Anda di halaman 1dari 25

USULAN PENELITIAN

PELAKSANAAN SERTIFIKASI LAIK FUNGSI (SLF)


DAN PERSETUJUAN BANGUNAN GEDUNG
BERDASARKAN PERDA KOTA BENGKULU NOMOR 8
TAHUN 2020 TENTANG BANGUNAN GEDUNG

Diaujkan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh


Gelar Keserjanaan Ilmu Hukum
Oleh :
Muhammad Dimas Syaputra
B1A018280

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET


DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mengingat syarat Pasal 1 Ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun

19451 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum yang

menganut desentralisasi2 dalam penyelenggaraan pemerintah3. Sebagaimana yang

diisyaratjan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi

dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota , yang tiap-tiap

provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah, yang diatur

dengan Undang-Undang”

Penegasan ketentuan konstitusi ini berarti bahwa pemerintah daerah, yang

diberi otonomi, independensi, dan kemampuan untuk membentuk dan mengawasi

pemerintahan daerahnya sendiri, akan menerima kewenangan tertentu sebagai

pengganti pemerintah federal.

Semua permasalahan sosial, administrasi negara, dan pemerintahan harus

didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang relevan. Hal ini

menunjukkan bahwa tujuan negara hukum adalah tegaknya negara, pemerintahan,

1
Dalam tulisan ini selanjutnya akan disingkat menjadi UUD
2
Secara etimologis merupakan bahasa latin yang terdiri dari kata “de” berarti lepas, dan“centrum”
berarti pusat, sehingga bila diartikan desentralisasi berarti melepaskan diri dari pusat. (Victor
Situmorang, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 38)
3
Ridwan HR, 2017, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 17.
dan kegiatan kemasyarakatan berdasarkan keadilan, perdamaian, kemanfaatan,

atau kepentingan.4.

Sebagai negara yang sah, Indonesia tentu mempunyai tujuan pemerintahan.

Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 mencantumkan peningkatan kesejahteraan

masyarakat sebagai salah satu tujuan negara. Hal ini menunjukkan bahwa

Indonesia merupakan negara yang menganut teori negara kesejahteraan secara

hukum. Kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum

merupakan salah satu asas gagasan negara kesejahteraan 5. Artinya, tujuan negara

yang dipenuhi melalui pertumbuhan nasional bergantung pada penyelenggaraan

pemerintah di bidang kesejahteraan sosial serta tugasnya di bidang pemerintahan.

Pembangunan nasional meliputi pembangunan manusia seutuhnya6

Pertumbuhan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, menekankan keselarasan

antara kemajuan kekayaan lahiriah dan kepuasan batin. Negara bertugas

memelihara bangunan demi menjamin kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia.

Salah satu komponen kunci untuk mencapai sejumlah tujuan yang

mendorong tercapainya tujuan pembangunan nasional adalah bangunan. Hal ini

disebabkan oleh fakta bahwa struktur sangat penting bagi aktivitas manusia.

Sebagai lokasi di mana orang melakukan aktivitas sehari-hari, bangunan

memainkan peranan penting dalam pengembangan kepribadian, produktivitas, dan

rasa percaya diri. Oleh karena itu, bangunan harus dibangun dengan
4
Ibid.,
5
Ibid.,
6
Syahri Thohir, 2013, Hukum Pembangunan (Reformasi Perencanaan Pembangunan Nasional serta
Kebijakan dan Pelayanan Publik, Deepublish, Yogyakarta, hlm. 36.
mempertimbangkan tujuan penggunaannya dan sesuai dengan semua persyaratan

teknis dan administratif. Persyaratan administratif meliputi hal-hal seperti izin

mendirikan bangunan, status hak atas tanah, dan status kepemilikan bangunan.

Kriteria teknis mencakup hal-hal seperti spesifikasi denah bangunan dan standar

keandalan bangunan.7 Setiap bangunan gedung harus memberikan jaminan

kehandalan strukturnya dalam hal kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan

kemudahan.

Sertifikat Kesesuaian Fungsional Bangunan Gedung (SLF) diperlukan

sebelum suatu bangunan gedung digunakan untuk menjamin keamanan,

kesejahteraan, kenyamanan, dan kemudahan penghuninya. Sertifikat Kesesuaian

Fungsi Bangunan, atau disingkat SLF, adalah sertifikat yang diterbitkan oleh

pemerintah daerah yang menyatakan bahwa suatu bangunan memenuhi syarat

fungsi sebelum dapat digunakan, kecuali bangunan yang diperuntukkan bagi

keperluan khusus oleh pemerintah pusat. Berdasarkan tipologinya, bangunan

gedung dikelompokkan untuk keperluan permohonan Sertifikat Kelayakan

Fungsional.8:

1. Tinggi dan kompleksitas bangunan dibedakan berdasarkan :

7
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
8
Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Mentri PUPR Nomor 27/PRT/M/2018 Tentang Sertifikasi Laik Fungsi
Bangunan Gedung
a. struktur dasar satu lantai.

b. struktur lugas dengan dua tingkat.

c. struktur kompleks dan unik hingga lima tingkat.

d. struktur kompleks dan struktur unik dengan lebih dari lima lantai.

1. kondisi bangunan gedung

a. bangunan gedung baru

b. bangunan gedung yang sudah ada9

SLF merupakan semacam pengawasan pemerintah terhadap kualitas

konstruksi suatu bangunan sebelum dihuni. Sebelum suatu bangunan dapat

dibangun diperlukan IMB, dan apabila bangunan tersebut telah selesai dibangun

namun belum dapat dioperasikan diperlukan SLF. Sesuai dengan peraturan yang

dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 yang mengatur tentang

Bangunan Gedung atau kadang disebut Undang-Undang Bangunan Gedung, Pasal

3710:

“Pemilik atau pengguna bangunan gedung bertanggung jawab mengelola


penggunaan bangunan gedung apabila memenuhi persyaratan fungsional”

9
Suatu bangunan dianggap ada apabila telah dipakai, telah selesai serah terima akhir
dalam hal digunakan oleh pemberi jasa untuk pembangunan bangunan tersebut, atau
telah dibangun lebih dari 1 (satu) tahun. Tidak ada penyedia layanan yang digunakan
oleh gedung tersebut. Lihat Peraturan Menteri PUPR Nomor 27/PRT/M/2018 tentang
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung, Pasal 4 Ayat 6 untuk informasi lebih lanjut.
10
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
Selanjutnya telah disahkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun

2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung yaitu Pasal 72 Ayat (2) (selanjutnya disebut PP Gedung).11

““Hanya setelah pemilik bangunan memiliki Sertifikat Fungsi, bangunan

tersebut dapat digunakan.”

Pasal 119 PP tentang Konstruksi Bangunan Gedung semakin mempertegas

penerapan SLF dengan menyebutkan bahwa: 12

“Berdasarkan undang-undang pemerintah ini, bangunan yang dibangun


sebelum dilepas harus mendapat Sertifikat Laik Fungsi dalam jangka
waktu paling lama 5 tahun.
Pemerintah Daerah berhak memberikan Sertifikat Laik Fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 PP Konstruksi Bangunan Gedung, yang membuktikan
bahwa:
“Berdasarkan temuan pemeriksaan kelayakan fungsional bangunan gedung
sebagai prasyarat izin pemanfaatan, pemerintah daerah memberikan
Sertifikat Laik Fungsi kepada bangunan yang telah selesai dan memenuhi
standar kelayakan fungsional.”
Gubernur, walikota, atau bupati Provinsi DKI Jakarta berwenang memberikan
atau memperpanjang Izin Khusus bagi aparatur pengelola bangunan gedung daerah
dan aparatur perizinan terpadu satu pintu. Selain itu, setiap daerah harus membuat
Peraturan Daerah tentang Konstruksi Bangunan Gedung sesuai dengan Undang-
Undang dan Peraturan Bangunan Gedung, karena peraturan tersebut berfungsi
sebagai kerangka peraturan hukum yang mengatur bagaimana daerah mengelola
bangunannya, termasuk bagaimana penerapan SLF.
11
Pasal 72 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
12
Pasal 199 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
Sebagaimana disyaratkan dalam Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor 08
Tahun 2020 tentang Bangunan Gedung, Pemerintah Provinsi Bengkulu menerbitkan
Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung pada tahun 2020. Hal itu diputuskan
setelah melalui pemikiran yang matang. 13
1. Untuk melindungi penghuni dan lingkungan sekitar, pengelolaan bangunan

gedung harus dilakukan secara tertib, sesuai dengan fungsinya, dan mematuhi

seluruh peraturan administratif dan teknis bangunan gedung;

2. Pengelola bangunan gedung harus memberikan kenyamanan dan keamanan

lingkungan.

3. Mengarahkan pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 yang

menyikapi penerapan Pasal 109 ayat (1) Peraturan Bangunan Gedung Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2002.

Dasar hukum Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor 8 Tahun 2020 ini adalah:

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005

Perda ini mencakup berbagai topik, antara lain peruntukan dan klasifikasi

bangunan gedung, peraturan bangunan gedung, penatausahaan bangunan gedung,

TABG, pelibatan masyarakat, pedoman pengelolaan bangunan gedung, sanksi

administratif, penyidikan pidana, dan permasalahan peralihan.

13
Perda Kota Bengkulu Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Bangunan Gedung
Meningkatnya angka keruntuhan bangunan, kebakaran, dan kecelakaan lainnya

menunjukkan bahwa Kota Bengkulu masih memiliki banyak bangunan yang tidak

memenuhi kriteria keandalan konstruksi.

Berangkat dari konteks di atas, penulis mengkaji permasalahan ini melalui

tesis yang diberi judul

“SERTIFIKASI LAIK FUNGSI (SLF) DAN PERSETUJUAN BANGUNAN

GEDUNG BERDASARKAN PERDA KOTA BENGKULU NOMOR 8

TAHUN 2020 TENTANG BANGUNAN GEDUNG”

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana Pelaksanaan Sertifikasi Laik Fungsi dan Persetujuan Bangunan

Gedung Berdasarkan Perda Kota Bengkulu Nomor 8 Tahun 2020 Tentang

Bangunan Gedung?

2. Apa Faktor-faktor penghambat Pelaksanaan Sertifikasi Laik Fungsi dan

Persetujuan Bangunan Gedung Berdasarkan Perda Kota Bengkulu Nomor 8

Tahun 2020 Tentang Bangunan Gedung?

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

1. Tujuan Penelitian

a.) Memastikan tata cara pengurusan izin bangunan dan sertifikasi laik fungsi di

Kota Bengkulu sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor 8

Tahun 2020 tentang Bangunan Gedung.


b.) Untuk mengetahui kendala-kendala dalam permohonan persetujuan bangunan

gedung dan sertifikasi kelayakan fungsional sesuai dengan Peraturan Daerah

Kota Bengkulu Nomor 8 Tahun 2020 tentang Bangunan Gedung.

2. Manfaat Penelitian

a.) Secara Teoritis

Temuan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dan penulis

dalam menambah pengetahuannya. Khususnya mengacu pada proses dan

penerapan Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikasi Laik Fungsional (SLF)

di Kota Bengkulu, agar informasi tersebut dapat diketahui masyarakat umum dan

menjawab pertanyaan mengenai ketersediaannya.

b.) Secara Praktis

Dapat memberikan rincian mengenai proses yang akan dilakukan Kota

Bengkulu dalam melaksanakan persetujuan bangunan dan sertifikasi kelayakan

fungsional (SLF).

D. Kerangka Pemikiran

Konsep yang pada hakikatnya merupakan abstraksi dari proses berpikir,

kerangka teoritis merupakan kerangka dan acuan yang utamanya berupaya

membuat kesimpulan mengenai dimensi. Oleh karena itu, pemikiran teoritis selalu

berjalan seiring dengan penelitian.


Oleh karena itu, penulis akan mengambil beberapa teori yang akan menjadi

landasan penelitian, antara lain:

1. Teori Negra Hukum

Kondisi tersebut merupakan cerminan kehidupan di Bumi sepanjang sejarah

manusia. Gagasan tentang negara berkembang berkembang dari bentuk yang

paling dasar hingga yang paling canggih saat ini.

Negara hukum yang dicita-citakan adalah negara demokratis yang secara

aktif berupaya menjaga segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya,

memajukan kesejahteraan umum, membina kehidupan berbangsa, dan berperan

serta dalam memelihara tatanan internasional yang berdasarkan keadilan sosial,

kemerdekaan, dan perdamaian abadi.

Gagasan negara hukum telah diungkapkan secara historis dan praktis dalam

sejumlah model yang berbeda, termasuk rechtsstaat, negara hukum, nomokrasi

Islam, dan beberapa model lainnya, seperti negara hukum Pancasila. 14 Oleh karena

itu, moralitas tercermin dalam hakikat peraturan perundang-undangan. Dan

terlepas dari apakah suatu peraturan dibuat oleh pemerintah ataukah peraturan

tersebut muncul secara alami dari masyarakat, isinya—yakni, apakah peraturan

tersebut berasal dari prinsip-prinsip moral atau tidak—menentukan apakah

peraturan tersebut merupakan norma yang mengikat secara hukum.15

14
Lukman Santoso, Negara Hukum dan Demokrasi: Pasang Surut Negara Hukum Indonesia Pasca
Reformasi, Nadi Offset, Yogyakarta, 2016, hlm, 10.
15
Yuhelson, Pengantar Ilmu Hukum, Ideas Publishing, Gorontalo, 2017, hlm, 52.
Selain tidak bersifat negara kekuasaan (Machtstaat), negara hukum juga

mengandung jaminan hak asasi manusia, pemisahan dan pembatasan kekuasaan

sesuai dengan konstitusi, serta supremasi hukum atas yang lain. didasarkan pada

supremasi hukum, keberadaan pengadilan yang tidak memihak dan independen

yang menjamin setiap orang diperlakukan sama di depan hukum, dan pemberian

keadilan bagi semua orang, termasuk pembelaan terhadap penyalahgunaan

wewenang oleh mereka yang mempunyai otoritas.

Gagasan menegakkan persatuan bangsa harus menjadi landasan supremasi

hukum di Indonesia, demikian posisi Hamid S. Attamimi yang merangkum

pandangan Soepomo mengenai konsep negara integralistik.16

Krabbe berpendapat bahwa hukum tidak berasal dari kehendak Negara dan

memberinya kepribadian yang berbeda dengan Negara karena menurut pengertian

kedaulatan hukum, hukum itu sendiri mempunyai atau bahkan merupakan

kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Apalagi keinginan negara tidak relevan

dengan penerapan hukum.17

Setiap standar hukum di Republik Indonesia berakar pada standar-standar

yang sudah ada sebelumnya, yang kemudian berlandaskan pada standar-standar

yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya, sampai pada standar negara yang paling

mendasar, Pancasila.18
16
Zulkarnain Ridiwan, “Negara Hukum Kebalikan NACHTWACHTERSTAAT “, Fiat Justitia Jurnal
Ilmu Hukum Volume 5 No. 2 Mei-Agustus 2012, hlm. 143.
17
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2013, hlm. 157.
18
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan, Kansius, Yogyakarta, 1998, hlm, 39.
2. Teori Kepastian Hukum

Tujuan hukum adalah untuk menegakkan ketertiban masyarakat, dan salah

satu fungsinya adalah menjamin kepastian hukum. Prinsip-prinsip hukum yang

tertulis khususnya mempunyai sifat kepastian hukum yang tidak dapat dipisahkan.

Pakar Anggar M. Wantu:

3.Teori Kewenangan

Kekuasaan diserahkan kepada presiden oleh rakyat. Kemudian, sebagai

aturan perilaku yang berlaku secara universal, asas hukum akan menjadi tidak

berarti jika tidak ada kejelasan hukum”.19

Bagi semua pihak yang terlibat dalam suatu sengketa hukum, keadilan

adalah tujuan akhir. Perlakuan yang tidak adil dalam proses pengadilan

menyebabkan orang-orang yang percaya bahwa mereka mempunyai hak untuk

menderita tidak hanya secara finansial, namun juga secara emosional dan budaya.

Ketika keadilan menjadi gelap, keberadaan manusia dan masyarakat kehilangan

semua tujuan dan kemajuan terhenti.

Para pelaku strategis, seperti mereka yang mengepalai profesi hukum, dapat

menjaga kehidupan dan dinamika sosial agar tidak berubah menjadi barbarisme

asalkan mereka mematuhi prinsip-prinsip keadilan sosial dan tidak menjadi

“aktor” dalam berbagai cara yang menyimpang dari norma.20

19
Fence M. Wantu, “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”, Jurnal Berkala Mimbar
Hukum, Vol. 19 No.3 Oktober 2007, hlm. 388.
20
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, Pusaka Setia, Bandung, 2011, hlm, 140.
Undang-undang ini mempunyai lebih dari sekedar kompilasi peraturan-

peraturan tersendiri. Arti penting suatu peraturan hukum terletak pada sifat

peraturan-peraturan terkait yang saling berhubungan.

Karena sifatnya yang sistemik, maka negara hukum merupakan suatu

tatanan dan keseluruhan yang kohesif, dengan komponen-komponen yang saling

bergantung. Sederhananya, sistem hukum ibarat sebuah mesin yang berfungsi

dengan baik, dengan bagian-bagian yang bergerak secara beriringan untuk

mencapai tujuan bersama. Aspek hukum yang kompleks, termasuk aturan, konsep,

dan pengetahuan, tunduk pada kesatuan ini.21

Demi menjaga keadilan dan ketertiban sosial, hukum yang ditegakkan oleh

aparat penegak hukum terkait harus menjamin “kepastian hukum”. Kurangnya

kejelasan hukum akan menyebabkan anarki ketika individu mengejar

kepentingannya sendiri dan bahkan mengambil peran main hakim sendiri.

Akibatnya, masyarakat harus menghadapi lingkungan yang “disorganisasi sosial

atau kekacauan sosial” daripada situasi yang memberikan kepastian hukum

dengan memenuhi tuntutan dan kebutuhan yang sangat praktis, seperti adanya

peraturan. Saat ini, ketika orang berbicara tentang undang-undang seperti ini, yang

mereka maksud adalah persyaratan hukum.

Analisis normatif, bukan sosiolog, yang bisa menyelesaikan persoalan

kepastian hukum,22 Kehadiran peraturan perundang-undangan sangat dicari. Tentu

21
Rahman Syamsyuddin, Pengantar hukum Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, 2019, hlm, 34.
22
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2010, hlm, 59.
saja, kebutuhan akan kejelasan hukum dipenuhi oleh peraturan-peraturan ini. Jadi,

dia tidak memikirkan isi peraturan itu—atau, lebih tepatnya, dia tidak

memikirkannya lagi. Kepuasan terhadap persyaratan praktis, yaitu adanya

peraturan yang dapat diikuti sebagai panduan, sekali lagi dipertimbangkan.

Untuk saat ini, abaikan segala pertimbangan mengenai nilai yang melekat

pada peraturan ini. Orang-orang memerlukan jaminan dalam hubungan mereka

dengan orang lain dan dengan produk serta sumber daya lainnya pada tingkat

yang lebih tinggi, sebagaimana terungkap dalam keadaan ini. Pada tingkat

kejelasan ini, hukum dapat dianggap sebagai kebutuhan mendasar manusia.23

Pemberlakuan izin usaha bagi pelaku kawasan Pantai Panjang setidaknya

menunjukkan adanya perlindungan dan kejelasan hukum yang adil. Melalui

tindakan tersebut, negara berkontribusi terhadap kepastian hukumnya sendiri

dengan menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung

tinggi keadilan dan supremasi hukum.

Pada akhirnya, ketika kepala negara mengalihkan sebagian kekuasaannya

kepada negara melalui devolusi, dekonsentrasi, dan tugas bantuan, atau

memberikan kekuasaan tersebut kepada negara melalui undang-undang.24

“Rechtsmacht” (kekuasaan hukum) seseorang ditentukan dalam kerangka

hukum tata negara. Kekuasaan dan wewenang mempunyai arti yang sama dalam

23
Satjipto Rahardjo, “Meningkatkan Kepastian Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Keadilan
Berdasarkan Pancasila”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 18, No. 6, 1998, hlm. 532.
24
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonom Daerah, Penerbit Grasindo, Jakarta,
2005, hlm 66
25
hukum publik Kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif

disebut kekuasaan formal, dan sedikit berbeda dengan wewenang (gezag).

Kompetensi dan otoritas, sebaliknya, terbatas pada “onderdeel” otoritas tertentu.

Kompetensi dan yurisdiksi merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan tingkat kewenangan seseorang dalam ranah kekuasaan mengadili

atau kehakiman.

Kekuasaan untuk membuat pengaturan atau mengeluarkan keputusan

administratif di tingkat negara bagian mungkin didasarkan pada kewenangan yang

berasal dari delegasi atau atribusi, menurut hukum administrasi. Philipus M.

berpendapat agar pendapat tersebut dapat berdiri sendiri, sesuai dengan apa yang

disampaikan oleh Hens van Maarseven, bahwa dalam melaksanakan dan

mengamanatkan.26

Kewenangan yang sah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang sudah

ada sebelumnya, seperti konstitusi. Dalam menentukan pilihan, sumber

kewenangan mendukung pejabat (organ).

Ada banyak tingkat kewenangan yang mungkin dimiliki oleh orang atau

lembaga pemerintah yang berbeda:27

A. Kekuasaan asal atau atributif, yaitu kekuasaan yang diberikan pembuat

undang-undang kepada lembaga pemerintah (atributie: toekenning van een

bestuursbevoegheid by een wetgever aan een bestuurorgaan). Selama diatur dalam


25
Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, Tahun 1997, September, hlm 1
26
Azmi Fendri, Pengaturan Kewenangan Pemerintahan Daerah, PT Raja Grafindo Jakarta, 2016 hlm
173
27
Ridwan Hr, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, 2010, hlm 102.
undang-undang, kewenangan atribusi akan tetap berjalan. Sederhananya, kekuatan

yang datang dari jabatan. Bila menilik hukum ketatanegaraan, delegasi ini terlihat

dari kewenangan berbagai lembaga pemerintah untuk menjalankan tugasnya

sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh pembuat undang-undang. Di sini

kita berbicara tentang kekuasaan aktual yang berasal dari hal-hal seperti

konstitusi, hukum umum, atau batasan undang-undang.

B. Kewenangan non-atributif (non-asli), yaitu kekuasaan yang dilimpahkan dari

pejabat lain. Sifat insidentil dari wewenang non-atributif adalah berakhir pada saat

pejabat yang berwenang memberhentikannya. Kemampuan seorang pejabat untuk

melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya secara independen ditingkatkan

ketika seorang bawahan diberikan sebagian wewenang yang sebelumnya dipegang

oleh atasannya. Sepanjang hal ini tidak ditentukan secara eksplisit oleh undang-

undang dan peraturan terkait, pendelegasian wewenang ini dimaksudkan untuk

memfasilitasi pelaksanaan tugas secara efisien dan pertukaran komunikasi yang

bertanggung jawab dan terkendali.

Menurut Hamid S. Attamini, atribusi adalah proses dimana suatu badan

pemerintah—baik yang baru dibentuk maupun yang sudah ada—diberi

kewenangan lebih oleh lembaga legislatif ketika membuat undang-undang atau

melalui konstitusi (grondweet). Sastra Belanda menjadi dasar uraian ini. Masuk

akal karena Indro Harto pernah menyatakan bahwa atribusi meningkatkan

kekuasaan pemerintah melalui pengumuman legislatif.


Segala keputusan dan tindakan yang diambil oleh Penyelenggara

Pemerintahan harus didasarkan pada kekuasaannya dalam rangka memenuhi

amanahnya sesuai dengan hukum dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik

(AUPB).

Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan perundang-

undangan yang mengatur bagaimana pemerintah menjalankan kewenangannya

serta mengambil dan melaksanakan keputusan dan tindakan.

Sifat tanggung jawab yang dipercayakan kepada pemerintah mempengaruhi

bagaimana kewenangan tersebut berkembang. Tugas pemerintah adalah

melaksanakan amanat negara, termasuk menjalankan sebagian fungsi negara

sebagai struktur kekuasaan. Sementara itu, kewajiban, tujuan, dan tanggung jawab

masing-masing negara menentukan apa yang harus dilakukan pemerintah.

Keterlibatan pemerintah dalam kehidupan warga negara merupakan tanda

perannya yang semakin meningkat seiring dengan kewajiban dan tanggung jawab

negara. Keterlibatan ini diperlukan untuk mengkoordinasikan perilaku warga

negara dengan tujuan kesejahteraan negara dan satu sama lain.28

E. Keaslian Penelitian

Penulis telah menyatakan semua referensi dan kutipan akurat; penelitian

yang dilakukan merupakan hasil usaha penulis sendiri. Berdasarkan hasil

penelusuran di internet, tidak ditemukan penelitian yang meneliti permasalahan

28
Ibid,
tersebut pada publikasi ilmiah, jurnal, dan skripsi hukum di Fakultas Hukum

Universitas Bengkulu.

“Pelaksanaan Sertifikasi Laik Fungsi (SLF) Dan Persetujuan Bangunan

Gedung Berdasarkan Perda Kota Bengkulu Nomor 8 Tahun 2020 Tentang

Bangunan Gedung”

Oleh karena itu, penulis dapat menegaskan bahwa penelitian ini belum

pernah dipublikasikan sebagai publikasi ilmiah. Berikut beberapa judul penelitian

yang pernah dilakukan sebelumnya:

Tabel

Keaslian Penelitian

Nama & Asal


No Judul Rumusan Masalah
Perguruan Tinggi
1. Dian Yustikarini, Pelaksanaan Tugas 1. Bagaimana pelaksanaan

Fakultas Hukum Dinas Penataan Ruang penertiban Sertifikasi Laik

Universitas Dalam Penerbitan Fungsi (SLF)?

Hasanudin Sertifikasi Laik Fungsi 2. Bagaimana Kendala Yang

Makasar, Tahun Bangunan Gedung Di Dihadapi Dinas Penataan

Ruang Kota Makasar dalam


2020 Kota Makasar
melaksanakan penertiban

Sertifikasi Laik Fungsi?

2. Wisnu Anggara Implementasi Peraturan 1. Bagaimana Implementasi

M, Fakultas Menteri Pekerjaan Peraturan Menteri Pekerjaan

Hukum Umum Dan Perumahan Umum dan Perumhan


Universitas Islam Rakyat Republik Rakyat Nomor

Negeri Raden Indonesia Nomor 27/PRT/M/2018 Tentang

Intan Lampung 27/PRT/M/2018 Sertifikasi Laik Fungsi

Bandar Lampung, Tentang Sertifikasi Bangunan Gedung di Dinas

Tahun 2023 Laik Fungsi Bangunan Pekerjaan Umum dan Tata

Gedung Perspektif Ruang Pemerintahan Kota

Fiqih Siyasah Metro?

2. Bagaimana Perspektif Fiqih

Siyasah Terhadap

Implementasi Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum

dan Perumhan Rakyat

Nomor 27/PRT/M/2018

Tentang Sertifikasi Laik

Fungsi Bangunan Gedung di

Dinas Pekerjaan Umum dan

Tata Ruang Pemerintahan

Kota Metro?

Sumber : Data Kepustakaan Diolah


F. Metode Penelitian

1. Jenis Pnelitian

Penelitian semacam ini bersifat empiris. Selain mempelajari data sekunder

pada awalnya, penelitian empiris juga melihat hukum yang dipandang sebagai

perbuatan nyata dan gejala sosial tidak tertulis yang dialami oleh seluruh anggota

masyarakat. Selanjutnya, melakukan lebih banyak penelitian data primer

(lapangan) atau penelitian berbasis komunitas dalam penelitian ini.

Untuk memperjelas bagaimana dan apa saja yang terlibat dalam pelaksanaan

Sertifikasi Laik Fungsional (SLF) dan Persetujuan Bangunan Gedung

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor 8 Tahun 2020 tentang

Bangunan Gedung dan Konstruksi, penulis ingin membahas suatu gejala,

kejadian, atau kejadian. yang terjadi. Apa saja faktor penghambat pelaksanaan

persetujuan bangunan dan sertifikasi laik fungsi (SLF) di Kota Bengkulu.

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

Untuk menerapkan metode legislasi ini, seluruh peraturan perundang-

undangan yang relevan dikaji ulang kaitannya dengan topik hukum yang

sedang dibahas (diteliti). Menurut pendekatan perundang-undangan, hukum

merupakan suatu sistem tertutup yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Komprehensif, dalam arti norma hukumnya masuk akal satu sama lain;
2) Komprehensif dalam arti bahwa kumpulan standar hukum tersebut

memadai untuk mengatasi permasalahan hukum saat ini dan

memastikan tidak ada kesenjangan dalam undang-undang;

3) Sistematis, artinya norma-norma hukum tersebut tidak hanya

dihubungkan satu sama lain tetapi juga disusun secara metodis.29

Untuk melakukan penelitian hukum di lapangan ini, peneliti perlu

mengunjungi dan berbicara dengan para pelaku usaha di kawasan Pantai Panjang

Kota Bengkulu.

Secara khusus, dengan memahami penerapan Sertifikasi Laik Fungsi (SLF)

dan pembukaan bangunan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor 8

Tahun 2020 tentang Bangunan Gedung, maka pendekatan kajian ini menyoroti

penelitian yang bermaksud mengumpulkan informasi hukum secara langsung di

masyarakat.

3. Populasi Dan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah data dari Dinas Pekerjaan Umum dan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu serta perjalanan langsung ke lapangan.

Populasi adalah seluruh item atau gejala yang diselidiki.

b. Sampel

29
Ibid, hlm 56.
Penelitian biasanya dilakukan dengan menggunakan sampel, atau sebagian

dari keseluruhan item penelitian, bukan pada seluruh objek penelitian atau

populasi.

Purposive sampling yang digunakan dalam teknik pengambilan sampel

penelitian ini adalah pemilihan partisipan berdasarkan tujuan tertentu. Sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Dinas Pekerjaan Umum Kota Bengkulu

2) Sulasteri, Kepala Sub Seksi Penata Perizinan

4. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer berasal langsung dari sumber pertama di lapangan, antara lain

informan dan responden, serta berasal dari penelitian lapangan.30

b. Data sekunder

Data sekunder adalah sebagian data yang berasal dari penelitian

kepustakaan yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber primer dan

mempunyai dokumentasi legal dan non-hukum yang membuktikan asalnya.

30
Ibid, hlm. 44.
Data primer didukung oleh data ini. Tujuan penggunaan bahan hukum

sekunder adalah untuk memberikan arahan atau nasihat kepada peneliti bagaimana

caranya. Selain itu, data sekunder mencakup berbagai sumber hukum, seperti:

1) Bahan hukum primer, khususnya, sumber daya hukum primer, yang terdiri

dari dokumen resmi negara, putusan pengadilan, peraturan perundang-

undangan, dan berita acara resmi.

a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 3

Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Nomor 27/PRT/M/2018 Menteri

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang Sertifikat Fungsi

Bangunan Gedung

b) Peraturan Daerah Bangunan Kota Bengkulu Nomor 8 Tahun 2020

c) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Penerapan

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Peraturan Bangunan

Gedung

2) Bahan hukum sekunder Sumber hukum meliputi kamus hukum,

ensiklopedia hukum, buku hukum, jurnal hukum yang memuat prinsip-

prinsip dasar (doktrin), pendapat para ahli hukum (doktrin), dan hasil

penelitian hukum. Wawancara dengan para ahli hukum untuk mendapatkan

sudut pandang hukum terhadap suatu peristiwa atau fenomena hukum

tertentu dapat dianggap sebagai bahan hukum sekunder. Untuk menjamin

bahwa sambutan yang disampaikan bersifat obyektif, maka diperlukan


penilaian terhadap kualifikasi keilmuan individu yang tidak hadir pada acara

tersebut.

5. Metode Pengumpulan Data

Data primer dan sekunder akan dikumpulkan menggunakan proses

berikut. Sedangkan data primer terdiri dari fakta-fakta sosial yang penulis

temukan melalui wawancara, seperti permasalahan yang berkembang di

masyarakat dan mempunyai kepentingan sosiologis, sedangkan data sekunder

adalah informasi yang dikumpulkan dari studi kepustakaan melalui penelitian

kepustakaan.

Tujuan penggunaan wawancara sebagai strategi penelitian adalah untuk

mengumpulkan data atau informasi. Metode ini digunakan dengan mengajukan

pertanyaan kepada responden atau informan untuk memperoleh tanggapan

yang sesuai dengan kebutuhan penelitian.31

6. Pengolahan Data

Pengolahan data adalah langkah dalam proses penelitian dimana data yang

dikumpulkan diolah. Secara umum, pemrosesan data melibatkan pemeriksaan,

pelabelan, penyusunan kembali, dan pengorganisasian data. Tahapan strategi ini

dapat dijelaskan sebagai berikut:

31
M. Abdi dkk, Op.Cit, hlm 57.
a. Pemeriksaan data (pengeditan), yang melibatkan pemberian alasan atas

kelengkapan, relevansi, kejelasan, tidak berlebihan, dan bebas

kesalahan dari data yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara,

dokumen, dan tinjauan pustaka.

b. Penandaan data, juga dikenal sebagai pengkodean, adalah proses

memberi tanda pada data yang diperoleh untuk menyajikannya dengan

sempurna dan mempermudah rekonstruksi dan analisis data. Tanda

dapat diterapkan pada data berupa angka, tanda, simbol, atau kata-kata

tertentu yang menunjukkan kelompok atau kelompok klasifikasi data

menurut jenis dan sumbernya.32

7. Analisis data

Setelah pengumpulan data, baik primer, sekunder, dan tersier, diperiksa

secara yuridis dan kualitatif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan, teori hukum, dan penilaian profesional. Temuan analisis disajikan

sejalan dengan pertanyaan penelitian, yang kemudian disusun secara metodis

menyerupai skripsi dalam publikasi ilmiah.

32
Ibid, hlm. 46.

Anda mungkin juga menyukai