Anda di halaman 1dari 27

 Kata (nikah) berasal dari bahasa Arab, yang

secara etimologi/bahasa berarti: (bercampur)


 Dalam bahasa Arab, lafadh "nikah" bermakna
berakad, bersetubuh dan bersenang-senang
 Al-Qur’an menggunakan kata "nikah" yang
mempunyai makna "perkawinan", disamping
secara majazi (metaphoric) diartikan dengan
"hubungan seks". Selain itu juga menggunakan
kata zauj yang berarti "pasangan" untuk makna
nikah. Ini karena pernikahan menjadikan
seseorang memiliki pasangan
 ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu
perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON
GHOLIIDHOO)
 “Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami
istri dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
(An-Nisaa’ : 21)
 Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia
yang asasi
 Untuk membentengi ahlak yang luhur
 Untuk menegakkan rumah tangga yang
islami
 Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah
 Untuk mencari keturunan yang shalih dan
shalihah
 Kedua calon mempelai yang saling
suka dan ridlo
 Wali Nikah

 Saksi

 Mahar

 Ijab Qabul

 Di Indonesia ditambah dicatatkan


di negara (KUA)
 Khithbah (peminangan)
Proses permohonan ijin calon Laki-laki kepada
orang tua/wali dari wanita pilihannya itu
untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu
meminta agar ia direstui untuk menikahi
anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang
adalah bilamana pada waktu dipinang tidak
ada halangan-halangan syar’i yang
menyebabkan laki-laki dilarang
memperisterinya saat itu
 Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan
diusahakan sesederhana mungkin dan dalam
walimah hendaknya diundang orang-orang
miskin
Rasulullah SAW bersabda kepada
Abdurrahman bin Auf :
"....Adakanlah walimah sekalipun hanya
dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud )
 Wajib --- bagi yang memiliki kemampuan
(material dan immaterial) dan tidak bisa
mengendalikan syahwat
 Sunnah --- bagi yang memiliki kemampuan
(material dan immaterial) dan masih bisa
mengendalikan syahwat
 Makruh -- belum memiliki kemampuan
(material dan immaterial) dan tidak bisa
mengendalikan syahwat
 Haram - tidak memiliki kemampuan (material
dan immaterial) dan masih bisa mengendalikan
syahwat
 Untuk memenuhi tuntutan fitrah dzahir dan batin
manusia, yaitu fitrah semula, jadi seluruh manusia
yang memerlukan pasangan hidup dan jiwa yang
bersih dan salih
 Untuk menyalurkan tuntutan nafsu seks dengan
cara yang diharuskan oleh syara‘
 Perkawinan merupakan suatu sunnah dan ibadah
 Dapat mengatur kehidupan yang lebih baik,
kemas dan teratur
 Hidup seseorang mempunyai sistem dan sentiasa
menjalankan tanggung jawab terhadap diri dan
keluarga dengan sempurna.
 Perkawinan dapat membendung penyakit sosial,
berdua-duasan tanpa ikatan perkawinan,
perzinaan, dan seks bebas
 Dapat mengadakan perbincangan dan berkasih
sayang antara pasangan suami isteri
 Berkah antara pasangan suami dan isteri mewarisi
harta antara satu sama lain apabila mati salah
seorang
 Untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia
serta pembentukan jiwa yang sah di sisi syara‘
 Menghubungkan tali persaudaraan sesama Islam
 Mengukuhkan ekonomi bagi pasangan yang
bekerja
 Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan,
bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi
mereka.
 Pacaran berarti “bergendak” yang sama artinya
dengan berkencan atau berpasangan untuk
berzina.
 Pacaran berarti berteman dan saling menjajaki
kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami
atau istri.
(lihat Purwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia,
1976)
 Pacaran menurut arti pertama dan kedua jelas
dilarang oleh agama Islam
 Hal ini didasarkan pada:

‫سا َء‬ ‫و‬ ً


َ َ ‫شة‬ ِّ َ‫ان ف‬
َ ‫اح‬ َ ‫الزنَا ِّإنهُ َك‬
ِّ ‫وا‬ُ ‫ب‬ ‫ر‬ ْ
َ َ ‫َوالَ ت‬
‫ق‬
)32 :‫س ِّبيالً ( اإلسراء‬ َ
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”
ُ‫ع ْنهُ أَنه‬َ ُ‫ضي هللا‬ ِّ ‫اس َر‬ ٍ ‫عب‬َ ‫ع ِّن اب ِّْن‬ َ
َ ‫علَ ْي ِّه َو‬
‫سل َم يَقُو ُل‬ َ ُ‫صلى هللا‬ َ ‫س ِّم َع الن ِّبي‬َ
‫سا ِّف َرن‬َُ ‫الَ يَ ْخلُ َون َر ُج ٌل ِّبا ْم َرأ َ ٍة َوالَ ت‬
‫ْام َرأَة ٌ ِّإال َو َمعَ َها َم ْح َر ٌم ( رواه‬
)2391 :‫ مسلم‬,2784 :‫البخاري‬
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw
berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki
berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada
 Sedangkan arti yang ketiga perlu mendapat
penjelasan sebagai berikut:
 Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah
dengan arti bahwa suatu perbuatan yang
sangat dianjurkan oleh Rasulullah agar kaum
muslimin melakukannya. Orang yang anti
perkawinan dicela oleh Rasulullah
 Pada umumnya suatu perkawinan terjadi
setelah melalui beberapa proses, yaitu proses
sebelum terjadi akad nikah, proses akad nikah
dan proses setelah terjadi akad nikah
 Proses sebelum terjadi akad nikah melalui
beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, tahap
peminangan dan tahap pertunangan
 Rasulullah memerintahkan agar pihak-pihak
yang melakukan perkawinan melihat atau
mengetahui calon jodoh yang akan
dinikahinya, berdasarkan hadits:

‫ار ِّإلَى‬
ِّ ‫ص‬ َ ‫ع ْن أ َ ِّبي ُه َري َْرة َ قَا َل َجا َء َر ُج ٌل ِّم َن اْأل َ ْن‬ َ
‫سل َم فَقَا َل ِّإنِّي‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬
َ ُ‫صلى هللا‬ َ ‫هللا‬ ِّ ‫سو ِّل‬ ُ ‫َر‬
‫سل َم‬َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ ُ‫صلى هللا‬ َ ‫ت ْام َرأَة ً فَقَا َل الن ِّبي‬ ُ ‫تَزَ و ْج‬
( ‫ش ْيئ ًا‬
َ ‫ار‬ ِّ ‫ص‬َ ‫ت ِّإلَ ْي َها فَإِّن فِّي أ َ ْعيُ ِّن اْأل َ ْن‬ َ َ‫أَالَ ن‬
َ ‫ظ ْر‬
)‫ إبن ماجه و الترمذي‬,3194 :‫رواه النسائ‬
 Penjajakan ini mungkin dilakukan oleh pihak laki-laki
atau pihak perempuan atau keluarga mereka. Jika
dalam penjajakan ini ada pihak yang diabaikan
terutama calon isteri atau calon suami maka yang
bersangkutan boleh membatalkan pinangan akan
perkawinan tersebut, berdasarkan hadits:

‫صلى‬
َ ‫ي‬ ‫ب‬
ِّ ‫الن‬ ‫ت‬
ِّ َ ‫ت‬َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ر‬
ً ‫ك‬ ْ ‫ب‬
ِّ ً ‫ة‬ َ ‫ي‬ ‫ار‬
ِّ ‫ج‬
َ ‫ن‬ َ ‫اس أ‬ ٍ ‫عب‬ َ ‫ع ِّن اب ِّْن‬ َ
‫ي‬ ‫ه‬
ِّ
َ َ َ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ج‬َ ‫و‬ َ‫ز‬ ‫ا‬ ‫ه‬
َ ‫ا‬َ ‫ب‬ َ ‫أ‬ ‫ن‬ َ ‫أ‬ ْ
‫ت‬ ‫ر‬
َ َ
‫ك‬ َ
‫ذ‬ َ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬
َ َ ‫عل‬
َ ‫و‬ ‫ه‬
ِّ ‫ي‬
ْ َ َ ُ‫هللا‬
( ‫سل َم‬
َ َ ‫و‬ ‫ه‬
ِّ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫هللا‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫ي‬ ‫ب‬
ِّ ‫الن‬ ‫ا‬‫ه‬َ ‫ر‬ َ ‫َي‬‫خ‬َ ‫ف‬ ٌ ِّ ‫َك‬
‫ار َهة‬
‫ إبن‬,2340 :‫ أحمد‬,1794 :‫رواه أبوداود‬
)1865 :‫ماجه‬
“Dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya jariah seorang gadis datang
menghadap rasulullah saw dan menyampaikan bahwa bapaknya telah
mengawinkannya dengan seorang laki-laki, sedang ia tidak
menyukainya. Maka Rsulullah saw menyuruhnya untuk memilih
(apakah menerima atau tidak)”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah
dan ad-Daraquthni)
 Masa penjajakan ini dapat disamakan dengan
masa pacaran menurut pengertian ketiga di atas.
Setelah masa pacaran dilanjutkan dengan masa
meminang, jika peminangan diterima maka jarak
antara masa peminangan dan masa pelaksanaan
akad nikah disebut masa pertunangan
 Pada masa pertunangan ini masing-masing pihak
harus menjaga diri mereka masing-masing karena
hukum hubungan mereka sama dengan hubungan
orang-orang yang belum terikat dengan akad
nikah
 Pada masa pacaran atau masa pertunangan antara
mereka yang bertunangan dan pacaran adalah
seperti hubungan orang-orang yang tidak ada
hubungan mahram atau belum melaksanakan
akad nikah, karena itu mereka harus:
1. Memelihara matanya agar tidak melihat aurat
pacar atau tunangannya, begitu pula wanita atau
laki-laki yang lain. Melihat saja dilarang tentu
lebih dilarang lagi meraba, dan seterusnya
2. Memelihara kehormatannya atau kemaluannya
agar tidak mendekati perbuatan zina
 Untuk menjaga diri selama pertunangan dianjurkan sering
melakukan puasa-puasa sunat agar tidak tergoda melakukan
perbuatan yang dilarang. Hal ini karena melakukan puasa itu
merupakan perisai baginya. Hal diatas dipahami dari hadits:

‫صلى‬ َ ‫هللا‬ ِّ ‫سو ُل‬ ُ ‫هللا قَا َل قَا َل لَنَا َر‬ِّ ‫ع ْب ِّد‬َ ‫ع ْن‬ َ
‫ب َم ِّن‬ِّ ‫سل َم يَا َم ْعش ََر الشبَا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬
َ ُ‫هللا‬
‫ع ِّم ْن ُك ُم ْالبَا َءة َ فَ ْليَتَزَ و ْج فَإِّنهُ أَغَض‬ َ ‫طا‬ َ َ ‫ا ْست‬
‫ص ُن ِّل ْلفَ ْرجِّ َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َ ِّط ْع‬
َ ‫ح‬
ْ َ ‫أ‬‫و‬َ ِّ َ َ ‫ِّل‬
‫ر‬ ‫ص‬ ‫ب‬ ْ
‫ل‬
:‫فَعَلَ ْي ِّه ِّبالص ْو ِّم فَإِّنهُ لَهُ ِّو َجا ٌء * (رواه مسلم‬
)1772 :‫ البخاري‬,2486
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw mengatakan kepada
kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah
sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka
sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan
dan memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup
MENIKAHI
WANITA HAMIL
 Boleh mengawini perempuan yang sedang
hamil yang tidak mempunyai suami, apakah
yang mengawini laki-laki penyebab kehamilan
itu atau bukan, asal lengkap rukun-rukun dan
syarat-syaratnya
 Alasan mereka ialah tidak ada nash (al-Qur’an
dan al-Hadits) yang melarangnya, atau dengan
kata lain bahwa perempuan hamil tidak
termasuk dalam kategori perempuan yang
terhalang seorang laki-laki mengawininya
 Perempuan hamil tidak boleh dikawini kecuali
oleh laki-laki yang menyebabkan
kehamilannya atau oleh bekas suaminya
 Hal ini dengan mengqiaskannya kepada
perkawinan (rujuk) bekas suami dengan bekas
istrinya yang sedang hamil yang sedang dalam
masa iddah. Laki-laki yang menghamili
perempuan itu dapat disamakan dengan laki-
laki yang merujuki istrinya dalam keadaan
hamil
 Perempuan yang dalam keadaan hamil dapat
disamakan dengan wanita yang dalam iddah
karena hamil, demikian pula sperma yang
dikandung oleh kedua perempuan yang sedang
hamil itu adalah sperma dari laki-laki yang
menyebabkan kehamilannya, sehingga faraj kedua
wanita itu adalah tempat menyemaikan benih dari
kedua laki-laki itu
 Faraj perempuan yang sedang ditaburi benih
seorang laki-laki tidak boleh ditaburi benih laki-
laki lain, berdasar sabda Nabi SAW: “Diriwayatkan
dari Ruwaifi‘ ibn Tsabit al-Anshariy, ia berkata: Aku
pernah bersama Nabi saw padaperang Hunain, beliau
berdiri di antara kami dan berpidato: Dilarang
seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat
menumpahkan airnya (maninya) di atas kebun orang
lain …” [HR. Ahmad]
 Urutan wali itu sebagai berikut:
1. Bapak, kakek dan seterusnya keatas
2. Saudara laki-laki sekandung, atau
seayah
3. Saudara bapak laki-laki sekandung
atau seayah
4. Anak dari saudara bapak laki-laki
sekandung atau seayah
 Jika nomor 1 – no 4 tidak ada, maka yang menjadi
wali adalah wali hakim, yaitu wali yang diangkat
oleh pemerintah, berdasarkan hadis:
“ Dari ‘Aisyah ra ia berkata, bersabda Rasulullah
saw:”Wanita manapun yang melakukan akad nikah
tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka
nikahnya batal. Jika dalam pernikahannya (yang batal
itu) terjadi dukhul, maka wanita itu berhak mendapat
mahar karena penghalalan farajnya. Jika terjadi
perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan maka
pemerintah (wali hakim) menjadi wali wanita yang
tiadak mempunyai wali” (Ditakhrijkan oleh imam
hadis yang empat kecuali an-Nasa’I dan dinyatakn
shahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-
Hakim)
 Anak yang lahir diluar nikah nasabnya
dihubungkan kepada ibunya, berdasarkan hadis:
“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya
berkata Rasulullah saw telah menetapkan pada anak
dari suami isteri yang telah melakukan li’an mewarisi
ibunya dan ibunya mewarisinya dan siapa yang
menuduh isterinya berzina (tanpa bukti) dijilid 80 kali”
(HR. Ahmad)
 Berdasarkan hadis diatas dapat ditetapkan bahwa
anak yang lahir diluar nikah yang sah, maka
nasabnya dihubungkan kepada ibunya. Hal ini
berarti bahwa anak perempuan yang lahir diluar
nikah yang sah tidak mempunyai wali nasab. Bagi
perempuan yang tidak mempunyai wali nasab,
maka yang menikahkannya adalah wali hakim

Anda mungkin juga menyukai