Anda di halaman 1dari 59

KELOMPOK VI | FARMASI 2D

1 Asyfa Aziz (31116155)

2 Candra Agustin (31116156)

3 Gilang Armanthio T. (31116167)


(Tidak Mengerjakan)

4 Ridha Ishmania S.S. (31116184)

REVIEW JURNAL
DATA DARAH DAN URIN
5 Rini Arsini (31116185)
REVIEW JURNAL DATA DARAH
PROFIL FARMAKOKINETIK OKSITETRASIKLIN PADA TIKUS
(Jurnal 1)
PENDAHULUAN
Analisis farmakokinetik secara umum
sangat bermanfaat untuk penentuan dosis,
memprediksi residu obat dalam
jaringan, melihat korelasi konsentrasi
obat dengan aktivitas farmakologi dan
toksikologi, mengevaluasi tingkat
ketersediaan obat, melihat aktivitas
fisiologis maupun patologis akibat
absorbsi, distribusi dan eliminasi obat
serta untuk menjelaskan akibat dari
berbagai interaksi obat.

Oksitetrasiklin merupakan golongan tetrasiklin


yaitu merupakan antibiotika yang banyak
digunakan dalam pengobatan penyakit hewan
dan sebagai pemacu pertumbuhan untuk hewan
produksi. Parameter farmakokinetik
oksitetrasiklin sangat penting dalam manajemen
terapi suatu penyakit oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian ini. Dalam penelitian untuk
profil farmakokinetik oksitetrasiklin ditentukan
secara kromatografi cair kinerja tinggi.
METODE PENELITIAN
A. ALAT

High Performance Detector UV SPD- Controller System Oven CTO-10Avp


Liquid 10A SCL-10Avp
Chromatography
(HPLC) Shimadzu
versi 6,1 dengan
LC- I OAdvp
Degasser DGU-14 Kolom Shim Pack Ultrasonic Bath Injector
VP ODS 150 x 4,6
mm

Mikropipet Tip Beaker Glass Timbangan


Sartorius
Centrifuge Filter
METODE PENELITIAN
B. BAHAN
HEWAN YANG DIGUNAKAN BAHAN YANG DIGUNAKAN
 Bahan yang Diteliti

Tikus Sprague Oxytetracycline


Dawley jantan hydrochloride
umur 3 bulan (05975-10G,
berat berkisar HPLC grade,
250-300 gram Sigma, USA)
METODE PENELITIAN
 Bahan-bahan untuk Analisis

Trichloroacetic Asetonitril Metanol (pro Aquabides


Acid (TCA) (pro (HPLC grade, analisis, Merck, (Ikaphar-mindo
analisis, Merck, Merck, Jerman) Jerman) P.Pharm., Lab.
Jerman) Jakarta)
METODE PENELITIAN
C. PROSEDUR
Metode analisis meliputi beberapa tahapan yaitu:

Pembuatan
Pengambilan Pembuatan kurva
larutan standar
sampel darah standar
oksitetrasiklin

Perlakuan hewan
untuk analisis Analisis hasil
farmakokinetik
1 Pembuatan larutan standar oksitetrasiklin
Larutan standar dibuat dengan mengencerkan oksitetrasiklin sebanyak 100 mg dengan 100 mL aquabides (konsentrasi 1 mg/mL).

Pengambilan sampel darah

2 Darah diambil dari vena ekor tikus sebanyak kurang lebih 0,5 mL dan ditampung dalam tabung
yang berisi heparin, kemudian disentrifus 3.000 rpm selama 10 menit, dan disimpan di dalam
freezer sebelum proses analisis.

Pembuatan kurva standar

3 Kurva standar dibuat dari larutan standar oksitetrasiklin dan spiking blank plasma dengan cara pengenceran
untuk memperoleh konsentrasi 1 mg/mL, 100 µg/mL, 10 µg/mL, 5 µg/mL, 2,5 µg/mL, 1 µg/mL, 0,5 µg/mL dan
0,1 µg/mL. Setiap konsentrasi disuntikkan sebanyak 20 µL ke HPLC (dengan perulangan 3 kali) dan didapatkan
sejumlah peak area.

Perlakuan hewan untuk analisis farmakokinetik

4 Enam ekor tikus disuntik oksitetrasiklin secara intravena (via vena ekor) dengan dosis 20 mg/kg BB. Darah ditampung ke
dalam tabung berisi heparin sebanyak 6-7 tetes (0,5 mL) pada menit ke O (sesaat setelah penyuntikan), menit ke 5, 10,
20, 30 dan 60, disentrifus 3.000 rpm selama 20 menit, dan plasma disimpan di dalam freezer sebelum proses analisis.

Analisis hasil

5 Puncak (peak) kromatogram dari sampel plasma tikus yang memiliki waktu retensi identik dengan waktu retensi obat standar dan
spiking obat dalam plasma merupakan konsentrasi/kadar obat dari sampel. Konsentrasi yang didapat dari tiap-tiap interval. Waktu
setelah penyuntikan merupakan data yang akan dihitung untuk mengetahui parameter-parameter farmakokinetik oksitetrasiklin dalam
plasma tikus.
PEMBAHASAN

Didapatkan persamaan garis regresi linier sebagai kurva baku obat Y = 705526,2x +
28141,9 dengan r = 0,996. Sementara dari spiking tiga konsentrasi oksitetrasiklin ke
dalam plasma didapatkan persamaan garis regresi linier sebagai kurva baku obat
dalam plasma, Y = 159847,5x + 14512,7 dengan r = 0,997.
Kadar oksitetrasiklin dalam plasma sampel pada interval waktu yang berbeda dapat
dilihat pada Tabel 1. Terlihat pada tabel rata-rata kadar puncak oksitetrasiklin dalam
plasma (Cmax) dicapai pada saat t ke-0 (sesaat setelah obat diberikan) sebesar
136,95 ± 2,70 µg/mL. Pada t ke-5 kadar oksitetrasiklin turun tajam menjadi 47,56 ±
2,54 µg/mL. Selanjutnya kadar akan terus menurun sampai pada t ke-60 yaitu
sebesar 32,00±4,26 µg/mL.
PEMBAHASAN

Pada penelitian ini konsentrasi tertinggi obat dicapai sesaat setelah pemberian obat.
Cmax terjadi pada saat Tmax yaitu pada menit ke-0 (sesaat setelah obat diberikan)
sebesar 136,95 µg/mL. Nilai T½ dan AUC pada penelitian ini adalah 1,66 jam dan
333,30 mg/jam/L. Profil konsentrasi obat memiliki nilai clearence obat 0,06 L/jam
dan menunjukkan tingkat eliminasi oksitetrasiklin pada tikus yang panjang serta
masa tinggal obat yang cukup lama dalam darah.
KESIMPULAN
Pengukuran nilai parameter farmakokinetik oksitetrasiklin
dalam darah tikus menggunakan metode HPLC terbukti
cukup sensitif dan akurat. Profil farmakokinetik
oksitetrasiklin dalam plasma tikus yang diperoleh adalah
konsentrasi tertinggi dicapai pada menit ke-O dan terus
turun hingga menit ke-60. Nilai-nilai farmakokinetik yang
diperoleh adalah Cmax = 6,95 µg/mL, Vd = 0,15 L, TVi =
l,66 jam, k = 0,42/jam, clearence = 0,06 L/jarn dan AUC
333,30 mg/jam/L.
PROFIL FARMAKOKINETIKA SULFASETAMID PADA TIKUS
GAGAL GINJAL KARENA DIINDUKSI URANIL NITRAT
(Jurnal 2)
PENDAHULUAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi gagal
ginjal akut akibat perlakuan uranil nitrat mampu
menurunkan parameter primer sulfasetamid yaitu
klirens total (ClT) dan volume distribusi (Vd/F)
secara bermakna (P<0,05). Konsekuensinya,
penurunan harga tersebut mengubah parameter
Ginjal merupakan salah satu organ farmakokinetika sulfasetamid sekunder dan
vital tubuh yang berperan dalam turunannya yaitu menaikkan Cmaks, tmaks,
proses eliminasi (metabolisme dan
ekskresi) suatu obat. Jika terjadi
AUC0-240, AUC0-inf, MRT, dan t1/2 eliminasi
gangguan fungsi ginjal maka akan dan menurunkan harga K secara bermakna
mengakibatkan perubahan pada (P<0,05) . Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa
farmakokinetika obat tersebut kondisi patologi gagal ginjal akibat praperlakuan
sehingga mengubah potensinya atau
bahkan dapat menimbulkan efek
uranil nitrat dapat mempengaruhi profil
toksik. Penelitian ini dilakukan untuk farmakokinetika sulfasetamid, yang akibatnya
melihat profil farmakokinetika menaikkan kadar sulfasetamid dalam darah.
sulfasetamid pada tikus gagal ginjal
yang diinduksi dengan uranil nitrat.
METODE PENELITIAN
A. ALAT

Kokusan H-100 BC Neraca Analitik Spektrofotometer


(Tokyo, Japan) Elektrik (Chyo UV/Vis (Hitachi,
Jupiter C3-100 Tokyo, Japan)
MD, USA)
METODE PENELITIAN
B. BAHAN

Sodium Uranil Nitrat Heparin Sodium Asam


Sulfasetamid (Sigma-Aldrich, Injection 5000 Trikloroasetat pa
(Sigma- Aldrich, Singapore Scince IU/mL (B. Braun, untuk analisis
Singapore Scince Park II, Singapore) Melsungen, sulfasetamid dalam
Park II, Singapore) sebagai pemacu Germany) sebagai darah
sebagai bahan kerusakan ginjal antikoagulan
utama secara akut.
METODE PENELITIAN
B. BAHAN

Natrium Nitrit pa Amonium N(1-naftil)


Sulfamat pa Etilendiamin pa
(Merck,
Darmstadt,
Germany)
METODE PENELITIAN
C. PROSEDUR
Setelah perlakuan, darah disampling melalui vena lateralis ekor pada waktu–waktu
tertentu (menit ke 05, 10, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 150,180, 210, dan 240).

Kemudian kadar sulfasetamid utuh dalam darah ditetapkan dengan metoda Bratton-
Marshall : dalam 250 mL cuplikan darah yang mengandung antikoagulan heparin
ditambahkan TCA5% sebanyak 2,0 mL.

Setelah itu, campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit
sambil supernatan sebanyak 1,5 mL dan encerkan dengan akuades sampai dengan 2,0
mL.

Kemudian tambahkan natrium nitrit 0,1 mL 0,1 % dan diamkan selama 3 menit.

Selanjutnya tambahkan amonium sulfamat 0,5 % sebanyak 0,2 mL dan diamkan selama
2 menit.
Kemudian tambahkan N(1-naftil) etilendiamin 0,1% 2 mL dan diamkan 5 menit ditempat
gelap intensitas warna yang terjadi dibaca pada spektrofotometer pada panjang
gelombang maksimum (545 nm) terhadap blanko darah sebagai kontrol yang diproses
dengan cara yang sama.

Kadar sulfasetamid diukur menggunakan kurva baku yang telah di uji liniearitas dengan
menggunakan kadar 1- 50 mg/mL darah.
HASIL VALIDASI METODE
HASIL VALIDASI METODE
PEMBAHASAN
Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh kondisi patologi dalam hal ini adalah gagal
ginjal akut terhadap profil kadar obat dalam darah.
Data kadar sulfasetamid utuh dalam darah untuk kelompok kontrol dan perlakuan disajikan pada
Tabel I, sedangkan pola kurva farmakokinetika sulfasetamid utuh dalam darah terhadap
waktu.Harga volume distribusi (Vd/F) sulfasetamid setelah adanya praperlakuan uranil nitrat
mengalami penurunan sebesar 56,59% (p<0,05). Harga Vd/F menunjukkan efektivitas dan pola
distribusi sulfasetamid. Perlakuan tersebut dapat mempengaruhi variabel fisiologis yang pada
gilirannya mempengaruhi parameter primer Vd/F. Variabel fisiologis yang dapat berpengaruh
terhadap distribusi obat antara lain aliran darah setempat, permeabilitas membran sel dan kapiler,
perbedaan pH antara plasma dengan jaringan serta ikatan obat dengan protein.Berdasarkan harga
klirens total (ClT) pada Tabel II, harga kelompok kontrol adalah 23,23 2,91 mL. menit-1 kg-1
dan kelompok perlakuan uranil nitrat adalah 4,08 0,37 mL. menit-1 kg-1 yaitu terjadi
penurunan yang bermakna sebesar 82,44% (p < 0,05). Kliren total tersebut bermanfaat dalam
menilai efektifitas eliminasi suatu obat. Dengan adanya perubahan fisiologi ginjal (gagal ginjal
akut) akibat pemberian uranil nitrat dosis tunggal 5,0 mg/kg BB secara oral tiga hari sebelumnya
dapat menurunkan efektifitas eliminasi sulfasetamid dalam tubuh. Parameter turunan yang lain,
yaitu luas dibawah kurva kadar obat utuh terhadap waktu pengambilan darah (AUC). Harga
Cmaks, tmaks, AUC0-240, AUC0-inf, MRT, K, dan t1/2 eliminasi kedua kelompok menunjukkan
hasil yang secara statistik.
KESIMPULAN

Praperlakuan uranil nitrat dosis 5,0 mg/kg BB


secara injeksi intravena tiga hari sebelum
sulfasetamid oral dapat menurunkan harga
parameter farmakokinetika disposisi primer
sulfasetamid secara signifikan yaitu volume
distribusi (Vd/F) dan klirens total (ClT)
(P<0,05), dan mengakibatkan kenaikan secara
signifikan harga Cmaks, tmaks, t1/2 eliminasi,
MRT, AUC0-240, dan AUC0-inf.
REVIEW JURNAL DATA URIN
PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA GENDARUSIN A DALAM
URIN SUBYEK PRIA SETELAH PEMBERIAN SEDIAAN EKSTRAK ETANOL
DAUN Justicia gendarussa Burm. F.
(Jurnal 3)
PENDAHULUAN
Justicia gendarussa Burm.
F. (Famili: Acanthaceae)
memiliki kandungan
flavonoid yang
menghambat enzim
hyaluronidase dari
spermatozoa dalam proses
fertilisasi. Penelitian
sebelumnya melaporkan
bahwa komponen terbesar
dari J.gendarussa adalah
6,8-di-L-arabinopyranosil-
4’,5,7-trihydroxy flavones
atau 6,8-
diarabinosylapigenin
(gendarusin A.)
METODE PENELITIAN
A. ALAT

HPLC: LC-10 Communication SPD-10AV UV- Liquid


Class Analysis Bus Module CBM VIS Detector Chromatograph
10A Shimadzu Shimadzu LV-10AV
Shimadzu
Column Oven CTO-10AC

Column Oven CTO-10AC

Guard column
METODE PENELITIAN
B. BAHAN

Kapsul ekstrak etanol daun Justicia gendarussa Burm. f. (Ext. Gendarussa)


METODE PENELITIAN
C. Prosedur
• Daun Justica gendarussa Burm F menjadi Kapsul Ekstrak Etanol

Ambil daun
Dicuci dengan Keringkan
dalam keadaan
air bersih. dengan oven.
segar.

Dibuat ektrak
Diformulasi etanol 70% Simplisia yang
menjadi bentuk Justica telah kering
sediaan kapsul. grandarussa diserbukan.
Burm F.
METODE PENELITIAN
C. Prosedur
• Analisis Kasus
Perlakuan
Pengambilan Penentuan Kondisi
Terhadap Subyek
Sampel HPLC
Penelitian

Analisis Data Preparasi Sampel


HASIL VALIDASI METODE
HASIL VALIDASI METODE
PEMBAHASAN
Hasil kurva penelitian ini dibuat dengan gendarusin A pada
ordinat (y) dan konsentrasi (x, μg/ml) dalam urin hasilnya
linear dengan persamaan korelasi regresinya adalah y =
34,3496x + 63.6315 (r= 0.9992). Semua hasil dari
kepresisian intra-day R.S.D. kurang dari 8,12 % LOD dan
LOQ dari analisis gendarusin pada urin berturut-turut
adalah 0.0817 μg/ml dan 0.2724 μg/ml. Pemberian oral
dari suspensi ekstrak J.gendarussa, hasilnya menunjukkan
bahwa waktu paruh (t ½) untuk gendarusin A pada ekskresi
urin adalah 2,44 – 8,53 jam (rata-rata 4,44 ± 2,14 jam) dan
rata-rata eliminasi konstan (Kel) adalah 0,08 – 0,28 jam1
(rata-rata 0,18 ± 0,07 jam-1).
KESIMPULAN

Setelah pemberian sediaan ekstrak etanol daun


Justicia gendarussa Burm. f. terhadap 6 subyek
pria, dapat disimpulkan harga parameter
farmakokinetika gendarusin A sebagai berikut :
1. T1Τ2 gendarusin A = 2,44 – 8,53 jam (rata-rata
4,44 ± 2,14 jam).
2. Kel. gendarusin A = 0,08 – 0,28 jam-1 (rata-rata
0,18 ± 0,07 jam-1).
PENGARUH pH URIN TERHADAP JUMLAH KUMULATIF ASAM
SALISILAT YANG DIEKRESIKAN MELALUI SALURAN KEMIH PADA
TIKUS PUTIH JANTAN DENGAN DIBERIKAN ASETOSAL SECARA ORAL
(Jurnal 4)
ABSTRAK

Asetosal merupakan obat analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang memiliki efek
samping ulserasi mukosa lambung. Untuk memperpanjang durasi asetosal perlu
dilakukan peningkatan waktu paruh asetosal. Tujuan penelitian mengetahui pengaruh
pH urin (6,82 - 10,10) terhadap waktu paruh asetosal yang ditunjukkan dengan jumlah
kumulatif asam salisilat yang diekskresikan. Pada penelitian ini digunakan 25 ekor tikus
putih jantan galur Sprague-Dawley yang terbagi dalam 5 kelompok, yaitu kontrol
normal, hanya diberi larutan CMC 0,5% yang mengandung gliserol 15%; kontrol
asetosal (216 mg/200 g berat badan); dan tiga kelompok yang diberi asetosal (216
mg/200 g berat badan) serta larutan NaHCO3 10% tiap 6 jam dengan variasi dosis yang
telah dipilih (180; 270; 360 mg/200 g berat badan).
METODE PENELITIAN
A. ALAT
Sonde Lambung Alat-Alat Gelas Lumpang & Alu Timbangan Analitik (Ohauss)

Spuit (Terumo) Spektrofotometri UV-Vis


METODE PENELITIAN
B. BAHAN
Hewan yang Digunakan Bahan Uji yang Digunakan

Tikus Putih Jantan Asetosal yang dibuat


(Rattus norvegicus) dalam bentuk suspensi
galur Sprague-Dawley oral.
berumur kurang lebih
3-4 bulan dengan
berat badan 150-260
gram sebanyak 25
ekor.
METODE PENELITIAN
C. Prosedur
Tikus dipuasakan selama 10 jam dengan hanya diberi air minum yang disediakan di
dalam kandang.

Sebelum obat diberikan, urin tikus ditampung dan diambil secukupnya sebagai urin
blanko.

Setelah dipuasakan selama 10 jam, larutan NaHCO3 dosis I diberikan pada tikus
kelompok III; dosis II pada tikus kelompok IV; dosis III pada tikus kelompok V.

Satu jam kemudian, larutan CMC 0,5% yang mengandung gliserol sebanyak 15%
diberikan pada tikus kelompok I dan suspensi asetosal diberikan pada tikus
kelompok II, III, IV, dan V.
Larutan NaHCO3 diberikan setiap 6 jam dan air hangat diberikan setiap 1 jam,
Setiap interval waktu pengambilan cuplikan, volume urin yang diekskresikan dicatat.
Waktu pengambilan cuplikan adalah pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 10. Waktu interval
dimulai sejak obat diberikan.

Urin ditampung dalam wadah yang telah diisi dengan pengawet urin (toluen 1-2
tetes). Setelah pengambilan cuplikan, urin segera dianalisis.

Prosedur analisis urin dapat dilihat pada prosedur penanganan spesimen urin,
Cuplikan urin dijaga agar tidak ada cuplikan urin yang hilang, Pengumpulan urin
dikerjakan sampai hampir seluruh obat dalam bentuk utuh telah diekskresikan,
sekitar ± 87,5 % di dalam urin ( 3 x t1/2 obat ), yaitu pada penelitian ini dilakukan
selama 10 jam.
PEMBAHASAN
Mekanisme Kerja Asetosal
Obat ini menghambat enzim siklooksigenase
sehingga konversi asam arakidonat menjadi
PGG2 terganggu. Enzim siklooksigenase
(COX) terdapat dalam 2 isoform yaitu COX-1
dan COX-2. Umumnya COX-1 penting dalam
pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi
normal di berbagai jaringan khususnya ginjal,
saluran cerna, dan trombosit. COX-2 ini
diinduksi berbagai stimulus inflamatoar,
termasuk sitokin, endotoksin dan growth
factors. Tromboksan A2, yang disintesis
trombosit oleh COX-1, menyebabkan
agregasi trombosit, vasokonstriksi dan
proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin
(PgI2) yang disintesis oleh COX-2 di endotel
makrovaskular melawan efek tersebut dan
menyebabkan agregasi trombosit, vasodilatasi
dan efek anti-proliferatif yang kemudian
menjadi edema dan inflamasi. Asetosal 166
kali lebih kuat menghambat COX-1 daripada
COX-2.
PEMBAHASAN

Eksresi Obat Melalui Ginjal


Proses ekskresi obat oleh ginjal meliputi 3 proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi
tubular aktif dan reabsorpsi tubular. Filtrasi glomerulus merupakan suatu proses tidak
langsung yang terjadi untuk sebagian besar molekul-molekul kecil (BM < 500),
meliputi obat-obat yang tidak terdisosiasi/tidak terionisasi dan terdisosinasi/terionisasi.
Obat-obat yang terikat protein merupakan molekul-molekul besar dan tidak dapat
difiltrasi pada glomerulus. Laju filtrasi glomerulus normal sebesar 125-130 ml/menit.
Filtrasi glomerulus berhubungan langsung dengan konsentrasi obat bebas atau yang
terikat bukan dengan protein dalam plasma. Bila konsentrasi obat bebas dalam plasma
naik, filtrasi glomerulus obat akan naik secara proporsional.
PEMBAHASAN
Grafik Semilogaritma
Laju ekskresi obat lewat urin
(dDu/dt) tidak dapat ditentukan
melalui percobaan segera setelah
pemberian obat. Dalam praktek,
urin dikumpulkan pada jarak
waktu tertentu dan konsentrasi
obat dianalisis. Kemudian laju
ekskresi urin rata-rata dihitung
untuk tiap waktu pengumpulan.
Harga dDu/dt rata-rata digambar
pada suatu skala semilogaritmik
terhadap waktu yang merupakan
harga tengah (titik tengah) waktu
pengumpulan.
PEMBAHASAN
Data Kurva Kalibrasi
Dengan regresi linear,
diperoleh persamaan
kurva kalibrasi asam
salisilat
dalam urin, yaitu
y = -0,0211 + 0,00085 x
Variabel x adalah
konsentrasi asam salisilat
dalam urin dan y adalah
serapan yang terukur.
Diperoleh harga koefisien
korelasi, r = 0,99889.
KESIMPULAN
Jumlah kumulatif asam salisilat yang diekskresikan
melalui saluran kemih dipengaruhi oleh pH urin, yakni
pada pH urin yang semakin basa (6,82 – 10,10), jumlah
asam salisilat yang diekskresikan semakin meningkat.
Dengan demikian, waktu paruh asetosal menjadi
semakin menurun. Pada pH urin yang bersifat lebih
asam dari pH urin normal, percobaan ini tidak dapat
dilakukan karena agen asidisasi pH urin yang toksik
pada tikus dan tidak menurunkan pH urin secara
signifikan.
PENENTUAN KINETIKA ELIMINASI RIFAMPISIN DOSIS 300 mg
DAN 600 mg MENGGUNAKAN DATA URIN
(Jurnal 5)
PENDAHULUAN

Rifampisin merupakan obat antituberkulosa paru (TB paru), sampai saat ini dianggap paling poten
karena bekerja intra set dan ekstra set serta nilai bakterisidal tinggi. Dosis terapi rifampisin yang
dianjurkan bervariasi antara 10-20 mg/kg BB dan maksimum 600 mg sehari. Waktu paruh rifampisin
pada pemberian dosis lebih besar dari 16 mg/kg BB adalah 65 jam sedangkan pada dosis lebih kecil
dari 12 mg/kg BB waktu paruhnya 2-3 jam. Bervariasinya dosis yang diberikan serta adanya perbedaan
waktu paruh yang cukup nyata seperti diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap
kinetika eliminasi rifampisin dosis 300 mg dan dosis 600 mg. Pada penelitian kinetika eliminasi
digunakan data urin, karena jumlah rifampisin yang diekskresikan dalam bentuk tak berubah cukup
besar yaitu 30-50% dari seluruh senyawa yang diekskresikan melalui urin dengan kadar 10-100 kali
lebih besar dari pada kadar rifampisin dalam darah. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diperoleh
gambaran tentang kinetika eliminasi rifampisin tersebut. Kemudian dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan dosis terapi rifampisin, agar tercapai tujuan terapi yang rasional terutama untuk pasien
orang Indonesia.
METODE PENELITIAN
Subyek Penelitian Bahan Percobaan

Lima orang pria Rifampisin 300 mg


sehat, umur 22-25 dan 600 mg
tahun, berat badan
55-60 kg, dengan
fungsi hati dan
fungsi ginjal
normal.
METODE PENELITIAN
PROSEDUR
Lima subyek (AB, AS, IAJ, IG, SK) masing-masing mendapat dua kali perlakuan dengan selang waktu
satu minggu. Minggu I diberi 300 mg rifampisin, Minggu II diberi 600 mg rifampisin.

Subyek penelitian tidak diperkenankan minum obat apapun dalam waktu satu minggu sebelum percobaan
dimulai sampai percobaan selesai. Menjelang hari penelitian subyek diminta puasa sejak malam hari
sampai pagi hari pada waktu percobaan dimulai. Satu jam sebelum percobaan dilakukan, subyek diberi
minum air 400 ml air.

Sesaat sebelum obat diberikan, subyek diminta mengosongkan kandungan kemih, urin ditampung dan
pHnya diukur, untuk mengetahui apakah pH urin masih dalam batas normal atau tidak. Urin selanjutnya
digunakan sebagai blangko pada penentuan kadar obat di dalam urin dari subyek bersangkutan.

Segera setelah penampungan urin untuk blangko, subyek diberi obat sesuai dengan rancangan percobaan
obat diberikan dalam bentuk kapsul disertai dengan minum air sebanyak 200 ml air dan diikuti dengan 200
ml air setiap satu jam, selama empat jam berikutnya.
Sarnpel urin ditampung pada selang waktu 1, 2, 3, 4, 5, 8, 12, 24, 30, dan 36 jam sesudah pemberian obat.

Volume dan pH urin diukur. Setiap kali penampungan, kemudian disimpan sebanyak yang diperlukan.
Selama percobaan subyek diperbolehkan bergerak bebas dalam ruangan. Makanan diberikan pada waktu
dua jam sesudah pemberian obat.

Sampel urin yang tidak dapat langsung dianalisa disimpan di dalam lemari es (-20°C) sampai dilakukan
analisa selanjutnya.
Penentuan kadar rifampisin dalam urin
Penentuan kadar rifampisin dalam urin dilakukan dengan alat spektrofotometer, dengan cara kerja seperti berikut: 10,0 ml
urin dimasukkan dalam corong pisah yang telah berisi 5,0 ml dapar fosfat pH 7,38 ; kemudian ditambahkan 10,0 ml
campuran pelarut 11-Butanol : n-Heksana (4:1). Dikocok dan dibiarkan sampai terbentuk dua lapisan, lapisan air yang
berada di bawah dibuang, sedangkan lapisan organik dicuci dengan air suling 10 ml. Dikocok dan dibiarkan sampai
terbentuk dua lapisan. Lapisan air dibuang sedangkan lapisan organik diukur serapannya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang serapan maksimum (lihat gambar 1).

Pembuatan larutan baku rifampisin


50 mg rifampisin dilarutkan dalam metanol 10 ml kemudian ditambah air suling hingga 100 ml. Cara yang sama juga
dilakukan dalam urin sebagai media, kedua larutan ini digunakan untuk mencari panjang gelombang serapan maksimum
kurva baku regresi linier.

Pembuatan larutan seri baku kerja rifampisin


Dari larutan baku dibuat larutan seri baku kedua dengan kadar 50, 40, 25, 20, 15, 10, 5, 2,5, 0,5 mcg/ml dalam larutan 11-
butanol-heksan (4:1).

Pembuatan larutan seri baku kerja rifampisin


Dari larutan baku dibuat larutan seri baku kedua dengan kadar 50, 40, 25, 20, 15, 10, 5, 2,5, 0,5 mcg/ml dalam larutan 11-
butanol-heksan (4:1).
Penentuan serapan panjang gelombang maksimum
Dilakukan dengan mengamati spektrogram salah satu kadar larutan seri baku kerja yang dikerjakan seperti penentuan kadar
rifampisin dalam urin, dengan membaca serapan maksimumnya pada panjang gelombang 200-400 nm dengan
spektrofotometer UV.

Pembuatan kurva baku rifampisin


Dilakukan dengan mengamati kadar larutan seri baku kerja yang dikerjakan seperti pada penentuan kadar rifampisin dalam
urin, pada panjang gelombang serapan maksimum (Gambar 1).

Penentuan ketetapan eliminasi (K)


Ditentukan dengan metode Sigma Minus: Data jumlah obat yang terdeteksi dalam urin tak berubah dibuat kurva Semilog
kadar obat yang belum terekskresi dalam urin (Xu -Xu') terhadap waktu (t). Dari data pengamatan tersebut dapat dicari
bentuk dan tipe kurva regresinya, harga slopenya akan diketahui, sehingga akan dapat dihitung harga K nya.

Penentuan waktu paruh biologik (t½)


Harga waktu paruh biologik dapat dihitung dari harga K yang didapat dari persamaan t½=0,693/K. Nilai-nilai yang diperoleh
tersebut dibandingkan untuk masing-masing perlakuan menggunakan analisa Anova dilanjutkan dengan uji t untuk
membandingkan dua jenis perlakuan.
HASIL

Kurva di atas menunjukkan bahwa tinggi serapan rifampisin dalam larutan campuran n-
butanol:heksan (4:1), larutan stabil serapannya stabil untuk 5 sampai 50 menit, sehingga
pengukuran serapan rifampisin dikerjakan setelah menit ke 5 sampai ke 50. Dari hasil itu kita
gunakan panjang gelombang serapan maksimum 326 nm, agar tidak diganggu oleh serapan
pelarut dan kontaminan yang umumnya mempunyai serapan di daerah panjang gelombang
rendah.
Bila kurva tersebut digunakan untuk
menghitung kadar rifampisin, dalam urin
mempunyai ketelitian dan ketepatan cukup
tinggi, karena dari lima larutan yang dicoba
ditemukan kembali kadar sebesar
(98,67±1,84)% dengan tarap kepercayaan
95% beberapa parameter farmakokinetik
yang digunakan dalam membahas hasil
penelitian ini adalah tetapan kecepatan
eliminasi (K), waktu paruh (t½), dari obat
yang belum terekskresi dalam urin. (Xu-Xu')
Dari gambar, didapatkan bahwa garis regresi
penurunan kadar obat yang tidak
terekskresikan. Mempunyai linieritas log
kadar sisa rifampisin yang diberikan dengan
dosis 300 mg lebih rendah dari. Linieritas
garis penurunan logaritma sisa kadar yang
diberikan dengan dosis 600 mg. Hal tersebut
karena kadar maksimum dalam darah pada
pemberian dosis 300 mg obat tidak tercapai
dengan cepat, dan kurang teratur sehingga
berpengaruh pada proses metabo1isme
maupun eliminasinya.
PEMBAHASAN
Jumlah rifampisin yang terekskresi selama 24 jam pada pemberian rifampisin dosis 100 mg berkisar antara
38,39 - 55,92 mg dengan rata-rata 46,19±7,72 mg sedangkan untuk dosis 600 mg berkisar antara 91,48 -
148,9 mg dengan rata-rata 117,53±28,83 mg. Hasil tersebut berbeda secara bermakna pada p=0,05. Prosen
rifampisin yang didapatkan dalam urin selama 24 jam untuk dosis 300 mg berkisar antara 12,80-18,64%
dengan rata-rata 15,40±2,57% dan untuk rifampisin dosis 600 mg berkisar antara 15,25-24,82% dengan rata-
rata 19,59 ± 4,80%. Perbedaan hasil prosen rifampisin yang terekskresi dalam urin tersebut adalah bermakna
pada (p=0,05). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh peneliti-peneliti terdahulu.
Binda (1975) melaporkan jumlah rifampisin yang terdapat dalam urin selama 24 jam adalah 145 mg (24,1%)
untuk dosis 600 mg dan 52 mg (17,1%) untuk dosis 300 mg. Acocella melaporkan jumlah rifampisin yang
didapat dalam urin selama 24 jam adalah 124±22,1 mg setelah pemberian dosis 600 mg, berarti propil
eliminasi, K dan t1/2 untuk orang Eropa dan Indonesia tidak banyak berbeda. K, t½, dan jumlah rifampisin
yang terekskresi dalam urin atau prosen yang terekskresi dalam urin dari rifampisin dengan pemberian dosis
yang berbeda yaitu 300 mg dan 600 mg menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p=0,05). Hal ini
diduga akibat adanya kejenuhan eliminasi antara dosis 300 mg-600 mg. Adanya kejenuhan ini didukung pula
oleh Acocella yang menyatakan adanya kejenuhan kecepatan eliminasi dari hepar menuju sistem empedu
pada dosis 300 mg. Eliminasi rifampisin yang utama adalah melalui hepar menuju sistem empedu kemudian
ke dalam feces. Apabila terjadi kejenuhan kecepatan eliminasi melalui hepar, maka kadar rifampisin dalam
darah dan yang terekskresi ke dalam urin meningkat, begitu pula dengan waktu paruhnya. Dilaporkan bahwa
rifampisin mempunyai kecenderungan berakumulasi dalam hepar. Kadar dalam hepar 25 kali kadar dalam
darah. Diasumsikan bahwa eliminasi rifampisin pada setiap waktu sebanding dengan jumlah rifampisin
dalam serum. Kadar rifampisin dalam serum merupakan indikator langsung efek terapi sehingga dengan hasil
penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk pengaturan dosis agar didapatkan tujuan
pengobatan yang rasional untuk pasien orang Indonesia.
KESIMPULAN

Harga parameter tetapan eliminasi (K), waktu paruh


biologis (t½), dan jumlah rifampisin yang terekskresi
(xu) dalam 24 jam pada pemberian rifampisin dosis 300
mg dan dosis 600 mg menunjukkan perbedaan yang
bermakna pada p=0,05. Untuk rifampisin dosis 300 mg
didapatkan K = 0,26±0,03 jam, t1/2 = 2,68±0,33 jam, xu
= 46,19±7,72 mg. Sedangkan untuk rifampisin dosis
600 mg didapatkan K = 0,20±0,01/jam, t½ =
3,55±0,010 jam, (xu=117,53)±28,83 mg.

Anda mungkin juga menyukai