PENURUNAN TINGKAT HALUSINASI PADA PASIEN HALUSINASI DENGAR DI RSJ TAMPAN PROVINSI RIAU
Dipublikasikan Pada Tanggal : 2-oktober-2014
Oleh Rafina Damayanti, Jumaini, Sri Utami
Erwan Efendi 013.01.2838
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES)
Mataram 2018 Latarbelakang Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial (Keliat, Akemat, Helena & Nurhaeni, 2012). Gangguan jiwa diklasifikasikan dalam bentuk penggolongan diagnosis. Penggolongan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia menggunakan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Salah satu diagnosis gangguan jiwa yang sering dijumpai adalah Skizofrenia (Keliat, Wiyono, & Susanti, 2011). Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima, menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi, serta berperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Williams & Wilkins, 2005). Skizofrenia merupakan penyakit atau gangguan jiwa kronis yang dialami oleh 1% penduduk. Pasien yang dirawat dengan gangguan skizofrenia di rumah sakit jiwa sekitar 80% dari total keseluruhan pasien. (Keliat, Wiyono, & Susanti, 2011). Lanjutan Keliat, Wiyono dan Susanti (2011) menyatakan penderita skizofrenia akan mengalami gejala gangguan realitas seperti waham dan halusinasi. Halusinasi terbagi dalam 5 jenis, yaitu halusinasi penglihatan, halusinasi penghidu, halusinasi pengecapan, halusinasi perabaan, dan halusinasi pendengaran (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2012). Halusinasi pendengaran adalah halusinasi yang paling sering dialami oleh penderita gangguan mental, misalnya mendengar suara melengking, mendesir, bising, dan dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Individu merasa suara itu tertuju padanya, sehingga penderita sering terlihat bertengkar atau berbicara dengan suara yang didengarnya (Baihaqi, Sunardi, Riksma, & Euis, 2005). Gangguan halusinasi dapat diatasi dengan terapi farmakologi dan nonfarmakologi (Keliat, Wiyono, & Susanti, 2011). Salah satu terapi nonfarmakologi yang efektif adalah mendengarkan musik. Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Ketika musik diterapkan menjadi sebuah terapi, musik dapat meningkatkan, memulihkan, dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial dan spritual (Aldridge, 2008). Musik dibagi atas 2 jenis yaitu musik “acid” (asam) dan “alkaline” (basa). Musik yang menghasilkan acid adalah musik hard rock dan rapp yang membuat seseorang menjadi marah, bingung, mudah terkejut dan tidak fokus. Musik yang menghasilkan alkaline adalah musik klasik yang lembut, musik instrumental, musik meditatif dan musik yang dapat membuat rileks dan tenang seperti musik klasik (Mucci & Mucci, 2002). Musik klasik (Haydn dan Mozart) mampu memperbaiki konsentrasi, ingatan dan presepsi spasial. Pada gelombang otak, gelombang alfa mencirikan perasaan ketenangan dan kesadaran yang gelombangnya mulai 8 hingga 13 hertz. Semakin lambat gelombang otak, semakin santai, puas, dan damailah perasaan kita, jika seseorang melamun atau merasa dirinya berada dalam suasana hati yang emosional atau tidak terfokus, musik klasik dapat membantu memperkuat kesadaran dan meningkatkan organisasi metal seseorang jika didengarkan selama sepuluh hingga lima belas menit (Campbell, 2001). Terapi musik juga efektif dalam menurunkan tingkat depresi pada pasien isolasi sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Ayu, Arief dan Ulfa (2012) dengan judul efektifitas terapi musik terhadap tingkat depresi pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondhohutomo Semarang, didapatkan hasil bahwa terapi musik efektif terhadap penurunan tingkat depresi pasien isolasi sosial. Hal ini berarti terapi musik dapat membantu meningkatkan kesehatan mental pada pasien isolasi sosial. METODOLOGI PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimental design berupa rancangan pretest-posttest design with control group (Nursalam, 2008). Desain ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas terapi musik klasik terhadap penurunan tingkat halusinasi pada pasien halusinasi dengar di RSJ Tampan Provinsi Riau. Instrumen yang digunakan berupa kuisioner Lelono (2011) dengan 12 pernyataan yang telah diuji validitas dan reliabilitas di ruang Sebayang RSJ Tampan Provinsi Riau. Analisa yang digunakan adalah analisa univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristik responden, mendeskripsikan tingkat halusinasi dengar kelompok eksperimen dankelompokkontrol sebelumdansesudahdilakukan terapi musik dan analisa bivariat digunakan untuk melihat pengaruh terapi musik klasik terhadap tingkat halusinasi pada pasien halusinasi dengar dan melihat homogenitas kedua kelompok data (Hastono, 2007). HASIL PENELITIAN
Berdasarkan karakteristik responden
Diketahui nilai median tingkat halusinasi setelah diberikan terapi musik klasik pada kelompok eksperimen adalah 2 dengan standar deviasi 0,332, sedangkan pada kelompok kontrol nilai median tingkat halusinasi setelah diberikan terapi musik klasik adalah 3 dengan standar deviasi 0,6. Hasil uji statistik didapatkan p value 0,000 dengan menggunakan nilai α (0,05), maka diputuskan Ho ditolak berarti ada perbedaan yang signifikan tingkat halusinasi setelah diberikan terapi musik klasik antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. PEMBAHASAN A. Karakteristik responden Hasil penelitian yang telah dilakukan di RSJ Tampan Provinsi Riau didapatkan bahwa umur responden terbanyak adalah dewasa awal yaitu 18-40 tahun (73,5%). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Purba (2013) mayoritas responden berumur 20-40 tahun (dewasa awal) sebanyak 20 orang (76,9%). Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia sebesar 0,3 sampai 1% dan biasa timbul pada usia sekitar 15 sampai 35 tahun, namun ada juga yang berusia 11 sampai 12 tahun sudah menderita skizofrenia Usia dewasa dalam perkembangannya termasuk periode operasional formal (Novita, 2012 dalam Aedil, Syafar, Suriah, 2013). Hasil penelitian yang telah dilakukan di RSJ Tampan, dimana 23 orang responden dari 34 orang responden berjenis kelamin laki-laki dengan presentase 67,6% dan 11 orang responden lainnya berjenis kelamin perempuan dengan presentase 32,4%. Rata- rata jenis kelamin pasien gangguan jiwa disebagian Rumah Sakit Jiwa khususnya dengan diagnosa gangguan persepsi sensori halusinasi adalah laki-laki. Laki-laki cenderung sering mengalami perubahan peran dan penurunan interaksi sosial serta kehilangan pekerjaan, hal ini yang sering menjadi penyebab laki-laki lebih rentan terhadap masalah mental, termasuk depresi (Soejono, Setiati & Wiwie, 2000). B. Efektifitas terapi musik klasik terhadap penurunan tingkat halusinasi pada pasien halusinasi dengar Uji wilcoxon yang dilakukan didapatkan hasil ada pengaruh sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) dilakukan terapi musik klasik pada kelompok eksperimen terhadap penurunan tingkat halusinasi dengar. Nilai median pretest dan posttest pada kelompok eksperimen mengalami penurunan dari 3 menjadi 2 dengan nilai p value = 0,003 < α (0,05) sehingga Ho ditolak. Hasil uji pada pada kelompok kontrol didapatkan tidak ada pengaruh sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberikan terapi musik klasik terhadap penurunan tingkat halusinasi dengar. Nilai median pretest dan posttest pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan, yaitu 3 dengan nilai p value= 0,414 > α (0,05) sehingga Ho gagal ditolak. Penanganan pasien dengan halusinasi bertujuan agar pasien mampu mengontrol halusinasinya. Penanganan pada pasien ini meliputi pemberian obat, tindakan keperawatan sesuai dengan standar asuhan keperawatan serta tindakan nonfarmakologis lainnya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Lelono (2011) bahwa salah satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan yaitu dengan tindakan nonfarmakologis. Salah satu terapi nonfarmakologi yang efektif adalah mendengarkan musik klasik. KESIMPULAN Pada kelompok eksperimen didapatkan nilai significancy (p value) 0,003 atau p value < α (0,05), maka Ho ditolak. Hal ini berarti ada perbedaan antara pretest dan posttest dan terjadi penurunan nilai rata-rata pretest dan posttest diberikan terapi musik klasik yaitu dari 3 menjadi 2, dapat disimpulkan bahwa adanya penurunan tingkat halusinasi pada kelompok eksperimen yang telah diberikan terapi musik klasik. Hasil uji pada kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi musik klasik didapatkan nilai significancy (p value) 0,414 atau p value > α (0,05), maka Ha ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol. Hal ini ditunjukkan tidak adanya perubahan nilai rata- rata antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol, dapat disimpulkan bahwa tidak ada penurunan tingkat halusinasi pada kelompok kontrol. Perbedaan tingkat halusinasi posttest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol didapatkan p value 0,000 < α (0,05), maka Ho ditolak berarti ada perbedaan yang signifikan tingkat halusinasi setelah (posttest) diberikan terapi musik klasik antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. TERIMAKASIH