REVIEW JURNAL
DATA DARAH DAN URIN
5 Rini Arsini (31116185)
REVIEW JURNAL DATA DARAH
PROFIL FARMAKOKINETIK OKSITETRASIKLIN PADA TIKUS
(Jurnal 1)
PENDAHULUAN
Analisis farmakokinetik secara umum
sangat bermanfaat untuk penentuan dosis,
memprediksi residu obat dalam
jaringan, melihat korelasi konsentrasi
obat dengan aktivitas farmakologi dan
toksikologi, mengevaluasi tingkat
ketersediaan obat, melihat aktivitas
fisiologis maupun patologis akibat
absorbsi, distribusi dan eliminasi obat
serta untuk menjelaskan akibat dari
berbagai interaksi obat.
Pembuatan
Pengambilan Pembuatan kurva
larutan standar
sampel darah standar
oksitetrasiklin
Perlakuan hewan
untuk analisis Analisis hasil
farmakokinetik
1 Pembuatan larutan standar oksitetrasiklin
Larutan standar dibuat dengan mengencerkan oksitetrasiklin sebanyak 100 mg dengan 100 mL aquabides (konsentrasi 1 mg/mL).
2 Darah diambil dari vena ekor tikus sebanyak kurang lebih 0,5 mL dan ditampung dalam tabung
yang berisi heparin, kemudian disentrifus 3.000 rpm selama 10 menit, dan disimpan di dalam
freezer sebelum proses analisis.
3 Kurva standar dibuat dari larutan standar oksitetrasiklin dan spiking blank plasma dengan cara pengenceran
untuk memperoleh konsentrasi 1 mg/mL, 100 µg/mL, 10 µg/mL, 5 µg/mL, 2,5 µg/mL, 1 µg/mL, 0,5 µg/mL dan
0,1 µg/mL. Setiap konsentrasi disuntikkan sebanyak 20 µL ke HPLC (dengan perulangan 3 kali) dan didapatkan
sejumlah peak area.
4 Enam ekor tikus disuntik oksitetrasiklin secara intravena (via vena ekor) dengan dosis 20 mg/kg BB. Darah ditampung ke
dalam tabung berisi heparin sebanyak 6-7 tetes (0,5 mL) pada menit ke O (sesaat setelah penyuntikan), menit ke 5, 10,
20, 30 dan 60, disentrifus 3.000 rpm selama 20 menit, dan plasma disimpan di dalam freezer sebelum proses analisis.
Analisis hasil
5 Puncak (peak) kromatogram dari sampel plasma tikus yang memiliki waktu retensi identik dengan waktu retensi obat standar dan
spiking obat dalam plasma merupakan konsentrasi/kadar obat dari sampel. Konsentrasi yang didapat dari tiap-tiap interval. Waktu
setelah penyuntikan merupakan data yang akan dihitung untuk mengetahui parameter-parameter farmakokinetik oksitetrasiklin dalam
plasma tikus.
PEMBAHASAN
Didapatkan persamaan garis regresi linier sebagai kurva baku obat Y = 705526,2x +
28141,9 dengan r = 0,996. Sementara dari spiking tiga konsentrasi oksitetrasiklin ke
dalam plasma didapatkan persamaan garis regresi linier sebagai kurva baku obat
dalam plasma, Y = 159847,5x + 14512,7 dengan r = 0,997.
Kadar oksitetrasiklin dalam plasma sampel pada interval waktu yang berbeda dapat
dilihat pada Tabel 1. Terlihat pada tabel rata-rata kadar puncak oksitetrasiklin dalam
plasma (Cmax) dicapai pada saat t ke-0 (sesaat setelah obat diberikan) sebesar
136,95 ± 2,70 µg/mL. Pada t ke-5 kadar oksitetrasiklin turun tajam menjadi 47,56 ±
2,54 µg/mL. Selanjutnya kadar akan terus menurun sampai pada t ke-60 yaitu
sebesar 32,00±4,26 µg/mL.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini konsentrasi tertinggi obat dicapai sesaat setelah pemberian obat.
Cmax terjadi pada saat Tmax yaitu pada menit ke-0 (sesaat setelah obat diberikan)
sebesar 136,95 µg/mL. Nilai T½ dan AUC pada penelitian ini adalah 1,66 jam dan
333,30 mg/jam/L. Profil konsentrasi obat memiliki nilai clearence obat 0,06 L/jam
dan menunjukkan tingkat eliminasi oksitetrasiklin pada tikus yang panjang serta
masa tinggal obat yang cukup lama dalam darah.
KESIMPULAN
Pengukuran nilai parameter farmakokinetik oksitetrasiklin
dalam darah tikus menggunakan metode HPLC terbukti
cukup sensitif dan akurat. Profil farmakokinetik
oksitetrasiklin dalam plasma tikus yang diperoleh adalah
konsentrasi tertinggi dicapai pada menit ke-O dan terus
turun hingga menit ke-60. Nilai-nilai farmakokinetik yang
diperoleh adalah Cmax = 6,95 µg/mL, Vd = 0,15 L, TVi =
l,66 jam, k = 0,42/jam, clearence = 0,06 L/jarn dan AUC
333,30 mg/jam/L.
PROFIL FARMAKOKINETIKA SULFASETAMID PADA TIKUS
GAGAL GINJAL KARENA DIINDUKSI URANIL NITRAT
(Jurnal 2)
PENDAHULUAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi gagal
ginjal akut akibat perlakuan uranil nitrat mampu
menurunkan parameter primer sulfasetamid yaitu
klirens total (ClT) dan volume distribusi (Vd/F)
secara bermakna (P<0,05). Konsekuensinya,
penurunan harga tersebut mengubah parameter
Ginjal merupakan salah satu organ farmakokinetika sulfasetamid sekunder dan
vital tubuh yang berperan dalam turunannya yaitu menaikkan Cmaks, tmaks,
proses eliminasi (metabolisme dan
ekskresi) suatu obat. Jika terjadi
AUC0-240, AUC0-inf, MRT, dan t1/2 eliminasi
gangguan fungsi ginjal maka akan dan menurunkan harga K secara bermakna
mengakibatkan perubahan pada (P<0,05) . Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa
farmakokinetika obat tersebut kondisi patologi gagal ginjal akibat praperlakuan
sehingga mengubah potensinya atau
bahkan dapat menimbulkan efek
uranil nitrat dapat mempengaruhi profil
toksik. Penelitian ini dilakukan untuk farmakokinetika sulfasetamid, yang akibatnya
melihat profil farmakokinetika menaikkan kadar sulfasetamid dalam darah.
sulfasetamid pada tikus gagal ginjal
yang diinduksi dengan uranil nitrat.
METODE PENELITIAN
A. ALAT
Kemudian kadar sulfasetamid utuh dalam darah ditetapkan dengan metoda Bratton-
Marshall : dalam 250 mL cuplikan darah yang mengandung antikoagulan heparin
ditambahkan TCA5% sebanyak 2,0 mL.
Setelah itu, campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit
sambil supernatan sebanyak 1,5 mL dan encerkan dengan akuades sampai dengan 2,0
mL.
Kemudian tambahkan natrium nitrit 0,1 mL 0,1 % dan diamkan selama 3 menit.
Selanjutnya tambahkan amonium sulfamat 0,5 % sebanyak 0,2 mL dan diamkan selama
2 menit.
Kemudian tambahkan N(1-naftil) etilendiamin 0,1% 2 mL dan diamkan 5 menit ditempat
gelap intensitas warna yang terjadi dibaca pada spektrofotometer pada panjang
gelombang maksimum (545 nm) terhadap blanko darah sebagai kontrol yang diproses
dengan cara yang sama.
Kadar sulfasetamid diukur menggunakan kurva baku yang telah di uji liniearitas dengan
menggunakan kadar 1- 50 mg/mL darah.
HASIL VALIDASI METODE
HASIL VALIDASI METODE
PEMBAHASAN
Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh kondisi patologi dalam hal ini adalah gagal
ginjal akut terhadap profil kadar obat dalam darah.
Data kadar sulfasetamid utuh dalam darah untuk kelompok kontrol dan perlakuan disajikan pada
Tabel I, sedangkan pola kurva farmakokinetika sulfasetamid utuh dalam darah terhadap
waktu.Harga volume distribusi (Vd/F) sulfasetamid setelah adanya praperlakuan uranil nitrat
mengalami penurunan sebesar 56,59% (p<0,05). Harga Vd/F menunjukkan efektivitas dan pola
distribusi sulfasetamid. Perlakuan tersebut dapat mempengaruhi variabel fisiologis yang pada
gilirannya mempengaruhi parameter primer Vd/F. Variabel fisiologis yang dapat berpengaruh
terhadap distribusi obat antara lain aliran darah setempat, permeabilitas membran sel dan kapiler,
perbedaan pH antara plasma dengan jaringan serta ikatan obat dengan protein.Berdasarkan harga
klirens total (ClT) pada Tabel II, harga kelompok kontrol adalah 23,23 2,91 mL. menit-1 kg-1
dan kelompok perlakuan uranil nitrat adalah 4,08 0,37 mL. menit-1 kg-1 yaitu terjadi
penurunan yang bermakna sebesar 82,44% (p < 0,05). Kliren total tersebut bermanfaat dalam
menilai efektifitas eliminasi suatu obat. Dengan adanya perubahan fisiologi ginjal (gagal ginjal
akut) akibat pemberian uranil nitrat dosis tunggal 5,0 mg/kg BB secara oral tiga hari sebelumnya
dapat menurunkan efektifitas eliminasi sulfasetamid dalam tubuh. Parameter turunan yang lain,
yaitu luas dibawah kurva kadar obat utuh terhadap waktu pengambilan darah (AUC). Harga
Cmaks, tmaks, AUC0-240, AUC0-inf, MRT, K, dan t1/2 eliminasi kedua kelompok menunjukkan
hasil yang secara statistik.
KESIMPULAN
Guard column
METODE PENELITIAN
B. BAHAN
Ambil daun
Dicuci dengan Keringkan
dalam keadaan
air bersih. dengan oven.
segar.
Dibuat ektrak
Diformulasi etanol 70% Simplisia yang
menjadi bentuk Justica telah kering
sediaan kapsul. grandarussa diserbukan.
Burm F.
METODE PENELITIAN
C. Prosedur
• Analisis Kasus
Perlakuan
Pengambilan Penentuan Kondisi
Terhadap Subyek
Sampel HPLC
Penelitian
Asetosal merupakan obat analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang memiliki efek
samping ulserasi mukosa lambung. Untuk memperpanjang durasi asetosal perlu
dilakukan peningkatan waktu paruh asetosal. Tujuan penelitian mengetahui pengaruh
pH urin (6,82 - 10,10) terhadap waktu paruh asetosal yang ditunjukkan dengan jumlah
kumulatif asam salisilat yang diekskresikan. Pada penelitian ini digunakan 25 ekor tikus
putih jantan galur Sprague-Dawley yang terbagi dalam 5 kelompok, yaitu kontrol
normal, hanya diberi larutan CMC 0,5% yang mengandung gliserol 15%; kontrol
asetosal (216 mg/200 g berat badan); dan tiga kelompok yang diberi asetosal (216
mg/200 g berat badan) serta larutan NaHCO3 10% tiap 6 jam dengan variasi dosis yang
telah dipilih (180; 270; 360 mg/200 g berat badan).
METODE PENELITIAN
A. ALAT
Sonde Lambung Alat-Alat Gelas Lumpang & Alu Timbangan Analitik (Ohauss)
Sebelum obat diberikan, urin tikus ditampung dan diambil secukupnya sebagai urin
blanko.
Setelah dipuasakan selama 10 jam, larutan NaHCO3 dosis I diberikan pada tikus
kelompok III; dosis II pada tikus kelompok IV; dosis III pada tikus kelompok V.
Satu jam kemudian, larutan CMC 0,5% yang mengandung gliserol sebanyak 15%
diberikan pada tikus kelompok I dan suspensi asetosal diberikan pada tikus
kelompok II, III, IV, dan V.
Larutan NaHCO3 diberikan setiap 6 jam dan air hangat diberikan setiap 1 jam,
Setiap interval waktu pengambilan cuplikan, volume urin yang diekskresikan dicatat.
Waktu pengambilan cuplikan adalah pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 10. Waktu interval
dimulai sejak obat diberikan.
Urin ditampung dalam wadah yang telah diisi dengan pengawet urin (toluen 1-2
tetes). Setelah pengambilan cuplikan, urin segera dianalisis.
Prosedur analisis urin dapat dilihat pada prosedur penanganan spesimen urin,
Cuplikan urin dijaga agar tidak ada cuplikan urin yang hilang, Pengumpulan urin
dikerjakan sampai hampir seluruh obat dalam bentuk utuh telah diekskresikan,
sekitar ± 87,5 % di dalam urin ( 3 x t1/2 obat ), yaitu pada penelitian ini dilakukan
selama 10 jam.
PEMBAHASAN
Mekanisme Kerja Asetosal
Obat ini menghambat enzim siklooksigenase
sehingga konversi asam arakidonat menjadi
PGG2 terganggu. Enzim siklooksigenase
(COX) terdapat dalam 2 isoform yaitu COX-1
dan COX-2. Umumnya COX-1 penting dalam
pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi
normal di berbagai jaringan khususnya ginjal,
saluran cerna, dan trombosit. COX-2 ini
diinduksi berbagai stimulus inflamatoar,
termasuk sitokin, endotoksin dan growth
factors. Tromboksan A2, yang disintesis
trombosit oleh COX-1, menyebabkan
agregasi trombosit, vasokonstriksi dan
proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin
(PgI2) yang disintesis oleh COX-2 di endotel
makrovaskular melawan efek tersebut dan
menyebabkan agregasi trombosit, vasodilatasi
dan efek anti-proliferatif yang kemudian
menjadi edema dan inflamasi. Asetosal 166
kali lebih kuat menghambat COX-1 daripada
COX-2.
PEMBAHASAN
Rifampisin merupakan obat antituberkulosa paru (TB paru), sampai saat ini dianggap paling poten
karena bekerja intra set dan ekstra set serta nilai bakterisidal tinggi. Dosis terapi rifampisin yang
dianjurkan bervariasi antara 10-20 mg/kg BB dan maksimum 600 mg sehari. Waktu paruh rifampisin
pada pemberian dosis lebih besar dari 16 mg/kg BB adalah 65 jam sedangkan pada dosis lebih kecil
dari 12 mg/kg BB waktu paruhnya 2-3 jam. Bervariasinya dosis yang diberikan serta adanya perbedaan
waktu paruh yang cukup nyata seperti diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap
kinetika eliminasi rifampisin dosis 300 mg dan dosis 600 mg. Pada penelitian kinetika eliminasi
digunakan data urin, karena jumlah rifampisin yang diekskresikan dalam bentuk tak berubah cukup
besar yaitu 30-50% dari seluruh senyawa yang diekskresikan melalui urin dengan kadar 10-100 kali
lebih besar dari pada kadar rifampisin dalam darah. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diperoleh
gambaran tentang kinetika eliminasi rifampisin tersebut. Kemudian dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan dosis terapi rifampisin, agar tercapai tujuan terapi yang rasional terutama untuk pasien
orang Indonesia.
METODE PENELITIAN
Subyek Penelitian Bahan Percobaan
Subyek penelitian tidak diperkenankan minum obat apapun dalam waktu satu minggu sebelum percobaan
dimulai sampai percobaan selesai. Menjelang hari penelitian subyek diminta puasa sejak malam hari
sampai pagi hari pada waktu percobaan dimulai. Satu jam sebelum percobaan dilakukan, subyek diberi
minum air 400 ml air.
Sesaat sebelum obat diberikan, subyek diminta mengosongkan kandungan kemih, urin ditampung dan
pHnya diukur, untuk mengetahui apakah pH urin masih dalam batas normal atau tidak. Urin selanjutnya
digunakan sebagai blangko pada penentuan kadar obat di dalam urin dari subyek bersangkutan.
Segera setelah penampungan urin untuk blangko, subyek diberi obat sesuai dengan rancangan percobaan
obat diberikan dalam bentuk kapsul disertai dengan minum air sebanyak 200 ml air dan diikuti dengan 200
ml air setiap satu jam, selama empat jam berikutnya.
Sarnpel urin ditampung pada selang waktu 1, 2, 3, 4, 5, 8, 12, 24, 30, dan 36 jam sesudah pemberian obat.
Volume dan pH urin diukur. Setiap kali penampungan, kemudian disimpan sebanyak yang diperlukan.
Selama percobaan subyek diperbolehkan bergerak bebas dalam ruangan. Makanan diberikan pada waktu
dua jam sesudah pemberian obat.
Sampel urin yang tidak dapat langsung dianalisa disimpan di dalam lemari es (-20°C) sampai dilakukan
analisa selanjutnya.
Penentuan kadar rifampisin dalam urin
Penentuan kadar rifampisin dalam urin dilakukan dengan alat spektrofotometer, dengan cara kerja seperti berikut: 10,0 ml
urin dimasukkan dalam corong pisah yang telah berisi 5,0 ml dapar fosfat pH 7,38 ; kemudian ditambahkan 10,0 ml
campuran pelarut 11-Butanol : n-Heksana (4:1). Dikocok dan dibiarkan sampai terbentuk dua lapisan, lapisan air yang
berada di bawah dibuang, sedangkan lapisan organik dicuci dengan air suling 10 ml. Dikocok dan dibiarkan sampai
terbentuk dua lapisan. Lapisan air dibuang sedangkan lapisan organik diukur serapannya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang serapan maksimum (lihat gambar 1).
Kurva di atas menunjukkan bahwa tinggi serapan rifampisin dalam larutan campuran n-
butanol:heksan (4:1), larutan stabil serapannya stabil untuk 5 sampai 50 menit, sehingga
pengukuran serapan rifampisin dikerjakan setelah menit ke 5 sampai ke 50. Dari hasil itu kita
gunakan panjang gelombang serapan maksimum 326 nm, agar tidak diganggu oleh serapan
pelarut dan kontaminan yang umumnya mempunyai serapan di daerah panjang gelombang
rendah.
Bila kurva tersebut digunakan untuk
menghitung kadar rifampisin, dalam urin
mempunyai ketelitian dan ketepatan cukup
tinggi, karena dari lima larutan yang dicoba
ditemukan kembali kadar sebesar
(98,67±1,84)% dengan tarap kepercayaan
95% beberapa parameter farmakokinetik
yang digunakan dalam membahas hasil
penelitian ini adalah tetapan kecepatan
eliminasi (K), waktu paruh (t½), dari obat
yang belum terekskresi dalam urin. (Xu-Xu')
Dari gambar, didapatkan bahwa garis regresi
penurunan kadar obat yang tidak
terekskresikan. Mempunyai linieritas log
kadar sisa rifampisin yang diberikan dengan
dosis 300 mg lebih rendah dari. Linieritas
garis penurunan logaritma sisa kadar yang
diberikan dengan dosis 600 mg. Hal tersebut
karena kadar maksimum dalam darah pada
pemberian dosis 300 mg obat tidak tercapai
dengan cepat, dan kurang teratur sehingga
berpengaruh pada proses metabo1isme
maupun eliminasinya.
PEMBAHASAN
Jumlah rifampisin yang terekskresi selama 24 jam pada pemberian rifampisin dosis 100 mg berkisar antara
38,39 - 55,92 mg dengan rata-rata 46,19±7,72 mg sedangkan untuk dosis 600 mg berkisar antara 91,48 -
148,9 mg dengan rata-rata 117,53±28,83 mg. Hasil tersebut berbeda secara bermakna pada p=0,05. Prosen
rifampisin yang didapatkan dalam urin selama 24 jam untuk dosis 300 mg berkisar antara 12,80-18,64%
dengan rata-rata 15,40±2,57% dan untuk rifampisin dosis 600 mg berkisar antara 15,25-24,82% dengan rata-
rata 19,59 ± 4,80%. Perbedaan hasil prosen rifampisin yang terekskresi dalam urin tersebut adalah bermakna
pada (p=0,05). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh peneliti-peneliti terdahulu.
Binda (1975) melaporkan jumlah rifampisin yang terdapat dalam urin selama 24 jam adalah 145 mg (24,1%)
untuk dosis 600 mg dan 52 mg (17,1%) untuk dosis 300 mg. Acocella melaporkan jumlah rifampisin yang
didapat dalam urin selama 24 jam adalah 124±22,1 mg setelah pemberian dosis 600 mg, berarti propil
eliminasi, K dan t1/2 untuk orang Eropa dan Indonesia tidak banyak berbeda. K, t½, dan jumlah rifampisin
yang terekskresi dalam urin atau prosen yang terekskresi dalam urin dari rifampisin dengan pemberian dosis
yang berbeda yaitu 300 mg dan 600 mg menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p=0,05). Hal ini
diduga akibat adanya kejenuhan eliminasi antara dosis 300 mg-600 mg. Adanya kejenuhan ini didukung pula
oleh Acocella yang menyatakan adanya kejenuhan kecepatan eliminasi dari hepar menuju sistem empedu
pada dosis 300 mg. Eliminasi rifampisin yang utama adalah melalui hepar menuju sistem empedu kemudian
ke dalam feces. Apabila terjadi kejenuhan kecepatan eliminasi melalui hepar, maka kadar rifampisin dalam
darah dan yang terekskresi ke dalam urin meningkat, begitu pula dengan waktu paruhnya. Dilaporkan bahwa
rifampisin mempunyai kecenderungan berakumulasi dalam hepar. Kadar dalam hepar 25 kali kadar dalam
darah. Diasumsikan bahwa eliminasi rifampisin pada setiap waktu sebanding dengan jumlah rifampisin
dalam serum. Kadar rifampisin dalam serum merupakan indikator langsung efek terapi sehingga dengan hasil
penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk pengaturan dosis agar didapatkan tujuan
pengobatan yang rasional untuk pasien orang Indonesia.
KESIMPULAN