakat dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi ketentuan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis” (BUKTI PEMERINTAH-5). Dari rumusan
ketentuan Pasal 28 J ayat (2) tersebut, maka hak-hak warga negara dapat dibatasi
dengan undang-undang. Bahwa Pemerintah berpendapat, Dalam Putusan

66
Mahkamah Konstitusi tersebut terkandung 6 (enam) prinsip dasar pembatasan
Pengelolaan Sumber Daya Air yang antara lain menyatakan “… pemberian izin
Pengusahaan Sumber Daya Air kepada usaha swasta dapat dilakukan dengan
syarat-syarat tertentu dan ketat ...”. Prinsip tersebut mengandung arti bahwa di
dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air
oleh badan usaha swasta merupakan prioritas terakhir, sehingga persyaratan
tertentu dan ketat dapat dilaksanakan Pengusahaan Sumber Daya Air tidak
sekedar merupakan syarat dalam permohonan izin tetapi merupakan bagian dari
seluruh aspek dalam penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air. Dengan
demikian pengaturan mengenai persyaratan tertentu dan ketat harus diatur mulai
dari pengaturan penyusunan rencana penyediaan Sumber Daya Air yang
merupakan bagian dari rencana Pengelolaan Sumber Daya Air, prioritas
pemberian izin, prioritas alokasi Air, dan pengawasan pelaksanaan kegiatan
Pengusahaan Sumber Daya Air serta pemberian sanksi dalam rangka penegakan
hukum;

3. Sesuai dengan peran dari BUMN, BUMD, BUMDes itu sendiri salah
satunya, yaitu sebagai pelaksana pelayanan umum seperti penyediaan fasilitas
sekolah atau kesehatan, pembangunan jalan, dan penyediaan air bersih bagi
masyarakat. Kebijakan ini bertujuan melindungi hak asasi rakyat guna mengakses
air, terutama air bersih. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan
secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (SDA) (BUKTI PEMERINTAH-6) karena tidak memenuhi enam prinsip
dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian putusan dengan Nomor
85/PUU-XII/2013 (BUKTI PEMERINTAH-7) dibacakan oleh ketua MK R.M
Hafizh Swardana di Ruang Sidang Pleno MK. Keputusan Mahkamah Konstitusi
yang harus dijalankan setelah putusan yang membatalkan Undang- Undang
Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dinilai bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Penggunaan sumber daya air termasuk air tanah
diawasi dan dikendalikan secara mutlak oleh Pemerintah. Oleh karena itu,
pengusahaan air diprioritaskan bagi BUMN, BUMD, BUMDes;

4. Bahwa pengaturan terhadap perizinan dan alokasi Air diperlukan karena


ketersediaan Air secara alamiah tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang
semakin berkembang. Sehubungan dengan hal tersebut, persaingan antara

67
kebutuhan Air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dengan kebutuhan
Air untuk penggunaan lainnya, termasuk kegiatan pengusahaan yang memerlukan
sumber daya Air, di masa yang akan datang akan semakin meningkat. Untuk
menjamin pemanfaatan dan pemakaian Air yang adil dan merata diperlukan
pengaturan perizinan dan alokasi Air, baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok
sehari-hari dan pertanian rakyat serta Pengusahaan Sumber Daya Air. Perizinan
dalam Pengelolaan Sumber Daya Air diselenggarakan dengan maksud untuk
memberikan perlindungan terhadap hak rakyat atas Air, pemenuhan kebutuhan
para pengguna Sumber Daya Air dan perlindungan terhadap Sumber Daya Air;

5. Bahwa Tidak dapat dipungkiri bahwa pemenuhan kebutuhan manusia pada


saat ini dan terutama pada masa-masa mendatang tidak terbatas pada pemenuhan
kebutuhan primer, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian
rakyat, tetapi juga mencakup keperluan untuk memenuhi kebutuhan sekunder,
misalnya energi, transportasi, olah raga, pariwisata, dan lain-lain. Upaya untuk
memenuhi kebutuhan sekunder tersebut seringkali memerlukan dukungan Sumber
Daya Air melalui kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air. Untuk melindungi hak
rakyat atas Air dan prioritas pemenuhan kebutuhan Air bagi kegiatan usaha maka
kegiatan Pengusahaan Sumber Daya Air harus dilakukan berdasarkan Izin
Pengusahaan Sumber Daya Air atau Izin Pengusahaan Air Tanah;

6. Dengan memperhatikan, dalam rangka memprioritaskan hak-hak


masyarakat atas Air, mengatur penggunaan Sumber Daya Air dan mencegah
terjadinya konflik antar pengguna Sumber Daya Air maka perlu diatur prioritas
pemberian izin dan alokasi Air. Air merupakan kebutuhan mendasar yang tidak
tergantikan bagi kehidupan manusia, oleh karena itu pemenuhan kebutuhan pokok
sehari-hari merupakan prioritas yang utama di atas semua kebutuhan. Pemerintah
wajib menjamin kebutuhan pokok minimal sehari-hari masyarakat. Hal ini tidak
lain untuk menjamin hak setiap orang untuk memperoleh Air bagi kehidupan yang
bersih, sehat, dan produktif;

7. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air yang ditetapkan bukan merupakan izin
untuk memiliki atau menguasai Air dan/atau Sumber Air, tetapi hanya terbatas
pada pemberian izin oleh pemerintah kepada pemegang izin untuk memperoleh
dan mengusahakan sejumlah (kuota) Air, daya Air dan/atau Sumber Air sesuai
dengan alokasi yang ditetapkan Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada

68
pengguna Air. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air tidak dapat disewakan atau
dipindahtangankan baik sebagian atau seluruhnya;

8. Izin Pengusahaan Sumber Daya Air diberikan apabila Air untuk


pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat telah terpenuhi,
serta sepanjang ketersediaan Air masih mencukupi. Izin Pengusahaan Sumber
Daya Air atau Izin Pengusahaan Air Tanah diberikan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Jumlah kuota Air yang
ditetapkan dalam Izin Pengusahaan Sumber Daya Air tidak bersifat mutlak dan
tidak harus dipenuhi sebagaimana tercantum dalam izin. Alokasi Air diberikan
berdasarkan ketersediaan Air serta prioritas alokasi Air. Di samping itu, kuota Air
yang ditetapkan dalam izin dapat ditinjau kembali apabila persyaratan atau
keadaan yang dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi ketersediaan Air pada
Sumber Air yang bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti;

9. Perizinan merupakan instrumen pengendali untuk mewujudkan ketertiban


dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, melindungi hak masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi
yang telah ada serta menjamin hak ulayat masyarakat hukum adat setempat atas
Air dan hak yang serupa dengan itu;

IV. PETITUM

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohin


kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review)
ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e sampai f Undang-Undang tentang Sumber Daya
Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat
memberikan putusan sebagai berikut:

1) Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal


standing);

2) Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya


menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet
onvankelijke verklaard);

3) Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;

69
4) Menyatakan ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e sampai dengan f Undang-
Undang No 17 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan ketentuan
pasal 28 C ayat (2), pasal 28 D ayat (1), dan pasal 33 ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

5) Menyatakan ketentuan pasal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang


Sumber Daya Air tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat

Atau

Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono)

[2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil Pemerintah, maka Pemerintah


telah mengajukan bukti-bukti yang dilampirkan dalam keterangannya dan yang
disampaikan dalam persidangan yaitu sebagai berikut:

1. Fotokopi Pasal 51 ayat (1) UU MK

2. Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20


September 2007 (Bukti Pemerintah-2);

3.Fotokopi Ketentuan Pasal 46 Ayat (1) huruf e dan f Undang – Undang Nomor 17
Tahun 2019 (Bukti Pemerintah-3);

4.Fotokopi Pasal 28C Ayat (2) Undang – Undang 1945 (Bukti Pemerintah-4);

5.Fotokopi Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 (Bukti Pemerintah-5);

6.Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA)
(Bukti Pemerintah-6);

7.Fotokopi Putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 (Bukti Pemerintah-7);

[2.5] Menimbang bahwa pada persidangan hari Rabu, 11 Januari 2023, telah didengar
keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh Kuasanya, dan pada hari
Senin, 9 Januari 2023, pukul 11.45 Mahkamah Konstitusi telah pula menerima
keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, yang pada pokoknya
sebagai berikut:

A. KETENTUAN UU SUMBER DAYA AIR YANG DIMOHONKAN


PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945

70
Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 46 ayat (1) huruf e
dan huruf f UU SDA yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) (BUKTI
DPR-1), Pasal 28D ayat (1) (BUKTI DPR-2) , dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun
1945 (BUKTI DPR-3) . Bahwa isi ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU SDA
adalah sebagai berikut:

e.prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha


diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
atau badan usaha milik desa; dan

f.pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha


kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat
setelah prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan
huruf e dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan Air.

B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG


DIANGGAP PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA
PASAL 46 AYAT (1) HURUF E DAN HURUF F UU SUMBER DAYA AIR

Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah


dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f UU SDA
yang pada intinya menghambat investasi dibidang penggunaan sumber daya air untuk
kepentingan usaha, padahal investasi dibidang penggunaan sumber daya air untuk air
minum dalam kemasan merupakan bagian dari pemenuhan kepentingan umum.
Kerugian konstitusional Pemohon akibat pasal a quo karena Pemohon selaku pelaku
usaha swasta yang berkeinginan ingin terlibat dalam upaya-upaya pemenuhan
kebutuhan air minum bagi masyarakat dengan memperoleh keuntungan yang tetap
dalam koridor perekonomian tidak terpenuhi.
Bahwa pasal a quo dianggap bertentangan dengan:
i. Pasal 28 C ayat (2) UUD NRI 1945:
“Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.”

ii. Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945:

71
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan
hukum.”

iii. Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945:


“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

C. KETERANGAN DPR RI

Terhadap dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan, DPR


RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai
kedudukan hukum (legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur
dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK (BUKTI DPR-4) yang menyatakan
bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:

a. Perorangan Warga Negara Indonesia;


b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51
ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan
“hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1)
ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD
NRI Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”.

Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat
diterima sebagai Para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing)

72
dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945,
maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

c. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
d. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
undang-undang a quo.
Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian
dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (Vide Putusan Perkara Nomor
006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 (BUKTI DPR-5) yaitu
sebagai berikut:

f. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan


oleh UUD NRI Tahun 1945;
g. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap
oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
h. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
i. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
j. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara
pengujian undang-undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi
kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan
Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa Pemohon harus dapat
membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas
berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam
mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan

73
konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji.

Dalam permohonan ini, Pemohon merupakan perorangan Warga Negara


Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pembentukan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan berlakunya
Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f tentang Sumber Daya Air. Pemohon yang
berinvestasi di bidang sumber daya air untuk kepentingan usaha, serta penggunaan
sumber daya air untuk air minum dalam kemasan beranggapan bahwa kegiataanya
merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan air minum bagi kepentingan umum.
Pemohon beranggapan dengan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f
menghambat peran masyarakat dunia usaha untuk berpartisipasi dalam
pemenuhan kebutuhan air minum yang baik bagi masyarakat. Dalam legal
standing pemohon, Pemohon menyatakan bahwa pelaku usaha yang
berkeinginnan dalam upaya-upaya pemenuhan kebutuhan air minum bagi
masyarakat dengan memperleh keuntungan yang tetap dalam koridor
keekonomian tidak terpenuhi, karena pelaku usaha swasta menempati prioritas
terakhir dalam pengusahaan penggunaan sumber daya air, setelah BUMN,
BUMD, dan BUMDes yang hal ini bersifat diskriminatif. Pemohon yang
merupakan masyarakat dan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha
Air Minum Dalam Kemasan (APAMDK) merasa terdampak secara langsung dari
adanya undang-undang no 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Terhadap dali-dalil yang yang dikemukakan para pemohon, DPR RI berpandangan


bahwa para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusinal apapun dari pasal a
quo, sebagaimana pemohon dalilkan bahwa pemohon masih sebatas ingin
berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan air minum yang baik bagi masyarakat.
DPR RI berpandangan setidaknya para pemohon perlu membuktikan terlebih dahulu
berdasarkan penalaran yang wajar bahwa niat pemohon untuk berpartisipasi dalam
pemenuhan kebutuhan air minum yang baik bagi masyarakat terpenuhi supaya
unsur kerugian terbukti.

c. Ketentuan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang


Sumber Daya Air menjamin digunakan menjamin hak konstitusional Termohon
dan tidak menghilangkan hak konstitusional Pemohon. Menurut DPR RI Pasal 46

74
ayat (1) huruf a sampai huruf d tidak bersifat diskriminatif dan Pemohon masih
dapat menjalankan kegiatannya.
d. Pemohon tidak menjelaskan adanya keterkaitan sebab akibat (Causal Verband)
bahwasanya hak konstitusional mereka dirugikan akibat berlakunya Pasal 46 ayat
(1) huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya
Air. Oleh karena itu mereka tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 (BUKTI DPR-4) tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga
permohonannya tidak dipertimbangkan.
Dengan demikian, dalil-dalil permohonan tidak jelas dan tidak fokus (obscuur libels),
karena Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo yang bersifat spesifik
dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi. Oleh karena itu, terhadap legal standing Pemohon yang tidak memiliki keterkaitan
dengan pasal a quo dan tidak mengalami kerugian konstitusi.

a. Pandangan Umum
1) Bahwa dalam pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD NRI
Tahun 1945 menegaskan bahwa tujuan dibentuknya
Pemerintahan Negara Republik Indonesia antara lain untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD NRI Tahun 1945 juga
menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan Negara Republik
Indonesia harus berdasarkan Pancasila yang merupakan
falsafah Bangsa Indonesia, dimana 2 (dua) sila di antaranya
menjelaskan mengenai ‘adil’ dan ‘keadilan’. Sila ke-2 (kedua)
Pancasila menyatakan, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Sementara itu, sila ke-5 (kelima) Pancasila menyatakan,
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2) Bahwa dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
(BUKTI DPR-6) menegaskan bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

75
rakyat” harus dipahami secara utuh serta memiliki pengertian
yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam
konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara
merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan
prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik
di bidang politik maupun ekonomi. Dalam paham kedaulatan
rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan
sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan
bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat” Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut
tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara
kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya
adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang
dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran Bersama.
3) Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) menyatakan
bahwa “setiap warga masyarakat dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi ketentuan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.”
4) Bahwa berdasarkan argumentasi tersebut di atas, DPR RI
berpandangan bahwa Izin Pengusahaan Sumber Daya Air
dalam Pasal 46 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air sudah sejalan dengan
amanat UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut dengan maksud
untuk memberikan perlindungan terhadap hak rakyat atas Air,
pemenuhan kebutuhan para pengguna Sumber Daya Air dan
perlindungan terhadap Sumber Daya Air.
b. Pandangan DPR RI terhadap Dalil-Dalil Permohonan

76
Bahwa terhadap pokok permohonan pengujian Pasal 46 ayat (1) huruf
e dan f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air,
DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut:

1) Bahwa yang menjadi pokok permasalahan di dalam


permohonan ini adalah mengenai dimuatnya ketentuan Pasal
46 ayat (1) huruf e dan f, yang berisi mengenai prioritas utama
penggunaan Sumber Daya Air untuk kegiatan usaha diberikan
kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
atau badan usaha milik desa dan pemberian izin penggunaan
Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta
dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat. Bahwa
ketentuan tersebut merupakan pelanggaran dengan 28C Ayat
(1), 28D Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.
2) Bahwa dalam proses pembahasannya di DPR, telah dilakukan
putusan yang memperhatikan aspirasi dan pertimbangan
secara maksimal terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
terburuk atas dicantumkan atau tidaknya ketentuan Pasal 46
ayat (1) huruf e dan f, yang tercermin melalui mekanisme
voting. Bahwa DPR dalam menyusun ketentuan Pasal 46 ayat
(1) huruf e dan f telah mempertimbangkan aspek nilai-nilai
keadilan dan prinsip – prinsip dasar pembatasan Pengelolaan
Sumber Daya Air sehingga sudah sesuai dengan ketentuan
amanat dari UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi;
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Ketua
Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:

77
1) Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijkverklaard);
2) Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya
menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
3) Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
4) Menyatakan Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5) Menyatakan Pasal Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air tetap memiliki kekuatan
hukum mengikat.

[2.5] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil Pemerintah, Pemerintah


telah mengajukan bukti-bukti yang dilampirkan dalam keterangannya dan bukti
yang disampaikan dalam persidangan sebagai berikut:
1. Fotokopi Pasal 28 C ayat (2) UUD NRI 1945 (Bukti DPR-1);
2. Fotokopi Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 (Bukti DPR-2);
3. Fotokopi Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU Nomor 17 Tahun 2019 (Bukti
DPR-3);
4. Fotokopi Pasal 51 ayat (1) UU MK (Bukti DPR-4);
5. Fotokopi/Salinan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 (Bukti DPR-5);
6. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (Bukti DPR-6);
Untuk membuktikan dalil Keterangan DPR selain mengajukan
bukti, DPR mengajukan satu orang ahli yaitu; yang didengarkan
keterangannya pada persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 11
Januari 2023, sebagai berikut:
1. Dr. Rakha Adhwa Sani Wijaya, S.H., M.H. (Ahli Hukum
Agraria)
1) Pemohon merasa Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
menghilangkan hak konstitusional mereka dan bersifat diskriminatif.
Karena dari itu maka kita wajib melihat kembali tujuan dibentukanya
Undang-Undang ini, yaitu untuk menjamin hak atas Sumber Daya Air
bagi masyarakat. Dengan Berlakunya Undang-Undang ini, para
pemohon yang juga merupakan bagian dari masyarakat kesulitan

78
dalam menjaankan kegiatan usahanya berupa usaha Air Minum
dalam Kemasan dikarenakan Pasal 46 ayat (1) huruf e yang berbunyai
“Prioritas utama penggunaaan Sumber Daya Air untuk kegiatan
usaha diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, badan usaha milik desa” dan huruf f yang berbunyi
“Peemberian izin penggunaan Sumber Daya Air kepada pihak swasta
dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsio
sebagaimana dimaksud pada huruf a samapai dengan huruf e
dipenuhi”. Ketentuan tersebut mengakibatkan para pemohon
kesulitan dan bahkan berpotensi tidak mendapatkan jatah Sumber
Daya Air untuk kegiatan usahanya.
2) Jika kita melihat ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf a sampai dengan
d, terlihat jelas bahwa ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi hak
atas Sumber Daya Air bagi masyarakat. Masyarakat menggunakan air
untuk kebutuhan rumah tangga umumnya tidak mengambil dalam
jumlah banyak, namun dengan banyaknya jumlah masyarakat maka
kebutuhan akan Sumber Daya Air juga besar. Hal tersebut berbeda
dengan pemenuhan hak atas Sumber Daya Air bagi pemohon, dimana
pemohon merupakan satu kesatuan berupa badan usaha yang
membutuhkan Sumber Daya Air dalam jumlah besar untuk dilakukan
privatisasi dan komersialisasi Sumber Daya Air.
3) Berdasarkan pengamatan saya dewasa ini kegiatan privatisasi dan
komersialisasi Sumber Daya Alam banyak terjadi dan terus
berkembang, Sumber Daya Air yang merupakan kebutuhan pokok
dan hak masyarakat tidak lepas juga dari kegiatan privatisasi dan
komersialisasi oleh suatu badan usaha. Kegiatan Privatisasi dan
komersialisasi yang masif tersebut berpotensi menghabiskan Sumber
Daya Air sehingga hak masyarakat atas sumber daya air tidak
terpenuhi. Karena dari itu maka diperlukan suatu ketentuan hukum
mengikat yang dapat membatasi kegiatan privatisasi dan
komersialisasi tersebut, dan pembentukan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2019 ini merupakan langkah yang tepat dilakukan DPR.
4) Ketentuan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf e dan huruf f jelas
memberikan batasan sebagaimana saya terangkan sebelumnya

79
kepada pemohon selaku pihak yang melakukan privatisasi dan dan
komersialisasi Sumber Daya Air, namun tidak bila yang dimaksud
pemohon ketentuan tersebut menghilangkan hak konstitusinya untuk
berkontribusi dalam pemenuhan hak atas Sumber daya Air, faktanya
ketentuan tersebut dibuat demi menjaga hak konstitusi masyarakat
berupa hak atas Sumber Daya Air melalui BUMN, BUMD, dan
BUMdes. Saya yakin seyakin yakinya bahwa DPR dalam membuat
Ketentuan ini memperhatikan hak konstitusional setiap warga negara
Indonesia tidak terkecuali pemohon. Dengan adanya ketentuan Pasal
46 ayat (1) huruf e dan f pemohon masih dapat menjalankan
kegiatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
5) Maka sesuai dengan ketrangan DPR berlakunya Pasal 46 ayat (1)
huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tidak
menghilangkan hak konstitusional pemohon, Pemohon tetap dapat
menjalankan kegiatan usahanya bersama dengan menjalankan
ketentuan tersebut. Masih berdesarkan keterangan DPR bahwa
pemohon tidak menjelaskan adanya keterkaitan sebab akibat
bahwasanya hak konstitusional mereka dirugikan akibat berlakunya
ketentuan ini. Seperti yang saya terangkan sebelumnya bahwa hak
konstitusional pemohon tidak dirugikan dengan berlakunya ketentuan
ini, maka dapat saya simpulkan bahwa kerugian yang sebenarnya
dialami oleh pemohon berupa berkurangnya potensi dalam
mengembangkan usahanya. Kerugian pemohon berupa berkurangnya
potensi mengembangkan usahanya adalah akibat dari berlakunya
ketentuan ini, namun kerugian yang dialami pemohon bukan
merupakan kerugian hak konstitusional sebagaimanya yang
dinyatakan pemohon. Pada faktanya pemohon tetap memperoleh hak
konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam pasal 28C ayat (1) UUD
1945.
6) Bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk
sebersar-besar kemakmuran rakyat”. Sumber Daya Air dasarnya
dikuasai oleh negara, dan dipergunukan untuk kemakmuran rakyat.
Negara sebgai penguasa menjalankan fungsi ketentuan tersebut

80
dengan cara pembentukan lembaga tersendiri dalam bentuk badan
usaha supaya ketentuan tersebut terlaksana secara maksimal. Badan
usaha pemohon bukan merupakan bagian dari lembaga negara,
namun negara memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pemenuhan hak atas Sumber Daya Air, hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatrakan bahwa
perekonomian nasional deiselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Maka dapat disimpulkan bahwa BUMN, BUMD, dan BUMDes
merupakan penguasa seluruh Sumber Daya Air di Indonesia sehingga
wajar bila perusahaan tersebut mendapatkan prioritas utama,
sementara badan usaha pemohon dapat digolongkan sebagai
seukarelawan dalam nejalankan fungsi Pasal tersebut.

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk pada berita acara sidang, yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari putusan ini.

3.PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554,
selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang- Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili

81
pada tingkatpertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD 1945;
[3.2]Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo adalah permohonan untuk
menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undnag
Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, selanjutnya disebut UU 17/2019
terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum Pemohon


[3.3]Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang- undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang


terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat
(1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;

[3.4]Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005


tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September
2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

82
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon
yang diberikanoleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang
yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikanakan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan
berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
makakerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi;

[3.5]Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat


kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan
pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah
mempertimbangkan dalil kedudukan hukum yang diuraikan oleh para
Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian


konstitusional norma yang terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) huruf
e dan f UU 17/2019 yang menyatakan:

“Prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk


kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa ”;

“Pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk


kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilekukan
dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan e dipenuhi dan masih
terdapat ketersediaan Air”.
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:

83
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2. Bahwa Pemohon mendalilkan kualifikasi kedudukan hukumnya
sebagai warga negara Indonesia yang saat ini menjalankan
berkedudukan sebagai Anggota Asosiasi Perusahaan Air Minum
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum
para Pemohon sebagai berikut:
(1) Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya
dalam permohonan a quo adalah Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f
Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya
Air, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f UU 17/2019


(1) Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha
diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip:
a. tidak mengganggu, tidak mengesampingkan, dan tidak
meniadakan hak rakyat atas Air;
b. pelindungan negara terhadap hak rakyat atas Air;
c. kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia;
d. pengawasan dan'pengendalian oleh negara atas Air bersifat mutlak;
e. prioritas utama penggunaan Sumber Daya Air untuk
kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan

f. pemberian izin penggunaan Sumber Daya Air untuk


kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan
dengan syarat tertentu dan ketat setelah prinsip
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e
dipenuhi dan masih terdapat ketersediaan Air.

(2) Bahwa, menurut para Pemohon Pasal 46 ayat (1) huruf e dan f
UU 17/2019 memiliki hubungan sebab akibat (causal verband)

84
dengan kerugian konstitusional atau setidak-tidaknya potensial
yang akan dialami oleh anggota para Pemohon berupa:
a. Pelaku usaha swasta akan mengalami kesulitan dalam
mendapatkan perizinan untuk pengusahaan penggunaan
sumber daya air, karena bukan prioritas utama dalam
penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha;
b. Pelaku usaha swasta dipersyaratkan persyaratan yang
berat dan berbeda (Pasal 46 ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf d) yang hal ini bersifat diskriminatif;
c. Pelaku usaha swasta tidak mendapatkan hak warga
negara berdasarkan UUD 1945. Dan, manakala
permohonan pengujian undang-undang a quo
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka kerugian
atau potensi kerugian konstitusional para Pemohon
tidak akan terjadi;
d. Bahwa UU 17/2019 tidak memberikan perlindungan
terhadap kepentingan kelompok Masyarakat ekonomi
lemah dengan menerapkan prinsip pengelollaan sumber
daya ait yang mampu menyelaraskan dungsi sosial,
pelestarian lingkungan hidup, dan ekonomi;
e. Bahwa pelaku usaha swasta yang berkeinginan ingin
terlibat dalam upaya – upaya pemenuhan kebutuhan air
minum bagi masyarakat dengan memperoleh
keuntungan yang tetap dalam koridor keekonomian
tidak terpenuhi. Tentu hal ini disebabkan pelaku usaha
menempati prioritas terakhir dalam pengusahaan
sumber daya air serta pemberian izin dipersulit dan
persyaratan yang berat, dalam hal ini justru berbeda
dengan isi Pasal 33 ayat (4), yang berbunyi,
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

85
nasional”. Sesuai dengan bunyi pasal tersebut, pelaku
usaha swasta tidak mendapatkan kesempatan yang
semestinya yang dimana terdapat dalam isi pasal
tersebut;

Setelah mencermati dalil-dalil Permohonan serta pertimbangan tersebut,


menurut Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak
sebagai Pemohon maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok
permohonan.

Pokok Permohonan
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan dalam Undang- Undang
Nomor 17 Tahun 2019 yang terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) UU
17/2019,bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33
ayat (4), UUD 1945 dengan argumentasi yang pada pokoknya, apabila dirumuskan
oleh Mahkamah adalah sebagai berikut (dalil atau argumentasi Pemohon
selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);

[3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya,


Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-5 yang telah disahkan dalam persidangan Mahkamah 18 Januari
2023 serta mengajukan 2 (dua) orang ahli yaitu; Dr. Muhammad Adam, S.H.,
M.Hum. dan Dr. Wildan Fajri Khomeini, S.H., M.H. yang didengarkan
keterangannya pada persidangan Mahkamah 18 Januari 2023, (sebagaimana
selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);

[3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan


yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah 11 Januari 2023 yang kemudian
dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah 9
Januari 2023, pada pokoknya menerangkan bahwa tidak ada hak konstitusiaonal
dari pemohon yang dirugikan sebagaimana ketentuan lebih lanjut mengenai pasal

86
46 ayat (1), yang selanjutnya dijelaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnyya
adalah milik publik;

[3.10] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulis yang


diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 9Januari 2023 dan dibacakan dalam
persidangan Mahkamah tanggal 11 Januari 2023, yang pada pokoknya
menerangkan bahwa pengaturan dalam pasal a quo tidak membuat adanya
pembatasan pemafaatan sumber daya air terhadap kegiatan usaha bagi setiap
warga negara atau yang dalam hal ini badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, badan usaha milik desa, dan atau swasta, melainkan frasa yang terkandung
dalam ketentuan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air dimaksudkan sebagai pembatasan yang mengatur segala bantuk
kegiatan pemanfaatan sumber daya air dan sanksi yang berlaku sebagaimana
dimaksudkan pada ketentuan huruf a sampai dengan huruf d. Sehingga
berdasarkan ketentuan pasal 28 J terhadap pasal 46 ayat (1) UU Nomor 17 tahun
2019 tentang Sumber Daya Air adalah ketentuan yang bersifat check and balances
terhadap kentuan materill dan formil berlakunya undang-undang (keterangan
selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);

[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan


Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon, inti permohonan a
quo adalah frasa “Prioritas Utama” dalam Pasal 46 ayat (1) UU 17/2019 yang
dalam Penjelasannya dinyatakan “cukup jelas”, telah menimbulkan kerugian atau
setidaknya berpotensi merugikan atas hak para pemohon sebagai pelaku usaha
pengguna sumber daya air atas pembatasan daripada frasa “Prioritas utama”
sebagaimana tidak memberikan persamaan hak atas kekayaan alam bagi setiap
warga negara yang turut serta dalam upaya penyelenggaraan ekonomi nasional
yang mana penetapannya menimbulkan akibat hukum. Oleh karenanya menurut
pihak Termohon menafsirkan bahwa ketentuan mengenai berlakunya pasal ini
tidaklah menimbulkan kerugian konstitusional bagi pihak pemohon dan tidak
adanya kesesuaian dengan undang-undang yang dimohonkan pengujiannya,
melainkan ketentuan pasal 46 ayat (1) sendiri dimaksudkan sebagai pembatasan
kegiatan penggunaan sumber daya air yang sesuai dengan aturan undang-undang
pasal 28 J. Hal ini menurut Pemohon tidaksejalan dengan upaya menciptakan

87
ekonomi nasional yang demokratis dan berkeadilan. Terhadap dalil pokok
permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas,
Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon sepanjang berkaitan dengan dapat
atau tidaknya ketetapan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019
tentang Sumber Daya Air menjadi objek yang dimohonkan pengujiannya
sepanjang sejalan denganpertimbangan hukum Putusan a quo adalah beralasan
menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil


Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil
dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevandan oleh
karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia 2020 Nomor 216,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554) dan undang-
undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076).

5.AMAR PUTUSAN
Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan ketentuan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun

88
2019 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pengguna Sumber Daya Air
untuk kegiatan usaha diberikan prioritas utama kepada Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Desa, dan terhadap
kebutuhan usaha pihak swasta diberlakukan syarat tertentu dan ketat ”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon selain dan selebihnya.
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan
Hakim Konstitusi yaitu Hafizh Swardana selaku Ketua, Salsabila Zain,
Pingkan Kusuma Wisudananda, Eka Wahyu Widiarti, Aulia Surya Fariza,
Danny Prima Arlida, Melia Putri Maharani, Mirza Putri Arnesia, Damar
Pratiwi masing-masing sebagai Hakim Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua
puluh lima, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh tiga, selesai
diucapkan pukul 10.00 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu yaitu
Hafizh Swardana selaku Ketua, Salsabila Zain, Pingkan Kusuma
Wisudananda, Eka Wahyu Widiarti, Aulia Surya Fariza, Danny Prima Arlida,
Melia Putri Maharani, Mirza Putri Arnesia, Damar Pratiwi masing-masing
sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Vio Kusuma Pratiwi sebagai Panitera
Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon dan/atau kuasanya, Dewan
Perwakilan Rakyat atau yang mewakili yang mewakili Presiden.
KETUA

DR. R.M HAFIZH SWARDANA, S.H., M.H.

89
ANGGOTA-ANGGOTA

Salsabila Zain, S.H., M.H. Pingkan Kusuma W., S.H., M.Hum.

Eka Wahyu Widiarti, S.H M.H. Aulia Surya Fariza, S.H M.H.

Danny Prima Arlida, S.H., M.H Melia Putri Maharani, S.H., LL.M.

Mirza Putri Arnesia, S. H., M.H. Damar Pratiwi, S.H., M.H.

PANITERA PENGGANTI

VIO KUSUMA PERTIWI, S.H.

90
LAMPIRAN

91
LAMPIRAN IDENTITAS PERWAKILAN PEMERINTAH

LAMPIRAN IDENTITAS PERWAKILAN DPR

LAMPIRAN KUASA HUKUM PEMOHON

92
LAMPIRAN IDENTITAS PEMOHON

93
LAMPIRAN IDENTITAS AHLI PEMOHON

LAMPIRAN IDENTITAS AHLI TERMOHON (DPR)

94
LAMPIRAN BUKTI PEMOHON

P-1

95
P-2

96
97
98
P-3

P-4

99
P-5

100
LAMPIRAN BUKTI TERMOHON PEMERINTAH
T-1

101
T-2

102
T-3

T-4

103
T-5

104
T-6

105
T-7

106
107
LAMPIRAN BUKTI TERMOHON DPR
T-1

T-2

T-3

108
T-4

109
T-5

110
111
T-6

112

Anda mungkin juga menyukai