Anda di halaman 1dari 13

KASUS PSIKOSOSIAL DAN PRAKTIK KEPERAWATAN

YANG PEKA BUDAYA SEKSUALITAS & LGBT


KELOMPOK 14 PPN
1. Reni Vicgriani Banoet (PO.5303209201210)
2. Restyani Imanuela Rohi (PO.5303209201211)
3. Umi Lervisia Bees (PO.5303209201213)
4. Wenda Enjelina Yami (PO.5303209201163)
5. Sofi Darina Salukh (PO.5303209201162)
6. Silviani Indriwati Lalian (PO.5303209201161)
7. Windah Ayuninda H. Mustakim (PO.5303209201164)

Kelas : TK. II PPN


Mata Kuliah : Psikososial Dan Budaya Dalam Keperawatan
Dosen Penguji : Trifonia Sri Nurwela,Skep.Ns.,M.Kes
Kasus- Kasus tentang Seksualitas dan LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual, Trangender)
A. Kasus Seksualitas
Suku Atoni Pah Meto (Middelkoop) atau yang lebih lazim
disebut Atoin Meto adalah suku bangsa asli di Pulau Timor.
Suku bangsa ini kini terbanyak jumlahnya di Timor Barat,
termasuk juga di distrik Ambenu, Timor Leste. Nama Atoni
Meto disemaikan oleh para leluhurnya yang berarti orang
daratan atau pulau kering.
Suku Atoni Pah Meto merupakan salah satu suku pedalaman
yang ada di wilayah Timor Barat. Setiap anak laki-laki dari Suku
Atoni Pah Meto yang telah memasuki usia pubertas akan disunat
dengan menggunakan pisau tajam dan penjepit dari bambu.
Tradisi ini sebagai tanda telah memasuki kedewasaan dan
meningkatkan kepuasaan seksual. Ketika luka sunat masih
basah, si anak laki-laki kemudian diharuskan melakukan
hubungan seksual untuk membuang sial dan penyakit.
Sayangnya perempuan yang menjadi pelampiasan hubungan
seksual dari si anak laki-laki lalu akan dikucilkan oleh
• Mempertahankan Budaya
Dari kasus yang pertama kebudayaan dari suku atoni pah meto di pulau timor , Kebudayaan
yang dapat di terima dan dipertahankan yaitu budaya setiap anak laki-laki yang memasuki usia
pubertas akan di sunat. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dipertahankan karena dalam
dunia kesehatan saja manfaat dari sunat untuk anak laki-laki yang sudah memasuki masa
pubertas yaitu untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi saluran kemih yang berkaitan dengan
masalah ginjal, kemudian juga dapat mengurangi terjadinya penyakit kanker seperti serviks pada
pasangannya .
• Negosiasi Budaya
Dari kasus di atas juga dalam budaya suku Timor yang kebiasaannya itu untuk melakukan proses
sunatan menggunakan alat seperti pisau tajam atau penjepit dari bambu. Hal ini kita perlu untuk
bernegosiasi untuk mengngantikan alat yang mereka gunakan karena dalam dunia kesehatan alat
yang digunakan itu tidak steril dan dapat menyebabkan infeksi, Untuk cara lain yang dapat di
gunakan yaitu dengan membawa anak laki-laki yang akan disunat ke fasilitas kesehatan agar di
lakukan proses sunatan digunakan alat yang steril dan aman serta tindakan yang tepat.
• Restruktrurisasi Budaya
Dari kasus diatas dalam suku Timor, kebudayaan yang tidak di terima yaitu saat selesainya
sunatan dan luka sunat nya masih basah, anak laki-laki tersebut harus melakukan hubungan
seksual untuk membuang sial dan penyakit. Hal ini kami tidak terima karena dari luka sunatan
yang masih basah tersebut lebih meningkatkan risiko penyakit menular seperti HIV-AIDS dan
dari luka yang masih basah dapat memfasilitasi penularan virus dengan mudah. Dari kebiasaan
tersebut dapat merugikan diri dan pasangan tersebut.
B. Kasus Lesbian
Orang Burake adalah mereka yang berjenis kelamin
lelaki berbaju mirip perempuan Toraja (to burake tattiu')
atau berjenis kelamin perempuan berbaju lelaki Toraja
(to burake tambolang). Orang Burake tidak menikah,
namun dapat mengangkat dan memelihara anak. Sosok
Orang Burake ini mengingatkan saya pada Bissu–kaum
pendeta yang tidak memiliki golongan gender pada
komunitas Amparita Sidrap dalam masyarakat Bugis.
Menurut Rukka, Orang Burake adalah mereka yang
berjenis kelamin lelaki berbaju mirip perempuan Toraja
(to burake tattiu’) atau berjenis kelamin perempuan
berbaju lelaki Toraja (to burake tambolang). Orang
Burake tidak menikah, namun dapat mengangkat dan
memelihara anak.
 Mempertahankan Budaya
Dari kasus diatas dalam budaya Suku Toraja, kebudayaan yang dapat di terima dan
dipertahankan yaitu budaya mereka yang berjenis kelamin lelaki berbaju mirip
perempuan Toraja. Hal ini merupakan suatu Kebiasaan yang bisa kita terima dan
pertahankan yaitu Transgender, baik yang berjenis kelamin laki-laki memakai pakian
perempuan atau berjenis kelamin perempuan memakai pakian mirip laki-laki , adalah
salah satu contoh bahwa ada kalanya komunitas adat yaitu di Toraja mereka memiliki
ciri atau karakter yg kebiasaan dalam budaya mereka.
 Negosiasi Budaya
Dari kasus diatas dalam budaya Suku Toraja yaitu Orang Burake tidak menikah,
namun dapat mengangkat dan memelihara anak. Hal ini kita perlu bernegosiasi
sebaiknya syarat yang berlaku pada suku tertentu dengan adopsi bisa dilakukan oleh
pasangan harus berupa suami istri sah.
 Restruktrurisasi Budaya
Dari kasus diatas dalam budaya Suku Toraja yaitu Orang Burake, kebudayaan ini
dapat diterima karena tidak menikah tetapi mereka mengadopsi anak dan memelihara
anak. Hal ini dapat diterima karena mereka tidak melakukan hubungan seksual sesama
jenis atau sebaliknya.
C. Kasus Gay

Ritual kedewasaan aneh selanjutnya


datang dari salah satu suku di pedalaman
Maluku. Setiap anak laki-laki dari suku
ini belum dianggap dewasa jika belum
digauli oleh seorang dukun yang menjadi
petinggi adat. Perlu diketahui bahwa
dukun yang menggauli anak laki-laki
juga merupakan seorang laki-laki juga.
Ritual homoseksualitas ini membuktikan
bahwa hubungan seks sejenis telah ada di
Indonesia sejak dahulu.
 Mempertahankan Budaya
Dari kasus di atas dalam kebudayaan suku pedalaman maluku. Kebiasaan mereka
tidak di terima bahwa budaya tersebut pada setiap anak laki-laki dari suku ini belum
dianggap dewasa jika anak tersebut belum di gauli ( menyetubuhi) oleh seorang dukun
sebagai petinggi adat pada suku tersebut, dimana dukun tersebut juga seorang laki-laki.
Hal ini merupakan penyimpangan seksual (Gay) yang dimana seorang laki" bersetubuh
dengan sesama jenis. Dalam dunia kesehatan seorang laki-laki hanya akan berhubungan
dengan perempuan dimana beda jenis kelamin. Dampak dari kebiasaan budaya ini dapat
mengakibatkan timbunya penyakit menular seperti HIV , kemudian menyimpang dari
norma-norma.
 Negosiasi Budaya
Dari kasus diatas dalam suku Maluku, yang kebudayaannya adalah digauli anak laki-
laki. Hal ini kita perlu bernegosiasi karena mereka masih menggunakan dukun untuk
mengubah anak laki-laki menuju kedewasaan.
 Restruktrurisasi Budaya
Dari kasus diatas dalam suku Maluku, kebudayaan yang tidak di terima yaitu anak laki-
laki masih menggunakan dukun untuk digauli menjadi dewasa dan setelah digauli anak
laki-laki sudah siap menuju kedewasaan. Hal ini tidak dapat diterima karena gauli dapan
menyebabkan penyakit yang beresiko dan menular.
D. Kasus Biseksual
Ritual Malam Pertama, Suku Marind, Jika
sewajarnya sepasang kekasih yang telah menikah
akan tidur bersama untuk merayakan malam
pertama, berbeda halnya dengan Suku Marind di
Papua. Bagi setiap laki-laki Suku Marind meniduri
istri yang baru saja dinikahi saat malam pertama
akan membuatnya kehilangan dan pamornya.
Menurut Suku Marind, seorang pria tidak bisa
begitu saja menyerahkan diri kepada seorang
wanita. Oleh karena itu saat malam pertama, laki-
laki dari Suku Marind akan meniduri seorang laki-
laki juga.
 Mempertahankan Budaya
Dari kasus tersebut kebudayaan dari suku marind Kebudayaan yang dapat di
terima dan dipertahankan yaitu Ritual Malam Pertama, Suku Marind, Jika
sewajarnya sepasang kekasih yang telah menikah akan tidur bersama untuk
merayakan malam pertama. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat
dipertahankan.
 Negosiasi Budaya
Dari kasus tersebut juga Menurut Suku Marind, hal ini kita dapat bernegosiasi
karena dalam budaya meraka seorang pria tidak bisa begitu saja menyerahkan
diri kepada seorang wanita. Oleh karena itu saat malam pertama, laki-laki dari
Suku Marind akan meniduri seorang laki-laki juga. Hal ini Masih belum
diterima karena masih menganggap sebuah kesalahan sesuatu yang tidak
normal dan tidak alami dan bertentangan dengan tindakan ini tidak
mengakibatkan Kehamilan atau tidak bisa membawa keturunan dari pasanagan
suami istri.
E. Kasus Transgender
Disuku Kanaka Maoli, Hawai mahu  dalam pemahaman awam
adalah sebutan untuk orang yang digolongkan mempunyai gender ke-3 -
Kaumakaiwa Kanaka‘ole- di Hawaii atau Kanaka Maoli, dan di Tahiti atau
dalam budaya-budaya Maohi . Malah mereka tidak menyebutnya gender
ke-3, mereka menyebutnya diri ketiga, yaitu seseorang yang memiliki dua
konsep gender (pria dan wanita). Māhū mempunyai peran besar dalam
tradisi di masyarakat Kanaka Maoli dan Maohi. Mirip dengan fakaleiti di
Tonga, fa’afafine di Samoa dan juga femminiello di Neapolita. Namun
dalam kehidupan modern di Hawaii, nama māhū lebih sering digunakan
untuk memanggil seorang waria atau transgender. Gender ketiga ini bukan
laki-laki yang merasa dirinya perempuan atau sebaliknya. Mereka juga
adalah laki-laki yang tidak merasa laki-laki dan perempuan yang merasa
perempuan. Ciri fisiknya tetap sebagaimana cewek atau laki-laki pada
umumnya, tapi mereka bersikap feminin sekaligus maskulin. Mahu
biasanya punya peran sebagai pendidik atau pelaku ritual kuno yang
sakral.
• Negosiasi Budaya
Dari kebudayaan suku kanaka moali yang dikenal dengan sebutan
kaumakaiwa kanaka'ole atau sebutan untuk orang yang digolongkan
mempunyai gender ke-3 atau mempunyai dua konsep gender (pria dan
wanita). Kita perlu negosiasi dengan budaya tersebut karena pada
hakikatnya kita hanya mempunyai 2 gender yaitu laki-laki dan perempuan.
Laki-laki tetap dan laki begitu juga untuk perempuan.

• Restrukturisasi Budaya
Kebudayaan dari suku tersebut yang perlu kita ubah yaitu pola pikir
masyarakat dari suku tersebut karena dalam dunia kesehatan saja kita
sudah tau bahwa yang di akui jenis kelamin hanya ada 2 yaitu laki-laki dan
perempuan.
Sekian
&
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai