Anda di halaman 1dari 9

Pendidikan Pancasila

Nama : ALPIN SARI


Kerusuhan Poso (bahasa Inggris: Poso riots) atau
konflik komunal Poso (bahasa Inggris: Poso
communal conflict), adalah sebutan bagi serangkaian
kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah,
Indonesia. Peristiwa ini melibatkan kelompok Muslim
dan Kristen. Kerusuhan ini umumnya terbagi menjadi
beberapa fase. Fase pertama berlangsung pada bulan
Desember 1998, kemudian berlanjut pada bulan April
2000, dan yang terbesar terjadi pada bulan Mei hingga
Juni 2000.

Fase pertama dan kedua berawal dari serangkaian bentrokan antara


kelompok pemuda Islam dan Kristen. Beberapa faktor
berkontribusi terhadap pecahnya kekerasan, termasuk persaingan
ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas Kristen dan
para pendatang seperti pedagang Bugis Muslim dan transmigran
dari Jawa, ketidakstabilan politik dan ekonomi menyusul jatuhnya
Orde Baru, persaingan antarpejabat pemerintah mengenai posisi
birokrasi, dan pembagian kekuasaan daerah antara pihak Kristen
dan Islam.
LANJUTAN
Bulan Mei menandai dimulainya fase ketiga, yang
secara luas dipandang sebagai periode kekerasan
terburuk dalam hal kerusakan dan jumlah korban.
Fase ini merupakan ajang balas dendam oleh
kelompok Kristen setelah dua fase sebelumnya yang
sebagian besar didominasi oleh serangan dari pihak
Muslim, dan berlangsung sampai bulan Juli 2000.
Fase ketiga ini memuncak dalam sebuah peristiwa
pembantaian di sebuah pesantren yang terjadi di Desa
Sintuwu Lemba yang mayoritas penduduknya Islam.

Sulawesi Tengah adalah sebuah provinsi yang didominasi dataran


tinggi, yang terletak di antara wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Utara di pulau Sulawesi. Poso adalah salah satu dari delapan
kabupaten —kabupaten lain baru berdiri setelah tahun 2002— di
provinsi ini. Ibu kota kabupaten Poso (kota Poso) terletak di teluk,
sekitar enam jam perjalanan sebelah tenggara dari ibu kota provinsi
Palu. Kabupaten Poso memiliki populasi mayoritas Muslim di kota
dan desa-desa pesisir, dan masyarakat adat mayoritas Kristen di
dataran tinggi. Selain penduduk Muslim asli, ada banyak pendatang
dari Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis, dan juga dari daerah
Gorontalo di utara
Kerusuhan Poso I
Fase pertama termasuk singkat dan terbatas pada beberapa
lingkungan di kota Poso, meskipun iring-iringan truk yang
mengangkut kelompok tertentu dari daerah lain bergabung
dalam keributan. Para pendukung teori provokator
menunjukkan bahwa kekerasan dimulai tepat setelah
pengumuman Arief Patanga pada tanggal 13 Desember
1998, yang menyatakan bahwa dirinya tidak akan
mengikuti pemilihan ulang sebagai Bupati Poso, sekaligus
membuka peluang bagi sejumlah kandidat yang ambisius.
Sebab khusu
Pada malam Natal tanggal 24 Desember 1998, yang secara kebetulan bertepatan dengan
bulan Ramadan, seorang pemuda yang berasal dari kelurahan mayoritas Protestan di
Lombogia bernama Roy Runtu Bisalemba menikam Ahmad Ridwan, seorang pemuda
Muslim dari kelurahan Kayamanya. Informasi yang beredar di pihak Kristen menyebutkan
bahwa Ridwan melarikan diri ke masjid setelah ditikam. Sedangkan versi Muslim
menggambarkannya sebagai serangan terhadap seorang pemuda Muslim yang tertidur di
halaman masjid, dan dalam beberapa versi menyebutkan bahwa korban sedang shalat atau
bahkan menjadi imam. Para tokoh dan pemuka agama dari kedua belah pihak kemudian
bertemu, dan menyepakati bahwa alkohol-lah yang merupakan sumber masalah dan setuju
untuk melarangnya selama bulan Ramadan. Polres Poso berikutnya mulai menyita ribuan
minuman keras untuk kemudian dihancurkan.
Kerusuhan Poso II
Setelah lebih dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan
hukum pada bulan April 2000 menimbulkan ketegangan.[10] Fase kedua
berlanjut di sepanjang garis pertempuran yang sama dengan fase pertama,
kali ini wilayah Kristen yang menderita kerusakan. Persidangan saudara
mantan bupati Agfar Patanga telah dimulai. Dalam persidangan korupsi
lainnya, seorang pengusaha lokal bernama Aliansa Tompo didakwa telah
menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan (Kredit Usaha Tani,
KUT). Ada desas-desus bahwa sebagian dari uang ini digunakan untuk
menyewa massa untuk menyerang gedung pengadilan dan membakar
dokumen-dokumen perihal keterlibatannya, yang memaksa penangguhan
kedua kasus tersebut. Pengadilan Patanga kemudian kembali diadakan di
Palu
Bentrokan April-Mei
Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengklaim
telah diserang oleh sekelompok pemuda Kristen, dan
menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti. Pihak Islam
membalas, dan pertarungan antara pemuda-pemuda dari
kelurahan mayoritas Kristen Lombogia dan para pemuda
Islam dari kelurahan Kayamanya dan Sayo meningkat
menjadi kekerasan yang meluas. Selama beberapa hari
berikutnya, rumah-rumah yang dimiliki umat Kristen Poso
di dekat terminal bus dan di Lombogia dibakar. Peristiwa ini
memaksa Kapolres Poso saat itu untuk mendatangkan
pasukan Brigade Mobil (BRIMOB) dari Palu.
Lanjutan…..
Kedatangan BRIMOB
Pada tanggal 17 April, anggota BRIMOB secara tidak sengaja
menembaki kerumunan massa, menewaskan Mohammad Yusni
(23) dan Yanto (13) dan melukai delapan orang Muslim lainnya,
termasuk seorang pria bernama Rozal Machmud yang
dilaporkan meninggal kemudian karena luka-lukanya. Setelah
penguburan korban pada siang yang sama, Muslim yang marah
menyerang Lombogia dan membakar rumah, gereja, dan sekolah
Gubernur meminta masyarakat Kristen Poso,
Keesokan harinya, Gubernur Paliudju mengunjungi Poso dan
yang banyak di antaranya telah melarikan diri ke
disambut oleh sekelompok Muslim yang dipimpin oleh
Tentena atau bukit-bukit di sekitar kota Poso,
pengusaha dan tersangka penipuan Aliansa Tompo. Mereka
untuk tidak membalas dendam namun
menuntut agar Ladjalani menerima posisi sekwilda, agar kasus
menyerahkannya kepada Tuhan. Polisi
melawan Agfar Patanga ditutup, agar Kapolres dipecat, dan agar
mengumumkan tahap kedua selesai pada tanggal
pasukan BRIMOB dikirim kembali ke Palu
3 Mei 2000.[14] Selama fase kedua, kedua belah
pihak mulai menggunakan ikat kepala berwarna
dan ban lengan untuk membedakan diri. Para
pejuang Kristen dikenal sebagai pasukan merah
atau kelompok merah, dan kelompok Islam
sebagai pasukan putih atau kelompok putih.
Meskipun pentingnya agama tidak boleh
diabaikan, kedua kelompok ini juga mengatur
jalur sosial, etnis, dan ekonomi, dan dengan
demikian istilah pejuang Protestan atau Muslim
berisiko terlalu menyederhanakan konflik.
Kerusuhan Poso III
Baru tiga minggu sejak fase kedua selesai, fase ketiga —
yang menurut beberapa pengamat, merupakan yang
terbesar dan terparah— dimulai. Periode ini didominasi
oleh gelombang serangan balasan oleh kelompok merah
Kristen terhadap warga Muslim. Di samping bentrokan
langsung dengan kelompok putih Islam, ada juga
penculikan dan pembunuhan orang-orang yang tidak
berkepentingan. Hasil wawancara yang dilakukan Human
Rights Watch mengonfirmasi bahwa para migran dari
Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang umumnya menjadi
korban atas tindakan tersebut, namun kelompok etnis dan
suku lainnya juga menderita.
Pembalasan dendam
Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan bertopeng ala
ninja membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali, dan
dua warga sipil Muslim, yang masing-masing bernama Abdul
Syukur dan Baba. Kelompok ninja ini kemudian dilaporkan
bersembunyi di sebuah gereja Katolik di Kelurahan Moengko.
Kelompok tersebut, termasuk Tibo, mulai bernegosiasi dengan
polisi untuk menyerah. Kerumunan warga Muslim mulai berkumpul
di depan gereja, dan bukannya menyerahkan diri, Tibo serta yang
lainnya justru melarikan diri ke perbukitan di belakang kompleks
gereja. Gereja tersebut dibakar pada pukul 10.00 pagi dan
pertempuran terjadi di seluruh kota, yang paling parah di Sayo,
dimana sepuluh orang terluka terkena panah dan lemparan batu.
Lanjutan…..
Meluasnya pertempuran
Pada tanggal 28 Mei, serangan meluas terhadap warga Islam
terjadi di beberapa desa di kabupaten ini. Dalam sebuah
Korban jiwa peristiwa yang paling terkenal, sekelompok orang Kristen —
Meski demikian, Human Rights Watch beberapa sumber menyebut bahwa Tibo dan kelompoknya
mencatat bahwa kedua belah pihak telah ikut berpartisipasi— mengelilingi Desa Sintuwu Lemba, yang
menderita banyak korban dalam kerusuhan ini. juga dikenal sebagai Kilo Sembilan. Para wanita dan anak-
Meski ada beberapa perkiraan yang mencapai anak ditangkap dan beberapa di antaranya mengalami
sekitar 2.000 korban jiwa, sebagian besar pelecehan seksual. Sekitar tujuh puluh orang berlari ke
memperkirakan antara 500 hingga 1.000 pesantren terdekat —Pesantren Walisongo— dimana banyak
korban. Versi pemerintah, yang dikeluarkan warga Muslim dibunuh dengan senjata api dan parang, tanpa
pada tanggal 5 Desember 2001 —tepat peduli mereka menyerah atau tidak. Mereka yang kabur,
sebelum penandatanganan Deklarasi Malino— berhasil ditangkap untuk kemudian dieksekusi dan mayatnya
dirinci menjadi 577 korban tewas, 384 terluka, dilemparkan ke Sungai Poso Tiga puluh sembilan mayat
7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum kemudian ditemukan di tiga kuburan massal, meskipun
terbakar atau rusak. Sebuah kelompok sebuah sumber Islam memperkirakan total 191 kematian
Muslim, Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban dalam serangan tersebut.
Muslim Kerusuhan Poso (Victims of the Poso
Conflict Evacuation and Fact Finding Team),
mengklaim bahwa antara bulan Mei 2000
hingga Desember 2001, 840 mayat Muslim
ditemukan, kebanyakan ditemukan di Sungai
Poso dan hutan-hutan di tepi kota. Jumlah
yang tidak diketahui juga dikatakan hilang.
Kebanyakan korban jiwa diperkirakan sampai
pada kerusuhan ketiga, pada bulan Mei dan
Juni 2000.

Anda mungkin juga menyukai