Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra.
Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin
Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga yang memprihatinkan, sang ayah memutuskan
untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.
Malin : “Baik bu, rasanya sedih sekali ditinggal ayah untuk pergi.”
Ibu : “Iya malin, memang sedih rasanya, kita doakan saja ayah pergi dengan
selamat dan pulang dengan selamat juga.”
Malin : “Aamiin.”
Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Sudah 1 tahun lebih lamanya,
ayah Malin tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus
menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak yang
cerdas tetapi sedikit nakal.
Malin : “Tadi aku mengejar ayam bu, kemudian karena ayamnya berlari sangat
kencang dan aku tidak berhati-hati kaki ku tersandung batu, aku jatuh
kemudian lengan ku jadi berdarah.”
Ibu : “Yaampun malinn, kamu ini memang nakal ayam saja kamu kejar
sebegitunya sampai jatuh dirimu, coba ibu lihat lukamu.”
Ibu : “Lain kali kalau main hati-hati nakk supaya tidak terjadi hal seperti ini lagi.”
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang memiliki seorang sahabat bernama Rasyid.
Suatu hari ketika istirahat seusai bekerja. Malin Kundang dan Rasyid mendengar ada
kapal besar milik seorang saudagar kaya sedang berlabuh di Pantai Air Asin. Seketika itu
pulalah muncul keinginan Malin Kundang dan Rasyid untuk pergi merantau.
Rasyid : Apakah kamu mendengar ada kapal besar milik seseorang saudagar kaya
sedang berlabuh di dekat sini?
Malin : Iya, aku mendengar kabar tersebut. Lantas ada apa? Adakah untungnya
bersandarnya kapal itu bagi kita? Bukankan kapal-kapal itu seperti kapal
lainnya yang sering singgah disini?
Rasyid : Aduh kamu ini, Malin…. Kapal itu bisa mengubah nasib kita, Malin.
Rasyid : Kita datang kesana lalu melamar pekerjaan sebagai anak buah kapal. Siapa
tahu kita diijinkan bekerja disana. Kudengar gaji kerja di kapal jauh berkali-
kali lipat dibanding dengan gaji kita sekarang.
Rasyid : Tentu. Aku ingin kesanan lalu melamar pekerjaan disana. Siapa tahu
lamaranku diterima dan kemudian aku diperbolehkan kerja disana.
Malin : Iya, aku ingin ikut merantau. Sebab, aku sudah bosan hidup miskin seperti ini
saya mau merubah nasib, ya saya mau sekali jadi kapan kita mulai berangkat?
Malin : Baiklah kalau begitu lebih cepat lebih baik, tetapi saya harus meminta restu
kepada ibuku lebih dulu.
Rasyid : Baiklah, Malin. Mintalah restu pada ibumu. Siapa tahu berkat restu dari ibu
akan membukakan rejeki buatmu di perantauan nanti.
Malam harinya, malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula
kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu
Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati.
Malin : Tadi pagi saya ketemu Rasyid. Dia memberi tahu ada kapal yang bersandar
di pantai dekat desa kita. Lalu kami berdua memutuskan untuk pergi merantau
lewat kapal itu
Ibu : Malin, apakah kau tega meninggalkan ibumu yang sudah tua ini tinggal di
rumah sendirian?
Malin : Malin juga tidak tega, Bu. Tetapi Malin juga ingin merubah nasib keluarga
kita supaya bisa menjadi kaya. Malin sudah bosan hidup miskin dan dihina
sama tetangga terus menerus, Bu.
Ibu : Baiklah, Malin. Jika itu memang sudah menjadi keputusanmu. Ibu akan
memberimu restu. Doa ibu akan senantiasa menyertaimu. Ibu berharap kamu
akan sukses dan menjadi kaya seperti yang kamu inginkan. Tetapi anakku, jika
engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa
dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang
sambil
Malin : Baik, Ibu. Terima kasih atas doa dan restunya, Bu. Malin berjanji akan
pulang dan menjemput ibu bila sudah sukses nanti. Kapan kamu berangkat,
Nak? Malin akan berangkat merantau besok pagi, Bu.
Ibu : Secepat itukah kamu akan pergi, Nak, Kamu akan pergi meninggalkan ibu
sendirian?
Malin : Iya, Bu. Doakan Malin agar selamat dan berhasil sampai tujuan ya, Bu.
Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke
dermaga dengan diantar oleh ibunya.
Rasyid : “Tidak tahu Malin Kundang, saya juga sedang kebingungan.” (Lalu tiba-tiba
saudagar kaya pemilik kapal muncul)
Sudagar : “Kebetulan saya sedang mencari 2 orang pekerja untuk kapalku. Apakah
kalian mau bekerja bersamaku?”
Rasyid : “Tentu saja kami mau Tuan saudagar. Kira-kira kapan kami diperbolehkan
mulai bekerja?”
Saudagar : “Nanti kalau kapal ini sudah sampai. Kalian bisa bekerja di rumahku.”
Saudagar : “Nanti saja kalau kapal ini sudah berlabuh. Kalian berdua ikuti saja
langkahku.”
Kapal itupun akhirnya sampai di pelabuhan tujuan. Sang saudagar segera turun diikuti
anak buahnya yang menurunkan barang-barang yang diborong dari Pantai Air Manis.
Sesuai janji, Malin Kundang dan Rasyid mengikuti sang saudagar pulang ke rumahnya.
Kedatangan saudagar kaya itu bersama Malin dan Rasyid disambut oleh seorang
perempuan muda yang sangat cantik. Dia ternyata merupakan putri satu-satunya dari
sang saudagar.
Putri Saudagar : “Ayah siapakah nama dua orang itu?”
Saudagar : “Itu Rasyid dan Malin, mereka akan bekerja di rumah ini.”
Putri Saudagar : “Mana yang Rasyid, mana yang Malin, ayah?”
Saudagar : “Yang lebih tinggi dan tegap itu Malin, yang lebih kecil badannya
adalah Rasyid.”
Saudagar : “Memangnya ada apa, Putriku?”
Putri Saudagar : “Tidak ada apa-apa Yah, Saya cuma ingin tahu saja.”
Putri Saudagar : “Kamu pekerja baru ya? Siapa namamu?”
Malin : “Iya mbak aku malin, ada apa ya mbak”
Putri Saudagar : “Aku nur putri saudagar pemilik rumah ini”
Bersalaman
Tak disangka tak diduga, putri saudagar ternyata tertarik pada Malin. Bukan hanya
karena fisiknya yang rupawan. Putri juga kagum pada kinerja Malin Kundang yang
sangat rajin. Diam-diam, hal yang sama juga dirasakan Malin Kundang. Malin juga
menaruh hati pada putri saudagar. Sang Saudagar yang tahu putrinya dan Malin saling
menaruh hati memberikan restu. Dia mengizinkan putrinya menikah dengan Malin
Kundang karena pemuda itu terlihat rajin dan pekerja keras. Apalagi setelah menikah,
Malin terbukti tekun dan perlahan mengubah hidupnya di perantauan. Kini, dia mulai
menjadi kaya raya. Sebaliknya nasib malang justru dialami Rasyid yang memang terlihat
lebih sering malas-malasan saat bekerja.
Istri : “Kanda, Kita jadi tidak pulang kampung liburan ini?”
Malin : “Hah, memang kemana yang ingin kamu tuju?”
Istri : “Yang pasti ya bukan kampungku. Kampungku ya di kota besar ini.
Lahir disini, besar disini. Kita pulang ke kampungmu”
Malin : “Buat apa?”
Istri : “Hmm, aku mau lihat rumah ibumu”
Malin : “Ibuku sudah tidak ada”
Istri : “Yaa, aku mau lihat rumah masa kecilmu yang katanya luas
bangunannya sebesar lapangan bola”
Malin : “Tidak usah, lebih baik disini, rumah kita sendiri” Lagitan kalau mau
liburan itu ke Eropa, Australia, Amerika, Antartika”
Istri : “ Pokoknya aku mau ke kampungmu. Aku ingin keliling nusantara,
dan yang pertama ingin aku kunjungi adalah kampungmu. Karena dulu
kamu pernah berkata bahwa kampungmu seindah surga”
Sesudah Malin Kundang berlalu dari lapak tempatnya berjualan, Rasyid segera ke rumah
Mande. Rasyid mengabari Mande bahwa Malin telah datang bersama istrinya. Mendengar
kabar itu, Mande pun tak bisa menutupi rasa bahagianya. Mande langsung berlari ke
dermaga tempat kapal Malin bersandar.
Ibu : “Malin Kundang, anakku tersayang, mengapa kau pergi begitu lama
tanpa mengirimkan kabar? Ibu sudah sangat rindu padamu, Nak.”
katanya sambil memeluk Malin Kundang.
Putri Saudagar : “Kamu siapa? Berani-beraninya kamu mengaku sebagai ibu
mertuaku?”
Ibu Malin : “Saya ibundanya Malin Kundang, Nak. Kau istri Malin?
Menantuku?”
Malin : “Jangan berbohong, siapa kamu? Apa kamu sudah gila, mana
mungkin saya mempunyai ibu miskin, tua seperti kau.”
Ibu Malin : “Astaga Malin, ini aku Mande Rubayah, Ibundamu Nak. Aku yang
sudah melahirkan dan membesarkanmu. Mengapa engkau berubah
menjadi seperti ini? Apakah kekayaanmu telah membuatmu lupa pada
ibu yang telah melahirkanmu? Aku ibumu, Malin.”
Putri Saudagar : “Suamiku tidak mungkin memiliki ibu yang miskin, tua dan kotor
sepertimu. Jangan mengada-ngada.”
Ibu Malin : “Ya Allah, mengapa anakku berubah menjadi seperti ini? Mengapa
hatinya menjadi sekeras batu? Aku yang telah melahirkan dan
merawatnya Ya Allah. Berikanlah anakku itu teguranmu,
sesungguhnya anakku telah menjadi anak yang durhaka!! Tuhan
kukutuk dia menjadi sebuah batu.”
Saat itu juga, secara tiba-tiba langit menjadi gelap. Hujan badai dan ombak tinggi muncul
secara bersamaan. Sebuah kilat dan petir kemudian menyambar tubuh Malin Kundang
yang sempoyongan hingga akhirnya jatuh tertunduk. Malin sadar akan kesalahannya
pada sang ibu. Dia menyesal namun semua sudah terlambat.
HIKMAH: Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua terutama
kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika sampai
menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan satu dosa besar
yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak.