Anda di halaman 1dari 21

Topik 7

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT (Bagian II)

Oleh:

Dr. Irpan Suriadiata, S.HI., M.H.

Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat


2021
Membahas Pancasila sebagai
filsafat berarti mengungkapkan Oleh karena itu, berikut ini akan
konsep-konsep kebenaran dibahas landasan Ontologis
Pancasila yang bukan saja Wawasan filsafat meliputi bidang Pancasila, Epistemologis
ditujukan pada bangsa Indonesia, atau aspek penyelidikan ontologi, Pancasila dan Aksiologis
melainkan juga bagi manusia epistemologi, dan aksiologi. Pancasila.
pada umumnya.
1. LANDASAN ONTOLOGIS PANCASILA

Ontologi filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu berasal dari kata on atau otos yang artinya
ada atau keberadaan. Dan logos atau logi yang berarti ilmu

Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada,
keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.

Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang ada tampak
ini suatu realitas sebagai wujudnya, yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas
itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? Dan seterusnya.

Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia,
benda, alam semesta (kosmologi), metafisika.
Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila.

Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri
sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis.

Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak
yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis.
Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang
Berketuhan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah
manusia. Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok sila-sila
Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa,
jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta
sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama
mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya.
Landasan sila-sila
Negara sebagai
Pancasila yaitu Tuhan,
pendukung hubungan,
manusia, satu, rakyat
sedangkan Tuhan,
dan adil adalah
manusia, satu, rakyat,
sebagai sebab, dan
dan adil sebagai pokok
negara adalah sebagai
pangkal hubungan.
akibat.

Hubungan kesesuaian
antara negara dan
landasan sila-sila
Pancasila adalah
berupa hubungan
sebab-akibat:
2. LANDASAN EPISTEMOLOGIS PANCASILA
Epistemologi (//; dari bahasa Yunani ἐπιστήμη, epistēmē, artinya "pengetahuan", dan λόγος, logos,
artinya "diskursus") adalah cabang dari filsafat yang berkaitan dengan teori pengetahuan.

Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu
pengetahuan.

Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan
validitas ilmu pengetahuan.

Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science.

Menurut terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu: 1. Tentang sumber
pengetahuan manusia; 2. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia; 3. Tentang watak pengetahuan
manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.

Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini
berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi.
Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya
sebagai sistem pengetahuan.

Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep
dasarnya tentang hakikat manusia.
Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber
pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila.

Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-
nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa
materialis Pancasila.

Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki
susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi
arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis
dan berbentuk piramidal.
 Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana
sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya, sila kedua
didasari sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan
kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari
dan menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila
pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima, sila kelima
didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat
 Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut
kualitas maupun kuantitasnya.
1. Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-
sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga
merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang
kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi
praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit.

2. Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila
Susunan isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia
meliputi tiga hal, yaitu: terutama dalam tertib hukum Indonesia.

3. Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi
arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang
kehidupan sehingga memiliki sifat khusus konkrit serta
dinamis (lihat Notonagoro, 1975: 36-40)
 Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia yang
memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat raga
manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki
unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia
yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran memoris, reseptif,
kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu meresapkan pengetahuan
dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi, imajinasi, asosiasi, analogi,
refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham.
 Dasar-dasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, juga
menyangkut isi arti Pancasila tersebut.
 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan
manusia yang bersumber pada intuisi.
 Manusia pada hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila,
epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak.
Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi.
 Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu
sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa
dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tinggi.
 Selanjutnya dalam sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima, maka epistemologi
Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan
hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
 Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada
pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena
harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas
religious dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang
mutlak dalam hidup manusia.
3. LANDASAN AKSIOLOGIS PANCASILA

Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung
arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.

Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori tentang nilai.

Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah
hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.

Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat
merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan”
(goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan.
Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia
(dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek.

1. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang


mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan
orang senang atau menderita.

2. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang


Max Scheler mengemukakan penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran
bahwa nilai ada tingkatannya,
dan dapat dikelompokkan
menjadi empat tingkatan, 3. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan
yaitu: (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani
maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan,
kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.

4. Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang


suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai
pribadi (Driyarkara, 1978)
1. Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.

2. Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.

3. Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan
kehidupan.
Walter G. Everet

4. Nilai-nilai sosial: berasal mula dari berbagai bentuk perserikatan manusia.

5. Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.

6. Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.

7. Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran

8. Nilai-nilai keagamaan
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:
1) Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
2) Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau
aktivitas.
3) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi
empat macam:
a) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b) Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa)
manusia.
c) Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
d) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini
bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praktis.

Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak,
sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari
Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan,
dan nilai keadilan.

Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang
selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga
negara.

Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai
ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup
dalam masyarakat.
Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari
nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value
Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial.

Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah
laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai