Anda di halaman 1dari 9

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN MELALUI PENGADILAN AGAMA Kontribusi Dari Bahauddin, SE.

MSI PROBLEMATIKA PENYELESAIAN MELALUI PENGADILAN AGAMA

SENGKETA

PERBANKAN

SYARIAH

SENGKETA

PERBANKAN

SYARIAH

Pendahuluan Setelah berkutat pada masalah seputar bunga bank apakah riba atau tidak, pemisahan dari induknya (spin-off) dan kemudian layanan nasabah syariah di cabang konvensional (office channeling) saat ini ada concern baru perbankan syariah mengenai penyelesaian sengketa yang terjadi. Mungkin baru disadari setelah mengetahui bahwa Pengadilan Agama berdasarkan akomodasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, lembaga ini dapat memeriksa dan memutus pada tingkat pertama segala sengketa ekonomi syariah termasuk sengketa dari perbankan syariah. Selama ini Pengadilan Agama dicari orang untuk masalah seputar antara lain nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Namun sekarang telah ada perluasan kewenangannya untuk menangani sengketa hak milik dan keperdataan dalam lingkup ekonomi syariah. Perluasan tersebut memberikan dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tertentu dan memperkuat landasan hukum dalam melaksanakan kewajibannya di bidang jinayah berdasarkan qanun (hukum Islam). Landasan Kewenangan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam[i] di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah[ii]. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, sengketa yang timbul dari niaga syariah apakah berasal dari perbankan syariah, asuransi syariah, obligasi syariah dll. dapat diajukan penyelesaiannya kepada Pengadilan Agama. Undang-Undang tersebut berlaku sejak diundangkan yaitu 20 Maret 2006. Maka sejak diundangkan, para pelaku ekonomi syariah dapat menyelesaikan sengketanya melalui Pengadilan tersebut. Penambahan kewenangan kepada Pengadilan Agama adalah berawal dalam rangka penyatu atapan (one roof system) semua lingkup peradilan di bawah

pengelolaan/pembinaan Mahkamah Agung. Di samping itu dirasakan untuk mengantisipasi segala perkembangan ekonomi syariah dengan segala permasalahan yang timbul berujung pada sengketa, perlu untuk diakomodasi dalam suatu institusi peradilan. Bank Indonesia selaku regulator merasa “kecolongan” dengan adanya penambahan kewenangan pengadilan tersebut dan ditengarai sempat meminta agar pelaksanaan perluasan kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani ekonomi syariah ditangguhkan terlebih dahulu. Pasalnya menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Chalimah Fadjrijah bahwa Bank Indonesia baru mengetahui adanya perluasan kewenangan Pengadilan Agama saat UU tersebut akan diundangkan. Menurutnya terdapat hal-hal yang masih perlu dibenahi antara lain dalam tataran: a. Kesiapan infrastruktur dari Hakim Pengadilan Agama yang akan memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah karena selama ini track record pengalamannya bukan menangani sengketa tersebut. b. Mengingat dalam undang-undang tidak mengatur mengenai masa peralihan, bagaimana dengan sengketa yang sedang diproses/telah di putus oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), apakah masuk dalam kewenangan pemeriksaan di Pengadilan Agama ? c. Dalam alinea ke-2 Penjelasan Pasal 49 UU tersebut terdapat pengaturan adanya penundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam. Timbul pertanyaan bagaimana apabila nasabah/mitra pembiayaan bank syariah yang non Islam apakah penundukkan diri dapat diartikan secara harfiah yaitu mengikuti kaidah/rukun Islam atau penundukkan diri yang diartikan secara yuridis an sich ? d. Mengingat undangundang tidak mengaturnya, bagaimana dengan masalah hukum acara yang dipergunakan dalam pemeriksaan di Pengadilan Agama tersebut ? Substansi Kewenangan Menilik dari yang dipertanyakan oleh Deputi Gubernur BI tersebut di atas, masih ada hal-hal yang perlu diakomodasi guna penyempurnaan Pengadilan Agama dalam menjalankan fungsi khususnya penanganan sengketa ekonomi syariah. Permasalahan ekonomi syariah tidak hanya menyangkut perbankan syariah, tercatat ada kegiatan usaha lainnya menurut prinsip syariah seperti lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, obligasi syariah, sekuritas syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah. Namun persiapan infrastruktur Pengadilan Agama, misalnya kesiapan para hakimnya, hukum acaranya (tata

cara pengajuan/proses) undang-undang tidak menjelaskannya, sehingga masih diperlukan akan adanya kesiapan infrastruktur tersebut. Secara yuridis Pengadilan Agama telah diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus setiap sengketa ekonomi syariah yang diajukan, namun secara operasional sampai saat ini kesiapannya masih dipertanyakan. Perluasan kewenangan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para hakim Pengadilan Agama untuk memahami segala sengketa yang masuk sesuai dengan adagium ius curia novit (hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak untuk memeriksa dengan dalih hukumnya tidak/kurang jelas). Apabila para pihak (lembaga keuangan syariah dan mitra pembiayaan) memutuskan bahwa sengketa yang timbul di kemudian hari akan diselesaikan melalui Pengadilan Agama, maka tentunya dalam kontraknya (akad) telah diperjanjikan terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Agama. Memang tidak/belum ada standar baku klausula akad mengenai penyelesaian sengketa. Namun dapat diakomodasi dengan klausula yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut : “Para pihak sepakat apabila dalam pelaksanaan akad pembiayaan kemudian timbul sengketa, maka akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Apabila dengan cara tersebut tidak tercapai, para pihak sepakat penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Agama Surabaya (misalnya)”. Pertanyaan yang masih ada dalam benak praktisi perbankan syariah antara lain mampukah peradilan tersebut menyelesaikan permasalahan sengketa syariah ? Selain kekhawatiran beberapa pemerhati syariah akan hal tersebut, muncul skeptisme akan adanya efektivitas keberadaan lembaga dimaksud. Hal ini dirasa logis mengingat belum ada kejelasan dalam klausula/pasal menyangkut mengenai hukum acara yang dipergunakan dalam memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Namun keragu-raguan itu ditepis oleh Andi Syamsu Alam, Ketua Muda Mahkamah Agung urusan lingkungan Peradilan Agama yang menyatakan bahwa pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tidak diubah pa-wates.net http://pa-wates.net Menggunakan Joomla! Generated: 20 March, 2009, 19:02Page 2 sepanjang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, itu tetap berlaku. Seperti Pengadilan Agama yang

belum memiliki hukum acara perdata syariah oleh karenanya Pengadilan Agama dapat menggunakan hukum acara perdata milik peradilan umum. Disamping itu menilik lebih jauh dari peran Pengadilan Agama nantinya terkait perbankan syariah walaupun dengan segala macam akad pembiayaan seperti murabahah, musyarakah, mudharabah dan lain-lain tentunya tidak terlepas dari segi agunan (collateral) berupa fisik jaminan yang masing-masing tunduk pada ketentuan perundang-undangan tertentu. Pelaksanaan proses sengketa Pengadilan Agama pada awalnya menurut para praktisi ditengarai terdapat benturan (baca ketidaksesuaian) dengan undang-undang lainnya (18 undang-undang), antara lain: Undang-Undang (UU) Arbitrase, UU Pasar Modal, UU Kepailitan, UU Perasuransian, UU Perdagangan, UU Pegadaian, UU Bank Indonesia, UU Perbankan, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, UU Perseroan Terbatas, UU Dokumen Perusahaan, UU Jabatan Notaris, UU Persaingan Usaha (Anti Monopoli), UU Perlindungan Konsumen, UU Koperasi, UU Lembaga Penjaminan Simpanan dan menyangkut Otoritas Jasa Keuangan. Namun khusus terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah issue pokok benturannya antara lain dengan : a. Undang-Undang Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996). Undang-Undang ini mengakomodasi jaminan berupa tanah/bangunan yang dalam pelaksanaan eksekusi bila debitur wanprestasi dapat dilakukan lelang Hak Tanggungan secara di bawah tangan atau melalui Pengadilan Negeri. Dapatkah nantinya Pengadilan Agama juga mengakomodasi lelang Hak Tanggungan mengingat Pengadilan Negeri juga dapat melakukan hal yang sama sehingga dapat menimbulkan duplikasi ? b. Undang-Undang Jaminan Fidusia mensyaratkan adanya pembuatan Akta Jaminan Fidusia dan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia sehingga menimbulkan hak preferensi bagi kreditur. Pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia juga hampir sama (mirip) dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Apakah nantinya Pengadilan Agama juga dapat mengakomodasinya hal tersebut. c. Undang-Undang Kepailitan. Syarat kepailitan adalah debitur mempunyai 2 atau lebih kreditur, mempunyai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pengajuan kepailitan dilakukan ke Pengadilan Niaga. Lantas, apakah Pengadilan Agama dapat berfungsi sebagai semacam Pengadilan Niaga Syariah untuk menerima suatu pengajuan kepailitan. Perkembangan Bank Syariah yang cukup menggembirakan, antara lain dilihat dari Kinerja Keuangan (Dana Pihak Ketiga) dan perkembangan jaringannya sebagaimana dalam Tabel-1 dan

Tabel-2 [iii], perlu diantisipasi dengan kesiapan infrastruktur institusi yang akan menangani segala sengketa yang timbul. 2005 2006 Mar-07 Jun-07 Sep-07 Okt-07 Total Aset 20.879.874 26.722.030 28.447.352 29.208.812 31.802.773 33.016.029 Share Aset 1.42% 1.58% 1.67% 1.65% 1.72% Financing 15.231.942 20.444.907 20.820.064 22.969.103 25.589.806 26.072.681 Share Finc 2.19% 2.58% 2.60% 2.67% 2.80% Account Finc 144.699 372.109 419.362 432.562 486.389 497.128 Deposit 15.582.329 20.672.181 21.882.933 22.714.256 24.680.417 25.473.335 Share Dep. 1.38% 1.61% 1.69% 1.68% 1.76% Account Dep. 1.255.889 1.992.452 2.100.905 2.386.003 2.599.023 2.696.929 Dep. OC - 101.851 193.030 461.946 500.413 FDR 97.75% 98.90% 95.14% 101.12% 103.68% 102.35% LDR National 59.66% 61.56% 61.98% 63.57% 65.24% NPF (Gross) 2.82% 4.75% 5.73% 6.20% 6.29% 6.22% Tabel-1: Kinerja Keuangan Bank Syariah 2003 2004 2005 2006 Mar-07 Jun-07 Sep-07 Okt-07 Jumlah Bank BUS 2 3 3 3 3 3 3 3 UUS 8 15 19 20 21 23 25 26 BPRS 84 88 92 105 105 107 109 114 Jml Ktr 337 443 550 636 657 673 686 693 Office Channeling Jml Bank 10 12 13 15 17 Jml Out 456 467 983 1.046 1.125 Tabel-2: Jaringan Perbankan Syariah Di samping pertumbuhan jaringan (Tabel-2) dan penghimpunan Dana Pihak Ketiga, masalah NPF di perbankan konvensional juga dihadapi perbankan syariah (Tabel-1), yang menunjukkan pada akhir Triwulan IV 2007 (Oktober 2007) terjadi pergerakan yang cukup signifikan. Kondisi tersebut mendorong Dewan Syarah Nasional mengeluarkan fatwa tentang restrukturisasi (dikenal R3) dan konversi akad. Dengan dasar fatwa tersebut perbankan syariah berbenah diri dengan melakukan program restrukturisasi yang berbuah hasil dengan menurunkan tingkat NPF pada akhir tahun 2005. Namun pada awal tahun 2006 ternyata terjadi peningkatan kembali kendati sampai saat ini belum diketahui persis trigger penyebabnya apakah secara tidak langsung karena tingginya suku bunga BI rate, fundamental ekonomi makro yang terimbas tingginya BBM yang berpengaruh pada sektor riil. Belum terjawab secara pasti. Namun kembali pertanyaan muncul akankah pembiayaan bermasalah makin meningkat di perbankan syariah? Ditengarai restrukturisasi yang dilakukan diperbankan syariah memang belum sepenuhnya dapat dikatakan berhasil. Skim R3 yang banyak dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu tidak sepenuhnya menuai hasil. Pembiayaan pada sektor-sektor tertentu dirasa berjalan lambat, untuk tidak dikatakan seret seperti contoh pembiayaan yang diberikan pada industri olahan kayu. Industri ini yang konon menghadapi kesulitan bahan baku karena illegal logging tentunya pengusaha sulit untuk bangkit

kembali sehingga saat ini industri bisa jadi sudah masuk kategori sunset industry. Contoh lain pembiayaan murabahah untuk pembelian sarana angkutan (bus). Industri ini juga mengalami kelimpungan adanya persaingan bisnis (tiket pesawat terbang murah) yang ketat. Kalah dalam persaingan tiket berujung pada banyak mangkalnya bus-bus di kandang garasi sehingga pengusaha tidak ada pendapatan yang berakibat pada ketidakmampuan mengangsur kewajibannya pada perbankan syariah. Barangkali masih banyak contoh industri lain yang dibiayai perbankan syariah menghadapi hal serupa. Memperhatikan hal tersebut para praktisi perbankan syariah menyatakan dukungannya atas perluasan kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani sengketa syariah akan tetapi perlu dilengkapi dengan alat/pendukung kelengkapan peradilan agar bila ada para pihak yang akan menyerahkan penyelesaian sengketa dapat berjalan lancar. Basyarnas Peningkatan Non Performing Finance (NPF) di perbankan syariah tentunya membuat gusar remedial officer unit perbankan syariah utamanya terhadap mudharib/musyarik yang bandel dan tidak kooperatif pa-wates.net http://pa-wates.net Menggunakan Joomla! Generated: 20 March, 2009, 19:02Page 3 lagi untuk menyelesaikan kewajiban pembiayaannya. Lantas, institusi apa yang akan dipilih untuk mengatasi NPF tersebut dan sengketa syariah tersebut ? Beberapa Unit Usaha Syariah BUMN masih cenderung memilih penyelesaian pembiayaan bermasalah/NPF dengan melakukan Lelang Hak Tanggungan melalui KP2LN. Memang pada awalnya ditengarai banyak institusi lelang tersebut enggan menerima penyerahan NPF perbankan syariah dengan pertimbangan sengketa tersebut tidak masuk dalam kompetensinya. Namun dalam praktek menghadapi keengganan (baca penolakan) tersebut praktisi perbankan syariah tak kurang akal juga dengan menyakinkan bahwa unit usaha syariah masih merupakan satu manajemen induk dengan bank konvensionalnya. Sehingga dalam penyerahan NPF tersebut masih mendasarkan ketentuan penyerahan piutang yang berlaku di bank konvensional. Adapun sengketa lainnya ada yang menyelesaikannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Sedang bagi Bankan Syariah (swasta) ada kecenderungan dengan melalui balai lelang swasta. Kendati tidak ada catatan resmi tapi masih jarang

penyelesaiannya di lakukan melalui Basyarnas (tabel 4) meski jelas-jelas dalam akad pembiayaannya banyak bank-bank syariah telah mengakomodasi Pilihan Sengketa kepada Basyarnas. Hal tersebut didasarkan pada masalah pertimbangan adanya proses yang dianggap merepotkan dengan bolak-balik untuk beracara di persidangan yang memakan biaya, waktu dan tenaga. Dengan alasan tersebut kehadiran Pengadilan Agama dengan UU baru apakah dapat mengakomodasi segala keperluan pihak yang bersengketa. Sejak didirikan 2003 lalu, sengketa yang diselesaikan Basyarnas tercatat hanya belasan saja. Jumlah tersebut bisa dibilang minim mengingat lembaga tersebut merupakan badan arbitrase syariah satu-satunya yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah. Ada asumsi fenomena tersebut karena ada mekanisme internal di samping adanya kesadaran masing-masing pihak yang melaksanakan syariah. Basyarnas Pengadilan Agama Landasan Hukum UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Penyelesaian Sengketa UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama Instrumen utama Arbiter Hakim Sifat putusan Final dan binding, fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri Terdapat upaya hukum banding, kasasi/PK Klausula Penyelesaian Sengketa Dalam akadnya diakomodasi pemilihan penyelesaian sengketa dengan menunjuk Basyarnas Dalam akad-nya diakomodasi pemilihan penyelesaian sengketa dengan menunjuk Pengadilan Agama Asas Mengingat merupakan arbitrase maka proses perkara bersifat cepat Relatif lama apabila terdapat pihak lain yang mengajukan upaya hukum Bentuk klausula Bisa factum de compromittendo (biasa dibuat sebelum timbul sengketa; dicantumkan dalam perjanjian pokoknya) atau akta Compromis (dibuat dalam perjanjian tersendiri setelah timbul sengketa) Langsung dicantumkan dalam perjanjian pokok (akad). Tabel-3: Perbandingan Penyelesaian melalui Basyarnas dan Pengadilan Agama. Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan pertama kali tahun 1993. Pendirian BAMUI merupakan tindak lanjut rekomendasi Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1992. Selanjutnya pada Rakernas 2002 MUI merekomendir agar nama BAMUI diubah menjadi Basyarnas. Bahkan banyak Bank Syariah yang tidak menyelesaikan melalui institusi tersebut melainkan melalui Pengadilan Negeri. Legislasi Nasional Kelancaran Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah

tidak saja hanya didasarkan pada kesiapan para Hakim dan infrastruktur pendukung peradilannya, namun juga untuk jangka panjang adanya kodifikasi (apapun namanya) hukum ekonomi Islam agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum (rechtzekerheid) dan para hakim yang menangani sengketa syariah memiliki rujukan standar dalam setiap menyelesaikan sengketanya (termasuk perbankan syariah). Pasalnya norma-norma yang bersumber dari hukum Islam khususnya di bidang perikatan telah lama terkikis akibat politik penjajahan di masa lampau dan karenanya sudah sangat familiar dan biasa menerapkan KUH Perdata/BW (Burgelijk Wetboek) yang memang dalam praktek materi dan pengaturannya terdapat banyak kemiripan antara prinsip-prinsip dalam KUH Perdata dengan ketentuan fiqih muamalah. Selama belum ada akomodasi aturan tersebut, hakim Pengadilan Agama dituntut kemampuannya untuk menggali (ijtihad) dan merevitalisasi dari kitab-kitab fiqih dan penguasaan peraturan perundang-undangan di berbagai negara yang mempraktekkan lembaga keuangan/ perbankan syariah. Di samping politik hukum nasional dalam bidang legislasi tersebut, nantinya di Pengadilan Agama perlu juga adanya bentukan 2 kamar secara bertahap menurut kebutuhan yaitu hukum keluarga (kamar al ahwalusysyahshiah) dan hukum kebendaan (kamar al amwalusysyar’iyah). Harapan tentunya disandarkan dengan kewenangan baru tersebut Pengadilan Agama makin menambah khazanah lembaga yang dapat mengakomodasi setiap penyelesaian sengketa ekonomi syariah utamanya perbankan syariah. [i] Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama seseuai dengan Pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006. [ii] Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: Bank Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi Syariah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syariah, Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah dan Bisnis Syariah. [iii] Disampaikan oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Chalimah Fadjrijati dalam Dialog Awal Tahun CIEBERD Unair

“Perjalanan Ekonomi dan Keuangan Syariah: Evaluasi dan Prospek 2008”, di Surabaya, 5 Januari 2008

Anda mungkin juga menyukai