Anda di halaman 1dari 53

Welcome to my

Auditing Class…....

18 Oktober 2020
BAB 5
ETIKA PROFESIONAL
APAKAH ETIKA ITU?
Etika (ethics) secara garis besar dapat didefinisikan sebagai serangkaian prinsip
atau nilai moral yang dipakai sebagai pedoman dalam berperilaku di masyarakat
bagi seseorang terkait dengan sifat baik dan buruk.

kewaijban dan tanggungjawab moral setiap


orang dalam berperilaku di masyarakat.
Kebutuhan akan Etika
Perilaku etis sangat diperlukan oleh masyarakat
agar dapat berfungsi secara teratur.

etika adalah perekat yang dapat mengikat


anggota masyarakat

Bayangkan, misalnya, apa yang akan terjadi jika kita tidak


memiliki kepercayaan akan kejujuran dari orang-orang yang
berinteraksi dengan kita. Jika para orang tua, guru, pemilik
perusahaan, saudara kita, rekan kerja, serta teman- teman kita
semuanya berkata bohong, hampir tidak mungkin untuk
mempunyai komunikasi yang efektif.
Mengapa Orang- orang Bertindak Tidak Etis
Sebagian besar orang mendefinisikan perilaku tidak etis sebagai
tindakan yang berbeda dengan apa yang mereka anggap tepat
dilakukan dalam situasi tertentu.

Masing-masing dari kita memutuskan bagi kita sendiri apa yang kita anggap
sebagai perilaku tidak etis, baik bagi kita sendiri maupun bagi orang lain. Jadi
kita harus memahami apa yang menyebabkan orang-orang bertindak dengan
cara yang kita anggap sebagai tidak etis

Ada dua alasan utama mengapa seseorang bertindak tidak etis:


1.Standar etika seseorang berbeda dengan standar etika yang berlaku di
masyarakat secara keseluruhan,
2. atau orang itu memilih untuk bertindak mementingkan diri sendiri
KEBUTUHAN KHUSUS AKAN PERILAKU
ETIS DALAM PROFESI
Masyarakat kita telah memberikan pengertian khusus atas istilah
profesional. Seorang profesional diharapkan dapat berperilaku pada
tingkat yang lebih tinggi dari yang dilakukan oleh sebagian besar
anggota masyarakat lain.

Sebagai contoh, ketika pers memberitakan bahwa seorang dokter, biarawan,


senator, atau akuntan publik telah didakwa melakukan suatu kejahatan,
mayoritas masyarakat akan merasa lebih kecewa ketimbang jika hal yang
sama terjadi pada seseorang yang bukan profesional.

Arti istilah profesional adalah tanggung jawab untuk bertindak lebih dari
sekadar memenuhi tanggung jawab diri sendiri maupun ketentuan hukum dan
peraturan masyarakat.
Akuntan publik, sebagai profesional, mengakui adanya tanggung jawab kepada
masyarakat, klien, serta rekan praktisi, termasuk perilaku yang terhormat,
meskipun itu berarti pengorbanan diri. Alasan utama mengharapkan tingkat
perilaku profesional yang tinggi oleh setiap profesi adalah kebutuhan akan
kepercayaan publik atas kualitas jasa yang diberikan oleh profesi, tanpa
memandang individu yang menyediakan jasa tersebut.

Bagi akuntan publik, kepercayaan klien dan pemakai laporan keuangan eksternal atas
kualitas audit dan jasa lainnya sangatlah penting. Jika para pemakai jasa tidak
memiliki kepercayaan kepada para dokter, hakim, atau akuntan publik, maka
kemampuan para profesional itu untuk melayani klien serta masyarakat secara efektif
akan hilang.
Perbedaan Antara Kantor Akuntan
Publik dan Profesional Lainnya
Kantor akuntan publik (KAP) memiliki hubungan khusus dengan para pemakai laporan
keuangan yang berbeda dengan bentuk hubungan antara profesional lain dengan para pemakai
jasanya.

Sebagai contoh, pengacara biasanya bertugas dan dibayar oleh klien dan mempunyai tanggung jawab
utama menjadi pembela bagi klien tersebut. Kantor akuntan publik bertugas dan dibayar oleh
perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan, tetapi yang mendapat manfaat utama dari audit ini
adalah para pemakai laporan keuangan.

Sering kali, auditor tidak mengetahui atau tidak mempunyai hubungan dengan para pemakai laporan
keuangan tetapi sering melakukan pertemuan dan mengadakan hubungan yang berkesinambungan
dengan personil klien. Sangat penting bahwa pemakai laporan memandang kantor akuntan publik
sebagai pihak yang kompeten dan objektif.

Jika pemakai laporan yakin bahwa kantor akuntan publik tidak memberikan jasa yang bernilai
(mengurangi risiko informasi), maka nilai laporan audit serta laporan jasa atestasi lainnya dari
kantor akuntan publik tersebut akan berkurang dan karenanya, permintaan akan jasa audit juga
berkurang. Karena itu, ada insentif yang cukup banyak bagi kantor akuntan publik untuk
berperilaku pada tingkat profesionalisme yang tinggi.
Kode Etik Profesi Akuntan
Publik
Kode Etik Akuntan Indonesia merupakan adopsi dari Handbook of the Code of Ethics for
Professional Accountant 2018 Edition yang dikeluarkan oleh International Ethics Standars
Board for Accountants of The International Federation of Accountants (IESBA-IFAC).
Dalam proses penyusunannya, ketiga asosiasi yakni IAI, IAPI, dan IAMI berkoordinasi
sesuai dengan Nota Kesepahaman tentang Kerjasama Pengembangan Profesi Akuntan di
Indonesia. Dengan tujuan agar terjadi sinergi antar organisasi profesi akuntan dan
menciptakan keseragaman ketentuan etika bagi seluruh akuntan di Indonesia.

Federasi Akuntan Internasional ( IFAC ) adalah organisasi global untuk profesi akuntansi.
Organisasi ini mendukung pengembangan, adopsi, dan implementasi standar internasional
untuk pendidikan akuntansi, etika, dan sektor publik serta audit dan asurans. Ini mendukung
empat dewan pengaturan standar independen, yang menetapkan standar internasional tentang
etika , audit dan jaminan , pendidikan akuntansi, dan akuntansi sektor publik

Dewan Standar Etika Internasional untuk Akuntan (IESBA) mengembangkan dan mempromosikan
Kode Etik Internasional untuk Akuntan Profesional.
BAGIAN 1
PRINSIP DASAR ETIKA

SEKSI 110 PRINSIP DASAR ETIKA

Lima prinsip dasar etika untuk Anggota adalah:

1. INTEGRITAS

Anggota harus mematuhi prinsip integritas, yang mensyaratkan Anggota untuk


bersikap lugas dan jujur dalam semua hubungan profesional dan bisnis.

Integritas menyiratkan anggota harus berterus terang dan selalu mengatakan yang
sebenarnya. Anggota tidak boleh secara sengaja dikaitkan dengan laporan, komunikasi, atau
informasi lain ketika Anggota percaya bahwa informasi tersebut: (a) Berisi kesalahan atau
pernyataan yang menyesatkan secara material; (b) Berisi pernyataan atau informasi yang
dibuat secara tidak hati-hati; atau (c) Terdapat penghilangan atau pengaburan informasi yang
seharusnya diungkapkan, sehingga akan menyesatkan.
2. OBJEKTIVITAS

Anggota harus mematuhi prinsip objektivitas yang mensyaratkan Anggota untuk tidak
mengompromikan pertimbangan profesional atau bisnis karena adanya bias, benturan
kepentingan, atau pengaruh yang tidak semestinya dari pihak lain.

3. KOMPETENSI DAN KEHATI-HATIAN


PROFESIONAL

Anggota harus patuh terhadap prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional yang
mensyaratkan Anggota untuk: (a) Mencapai dan mempertahankan pengetahuan serta
keahlian profesional pada level yang disyaratkan untuk memastikan bahwa klien atau
organisasi tempatnya bekerja memperoleh jasa profesional yang kompeten berdasarkan
standar profesional dan standar teknis terkini dan sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku; dan (b) Bertindak sungguh-sungguh dan sesuai dengan standar profesional dan
standar teknis yang berlaku

Pemberian jasa kepada klien dan organisasi tempatnya bekerja dengan kompetensi
profesional mensyaratkan Anggota untuk menggunakan pertimbangan yang baik
dalam menerapkan pengetahuan dan keahlian profesional ketika melakukan aktivitas
profesional.
4. KERAHASIAAN

Anggota harus mematuhi prinsip kerahasiaan, yang mensyaratkan Anggota untuk menjaga
kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan bisnis.

Anggota harus: (a) Mewaspadai terhadap kemungkinan pengungkapan yang tidak disengaja,
termasuk dalam lingkungan sosial, dan khususnya kepada rekan bisnis dekat, anggota keluarga
inti, atau keluarga dekat; (b) Menjaga kerahasiaan informasi di dalam Kantor atau organisasi
tempatnya bekerja; (c) Menjaga kerahasiaan informasi yang diungkapkan oleh calon klien atau
organisasi tempatnya bekerja; (d) Tidak mengungkapkan informasi rahasia yang diperoleh dari
hubungan profesional dan bisnis di luar Kantor atau organisasi tempatnya bekerja tanpa
kewenangan yang memadai dan spesifik, kecuali jika terdapat hak atau kewajiban hukum atau
profesional untuk mengungkapkannya; (e) Tidak menggunakan informasi rahasia yang diperoleh
dari hubungan profesional dan hubungan bisnis untuk keuntungan pribadi atau pihak ketiga; (f)
Tidak menggunakan atau mengungkapkan informasi rahasia apapun, baik yang diperoleh atau
diterima sebagai hasil dari hubungan profesional atau bisnis maupun setelah hubungan tersebut
berakhir; dan (g) Melakukan langkah-langkah yang memadai untuk memastikan bahwa personel
yang berada di bawah pengawasannya, serta individu yang memberi advis dan bantuan
profesional, untuk menghormati kewajiban Anggota guna menjaga kerahasiaan informasi.
Prinsip kerahasiaan merupakan bentuk perlindungan kepentingan
publik karena memfasilitasi aliran informasi yang bebas dari klien
atau organisasi tempatnya bekerja kepada Anggota dengan
pemahaman bahwa informasi tersebut tidak akan diungkapkan
kepada pihak ketiga.

Namun demikian, berikut ini adalah keadaan ketika Anggota harus mengungkapkan atau mungkin
disyaratkan untuk mengungkapkan informasi rahasia atau ketika pengungkapan tersebut mungkin
layak diungkap:
(a) Pengungkapan disyaratkan oleh hukum, misalnya:
(i) Pembuatan dokumen atau ketentuan lainnya atas bukti dalam proses hukum; atau
(ii) Pengungkapan kepada otoritas publik yang berwenang atas terjadinya indikasi pelanggaran
hukum;
(b) Pengungkapan diizinkan oleh hukum dan diperkenankan oleh klien atau organisasi tempatnya
bekerja; dan
(c) Terdapat kewajiban atau hak profesional untuk mengungkapkan, jika tidak dilarang oleh hukum:
(i) Untuk mematuhi penelaahan mutu oleh asosiasi profesi; (ii) Untuk merespons pertanyaan atau
investigasi oleh asosiasi profesi atau badan regulator; Untuk melindungi kepentingan profesional
Anggota dalam proses hukum; atau (iv) Untuk mematuhi standar profesional dan standar teknis,
termasuk persyaratan etika.
Dalam memutuskan untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan informasi
rahasia, Anggota mempertimbangkan keadaan yang relevan termasuk:
• Apakah kepentingan semua pihak dirugikan, termasuk pihak ketiga yang
kepentingannya terpengaruh, jika klien atau organisasi tempatnya bekerja
menyetujui pengungkapan informasi tersebut.
• Apakah semua informasi yang relevan diketahui dan didukung bukti yang kuat,
sepanjang praktis.

Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan untuk mengungkapkan meliputi:


• Fakta tidak didukung bukti yang kuat.
• Informasi yang tidak lengkap.
• Kesimpulan yang tidak didukung bukti yang kuat
• Komunikasi yang digunakan dan pihak yang dituju dalam komunikasi
tersebut.
• Apakah pihak-pihak yang dituju dalam komunikasi tersebut merupakan
penerima yang tepat.
5. PERILAKU PROFESIONAL

Anggota harus mematuhi prinsip perilaku profesional, yang


mensyaratkan Anggota untuk mematuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan menghindari perilaku apapun yang
diketahui atau seharusnya diketahui yang dapat mendiskreditkan
profesi.

Anggota tidak boleh terlibat dalam bisnis,


pekerjaan, atau aktivitas apapun yang diketahui
merusak atau mungkin merusak integritas,
objektivitas, atau reputasi baik dari profesi, dan
hasilnya tidak sesuai dengan prinsip dasar
etika.
BAB 6
TANGGUNG JAWAB DAN TUJUAN
AUDIT
Tujuan Pelaksanaan Audit Atas Laporan Keuangan

Tujuan audit adalah untuk menyediakan pemakai laporan keuangan suatu


pendapat yang diberikan oleh auditor tentang apakah laporan keuangan
disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan
kerangka kerja akuntansi keuangan yang berlaku. Pendapat auditor ini
menambah tingkat keyakinan pengguna yang bersangkutan terhadap
laporan keuangan.
Tanggung Jawab Manajemen
Tanggung jawab untuk mengadopsi kebijakan akuntansi yang baik,
menyelenggarakan pengendalian internal yang memadai, dan menyajikan
laporan keuangan yang wajar berada di pundak manajemen, bukan di
pundak auditor.

Karena menjalankan bisnis sehari-hari, manajemen perusahaan mempunyai


pengetahuan yang lebih mendalam tentang transaksi perusahaan serta aktiva,
kewajiban, dan ekuitas terkait ketimbang auditor.

Sebaliknya, pengetahuan auditor akan masalah ini serta pengendalian


internal hanya terbatas pada pengetahuan yang diperolehnya selama
audit.
Tanggung jawab manajemen atas integritas dan kewajaran penyajian (asersi)
laporan keuangan berkaitan dengan privilege untuk menentukan penyajian dan
pengungkapan apa yang dianggap perlu.

Jika manajemen bersikeras dengan


pengungkapan laporan keuangan yang menurut
auditor tidak dapat diterima, auditor dapat
memilih untuk menerbitkan pendapat tidak
wajar atau pendapat wajar dengan pengecualian
atau mengundurkan diri dari penugasan
tersebut.
Tanggung Jawab Auditor
Tujuan keseluruhan auditor, dalam melakukan audit atas laporan keuangan, adalah
untuk
1. memperoleh keyakinan yang layak bahwa laporan keuangan secara
keseluruhan telah bebas dari salah saji yang material, baik karena kecurangan
atau kesalahan, sehingga memungkinkan auditor untuk menyatatan pendapat
tentang apakah laporan keuangan itu disajikan secara wajar, dalam semua hal
yang material, sesuai dengan kerangka kerja pelaporan keuangan yang
berlaku; dan
2. melaporkan tentang laporan keuangan, dan berkomunikasi seperti yang
disyaratkan oleh standar auditing sesuai dengan temuan auditor.
Salah Saji yang Material vs Tidak Material
Materialitas adalah besarnya nilai yang
dihilangkan atau salah saji informasi yang
dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat
mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh
terhadap pertimbangan orang yang meletakkan
kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena
adanya penghilangan atau salah saji itu.

Salah saji umumnya dianggap material jika gabungan dari kekeliruan dan
kecurangan yang belum dikoreksi dalam laporan keuangan kemungkinan
akan mengubah atau mempengaruhi keputusan orang yang menggunakan
laporan keuangan tersebut. Walaupun sulit mengukur materialitas, auditor
bertanggung jawab untuk memperoleh kepastian yang layak bahwa ambang
batas materialitas ini telah dipenuhi. Namun diperlukan biaya yang sangat
besar (dan mungkin mustahil) bagi auditor untuk memikul tanggung jawab
menemukan semua kekeliruan dan kecurangan yang tidak material.
Kepastian yang Layak
Kepastian atau assurance merupakan ukuran tingkat kepastian yang diperoleh
auditor pada saat menyelesaikan audit. Standar auditing (SAS 104) menyatakan
bahwa kepastian yang layak adalah tingkat kepastian yang tinggi, tetapi tidak
absolut, bahwa laporan keuangan telah bebas dari salah saji yang material.
Konsep kepastian yang layak, bukan yang absolut, mengindikasikan babwa
auditor bukanlah pemberi garansi atau penjamin atas kebenaran laporan
keuangan. Jadi, audit yang dilaksanakan sesuai dengan standar auditing dapat
saja gagal mendeteksi salah saji yang material.

Contoh bukti audit yang sangat persuasif adalah hasil perhitungan ulang oleh
auditor atas bersarnya amortisasi atas beban dibayar di muka. Adapaun contoh bukti
audit yang kurang persuasif adalah hasil tanya jawab dengan karyawan klien.
Auditor bertanggung jawab atas kepastian yang layak, tetapi tidak absolut, karena
beberapa alasan:

1. Sebagian besar bukti audit diperoleh dari pengujian sampel populasi seperti piutang
usaha atau persediaan. Namun penggunaan sampling juga mengandung sejumlah risiko
tidak terungkapnya salah saji yang material. Selain itu, bidang yang diuji; jenis, luas, dan
waktu pengujian: serta evaluasi atas hasil pengujian juga membutuhkan pertimbangan
auditor yang penting. Bahkan dengan itikad baik dan integritas, para auditor dapat
membuat kesalahan dan kekeliruan dalam memberikan pertimbangannya.
2. Penyajian akuntansi mengandung estimasi yang kompleks, yang melibatkan sejumlah
ketidakpastian serta dapat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa di masa depan.
Akibatnya, auditor harus mengandalkan pada bukti audit yang persuasif, tetapi tidak
meyakinkan.
3. Laporan keuangan yang disusun dengan penuh kecurangan sering kali sangat sulit,
bahkan tidak mungkin, untuk dideteksi aleh auditor, terutama bila ada kolusi di kalangan
manajemen perusahaan.
Kekeliruan versus Kecurangan
Kekeliruan (error) adalah salah saji dalam laporan keuangan yang tidak
disengaja, sementara kecurangan (fraud) adalah salah saji yang disengaja. Dua
contoh kekeliruan antara lain kesalahan perhitungan harga dikalikan dengan
kuantitas pada faktur penjualan dan salah melihat bahan baku yang lama dalam
menentukan nilai persediaan dengan metode yang terendah antara harga perolehan
atau harga pasar.

Untuk kecurangan, dapat dibedakan antara misapropriasi aset


(misappropriation of assets), yang sering kali disebut sebagai
penyalahgunaan atau kecurangan karyawan, Contoh misapropriasi aset
adalah pengambilan kas pada saat penjualan yang curang dan tidak
memasukkannya ke dalam register kas
pelaporan keuangan yang curang (fraudulent financial reporting), yang sering
kali disebut sebagai kecurangan manajemen. Contoh pelaporan keuangan yang
curang adalah dengan sengaja melebihsajikan penjualan menjelang tanggal
neraca untuk meningkatkan laba yang dilaporkan.
Pelaporan keuangan yang curang dan misapropriasi aset berpotensi merugikan para
pemakai laporan keuangan, tetapi ada perbedaan penting di antara keduanya.
Pelaporan keuangan yang curang akan merugikan para pemakai karena menyediakan
informasi laporan keuangan yang tidak benar untuk membuat keputusan. Apabila aset
disalahgunakan atau dimisapropriasi, para pemegang saham, kreditor, serta pihak
lainnya akan dirugikan karena aset tersebut tidak lagi menjadi milik pemiliknya yang
sah.

Ada perbedaan penting antara pencurian aset dan salah saji yang diakibatkan oleh pencurian
aset ini. Perhatikan ketiga situasi berikut:
1. Aset dicuri dan pencurian itu ditutupi dengan menyajikan secara salah aset tersebut.
Sebagai contoh, kas yang ditagih dari pelanggan dicuri sebelum dicatat sebagai
penerimaan kas, dan piutang usaha tersebut tidak dikreditkan. Salah saji tersebut tidak
terungkapkan.
2. Aset dicuri dan pencurian tersebut ditutupi dengan menyajikan pendapatan terlalu rendah
atau melebihsajikan beban. Sebagai contoh, uang kas yang diperoleh dari penjualan tunai
dicuri, dan transaksi tersebut tidak pernah dicatat. Atau, pengeluaran yang tidak
diotorisasikan kepada seorang karyawan dicatat sebagai beban rupa-rupa. Salah saji
tersebut tidak terungkapkan.
3. Aset dicuri, tetapi misapropriasi tersebut berhasil diungkapkan. Laporan laba rugi dan
catatan kaki yang terkait mengungkapkan dengan jelas misapropriasi ini.
Skeptisme profesional
Sikap yang selalu mempertanyakan dan
melakukan evaluasi bukti audit secara kritis

Sikap sikap yang meliputi pikiran yang selalu


bertanya-tanya (questioning mind), waspada
(alert) terhadap kondisi dan keadaan yang
mengindikasikan adanya kemungkinan salah
saji material yang disebabkan oleh kekeliruan
ataupun kecurangan.
Asersi manajemen
Asersi manajemen (management assertions) adalah
representasi pernyataan yang tersirat atau diekspresikan oleh
manajemen tentang kelas transaksi dan akun serta
pengungkapan yang terkait dalam laporan keuangan.

Sederhananya adalah pernyataan manajemen yang


terkandung di dalam komponen laporan keuangan.

Standar auditing AICPA mengklasifikasikan asersi ke dalam tiga


kategori:
1. Asersi tentang kelas transaksi dan peristiwa selama periode yang
diaudit
2. Asersi tentang saldo akun pada akhir periode
3. Asersi tentang penyajian dan pengungkapan
1. Asersi tentang kelas
transaksi dan peristiwa
Keterjadian-Asersi keterjadian bersangkutan dengan apakah transaksi yang dicatat
dalam laporan keuangan benar-benar terjadi selama periode akuntansi itu. Sebagai
contoh, manajemen menegaskan bahwa transaksi penjualan yang dicatat merupakan
pertukaran barang atau jasa yang benar benar terjadi.

Kelengkapan-Asersi ini menyatakan apakah semua transaksi yang harus dimasukkan


dalam laporan keuangan sudah dimasukkan seluruhnya. Sebagai contoh, manajemen
menegaskan bahwa semua penjualan barang dan jasa telah dicatat dan dimasukkan
dalam laporan keuangan.
Asersi kelengkapan mengemukakan hal-hal yang berlawanan dengan asersi keterjadian. Asersi
kelengkapan berkaitan dengan kemungkinan penghilangan transakai yang harus dicatat, sementara
asersi keterjadian berkaitan dengan pencatatan transaksi yang seharusnya tidak boleh dicatat. Jadi,
pelanggaran atas asersi keterjadian berkaitan dengan lebih saji akun, sedangkan pelanggaran atas
asersi kelengkapan berkaitan dengan kurang saji akun. Pencatatan transakai penjualan yang
sebenarnya tidak dilakukan merupakan pelanggaran atas asersi keterjadian, sementara kegagalan
mencatat suatu transakai penjualan yang terjadi merupakan pelanggaran atas asersi kelengkapan.
Keakuratan-Asersi keakuratan menyatakan apakah transaki telah dicatat pada
jumlah yang benar. Penggunaan harga yang salah untuk mencatat transaksi
penjualan dan kekeliruan atau kesalahan dalam menghitung perkalian harga
dengan kuantitas merupakan contoh pelanggaran atas asersi keakuratan.

Klasifikasi-Asersi klasifikasi menyatakan apakah transaksi telah dicatat pada


akun yang tepat. Pencatatan gaji bagian administrasi pada harga pokok
penjualan merupakan satu contoh pelanggaran atas asersi klasifikasi.

Cuttoff-Asersi cuttoff menyatakan apakah transaksi telah dicatat pada periode


akuntansi yang benar. Mencatat transaksi penjualan pada bulan Desember
sementara barang belum dikirimkan sampai bulan Januari melanggar asersi
cutoff.
2. Asersi Tentang Saldo Akun
Eksistensi-Asersi eksistensi bersangkutan dengan apakah aktiva, kewajiban, dan
kepentingan ekuitas yang dicantumkan dalam neraca benar-benar ada pada tanggal
neraca. Sebagai contoh, manajemen menegaskan bahwa persediaan barang dagang yang
dimasukkan dalam neraca ada dan tersedia untuk dijual pada tanggal neraca.

Kelengkapan-Asersi ini menyatakan apakah semua akun yang harus disajikan dalam
laporan keuangan pada kenyataannya sudah dicantumkan. Sebagai contoh, manajemen
menegaskan bahwa wesel bayar di neraca mencakup semua kewajiban entitas seperti itu.

Asersi kelengkapan menyatakan hal-hal yang berlawanan dengan asersi eksistensi. Asersi kelengkapan
bersangkutan dengan kemungkinan penghilangan pos-pos dari laporan keuangan yang sebenarnya harus
dicantumkan, sedangkan asersi eksistensi bersangkutan dengan pencantuman jumlah yang seharusnya tidak
boleh dimasukkan. Jadi, pelanggaran atas asersi eksistensi berkaitan dengan lebih saji akun, sedangkan
pelanggaran atas asersi kelengkapan berkaitan dengan kurang saji akun. Pencantuman piutang dari pelanggan
fiktif melanggar asersi eksistensi, sedangkan kelalaian untuk mencatat piutang dari seorang pelanggan melanggar
asersi kelengkapan.
Penilaian atau Alokasi-Asersi penilaian dan alokasi berkaitan dengan apakah akun aset,
kewajiban, dan kepentingan ekuitas telah dimasukkan dalam laporan keuangan pada
jumlah yang tepat, termasuk setiap penyesuaian penilaian untuk mencerminkan jumlah
aset pada nilai realisasi bersih. Sebagai contoh, manajemen menegaskan bahwa properti
dicatat pada biaya historis dan biaya seperti itu secara sistematis dialokasikan ke periode
akuntansi yang tepat melalui penyusutan. Demikian pula, manajemen menegaskan bahwa
piutang usaha yang dicantumkan di neraca dinyatakan pada nilai realisasi bersih

Hak dan Kewajiban-Asersi ini membahas tentang apakah aset merupakan hak
entitas dan apakah kewajiban merupakan kewajiban entitas pada tanggal tertentu.
Sebagai contoh, manajemen menegaskan bahwa aset yang dimiliki oleh perusahaan
atau jumlah yang dikapitalisasi untuk lease dalam neraca merupakan biaya atas hak
entitas untuk meleasekan properti dan kewajiban lease yang terkait dengan aset
tersebut merupakan kewajiban entitas.
3. Asersi tentang Penyajian dan
Pengungkapan
Keterjadian serta Hak dan Kewajiban-Asersi ini menyatakan apakah peristiwa-
peristiwa yang diungkapkan telah terjadi dan merupakan hak serta kewajiban entitas.
Sebagai contoh, jika klien mengungkapkan bahwa ia telah mengakuisisi perusahaan lain,
hal ini menegaskan bahwa transaksi bersangkutan telah selesai.

Kelengkapan-Asersi ini bersangkutan dengan apakah semua pengungkapan yang


diperlukan telah dicantumkan dalam laporan keuangan. Sebagai contoh, manajemen
menegaskan bahwa semua transaksi yang material dengan pihak terkait telah diungkapkan
dalam laporan keuangan.

Keakuratan dan Penilaian-Asersi keakuratan dan penilaian serta alokasi bersangkutan


dengan apakah informasi keuangan diungkapkan secara wajar dan pada jumlah yang
tepat. Pengungkapan manajemen atas jumlah kewajiban pensiun yang belum didanai dan
asumsi-asumsi yang mendasari jumlah tersebut merupakan contoh asersi ini.
Klasifikasi dan Dapat Dipahami-Asersi ini berkaitan dengan apakah jumlah- jumlah
telah diklasifikasikan secara tepat dalam laporan keuangan dan catatan kaki, serta
apakah uraian saldo dan pengungkapan yang bertalian dapat dipahami. Sebagai
contoh, manajemen menegaskan bahwa klasifikasi persediaan sebagai barang jadi,
barang dalam proses, dan bahan baku sudah tepat, dan pengungkapan metode yang
digunakan untuk menilai persediaan dapat dipahami.
Auditor harus mempertimbangkan relevansi setiap asersi untuk setiap kelas
transaksi, saldo akun, dan penyajian serta pengungkapan yang signifikan.

Asersi yang relevan mempunyai pengertian


menyangkut apakah akun tersebut disajikan
secara wajar dan digunakan untuk menilai
risiko salah saji yang material serta merancang
dan melaksanakan prosedur audit.

Setelah asersi yang relevan diidentifikasi, kemudian auditor


dapat mengembangkan tujuan audit untuk setiap kategori
asersi.

Tujuan audit yang dilakukan auditor akan


mengikuti dan berhubungan erat dengan asersi
manajemen. Ini tidak mengherankan karena
tanggung jawab utama auditor adalah
menentukan apakah asersi manajemen tentang
laporan keuangan dibenarkan.
Tujuan Audit
TUJUAN AUDIT YANG BERKAITAN
DENGAN TRANSAKSI

TUJUAN AUDIT YANG BERKAITAN


DENGAN SALDO

TUJUAN AUDIT YANG BERKAITAN


DENGAN PENYAJIAN DAN
PENGUNGKAPAN
TUJUAN AUDIT YANG BERKAITAN DENGAN
TRANSAKSI

Tujuan audit yang berkaitan dengan transaksi mengikuti dan berhubungan erat
dengan asersi manajemen tentang kelas transaksi.

Ada perbedaan antara tujuan audit umum yang berkaitan dengan transaksi dan
tujuan audit khusus yang berkaitan dengan transaksi bagi setiap kelas transaksi.

Keenam tujuan audit umum yang berkaitan dengan transaksi yang dibahas di sini
dapat diterapkan pada setiap kelas transaksi, dan dinyatakan dalam istilah yang
luas.

Tujuan audit khusus yang berkaitan dengan transaksi juga diterapkan pada setiap kelas
transaksi, tetapi dinyatakan dalam istilah yang disesuaikan untuk kelas transaksi khusus,
seperti transaksi penjualan.

Setelah auditor menetapkan tujuan audit umum yang berkaitan dengan transaksi, hal itu
dapat digunakan untuk mengembangkan tujuan audit khusus yang berkaitan dengan
transaksi bagi setiap kelas transaksi yang akan diaudit.
6 Tujuan Audit Umum yang Berkaitan dengan
Transaksi
1. Keterjadian-Transaksi yang Dicatat Memang Ada-Tujuan ini berkenaan
dengan apakah transaksi yang tercatat memang benar-benar terjadi. Pencatatan
transaksi penjualan ke dalam jurnal penjualan padahal transaksi itu tidak terjadi
merupakan pelanggaran atas tujuan keterjadian. Tujuan ini merupakan padanan
auditor atas asersi manajemen tentang keterjadian untuk kelas transaksi.

2. Kelengkapan-Transaksi yang Terjadi Telah Dicatat-Tujuan ini bersangkutan


dengan apakah semua transaksi yang harus dimasukkan dalam jurnal benar-benar
telah dicatatkan. Kelalaian untuk memasukkan transaksi penjualan ke dalam jurnal
penjualan dan buku besar ketika transaksi penjualan itu terjadi melanggar tujuan
kelengkapan. Tujuan ini merupakan padanan bagi asersi manajemen tentang
kelengkapan untuk kelas transaksi.

3. Keakuratan-Transaksi yang Dicatat Dinyatakan pada Jumlah yang Benar-Tujuan


ini membahas keakuratan informasi tentang transaksi akuntansi dan merupakan salah satu
bagian dari asersi keakuratan untuk kelas transaksi. Untuk transaksi penjualan, tujuan ini
dilanggar jika jumlah barang yang dikirimkan ternyata berbeda dengan jumlah yang
tercantum dalam faktur penagihan, harga jual yang salah digunakan dalam faktur
penagihan, terjadi kesalahan penjumlahan atau perkalian dalam faktur penagihan, atau
4. Posting dan Pengikhtisaran-Transaksi yang Dicatat Dimasukkan ke dalam File
Induk dan Diikhtisarkan dengan Benar-Tujuan ini berkaitan dengan keakuratan
transfer informasi dari transaksi yang dicatat dalam jurnal ke buku besar pembantu dan
ke buku besar. Ini merupakan bagian dari asersi keakuratan untuk kelas transaksi.
Sebagai contoh, jika transaksi penjualan dicatat dalam catatan pelanggan yang salah
atau jumlah yang salah dicatat dalam file induk, jumlah semua transaksi penjualan yang
diposting dari jurnal penjualan ke buku besar tidak akurat, maka tujuan ini telah
dilanggar.
5. Klasifikasi-Transaksi yang Dicatat dalam Jurnal Klien telah Diklasifikasikan
secara Tepat- Tujuan ini menyatakan apakah transaksi telah dimasukkan dalam akun
yang tepat, dan merupakan padanan auditor atas asersi klasifikasi manajemen untuk
kelas transaksi. Contoh misklasifikasi penjualan adalah mencatat penjualan tunai sebagai
penjualan kredit, mencatat penjualan aktiva tetap operasi sebagai pendapatan, dan salah
mengklasifikasikan penjualan komersial sebagai penjualan residensial.

6. Penetapan Waktu-Transaksi Dicatat pada Tanggal yang Benar- Tujuan penetapan


waktu transaksi merupakan padanan auditor atas asersi cutoff manajemen. Kesalahan
penetapan waktu terjadi jika suatu transaksi tidak dicatat pada hari terjadinya. Sebagai
contoh, transaksi penjualan harus dicatat pada tanggal pengiriman barang.
Tujuan audit khusus yang berkaitan
dengan transaksi
Sesudah tujuan audit umum yang berkaitan dengan transaksi ditentukan, tujuan audit
khusus berkaitan dengan transaksi untuk setiap kelas transaksi material yang dapat
dikembangkan. Kelas transaksi semacam itu umumnya mencakup penjualan,
penerimaan kas, akuisisi barang dan jasa, penggajian, dan sebagainya.
2. TUJUAN AUDIT YANG BERKAITAN DENGAN SALDO
Tujuan audit yang berkaitan dengan saldo serupa dengan tujuan audit yang berkaitan
dengan transaksi yang baru saja dibahas. Tujuan-tujuan itu juga mengikuti asersi
manajemen dan memberikan kerangka kerja guna membantu auditor mengumpulkan
bukti yang tepat yang mencukupi berkaitan dengan saldo akun. Juga ada tujuan audit
umum dan khusus yang berkaitan dengan saldo.

Ada dua perbedaan antara tujuan audit yang berkaitan dengan saldo dan tujuan audit
yang berkaitan dengan transaksi. Pertama, seperti yang tersirat dalam istilahnya, tujuan
audit yang berkaitan dengan saldo diterapkan pada saldo akun seperti piutang usaha dan
persediaan, bukan kelas transaksi seperti transaksi penjualan dan pembelian persediaan.
Kedua, ada delapan tujuan audit yang berkaitan dengan saldo dibandingkan dengan
enam tujuan audit yang berkaitan dengan transaksi.
Apabila digunakan tujuan audit yang berkaitan dengan saldo untuk mengaudit saldo akun,
auditor akan mengumpulkan bukti untuk memverifikasi rincian yang mendukung saldo
akun, bukan memverifikasi saldo akun itu sendiri. Sebagai contoh, dalam mengaudit
piutang usaha, auditor mendapatkan daftar file induk piutang usaha yang cocok dengan
saldo buku besar umum. Tujuan audit yang berkaitan dengan saldo piutang usaha
diterapkan pada akun pelanggan dalam daftar tersebut.
Tujuan Audit Umum Yang Berkaitan Dengan Saldo

1. Eksistensi-Jumlah yang Tercantum Memang Ada- Tujuan ini bersangkutan


dengan apakah jumlah yang tercatat dalam laporan keuangan memang harus
dicantumkan. Sebagai contoh, pencantuman piutang usaha pelanggan dalam neraca
saldo piutang usaha padahal sebenarnya piutang itu tidak ada melanggar tujuan
eksistensi. Tujuan ini adalah padanan auditor atas asersi manajemen tentang eksistensi
saldo akun.

2. Kelengkapan-Jumlah yang Ada Telah Dicantumkan- Tujuan ini bersangkutan


dengan apakah semua jumlah yang harus tercatat pada suatu akun benar-benar telah
dicatat. Kelalaian untuk mencantumkan piutang usaha pelanggan dalam neraca saldo
piutang usaha apabila piutang usaha itu memang ada merupakan pelanggaran terhadap
tujuan kelengkapan. Tujuan ini adalah padanan auditor terhadap asersi manajemen
tentang kelengkapan untuk saldo akun.
Tujuan eksistensi dan kelengkapan menekankan masalah audit yang saling
berlawanan. Eksistensi berkaitan dengan lebih saji yang potensial sementara
kelengkapan bersangkutan dengan jumlah yang tidak tercatat (kurang saji).
3. Keakuratan-Jumlah yang Tercantum telah Dinyatakan dengan Benar- Tujuan
keakuratan mengacu pada jumlah yang tercantum secara aritmetika sudah benar. Pos-
pos persediaan dalam daftar persediaan klien dapat saja salah karena jumlah unit
persediaan fisik salah saji, harga per unit salah, atau totalnya dihitung secara tidak
benar. Setiap hal tersebut melanggar tujuan keakuratan. Keakuratan merupakan salah
satu bagian dari asersi penilaian dan alokasi untuk saldo akun.

4. Klasifikasi-Jumlah yang Tercantum dalam Daftar Klien Telah Di- klasifikasikan


dengan Tepat- Klasifikasi melibatkan penentuan apakah pos-pos yang ada dalam daftar
klien telah dicantumkan dalam akun-akun buku besar yang tepat. Sebagai contoh, dalam
daftar piutang usaha, piutang tersebut harus dipisahkan antara piutang jangka pendek
dan jangka panjang, serta jumlah piutang yang berasal dari afiliasi, para pejabat, dan
direksi harus diklasifikasikan secara terpisah dengan jumlah piutang dari pelanggan
lainnya. Klasifikasi juga merupakan bagian dari asersi penilaian dan alokasi.
5. Cutoff-Transaksi yang Mendekati Tanggal Neraca telah Dicatat pada Periode yang Tepat-
Dalam menguji cutoff atas saldo akun, tujuan auditor adalah menentukan apakah transaksi-transaksi
telah dicatat dalam saldo akun pada periode yang tepat. Saldo akun itu mungkin saja salah saji
karena transaksi dicatat menjelang akhir periode akuntansi. Untuk audit tahunan, akhir periode
akuntansi adalah sama dengan tanggal neraca. Pengujian cutoff dapat dipandang sebagai bagian dari
pemeriksaan akun neraca atau transaksi yang berkaitan, tetapi demi kemudahan, biasanya auditor
melaksanakannya sebagai bagian dari audit atas akun neraca. Tujuan penetapan waktu untuk
transaksi bersangkutan dengan penetapan waktu yang tepat untuk mencatat transaksi selama tahun
berjalan, sementara tujuan cutoff untuk tujuan audit yang berkaitan dengan saldo hanya
bersangkutan dengan transaksi menjelang akhir tahun. Sebagai contoh, pada audit akhir tahun per 31
Desember, transaksi penjualan padahal barangnya dikirimkan pada bulan Februari merupakan
kekeliruan tujuan audit yang berkaitan dengan transaksi, tetapi bukan kekeliruan tujuan audit yang
berkaitan dengan saldo.

6. Hubungan yang Rinci (Detail Tie-In)-Rincian Saldo Akun Sesuai dengan Jumlah
pada File Induk yang Berkaitan, Sesuai dengan Total Saldo Akun, dan Sesuai
dengan Total Buku Besar- Saldo akun dalam laporan keuangan didukung oleh rincian
pada file induk dan skedul yang dibuat oleh klien. Tujuan hubungan yang rinci ini
memastikan rincian dalam daftar telah disiapkan secara akurat, ditambahkan dengan
benar, dan sesuai dengan buku besar. Sebagai contoh, setiap piutang usaha yang tertera
dalam daftar piutang usaha harus sama dengan yang ada dalam file induk piutang usaha,
dan totalnya harus sama dengan akun pengendalian buku besar.
7. Nilai yang Dapat Direalisasi-Aset yang Telah Dicantumkan dalam Jumlah yang
Diestimasi Akan Direalisasi- Tujuan ini terkait dengan apakah saldo akun telah
dikurangi untuk memperhitungkan penurunan biaya historis ke nilai realisasi bersih.
Contoh-contoh penerapan tujuan ini antara lain mempertimbangkan kecukupan
penyisihan piutang tak tertagih dan penghapusan persediaan yang usang. Tujuan ini
hanya diterapkan pada akun aset serta merupakan bagian dari asersi penilaian dan
alokasi untuk saldo akun.

8. Hak dan Kewajiban- Selain eksistensi, sebagian besar aset juga harus dimiliki
sebelum dapat dicantumkan dalam laporan keuangan. Demikian pula, utang harus
merupakan kewajiban entitas. Hak selalu berkaitan dengan aset dan kewajiban dengan
utang. Tujuan ini adalah padanan auditor terhadap asersi manajemen tentang hak dan
kewajiban untuk saldo akun.
Tujuan Audit Khusus Yang Berkaitan
Dengan Saldo

Seperti halnya tujuan audit yang berkaitan dengan transaksi, setelah tujuan
audit umum yang berkaitan dengan saldo ditentukan, tujuan audit khusus yang
berkaitan dengan saldo untuk setiap saldo akun dalam laporan keuangan dapat
dikembangkan. Sedikitnya satu tujuan audit spesifik yang berkaitan dengan
saldo harus disertakan untuk masing-masing tujuan audit umum yang berkaitan
dengan saldo, kecuali auditor yakin bahwa tujuan audit umum yang berkaitan
dengan saldo tidak relevan atau tidak penting bagi saldo akun yang sedang
dipertimbangkan.
3. TUJUAN AUDIT YANG BERKAITAN DENGAN
PENYAJIAN DAN PENGUNGKAPAN

Tujuan audit yang berkaitan dengan penyajian dan pengungkapan


biasanya identik dengan asersi manajemen untuk penyajian dan
pengungkapan yang telah dibahas sebelumnya. Konsep yang sama, yang
diterapkan pada tujuan dengan saldo, juga berlaku untuk tujuan audit
yang berkaitan dengan penyajian dan pengungkapan.
Fase Audit Laporan Keuangan
Gambar 1-4 Empat Fase Audit Laporan Keuangan

Fase 1 Merencanakan dan merancang pendekatan audit


berdasarkan prosedur penilaian risiko

Fase 2 Melaksanakan pengujian pengendalian dan pengujian


substantif atas transaksi

Fase 3 Melaksanakan prosedur analitis dan pengujian rincian


saldo

Menyelesaikan audit dan menerbitkan laporan audit


Fase 4
Merencanakan Dan Merancang Pendekatan
Audit (Fase 1)
Merencanakan agar dan Merancang Pendekatan Audit dapat memberikan
pendapat atas laporan keuangan. Ada dua pertimbangan utama yang
mempengaruhi pendekatan yang akan digunakan audítor:
1. Bukti audit yang mencukupi dan tepat harus dikumpulkan agar dapat
memenuhi tanggung jawab profesional auditor
2. Biaya pengumpulan bukti audit ini harus ditekan serendah mungkin.
Pertimbangan pertama memang sangat penting, tetapi minimisasi biaya juga diperlukan
bila kantor akuntan publik ingin tetap kompetitif dan menguntungkan. Jika tidak ada
masalah dalam mengendalikan biaya audit, mengambil keputusan menyangkut bukti
audit akan menjadi mudah. Para auditor akan terus menambahkan bukti, tanpa
memperhatikan efisiensinya, hingga mereka cukup yakin bahwa tidak ada salah saji
yang material.

Perhatian atas pengumpulan bukti audit yang cukup dan tepat serta pengendalian biaya
audit membutuhkan perencanaan penugasan. Rencana ini harus menghasilkan pendekatan
audit yang efektif dengan biaya yang masuk akal. Auditor melaksanakan prosedur ini
untuk menilai risiko bahwa salah saji yang material mungkin telah ada dalam laporan
keuangan.
Merencanakan Dan Merancang Pendekatan
Audit (Fase 1)

Memahami Pengendalian Internal dan Menilai Risiko Pengendalian- Risiko salah saji
dalam laporan keuangan akan berkurang bila klien memiliki pengendalian yang efektif
atas pengoperasian komputer dan pemrosesan transaksi. Menilai risiko pengendalian
adalah proses di mana auditor mengidentifikasi pengendalian internal dan mengevaluasi
keefektifannya. Jika pengendalian internal dianggap efektif, risiko pengendalian yang
ditetapkan dapat dikurangi dan jumlah bukti audit yang harus dikumpulkan secara
signifikan dapat menjadi lebih sedikit ketimbang pengendalian internal yang tidak
memadai

Menilai Risiko Salah Saji yang Material- Auditor menggunakan pemahamannya atas
industri klien dan strategi bisnisnya, serta keefektifan pengendalian internalnya, untuk
menilai risiko salah saji dalam laporan keuangan. Penilaian ini kemudian akan
mempengaruhi rencana dan sifat audit, penetapan waktu, dan rentang prosedur audit.
Sebagai contoh, jika klien memperluas penjualan dengan merangkul pelanggan baru
yang memiliki peringkat kredit yang buruk, auditor akan menilai risiko salah saji yang
lebih tinggi atas nilai realisasi bersih piutang usaha dan merencanakan untuk
memperluas pengujian di bidang ini.
Melaksanakan pengujian pengendalian dan
pengujian subtantif atas transksi (fase II)

Sebelum dapat memutuskan untuk mengurangi penilaiannya atas risiko


pengendalian yang direncanakan apabila pengendalian internal dianggap efektif,
pertama auditor harus menguji keefektifan pengendalian tersebut. Prosedur untuk
jenis pengujian ini umumnya disebut sebagai pengujian pengendalian (tests of
controls).

Sebagai contoh, anggaplah bahwa pengendalian internal klien membutuhkan penanding


dengan komputer atas semua syarat pesanan penjualan pelanggan yang relevan, dokumen
pengiriman, dan faktur penjualan sebelum faktur penjualan dikirimkan kepada para
pelanggan. Pengendalian ini berkaitan secara langsung dengan keakuratan tujuan audit
yang berkaitan dengan transaksi untuk penjualan. Auditor dapat menguji keefektifan
pengendalian ini dengan membandingkan sampel faktur penjualan terhadap dokumen
pengiriman terkait dan pesanan penjualan pelanggan, atau dengan melaksanakan
pengujian atas pengendalian terkomputerisasi terkait dengan proses ini.
Auditor juga mengevaluasi pencatatan transaksi oleh klien dengan memverifikasi
jumlah moneter transaksi itu. Proses ini disebut sebagai pengujian substantif atas
transaksi (substantive tests of transactions). Sebagai contoh, auditor dapat
membandingkan harga jual per unit pada salinan faktur penjualan dengan daftar
harga resmi sebagai pengujian atas tujuan keakuratan transaksi penjualan. Seperti
pengujian pengendalian yang dibahas dalam paragraf sebelumnya, pengujian ini
memenuhi tujuan audit keakuratan yang berkaitan dengan transaksi. Demi efisiensi,
auditor sering kali melaksanakan pengujian pengendalian dan pengujian substantif
atas transaksi ini pada waktu yang bersamaan
Melaksanakan Prosedur Analitis Dan
Pengujian Rincian Saldo (Fase III)
Ada dua kategori umum prosedur pada fase III ini.
Prosedur analitis (analytical procedures) menggunakan perbandingan dan hubungan untuk menilai apakah saldo
akun atau data lainnya telah masuk akal. Sebagai contoh, untuk memberikan beberapa kepastian bagi tujuan
keakuratan atas transaksi penjualan (tujuan audit yang berkaitan dengan transaksi) maupun piutang usaha (tujuan
audit yang berkaitan dengan saldo), auditor dapat memeriksa transaksi penjualan dalam jurnal penjualan
menyangkut jumlah yang secara tidak biasa besar dan juga membandingkan total penjualan bulanan dengan
penjualan tahun-tahun sebelumnya. Jika perusahaan terus menggunakan harga jual yang tidak benar atau mencatat
penjualan secara tidak tepat, perbedaan yang signifikan mungkin akan terjadi.

Pengujian atas rincian saldo (tests of details of balances) merupakan prosedur spesifik yang ditujukan untuk
menguji salah saji moneter pada saldo-saldo dalam laporan keuangan. Suatu contoh yang berkaitan dengan
tujuan ketepatan untuk piutang usaha (tujuan audit yang berkaitan dengan saldo) adalah komunikasi tertulis
secara langsung dengan para pelanggan klien guna mengidentifikasi jumlah yang salah. Pengujian atas rincian
saldo akhir merupakan hal yang esensial dalam pelaksanaan audit karena sebagian besar bukti diperoleh dari
sumber yang independen terhadap klien sehingga dianggap bermutu tinggi.
Menyelesaikan Audit Dan
Menerbitkan Laporan Audit (Fase
IV)
Setelah menyelesaikan semua prosedur bagi setiap tujuan audit dan bagi setiap akun
laporan keuangan serta pengungkapan yang terkait, auditor harus menggabungkan
informasi yang diperoleh guna mencapai kesimpulan menyeluruh tentang apakah
laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Proses yang subjektif ini sangat
mengandalkan pada pertimbangan profesional auditor. Apabila audit telah selesai
dilakukan, akuntan publik harus menerbitkan laporan audit untuk melengkapi
laporan keuangan yang dipublikasikan oleh klien.

Anda mungkin juga menyukai