Anda di halaman 1dari 21

KEBIJAKAN MENYATAKAN MATI

BATANG OTAK (BRAIN DEATH)

KARS

Curiculum vitae: DR.Dr.Sutoto.,M.Kes


JABATAN SEKARANG:
Ketua KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit ) Th 2011-2014
Ketua umum PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Th 2009-2012/
2012-2015
Dewan Pembina MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) IDI Pusat 20092012/2012-2015
Dewan Pembina AIPNI (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia)
Anggota Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Kementerian Kesehatan R.I
Dewan Pengawas RS Mata Cicendo,Pusat Mata Nasional
PENDIDIKAN:
1. SI Fakultas Kedokteran Univ Diponegoro
2. SII Magister Manajemen RS Univ. Gajahmada
3. S III Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (Cumlaude)

PENGALAMAN KERJA
Staf Pengajar Pascasarjana MMR UGM, UMY, UHAMKA
Surveyor Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) sejak 1998
Kepala Puskesmas Purwojati, Banyumas, Jawa Tengah, tahun 1978-1979
Kepala Puskesmas Jatilawang, Banyumas,jawa Tengah., tahun 1979-1992

Direktur RSUD Banyumas Jawa Tengah 1992-2001

Direktur Utama RSUP Fatmawati Jakarta 2001 - 2005

Direktur Utama RS Kanker Dharmais Jakarta 2005-2010

Sesditjen/Plt Dirjen Bina Pelayanan Medis KEMENKES R.I( Feb-Sept 2010)


Sutoto.KARS

KEBIJAKAN MENYATAKAN MATI BATANG


OTAK (BRAIN DEATH)

Pengertian dan batasan


Yang dimaksud Mati Batang Otak (MBO) adalah :
Suatu keadaan yang ditandai oleh menghilangnya
fungsi batang otak.
Diskontinuitas system neuronal saraf perifer ke
kortek (syarat mutlak untuk kesadaran).

PROSEDUR MENYATAKAN MATI BATANG OTAK

1. Sebelum Tes Refleks Batang Otak


. Harus ada tanda-tanda fungsi batang otak telah hilang :
1. Pasien koma
2. Tidak ada sikap abnormal (dekortikasi atau deserebrasi)
3. Tidak ada refleks batang otak : refleks okulosefalik
4. Tidak ada sentakan epileptik
5. Tidak ada nafas spontan
Bila salah satu (+), batang otak : refleks otak masih hidup, maka tidak
perlu tes refleks batang otak.

2. Lima Tes Refleks Batang Otak


1.
2.
3.
4.
5.

Tidak ada respon terhadap cahaya


Tidak ada refleks kornea
Tidak ada refleks vestibulo - okuler
Tidak ada respon motor dalam distribusi saraf kranial terhadap
rangsang adekuat pada area somatik
Tidak ada refleks muntah (gag refleks) atau refleks batuk terhadap
rangsang oleh kateter isap yang dimasukkan kedalam trakea.

3. TEST APNEU
Pre oksigenasi dengan 100 % O2 selama 10 menit.
Beri 5 % CO2 dalam 95% selama 5 menit berikutnya
untuk menjamin PaCO2 awal : 53 Kpa (40 torr).
4. Pengulangan Tes
Tes ulang perlu dilakukan untuk mencegah kesalahan
pengamatan dan perubahan tanda-tanda.
Interval waktu 25 menit - 24 jam tergantung rumah
sakit dan rekomendasi yang dianut.

KEWENANGAN MENYATAKAN MATI BATANG


OTAK.

Yang berhak menyatakan seorang


pasien mati batang otak adalah
minimal 3 (orang) dokter, yaitu
Dokter Spesialis Anesthesia , Dokter
Spesialis Saraf dan 1 (satu) dokter
lain yang ditunjuk oleh Komite Medis
Rumah Sakit.

PENANGANAN SETELAH PASIEN DINYATAKAN MATI


BATANG OTAK
Pengkomunikasian kepada keluarga merupakan langkah awal setelah
pasien dinyatakan Mati Batang Otak (MBO). Keluarga yang diberi
penjelasan adalah keluarga terdekat denga urutan prioritas mulai dari
suami/istri, orang tua kandung, anak kandung dan terakhir saudara
kandung.
Keluarga diberi penjelasan bahwa setelah pasien dinyatakan mati batang
otak, maka akan dilakukan penghentian seluruh tindakan dengan
sebelumnya mengkomunikasikan dengan keluarga.
Bilamana keluarga pasien belum dapat menerima, maka pihak rumah
sakit memberi waktu kepada keluarga untuk melalui fase denial.
Second opinion dapat diminta oleh pihak keluarga dalam fase denial, dan
dalam hal ini, DPJP akan berkomunikasi dengan dokter yang diminta oleh
pihak keluarga sebagai second opinion sesuai kebijakan RS tentang
second opinion.
Selama fase denial dokter dapat menolak melakukan tindakan medik
invasif yang tidak sesuai dengan etika kedokteran bilamana perlu, namun
dengan tetap mengkomunikasikan kepada pihak keluarga.

KEBIJAKAN PASIEN DALAM STADIUM


TERMINAL YANG MEMILIH MENINGGAL
DI RUMAH (TIDAK DI RUMAH SAKIT)
Pasien atau walinya yang sah dapat memutuskan untuk
meninggal tidak di rumah sakit karena alasan
agama/kepercayaan, budaya, adat istiadat,
pertimbangan sosio-ekonomi lain dan geografis.
Keputusan untuk meninggal tidak di rumah sakit
dilakukan secara tertulis dengan menanda tangani form
informed consent berupa persetujuan menghentikan
perawatan setelah mendapat penjelasan yang lengkap
dari DPJP / tim dokter yang merawat mengenai
prognosis dan konsekuensi keputusan tersebut.
Rumah sakit menghormati keputusan pasien / walinya
yang sah tersebut.

KEBIJAKAN MENAHAN / MENGHENTIKAN


TINDAKAN LIFE SUPPORT
(WITHHOLDING/WITHDRAWING LIFE SUPPORT)

KEBIJAKAN MENAHAN / MENGHENTIKAN TINDAKAN LIFE


SUPPORT (WITHHOLDING/WITHDRAWING LIFE SUPPORT)

Pengertian dan batasan

Menahan tindakan life support


(Withholding life support) adalah
kelompok tindakan yang meliputi :
Tidak memasang ventilator
Tidak merubah setting ventilator (jika pasien
sudah terpasang)
Tidak menaikkan / merubah dosis obat
inotropik maupun menambah jenis obat
inotropik

MENGHENTIKAN TINDAKAN LIFE


SUPPORT (WITHDRAWING LIFE
SUPPORT)
Menghentikan tindakan life support (Withdrawing
life support) adalah kelompok tindakan yang
meliputi :
Menghentikan ventilator
Menurunkan dosis obat inotropik pada pasien /
menghentikan obat inotropik padahal fungsi
kardiovaskular pasien masih belum optimal atau
menurun.

Tidak termasuk dalam kategori ini adalah :


Menghentikan tindakan resusitasi jantung paru
sesuai indikasi

Tujuan
Untuk memfasilitasi penanganan dan pelayanan yang
nyaman dalam proses penghentian. Kebijakan ini berlaku
untuk pasien yang telah dinyatakan DNR atau dinyatakan
akan dihentikan support kehidupannya. Kebijakan ini
berlaku pula bagi pasien yang terintubasi dan terpasang
ventilasi mekanik yang :
Berada dalam keadaan terminal dimana life support ini
hanya menunda kematian yang tidak terhindarkan
(medically ineffective futile treatment)
Keluaran / outcome terbaiknya adalah kondisi kesehatan
yang tidak sesuai dengan kehendak pasien yang
didokumentasikan dalam rekam medik atau dipahami
oleh keluarga atau walinya

KEBIJAKAN MENAHAN PEMASANGAN


ALAT/ TINDAKAN PENUNJANG HIDUP
(WITHHOLDING LIFE SUPPORT)
1. Menahan life support dilakukan sesuai indikasi pada poin
3.2 di atas, namun di mana keluarga memilih pilihan ini
daripada menghentikan life support.
2. Keputusan menahan pemasangan alat / tindakan
penunjang hidup ada di tangan DPJP setelah melakukan
konsultasi dengan sedikitnya 2 dokter spesialis lain, dimana
salah satu dokter anastesi atau dokter intensif care, dan 1
(satu) orang dokter lain yang ditunjuk oleh Komite Medis
Rumah Sakit.
3. Keputusan menahan pemasangan alat / tindakan
penunjang hidup didasarkan indikasi medik yang jelas, dan
telah dikomunikasikan pada keluarga dengan hubungan 1
level, (pasangan hidup, orang tua atau anak kandung), dan
pihak keluarga telah memberikan persetujuan tertulis.

KEBIJAKAN MENAHAN PEMASANGAN


ALAT/ TINDAKAN PENUNJANG HIDUP
(WITHHOLDING LIFE SUPPORT)
lanjutan1

4. Di mana perlu pihak dokter / rumah sakit dapat


mengundang Komite Etik dan/atau Medikolegal untuk
pengambilan keputusan ini.
5. Di mana perlu, keluarga dapat meminta kehadiran
rohaniawan dalam pengambilan keputusan ini.
6. Sebelum menahan tindakan penunjang hidup,
dipersiapkan obat-obat yang menjamin kenyamanan
pasien dalam proses penghentian ini, hingga pasien
meninggal, termasuk di antaranya obat sedatif dan pain
killer.
7. Pertama diberikan obat-obat yang menjamin kenyamanan
KARS
pasien (sedatif dan
pain killer), sesuai instruksi tertulis

KEBIJAKAN MENAHAN PEMASANGAN


ALAT/ TINDAKAN PENUNJANG HIDUP
(WITHHOLDING LIFE SUPPORT)
lanjutan 2
8.

Pada saat obat tersebut diberikan ke pasien, monitor tanda-tanda


ketidaknyamanan. Bila ada tanda ketidaknyamanan, dokter perlu
memerintahakan untuk meningkatkan pemberian obat yang
memberikan kenyamanan pasien. Jangan menghentikan obat
yang bertujuan kenyamanan pasien walau terjadi bradikardi,
hipotensi maupun penurunan kesadaran dalam. Adapun tandatanda ketidaknyamanan adalah :

Penggunaan otot bantu pernapasan.

Respiratory rate lebih dari 35/menit

Gasping, gaduh dan/atau peningkatan respiratory effort,


batuk/tercekik.

Agitasi, gerakan yang tidak perlu dari kepala lengan


maupun tubuh, atau mimik wajah

Peningkatan heart rate atau mean arterial pressure lebih


dari 20% diatas kondis sebelum pencabutan / penghentian
life support sebelum sedasi.

KEBIJAKAN MENAHAN PEMASANGAN


ALAT/ TINDAKAN PENUNJANG HIDUP
(WITHHOLDING LIFE SUPPORT)
lanjutan 3
9.

Apabila dalam proses penahanan tindakan penunjang hidup


ini fungsi vital pasien menurun, maka keluarga dihubungi
untuk mendampingi, dan ditawarkan pendampingan
rohaniawan bilamana dirasa perlu oleh keluarga. Kadang
kadang keluarga melakukan doa pada pasien yang ditahan
life supportnya.
10. Pasien dapat dilanjutkan ke pencabutan / penghentian life
support atau dipertahankan sampai terjadi kematian secara
alami.
11. Keluarga dapat memilih membawa pulang pasien yang
belum dinyatakan meninggal, dan pemulangan diatur
dengan ambulans
yang memang telah dipersiapkan
KARS

KEBIJAKAN MENCABUT / MENGHENTIKAN TINDAKAN


PENUNJANG HIDUP (WITHDRAWING LIFE SUPPORT)

1. Keputusan mencabut / menghentikan tindakan penunjang


hidup ada di tangan DPJP setelah melakukan konsultasi
dengan sedikitnya 2 dokter spesialis lain, terkait dengan
kondisi pasien, dan salah satunya harus dokter konsultan
intensif (KIC)
2. Keputusan mencabut / menghentikan tindakan penunjang
hidup didasarkan indikasi medik yang jelas, dan telah
dikomunikasikan pada keluarga dengan hubungan 1
tingkat, (pasangan hidup, orang tua atau anak kandung),
dan pihak keluarga telah memberikan persetujuan tertulis.
3. Di mana perlu pihak dokter / rumah sakit dapat
mengundang Sub Komite Etik dan disiplin atau Medikolegal
untuk pengambilan keputusan ini.
4. Di mana perlu, keluarga dapat meminta kehadiran
rohaniawan dalam pengambilan keputusan ini.

KEBIJAKAN MENCABUT / MENGHENTIKAN TINDAKAN


PENUNJANG HIDUP (WITHDRAWING LIFE SUPPORT)
lanjutan1 .
5. Sebelum pencabutan / penghentian tindakan penunjang
hidup, dipersiapkan obat-obat yang menjamin
kenyamanan proses penghentian ini, hingga pasien
meninggal, termasuk di antaranya obat sedatif dan pain
killer.
6. Pencabutan / penghentian tindakan penunjang hidup ini
disaksikan oleh keluarga / wali (bila mana diinginkan),
dokter maupun perawat RS, serta rohaniawan (bila mana
diperlukan oleh keluarga / wali, dapat dilakukan doa
sebelum pencabutan)
7. Pertama diberikan obat-obat yang menjamin kenyamanan
pasien (sedatif dan pain killer), sesuai instruksi tertulis
dokter (bisa KIC , DPJP atau dokter lain) dan
didokumentasikan di rekam medik.
KARS

KEBIJAKAN MENCABUT / MENGHENTIKAN TINDAKAN


PENUNJANG HIDUP (WITHDRAWING LIFE SUPPORT)
lanjutan 2 .
8. Pada saat obat tersebut diberikan ke pasien, monitor tanda-tanda
ketidaknyamanan. Bila ada tanda ketidaknyamanan, dokter perlu
memerintahakan untuk meningkatkan pemberian obat yang
memberikan kenyamanan pasien. Jangan menghentikan obat
yang bertujuan kenyamanan pasien walau terjadi bradikardi,
hipotensi maupun penurunan kesadaran dalam. Adapun tandatanda ketidaknyamanan adalah :
Penggunaan otot bantu pernapasan.
Respiratory rate lebih dari 35/menit
Gasping, gaduh dan/atau peningkatan respiratory effort, batuk/tercekik.
Agitasi, gerakan yang tidak perlu dari kepala lengan maupun tubuh, atau
mimik wajah
Peningkatan heart rate atau mean arterial pressure lebih dari 20% diatas
kondis sebelum pencabutan / penghentian life support sebelum sedasi.

KEBIJAKAN MENCABUT / MENGHENTIKAN TINDAKAN


PENUNJANG HIDUP (WITHDRAWING LIFE SUPPORT)
lanjutan 3 .
9. Dokumentasikan waktu proses pengentian / pencabutan life
support dan juga alasan / indikasi penambahan dosis obat
yang meningkatkan kenyamanan.
10.Monitoring pasien dapat dihentikan sesuai situasi kondisi atau
jika dikehendaki oleh keluarga / wali.
11.Setelah life support dicabut / dihentikan, ditunggu respons
fisiologis tersisa, dapat masih ada nafas yang tidak adekuat,
ataupun denyut jantung yang tidak adekuat. Bilamana sudah
berhenti, maka dapat dicek apakah pasien telah meninggal.
12.Keluarga dapat memilih membawa pulang pasien yang belum
dinyatakan meninggal, dan pemulangan diatur dengan
ambulans yang memang telah dipersiapkan sebelumnya.
13.Bila pasien meninggal di RS, maka berlaku prosedur
penanganan pasien meninggal.

SEKIAN
TERIMA KASIH

Sutoto.KARS

21

Anda mungkin juga menyukai