Anda di halaman 1dari 48

Pinjaman dengan Jaminan

Gadai (Rahn)

Mata Kuliah : Fiqh Muamalat


dosen pengampu : Alwan Sobar, M.S.I

kelompok 5

Alung (2032008)
Windy Ferdiya Sari (2032009)
PENGERTIAN GADAI (RAHN)
Secara bahasa rahn atau gadai berasal
dari kata ats-tsubut (‫)ا لثبوت‬ yang
berarti tetap dan ad-dawam (‫ )ا لدوام‬yang
berarti terus menerus. Sehingga air
yang diam tidak mengalir dikatakan
sebagai Maun Rahin (‫)ماءراهن‬.
Secara bahasa, rahn juga bermakna
al-habs (‫)اــلحبس‬ yang bermakna
memenjara atau menahan sesuatu.
Pengertian rahn juga terdapat dalam
firman Allah SWT :
ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
ْ َ‫س بِ َما َك َسب‬
‫ت َر ِه ْينَة‬

Artinya : "Tiap-tiap diri bertanggung


jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
(QS. Al-Muddatstsr : 38)
Adapun pengertian Gadai atau
rahn dalam ilmu fiqh yakni
menyimpan sementara harta
milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang
di beikan oleh berpiutang
(yang meminjamkan)
Menurut ulama Malikiyah rahn
adalah harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan
utang yang bersifat mengikat
Menurut ulama Hanafiyah rahn adalah
menjadikan sesuatu barang sebagai
jaminan terhadap hak (piutang) yang
mungkin dijadikan sebagai pembayar hak
(piutang) itu, baik seluruhnya maupun
sebagiannya.
Menurut ulama Syafi'iyah dan
Hanabilah rahn adalah menjadikan
materi (barang) sebagai jaminan
utang, yang dapat dijadikan
pembayaran utang apabila orang
yang berutang tidak bisa membayar
utangnya.
DASAR HUKUM
GADAI/RAHN
Dasar hukum gadai terdapat dalam firman Allah
SWT sebagai berikut.

ٌ ‫ضة‬ ٌ ‫ْتُ ْم َعلى َسفَ ٍر َّولَ ْم تَ ِج ُد ْوا َكاتِبً فَ ِر‬،‫ك‬


َ ‫هن ُمقب ُْو‬ ُ ‫َواِ ْن‬

Artinya : "Apabila kamu dalam perjalanan sedang


kamu tidak mendapatkan seorang penuli, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang".
Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda

ُ‫ َو َعلَ ْي ِه ُغرْ ُمه‬,ُ‫ لَهُ ُغ ْن ُمه‬,ُ‫احبِ ِه الَّ ِذي َرهَنَه‬


ِ ‫ص‬ ُ َ‫اَل يَ ْغل‬
َ ‫ق اَل َّر ْه ُن ِم ْن‬

Artinya : "Tidak terlepas kepemilikan


barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya, ia memperoleh manfaat dan
menanggung resikonya." (HR. Al-Hakim, al-
Daraquthni dan Ibnu Majah).
UNSUR RAHN
Dalam praktek gadai, ada terdapat beberapa
unsur yaitu ar-rahin, al-murtahin, al-marhun,
al-marhun bihi dan al-aqd.

1. Ar-Rahin
Orang atau pihak yang menggadaikan barang,
yang berarti juga dia adalah orang yang
meminjam uang dengan jaminan barang tersebut.
Dia disebut ar-rahin (‫)اـ ّلرـاـهن‬.
2. Al-Murtahin
Sedangkan orang atau pihak yang menerima
barang yang digadaikan, yang dalam hal
ini juga berarti dia adalah orang yang
meminjamkan uangnya kepada ar-rahin,
disebut sebagai al- murtahin (‫)اــلمرتـهن‬.
3. Al-Marhun atau Ar-Rahn
Sedangkan benda atau barang yang digadaikan
atau dijadikan sebagai jaminan disebut dengan
al-marhun atau ar-rahn (‫اـ ّلرـهن‬-‫)اــلمرهون‬.
4. Al-Marhun bihi
Al-marhun bihi adalah uang dipinjamkan
lantaran ada barang yang digadaikan.
5. Al-'Aqd
Al-Aqdu (‫ )اــلعقد‬adalah yaitu akad atau
kesepakatan untuk melakukan transaksi rahn.
RUKUN GADAI
1. Adanya Lafaz
Lafadz adalah pernyataan adanya perjanjian
gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara
tertulis maupun lisan, yang penting
didalamnya terkandung maksud adanya
perjanjian gadai diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai.
Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang
berakal dan balig sehingga dapat dianggap
cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum
sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
3. Adanya barang yang digadaikan.
Barang yang digadaikan harus ada pada saat
dilakukan perjanjian gadai dan barang itu
adalah milik si pemberi gadai, barang
gadaian itu kemudian berada dibawah
pengasaan penerima gadai.
4. Adanya Hutang
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap,
tidak berubah dengan tambahan bunga atau
mengandung unsur riba.
SYARAT GADAI
Ketentuan Barang yang Digadai

Ketentuan barang yang digadaikan adalah sebagai


berikut :
1. Setiap benda yang boleh dijualbelikan maka
boleh pula untuk digadaikan.Sebaliknya, benda
yang tidak boleh dijualbelikan maka tidak boleh
digadaikan pula seperti, benda wakaf. Benda yang
tidak dapat dijual tidak boleh digadaikan karena
hal tersebut bertentangan dengan tujuan gadai
yaitu menjamin utang yang tidak dapat dibayar
dengan cara menjual barang gadai
tersebut.
2. Yang digadaikan harus berupa benda. Maka
tidak sah menggadaikan selain benda seperti
menggadaikan utang. Karena ketentuan barang
yang digadaikan adalah barang yang dapat
diterima sedangkan utang adalah sesuatu yang
tidak nampak sehingga tidak dapat diterima.
Ketentuan Gadai

1. Gadai tidak sah kecuali dengan ijab


seperti:”aku menggadaikan” dan qabulseperti:”aku
terima gadai”.
2. Gadai diperuntukkan utang yang telah tetap.
Maka, utang yang belum tetap tidak dapat diberi
gadai seperti utang jual beli salm. Karena
sebelum barang diterima salm bukanlah utang.
3. Penggadai dapat menarik kembali barang gadaiannya
sebelum penggadaimenyerahkan barang gadaiannya
kepada penerima gadai.
4. Seorang penerima gadai tidak bertanggungjawab
atas kerusakannya kecuali karena kelalaiannya. Hal
ini dikaitkan pada kepercayaan, sama halnya seperti
meminjam barang tidak ditanggung kerusakannya oleh
peminjam kecuali karena kelalaiannya. Diantara
bentuk kelalaian adalah menggunakan barang gadai
tersebut bukan pada hak yang telah diberi izin oleh
pemberi gadai.
5. Ketika peminjam uang membayar sebagian utangnya,
maka barang gadaian tidak boleh diserahkan sampai
utang tersebut dilunasi seluruhnya.
SKEMA GADAI (RAHN)
2 Permohonan Pembiayaan
Mahrun Bih
Pembiayaan

1c
3
Akad Pembiayaan
Murtahin Rahin
Bank Nasabah

Utang + Mark Up
4
1a

Marhum
Jaminan
1b Titipan/Gadai Pembiayan
Skema tersebut menggambarkan hubungan antara nasabah dan
pegadaian
dalam operasionalnya, sebagai berikut:
1. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah
untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir
barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan
pembiayaan.
2. Pegadaian syariah dan nasabah melakukan akad gadai.
3. Pegadaian syariah menerima biaya gadai.
4. Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh
tempo.
PEMANFAATAN BARANG GADAI
Diantara para ulama terdapat dua pendapat. Jumhur
ulama selain Syafi'iyah melarang ar-rahin untuk
memanfaatkan barang gadai, sedangkan Syafi'iyah
membolehkan hal tersebut selama tidak memudharatkan
al-murtahin.
1. Ualama Hanafiyah berpendapat bahwa
ar-rahin tidak boleh memanfaatkan
barang gadai tanpa seizin al-murtahin,
begitu pula al-murtahin tidak boleh
memanfaatkannya tanpa seizin ar-rahin.
2. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa ar-
rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang
gadai. Jika itu tidak menyebabkan barang
gadai itu berkurang, tidak perlu meminta izin
kepada al-murtahin, seperti mengendarainya
atau menempatinya. Tapi apabila menyebabkan
berkurangnya barang gadai seperti mengolah
sawah, berkebun, maka ar-rahin harus meminta
izin kepada al-murtahin.
Jumhur ulama yg berpendapat tentang pemanfaatan
barang gadai oleh al-murtahin

1. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa al-


murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai,
sebab ia hanya berhak menguasai bukan
memanfaatkan. Sebagian juga ada yg membolehkan
jika ada izin dari ar-rahin.
2. Ulama Malikiyah membolehkan al-murtahin memanfaatkan
barang gadai jika diizinkan oleh ar-rahin atau disyaratkan
ketika akad, dan barang tersebut dapat di perjual belikan
serta ditentukan batas waktunya. Demikian juga pendapat
Syafi'iyah.
3. Pendapat ulama Hanabilah berpendapat yg berbeda. Mereka
berpendapat jika barang gadai berupa hewan atau kendaraan,
al-murtahin boleh memanfaatkannya seperti mengendarai dan
mengambil susunya sekedar mengganti biaya pemeliharaan
meskipun tanpa izin ar-rahin, adapaun selain barang sepertu
kendaraan dan hewan maka tidak boleh.
MASALAH RIBA DAN GADAI
Setidaknya ada tiga hal yg menyebabkan
gadai itu riba

1. Apabila dalam akad gadai tersebut


ditentukan bahwa ar rahin atau
penggadai harus memberikan tambahan
kepada al-murtahin ketika membayar
hutang-hutangnya.
2. Apabila ketentuan akad gadai ditentukan syarat-
syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
3. Apabila ar rahin tidak mampu membayar
utangnya hingga pada waktu yang telah
ditentukan, kemudian al-murtahin menjual
al-marhun dengan tidak memberikan kelebihan
harga al-marhun kepada ar-rahin, padahal
utang ar-rahin lebih kecil nilainya dari
al-marhun.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abdul Rahman dkk. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta:
Prenadamedia Group.

Ramadhiana, Anna.& Sholihah, Hani. (2019). Pemanfaatan Barang Gadai


Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia: al-Afkar,
Journal for Islamic Studies, 2(2), 112-113.

Sarwat, Ahmad. (-). Seri Fiqih 7 Muamalat. Jakarta Selatan: DU


Publishing.

Suhendi, Hendi. (2014). Fiqh Muamalah. Depok: PT Rajagrafindo


Persada.

Turmudi, Muhamad. (2016). Operasional Gadai Dalam Sistem Hukum


Ekonomi Islam: al-'Adl, 9(1), 168.

Wijaya, Bima Aditya. Rahn atau Gadai


TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai