2. Masalah yang terjadi perbedaan pendapat (masail khilafiyah) di kalangan madzhab, maka :
1. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu di antara pendapat melalui metode al-jam’u wa al-
taufiq;
2. Jika tidak tercapai titik temu, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah (perbandingan)
dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran.
3. Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan madzhab atau ulama yang mu’tabar, didasarkan
pada ijtihad kolektif melalui metode bayani dan ta’lili (qiyasi, istihsaniy, ilhaqiy, istihsaniy dan sad al-dzaraa’i)
serta metode penetapan hukum (manhaj) yang dipedomani oleh para ulama madzhab.
4. Dalam masalah yang terdapat perbedaan di kalangan peserta Rapat, dan tidak tercapai titik temu, maka
penetapan fatwa disampaikan tentang adanya perbedaan pendapat tersebut disertai dengan penjelasan
argumen masing-masing, disertai penjelasan dalam hal pengamalannya, sebaiknya mengambil yang paling
hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari perbedaan pendapat (al-khuruuj min al-khilaaf).
PROSEDUR RAPAT
• Rapat harus dihadiri oleh para anggota Komisi yang jumlahnya dianggap
cukup memadai oleh pimpinan rapat.
• Dalam hal-hal tertentu, rapat dapat menghadirkan pakar atau tenaga ahli
yang berhubungan dengan masalah yang akan difatwakan.
RAPAT DIADAKAN JIKA TERDAPAT:
• Rapat dipimpin oleh Ketua atau Wakil Ketua Komisi atas persetujuan Ketua
Komisi, didampingi oleh Sekretaris dan/atau Wakil Sekretaris Komisi.
• Jika Ketua dan Wakil Ketua Komisi berhalangan hadir, rapat dipimpin oleh
salah satu pimpinan Komisi yang hadir.
• Selama proses rapat, Sekretaris dan/atau Wakil Sekretaris Komisi mencatat
usulan, saran dan pendapat Anggota Komisi untuk dijadikan Risalah Rapat
dan Bahan Fatwa Komisi.
FORMAT FATWA
• Kalimat Basmalah.
• Terhadap masalah yang telah difatwakan oleh MUI, MUI Daerah hanya
berhak untuk melaksanakannya.
• Pada kasus tertentu di mana Fatwa MUI tidak dapat dilaksanakan, MUI
daerah berkewajiban untuk berkonsultasi kepada MUI untuk menetapkan
Fatwa Khusus yang terkait masalah tersebut.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA
• Penetapan fatwa tentang ekonomi syari’ah yang terkait dengan produk dan
jasa keuangan syari’ah dilakukan oleh DSN-MUI.
• Penetapan fatwa tentang ekonomi syari’ah mengikuti pedoman penetapan
fatwa dalam ketentuan ini.
• Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan fatwa ekonomi
syari’ah diatur oleh Dewan Syari’ah Nasional.
LAIN-LAIN
• Di samping penetapan fatwa dengan format sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Komisi Fatwa juga
menetapkan fatwa melalui :
• surat dan/atau
• melalui lisan secara langsung tanpa melalui rapat Komisi Fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-
dalilnya (ma’lum min al-din bi al-dlarurah) dengan menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya.
• Rekomendasi kesesuaian syari’ah diberikan kepada masyarakat yang mengajukan setelah dilakukan
pengkajian dan pendalaman sesuai dengan ketentuan syari’ah.
FATWA MUI SEBAGAI WADAH IJTIHAD
JAMA’I
• Berdasarkan paartisipasi kepesertaan, ijtihad dikategorikan
menjadi dua; (i) ijtihad personal (ijtihad fardi) dan ijtihad kolektif
(ijtihad jama`i).
• Ijtihad jama’i dilakukan oleh sejumlah (sekelompok) orang yang
terdiri atas para ahli di berbagai bidang, yang secara kumulatif
telah memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam berijtihad.
• Wujud kongkrit dari lembaga ijtihad kolektif ini, di lingkungan
MUI antara lain adalah “Komisi Fatwa”.
KELEMBAGAAN FATWA MUI
• Fatwa Produk Halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI
mengenai produk pangan, obat-obatan dan kosmetika.
PENETAPAN FATWA HALAL
it
Produsen
d
(1)
Au
s il
Ha
an
(3)
or
(4)
p
La
Proses Auditing
(2)
LPPOM-MUI
(6)
Pleno tidak menyetujui Hasil Audit 1. LPPOM menjelaskan hasil
auditingnya
2. KF melakukan pendalaman dan
pengkajian terhadap substansi
masalah
Prosedur Sertifikasi Halal
Dokumen Sertifikat
Dokumen SJH Pendaftaran Produk
Audit Produk
Tidak
Evaluasi Audit Memorandum
Audit Bahan
Ya
Sidang Tidak
Komisi
Fatwa
Ya
Sertifikat Halal
SYUKRAN...
Assalamu’alaikum Wr.Wb