Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

RHINITIS ALERGI

PEMBIMBING
dr. Bagus Condro, Sp.THT-KL

Disusun :
Rahmat Yusuf Arifin G4A018102
Handra Chairunisa A. G4A018106

SMF ILMU THT RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
TAHUN 2020
PENDAHULUAN
Rhinitis alergi disebabkan oleh respon alergi tipe I, yang
diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin, rhinorea, rasa gatal
dan hidung tersumbat. Rhinitis alergi dapat bersifat musiman, persisten
atau episodik bergantung pada alergen tertentu dan paparannya.
Prevalens rhinitis alergi yang terdiagnosa kurang lebih 40%. Gejala
memberikan dampak buruk terhadap kualitas hidup penderita, baik
berupa gangguan aktivitas sehari--‐hari ditempat kerja,belajar maupun
gangguan tidur. Penyingkiran pemicu atau penghindaran dari alergen
mengganggu sangat dianjurkan.
ANATOMI HIDUNG

Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid.
Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.
Vaskularisasi hidung

Anterior anastomosis
dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior,
a.labialis superior dan
a.palatina mayor, yang
disebut pleksus
Kiesselbach

Inervasi hidung Posterior  Pleksus


Woodruff dari anastomosi a.
Sfenopalatina, a. Nasalis
posterior, dan a. Faringeal
ascenden
FISIOLOGI
Sebagai jalan nafas
• Inspirasi dan Ekspirasi

Pengatur kondisi udara (air conditioning)


•  Mengatur kelembaban udara dan suhu

Sebagai penyaring dan pelindung


• Rambut, silia, mukus

Resonansi suara
• Kualitas suara, membentuk konsonan huruf

Refleks nasal
• reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler
dan pernafasan
Proses penghidu
• Zat -> rangsang sel olfaktorius-> tractus olfactorius ke pusat olfactory di
otak-> interpretasi
DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE (Irawati et al, 2012)
KLASIFIKASI
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Alergen


penyebab nya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur  disebut
pollinosis
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial). Gejala timbul terus
menerus dan penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan,
terutama [ada orang dewasa dan alergen ingestan. Alergen inhalan
utama adalah alergen dalam rumah (indoor) contohnya adalah tungau,
kecoa, jamur dan alergen diluar rumah (outdoor).
3. Occupaitional alergi  terkait pekerjaan
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya
dibagi menjadi :
ETIOLOGI
 Outdoor aeroallergen, seperti
serbuk sari dan spora tumbuhan
 Indoor aeroallergen, seperti
tungau, kecoa, spora jamur, asap
rokok dan bulu hewan peliharaan
 Bahan kimia, seperti isocyanate,
glutaraldehyde
 Zat pollutan, seperti ozone, asap
kendaraan

1. Faktor genetik
FAKTOR RISIKO 2. Paparan asap bermotor
3. Asap rokok
4. Alergen pada hewan
PATOGENESIS
Rinitis alergi merupakan suatu
penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan
reaksi alergi.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu


immediate phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan
late phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung 24-
48 jam
PATOFISIOLOGI
DIAGNOSIS

Anamnesis
 Tempat kerja  Hiposmia atau anosmia
 Pekerjaan pasien  Batuk kronik
 Adanya rinore (cairan hidung yang bening  Serangan yang memburuk pada pagi hari
encer) sampai siang hari dan membaik saat malam
 Bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5 hari
kali setiap kali serangan  Frekuensi serangan
 Hidung tersumbat baik menetap atau hilang  Pengaruh terhadap kualitas hidup
timbul  Riwayat atopi di keluarga
 Rasa gatal di hidung, telinga atau daerah  Faktor pemicu timbulnya gejala
langit-langit  Riwayat pengobatan dan hasilnya
 Mata gatal, berair atau kemerahan
DIAGNOSIS

Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior : tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer
yang banyak.
 Warna mukosa : biru pucat
 Warna ingus : jernih, encer
 Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), dinding lateral faring
menebal.
 Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue).
 Pemeriksaan Maksilofasial :
 Allergic shiner
 Allergic sallute
 Allergic crease
DIAGNOSIS

Pemeriksaan Penunjang
 Nasal endoscopy
 Nasal Smear
 Skin test (skin scracth & skin prick)  Gold Standard
 Radioallergosorbent test (RAST)
 Nasal Provocation test
KLASIFIKASI

Intermitten Persisten
• < 4 hari seminggu atau; • > 4hari/ minggu dan;
• < 4 minggu • > 4 minggu

Ringan Sedang- Berat


• tidur normal • Terjadi 1 atau lebih
• aktivitas normal sehari- gejala
hari, olahraga, saat • Gangguan tidur
santai • Gangguan aktivitas
• Aktivitas kerja dan sehari2, olahraga, saat
sekolah normal santai
• Tidak ada gejala yang • Gangguan aktivitas
mengganggu kerja atau di sekolah
• Gejala yang
mengganggu
TATALAKSANA

Non Farmakologi
 Penghindaran alergen :
• Sebagian besar studi penghindaran alergen telah menangani gejala asma dan sangat sedikit yang
mempelajari gejala rinitis. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup untuk mengendalikan gejala rinitis
atau asma
• Namun, penghindaran alergen, termasuk tungau ,harus merupakan bagian integral bagian dari
strategi manajemen

Farmakologi
1. Antihistamin
2. Dekongestan oral
3. Kortikosteroid

Imunoterapi Spesifik
Apabila tidak terdapat perbaikan setelah farmakoterapi optimal dan penghindaran alergen yang
optimal, maka dipertimbangkan untuk pemberian imunoterapi secara subkutan atau sublingual.
Imunoterapi ini diberikan selama 3-5 tahun untuk mempertahankan efektifitas terapi jangka panjang.
Anti-Histamin
Dekongestan
Kortikosteroid
Chromones & LTRA
Algoritma Tatalaksana Rhinitis Alergi
Edukasi
 Kombinasi modalitas tatalaksana dapat terlaksana dengan baik apabila dilakukan
edukasi yang baik dan cermat kepada pasien ataupun keluarga.
 Menerangkan juga kemungkinan adanya ko-morbid dan tindakan bedah pada kasus
yang memerlukan (hipertrofi konka, septum deviasi atau rinosinusitis kronis).

Komplikasi
• Kualitas hidup • Hipertrofi konka inferior
• Rinosinusitis kronis • Hipertrofi adenoid
• Sinusitis • Efusi telinga tengah
• Otitis media • Polip sinonasal

Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai