Anda di halaman 1dari 16

Pola Umum Rehabilitasi/

Mensikapi Musibah

Rohmat Suprapto
1. Istirja’
Menurut keterangan dari Alquran, jika kita
tertimpa musibah baik besar atau kecil supaya
melakukan istirja’, yaitu pernyataan bahwa
urusannya dikembalikan kepada allah. Demikian
keterangan Alquran yang dimaksud:
 
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan “innalillahi wa
inna lillahi rajiun” sesungguhnya kami adalah
milik allah dan kepadanya lah kami kembali
(Q.S. al-Baqarah/2 :156)
• Secara umum istirja’ dilakukan berkenaan dengan
peristiwa kematian, tetapi biasanya disertai ratap
tangis oleh sanak keluarga si mati. Bahkan, sering
terjadi keluarga yang terkena musibah tidak
melakukan istirja’, me;ainkan justru menangisnya
sangat keras. Cara ini sangat tidk benar. Cara yang
benar berkenaan dengan datangnya musibah adalah
hanya mencukupkan istirja’ saja. Mereka inilah yang
memperoleh berkah, rahmat, dan petunjuk (hidayah).
Ayat sesudah pernyataan istirja’ menjelaskan
sebagai berikut :

Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang


sempurna dan rahmat dari tuhan mereka, dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk (Q.S. al-Baqarah/2 :157)
2. Menalkin orang yang sakaratul maut
Secara praktis sakaratul maut adalah proses yang
hebat perjalanan ruh keluar dari badan (naza’)
menuju kematian. Secara literal sakar berarti
mabuk atau tidak sadar. Jadi, karena kedahsyatan
peristiwa kematian, seseorang menjadi tidak
sadarkan diri, yang secara medis disebut koma,
sering disertai keringat dingin pada pelipis (H.R.
at- Turmuzi,11.[t.th] : 224) selanjutnya mati.
Orang yang dalam keadaan sakaratul maut adalah orang yang
dalam keadaan paling kritis dan membutuhkan perhatian
(perawatan) ekstra dari saudara-saudaranya seiman. Dalam
keadaan sakaratul maut supaya ditalkin(dibisiki) bacaan “la illaha
illa-llah” ( tidak ada Tuhan kecuali Allah (H.R. at- Turmuzi dari Abu
Said al-Hudri,11[t.th] :725). Talkin supaya dilakukan berulang-
ulang sehingga ia membacanya kalimat itu ( la illaha illa-llah)
sungguh sangat beruntung karena Rasulullah bersabda :
• )‫من كان أخر قوله ال إله إال هلل دخل الجنة (رواه الترمذى عن ابى سعيد الخد رى‬
Artinya
Barang siapa yang akhir ucapannya “la illaha illa-llah” pasti masuk
surga {H.R at-Turmuzi dari Abu Said al-Hudri,11,[t.th.] : 226)
3. Larangan prevalensi tahlilan
Prevalensi kelaziman normatif tahlillan adalah upacara
tahlilan ( di dalamnya dibacakan, ayat-ayat tertentu
dalam Alquran, surat-surat pendek tertentu dari Alquran,
kadang-kadang surat yasin, kalimah-kalimah thayyibah
tertentu, dan doa-doa tertentu pula) disertai makan-
makan di rumah orang yang anggota keluarganya ada
yang meninggal). Bacaan-bacaan itu pahalanya diniatkan
untuk yang meninggal dilandasi keyakinan bahwa Allah
akan menyampaikan pahala itu kepada si mayit.
Upacara ini dilaksanakan pada hari pertama kematian
hingga hari ketiga atau ketujuh, hari ke 40, hari ke 100,
hari tahun pertama, hari tahun kedua, hari tahun ke
1000, kalau mungkin setiap hari ulang tahun
kematiannya (haul) lengkap dengan prevalensi tahlilan.
Upacara ini memang telah mengakar dan mengikat
secara normatif (harry,2007 : 13), sehingga di desa-desa
oleh golongan tertentu di dalam Islam kalau ada orang
meninggal tidak diselamati, maksudnya upacara
untuknya, akan dikatakan seperti matinya kerbau atau
secara umum hewan.
• Akar prevalensi tahlilan sebenarnya berasal dari agama
penyembah dewa: Yang, muncul kurang lebih 5000 tahun SM
(Harry,2007 : 15). Dalam Islam, tradisi itu diambil kemudian
pengisian upacaranya diganti dengan bacaan-bacaan kalimah
thayyibah dan ayat-ayat tertentu dari Alquran.
Prevalensi perjamuan tahlilan selain mencakup bacaan–
bacaan tersebut juga makan-makan yang disediakan oleh
pihak yang terkena musibah. Tradisi ini dengan demikian tidak
memiliki akar sejarah maupun syariat dalam agama Islam.
Ahmad bin Hanbal (Musnad,11, 204) dan Ibnu Majah (juz,1,
(t.th) : 514) meriwayatkan bahwa:
• ‫كنا نعود (نرا) اإلجتماع إلى اهل الميت وصنعه الطعام بعد‬
‫دفنه من الناحية‬
Artinya
• Kami(para sahabat) menganggab kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka
merupakan bagian dari niyahah (mertapi mayit).
Umar bin Khatab mengatakan bahwa makan-makan dan
menginap di rumah duka termasuk niyahah (meratapi
mayit) [Abi syaibah,11, : 1409 H : 550]). Sebelas mazhab
hukum atau ulama fikih dalam Islam menolak prevalensi
tahlilan dan makan-makan di rumah duka untuk
memperingati pada hari-hari yang telah disebutkan di
muka. Sebelas mazhab itu adalah Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyyah, Hambaliyah, Sufyan Sauriyyah, Sufyan bin
‘Uyainah, Lais bin Rahawiyah, Ibnu Jarriyyah, az-
Zahiriyyah, dan al-Auza’iyyah (‘alawi, [t.th] :89).
Pada umumnya, kitab-kitab fikih Syafi’iyyah dalam bentuk
kitab kuning yang menjadi perangkat kurikulum
pembelajaran di pondok-pondok pesantren di Indonesia
seperti : Mughni al-Muhtaj, I’anat ath-Thalibin, Hasyiyah
al-Qulyubi, Tuhfat al-Muhtaj, al-Majmu’ al-Muhazzab,
Raudah ath-Thalibin, dan al-Iqna’ li sy-Syarbani
mengatakan bahwa menghidangkan makanan dan
berkumpulnya masyarakat dalam upacara tahlilan adalah
bid’ah dan tidak disunahkan (harry,2007 : 28). Ulama-
ulama kontenporer pun pada umumnya menolak upacara
prevalensi tahlilan-yasinan.
Sejak dari literatur klasik hingga modern yang
membolehkan perevalensi tahlilan hanyalah
ath-Thahtawi dari mazhab Hanafiah. Dasar
hukum yang digunakannya hanyalah istihsan,
bukan dari Alquran maupun as-Sunnah. Imam
Syafi’i sendiri menolak keras istihsan, kata
beliau man istahsana faqad ayara’a (barang
siapa yang memakai istihsan sungguh dia telah
menciptakan syariat (al-Banani,11,1402 : 353).
Singkatnya, memperingati orang mati dengan tahlilan dan
makan-makan di rumah duka berakar dari tradisi jahiliyyah,
tidak ada akarnya dari Alquran maupun as-Sunnah, melainkan
hanya pandangan salah kaprah dianggap baik, padahal
termasuk meratapi orang yang sudah mati. Tetapi, khususnya di
jawa, upacara prevalensi tahlilan ini sudah mendarah daging.
Jika dikritik supaya kembali kepada ajaran Islam yang benar dan
autentik justru mengatakan terhadap pengeritiknya bukan ahlu
sunnah wal jamaah. Padahal, yang melakukan prevalensi itu
melestarikan trasdisi jahiliyyah. Jadi, yang sudah diyakini benar
dikatakan salah. Hukum telah dijungkirbalikkan oleh para tokoh
agama sendiri.

Anda mungkin juga menyukai