Anda di halaman 1dari 14

IDENTIFIKASI SUATU SPESIES BARU

MELALUI VARIASI GENETIK : STUDI


KASUS PADA POPULASI SCUTELLARIA
SLAMETENSIS SP. NOV . (LAMIACEAE) DI
GUNUNG SLAMET, JAWA TENGAH
NUR LAELA ABIDAH (162500028)
ABSTRAK
Untuk membuktikan bahwa suatu spesies sebagai spesies baru dapat dilakukan tidak
hanya melalui ciri-ciri pada morfologinya saja namun kini ada pendekatan molekuler
yang relative lebih murah, yaitu pendekatan sistem enzim. Tujuan penelitian ini tentu
saja tidak hanya pada populasi spesies sbaru Scutellaria slametensis p. nov namun juga
pada populasi S. discolor yang ada di Gunung Slamet. Variasi genetika yang ada pada
populasi S. slametensis dan populasi S. discolor dapat digunakan untuk mengetahui
keanekaragaman alel dan aliran genetika yang berkaitan dengan proses
penyerbukannya. Jumlah kromosom dianalisa dan pendekatan sistem enzim
menggunakan AAT, EST, MDH dan PER untuk mengevaluasi polimorfik loci. Variasi
genetika pada S. slametensis adalah relatif tinggi namun pada S. discolor adalah rendah.
Ciri-ciri morfologi yang berbeda pada kedua spesies Scutellaria tersebut terjadi juga
pada bukti alel ke-empat sistem enzim tersebut di atas. Namun kedua spesies tersebut
mempunyai hubungan kekerabatan yang tinggi. Hal ini membuktikan adanya proses
evolusi yang disebabkan adanya isolasi geografi.
Kata kunci : Gunung Slamet, Scutellaria slametensis sp. nov., S. discolor, sistem enzim.
PENDAHULUAN
Scutellaria (Lamiaceae) merupakan marga terbesar mutasi gen, penyimpangan genetik, bottle-neck, bahkan
dengan 360 species (Huang 1994; Paton 1990; Paton kemungkinan populasi terancam punah. Parameter ini
dalam Harley et al. 2004). Marga ini tersebar luas, tidak hanya dapat menghitung pada level populasi dan
subkosmopolitan, sedikit terdapat di dataran rendah antara populasi tetapi juga antar spesies.
lembap tropis. Dikenal empat spesies di Indonesia, yaitu;
S. discolor Colebr., S. indica L. , S. javanica Jungh. dan S.Variasi genetik pada level populasi mencerminkan pada
slametensis Sudarmono & B.J.Conn (Backer & Bakhuizen level spesies. Hamrick and Godt (1990) menegaskan
van den Brink Jr 1965; Keng 1978; Steenis 1972; bahwa spesies dengan daerah geografik terbatas
Sudarmono & Conn 2010). Spesies di Indonesia cenderung mempunyai sedikit keragaman genetiknya,
merupakan anggota anak marga Scutellaria seksi mereka berbagi variasi ini kebanyakan dengan cara yang
Scutellaria (Paton 1990) dan diklasifikasikan oleh Paton sama pada spesies yang tersebar luas. Bagaimanapun
menjadi beberapa 'species-groups’ S. discolor species juga geografi ditentukan oleh kondisinya seperti gunung.
group' (termasuk S. discolor); "S. humilis species group' Faktor inbredding sebagai hasil tingginya frekwensi pada
(termasuk S. javanica); "S. violacea species-group' perkawinan saudara, untuk kebanyakan tumbuhan
(termasuk S. indica). 'Species group' pada S. slametensis berbunga, meningkatnya selfing disebabkan
masih belum jelas. berkurangnya aktivitas polinator. Sistem gunung adalah
tempat yg baik yang mana untuk meneliti arus gen
Alozim umumnya menyediakan sumber informasi perihal diantara spesies endemik dan Gunung Siamet di Jawa
variasi genetik pada populasi alam. Parameter variasi Tengah adalah tipikal sistem gunung yang terdiri dari
genetik seperti interbreeding antara populasi, alel kekayaan flora dengan spesies terbatas misalnya
TUJUAN PENELITIAN
untuk mengetahui hubungan antara Scutellaria sp. yang kemudian dinamai sebagai S.
slametensis Sudarmono & BJ Conn dengan S. discolor Colebr., kerabat dekat dalam
Famili Lamiaceae yang ada di Gunung Slamet, Jawa Tengah. Pendekatan dilakukan selain
dengan mengamati jumlah kromosomnya juga dengan pendekatan analisa alozim.
METODE PENELITIAN
Koleksi sampel
Sampel Scutellaria slametensis dikumpulkan dari enam populasi di Gunung Slamet .
 Lokasi penelitian:
• Desa Kaligua, Kecamatan Pandansari, Kabupaten Brebes, yaitu rute di PTPN IX
Perkebunan Teh (Hutan Lindung G. Slamet wilayah Barat),
• rute pendakian dari Utara masuk melalui Oesa Kaliwadas, Kabupaten Brebes dan
perbatasan dengan Kabupaten Tegal,dan
• lokasi dari arah pendakian Gunung Slamet dari selatan (Baturraden, Kabupaten
Banyumas).
Sampel dari tiga populasi S. discolor adalah didapat dari Bumi Perkemahan Baturaden,
Kebun Raya Baturraden dan Telaga Sunyi (Kecamatan Baturraden, Kabupaten
Banyumas). Sepuluh individu tumbuhan dianalisa pada setiap populasi. Semua koleksi
pada kedua spesies ditanam di Kebun Raya Bogor (Bogor) dan spesimen kering
disimpan di Herbarium Bogoriense (BO), National Herbarium of New South Wales
(NSW) dan Herbarium Kebun Raya Bogor (disini sebagai 'KRB').
Analisa kromosom
Ujung akar muda diambil pada setiap individu tanaman dan diinkubasi pada 0.05 %
larutan colchicine selama 2 jam pada suhu 18 °C. Lalu dicampur dengan fixative fluid
(ethanol : chloroform : glacial acetic acid = 2: 1: 1) selama lebih dari 45 menit pada 5°C.
Ujung akar dilunakkan dengan 1 N HCI pada 60°C selama 18 detik.
Jaringan meristem diwarnai dengan 2% aceto-orcein selama 5-10 menit pada slide
glass. kemudian ditambahkan satu tetes 45% asam asetat dan ditutup cover slip,
selanjutnya ditekan kuatkuat. Dilihat dibawah mikroskop cahaya.
Jumlah kromosom dihitung dan ukurannya dikonversikan melalui proyektor atau diukur
sesuai perbesaran yang ada.
Analisa isozim
Variasi alozim dalam populasi dianalisa melalui sistem Variasi genetik pada populasi adalah dihitung dengan
enzim pada enam populasi Scutellaria slametensis dan POPGENE ver. 1.31 (Yeh FC, et aI, 1999); rata-rata
dibandingkan dengan tiga populasi S. discolor, jumlah alel per lokus (A), persentase loci polimorfik
keduanya terdapat di Gunung Slamet. (Pp), keragaman gen (heterozigot yang diharap, HE)'
Daun muda yang masih segar kira-kira 0.5 cm2 dari Suatu lokus dianggap menjadi polimorfik jika alel
setiap individu di ekstrak dengan bufer gerusan 0.1 M kedua pada lokus itu terdeteksi lebih dari 1 % pada
TRIS-HCI, pH 7.5 (Soltis et ai, 1983). Ekstrak diserap paling tidak 1 populasi.
oleh kertas filter (Whatmann No. 3) dan Identitas genetik dan jarak genetik untuk masing-
dielektroforesiskan pada 12 % gel pati (sistem masing kombinasi pasangan populasi adalah
elektroforesis horisontal) dan diisikn pada 7.5-10 % mengikuti Nei (1978). Pada studi ini unbiased identitas
gel poliakrilamid (sistem elektroforesis vertikal). Total genetik digunakan untuk mengurangi bias sebab
4 sistem enzim dianalisa. Aspartate aminotransferase individu populasinya kecil «50 individu) dan dianalisa
(AA T; EC 2.6.1 .1), Esterase (EST; EC 3.1 .1), Malate menggunakan POPGENE ver. 1.31 (Yeh et al. 1999).
dehydrogenase (MOH; EC 1.1.1.37) and Peroxidase Untuk analisa hubungan genetik antar 9 populasi
(PER; EC 1.11 .1.7) pada gel elektroforesis (Soltis et al. Scutellaria berdasarkan polimorfism alozim
1983), dengan beberapa modifikasi pada bufer pH menggunakan dendrogram Unweighted Pair Group
8.0-8.5. Interpretasi genetik pada pita isozim Method using Arithmetic averages (UPGMA) pada Nei
berdasarkan evaluasi polimorfism alozim yang (1978) dengan menggunakan NTSYS-pc 2.0 (Rohlf
Hasil dan Pembahasan
1. Analisa Kromosom
Jumlah kromosom pada Scutellaria slametensis dan S. discolor adalah diploid 2n=24.
Panjang kromosom metafase mitosis pada S. slametensis berbeda-beda dari 2-2,5 µm,
sedangkan pada S. discolor adalah lebih kecil (1 ,5-2 µm).
2. VARIASI GENETIK dan populasi 8 (Pp= 25 %, A = 1,25, HE =
0,125).
Empat loci terdeteksi pada semua
populasi di ke dua spesies Scutellaria (Tabel 1). Berdasarkan jarak genetik (menurut
Ke empat sistem enzim yang diperiksa yaitu, Nei 1978) terbagi menjadi dua kelompok
AAT, EST, MDH dan PER adalah konsisten populasi.Scutellaria discolor (populasi 7, 8 dan
untuk sembilan populasi yang diteliti. Populasi 9) adalah secara genetik berjarak dari semua
1, 4-e (Tabel 1) secara genetik tinggi variasinya populasi
dengan 75% pada polimorfik loci (Pp 75 %).
Populasi 4 mempunyai rata-rata jumlah alel
per lokus (A) 2,00, lebih tinggi dari rata-rata A S. slametensis. Pada taksa S. slametensis,
= 1.75 untuk populasi 1, 5, 6 (TabeI1). populasi 1 (populasi di blok Paron, Brebes)
Heterozigot yang diharap tinggi pada empat dan 5 (populasi di Pos III, rute pendakian dari
populasi (populasi 1: HE= 0,375; 4: HE = 0,401 basecamp Baturraden) di atas G. Slamet
; 5: HE= 0,375; 6: HE = 0,375) (Tabel 1). adalah sama genetiknya dan dekat dengan
Kebalikannya, variasi genetik paling rendah anak kelompok populasi 4 (populasi di Pos II)
terjadi pada populasi 9 (Pp= 0 %, A = 1,00, HE dan 6 (populasi di Pos I) dimana kedua lokasi
= 0,000) (Tabel 1). Populasi yang lain itu juga dari rute pendakian asal basecamp
mempunyai variasi genetik rendah meliputi: Baturraden.
populasi 2 (Pp= 25 %, A = 1,25, HE = 0,139)
3. Frekuensi alel pada 9
populasi
Berdasarkan frekuensi alel Paton (2004) mencatat
pada tingkat populasi (Tabel 2) bahwa jumlah kromosom untuk
ditemukan pada populasi 4 pada Scutellaria adalah 2n=1288,
alel 𝐴𝑎𝑡 − 1𝑐 dengan frekuensi dengan jumlah yang paling
sering 2n=20, 22, 24, 32 dan 34.
0,150 (kurang dari 0,500) adalah Jumlah kromosom pada
paling rendah frekuensinya dan Scutellaria anak marga
alel ini (𝐴𝑎𝑡 − 1𝑐 ) juga dimiliki Scutellaria, yang termasuk
populasi 3 (frekuensi 0,500), semua spesies di Indonesia,
populasi 7 (frekuensi 1,000), 8 yaitu 2n=24-34 (Paton 1990).
(frekuensi 1,000) dan 9 (frekuensi Penelitian ini
1,000). Alel 𝐴𝑎𝑡 − 1𝑐 , mengkonfirmasikan penemuan
𝑀𝑑ℎ − 1𝑎,𝑏,𝑐 dan 𝑝𝑒𝑟 𝑏 adalah alel Huang (2000) untuk S. discolor
dari Taiwan, yang jumlah
terbagi antara S. slametensis dan
kromosom spesies ini 2n=24.
S. discolor sedangkan alel yang Jumlah kromosom Scutellaria
hanya dimiliki oleh S. slametensis adalah juga 2n=24,
slametensis atau alel spesifik kedua spesies ini merupakan
spesies adalah 𝐴𝑎𝑡 − 1𝑎,𝑏 , kerabat dekat. Ukuran jumlah
𝐸𝑠𝑡 − 1𝑎 dan 𝑝𝑒𝑟 𝑎 . kromosomnya juga kecil yaitu
Hasil dari rata-rata variasi genetik Scutellaria slametensis, spesies dengan penyebaran yang
terbatas (Pp= 75 %, A = 2.00, HE = 0.450) adalah lebih rendah atau sama dengan S. montana (Pp
= 75.42 %, A = 2.21 , HE = 0.19; Cruzan, 2001). Scutellaria discolor (berdasarkan Populasi 9)
mempunyai variasi genetic rendah dengan hampir semua loci monomorfik dan homozigot.
Populasi lokal pada S. slametensis di G. Slamet mempunyai perbedaan yang kuat dan
penyebaran alelnya terpisah. Cruzan (2001) menduga bahwa ambang memisahkan diri
merupakan pencerminan tingginya tingkat penyerbukan sendiri (selfing) pada populasi yang
terisolasi sebab tidak adanya penyerbuk. Hasil dari pengamatan perilaku bunga dan uji
penyerbukan pada S. slametensis jelas menunjukkan kebanyakan sesuai serbuk sendiri sama
dengan hasil dari S. indica (Sun 1999).
Perkecambahan serbuk sari mempengaruhi interseksi pada aliran gen dimana frekkuensi alel
menunjukkan alel terbagi diantara mereka. Jika variasi genetik adalah umum mempengaruhi alel
terbagi dalam spesies, adalah nyata berkaitan antara alel terbagi dengan spesies yang
penyebarannya local. Lebih jauh lagi bahwa dendrogram pada UPGMA jarak genetic Nei adalah
menunjukkan hubungan antara aiel terbagi dan jarak genetik. Dendrogram ini serasi antara
analisa alozim dan analisa morfologi yang membagi dua spesies Scutellaria di G. Slamet yaitu S.
slametensis dan S. discolor varitas discolor.
Topologi pada pohon UPGMA menunjukkan kelompok yang diharapkan berkaitan dengan
struktur taksonomi pada taksa yang digunakan pada penelitian ini. Kelompok pertama terdiri
dari enam taksa yang didukung anak kelompok dari beberapa populasi. Jarak genetik yang
paling tinggi (1,45) berdasarkan Nei (1978) ditemukan antara S. slametensis dan S. discolor
pada penelitian ini dan ke dua kelompok ini menunjukkan perbedaan pada bentuk daun,
ukuran dan warna bunga serta tinggi batangnya namun mempunyai persamaan pada struktur
bunganya. Ada beberapa fitur morfologi yang dapat membedakan S. discolor dari S.
slametensis (Sudarmono and Conn 2010). Bentuk daun, tinggi batang dan jumlah ruas bunga
majemuk pada S. discolor (populasi 7-9) adalah sangat berbeda dari S. slametensis (populasi 1-
6) (Tabel 2). S. discolor mempunyai bunga dengan mahkota jingga (populasi 7-9), dimana S.
slametensis mempunyai mahkota dengan dasar putih dan bagian atas ungu (populasi 1 & 2)
atau bagian atas jingga (populasi 3-6). S. slametensis mempunyai daun membundar-Ionjong,
dimana S. discolor daunnya bundar. S. slametensis mempunyai dua bunga pada setiap ruas
bunga majemuk, dimana S. discolor ada empat bunga per ruas.
Tingkat keragaman genetik yang rendah membuat suatu spesies dengan frekuensi endogamy
(perkawina antar bunga pada tanaman yang sama) tinggi dan konsekuensinya sebagai spesies
yang beresiko tinggi punah (Fracaro and Echeverrigaray 2006). Jumlahnya yang terbatas pada S.
slametensis dan S. discolor dan kecepatan yang tinggi pad a inbreeding mungkin
meningkatkan homozigositi dan mengurangi kemampuan tumbuh individu, hilangnya
beberapa ciri khas, meningkatnya kemandulan biji, berkurangnya kesuburan dan kecepatan
berkecambah bici. Dubash and Fenster (2000) mengungkapkan munculnya lingkaran setan
menuju pada hilangnya suatu populasi.
KESIMPULAN
Hubungan antara spesies S. slametensis dan S. discolor cukup dekat dilihat dari lima alel
(𝐴𝑎𝑡 − 1𝑐 , 𝑀𝑑ℎ − 1𝑎,𝑏,𝑐 dan 𝑝𝑒𝑟 𝑏 ) yang terdapat di kedua spesies tersebut. Empat alel
𝐴𝑎𝑡 − 1𝑎,𝑏 , 𝐸𝑠𝑡 − 1𝑎 dan 𝑝𝑒𝑟 𝑎 . Merupakan aLel spesifik spesies, meskipun variasi
genetiknya berbeda-beda namun mempunyai jumlah kromosom yang sama, diploid 2n=
24. Gambar dendrogram memisahkan dua kelompok yaitu kelompok S. slametensis dan
kelompok S. discolor, yang juga mempunyai perbedaan pada ciri-ciri morfologinya, yaitu
bentuk daun, tinggi batang dan jumlah ruas bunga majemuk.
DAFTAR PUSTAKA
Backer C.A and Backhuizen van den Brink Jr RC (1965). Scutellaria, p. 620. In Flora of Java (spermatophytes
only). Vol. II Angiospermae,
Families 111 -160. Noordhoff, Groningen.
Cruzan MB (2001). Population size and fragmentation thresholds for the maintenance of genetic diversity in the
herbaceous endemic Scutellaria
montana (Lamiaceae). Evolution, 55: 1569-1580.
Dubash MR and CB Fenster (2000). Inbreeding and outbreeding depression in fragmented population.
Cambridge University Press. Cambridge, 35-53.
Elistrand NC, DR Elam (1993). Population genetic consequences of small population size: implication for plant
conservation. Annual Review of Ecology
and Systematics 24: 217-242.
Fracaro F and S. Echeverrigaray (2006). Genetic variability in Hesperozygis ringens Benth. (Lamiaceae), an
endangered aromatic and medicinal plant
of Southern Brazil. Biochemical Genetics, vol. 44, Nos. 11/12: 479-490.
Goudet J (2000). FSTAT, a program to estimate and test gene diversities and fixation indices (version 2.9.1).
Universite de Lausanne, Switzerland.

Anda mungkin juga menyukai