Anda di halaman 1dari 41

CASE REPORT SESSION (CRS)

SNAKE BITE
Pembimbing:
Dr. Dennison Sp. B

Oleh :
Rima Artika Mayanda
G1A218030
PENDAHULUAN
Gigitan ular merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di
negara tropis dan subtropis. Pada tahun 2009, WHO memasukkan gigitan ular
dalam daftar penyakit tropis yang ditelantarkan dan sampai sekarang tetap
sebagai masalah kesehatan masyarakat global. Mayoritas penduduk Indonesia
bekerja dibidang pertanian dianggap sebagai populasi berisiko tinggi untuk
terkena gigitan ular.

Di Indonesia data epidemiologi kasus gigitan ular hanya ada 42 kasus


gigitan ular yang diobati pada antara tahun 2004 dan 2009. Wanita
lebih jarang digigit ular dibandingkan pria, kecuali pekerjaan didominasi
oleh wanita. Anak-anak dan dewasa muda merupakan puncak usia yang
sering digigit ular
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Alamat : RT 11 Desa Sarang Burung
Agama : Islam
Keluhan Utama :
Pasien Datang Dengan Keluhan Tungkai Kiri Terasa Nyeri Setelah Digigit Ular Sejak
± 30 Menit SMRS.

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien mengeluhkan tungkai kiri terasa nyeri, dan kemerahan ± 30 menit
SMRS. Sebelumnya pasien mengatakan kaki kirinya digigit ular saat pasien
sedang membersihkan halaman rumahnya. ± 30 menit SMRS, pasien diberikan
ramuan yang dioleskan ke kaki kirinya oleh keluarganya kemudian pasien
langusng dibawa ke RSUD Raden Mattaher. Keluhan sakit kepala (-),pusing
(+), demam(-), sesak nafas (-), mual (+), muntah (-), kebas pada tungkai kiri
(+). Menurut pasien ular yang menggigit pasien berwarna coklat kehitaman
dan sebesar ibu jari kaki. Pasien mengaku digigit ular kobra.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat digigit ular sebelumnya (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat Pekerjaan dan Sosial
Pasien merupakan seorang petani karet
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluhan yang serupa
(-)
Riwayat DM (-)
PEMERIKSAAN FISIK

Tanda Vital

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis, GCS: 15 E:4 M:6 V: 5
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 70x/menit.
Suhu : 36,2oC.
Respirasi : 20x/menit.

7
Kepala : bentuk simetris, deformitas
Jantung :
Mata : Pupil isokor, Reflek cahaya (+/+), Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera
I : Ictus Cordis terlihat
Ikterik (-/-), edem papelbra (-/-)
P : Ictus Cordis teraba
di ICS V linea Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
midclavicula sinistra Mulut : Bentuk normal, bibir kering (-), gusi berdarah (-)
teraba 2-3 jari Leher : Pembengkakan KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
P : batas atas jantung
ICS II linea
parasternal sinistra
batas kanan bawah Paru :
I : Simetris, tidak ada pergerakan dinding dada tertinggal,j ejas (-)
jantung ICS IV linea
P : pergerakan dinding dada simetris, Fremitus taktil Kanan = Kiri
parasternal dextra
P= Sonor
Batas kiri atas ICS V A : Vesikuler )(+/+), Wheezing (-), Ronki (-)
linea midclavicularis
sinistra
A : BJ I/II reguler,
murmur (-), gallop (-) Abdomen :
I : datar, sikatrik(-), jaringan parut (-)
P : nyeri tekan (-), hati tidak tebaba, limoa tidak teraba, ginjal tidak teraba
P : timpani
A : BU (+) Normal

THE POWER OF POWERPOINT | THEPOPP.COM 8


EKSTREMITAS
Superior Inferior
Edema -/- -/+
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Gerak +/+ +/ +
Kekuatan 5/5 5/5
Tonus N/N N/N
Refleks fisiologis ++/++ ++/++
Refleks patologis -/- -/-
9
STATUS LOKALISATA
Regio Cruralis Anterior Sinistra :
Inspeksi : fang mark (+), edema (+), hiperemis (+)
Palpasi : nyeri tekan tungkai kiri (+), akral hangat, CRT
< 2 detik
Gerakan : gerak aktif dan pasif tidak terbatas
Fang
Mark
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS

Diagnosa Kerja
Tatalaksana
Vulnus Morsum Serpentis Regio Cruralis
oIVFD D5% + SABU 1 vial
Anterior sinistra (5 ml) 20 tpm
• Pemasangan kateter
oSABU 1 vial (5ml) infiltrate (pasien menolak)
luka
• Rencana dirawat (pasien
oInj. Ceftriaxone 1 x 2 gr IV menolak)
oInj. ATS
oBidai kaki SLIDE 12
PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad malam

Quo ad functionam: Dubia ad malam

Quo ad sanationam: Dubia ad malam


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan
gigitan ular berbisa maupun tidak berbisa yang
mengakibatkan luka tusukan yang ditimbulkan oleh
taring ular.
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan setidaknya 421.000
kasus envenomasi (injeksi bisa Sebagian besar perkiraan kejadian
terhadap korban melalui sengatan/ gigitan ular dijumpai di Asia
gigitan oleh hewan berbisa) dan Selatan dan Asia Tenggara, Sub-
20.000 kematian timbul setiap Sahara Afrika, Amerika Tengah dan
tahunnya di seluruh dunia akibat Amerika Selatan.
gigitan ular.

Pengobatan paling sering di


indonesia dengan pengobatan
tradisional
KLASIFIKASI
BERDASARKAN
CARA
MENGIDENTIFI
KASINYA
MORFOLOGI BERDASARKAN
GIGI TARINGNYA
1. Familli Colubridae, pada Ular
umumnya bisa yang dihasilkannya
pohon
bersifat lemah, kebanyakan ular
berbisa masuk dalam famili ini,
misalnya ular pohon, ular sapi Ular
(Zaocys carinatus), ular tali Tali
(Dendrelaphis pictus), ular tikus
atau ular jali (Ptyas korros), dan
ular serasah (Sibynophis
geminatus).
MORFOLOGI BERDASARKAN
GIGI TARINGNYA
2. Famili Elapidae memiliki Ular
taring pendek dan tegak sendok
permanen misalnya ular cabai
(Maticora intestinalis), ular
weling (Bungarus candidus), ular
sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus
hannah), ular welang, ular Ular
anang dan ular cabai.
cabai
MORFOLOGI BERDASARKAN Ular
GIGI TARINGNYA bandotan
3. Familli Crotalidae/ Viperidae memiliki
taring panjang yang secara normal dapat
dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat
ditegakkan bila sedang menyerang
mangsanya. Crotalinae memiliki organ untuk
mendeteksi mangsa berdarah panas (pit
organ), yang terletak di antara lubang hidung
dan mata.misalnya adalah ular bandotan
(Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma
rhodostoma), dan ular hijau dan ular bandotan
Ular
puspo.
tanah
MORFOLOGI BERDASARKAN
GIGI TARINGNYA
4. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut.

Ular
laut
KOMPOSISI VENOM
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa
memiliki lebih dari ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-
90% bisa viperidae dan 25-70% bisa elapidae), toksin
polipeptida non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor
pertumbuhan saraf. Enzim pada bisa ular meliputi hidrolase
digestif, hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator proses
fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa mengandung
L-asam amino oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-
nukleotidase, DNAase, NAD-nukleosidase, fosfolipase A2, dan
peptidase.10
PATOFISIOLOGI
GAMBARAN KLINIS
Gejala Lokal Gejala Sistemik Gejala Khusus

• Edema • Hipotensi • Hematotoksik,


• Nyeri tekan • Kelemahan otot perdarahan di
pada luka • Berkeringat tempat gigitan
gigitan • Menggigil • Neurotoksik,
• Ekimosis dalam • Mual dan muntah hipertonik
30 menit sampai • Hipersalivasi • Kardiotoksik,
24 jam hipotensi, henti
• Nyeri kepala jantung
• Pandangan
kabur
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Anamnesis

• Pada korban pagutan ular perlu ditanyakan kapan pagutan terjadi, jenis ular teurtama
warna dan bentuk dapat sangat membantu mengenalinya dan bahkan bila ular tersebut
dapat ditangkap. Selain itu, pertolongan pertama yang sudah dilakukan.4

Pemeriksaan Fisik

• Terdapat tanda Gigitan ular(fang marks), nyeri lokak, perdarahan lokal, memar, melepuh,
infeksi lokal, dan nekrosis jaringan.
• Nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pusing

Pemeriksaan Penunjang

• Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, elektrolit, waktu perdarahan,


fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar
• Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
• EKG
• Rotngen thorax
DIAGNOSIS BANDING

Trombosis
Vena
bagian
dalam

Luka Syok
Infeksi DD Septik

Trauma
vaskules
ekstremitas
PENATALAKSANAAN
1. Pertolongan pertama
 Tenangkan korban
 Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat
dengan kain dan balut yang ketat
 Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi,
kompres dengan es, ataupun pemberian obat apapun
 Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di
proksimal lesi)
 Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi 3
PERAWATAN DI RUMAH SAKIT
Lakukan pemeriksaan termasuk ABC (airway, breathing,
circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda vital
Beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular
Lakukan pemeriksaan fisik :
Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang
menggigit adalah jenis ular yang tidak berbisa)
TEKNIK PEMBERIAN TERAPI
•Diberikan sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose
5% dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80
tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam.
•Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang
atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam
sampai maksimal (80-100 ml).
•Tidak dianjurkan melakukan injeksi di tempat lesi/ gigitan ular
PEDOMAN TERAPI SABU MENURUT LUCK
 Derajat 0 dan I : tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika
derajat meningkat maka diberikan SABU
 Derajat II : 3-4 vial SABU
 Derajat III : 5-15 vial SABU
 Derajat IV : berikan penambahan 6-8 vial SABU
PROGNOSIS
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian
dan keadaan yang berat, sehingga perlu pemberian
antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala. Ekstremitas
atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada
umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi normal, dan
hanya pada kasus-kasus tertentu memerlukan skin graft.
BAB IV
ANALISIS KASUS
TEORI:
KASUS : Gejala lokal
Dari anamnesis didapatkan tungkai kiri • Edema
terasa sakit, bengkak, dan kemerahan • Nyeri tekan pada luka gigitan
serta kebas setelah di gigit ular.± 30 • Ekimosis dalam 30 menit sampai 24 jam
menit SMRS. pasien diberikan ramuan
yang dioleskan ke kaki kirinya oleh
keluarganya kemudian pasien langusng Gejala sistemik
dibawa ke RSUD Raden Mattaher. • Hipotensi
Keluhan sakit kepala (-),pusing (+),
• Kelemahan otot
demam (-), sesak nafas (-), mual (+),
muntah (-), kebas pada kaki kiri (+). • Berkeringat
Menurut pasien ular yang menggigit • Menggigil
pasien berwarna coklat kehitaman dan • Mual dan muntah
sebesar ibu jari kaki. Pasien mengaku
digigit ular kobra • Hipersalivasi
• Nyeri kepala
• Pandangan kabur
KASUS
Pemeriksaan fisik: Teori :

Regio Cruralis Anterior sinistra:  Terdapat tanda Gigitan ular(fang


marks), nyeri lokak, perdarahan
Inspeksi : fang mark (+), edema (+), hiperemis (+) lokal, memar, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan.
Palpasi : nyeri tekan tungkai kiri (+) , akral
hangat, CRT < 2 detik  Nafas menjadi cepat, tangan dan
kaki menjadi kaku, dan kepala
Gerakan : gerak aktif dan pasif tidak terbatas
menjadi pusing
KASUS
TEORI:
Tatalaksana
• Menghalangi memperlambat absorbsi
• IVFD D5% + SABU 1 vial (5 ml) 20 tpm bisa ular
• SABU 1 vial (5ml) infiltrate luka • Menetralkan bisa ular yang telah
• Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr IV masuk ke dalam sirkulasi darah
• Inj ATS 1500 IU • Mengatasi efek lokal dan sistemik.
• Bidai kaki • Antibiotik sebagai terapi profilaksis.
KESIMPULAN
Snake bite dapat terjadi kapan saja. Gigitan ular tersebut dapat
berbisa dan tidak berbisa. Gigitan ular yang berbisa mengandung
lebih dari 90 % protein. Setiap racun mengandung lebih dari seratus
protein yang berbeda, enzim (yang merupakan 80-90 % dari viperid
dan 25-70 % dari racun elapid), racun polipeptida non-enzimatik,
dan tidak beracun protein seperti faktor pertumbuhan saraf.
Kandungan bisa ular ini lah yang nanti akan menyebabkan gejala
lokal, gejala sistemik dan gejala khusus. Maka dari itu pecegahan dari
penyebaran bisa ular serta penatalaksanaan yang tepat perlu
dilakukan untuk mendapatkan prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pratama GY, Oktafany. 2017. Gigitan Ular pada Regio Manus Sinistra. Volume 7, Nomor 1, J Medula Unila. Fakultas
Kedokteran, Universitas Lampung.
2. Adiwinata R, Nelwan EJ. 2015. Snakebite in Indonesia. Acta Medica Indonesiana. hlm. 358-365.
3. Alirol E, Sharma SK, Bawaskar HS, Kuch U, Chappuis F. Snake bite in South Asia: a review. PLOS Neglected Tropical Disease.
2010;4(1):603.
4. Warrel DA. Guidelines for the management of snake-bites. New Delhi: World Health Organization - Regional Office for South-
East Asia; 2010.
5. Simpson ID, Norris RL. Snakes of medical importance in India: is the concept of the “Big 4” still relevant and useful? Wilderness
Environ Med. 2007; 18(1):2-9.
6. Niasari N, Latief A. Gigitan ular berbisa. Sari Pediatri. 2003; 5(3):92-8.
7. Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM. 2012. Penatalaksanaan keracunan akibat gigitan ular berbisa. Jakarta: Badan
POM.
8. World Health Organization. Guidelines for the prevention and clinical management of snakebite in Africa. Jenewa: World Health
Organization; 2005.
9. Gde Putra Semara Jaya, I Putu Agus Surya Panji. 2016. Tatalaksana Gigitan Ular Yang Disertai Sindrom Kompartemen Di Ruang
Terapi Intensif. Volume 51 Nomor 02 Mei. Universitas Udayana. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
10. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, Premaratna R, et al. (2009) The global
burden of snakebite: A literature analysis and modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS Med
5(11):e218
11. Thomas L, Tyburn B, Bucher B, Pecout F, Ketterle J, Rieux D, dkk. Prevention of thromboses in
human patients with bothrops and anceolatus envenoming in martinique: Fail- ure of
anticoagulants and efficacy of a monospecific antivenom. Am J Trop Med Hyg 1995; 52:419-
26
12. Young BA, Zatin K. Venom flow in rattlesnake: mechan- ics and metering. J of Exp Biol 2001;
204:4345-51
13. Snyder CC, Mayer TA. Animal, snake, and insect bite. Dalam: Matlak ME, Nixon GW, Walker
ML, penyunting. Emergency management of pediatric trauma. Edisi ke-1. Philadelphia: WB
Saunders Company. 1985. h. 466-483
14. Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I. (2011) Haemostatically active proteins in snake venoms.Toxicon
57:627-645.
15. Boechat ALR, Paiva CS, Franca FO, Dos-Santos MC. Heparin-antivenom association: differential
neutraliza- tion effectiveness in bothrops atrox and bothrops erythromelas envenoming. Rev Inst
Med trop S Paulo 2001; 43:1-16
16. Sudoyo, A.W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
17. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
18. Holve S. Envenomation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pedi- atrics. Edisi ke-16. Philadelphia:WB Saunders com- pany, 2000. h. 2174-8.

Anda mungkin juga menyukai