UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2021 A. PENDAHULUAN • Kedua aliran filsafat analitik bahasa, yaitu atomisme logis dan positivisme logis berupaya menciptakan bahasa logika yang sesuai dengan struktur logika fakta-fakta empiris karena mereka menganggap bahasa filsafat penuh dengan kelemahan dan kekaburan. • Selain itu, mereka juga berupaya menghindarkan metafisika dari filsafat karena ungkapan-ungkapan atau proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna atau merupakan omong kosong. Kenapa? Karena tidak bisa diverfikasi secara empiris. Padahal konsep makna yang mereka tekankan sebagai dasar analisis juga merupakan fakta metafisis, karena makna itu tidak bisa diamati secara empiris. • Berbeda dengan para filsuf dari kedua aliran itu, maka para filsuf dari aliran filsafat bahasa biasa (ordinary languange) justru menganggap bahasa biasa dapat digunakan untuk berfilsafat. Yang menarik disimak adalah filsuf Wittgenstein, yang pada periode pertama disebut Wittgenstein I menjadi berbeda pandangan dan sikap pada periode kedua, yang disebut juga Wittgenstein II. Maka pada kesempatan ini akan dibicarakan pemikiran Wittgenstein. • Pemikiran filsafat Wittgenstein II tertuang dalam bukunya Philosophical Investigation. Isi buku ini sangat berbeda bahkan bertolak belakang dengan bukunya pada Wittgenstein I yaitu Tractatus Logico Philosophicus (disingkat Tractatus), yang didasarkan pada semantik dan formulasi logika. • Dalam buku kedua ini ia sadar bahwa bahasa yang diformulasikan melalui logika tidak mungkin untuk dikembangkan dalam filsafat. Malah dalam berbagai bidang kehidupan manusia ada berbagai macam konteks yang tidak mungkin hanya diungkapkan dengan formulasi logika bahasa. • Aspek pragmatik bahasa dalam kehidupan sehari-hari semakin disadari Wittgenstein dimana terdapat sejumlah ragam bahasa yang digunakan dalam berbagai macam konteks kehidupan. • Wittgenstein mengeritik pendapatnya yang tertuang dalam buku pertamanya, mengenai struktur hakikat bahasa. Dalam buku yang pertama itu dia menganggap bahwa bahasa adalah kumpulan proposisi sederhana atau atomis yang jumlahnya sangat besar dan tidak terbatas. Setiap proposisi atomis menggambarkan realitas fakta atomis yaitu keberadaan suatu peristiwa yang paling sederhana yang memiliki satu analisis yang lengkap. Dengan demikian setiap proposisi itu adalah sebuah fungsi kebenaran dari sebuah proposisi atomis itu. Jadi, makna dari sebuah proposisi adalah kenyataan yang sesuai dengan fakta atau keberadaan sutu peristiwa. • Namun, dalam bukunya yang kedua, dia menolak pendapatnya itu dengan menyatakan bahwa bahasa itu bukan hanya digunakan untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis saja, melainkan digunaka juga untuk menyatakan pembenaran, pertanyaan, perintah, pengumuman dan sebagainya. Jadi, banyak sekali jenis dan macam penggunaan bahasa dalm kehidupan manusia sehari-hari pada dasarnya cukup untuk mengungkapkan berbagai pemikiran filosofi. • Buku Philosophical Investigation berisi pemikiran Wittgenstein mengenai filsafat bahasa biasa. Tesisi utamanya adalah “makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan makna bahasa itu adalah penggunaannya dalam hidup”. • Tesis itu mengisyaratkan bahwa Wittgenstein lebih menekankan pada aspek pragmatik bahasa, atau lebih menempatkan bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi dalam kehidupan manusia. Bahasa tidak hanya memiliki satu struktur logis saja melainkan memiliki penggunaan dalam berbagai kehidupan manusia yang bersifat kompleks. Dengan demikian, tugas filsafat adalah menguraikan dan menerangkan bahasa dan tidak melakukan intervensi di dalamnya. Dalam hal ini ada tiga pertanyaan Wittgenstein yang perlu diperhatikan (Kaelan 1998 : 146) yaitu disarikan sebagai berikut : 1. Makna sebuah kata adalah penggunaanya dalam bahasa 2. Kita tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu berfungsi, kita hanya harus melihat penggunaannya dan belajar daripadanya 3. Filsafat tidak boleh turut campur dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya, filsafat hanya dapat menguraikannya. • Dengan tiga pernyataan itu Wittgenstein telah membuka cakrawala baru dalam berfilsafat, yaitu tidak berdasar pada bahasa yang memiliki struktur logika yang ketat, tidak lagi atas dasar logika formal dan matematika. Melainkan berdasar atas bahasa yang digunakan sehari- hari (ordinary languange). • Lalu, karena kehidupan manusia itu sehari-hari bersifat kompleks, meliputi berbagai bidang kehidupan, maka penggunaan bahasa juga menjadi untuk berbagai bidang, sehingga bentuk-bentuk kalimatnya pun menjadi untuk berbagai bidang, sehingga bentuk-bentuk kalimatnya pun menjadi berbagai macam pula. Jumlah bidang kehidupan ini selalu berubah dan berkembang, sehingga akan selalu muncul jenis-jenis ragam bahasa baru, silih berganti, yang baru mucul, dan yang lama terlupakan. Permainan Bahasa (Language Game) • Istilah language game (permainan bahasa) yang digunakan Wittgenstein dimaksudkan bahwa penggunaan bahasa dalam berbagai bidang kehidupan itu dibandingkan atau dianalogikan dengan berbagai macam macam permainan yang tentu saja mempunyai peraturan yang berbeda. Lalu, peraturan setiap permainan itu harus dipatuhi dan jangan dicampur adukkan kalau ingin permainan itu berlangsung dengan baik. Jadi, peraturan penggunaan bahasa, yang menyangkut susunan kalimat, kosakata, dan sebagainya, untuk karangan ilmiah jangan dicampuradukkan untuk karangan novel, dan sebagainya. • Menurut Wittgenstein keaneka ragaman dalam hidup manusia memerlukan bahasa yang digunakan dalam konteks-konteks tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, setiap konteks kehidupan manusia menggunakan bahasa tertentu yang memiliki aturan-aturan main yang tertentu. Sebagaimana layaknya permainan, maka terdapat seperangkat aturan yang harus dipatuhi, yang merupakan pedoman dalam pedoman melaksanakan permainan itu. • Penggunaan bahasa dalam konteks tertentu dengan aturan-aturan tata bahasanya, diperbandingkan Wittgenstein dengan permainan catur dengan segala peraturannya. Misalnya tentang “raja” yang memegang peranan yang sangat penting, maka ketentuan itu merupakan bagian yang sangat esensial dalam permainan catur itu. Kalau peraturan itu dilanggar berarti kita tidak tahu aturan atau petunjuk permainan itu. Begitu pula aturan dalam permainan bola dan permainan lainnya. • Begitu pula dalam tata permainan bahasa atau aturan bahasa. Setiap bentuk permainan bahasa mempunyai aturan permainan masing-masing yang tidak boleh dicampur adukkan dengan tata aturan permainan yang satu dengan lainnya. Penggunaan bahasa (ragam bahasa) dalam konteks ilmiah tidak boleh dicampuradukkan dengan penggunaan ragam sastra atau ragam santai, sebab ragam sastra dan ragam santai mempunyai aturan sendiri. • Kekacauan akan timbul apabila kita menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan lainnya. Maka kita tidak mungkin menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Hal inilah yang menjadi sebab Wittgenstein menyadari akan kelemahan konsepnya yang pertama yang memiliki obsesi untuk membangun satu bahasa yang ideal yang terstruktur secara logis yang melukiskan susunan logis realitas dunia. • Membangun satu bahasa ideal yang terstruktur secara logis yang melukiskan susunan logis realitas dunia adalah tidak mungkin. Mengapa? Karena di dalam bahasa memang ada kata-kata yang bermakna leksikal seperti kata meja, kursi, dan api, tetapi banyak pula kata-kata yang disebut kata-kata penghubung (konjungsi) dan kata depan (preposisi), seperti kata kemudian, dan atau, kalau dan lainnya. Sedangkan kata-kata bermakna leksikal itupun makna nya tergantung pada penggunaannya dalam kalimat; makna sebuah kalimat juga tergantung pada penggunaanya dalam bahasa (wacana) dan akhirnya makna bahasa itu tergantung pada penggunaannya dalam hidup manusia. • Kehidupan manusia yang bersifat kompleks, yang meliputi berbagai bidang dan bersifat dinamis dengan sendirinya mempunyai berbagai macam aturan, yang terlukiskan dalam bahasa. Dalam pengertian inilah maka bahasa akan memiliki makna apabila mampu mencerminkan aturan-aturan yang terdapat dalam setiap konteks kehidupan manusia. • Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai kata atau ungkapan bahasa yang sama, tetapi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan, atau digunakan dalam berbagai bentuk permainan bahasa. Menurut Wittgenstein hal itu dapat saja terjadi, yaitu bahasa menghasilkan hal yang bersifat umum. Namun, fenomena bentuk kehidupan yang dilukiskan melalui bahasa tersebut bukanlah suatu pengertian yang bersifat umum. Karena penggunaan kata atau kalimat yang sama dalam berbagai cara yang berbeda tidak berarti memiliki makna yang sama, melainkan hanya memiliki dasar-dasar kemiripan yang bersifat umum. • Meskipun secara struktural ungkapan kalimat atau kata memiliki kemiripan, tetapi dalam penerapan dan penggunaan yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda, dan sangat tergantung pada konteks kehidupan yang berkaitan dengan ragam bahasa tersebut. Jadi, meskipun mengandung kemiripan yang bersifat umum, tetapi makna nya sangat tergantung pada aturan main dalam konteks permainan tersebut. Hal tersebutbanyak kita jumpai pada penggunaan kata yang disebut kata deiktis. • Yang dimaksud kata-kata deiktis adalah kata-kata pronomina persona, yaitu kata aku, kamu, dia, dan lain-lain. Kata-kata yang menyatakan waktu seperti kemarin, hari ini, dan besok, dan kata-kata yang menyatakan tempat seperti disini dan disana. Kata-kata deiktis ini referennya atau rujukannya bisa berpindah atau tidak tetap. Misalnya kalimat “Hari ini pendaftara dimulai”. Makna hari ini bila diucapkan hari selasa, maka hari ini berarti ‘hari selasa’, dan bila diucapkan hari Rabu maka hari ini berarti ‘hari Rabu’ dan seterusnya. • Dalam kaitannya dengan etika berbahasa kata kamu yang digunakan kepada teman sebaya akan menimbulkan rasa akrab atau biasa, berbeda kalau digunakanuntuk orang kedua yang pejabar atau yang kedudukan sosialnya lebih tinggi tentu akan bermakna lain. • Akhirnya, bisa dikatakan meskipun ungkapan yang sama, tetapi makna nya tetap sangat tergantung pada penggunaan dalam situasi atau konteks yang bersangkutan yang memiliki aturan masing-masing. Bahasa danTugas Filsafat • Pada periode pertama Wittgenstein mengeritik bahasa filsafat dengan menyatakan bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis. Persoalan-persoalan filsafat timbul karena para filsuf kurang tepat dalam mengungkapkan realitas melalui logika bahasa. Banyak ungkapan filsafat, terutama ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu realita fakta dunia secara empiris. Akibatnya, bahasa filsafat, terutama filsafat metafisika, filsafat nilai, estetika, etika dan cabang-cabang lain, tidak mengungkapkan apa-apa. • Kemudian dengan konsep “permainan bahasa” (language game) Wittgenstein menunjukkan berbagai kelemahan bahasa dalam filsafat. Dia menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsafat timbul karena adanya kekacauan dalam penerapan language game. Bahasa sehari-hari sesungguhnya bisa digunakan untuk filsafat, tetapi banyak filsuf yang menggunakan bahasa tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa yang ada. Wittgenstein lalu mengemukakan 3 hal mengenai bahasa filsafat, yaitu :
1. Kekacauan bahasa filsafat timbul karena digunakannya istilah atau
ungkapan yang tidak sesuai dengan aturan permainan. 2. Kelemahan bahasa filsafat karena adanya kecenderungan untuk mencari pengertian umum dengan menerangkan berbagai gejala yang diperlukan mempunyai sifat keumuman. 3. Adanya penggunaan atau pengertian terselubung dengan menggunakan istilah yang tidak dapat dipahami. • Bahasa filsafat yang penuh dengan kelemahan itu, dapat diatasi dengan menerapkan tugas filsafat sebagai analisis bahasa. Untuk itu, ada 2 cara untuk menerapkan fungsi atau tugas filsafat analisis bahasa. • Pertama : melakukan penyembuhan (terapi) dengan cara menghilangkanh kekacauan yang terdapat dalam bahasa filsafat. • Kedua : cara berfilsafat yang seharusnya dijalankan (metodenya), yakni meliputi aspek berikut : a. Dalam berfilsafat harus berlandaskan pada penggunaan bahasa sehari-hari, dan dengan memperhatikan aturan-aturan permainan bahasa (language game). b. Berusaha keluar dari kemelut di dalam filsafat yang disebabkan oleh kekacauan penggunaan bahasa. Kekacauan bahasa itu bukan diatasi dengan memberi keterangan baru, melainkan dengan menyusun apa yang telah diketahui. c. Metode analisis bahasa harus diletakkan dalam posisi yang sentral, artinya kita tidak turut campur dalam memberikan penafsiran tentang realitas. • Demikianlah penafsiran filsafat Wittgenstein dalam periode kedua yang bertolak belakang dengan pemikirannya pada periode pertama. Kalau dalam periode pertama dia menyatakan proposisi atau ungkapan metafisis tidak memiliki makna alias omong kosong, tetapi pada periode kedua dia menyatakan ungkapan-ungkapan metafisis itu bermakna. Mengapa? Karena ungkapan metafisis berada dalam aturan dan konteks tata aturan bahasa (language game) dalam metafisika tersebut. • Bagi Wittgenstein tugas filsafat adalah memberikan sesuai dengan apa adanya, tidak turut di campur di dalamnya, dan filsafat bukanlah sekumpulan ajaran atau dogma, melainkan hanya memberikan analisis dan penjelasan belaka.