KOLONIALISME DAN
IMPERIALISME
PETA KERAJAAN GOWA
TOKOH PERLAWANAN GOWA
SULTAN HASANUDDIN
Nama Anggota Kelompok :
1. Arina Maulidatur Rohma (04)
2. Dwika Nirmala (09)
3. Lailatul Maulidiyah (14)
4. Muhammad Ghozi A.F. (19)
5. Brilian Eka Rahmatullah (37)
g6wa.jfif
PERLAWANAN GOWA
PERANG MELAWAN HEGEMONI
DAN KESERAKAHAN KONGSI
DAGANG
Kerajaan Gowa
Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di
Nusantara. Pusat pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus
menjadi pelabuhan Kerajaan Gowa Somba Opu senantiasa terbuka untuk siapa
saja Banyak para pedagang asing yang tinggal di kota itu Misalnya orang
Inggris, Denmark, Portugis, dan Belanda Mereka diizinkan membangun loji di
kota itu. Gowa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan Masyarakat
Gowa ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak
istimewa. Masyarakat Gowa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesual
dengan kata-kata "Tanahku terbuka bagi semua bangsa“, "Tuhan menciptakan
tanah dan laut tanah dibagikan-Nya untuk semua manusia dan laut adalah
milik bersama." Dengan prinsip keterbukaan dan kebersamaan itu maka Gowa
cepat berkembang.
Kerajaan Gowa
Makassar dengan pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang strategis
dalam jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Somba Opu telah
berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-kapal
dagang dari timur ke barat atau sebaliknya. Sebagal contoh kapal-kapal
pengangkut rempah-rempah dari Maluku yang berangkat ke Malaka
sebelumnya singgah dulu di Bandar Somba Opu Begitu pula barang
dagangan dari barat yang akan masuk ke Maluku juga melakukan
bongkar muat di Somba Opu.
Latar belakang VOC Ingin Menguasai Gowa
LATAR BELAKANG
PERLAWANAN Belanda memaksakan kehendak untuk
menghapuskan hak-hak kekuasaan raja-
raja di Bali atas daerahnya.
SEBAB UMUM
Raja-Raja Bali dipaksa mengakui
kedaulatan pemerintah Hindia Belanda
dan mengizinkan pengibaran bendera
Belanda di wilayah kerajaannya.
Jalannya Perang
Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang mendapat dukungan
patihnya, I Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda
terhadap kerajaan Buleleng tersebut Bahkan I Gusti Ketut Jelantik
sudah melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan
kesewenang-wenangan Belanda Dengan demiklan perang tidak dapat
dihindarkan. Patih Ketut Jelantik terus mempersiapkan prajunit
Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan Dalam pertempuran ini
Raja Buleleng mendapat dukungan dari Kerajaan Karangasem dan
Klungkung Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan
Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang langsung
menyerbu kampung-kampung di tepi pantai.
Jalannya Perang
Di samping itu masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal –
kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari
Buleleng yang dibantu oleh para pejuang Karangasem dan Klungkung
melawan Belanda Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat
Buleleng bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih
lengkap dan modern, maka para pejuang Buleleng semakin terdesak.
Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasal
Belanda Raja dan Patih Ketut Jelantik beserta pasukannya terpaksa
mundur sampal ke Desa Jagaraga (sekitar 7 km sebelah timur
Singaraja).
Perjanjian Raja Buleleng dengan Belanda
Belanda memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian
Perjanjian ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara
lain:
(1) dalam waktu tiga bulan Raja Buleleng harus menghancurkan semua
benteng Buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun
benteng baru
(2) Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang
telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus
menyerahkan I Gusti Ketut Jelantik kepada pemerintah Belanda,
(3) Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng
PASCA PERJANJIAN
- Tekanan dan paksaan Belanda itu ditandingi dengan tipu daya Raja
dan para pejuang berpura-pura menerima isi perjanjian itu Namun, di
balik itu Raja dan Patih Ketut Jelantik memperkuat pasukannya, Di
Jagaraga dibangun benteng pertahanan yang kuat bagaikan Gelar Supit
Urang Rakyat juga sengaja tetap mermpertahankan Hukum Tawan
Karang Pada tahun 1847 kapal-kapal asing
- Belanda mengeluarkan ultimatum namun tidak dihiraukan oleh raja –
raja Bali dan justru mempersiapkan diri untuk melawan kekejaman
Belanda.
SERANGAN KE BENTENG JAGARAGA
Belanda terus meningkatkan kekuatannya untuk menghadapi hal
tersebut. Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, bala bantuan Belanda
mendarat di Pantai Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap
Benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara
lain: J. van Swieten, Letkol Sutherland. Benteng Jagaraga terus dihujani
meriam. Namun pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ketut Jelantik
yang dibantu isterinya, Jero Jempiring mampu mengembangkan
pertahanan dengan gelar-supit urang sehingga dapat menjebak pasukan
Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang serdadu dapat ditewaskan
ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda luka-luka. Pasukan
Belanda terpaksa ditarik mundur.
SERANGAN KE BENTENG JAGARAGA
Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda
di Batavia. Oleh karena itu, dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk
melakukan pembalasan. Awal April 1849 telah datang kesatuan serdadu
Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April
1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga.
Dalam tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari semua kekuatan
di Jagaraga dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Keruntuhan Benteng
Jagaraga menjadi pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja
Buleleng diikuti I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir
ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan terbunuh dalam upaya
untuk mempertahankan diri.
KEKALAHAN KERAJAAN BALI
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ketut Jelantik maka
jatuhlah Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian
bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba
(Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Meskipun demikian,
Belanda tidak mudah untuk menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi
pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di
Badung. Dua tahun kemudian Perang Puputan meletus di Klungkung.