Anda di halaman 1dari 30

FATAWA-FATWA MAJELIS

ULAMA SELAMA PANDEMI


COVID-19

DASAR PENETAPAN FATWA


OLEH : H. ASFIANI NORHASANI, LC.
SEKRETARIS KOMISI FATWA MUI PROV.KALSEL
DASAR FATWA

• Penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh


suatu lembaga yang disebut Komisi Fatwa.

• Penetapan fatwa didasarkan pada Al-Quran, Hadist,


Ijma’, Qiyas dan dalil lain yang mu’tabar.
SIFAT FATWA
• Proses penetapan fatwa bersifat :
• responsif,
• proaktif dan
• antisipatif.
• Fatwa yang ditetapkan bersifat :
• argumentatif (memiliki kekuatan hujjah),
• legitimatif (menjamin penilaian keabsahan hukum),
• kontekstual (waqi’iy),
• aplikatif (siap diterapkan), dan
• moderat.
METODE PENETAPAN FATWA (PS 5 – 7)
• Sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan kajian komperehensif terlebih dahulu guna memperoleh deskripsi utuh
tentang :
• obyek masalah (tashawwur al-masalah),
• rumusan masalah;
• dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari berbagai aspek hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan
masalah tersebut.

• Kajian komprehensif mencakup:


• telaah atas pandangan fuqaha mujtahid masa lalu, pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar,
• telaah atas fatwa-fatwa yang terkait, serta
• pandangan ahli fikih terkait masalah yang akan difatwakan.
• Kajian komprehensif antara lain dapat melalui penugasan pembuatan makalah kepada Anggota Komisi atau
ahli
PENETAPAN FATWA
1. Masalah yang ma’lum min al-din bi al-dlarurah  langsung difatwakan dengan menyampaikan hukum
sebagaimana apa adanya.

2. Masalah yang terjadi perbedaan pendapat (masail khilafiyah) di kalangan madzhab, maka :
1. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu di antara pendapat melalui metode al-jam’u wa al-
taufiq;
2. Jika tidak tercapai titik temu, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah (perbandingan)
dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran.

3. Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan madzhab atau ulama yang mu’tabar, didasarkan
pada ijtihad kolektif melalui metode bayani dan ta’lili (qiyasi, istihsaniy, ilhaqiy, istihsaniy dan sad al-dzaraa’i)
serta metode penetapan hukum (manhaj) yang dipedomani oleh para ulama madzhab.

4. Dalam masalah yang terdapat perbedaan di kalangan peserta Rapat, dan tidak tercapai titik temu, maka
penetapan fatwa disampaikan tentang adanya perbedaan pendapat tersebut disertai dengan penjelasan
argumen masing-masing, disertai penjelasan dalam hal pengamalannya, sebaiknya mengambil yang paling
hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari perbedaan pendapat (al-khuruuj min al-khilaaf).
PROSEDUR RAPAT

• Rapat harus dihadiri oleh para anggota Komisi yang jumlahnya dianggap
cukup memadai oleh pimpinan rapat.
•  Dalam hal-hal tertentu, rapat dapat menghadirkan pakar atau tenaga ahli
yang berhubungan dengan masalah yang akan difatwakan.
RAPAT DIADAKAN JIKA TERDAPAT:

• permintaan atau pertanyaan dari masyarakat;


• permintaan atau pertanyaan dari pemerintah, lembaga/organisasi atau MUI
sendiri;
• perkembangan dan temuan masalah-masalah keagamaan yang muncul akibat
perubahan sosial kemasyarakatan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta seni budaya.
PIMPINAN RAPAT

• Rapat dipimpin oleh Ketua atau Wakil Ketua Komisi atas persetujuan Ketua
Komisi, didampingi oleh Sekretaris dan/atau Wakil Sekretaris Komisi.
• Jika Ketua dan Wakil Ketua Komisi berhalangan hadir, rapat dipimpin oleh
salah satu pimpinan Komisi yang hadir.
• Selama proses rapat, Sekretaris dan/atau Wakil Sekretaris Komisi mencatat
usulan, saran dan pendapat Anggota Komisi untuk dijadikan Risalah Rapat
dan Bahan Fatwa Komisi.
FORMAT FATWA

• Nomor dan Tema Fatwa

• Kalimat Basmalah.

• Konsideran yang terdiri atas :


• Menimbang; memuat latar belakang dan alasan serta urgensi penetapan fatwa.
• Mengingat; memuat dasar-dasar hukum (adillah al-ahkam) yang berbentuk nash syar’i, terjemah dalam
bahasa Indonesia dan penjelasan terkait pemanfaatan dalil sebagai argumen (wajhu al-dilalah)
• Memperhatikan; memuat pendapat para ulama, peserta rapat, para ahli dan hal-hal lain yang mendukung
penetapan fatwa.

•  Diktum yang memuat :


• Ketentuan Umum; yang berisi tentang definisi dan batasan pengertian masalah yang terkait dengan fatwa,
jika dipandang perlu
• Ketentuan Hukum; yang berisi tentang substansi hukum yang difatwakan.
• Rekomendasi dan/atau solusi masalah jika dipandang perlu.
TANDA TANGAN

• Fatwa ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Komisi.

• Terhadap beberapa fatwa yang membutuhkan penjelasan


lebih lanjut, fatwa dapat diberikan penjelasan agar dapat
dipahami secara utuh oleh masyarakat.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA (16 –
19)

• MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah syari’ah secara umum,


baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun akhlak
• Kewenangan penetapan fatwa juga meliputi:
• faham keagamaan yang muncul di masyarakat,
• masalah sosial kemasyarakatan,
• masalah pangan obat-obatan dan kosmetika (POM),
• masalah yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
• masalah ekonomi syari’ah.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA

• Majelis Ulama Indonesia berwenang menetapkan fatwa yang menyangkut :


• umat Islam secara nasional atau
• masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang berpotensi meluas ke daerah lain.
• Terhadap masalah yang terjadi di daerah dan belum difatwakan oleh MUI, Majelis
Ulama Indonesia Daerah berwenang untuk menetapkan fatwa terkait masalah tersebut.
• Majelis Ulama Indonesia Daerah yang berwenang menetapkan fatwa adalah
• Komisi Fatwa MUI Provinsi dan
• Komisi Fatwa MUI Kabupaten/Kota.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA

• Terhadap masalah yang telah difatwakan oleh MUI, MUI Daerah hanya
berhak untuk melaksanakannya.
• Pada kasus tertentu di mana Fatwa MUI tidak dapat dilaksanakan, MUI
daerah berkewajiban untuk berkonsultasi kepada MUI untuk menetapkan
Fatwa Khusus yang terkait masalah tersebut.
KEWENANGAN DAN WILAYAH FATWA

• Terhadap masalah-masalah yang sangat musykil dan sensitif, MUI Daerah


berkewajiban melakukan koordinasi dan konsultasi terlebih dahulu kepada
MUI.
FATWA PRODUK HALAL (20 – 21)

• Penetapan fatwa produk halal dilakukan setelah :


• adanya laporan hasil pemeriksaan (auditing) oleh Auditor Halal dan
• telah melalui proses evaluasi dalam Rapat Auditor LPPOM MUI.
• Laporan hasil audit disampaikan oleh Direktur LPPOM MUI dalam Sidang
Pleno Komisi.
• Dalam bidang yang memerlukan keahlian fikih secara khusus, seperti proses
penyembelihan dan proses pensucian, Auditor Halal dalam menjalankan
tugasnya disertai oleh Komisi Fatwa.
• Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya
RUANG LINGKUP

• Penetapan fatwa terhadap produk yang berskala nasional


dan internasional dilakukan oleh MUI.
• Penetapan fatwa terhadap produk yang berskala lokal
dapat dilakukan oleh MUI Daerah.
FATWA EKONOMI SYARI’AH

• Penetapan fatwa tentang ekonomi syari’ah yang terkait dengan produk dan
jasa keuangan syari’ah dilakukan oleh DSN-MUI.
• Penetapan fatwa tentang ekonomi syari’ah mengikuti pedoman penetapan
fatwa dalam ketentuan ini.
• Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan fatwa ekonomi
syari’ah diatur oleh Dewan Syari’ah Nasional.
LAIN-LAIN

• Di samping penetapan fatwa dengan format sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Komisi Fatwa juga
menetapkan fatwa melalui :
• surat dan/atau
• melalui lisan secara langsung tanpa melalui rapat Komisi Fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-
dalilnya (ma’lum min al-din bi al-dlarurah) dengan menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya.

• Di samping penetapan fatwa, Komisi Fatwa berwenang :


• menetapkan Rekomendasi Kesesuaian Syari’ah atas berbagai hal yang terkait dengan masalah keagamaan praktis
untuk menjadi panduan bagi masyarakat.

• Rekomendasi kesesuaian syari’ah diberikan kepada masyarakat yang mengajukan setelah dilakukan
pengkajian dan pendalaman sesuai dengan ketentuan syari’ah.
FATWA MUI SEBAGAI WADAH IJTIHAD
JAMA’I
• Berdasarkan paartisipasi kepesertaan, ijtihad dikategorikan
menjadi dua; (i) ijtihad personal (ijtihad fardi) dan ijtihad kolektif
(ijtihad jama`i).
• Ijtihad jama’i dilakukan oleh sejumlah (sekelompok) orang yang
terdiri atas para ahli di berbagai bidang, yang secara kumulatif
telah memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam berijtihad.
• Wujud kongkrit dari lembaga ijtihad kolektif ini, di lingkungan
MUI antara lain adalah “Komisi Fatwa”.
KELEMBAGAAN FATWA MUI

• Komisi Fatwa adalah perangkat organisasi MUI yang bertugas untuk


menelaah, membahas, dan merumuskan masalah fatwa keagamaan.
• Kelembagaan Komisi Fatwa berdiri bersamaan dengan berdirinya MUI,
yakni pada tahun 1975.
FATWA PRODUK HALAL

• Fatwa Produk Halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI
mengenai produk pangan, obat-obatan dan kosmetika.
PENETAPAN FATWA HALAL

• Di Indonesia, lembaga yang memiliki kewenangan mengeluarkan Sertifikat


Halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
• Sebelum penetapan fatwa, pelaksa-naan teknis auditing dilakukan oleh
LPPOM-MUI.
• Penetapan Fatwa dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI.
PROSEDUR DAN MEKANISME PENETAPAN
FATWA HALAL… (1)
1.MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LPPOM tentang
standar penetapan produk halal.
2.Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik (perusahaan) yang
meminta sertifikasi halal. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
a.Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik bahan baku,
bahan tambahan maupun bahan penolong.
b.Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk.
c.Cara pemotongan hewan untuk produk hewani atau mengandung unsur hewani.
PROSEDUR DAN MEKANISME PENETAPAN
FATWA HALAL….. (2)
3. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa, terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai
benda haram atau mengandung benda haram (najis), untuk mendapat kepastian, serta
didiskusikan dan dikaji oleh tim di LP.POM.
4. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali; dan
tidak jarang pula auditor (LP.POM) menyarankan –bahkan mengharuskan— agar
mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung bahan yang haram
(najis) dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah berserifikat halal dari MUI
atau dari lembaga lain yang dipandang berkompeten, jika perusahaan tersebut tetap
menginginkan mendapat sertifikat halal dari MUI.
5. Hasil audit dan kajian LP.POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah Berita
Acara yang disebut dengan “Laporan Hasil Auditing LP.POM-MUI” dan kemudian
diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk dibahas dalam rapat Komisi Fatwa.
PROSEDUR DAN MEKANISME PENETAPAN
FATWA HALAL….. (3)
6. Dalam rapat Komisi Fatwa, pihak LP.POM menyampaikan dan menjelaskan isi
Laporan Hasil Auditing, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh peserta
rapat Komisi.
7. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang jelas-jelas diharamkan atau
diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang
dipandang tidak transparan oleh rapat Komisi, dikembalikan kepada LP.POM untuk
dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan bersangkutan.
8.Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh peserta rapat, diputuskan
fatwa halalnya oleh rapat Komisi tersebut.
9.Hasil rapat Komisi yang berupa keputusan fatwa halal kemudian dilaporkan kepada
Dewan Pimpinan MUI untuk di-tanfiz-kan dan dikeluarkan Surat Keputusan Fatwa
Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.
PROSES FATWA PRODUK HALAL
Meminta fatwa (lewat LPPOM) KOMISI FATWA
Mustafti/

it
Produsen

d
(1)

Au
s il
Ha
an
(3)

or
(4)

p
La
Proses Auditing
(2)
LPPOM-MUI

Fatwa Pleno menyetujui Hasil Audit


(5) Rapat pleno Komisi

(6)
Pleno tidak menyetujui Hasil Audit 1. LPPOM menjelaskan hasil
auditingnya
2. KF melakukan pendalaman dan
pengkajian terhadap substansi
masalah
Prosedur Sertifikasi Halal
Dokumen Sertifikat
Dokumen SJH Pendaftaran Produk

Audit Produk

Tidak
Evaluasi Audit Memorandum
Audit Bahan

Ya

Sidang Tidak
Komisi
Fatwa
Ya

Sertifikat Halal
SYUKRAN...
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Anda mungkin juga menyukai