Anda di halaman 1dari 17

Perlawanan Sumatera,

Jawa, Bali,dan Nusa


Tenggara
Aulia Rachmanita Putri 200210302006
Sumatera
Sumatera Utara dan Sumatera Barat
S U M AT E R A U TA R A

Perang di Batak berlangsung kurang lebih 29 tahun, dimulai dari tahun 1878-1907. Peperangan ini disebut juga perang
Batak atau Perang Si Singamangaraja, bawah pimpinan Si Singamangaraja XII. Perlawanan ditujukan untuk menentang kekuasaan
pemenrintah Hindia Belanda yang akan menguasai daerah Batak pada abad ke-19. Struktur masyarakat didasarkan pada bentuk
kesatuan ikatan-ikatan kampung atau huta yang di dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan agama, berdiri sendiri-sendiri.
Tiap kesatuan huta didiami oleh satu ikatan kekerabatan yang disebut marga.

Si singamangaraha XII menganggap bahwa peluasan agama kristen akan membahayakan kedudukanya. Dengan banyaknya
rakyat yang menganut agama baru. Oleh karena itu, sekitar tahun 1877 ia mengadakan kampanye keliling daerah untuk mengajak
rakyat bersama-sama mengusir zeding-zeding kristen dan mencegah kegiatan mereka. Akibatnya terjadilah penyerangan terhadap
pos-pos zeding, perusakan-perusakan ataupun pembakaran-pembakaran rumah di beberapa tempat. Masuknya pasukan militer
Belanda ke Silindung segera dijawab Si Singamangaraja XII dengan pernyataan perang. Pada tahun 1878 juga meletuslah
pertempuran di daerah Silindung.
Lanjutan..
Pasukan Belanda di Silindung pada bulan Februari 1878 pasukan Belanda diberangkatkan lagi dari Sibolga ke pedalaman silindung,
dibawah pimpinan Kapten Scheltens. Dalam menghadapi Belanda, rakyat Batak memiliki dua macam benteng pertahanan, yaitu
benteng alam dan benteng buatan. Ketika Si Singamangaraja XII mendngar berita bahwa pasukan Belanda telah sampai di Bahal
Batu, ia segera ke Balige untuk mengumpulkan rakyat dan menyusun kekuatan menghadapi musuh. Pihak Belanda segera
membalas serangan ini dan meletuslah pertempuran sengit di Bahal Batu pada bulan Februari 1878. Persenjataan yang kurang
memadai membuat pasukan Si Singamangaraja XII kurang menguntungkan pasalnya mereka hanya menggunakan tombak sehingga
Si Singamangaraja segera menarik mundur pasukannya untuk sementara.

Pada tahun 1907 pengepungan terhadap Si Singamangaraja XII dilakukan secara intensif yang dilakukan oleh Kapten Hans
Christoffel. Pada tanggal 12 Mei 1907, pasukan Hans Christoffel dengan bersenjata karaben dan klewang bergerak menuju
sukananing untuk mencari jejak Si Singamangaraja XII. Dan akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 pukul 14.00 pasukan Hans
Christoffel berhasil menemukan Si Singamangaraja XII, dalam peristiwa penangkapan tersebut Si Singamangaraja tertembak oleh
pasukan Belanda yang mengepungnya. Semua harta pusaka Si Singamangaraja dirampas oleh Belanda. Dengan gugurnya XII
seluruh daerah batak jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu,rodi, penarikan pajak, seluruh daerah batak jatuh ke tangan Belanda,
peraturan pemerintahan kolonial yang merugikan rakyat masuk ke daerah ini serta struktur tradisional dari masyarakat Batak pun
menjadi berubah.
S U M AT E R A B A R AT
Perang melawan kolonialisme di daerah Minangkabau bermula dari pertentangan antara dua pihak dalam masyarakat
yang dikenal dengan gerakan padri yang dimulai pada awal abad ke-19. Tujuannya adalah untuk memurnikan ajaran
agama islam, membasmi adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Al-quran dan Sunah Nabi. Peperangan ini
dapat dibagi dalam tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825, masa kedua antara tahun 1825-1830, dan
masa ketiga antara tahun 1830-1838.
Kaum Padri mulai bergerak menyerang pos-pos Belanda dan melakukan pencegahan terhadap pasukan patroli
mereka. Pos Belanda di Semarang menjadi sasaran penyerangan kaum Padri bulan September 1821. Tuanku Pasaman
dengan pasukannya melakukan operasi di sekitar hutan. Usaha pemimpin pasukan Belanda untuk berdamai dengan
Tuanku Pasaman dengan perantaraan seorang pendeta Kristen tidak berhasil. Dalam pertempuran yang terjadi antara
pasukan Tuanku Pasaman dan pasukan Belanda yang terdiri atas 200 orang serdadu Eropa yang diperlengkapi dengan
meriam 6 pon dan meriam kodok, ditambah dengan 8.000 hingga 10.000 orang yang terdiri atas orang bumiputra.
Tuanku Pasamanan menderita kerugian demikian pula pihak Belanda tidak sedikit kehilangan serdadunya yang tewas
dan mendapat luka-luka. Dengan sisa pasukannya, Tuanku Pasamanan mengundurkan diri ke Lintau. Setelah berhasil
menguasai seluruh lembah Tanah Datar, Belanda mendirikan benteng di Batusangkar yang kelak diberi nama Fort van
Der Capellen.
Lanjutan..
Gubernur Jenderal van Den Bosch sebagai pimpinan tertinggi kekuasaan koloni Belanda di Hindia Belanda menginginkan persoalan
di Sumatra Barat dapat diatasi. Bantuan militer yang dikirim dari Batavia tiba di Padang pada pertengahan tahun 1832, berkekuatan
tiga kompi dengan perlengkapan beberapa meriam dan mortir. Belanda melakukan berbagai serangan di pos-pos kedudukan
pasukan Padri. Dalam pertempuran 29 Juli 1833 pasukan Padri berjumlah 2.000 orang berhadapan dengan pasukan musuh yang
membawa kerugian di pihak Belanda 8 orang tewas dan 40 luka-luka, tetapi tidak sedikit pula korban di pihak kaum padri.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi di sekitar jurang antara Mantua dan Agam tanggal 10 September 1833 membawa kekalahan
pada pihak kaum Padri, meskipun mereka dapat menewaskan beberapa serdadu Belanda, diantaranya seorang letnan kolonel.

Pada akhir tahun 1834, Belanda baru dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang Bonjol. Pada akhir September 1834 pasukan
Belanda menyiapkan pasukan besar untuk mulai menyerang Bonjol. Tahun 1835 tampak jelas bahwa kekuatan militernya sebagian
besar dikerahkan untuk meruntuhkan kekuatan kaum Padri di Bonjol. Kesulitan yang diderita oleh kaum Padri di Bonjol berawal
dengan ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh pasukan Belanda. Pada tanggal 8 Februari 1835, Tuanku Imam
Bonjol menyatakan kepada residen Belanda di Padang kesediaanya untuk mengadakan genjatan senjata. Selama tahun 1836
kekuatan kaum Padri masih belum dapat dipatahkan sama sekali oleh militer Belanda.
JAWA
PERANG DIPONEGORO
Pada suatu hari tanggal 21 ramadan, tatkala sedang bersemedi ia mendapat perintah dari Ratu Adil. Seperti yang
tertulis dalam memoarnya, peristiea tersebut merupakan monolog batin Diponegoro, antara keinginan yang kuat
dengan keraguannya. Perintah dipahami sebagai suatu tugas kewajiban membangun masyarakat baru di Kesultanan
Yogyakarta yang berdasarkan ayat-ayat Al-quran. Sejak mengundurkan diri dari kehidupan politik kerajaan,
Diponegoro memilih tinggal di Tegalrejo. Ia melakukan pengembangan fisik dan spiritual serta mengubah gagasan
dan pandangan tentang diri dan masyarakatnya, ditempat ini juga ia menekuni tarikh Islam dan mendalami tarikh
Nabi Muhammad. Ia mengubah namanya menjadi Ngabdul Kamid, menanggalkan pakaian kebesarannya, dan
menggantinya dengan pakaian Rasul yang serba putih.

Dalam masa pemerintahan ayahnya, masyarakat Kesultanan diidentikkan dengan masyarakat Arab pra-Islam, yang
disebutnya sebagai masyarakat Jahiliah. Ia mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islami berdasarkan
tuntutan Rasul. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1824, akhirnya R.M. Ambyah menggantikan kedudukan
ayahnya dengan gelar Hamengkubuwono IV. Pada masa pemerintahan adiknya, banyak bangsawan yang tiba-tiba
menjadi kaya dari hasil persewaan tanah apanage. Dalam pandangan Diponegoro karena kekayaan itu mereka banyak
yang melanggar, menanggalkan, dan meninggalkan nilai-nilai kehidupan Jawa dan Islam yang disakralkan. Tanah
Jawa yang telah jatuh ke tangan kafir harus direbut kembali dengan sabil yang berlandaskan Al-quran itulah pendapat
Diponegoro. Masalah lain yang meresahkan batin Diponegoro adalah pemungutan pajak dan pungutan bea secara
besar-besaran.
Lanjutan..
Tatkala Baron van Salis digantikan oleh Smissaert pada tahun 1823, kondisi politik sangat menguntungkan Diponegoro. Tingkah
laku pejabat Belanda yang dengan mudah masuk keraton dan mengadakan hubungan gelap denganbeberapa putri keraton membuat
Diponegoro prihatin. Selain masalah moral, konflik pribadi antara Diponegoro dengan Smissaert semakin tajam, sesudah terjadi
peristiwa saling mempermalukan di depan umumdalam suatu pesta di kediaman residen(loji). Saat itu, Diponegoro terang-terangan
menentang Smissaert. Pada tanggal 21 Juli 1825 residen memerintahkan satu detasemen pasukan yang dipimpin oleh Asisten
Residen Chevallier menuju Tegalrejo.

Jenderal de Kock yamg tiba di Surakarta disambut dingin, baik oleh pejabat Belanda maupun kesunanan. De Kock
menyusun rencana kampanye untuk merebut kembali Yogyakarta dan membebaskan wilayah milik pemerintahan Hindia
Belanda yang direbut pemberontakan dengan cara sebagai berikut, memanggil pasukan-pasukan yang bertugas di luar Jawa,
merekrut spion untuk memperoleh informasi tentang lawan. Setelah seluruh pasukan berada di Pulau Jawa, Jenderal de Kock
memerintahkan Komandan Garnisun Surakarta Letnan Kolonel Cochius bergerak ke Yogyakarta. Kemudian Jenderal de
Kock kemudian memerintahkan pasukan Kolone II menyerbu Selarong, namun desa Selarong telah kosong. Sejak
kegagalannya menyerbu Selarong Jenderal de Kock memerintahkan agar Diponegoro dan pasukannya terus dikejar. Operasi
pengejaran terhadap Diponegoro langsung dipimpin de Kock. Dengan mengerahkan kekuatan tiga kolone dengan garis awal
kota Bantul. Dalam operasi pengejaran ini Jenderal de Kock gagal menangkap Diponegoro, tetapi berhasil membersihkan
pangkalan lawan di sekitar negara Yogyakarta. Operasi pengejaran diteruskan oleh Jenderal Mayor van Geen, namun operasi
ini gagal menemukan Diponegoro yang dikawal oleh pasukan Mandung yang dipimpin oleh Tumenggung Mertoloyo.
BALI
PERANG BALI
Suatu masalah yang menyulitkan hubungan antara Belanda dan kerajaan-kerajaan di Bali adalah berlakunya
hukum tawan karang yaitu hak dari Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya.
Hukum tawan karang ini telah menimpa kapal-kapal Belanda yang dialami pada tahun 1841 di pantai wilayah
Badung. Pada tahun 1843 raja-raja Buleleng, Karangasem, dan beberapa raja lainnya telah menandatangani
perjanjian penghapusan tawan karang, namun nyatanya mereka tidak pernah melaksanakannya dengan sungguh-
sungguh. Percekcokan kemudian timbul antara kerajaan-kerajaan tersebut dengan Belanda.

Dalam tahun 1845 Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan hukum tawan karang yang
diajukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sikap menentang dari Buleleng mendorong pemerintah Hindia Belanda
untuk mengeluarkan Ultimatum pada tanggal 24 Juni 1846 yang berakhir dalam waktu 3x24 jam. Isi ultimatum
diantaranya menyebutkan agar Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda, menghapuskan hak tawan karang,
dan memberi perlindungan terhadap perdagangan Hindia Belanda. Namun ultimatum tersebut tidak dapat
dipenuhi oleh raja Buleleng. Selain raja Buleleng kerajaan Karangasem juga telah menyatakan sikap menentang
pemerintah Hindia Belanda.
Lanjutan..
Pada tanggal 7 April 1849 pertemuan dengan raja Karangasem dan Buleleng, jenderal Michiels mengajukan pokok-pokok
perjanjian yang diantaranya menyebut bahwa raja Karangasem dan raja Buleleng harus mengakui kekuasaan pemerintahan Hindia
Belanda, mereka harus mengosongkan dan menyerahkan benteng Jagaraga kepada Belanda, benteng Jagaraga harus diruntuhkan
dalam waktu singkat, menyerahkan serdadu-serdadu Belanda yang melarikan diri, menyerahkan senjata-senjata Belanda yang
dirampas selama ekspedisi yang terdahulu, memenuhi bunyi kontrak yang sudah lalu dan mengirimkan utusan ke Jakarta untuk
menyatakan menyerah. Raja Karangasem dan Gusti Jelantik menerima usul-usul tersebut, namun sampai tanggal 15 April 1849
raja-raja tidak juga mulai membongkar benteng sehingga suasana menjadi tegang dan pertempuran meletus lagi. Dalam
pertempuran yang sengit pasukan Bali tidak dapat menghalau pasukan musuh bahkan mereka terdesak dan terpaksa meninggalkan
benteng-bentengnya.

Jatuhnya Buleleng ke tangan Belanda membawa pengaruh pada negara-negara lain. Pada tanggal 20 Mei 1849
pasukan dari Raja Mataram, Lombok dibawah Gusti Gede Rai dan dua orang lainnya mendarat di ujung, pantai sebelah
selatan Kota Karangasem. Raja Matarm yang bermusuhan dengan Raja Karangasem bersedia mebantu Belanda asal
diperbolehkan memiliki daerah culik di Karangasem. Pada tanggal 10 Juni 1849 wakil Belanda di Badung mengabarkan
bahwa raja-raja Bandung dan Tabanan sehari sebelumnya dengan membawa pasukan sebanyak 16.000 orang prajurit telah
menyerang Klungkung. Pada tanggal 12 Juni 1849 orang-orang yang menjadi utusan masing-masing kerajaan untuk
menemui Gubernur Jenderal di Jakarta sudah berkumpul di markas besar pasukan Belanda. Dengan tunduknya negara-
negara di Bali tersebut berarti perlawanan besar telah berkhir. Perlawanan-perlawanan gigih dari pemimpin Bali akhirnya
dapat dipatahkan oleh kolonialisme Belanda dengan bantuan sesama pemimpin Bali sendiri.
Nusa
Tenggara
PERANG NUSA TENGGARA

Pada tanggal 11 Agustus desa Praya dikepung oleh pasukan Anak Agung Made Karangasem. Selama beberapa
waktu desa Praya bertahan dari serangan-serangan pasukan kerajaan. Pada tanggal 25 September 1891 para
pemberontak dari wilayah Rarang, Masbagik, dan Pringgabaya menyerang pertahanan Mataram di Tanahbesa.
Akan tetapi, gerak mereka terhenti, tidak dapat melintasi sungai Babak yang menjadi garis pertahanan pertama
kerajaan. Berikutnya peperangan sempat terhenti karena musim penghujan tiba. Ketegangan kembali mereda
selama sekitar 8 bulan. Tidak ada bentrokan yang berarti terjadi selain penyergapan terhadap pengiriman bahan
makanan dan peralatan dari pihak kerajaan Mataram.
Hubungan kerajaan Mataram dan kolonalisme Belanda diatur melalui suatu perjanjian atau kontrak yang
dibuat pada bulan Juli 1843. Dalam perjanjian itu diatur bahwa kerajaan Mataram mengakui kekuasaan Belanda,
tetapi tetap menjalankan kekuasaan politik internalnya. Mataram memperluas kekuasaanya hingga ke kerajaan
Karangasem di Bali. Perkembangan itu menimbulkan kecurigaan Belanda bahwa Mataram hendak menguasai
Bali. Tindakan itu dipandang sebagai suatu persaingan.
Lanjutan..
Ketika perlawanan Sasak semakin meluas kesempatan untuk campur tangan terbuka lebar. Selain itu, pihak belanda juga
tidak menginginkan apabila kerajaan Mataram dikuasai oleh seorang penguasa beragama islam. Selanjutnya, pada bulan
Juli 1893 pihak kolonial Belanda mendesak kerajaan Mataram untuk mematuhi ketentuan yang mereka berlakukan.
Puncaknya adalah surat ultimatum Gubernur Jenderal van der Wijck kepada kerajaan mataram tanggal 27 Mei 1894 yang
berisikan beberapa tuntutan seperti penyataan tuntutan secara jujur atas sikap yang tidak patut dan secara berulang kali
dilakukan kepada gubernur jenderal dan petugas-petugasnya, jaminan yang resmi bahwa pemerintahan raja-raja mulai saat
itu akan mematuhi segala perintah gubernur jenderal, penyerahan segera anak agung made karangasem agar segera dapat
diasingkan ke pulau lainnya sebab segala kerusuhan adalah akibat perbuatannya, dan menerima segala usaha residen utuk
mengakhiri keadaan yang kacau dan berjanji akan tunduk pada peraturan yang ditetapkan.

Pihak Belanda mengambil peran sebagai penengah dalam bentrokan. Perundingan dengan raja Mataram mengenai
penyelesaian pemberontakan Praya dilakukan. Hasil perundingan tercapai pada tanggal 9 Agustus 1894 dengan ketentuan
diantaranya rakyat sasak diperbolehkan membentuk pemerintahan sendiri dan bersama dengan kerjaan Mataram berada di
bawah kekuasaan Belanda, Kewajiban raja Mataram membayar kerugian perang sebesar satu juta gulden yang harus
diselesaikan sebelum ekspedisi Belanda meninggalkan Lombok, raja wajib menyerahkan upeti sebesar f250.000
pemerintahan Hindia Belanda. Tentu saja penyelesaian seperti itu merugikan kerajaan Mataram. Tampak jelas niat
Belanda yang hendak menguasai Pulau Lombok.
Lanjutan..

Puncak pertempuran berlangsung pada tanggal 22 November 1894 di desa Saksari. Semua pengikut setia Raja Mataram
melakukan puputan yakni bertempur melawan musuh sampai mati. Pada tanggal 26 November, Raja anak agung gde
ngurah karangasem beserta sejumlah kecil pengikutnya ditangkap dan dibawa ke kapal “Prins Hendrik” untuk bertolak ke
tempat pengasingannya di Batavia. Ia meninggal di tempat pengasingannya pada tahun 1896. Puputan Saksari dan
pengasingan raja Mataram menandai akhir kekuasaan kerajaan Mataram Lombok. Peristiwa puputan Saksari diabadikan
oleh seorang pujangga Jerman dari akhir abad ke-19, yang bernama Theodor Fontane (1819-1898) dalam sebuah balada.
Syair itu berbahasa Jerman, Die Balinesenfrauen auf Lombok.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai