Anda di halaman 1dari 23

ANGIOEDEM

Nama : Muh. Rifaldi T


No. Stambuk : N 111 17 148
Pembimbing : dr. Amtsyar Praja, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas


vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa.(1-6) Istilah
lainnya seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema.(1)
Angioedem adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi pada lapisan kulit
yang lebih dalam yang ditandai dengan adanya pembengkakan jaringan. Rasa gatal
tidak lazim pada angioedem, lebih sering disertai rasa terbakar. Angioedem dapat
terjadi di bagian tubuh manapun, namun paling sering ditemukan di bagian periorbital,
perioral, lidah, genital,dan ekstremitas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi :

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh


meningkatnya permeabilitas vaskular pada jaringan
subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa
Epidemiologi :
 Di Amerika Serikat, angioedema (tidak termasuk angioedema herediter
[HAE] dan angioedema yang didapat [AAE]) terjadi pada 10-20% populasi
pada beberapa waktu dalam kehidupan.
 Mayoritas angioedema kronik adalah idiopatik. Diperkirakan prevalensi
HAE sebanyak 1 per 10.000-150.000 orang.
 Angioedema dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Orang-orang dengan
predisposisi untuk terjadinya angioedema mengalami peningkatan
frekuensi serangan setelah dewasa dan insidensi puncaknya terjadi pada
dekade ketiga.
Etiologi
PATOGENESIS

Urtikaria dan angioedema timbul akibat adanya mediator vasoaktif seperti


histamin, leukotrien, dan prostaglandin yang lepas dari sel mast. Namun, urtikaria terjadi
pada daerah superfisial kulit, sementara angioedema terjadi pada struktur kulit yang lebih
dalam atau subkutis. Histamin akan menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah di daerah kulit yang mengakibatkan timbulnya edema,
eritema, dan rasa gatal. Respons fase lambat pada kulit akan mengakibatkan indurasi dan
eritema pada 1-2 jam, dengan puncak 6-12 jam, dan menetap sampai 24 jam setelah
degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast yang dimediasi oleh immunoglobulin E akibat
pajanan terhadap suatu alergen menjadi sebagian penyebab dari urtikaria/angioedema
pada anak. Namun, terdapat mekanisme lain yang dapat menyebabkan degranulasi sel
mast tanpa pajanan suatu alergen atau tanpa dimediasi immunoglobulin E. Berbagai hal
dapat menyebabkan degranulasi sel mast secara langsung seperti infeksi, anafilatoksin,
stimulus fisik, dan beberapa jenis obat. Penyakit autoimun juga dapat disertai urtikaria
kronik
Klasifikasi
Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema, pseudoallergic
angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema

1. Allergic angioedema
 Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering disebabkan oleh
alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic angioedema,
 41.7% kasus disebabkan oleh makanan,
 39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh binatang,
 sekitar 10.4% dipengaruhi oleh aeroalergen

 Makanan yang paling sering mencetuskan angioedema adalah makanan laut


(70%). Sedangkan obat-obatan yang diduga menjadi penyebab angioedema
adalah antibiotik (12 dari 19 kasus; 63.2%), paling sering amoxisilin (3 dari 12
kasus; 25%).
2. Pseudoallergic angioedema
 Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas IgE.
Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergic angioedema.
Contohnya angioedema yang diinduksi oleh penggunaan NSAIDs seperti
aspirin
 Obat-obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen
(57%), aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen
(4.8%) dan meloxicam (4.8%).(
 terjadi akibat blokade jalur pembentukan prostaglandin oleh penggunaan obat-
obatan seperti aspirin dan NSAIDs lainnya. Sehingga terjadi akumulasi
leukotrien vasoaktif
3. Non-allergic angioedema
Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak melibatkan IgE atau
histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya urtikaria, termasuk
diantaranya
a. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))
Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:
 Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang diturunkan
secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen sehingga terjadi supresi
C1-inhibitor sebagai akibat sekresi abnormal ataupun degradasi
intraseluler.(2)
 Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga diturunkan
yang ditandai dengan mutasi yang menyebabkan pembentukan protein
yang abnormal. Kadar protein C1-inhibitor bisa normal atau meningkat
Angioedema herediter

Angioedema menghilang dalam


Edema berat yang terjadi di daerah beberapa jam, tampak wajah kembali
wajah normal
b. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))
Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I berkaitan
dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang berhubungan
dengan penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2 merupakan kelainan
autoimun, yaitu adanya produksi autoantibody IgG terhadap C1-inhibitor.(2)
c. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced angioedema
(AIIA)
Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACE-inhibitor
sekitar 0.1% sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan kepala dan leher,
termasuk mulut, lidah, faring, dan laring.) Kebanyakan AIIA muncul pada
minggu pertama setelah pengobatan dimulai, hanya sekitar 30% kasus AIIA
muncul setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah dimulainya
terapi
Diagnosis

 Diagnosis urtikaria dan angioedema secara umum adalah melalui anamnesis


dan pemeriksaan fisis yang cermat. Anamnesis harus meliputi meliputi
onset, frekuensi, lama urtikaria/angioedema, bentuk, ukuran, distribusi
urtikaria, gejala subyektif seperti gatal, nyeri yang menyertai urtikaria, dan
ditanyakan mengenai kemungkinan pencetus (makanan, obat, infeksi,
aktivitas, gigitan serangga, faktor fisik seperti suhu dingin, panas, tekanan),
dan riwayat atopi pada keluarga atau pasien.
 Pemeriksaan fisis secara menyeluruh harus dilakukan untuk mengetahui
adanya tanda kegawatdaruratan seperti anafilaksis atau edema pada laring
dan juga untuk menyingkirkan penyakit lain yang mungkin mendasari
terjadinya urtikaria. Uji dermatografism juga dapat dilakukan saat
pemeriksaan fisis
Pemeriksaan
1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin
2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu
untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4. Tes kulit,
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik,
7. Suntikan mecholyl intradermal
8. Tes dengan es (ice cube test).
9. Tes dengan air hangat.(3)
Tatalaksana

Pengobatan angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa dan non-


medikamentosa
a. Non-medikamentosa
• menghindari penyebab yang dicurigai
b. Medikamentosa
First line therapies
• Antihistamin ( hydroxyzine, diphenhydramine, dan cyproheptadine.
Hydroxyzine)
• Hydroxyzine juga dapat dikombinasi dengan antihistamin long-
acting seperti chlorpheniramine maleate. Chlorpheniramine atau
diphenhydramine seringkali diberikan pada wanita hamil karena
lebih aman, tetapi pemberian cetirizine, loratidine, dan mizolastine
sebaiknya dihindari
Tatalaksana
a. NON medikamentosa :
identifikasi penyebab dan menghindarinya.

b. Medikamentosa :
 Antihistmin H1 generasi kedua karena mempunyai efek
samping yang lebih sedikit. Pada kasus urtikaria yang sulit
ditangani maka dapat dikombinasi antihistamin H1 generasi
pertama, antihistamin H1 generasi gerenasi kedua.
Jika memenuhi kriteria anafilaktik berikan :
 Epinefrin atau adrenalin di paha daerah mid anterolateral dengan
dosis 0,01 mg/kg BB. Dosis ini dapat diulang setiap 5-15 menit
 Antihistamin H1 seperti difenhidramin dapat diberikan secara
intravena dengan dosis 1,25 mg/kgBB/kali, maksimal 50 mg/dosis.
Antihistamin H2, seperti ranitidin (0,5-1 mg/kg/kali) dapat
diberikan intravena. Kortikosteroid (metilprednisolon) dapat
diberikan 1-2 mg/kg/hari.
Second line therapies
a. Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas antihistamin
yang kuat, dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat berguna pada pasien
yang sering merasa cemas di malam hari.(5)
b. Pemberian kortikosteroid sistemik oral
c. Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang menyebabkan
angioedema orofaring-laring, diberikan epinefrin. Epinefrin bekerja secara
cepat dengan menstimulasi β-adrenoreceptor sehingga terjadi
vasokonstriksi dan stabilisasi mast cell)
 Efek samping epinefrin adalah takikardi, kecemasan, dan sakit kepala.
Oleh karena itu, penggunaannya harus berhati-hati
Pada angioedema herediter, pemberian kortikosteroid,
antihistamin, dan norepinefrin tidak memiliki efek. Pada
serangan yang bersifat akut, diberikan plasma C1-esterase
inhibitor. Jika tidak tersedia, dapat diberikan infus dengan
fresh frozen plasma 500-2000 ml. Untuk tindakan profilaksis,
bisa diberikan Androgen (Danzol 200-600 mg/hari),
KOMPLIKASI

 Normalnya tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal yang


ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan
menyebabkan depresi. Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada
laring merupakan komplikasi paling serius, bisa menyebabkan
asfiksia, dan edema pada trakeobronkial bisa menyebabkan asma
PROGNOSIS

 Prognosis angioedem akut baik, karena penyebabnya dapat


diketahui denganmudah, untuk selanjutnya dihindari.
Angioedem kronik membutuhkan penanganan yang lebih
serius untuk mencari penyebab dan menemukan
pengobatannya
Terima
kasih

Anda mungkin juga menyukai