Anda di halaman 1dari 20

KELEMBAGAAN

 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Program


PHBM tersebut telah diterapkan di Perhutani sejak tahun 2001

 Pembinaan Desa Hutan oleh HPH

 Pengelolaan Kolaboratif dan Pengelolaan berbasis zonasi oleh


Balai Taman Nasional (Pengelola Kawasan Konservasi)
Tembawang-Kalimantan, Mukim – Aceh, Parak- Sumbar
Repong-Lampung, Tombak -Sumut , Alas Purwo-Jawa Timur,
Rimbo Puako-Jambi, Riau

 Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Kemitraan, Hutan


Tanaman Rakyat, Perhutanan Sosial oleh Kemenhut /
kementerian lingkungan hidup dan kehutanan , Dirjen
Perhutanan Sosial
 Tergerus oleh zamankah kelembagaan lokal mengelola
hutan sehingga mereka tak berdaya? Sering sekali
kearifan lokal masyarakat mengelola hutan dianggap
sebagai mitos, dalam sudut pandang agama-agama
bahkan terkadang dianggap menyimpang
 Kearifan lokal memang belum dapat disebut menjadi
pengetahuan jika belum dikaji dan didalam secara ilmu
pengetahuan modern, namun beberapa kajian mutakhir,
kearifan lokal banyak memiliki relevansi pengetahuan yang
sangat valid Dikalangan akademisi sendiri juga terkadang
memiliki perbedaan dalam memunculkan peristilahan, namun
pada dasarnya memiliki substansi yang sama. Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat, social forestry, atau kehutanan
masyarakat.
 Menurut Efendi (2010) bahwa Social Forestry adalah sistem
pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan
atau hutan hak, yang memberikan kesempatan kepada
masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama
dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan
mewujudkan kelestarian hutan.

 Social forestry
The International Centre For Research In Agroforestry (ICRAF)
KELEMBAGAAN
 Prisip – dapat dilihat pada sistem kelembagaan adat
Pammona masih diakui dan dipertahankan secara sosial dalam
tata kehidupan masyarakat baik oleh masyarakat Pammona
maupun masyarakat pendatang.
 Kerukunan antar umat beragama adalah salah satu contoh
bagaimana kelembagaan adat berperan dalam mempertahankan
hubungan kekeluargaan baik sesama penduduk asli maupun
pendatang.
 Ketika terjadi konflik bernuansa SARA di Poso, masyarakat
desa ini mampu menjadi benteng penyangga agar eskalasi
konflik tidak meluas ke Sulawesi Selatan
 Penduduk asli Desa Kasintuwu adalah suku Pammona. Mereka
tersebar di seluruh wilayah desa, tetapi paling banyak
berdomisili di Dusun Sampuraga dan Dusun Tawi Baru.
 Masyarakat suku Pammona terbuka menerima pendatang di
desa ini. Hal ini dapat dilihat dari sebagian penduduk desa ini
adalah masyarakat pendatang dari suku Toraja dan Bugis dan
Makassar. Hal ini menyebabkan penduduk desa ini sangat
plural, bukan hanya dari segi suku tetapi juga agama dan
kepercayaan.
 Mayoritas suku Pamona dan masyarakat pendatang dari suku
Toraja beragama Kristen, sedangkan masyarakat suku Bugis
dan Makassar mayoritas beragama Islam.
 Jumlah penduduk Desa Kasintuwu sebanyak 3.343 jiwa, terdiri
atas sebanyak 1.748 jiwa penduduk laki-laki dan sebanyak
1.595 jiwa penduduk perempuan, serta terdiri atas sebanyak
886 kepala keluarga. Jumlah penduduk usia kerja sebanyak
1.377 jiwa, maka tingkat ketergantung (dependency ratio)
penduduk relatif rendah yakni sebesar 1,4. Hal ini berarti
bahwa setiap satu orang penduduk usia kerja menanggung
sebanyak rata-rata 2 orang penduduk di luar usia kerja.
 Aktivitas masyarakat adat suku Pammona di dalam kawasan
hutan pada mulanya lebih banyak berupa aktivitas memungut
hasil hutan kayu dan bukan kayu. Namun demikian, kehadiran
suku Toraja dan Bugis-Makassar di desa ini telah merubah
aktivitas masyarakat adat Pammona yaitu mereka mulai
mempraktekkan sistem pertanian yang intensif seperti
berkebun kakao dan tidak lagi berladang berpindah-pindah di
dalam kawasan hutan.
 Masyarakat pendatang yang akan memanfatkan lahan di dalam
kawasan hutan menghubungi tokoh adat untuk minta izin
menggarap lahan.
 Tokoh adat menyampaikan aturan-aturan adat dalam mengelola
lahan dan meminta biaya pemanfaatan lahan kepada
masyarakat pendatang.
 Besarnya biaya pemanfaatan lahan bervariasi bergantung luas
lahan dan posisi lokasi. Dari hasil wawancara dengan
responden belum terlihat adanya sitem bagi hasil dan sistem
pembagian pengelolaan lahan yang terbangun antara
pemerintah
setempat/pemangku adat atau
lembaga lokal yang terkait ketika
mereka telah mengelola lahan. Hasil
pertanian dan perkebunan mereka
sepenuhnya menjadi milik petani
pengelola lahan.
 gender adalah konsep tentang peran dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki yang kemudian terkonstruksi dan
dikonstruksikan oleh masyarakat.
 Hasil konstruksi Peran dan tanggung jawab tadi seringkali
tidak adil. Fakta yang banyak ditemukan bahwa seringkali
posisi perempuan berada dalam posisi yang sulit.
 Perempuan masih sering termarginalkan dalam pengelolaan
kekayaan alam dan hutan, padahal kehidupan perempuan
terutama di pelosok-pelosok, sangat erat hubungannya dengan
kehidupan alam.
 Perempuan bahkan dapat berperan lebih efektif dalam tahapan
reboisasi, diantaranya dalam kegiatan persemaian bibit
tanaman sebelum dipindah ke hutan.
 Oleh sebab itu, diperlukan berbagai upaya untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan.
 Wiliam-de Vries, (2006) Dalam masyarakat tradisional-
patriarkhi (yaitu masyarakat yang selalu memposisikan laki-
laki lebih tinggi kedudukan dan perannya dari perempuan)
 kita dapat melihat dengan jelas adanya pemisahan yang tajam
bukan hanya pada peran Gender tetapi juga pada sifat Gender
 Lebih lanjut lagi Indriatmoko, dkk (2007) mengungkapkan
pentingnya melaksanakan analisis gender dalam
pengelolaan hutan oleh masyarakat
 sebagai contohnya : mengetahui apakah perempuan dan laki-
laki dapat memperoleh akses partisipasi, pengambilan
keputusan, kontrol dan manfaat pada sumberdaya alam serta
pengelolaan kekayaan alam yang sama atau tidak.
 Informasi ini penting baik bagi masyarakat lokal maupun
lembaga yang bekerja dalam masyarakat lokal dalam
melakukan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi pengelolaan kekayaan alam yang
responsif gender secara efektif.
 masyarakat mengelola lahan usahatani di dalam kawasan hutan
rata-rata seluas 1,0 sampai 3,0 ha/KK.
 Komoditi yang dikembangkan adalah kakao dan merica.

 Supratman (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa kondisi


usahatani masyarakat seperti diuraikan di atas menyebabkan
masyarakat cenderung melakukan ekstensifikasi lahan
usahatani ke dalam kawasan hutan.
 Hasil penelitian ICRAF (Suyanto, 2002) menunjukkan bahwa
penanaman kopi multistrata di kawasan hutan lindung tidak
hanya merupakan sumber mata pencaharian penduduk tetapi
juga dapat mengendalikan erosi karena fungsi penutupan
kanopinya yang menyerupai hutan alam.
 Sistem penanaman kopi multi strata mempunyai kanopi yang
kompleks sehingga mampu melindungi permukaan tanah dan
mengendalikan erosivitas air hujan. Kombinasi berbagai jenis
pohon dalam sistem agroforestry berbasis kopi dengan
karakteristik sistem perakaran yang berbeda antara satu
dengan lainnya mampu memberikan kontribusi untuk
 menstabikan tebing-tebing sungai (river banks). Mekanisme
ini terjadi karena sistem kopi multistrata mempunyai kanopi
kompleks yang melindungi permukaan tanah dari pukulan
curah hujan yang tinggi dan juga mengembalikan serasah
dalam jumlah besar di permukaan tanah sehingga mengurangi
pengaruh erosivitas air hujan. Selain itu, percampuran
berbagai jenis pohon dalam sistem agroforestry berbasis
kopi dengan kedalaman perakaran yang bervariasi
memberikan sinergitas terhadap peningkatan agregasi
tanah sehingga tidak mudah terdispersi.
 Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia dewasa
ini diarahkan kepada peningkatan upaya pengelolaan
hutan terpadu, pelestarian hutan, dan pembangunan hutan
tanaman penghasil kayu. Namun demikian, sampai sejauh ini,
pelibatan masyarakat setempat dalam proyek-proyek hutan
tanaman penghasil kayu, program-program pelestarian hutan,
dan diversifikasi pola kehutanan untuk pengelolaan ekosistem
hutan yang serba guna dan berkesinambungan, ternyata belum
menunjukkan keberhasilan.
 Hasil penelitian terkini ICRAF/CIFOR di Trimulyo, Lampung
Barat (Suyanto et al., 2002) menunjukkan bahwa
penguatan penguasaan lahan di hutan lindung oleh
masyarakat berdampak pada perubahan sistem pertanian yang
lebih sehat. Lahan yang sebelumnya tergolong kritis dan
ditumbuhi alang-alang telah berhasil diatasi dengan
pembudidayaan kopi multisrata.
 Keberhasilan ini didukung oleh penguatan penguasaan lahan
yang diklaim oleh masyarakat. Selanjutnya dikemukakan
bahwa pada saat penelitian dilaksanakan, sekitar 88 % dari
96% areal yang tadinya kritis telah ditanami dengan kopi
multisrata.
Sekian dan
terima kasih

Anda mungkin juga menyukai