Anda di halaman 1dari 49

Revitalisasi Daluwang

(Kertas Tradisional Nusantara)

Asep Yudha Wirajaya, S.S., M.A.


Latar Belakang #1

 Jika: di Jepang ada washi, di Korea ada hanji, dan di Mesir ada
papyrus, maka di Indonesia ada daluwang sebagai kertas khas
Nusantara.
 Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa serat kayu daluwang
tergolong dalam pohon paper mulberry adalah serat yang paling
bagus sebagai media tulis  ada POTENSI u/ dikembangkan sbg
media ESTETIK/SENI & bahan dasar TALI.
 Dalam konteks dunia pernaskahan, serat murni daluwang kini banyak
digunakan di berbagai pusat restorasi dan pengarsipan di dunia 
karena proses pembuatannya  BEBAS ASAM  mampu BERTAHAN
LAMA  UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH ( + 1400 M ) & Kozo
(sebutan kertas daluwang di Jepang  mampu bertahan selama 1300
Latar Belakang #2

 Berdasarkan penelitian Permadi (2012), pohon ini mulai langka di


Indonesia pada tahun 1960-an & dianggap PUNAH  dianggap KURANG
MEMILIKI NILAI EKONOMIS ( diganti Pinus & Jati)
 Hal ini seiring dengan berkurangnya jumlah pelaku/pengrajinnya  krn
tidak ada REGENERASI.
 Sebagai perbandingan, di Thailand, daluwang ditetapkan sebagai tanaman
ibu suri. Bahkan di Jepang, daluwang dibudidayakan dengan baik, dan
perajin kertas tradisionalnya (kozo) disubsidi negara (Permadi, 2012).
 Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejarah kegiatan penulisan
di Nusantara, khususnya Jawa dan Madura dengan mempelajari ciri-ciri
skriptorium yang ditemukan sehingga dapat meningkatkan pemahaman
terhadap latar belakang yang melingkupinya.
Latar Belakang #3

 Dari penelusuran kepustakaan diketahui ada 3 skriptorium yang mampu


memproduksi kertas daluwang, yaitu Kampung Tunglis, Desa Cinunuk,
Garut; Pesantren Tegal Sari di Kecamatan Jetis, Ponorogo; serta
Ambunten, dan Gulu-gulu di Sumenep, Jawa Timur (bdk. Permadi
2012 dan Hayne, 1997).
 Peneliti  kodikologi  kebanyakan WNA  “ancaman” thd warisan
intelektual nenek moyang kita  berpindah tangan.
 Penelitian  kodikologi Indonesia  lebih fokus: KATALOGISASI &
DESKRIPSI NASKAH
 Oleh karena itulah, perlu dilakukan upaya revitalisasi, mengingat
peninggalan ini sudah terancam punah.
Roadma
p
Metode Penelitian #1

A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah daerah Kampung Tunglis, Desa Cinunuk, Garut – Jawa Barat; Pesantren Tegal
Sari di Kecamatan Jetis, Ponorogo – Jawa Timur; serta Ambunten, dan Gulu-gulu di Sumenep – Jawa Timur.
B. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah masyarakat atau orang-orang yang bertempat tinggal di daerah Kampung
Tunglis, Desa Cinunuk, Garut; Pesantren Tegal Sari di Kecamatan Jetis, Ponorogo; serta Ambunten, dan
Gulu-gulu di Sumenep, Jawa Timur.
Sampel penelitian ini adalah orang-orang tua atau muda yang diperkirakan memiliki pengetahuan terkait
dengan pembuatan kertas daluwang. Sampel ini ditetapkan sebagai responden. Dalam pemilihan sampel
ini digunakan teknik sampling, yaitu purposive sampling.
C. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini merupakan skriptorium penghasil kertas daluwang, yaitu Kampung Tunglis,
Desa Cinunuk, Garut – Jawa Barat; Pesantren Tegal Sari di Kecamatan Jetis, Ponorogo – Jawa Timur; serta
Ambunten, dan Gulu-gulu di Sumenep, Jawa Timur.
Metode Penelitian #2

D. Pendekatan yang Digunakan


Dalam penelitian ini akan digunakan model pendekatan kodikologi dan digitalisasi. Artinya, pendekatan kodikologi
digunakan pada tahap pendeskripsian alat, bahan, dan cara yang digunakan dalam pembuatan kertas daluwang atau
saeh. Adapun pendekatan digitalisasi digunakan dalam rangka preservasi dan konservasi naskah sehingga softfile
pembuatan kertas dluwang dan atau saeh dapat ditransfer pada cybermedia.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik pustaka dan teknik digital. Artinya dengan membaca secara cermat
sumber data penelitian, ditemukan data yang relevan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data
yang telah dikumpulkan akan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya. Setelah itu, data penelitian yang berupa naskah
dilakukan tahapan digitalisasi (pemotretan/pengambilan gambar). Tahap berikutnya, dilakukan FGD yang melibatkan
ACG (Academic – Community – Goverment). Diharapkan dengan FGD ini akan didapat berbagai masukan, baik yang
nantinya akan dipertimbangkan dan diolah sebagai bahan penyempurnaan alat dan bahan material dalam pembuatan
kertas dluwang yang berkualitas unggul.
F. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan teknik analisis komparatif (comparatif analysis). Artinya, data
yang telah diklasifikasi akan ditelaah dan dikaji kemudian dikomparasikan dengan teori yang sudah dipaparkan
sebelumnya. Hal ini berarti data tentang kodikologi naskah-naskah Nusantara yang ditemukan akan disistematiskan,
kemudian dikaji, dan akhirnya di komparasikan sehingga menghasilkan sebuah pemahaman yang baik dan lengkap.
Luaran

No Proposal Realisasi
1. Model Pembuatan Model : Cara & Alat-alat
Pembuat Kertas Daluwang

2. Makalah disampaikan dalam Pertemuan 1 Makalah sudah disampaikan dalam


Nasional pertemuan nasional
3 Makalah sudah disampaikan dalam
pertemuan internasional

3. Buku Naik Cetak (Insya Allah Awal 2020 Terbit)


Hasil & Pembahasan

Fuya – Tapa – Daluwang


 Fuya : Penyebutan kain kulit kayu di Sulawesi
 Tapa : Penyebutan kain kulit kayu di dunia
 Daluwang : penyebutan kain kulit kayu di Jawa
Fuya

 Nama “Fuya”  FOSIL HIDUP  kain kulit kayu  pohon


mulberry, juga pohon beringin, atau pohon lain dengan prosedur
khusus (penempaan, hingga disebut juga dengan istilah beaten-
bark) untuk menghasilkan serat untuk bahan sandang.
 FOSIL HIDUP  analogi  merujuk pada suatu kebudayaan
yang telah berumur ribuan tahun, tanpa pembaruan, dan
kontinyu dilakukan secara turun-temurun.
 Hingga kini, kain kulit kayu  upacara adat  Balia 
penyembuhan  diilhami oleh naskah “Ila Ga Ligo”  dukun
sakti msh keturun To Manuru  dewa dari kahyangan yg turun
ke bumi.
 Pada saat upacara Balia, sang dukun akan memakai baju putih 
kulit kayu (Fuya / Daluwang)
Upacara Balia

Para penari mulai beraksi mengelilingi pedupaan yang mengawali upacara adat Balia
Bukti Keberadaan Daluwang #1

 Manuskrip Kakawin Ramayana yang berasal dari abad ke-9. Dalam naskah
itu, disebutkan bahwa daluwang sebagai bahan pakaian pandita (sebutan
untuk orang yang bijaksana).
 Pada abad ke-18, daluwang dipergunakan bukan hanya sebagai pakaian
pandita, melainkan juga kertas suci, ketu (mahkota penutup kepala), dan
pakaian untuk menjauhkan dari ikatan duniawi.
 Pra Islam  Daluwang
digunakan sbg Media Wayang
Beber
 Islam  Daluwang  Media
tulis  pengajaran agama
 Abad 19  Daluwang  media
Wayang Beber Pacitan
Bukti Keberadaan Daluwang #2

 Dalam konteks tradisi tulis di Nusantara, daluwang


diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14. Hal ini
tertuang pada naskah Undang-Undang Tanjung
Tanah di Gunung Kerinci yang diteliti oleh Uli Kozok dari
Hawaiian University (2006).
 Adapun dalam khazanah naskah Sunda dapat ditelusuri
melalui naskah Sunda kuno dari abad ke-18 koleksi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Jl. Kyai Ageng Besari, jalan menuju Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo
Tampak papan nama Kantor Kepala Desa Tegalsari
Tampak kompleks Cagar Budaya Masjid Tegalsari, sebuah situs arkeologi dan saksi bisu masa kejayaan
pembuatan kertas dlancang Panaraga
Dua orang saksi hidup dan pelaku pembuat kertas DALUWANG “Dlancang Panaraga”,
Ibu Marsudi (82 Tahun) dan Bapak Sudja (81 Tahun)
Beberapa
Model Alat ...
Alat yang Digunakan

 Batu Ike & kayu dari batang enau sebagai pemukul serta balok kayu
besar sbg landasan pukul kulit kayu
 Batu Ike yang digunakan sbg pemukul ini diduga sudah ada ribuan
tahun yang lalu (Neolitikum = 10.000 th lalu). Bahkan, diperkirakan
batu Ike ini mrp peninggalan dari orang-orang Austronesia.
 Hal ini dibuktikan dg penemuan 5 buah batu Ike oleh Balai Arkeologi
Sulawesi Utara & Tengah di Situs Watunongko Lore Timur, Kabupaten
Poso, Sulawesi Tengah
Upaya
Rekonstruksi
#1
Rekonstruksi #2
Rekonstruksi #3

Rotan yg dibalut
Kuningan dg Karet Ban
/ dalam
Perungg
u
Rekonstruksi
#4
Pembuatan Kertas Daluwang

1. Kayu yg berusia 1 – 1,5 th ditebang


2. Diambil kulit bag luarnya, dibersihkan tinggal bag putihnya saja
3. Direndam dengan air + segenggam abu gosok (abu sekam) selama 1
X 24 jam
4. Dipukul-pukul dg menggunakan batu Ike + ruyung enau
5. Dijemur (diangin-anginkan) sampai kering
6. Dihaluskan dengan kulit Kewuk
Proses Pembuatan

Ibu Marsudi memperagakan cara mengupas kulit kayu pohon glugu “papermulberry“
Kulit kayu yang sudah dikelupas direndam selama 1 (satu) malam di dalam air agar kulitnya menjadi lunak (= cara ke-1)
Pengukuran panjang, lebar, & tebal kulit kayu sebelum dilakukan pemukulan
Pengukuran lebar kulit kayu setelah dilakukan proses pemukulan tahap pertama (= lembar ke-1)
Tampak panjang kulit kayu (56 cm) sebagai hasil pemukulan tahap ke-2 (= pelebaran bagian lebar kulit kayu)
rbandingan kulit kayu, sebelum dan sesudah proses pemukulan tahap ke-2
Kulit kayu dijemur di terik matahari pada permukaan batang pohon pisang
Ibu Marsudi memperagakan proses penghalusan kertas DALUWANG dengan menggunakan kulit kewuk
FGD ... [ Mba Astri Damayanti – Yayasan Kriya & Prof Sakamoto – Jepang
]
FGD : BAPPENAS – PERPUSNAS – MANASSA Lor
in Hotel, 15 Nov 2018
Naskah Nusantara Koleksi Perpusnas

Jenis Bahan Jumlah %


Daluwang 384 3.45
Kertas Eropa 6963 62.54
Kertas Polos 298 2.68
Kulit Kayu 136 1.22
Bambu 69 0.62
Daun Palem
(Lontar &
Gebang) 1579 14.18
Kertas Bergaris 1146 10.29
Media lain 558 5.01
Total 11133 100
Penelitian Naskah
Nusantara

?
No Jenis Naskah Jumlah
1 Aceh 61
2 Banjar 7
3 Batak 12
4 Bugis 81
5 Gorontalo 2
6 Jawa 247
7 Melayu 303

Present
8 Minang 83
9 Sasak 15
10 Sunda 292
Jumlah 1103
Sumber, Ekadjati (2000). Direktori Edisi Naskah Nusantara. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Aceh, Riau, Medan, Padang, Palembang, Lampung
Banten, Jakarta, Bandung, Cirebon, Jogja, Solo
Penghimpunan 11.745 Manuskrip, 1.849 Semarang, Surabaya, Malang, Jember,
naskah telah didigitalkan, dan 3.466 Bali, Mataram, Bima, Makasar, Ternate,
naskah telah dikaji. Kutai, Banjarmasin, dll.
Rekomendasi FGD :

1. Perlu Perbaikan Alat pembuat kertas Daluwang  Kualitas kertas semakin


baik & halus
2. Sosialisasi  Budidaya Papermulbery  Bahan baku kertas Daluwang
3. Diseminasi  Pembuatan Kertas Daluwang  PT & Masyarakat + Seniman
4. Penggunaan Daluwang  Media Konservasi & Preservasi Naskah +
Alternatif Media Seni & Kerajinan Tangan  Ekspor  Membuka lap
pekerjaan  Menggerakkan ekonomi rakyat
5. Floating anggaran penelitian filologi  Bappenas  Perpusnas  PT
Diseminasi di FIB UNDIP ...
Revitalisasi ...
Revitalisasi #1
Revitalisasi #2
Preservasi dan Konservasi

 Daluwang ditetapkan sbg WBTB (Warisan Budaya Tak Benda)  mrp wujud komitmen
Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda
(Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage) tahun 2003.
 Ratifikasi disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan
Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda.
 Perlu upaya dari seluruh STAKEHOLDER agar Daluwang  Daftar Warisan Budaya Takbenda
UNESCO (UNESCO Intangible Cultural Heritage Lists)
 Perlu sosialisasi & diseminasi metode & cara pembuatan daluwang agar pengetahuan +
keterampilan tsb hilang ditelan zaman.
 Selain itu, perlu diupayakan juga budidaya papermulbery agar tetap lestari.
 Daluwang  masih digunakan dalam upacara keagamaan umat Hindu Bali, seperti Ngaben,
dsb
Simpulan

 Pertama, dluwang merupakan kertas tradisional Nusantara yang dibuat dengan teknologi
yang sangat sederhana, tetapi mampu menghasilkan kertas yang sudah terbukti sanggup
bertahan lama. Justru proses “primitif” itulah yang membuatnya mampu bertahan lama.
Proses mekanik dalam pembuatan kertas, tanpa pembuburan dan penambahan zat kimia
lain membuatnya acid-free sehingga tidak mudah melapuk padahal ia merupakan bahan
organik. Namun, tentu saja umur sepanjang itu diraih dengan perawatan memadai. Sebagai
bahan organik, ia masih rentan penjamuran, dan lain sebagainya sehingga harus dijaga
agar tidak lembab atau terkena air.
 Kedua, saat ini dluwang telah ditetapkan sebagai WBTB (Warisan Budaya Tak Benda). Hal ini
merupakan wujud komitmen Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Perlindungan
Warisan Budaya Tak Benda (Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural
Heritage) tahun 2003. Ratifikasi disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007
tentang Pengesahan Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai