Anda di halaman 1dari 36

Berlakunya Hukum Pidana

(berdasarkan waktu dan wilayah)


Asas Legalitas
Analogi
Asas Teritorial
Asas Universalitas
Hukum Pidana Supranasional
ASAS LEGALITAS
Pasal 1 ayat (1) KUHP

Tiada suatu perbuatan dapat


dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam
per-UU-an yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan
ASAS LEGALITAS

Nullum delictum
nulla poena sine
praevia legi poenali
(Latin)
Paul Johan Anselm von Feurbach (Jerman)
Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya
Nullum crimen
sine lege stricta
(Latin)
Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas
Geen delict, geen
straf zonder een
voorafgaan de
strafbepalingen
(Belanda)
Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan
terlebih dahulu dalam undang-undang piana
Code Penal (Prancis,1791)
Sebagai Dasar Asas Leglitas
Melahirkan prinsip :
1. Adanya kepastian hukum
Hukum harus dibuat dalam bentuk tertulis
Hakim dilarang menganalogikan UU
2. Persamaan di depan hukum
3. Keseimbangan antara kejahatan dan
penghukuman
Menurut Prof.Moeljatno
Asas legalitas mengandung 3 pengertian
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan UU.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi
3. Aturan hukum pidana tidak boleh
berlaku surut
Asas Legalitas
 Montesquieu -> Ajaran pemisahan kekuasaan
(Yudikatif, Eksekutif, Legislatif)
Legislatif yang menciptakan UU bukan Hakim

 Penentang legalitas Prof. Utrect -> Hk. Adat

 Negara tak menggunakan asas legalitas (Common law)


1. Inggris
2. Malaysia
3. Singapura
4. Brunai
5. Argentia
Kesimpulan Psl 1 ayat 1 :

Bahwa perbuatan seseorang harus diadili


menurut aturan yg berlaku pada waktu
perbuatan itu dilakukan” (lex temporis
delicti).

Bagaimana jika setelah perbuatan dilakukan,


dan perkara belum diadili, ada perubahan
dalam aturan hukum ?
Hukum transitoir
Pasal 1 ayat 2 KUHP
“Jika ada perubahan dalam perundang-
undangansetelah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang
paling menguntungkan “

Artinya, bhw pada lex temporis delicti telah


diadakan pembatasan.
Analogi
 Dalam penerapan ketentuan hukum (UU) tidak
boleh menggunakan analogi.

 Penggunaan analogi dalam penerapan undang-


undang tidak diperkenankan dalam hukum
pidana, hal ini di sebabkan karena dengan
analogi berarti diciptakan suatu ketentuan
hukum baru yang tidak diatur sebelumnya
dalam undang-undang oleh intitusi yang
mempunyai kekuasaan untuk membuat
undang-undang yaitu DPR.
Vos berpendapat bahwa penerapan analogi tidak di izinkan
setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi
diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan asas
Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Prof. Andi Hamzah, dapat ditarik pemisah antara penerapan


analogi yang dilarang dengan analogi yang diizinkan
(penerapan analogi secara terbatas), yaitu dilarang jika
diciptakan delik-delik baru berdasarkan analogi tersebut,
misalnya yang didasarkan pada perasaan hukum
masyarakat, sedangkan dalam hal penafsiran seperti
pemahaman aliran listrik/data komputer sebagai barang
dalam hal pencurian tidak diciptakan delik baru
 Pompe, penerapan analogi (secara terbatas) hanya
dapat diizinkan jika ditemukan kesenjangan di dalam
undang-undang yang tidak dipikirkan atau tidak
dapat dipikirkan oleh pembuat undang-undang dan
karena itu undang-undang tidak merumuskan lebih
luas hal-hal tesebut dalam naskah teksnya.

 Adanya kekhawatiran dengan menggunakan analogi


berhubungan dengan asas legalitas yang dapat
dibahayakan sehingga dapat menimbulkan penyalah-
gunaan dalam penerapan undang-undang bagi
penguasa, seperti di Jerman pada saat Hitler berkuasa.
ASAS TERITORIAL (wilayah)

Pasal 2 KUHP
Aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
melakukan perbuatan pidana di dalam
Indonesia

Perluasan asas teritorial


Pasal 3 KUHP
Aturan pidana perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
diluar Indonesia melakukan perbuatan pidana
di dalam kapal Indonesia
Asas kewilayahan ini menunjukkan bahwa
siapapun yang melakukan delik di wilayah suatu
Negara tempat berlakunya hukum pidana, maka
harus tunduk pada hukum pidana tersebut.
Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan
kewilayahan ini dibatasi atau mempunyai
pengecualian terhadap ketentuan hukum
internasional, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 9 KUHP : “Berlakunya pasal-pasal 2-5, 7
dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang
diakui dalam hukum internasional”
Van Bemmelen menunjukkan bahwa pengecualian asas
kewilayahan terhadap hukum internasonal itu seperti :
◦ Tidak berlakunya hukum pidana setempat di lingkungan kantor duta
besar Negara asing
◦ Utusan asing yang secara resmi diterima oleh kepala Negara
◦ Pegawai-pegawai kedutaan yang berfungsi di bidang diplomatic,
seperti kanselir, konsul dan seluruh pegawainya, walaupun mereka
tidak berseragam.
◦ Mereka yang mempunyai hak imunitas sebagaimana yang tercantum
dalam Perjanjian Wina tanggal 18 April 1961. Pengertiannya adalah
bahwa mereka orang asing yang diberikan hak imunitas ini hukum
pidana yang berlaku di Indonesia tidak berlaku bagi mereka yang
sedang berada di Indonesia, hal ini berlaku bagi :
 Kepala Negara dan kelauarga dan rombongannya yang sedang dalam
kunjungan kenegaraan.
 Duta Negara asing dan keluarganya.
 Anak buah kapal perang asing.
◦ Pasukan Negara sahabat yang berada di Indonesia aas persetujuan
Negara yang bersangkutan.
Asas Teritorial Pasif
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu Negara berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena kepentingan
tertentu terutama kepentingan Negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan
Negara.
Dalam ketentuan asas ini yang dilindungi dalam hal ini bukan hanya
kepentingan individu, tetapi juga kepentingan Negara dan umum yang lebih
luas

Ketentuan Pasal 4 KUHP :


Mengenai orang Indonesia yang berada di luar Indonesia melakukan salah satu kejahatan yang
tersebut dalam pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis (1), 127 dan 131.

Ketentuan Pasal 8 KUHP


Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi nakhoda dan
penumoang perahu Indonesia yang diluar indonesia, sekalipun diluarperahu
melakukan salah satu perbuatanpidana tersebut Bab XXIX Buku ke II dan Bab
IX Buku ke III….
Asas Teritorial Aktif (personalitas)
Pasal 5 KUHP :
 Ketentuan pidana dalam perundang-undangan RI berlaku bagi

warganegara Indonesia yang melakukan diluar wilayah Indonesia


:
 Kejahatan bab I dan II buku kedua dan pasal-pasal 160, 161,

240, 279, 450 dan 451 KUHP.


 Kajahatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut UU

Negara, dimana perbuatan itu dilakukan.

Asas personalitas ini diperluas dengan Pasal 7 KUHP :


“Aturan hukum pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi
setiap orang pegawai negari yang diluar Indonesia melakukan
salah satu kejahatan tersebut dalam Bab XXVIII Buku Kedua.
Asas Universalitas
Didalam KUHP asas-asas ini diatur dalam :
 Pasal 4 sub ke 2
 Pasal 4 sub ke 4

Konvensi Montreal tahun 1971 (tentang penerbangan)


Konvensi Jenewa tahun 1949 (Palang merah)
Konvensi Jenewa tahun 1929 (mata uang)  

Jenis kejahatan yang diancam dengan pidana menurut


asas ini adalah kejahatan yang sangat berbahaya, bukan
saja dari sisi kepentingan suatu Negara akan tetapi juga
kepentingan dunia, dimana jenis kejahatan ini perlu
dicegah dan diberantas, seperti terorisme serta
kejahatan mata uang dan berbagai bentuk perompakan
di laut (Somalia) dan kejahatan penerbangan.
Hukum Pidana Supranasional
Hukum pidana supranasional pada dasarnya ditentukan
dalam hukum bangsa-bangsa yang terdiri dari perjanjian-
perjanjian tertutup antar Negara dan juga tidak tertutup
dari kebiasaan-kebiasaan dan azas-azas yang bersifat
hukum-hukum bangsa

Berupa delik yang mempunyai sifat internasional, ditetapkan


dapat dipidana yang berdasarkan ketentuan umum yang
seragam dipidana oleh hakim yang supranasional.
◦ Persetujuan London 8 Agustus 1945 yang menjadi dasar Mahkamah
Militer Internasional yang mengadili penjahat-penjahat perang di
Jerman dan Jepang.
◦ Perjanjian tentang genocide (pembunuhan massal) 9 Des. 1948.
Ayooo BELAJAR
PENAFSIRAN(Interpretasi) HUKUM
 UU sebagai bagian dari hukum positif bersifat statis
dan tidak dapat mengikuti perkembangan
kemasyarakatan, yang menimbulkan ruang kosong
 Tidak semua ketentuan dalam UU dapat
menjelaskan seluruh isi peraturan yang ada di
dalamnya
 Penafsiran bertujuan untuk mencari dan
menemukan kehendak pembentuk UU yang telah
dinyatakan oleh pembuat UU itu secara kurang
jelas
 Adalah tugas hakim untuk menafsirkan
pemahaman suatu pengertian sehingga dapat di
gunakan untuk memutus perkara
JENIS PENAFSIRAN HUKUM PIDANA (UU)
1. Interpretasi gramatikal (tata bahasa)
2. Interpretasi sistematis (dogmatis)
3. Interpretasi historis
4. Interpretasi teleologis
5. Interpretasi ekstensif
6. Interpretasi rasional
7. Interpretasi antisipasi
8. Interpretasi perbandingan hukum
9. Interpretasi kreatif
10. Interpretasi tradisionalistik
11. Interpretasi harmonisasi
12. Interpretasi doktriner
13. Interpretasi sosiologis
Interpretasi gramatikal (tata bahasa)
 Penafsiran yang didasarkan atas kata-kata
yang dipakai undang-undang (sehari-hari)
atau suatu perkataan dengan perkataan lain.

Permasalah
 Kata-kata yang digunakan dalam KUHP
(warisan Belanda) masih menggunakan
bahasa Belanda yang terkadang sulit
diterjemahkan dengan bahasa Indonesia
 Mis. “Strafbaarfeit” (peristiwa/tindak)
Interpretasi sistematis (dogmatis)

 Penafsiran yang mendasarkan sistem dalam


UU itu, dengan menghubungkan bagian yang
lain dari UU itu

 Penafsiran dengan mencari penjelasan pada


pasal-pasal yang ada dalam berbagai
undang-undang
Interpretasi historis

 Penafsiran yang didasarkan pada sejarah


(maksud pembuat) pembentukan UU maupun
sejarah pertumbuhan hukum yang diatur
dalam suatu UU.

 Dapat dilihat pada catatan-catatan rapat


pembentukan UU (di DPR)
Interpretasi teleologis
 Penafsiran yang didasarkan pada tujuan yang
dikehendaki pembentuk UU ketika UU
tersebut dibuat.

 Misalnya tujuan pembentukan UU pidana


(KUHP)
Interpretasi ekstensif

 Penafsiran yang didasarkan pada cara


memperluas peraturan yang dimuat dalam
UU.

 Penafsiran barang yang diperluas pada aliran


listrik, gas dan data serta program komputer
Interpretasi rasional
 Interpretasi yang didasarkan kepada
ratio/akal pikiran yang obyektif , yang
biasanya dilakukan dengan membandingkan
arti kata diantara beberapa undang-undang
Interpretasi antisipasi

 Penafsiran dengan mendasarkan kata-kata


pada undang-undang baru (bahkan belum
berlaku)
Interpretasi perbandingan hukum

 Interpretasi yang didasarkan pada


perbandingan hukum yang berlaku di
berbagai negara.
Interpretasi kreatif
 Penafsiran dengan mempersempit
pengertian suatu istilah

 Delik subversi harus berlatarbelakang politik


Interpretasi tradisionalistik

 Penafsiran yang didasarkan pada hukum


adat

 Misalnya Logika Sanggraha


Interpretasi harmonisasi
 Penafsiran yang didasarkan atas harmonisasi
(keterkaitan) suatu UU dengan UU yang lebih
tinggi.
Interpretasi doktriner
 Penafsiran yang didasarkan pada doktrin
(ilmu pengetahuan hukum)
Interpretasi sosiologis
 Penafsiran terhadap suatu istilah dengan
memperhatikan hal-hal yang sifatnya
sosiologis (kamasyarakatan)

 Interpretasi ini yang seharusnya sering


dipergunaan saat ini, melihat perkembangan
masyarakat yang semakin, yang terkadang
tidak diimbangi dengan ketentuan hukum
yang sudah ada

Anda mungkin juga menyukai