dan Terorisme
By Ahmad Jaelani
Fundamentalisme, Radikalisme, dan
Terorisme
Ketiga istilah tersebut seringkali dipersepsikan ada dan
melekat di wilayah Timur Tengah.
Akan tetapi sebenarnya istilah itu dapat terjadi di mana pun
di dunia ini, selama ada manusia yang melakukan hal itu.
Untuk itu, perlu ada pemahaman istilah itu secara lebih
jernih, agar tidak menimbulkan suatu salah interpretasi dan
salah persepsi.
Dalam sejumlah literatur, istilah Islam politik,
“fundamentalisme” atau “neo-fundamentalisme” atau
“revivalisme” Islam memiliki substansi yang sulit untuk
dibedakan satu sama lain.
John L. Esposito menyamakan istilah Islam
politik dengan “fundamentalisme Islam” atau
gerakan-gerakan Islam lainnya.
Oliver Roy cenderung menafsirkan Islam
politik sebagai aktivitas kelompok-kelompok
yang meyakini Islam sebagai agama dan
sekaligus sebagai ideologi politik (“the activist
groups who see in Islam as much a political
ideology as a religion”).
Istilah radikalisme dan fundamentalisme umumnya dipakai
—baik oleh kalangan akademisi maupun media massa—
untuk merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang
berkonotasi negatif seperti “ekstrim, militan, dan
nontoleran” serta “anti-Barat/Amerika.”
Sejak dikumandangkannya genderang perang melawan
terorisme oleh Presiden AS George W. Bush pasca 11
September 2001, istilah radikalisme dan fundamentalisme
dicampur-adukkan dengan terorisme.
Persepsi umum tentang “fundamentalisme” sangat
dipengaruhi oleh Protestanisme Amerika, di mana istilah itu
dipahami sebagai “sebuah gerakan Protestanisme abad
kedua puluh yang menekankan penafsiran Injil secara literal
sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran
Kristen.”
Menurut Esposito, “Bagi banyak orang
Kristen, ‘fundamentalis’ adalah hinaan, yang
digunakan agak sembarangan untuk orang-
orang yang menganjurkan posisi Injil yang
literalis dan dengan demikian dianggap
statis, kemunduran, dan ekstremis.”
Istilah “fundamentalisme” terlalu dibebani
oleh “praduga Kristen dan stereotip Barat
dan juga menyiratkan ancaman monolitik
yang tidak pernah ada.”
Istilah yang lebih tepat untuk menyebut
fenomena “fundamentalisme” dalam kancah
politik Islam, adalah revivalisme Islam
(Islamic revivalism).
Pandangan bahwa radikalisme dan fundamentalisme Islam
sebagai “anti-demokrasi,” sekurang-kurangnya didasarkan
pada dua alasan:
masalah konflik kekuasaan. Dewasa ini, negara-negara
Islam umumnya dikuasai elite politik sekuler, tapi mereka
mendapat tantangan yang semakin meningkat dari gerakan
Islam.
"konflik peradaban". Dewasa ini, baik dari segi kultur,
politik, maupun ekonomi, Barat mendominasi dunia.
Sedangkan peradaban lain dipandang sebagai "marginal".
Kebangkitan Islam dipandang sebagai ancaman terhadap
kemapanan peradaban Barat, terutama sesudah runtuhnya
komunisme.
Istilah terorisme umumnya dikaitkan dengan tingkah laku politik
sebagian besar komunitas di kawasan Timur Tengah yang berkonotasi
negatif, dalam arti tidak disukai pihak Barat.
Setiap tindakan—yang sebenarnya bersifat reaktif—yang dilancarkan
warga Timur Tengah yang tidak sejalan atau bertentangan dengan
kepentingan Barat, maka ia disebut terorisme.
Shireen T.Hunter secara terang-terangan pernah menuduh bahwa,
“There are many similarities in the Iranian, Syrian, and Libyan uses of
the terrorism as an instrument of policy”.
Tindakan Israel yang merugikan pihak Arab, tidak pernah sekalipun
disebut terorisme.
Pembantaian yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina yang tak
berdosa atau aksi pemboman dan embargo AS yang telah menewaskan
atau membuat cacat seumur hidup ribuan warga sipil (termasuk bayi-
bayi) Afghanistan dan Irak, tidak disebut sebagai terorisme melainkan
“aksi pembalasan”, “respons”, atau “pencegahan”.
Ada standar ganda pemaknaan apa itu “terorisme.”
Apa definisi terorisme?
“Terrorism has been defined in various ways by different scholars”, tulis
Kent Layne Oots.
Roberta Goren mengakui adanya “definitional problems” untuk istilah
terorisme.
J. Bowyer Bell mengatakan bahwa terorisme adalah senjata kaum
lemah, tapi ia merupakan senjata yang sangat ampuh.
David Fromkin membedakan antara terorisme dan aksi militer. Katanya,
“military action is aimed at physical destruction while terrorism aims at
psychological consequences”.
Brian Michael Jenkins memandang terorisme sebagai “a new form of
warfare”.
Antal Deutsch melihat terorisme sebagai “a low-cost type of warfare
between major powers”.
Jeffrey Ian Ross dan Ted Robert Gurr dalam artikel mereka, “Why
Terrorism Subsides”, mendefinisikan terorisme internasional sebagai,
“terrorism carried out by autonomous nonstate actors and affecting
nationals of at least two states”.
Oots mencoba merumuskan seperangkat definisi terorisme yang terdiri
dari 6 butir yaitu:
Terrorism may be a psychological or military act designed to
create fear, or cause material or economic destruction.
Terrorism may be a method of constraining the behavior of others.
This is often done through attacks on victims other than the real
target to act.
Terrorism has been described as a crime committed for publicity.
Terrorism may be a crime with a political purpose.
Terrorism has been described as purposive violence.
Terrorism may be a criminal act committed for political or
economic gain”.
Sedangkan Fathi Osman menjelaskan, bahwa suatu kesulitan besar
dalam membahas terorisme adalah masalah definisinya.
Jika terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk mencapai
tujuan tertentu, maka semua aksi militer pun menggunakan kekerasan.
Jika kita menganggap terorisme sebagai tindakan menyakiti/melukai
orang tak berdosa, maka penggunaan senjata berat dalam peperangan
pun jelas merupakan tindakan yang menyakiti/melukai ribuan atau
jutaan orang tak berdosa.
Apa yang dilakukan para aktor non-negara terhadap berbagai
kepentingan publik jelas merupakan tindak kekerasan yang dapat
digolongkan sebagai terorisme.
Aksi kekerasan negara-negara tertentu yang menimbulkan korban di
kalangan warga sipil, seperti di Palestina, Afghanistan, dan Irak pun
jelas merupakan aksi terorisme.
Memandang masalah terorisme haruslah secara adil dan tidak
menggunakan standar ganda.
Paling tidak, istilah terorisme dapat
diterapkan bila memenuhi 3 hal:
1) Ada tujuan politik
2) Ada unsur kekerasan
3) Ada korban sipil
Seringkali cap “fundamentalisme”
dipergunakan—secara sinis dan dengan
nada menghina, memusuhi, serta
merendahkan—untuk menyebut beberapa
hal berikut:
Republik Islam Iran, Imam Khomeini,
Hizbullah, Hamas, FIS (Front Islamique du
Salut) di Aljazair, Partai Refah di Turki,
dsb.
The Global War on Terrorism
adalah Propaganda Hitam (Black
Propaganda):